Anda di halaman 1dari 23

GANGGUAN NEUROLEPTIK PADA TERAPI PSIKIATRI

REFERAT

Oleh
Daning Yuniartika 132011101010
Sarah Marsa Tamimi 132011101012

Pembimbing :
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp. KJ
dr. Alif Mardijana, Sp. KJ

KSM.PSIKIATRI RSD dr. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
GANGGUAN NEUROLEPTIK PADA TERAPI PSIKIATRI

REFERAT

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Psikiatri RSUD dr.Soebandi Jember

Oleh
Daning Yuniartika 132011101010
Sarah Marsa Tamimi 132011101012

Pembimbing
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp. KJ
dr. Alif Mardijana, Sp. KJ

KSM. PSIKIATRI RSD dr. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi......................................................................................................4
2.3 Etiologi...............................................................................................................4
2.4 Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Zat.................................7
2.5 Tahapan-tahapan yang dialami oleh Penyalahguaan zat.............................9
2.6 Kriteria Ketergantungan dan Penyalahgunaan zat....................................10
2.7 Jenis-jenis NAPZA dan Efeknya...................................................................14
2.8 Gejala Klinis Penyalahguna Zat....................................................................19
2.9 Gambaran kekambuhan Penyalahguna Zat................................................20
2.10 Penanganan dan Rehabilitasi........................................................................22
BAB III. KESIMPULAN..............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................25

iii
iv
1

BAB I. PENDAHULUAN

.1 Latar Belakang

Di Indonesia jumlah penyalahguna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta


sampai 4,1 juta orang dalam setahun terakhir, current users pada kelompok usia 10-59
tahun di tahun 2014 (Badan Narkotika Nasional, 2014). Hasil proyeksi angka prevalensi
penyalahguna narkoba akan meningkat setiap tahun, fakta tersebut didukung oleh
adanya kecenderungan peningkatan angka sitaan dan pengungkapan kasus narkoba
(Badan Narkotika Nasional, 2014).

Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya


(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika
dan Bahan/Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang
memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan
secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam kedokteran,
sebagian besar golongan NAPZA masih bermanfaat bagi pengobatan, namun apabila
disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan
terlebih lagi bila disertai peredaran di jalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi
individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.

Fenomena penyalahgunaan zat mempunyai banyak implikasi untuk penelitian


otak, psikiatri klinis, dan masyarakat pada umumnya. Beberapa zat dapat
mempengaruhi keadaan mental yang dirasakan dari dalam seperti mood maupun
aktivitas yang dapat diobservasi dari luar yaitu perilaku.
2

Relaps merupakan perilaku penggunaan kembali narkoba setelah menjalani


penanganan secara rehabilitasi yang ditandai dengan adanya pemikiran, perilaku dan
perasaan adiktif setelah periode putus zat. Secara garis besar ada dua faktor yang
mempengaruhi terbentuknya relaps yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari
individu. Intervensi yang dapat diberikan pada kasus relaps narkoba harus meliputi
terapi perilaku (konseling, terapi kognitif, terapi sosial), terapi medis, dan terapi
keagamaan.

Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan pada tahun 2006 di
lembaga Balai Kasih Sayang Pamardi Siwi BNN menunjukkan bahwa terdapat 38 kasus
relaps berkali-kali dan masuk kembali ke lembaga rehabilitasi yang sama. Tahun 2007
tingkat relaps sebesar 95% bahkan ada residen yang masuk untuk ke empat kalinya ke
lembaga rehabilitasi tersebut. Tahun 2008 menunjukkan data relaps di indonesia
mencapai 90%, tingginya angka kejadian relaps membuat hal ini menarik untuk
didiskusikan.
3
4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah
hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan
mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal
(Sholevar, 2002).

DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) mendefiniskan


sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan gejala lainnya yang
terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari
konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil,
peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan
pengobatan neuroleptik (Kaplan, 2005).

Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya
dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan
afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena
dimensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma ini mengakibatkan
disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah sistem syaraf yang
bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak dikendalikan secara sadar, seperti
denyut jantung, tekanan darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga
terpengaruh (Benzer, 2005)
5

2.2 Etiologi

3.2 Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik
potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM sering
pada pasien dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine (Sholevar,
2002)

4.2 Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi),


antipsikotik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik
injeksi long acting (Sholevar, 2002).

5.2 Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptik yang


tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium, dan
juga terapi kejang (Sholevar, 2002).

2.3 Faktor Risiko


Menurut Sholevar tahun 2002, faktor risiko SNM yaitu:

1. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM


adalah kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi.

2. Faktor genetik, terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM


dapat terjadi pada kembar identik.

3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren. Resiko
rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode SNM dan
penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik dalam 2 minggu
episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu, persentasenya
hanya 30%.
6

4. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium,


riwayat ECT (Elektro Convulsive Therapy), penggunaan neuroleptik tidak
teratur.
5. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis
neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.

