REFERAT
Oleh
Daning Yuniartika 132011101010
Sarah Marsa Tamimi 132011101012
Pembimbing :
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp. KJ
dr. Alif Mardijana, Sp. KJ
REFERAT
Oleh
Daning Yuniartika 132011101010
Sarah Marsa Tamimi 132011101012
Pembimbing
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp. KJ
dr. Alif Mardijana, Sp. KJ
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi......................................................................................................4
2.3 Etiologi...............................................................................................................4
2.4 Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Zat.................................7
2.5 Tahapan-tahapan yang dialami oleh Penyalahguaan zat.............................9
2.6 Kriteria Ketergantungan dan Penyalahgunaan zat....................................10
2.7 Jenis-jenis NAPZA dan Efeknya...................................................................14
2.8 Gejala Klinis Penyalahguna Zat....................................................................19
2.9 Gambaran kekambuhan Penyalahguna Zat................................................20
2.10 Penanganan dan Rehabilitasi........................................................................22
BAB III. KESIMPULAN..............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................25
iii
iv
1
BAB I. PENDAHULUAN
.1 Latar Belakang
Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan pada tahun 2006 di
lembaga Balai Kasih Sayang Pamardi Siwi BNN menunjukkan bahwa terdapat 38 kasus
relaps berkali-kali dan masuk kembali ke lembaga rehabilitasi yang sama. Tahun 2007
tingkat relaps sebesar 95% bahkan ada residen yang masuk untuk ke empat kalinya ke
lembaga rehabilitasi tersebut. Tahun 2008 menunjukkan data relaps di indonesia
mencapai 90%, tingginya angka kejadian relaps membuat hal ini menarik untuk
didiskusikan.
3
4
2.1 Definisi
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan
mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal
(Sholevar, 2002).
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya
dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan
afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena
dimensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma ini mengakibatkan
disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah sistem syaraf yang
bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak dikendalikan secara sadar, seperti
denyut jantung, tekanan darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga
terpengaruh (Benzer, 2005)
5
2.2 Etiologi
3.2 Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik
potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM sering
pada pasien dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine (Sholevar,
2002)
3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren. Resiko
rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode SNM dan
penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik dalam 2 minggu
episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu, persentasenya
hanya 30%.
6
2.4 Patofisiologi
.5 Gambaran Klinis
2004). Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas
dari ringan sampai dengan berat (Benzer, 2005). Gejalanya yaitu:
b. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia
dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat mencerminkan agitasi
psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan delirium mencerminkan
terjadinya perubahan tingkat kesadaran.
2.7 Diagnosis
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu
kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan
rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan
otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis banding
pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM
ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan
demam harus disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan
status mental dan ketidakstabilan otonom.
Tabel 1
Rigiditas otot yang parah, peningkatan temperatur tubuh, dan temuan lain yang
berhubungan (misalnya, diaforesis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat
kesadaran mulai dari konfusi sampai koma, mutisme, peningkatan atau tekanan
darah labil, peningkatan kreatini fosfokinase (CPK) yang berkembang berhubungan
dengan pemakaian medikasi neuroleptik.
1) Diaforesis
2) Disfagia
3) Tremor
4) Inkontinensia
6) Mutisme
7) Takikardia
9) Lekositosis
9
D. Gejala dalam kriteria A dan B tidak diterangkan lebih baik oleh suatu
gangguan mental (misalnya, gangguan mood dengan ciri katatonik)
Tabel dari DSM-IV, Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders, ed.4 Hak cipta
American Psychiatric Association, Washington, 1994. Digunakan dengan izin.
Tabel 2
Kriteria Major
Demam
Rigiditas
Kriteria Minor
10
Takikardi
Kesadaran Berubah
Diaphoresis
Lekositosis
* 3 kriteria major, atau 2 kriteria major and 4 kriteria minor, yang diperlukan
untuk diagnosis
.8 Diagnosis Banding
1. Syndrome Serotonin
2. Malignant Hypertermia
dirasakan menjadi penyakit sistem saraf perifer yang dihasilkan dar kelainan
membran otot. MH sering terjadi pada pasienyang memiliki gangguan
miopati lain seperti distrofi otot, myotonic,distrofi, dan miopati kongenital.
Selain itu adanya riwayat keluarga terkait HM pada saat anestesi dan
mungkin kematian.
3. Malignant Katatonia
Intoksikasi akut dengan obat narkoba, terutama kokain dan ekstasi (3,4-
methylenedioxymethamphetamine MDMA), bisa membingungkan dengan
SNM. Obat-obatan ini sangat berpengaruh terhadap sistem saraf pusat, agen
ini menarik pelaku karena menghasilkan kewaspadaan, energi, dan euforia,
namun efek yang sama juga dapat bermanifestasi sebagai psikomotor agitasi,
delirium, dan bahkan psikosis. Hipertermia dan rhabdomyolysis dapat
terjadi, biasanya berkaitan dengan peningkatan aktivitas fisik dan suhu
lingkungan. Kekakuan tidak umum dalam kasus ini. Penggunaan MDMA
juga dapat menyebabkan sindrom serotonin. Sindrom ini dibahas secara rinci
dan terpisah.
12
Kejang
Hidrosefalus akut
Akut distonia
Tetanus
Tirotoksikosis
13
Pheochromocytoma
Porfiria akut
2.9 Tatalaksana
1. Terapi Suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti
psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda
dalam 1-2 minggu. Sindrom Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan depot
injeksi anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan (Jeffrey, 2007).
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan
memelihara fungsi organ yaitu:
2. Terapi Farmakologi
14
2.10 Komplikasi
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Yang memiliki karekteristik
seperti hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor resiko
dari SNM antara lain : faktor lingkungan dan psikologi, faktor genetic, pasien dengan
riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak organik,
gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT, penggunaan
neuroleptik tidak teratur, penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis
tinggi, dosis neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.
Gejalanya yaitu: Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea,
takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil. Gejala ekstrapiramidal meliputi
rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan diskinesia. Penatalaksaan yang
paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan terapi suportif. Terapi
farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti bromokriptin dan
amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom Neuroleptik Maligna
berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Komplikasi yang paling umum adalah
rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan akhirnya terjadi
17
kerusakan otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis
berat otot yang menjadi rhabdomiolisis.
DAFTAR PUSTAKA
18
Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem, Geriatrics August
2004 Volume 59, Number 8. Page 38-40.
Stanley N. Caroff, M.D, Stephan C. Mann, M.D, Paul E. Keck. Jr,. M.D, Athur Lazarus,
M.D., M.B.A. 2007. Neuroleptic Malignant Syndrome and Related Conditions.
2ndedition
19