Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Bipolar merupakan gangguan mood yang serius ditandai dengan perubahan
suasana hati, energi dan tingkat aktivitas seseorang (Mintz, 2015). Gangguan
bipolar tidak dapat diprediksi dan gejalanya dapat bertahan selama berbulan – bulan
hingga bertahun- tahun (Marcovitz, 2009). Gangguan bipolar mempunyai kategori
yang mencakup tiga kondisi yang berbeda yaitu bipolar I, bipolar II dan gangguan
siklotimia (APA, 2017). Keadaan emosional bagi penderita gangguan bipolar
adalah nyata yang terjadi pada waktu yang berbeda yang disebut episode mood.
Episode ini dikategorikan sebagai mania, hipomania, episode campuran, dan
depresi (Ahuja, 2011). Gangguan bipolar sering terjadi tanpa riwayat yang
menyertainya seperti mania, campuran ataupun hipomania (Kaplan & Sadock’s,
2015). Etiologi gangguan bipolar masih belum diketahui oleh para peneliti, tetapi
dugaan sementaranya yaitu terjadi interaksi komplek yaitu antara biologi dengan
lingkungannya (Parks, 2014). Penderita gangguan bipolar mengalami periode
emosi yang sangat luar biasa kuat, perubahan pola tidur, tingkat aktivitas, dan
perilaku yang tidak biasa (NIMH, 2016).
Data statistik yang diperoleh dari (WHO) (2012) menyebutkan sekitar 450
juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa, dan 30% diantaranya
terjadi di negara berkembang. Dan pasien dengan gangguan bipolar yang
melakukan percobaan bunuh diri sekitar 25% sampai dengan 50% dari total
individu dengan gangguan bipolar (Safira, 2014). Gangguan bipolar dapat
menyerang siapapun tak terkecuali orang dewasa, anak-anak dan remajapun juga
bisa menjadi targetnya. Prevalensi gangguan bipolar pada usia muda dan dewasa
adalah sama di Amerika Serikat (Meter dkk, 2011). Setiap tahun 2,9% populasi
Amerika Serikat didiagnosis menderita gangguan bipolar, dan hampir 83% kasus
tergolong parah (Mind, 2017). Sedangkan di Indonesia memiliki angka sebanyak
9.162.886 kasus atau 3,7% dari populasi. Data ini juga menunjukkan 15% sampai
dengan 30% penduduk Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, diantaranya

1
2

gangguan kecemasan dan depresi berat. Wilayah yang memiliki tingkat prevalensi
gangguan emosional yang tertinggi diantara provinsi lainnya adalah Jawa Barat dan
Jawa Timur (Riskesdas, 2019).
Patofisiologi dari gangguan bipolar akibat disregulasi sirkuit neural yang di
pengaruhi oleh perubahan fungsional dan perubahan struktural (Kring et al., 2012).
Episode mania dapat disebabkan karena adanya peningkatan kadar noradrenalin,
serotonin dan dopamin. GABA juga dikaitkan akan kejadian gangguan bipolar
(Zhang et al., 2015). Setelah terjadinya eksositosis, GABA akan berdifusi dari
presinap menuju celah sinap dan berikatan dengan reseptornya kemudian GABA
akan direuptake menuju presinap dan diuptake menuju glia oleh GAT-1/2/3,
peningkatan uptake akan mengakibatkan penurunan GABA pada celah sinap, efek
dari penurunan GABA akan memicu terjadinya gangguan bipolar dengan episode
depresi (Daniele et al, 2012).
Manifestasi klinis episode gangguan bipolar dapat terjadi secara berurutan
dengan atau tanpa periode mood normal (Dipiro et al., 2012). Depresi mayor pada
bipolar menyebabkan lebih sering terjadi delusi, halusinasi dan keinginan bunuh
diri daripada depresi unipolar (Wells et al., 2015). Gejala hipomania tidak
menyebabkan masalah utama yang sering diakibatkan mania dan penderita masih
produktif di masyarakat (APA, 2017). Pada episode mania, individu tersebut
memiliki gejala seperti cerewet, kepercayaan diri tinggi, rasa cemas yang berlebih,
kebutuhan tidur menurun dan peningkatan jumlah aktifitas yang berlangsung
minimal 1 minggu (Zhang et al., 2015).
Klasifikasi bipolar dibagi menjadi bipolar tipe I, tipe II dan siklotimia.
Bipolar tipe I ditandai dengan episode mania berat dan depresi berat (Ahuja, 2011).
Gangguan Bipolar tipe I diikuti setidaknya satu episode depresi (Videbeck, 2011).
Gangguan bipolar tipe I ini ketika kondisi mania, penderita ini sering dalam kondisi
“berat” dan berbahaya. Bipolar tipe II, pada kondisi ini penderita masih bisa
berfungsi melaksanakan kegiatan harian rutin. Tidak separah tipe I. Gangguan
siklotimia (disebut juga cyclothymia) ialah bentuk ringan dari Gangguan jiwa
bipolar (Jiwo, 2012).
Penatalaksanaan bipolar dibagi menjadi dua yaitu terapi farmakologi dan non
farmakologi. Secara nonfarmakologi bisa dilakukan tindakan berupa terapi
3