2.4 Patofisiologi

Sesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan


pemberian pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi
terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin
yang menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothalamus,
sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis
SNM (Benzer, 2005).
Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pengaturan suhu sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan
ketidak stabilan saraf otonom. Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di
sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran. Perubahan
status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan
mesokortikal (Benzer, 2005).

.5 Gambaran Klinis

Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan reaksi idiosinkrotik yang tidak


tergantung pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada dosis
tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal), biasanya
berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan dengan
neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah pemberian obat
neuroleptik atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan dosis) (Nicholson,
7

2004). Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas
dari ringan sampai dengan berat (Benzer, 2005). Gejalanya yaitu:

a. Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan


tekanan darah meningkat atau labil.

b. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia
dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat mencerminkan agitasi
psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan delirium mencerminkan
terjadinya perubahan tingkat kesadaran.

2.7 Diagnosis

Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu
kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan
rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan
otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis banding
pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM
ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan
demam harus disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan
status mental dan ketidakstabilan otonom.
Tabel 1

Kriteria Diagnostik dan Riset untuk Sindrom Neuroleptik Maligna


8

Rigiditas otot yang parah, peningkatan temperatur tubuh, dan temuan lain yang
berhubungan (misalnya, diaforesis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat
kesadaran mulai dari konfusi sampai koma, mutisme, peningkatan atau tekanan
darah labil, peningkatan kreatini fosfokinase (CPK) yang berkembang berhubungan
dengan pemakaian medikasi neuroleptik.

A. Perkembangan rigiditas otot yang parah dan peningkatan temperatur yang


berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik

B. Dua (atau lebih) berikut:

1) Diaforesis

2) Disfagia

3) Tremor

4) Inkontinensia

5) Perubahan tingkat kesadaran mulai dari konfusi sampai koma

6) Mutisme

7) Takikardia

8) Peningkatan atau takenan darah labil

9) Lekositosis
9

10) Tanda-tanda laboratorium kerusakan otot (misalnya, peninggian CPK)

C. Gejala dalam kriteria A dan B bukan karna zat lain (misalnya,


phenicyclidine) atau suatu kondisi neurologis atau medis umum lain
(misalnya, ensefalitis virus).

D. Gejala dalam kriteria A dan B tidak diterangkan lebih baik oleh suatu
gangguan mental (misalnya, gangguan mood dengan ciri katatonik)

Tabel dari DSM-IV, Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders, ed.4 Hak cipta
American Psychiatric Association, Washington, 1994. Digunakan dengan izin.

Tabel 2

Kriteria Levenson’s untuk diagnosis NMS*

Kriteria Major

Demam

Rigiditas

Peningkatan Ckreatin Kinase (CK)

Kriteria Minor
10

Takikardi

Tekanan darah abnormal

Kesadaran Berubah

Diaphoresis

Lekositosis

* 3 kriteria major, atau 2 kriteria major and 4 kriteria minor, yang diperlukan
untuk diagnosis

.8 Diagnosis Banding

1. Syndrome Serotonin

Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan


menggali riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan
tidak adanya rigiditas berat.

2. Malignant Hypertermia

Sebuah gangguan genetik langka, Hipertermia ganas (MH) adalah


gangguan miopati dengan beberapa variasi (bentuk dominan dan resesif
autosomal dilaporkan). Hal ini biasanya terjadi segera setelah terpapar,
terhalogenasi agen anestesi inhalasi dan depolarisasi relaksan otot, seperti
suksinilkolin Dalam beberapa menit paparan, gejala hiperpireksia, kaku otot,
dan ada kenaikan kadar CK dan myoglobinurea. Gangguan tersebut juga
11

dirasakan menjadi penyakit sistem saraf perifer yang dihasilkan dar kelainan
membran otot. MH sering terjadi pada pasienyang memiliki gangguan
miopati lain seperti distrofi otot, myotonic,distrofi, dan miopati kongenital.
Selain itu adanya riwayat keluarga terkait HM pada saat anestesi dan
mungkin kematian.

3. Malignant Katatonia

Diferensial diagnosis SNM yang sering adalah keganasan katatonia.


Gejala klinis hipertermia dan kekakuan ada dalam sindrom ini, biasanya ada
gejala prodromal dari perilaku dalam beberapa minggu yang ditandai dengan
psikosis, agitasi, dan kegembiraan katatonik. Gejala motorik juga ditandai
dengan fenomena yang lebih positif (sikap dystonia, fleksibilitas lilin, dan
gerakan berulang stereotip) yang juga ada dijelaskan dalam SNM. Nilai
laboratorium biasanya normal. Kedua gangguan ini bisa sulit untuk
dibedakan secara klinis.

4. Sindrom Obat lain yang berhubungan

Intoksikasi akut dengan obat narkoba, terutama kokain dan ekstasi (3,4-
methylenedioxymethamphetamine MDMA), bisa membingungkan dengan
SNM. Obat-obatan ini sangat berpengaruh terhadap sistem saraf pusat, agen
ini menarik pelaku karena menghasilkan kewaspadaan, energi, dan euforia,
namun efek yang sama juga dapat bermanifestasi sebagai psikomotor agitasi,
delirium, dan bahkan psikosis. Hipertermia dan rhabdomyolysis dapat
terjadi, biasanya berkaitan dengan peningkatan aktivitas fisik dan suhu
lingkungan. Kekakuan tidak umum dalam kasus ini. Penggunaan MDMA
juga dapat menyebabkan sindrom serotonin. Sindrom ini dibahas secara rinci
dan terpisah.
12

5. Gangguan yang tidak berhubungan

Alternatif neurologis dan gangguan medis harus dipertimbangkan. Gejala


klinis gangguan ini dapat tumpang tindih dengan SNM, khususnya pada
pasien yang memiliki efek samping ekstrapiramidal dengan penggunaan
antipsikotik secara bersamaan. Diagnosa ini memiliki prognosis yang serius
dan implikasi dalam pengobatan dan tidak boleh diabaikan:

 Infeksi sistem saraf pusat (misalnya, meningitis, ensefalitis)

 Infeksi sistemik (misalnya, pneumonia, sepsis)

 Kejang

 Hidrosefalus akut

 Cedera tulang belakang akut

 Panas stroke (antipsikotik predisposisi panas stroke termoregulasi )

 Akut distonia

 Tetanus

 Central sistem saraf vaskulitis

 Tirotoksikosis
13

 Pheochromocytoma

 Intoksikasi obat, toksisitas (misalnya, phencyclidine, ekstasi, kokain,


amfetamin, lithium)

 Porfiria akut

2.9 Tatalaksana

1. Terapi Suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti
psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda
dalam 1-2 minggu. Sindrom Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan depot
injeksi anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan (Jeffrey, 2007).
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan
memelihara fungsi organ yaitu:

1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.

2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan,


hemodinamik.

3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.

4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak,


analisis cairan serebrospinal, kultur urin dan darah.

2. Terapi Farmakologi
14

Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti


bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom
Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene
dipakai untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas.
Peneliti lain melaporkan tidak ada manfaat dan setelah diamati ternyata
meningkatkan komplikasi dan pemanjangan gejala karena pemakaian obat-obat
tersebut.
Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa
kasus. Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam
penanganan Sindrom Neuroleptik Maligna dengan mengurangi durasi menjadi 2
– 3 hari (Jeffrey, 2007).

2.10 Komplikasi

Komplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna banyak. Komplikasi yang


paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan
akhirnya terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi,
emboli pulmo, edema pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated
intravascular coagulation, seizure, infark miocardial (Hal dan Chopman, 2006).
Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik yang
tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena
menderita gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti
pskotik di hentikan (Sholevar, 2002).
2.1. Prognosis
Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis otot
yang berat bisa menjadi rhabdomiolisis. Pasien dengan riwayat Sindrom Neuroleptik
Maligna dapat terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi berhubungan dengan jeda
waktu antara Sindrom Neuroleptik Maligna dan dimulainya kembali pengobatan
antipsikotik (Stanley, 2007).
2.2. Pencegahan
15

Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya sindrom


ini. Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek samping
ekstra piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk mengeliminasi efek
samping ekstrapiramidal, terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih
lanjut Sindroma Neuroleptik Maligna dan komplikasinya (Bottoni, 2002).
16

BAB III. KESIMPULAN

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Yang memiliki karekteristik
seperti hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor resiko
dari SNM antara lain : faktor lingkungan dan psikologi, faktor genetic, pasien dengan
riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak organik,
gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT, penggunaan
neuroleptik tidak teratur, penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis
tinggi, dosis neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.
Gejalanya yaitu: Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea,
takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil. Gejala ekstrapiramidal meliputi
rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan diskinesia. Penatalaksaan yang
paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan terapi suportif. Terapi
farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti bromokriptin dan
amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom Neuroleptik Maligna
berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Komplikasi yang paling umum adalah
rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan akhirnya terjadi
17

kerusakan otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis
berat otot yang menjadi rhabdomiolisis.

DAFTAR PUSTAKA
18

Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,


http://www.turner-white.com (diakses jam 14.30, 5 Februari 2018).
Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome,
http://www.emedicine.com (diakses pada 04.35, 5 Februari 2018).
Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the Elderly:
Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and Treatment,
Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-45.
Jeffrey R. Strawn, M.D, Paul E. Keck, Jr., M.D, Stanley N. Caroff, M.D. 2007.
Neuroleptic Malignant Syndrome. Am J Psychiatry.

Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry.


Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-67.

Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem, Geriatrics August
2004 Volume 59, Number 8. Page 38-40.

Sholevar, DP., 2002, Neuroleptic Malignanat Syndrome, http://www.emedicine.com


(diakses pada 18.30, 5 Februari 2018).

Stanley N. Caroff, M.D, Stephan C. Mann, M.D, Paul E. Keck. Jr,. M.D, Athur Lazarus,
M.D., M.B.A. 2007. Neuroleptic Malignant Syndrome and Related Conditions.
2ndedition
19

Anda mungkin juga menyukai