interpersonal, terapi psikoterapi (seperti terapi melalui individu, kelompok,


keluarga), terapi perilaku kognitif, ECT (terapi elektrokonvulsif), SGA (Second-
Generation Atipsicotic) (Wells et al., 2015). Penatalaksaan pengobatan pada
penyakit gangguan bipolar sangatlah membantu untuk mengendalikan gejala
bipolar (NIMH, 2015). Upaya pencegahan, pengurangan gejala kekambuhan, dan
pengurangan risiko bunuh diri, merupakan terapi pemeliharaan yang ditujukan
untuk pasien dengan gangguan bipolar yang secara umum di terapkan mengikuti
episode mania pasien tersebut (APA, 2010). Obat yang biasa digunakan untuk
mengobati gangguan bipolar meliputi: mood stabilizer, antipsikotik atipikal,
antidepresan dam Ansiolitik (NIMH, 2015). Pasien dengan kecemasan dan
kepanikan berat diberikan Ansiolitik seperti Diazepam (Valium) (Kaplan and
Sadock’s, 2015).
Diazepam adalah salah satu contoh benzodiazepin yang memiliki waktu
paruh panjang (WHO,2009). Obat Ansiolitik seperti diazepam bertindak pada
reseptor GABA, yang akan mempengaruhi kognisi, memori dan kontrol motorik.
Benzodiazepin dapat mengurangi kecemasan dengan cara menurunkan konsentrasi
plasma epinefrin (Kaplan & Sadock’s). Dalam depresi ringan dapat diberikan
sebuah konseling sederhana dan penggunaan benzodiazepin (diazepam 5-10 mg per
hari), dan efek samping yang akan terjadi adalah ketergantungan yang sangat tinggi
(Jiloha, 2010). Menurut, Guidance for Prescribing and Withdrawl of
Benzodiazepins and Hipnotics in General Practice (2008) Diazepam merupakan
terapi Ansiolitik yang diperkenankan penggunaannya dalam jangka pendek.
Penelitian yang dilakukan oleh Thamayanti et al, 2017. Diazepam
menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam pola tidur dan menjadikan pola
tidur yang berkualitas selama periode 1 bulan studi. Didapatkan skor akhir
parameter adalah karena aktifitas yang dihasilkan dari tindakan obat langsung. Dan
penelitian yang dilakukan oleh Indrowati, 2015. Ligan yang bekerja di situs
benzodiazepin (Diazepam) dari reseptor GABA-A saat ini adalah hipnotik yang
paling banyak digunakan. Percobaan tersebut ditunjukkan melalui tikus yang
disuntik diazepam, lalu diukur tingkat tidur melalui EEG. Didapatkan hasil terjadi
perubahan pola tidur REM dan diazepam yang meningkatkan mediasi oleh reseptor
GABA-A dan membuat siklus tidur seseorang menjadi normal.
4

Penelitian yang dilakukan oleh Louise Wingard , et al., 2019. Penelitian


tersebut dilaksanakan berdasarkan data yang diperoleh dari Daftar Nasional Swedia
dengan pendekatan kohort pada 21.883 pasien. Penggunaan alprazolam
menunjukan adanya peluang efek samping yang tinggi yaitu ketergantungan untuk
pemakaian jangka panjang, begitupula dengan golongan benzodiazepin yang lain
yaitu diazepam. Hasil analisis diperoleh bahwa klonazepam, alprazolam atau
benzodiazepin/ politerapi benzodiazepin memiliki resiko ketergantungan yang
tinggi. Perawatan ini harus digunakan secara terbatas.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang pola penggunaan diazepam. Penelitian ini diharapkan dapat
digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di
Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pola penggunaan diazepam pada pasien gangguan bipolar di RSJ
Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang.

1.3 Tujuan penelitian


Mengetahui pola penggunaan diazepam sebagai terapi pasien gangguan
bipolar di RSJ Dr. Radjiman Wediodingrat Lawang.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Memberikan gambaran mengenai pola pengobatan dan penatalaksanaan
terapi pada pasien gangguan bipolar yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang
2. Bagi farmasi klinis rumah sakit, dijadikan sebagai saran untuk pengambilan
keputusan terapi yang dikaitkan dengan pelayanan farmasi klinis di Rumah
Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat
3. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai studi pendahuluan dan referensi untuk
penelitian selanjutnya mengenai pola pengobatan pada pasien gangguan
bipolar yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat
Lawang.

Anda mungkin juga menyukai