Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

HEART FAILURE DAN ATRIAL FIBRILASI

Oleh :

Daning Yuniartika
132011101010

Pembimbing

dr. Dwi Ariyanti, Sp.JP-FIHA

AFKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018
LAPORAN KASUS
HEART FAILURE DAN ATRIAL FIBRILASI

LAPORAN KASUS
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSD dr.Soebandi Jember

Oleh:
Daning Yuniartika
NIM 132011101010

Dokter Pembimbing:
dr. Dwi Ariyanti, Sp.JP-FIHA

LAB/SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSD DR. SOEBANDI


JEMBER
AFKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
DAFTAR ISI

JUDUL .....................................................................................................................i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................1
BAB 2. LAPORAN KASUS..................................................................................2
2.1. Identitas penderita ......................................................................................2
2.2. Anamnesis ..................................................................................................2
2.3. Pemeriksaan fisik .......................................................................................4
2.4. Pemeriksaan penunjang .............................................................................6
2.5. Resume .....................................................................................................11
2.6. Diagnosis kerja ........................................................................................12
2.7. Penatalaksanaan .......................................................................................12
2.8.Prognosis ...................................................................................................13
2.9.Follow Up...................................................................................................13
BAB 3.PEMBAHASAN.......................................................................................15
3.1 Gagal Jantung...........................................................................................16
3.2 Kardiomiopati...........................................................................................24
3.3Atrial Fibrilasi.............................................................................................27
BAB 4. KESIMPULAN.......................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
BAB 1. PENDAHULUAN

Gagal jantung adalah suatu kondisi patologik, yang mana terdapat


kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan.
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun Negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.
Pada negara-negara di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2,0 % dan
meningkat pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis
dari gagal jantung akan jelek apabila dasar atau penyebabnya tidak diperbaiki.
Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak
diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat, lebih dari 50% akan
meninggal dalam tahun pertama (PERKI, 2015).
Fibrilasi atrium (AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam
praktik sehari-hari. Prevalensi AF mencapai 1-2% dan akan terus meningkat
dalam 50 tahun mendatang. Angka kejadian AF adalah 2,1% pada laki-laki dan
1,7% pada perempuan. Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan
morbiditas, termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien
dengan AF memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3
kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa AF (PERKI, 2015). Pada laporan kasus
kali ini akan dibahas mengenai apa itu atrial fibrilasi dan bagaimana atrial fibrilasi
menyebabkan gagal jantung.
.
BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Bangsarejo Tengah, Sumberagung
Status : Menikah
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Buruh Tani
Suku : Madura
Agama : Islam
Status Pelayanan : BPJS PBI
No. RM : 202018
Tanggal MRS : 19 Februari 2018
Tanggal pemeriksaan : 20 Februari 2018
Tanggal KRS : 22 Februari 2018
2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien pada
tanggal 20 Februari (H2MRS) di Ruang Anturium RSD DR Soebandi
Jember.

2.2.1 Keluhan Utama


Sesak dan nyeri dada

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh nyeri dada sejak H3SMRS. Nyeri dirasa seperti
tertekan benda yang berat. Awalnya nyeri dada dirasakan saat pasien
bekerja. Pasien merupakan buruh tani. Pasien mengatakan pernah
merasakan nyeri dada 6 bulan yang lalu dan sembuh setelah berobat ke
dokter. Pasien juga sering merasa sesak saat bekerja sejak ±5 bulan yang
lalu, namun pasien mengatakan bahwa sesak dapat hilang bila pasien
beristirahat. Saat tidur pasien juga sering terbangun karena mengeluhkan
sesak.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah memeriksakan tekanan darah, kadar gula darah, asam
urat, maupun pemeriksaan laboratorium lainnya.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien belum pernah menjalani pengobatan dimanapun sebelumnya.
Selain ke dokter saat nyeri dada 6 bulan yang lalu.

2.2.6 Riwayat Sosial, Lingkungan, dan Ekonomi


Pasien adalah seorang buruh tani. Saat ini pasien tinggal satu rumah
bersama dengan istri, dan 3 anaknya. Sehari-hari pasien bekerja sebagai
buruh tani. Kondisi ekonomi pasien menengah kebawah.

2.2.7 Anamnesis Sistem


Sistem serebrospinal : pusing (-)
Sistem kardiovaskular : nyeri dada kiri (+)
Sistem respirasi : sesak napas (+), batuk (-)
Sistem gastrointestinal : nyeri ulu hati (+), mual (-),BAB (+) lancar
Sistem urogenital : BAK (+) lancar
Sistem muskuloskeletal : kelemahan pada kedua kaki kanan dan kiri
(-), edema (-), atrofi (-), deformitas (-)
2.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 20 Februari 2018)
2.3.1 Pemeriksaan Umum
a. Keadaan Umum : lemah
b. Kesadaran : komposmentis
c. Tanda-tanda vital :
TD : 160/80 mmHg
N : 122 x/menit iregular, kuat angkat
RR : 24 x/menit
Tax : 36,6oC
d. Pernapasan : sesak (+), batuk (-)
e. Kulit : sianosis (-), ikterus (-), anemis (-)
f. Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran kelejar tiroid (-)
g. -Otot : akral hangat (+) pada ekstremitas superior dan
inferior, edema (-) pada ekstremitas inferior dan
superior.
h. Tulang : tidak ada deformitas dan krepitasi
i. Status gizi : BB : 57 kg
TB : 154 cm
IMT : 24,03 kg/m2Pemeriksaan Khusus
a. Kepala
1) Bentuk : bulat, simetris
2) Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut
3) Mata :
konjungtiva anemis : -/-
sklera ikterus : -/-
eksoftalmus : -/-
refleks cahaya :+/+
mata berkunang : -/-
4) Hidung :sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-),
perdarahan (-)
5) Telinga:sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
6) Mulut : mukosa bibir sianosis (-), bau (-), luka (-)
b. Leher
1) KGB : tidak ada pembesaran
2) Tiroid : tidak ada pembesaran
3) JVP : meningkat
c. Dada
1) Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS VI AAL S
Perkusi : redup di ICS II PSL D s/d ICS 2 MCL S (batas
jantung atas) serta ICS VI MCL D s/d ICS VI AAL S
Auskultasi :S1S2 irreguler, e/g/m -/-/-

2) Paru :
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
 Simetris  Simetris
 Retraksi -/-  Retraksi -/-
 Ketinggalan gerak -/-  Ketinggalan gerak -/-

Palpasi: P: Palpasi:
 Fremitus raba  Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N N N
Perkusi : Perkusi :

S S S S
S S S S
S S S S
R R R R R R R R
R R R R
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :

V V V V
V V V V
V V V V
V V V V V V V V
V V V V

Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -

Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -

Tabel 2.1 Pemeriksaan Paru Pasien


c. Perut
1) Inspeksi : Flat
2) Auskultasi : bising usus (+) normal
a. Palpasi : soepel, hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri
tekanabdomen(-)
3) Perkusi : Timpani
d. Anggota Gerak
1) Superior : akral hangat +/+, edema -/-
2) Inferior : akral hangat +/+, edema -/-
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan 19/2/18 21/2/18 Nilai Normal


Hemoglobin 11,4 - 13,5-17,5 gr/Dl
Leukosit 6,9 - 4,5-11,0 x 109/L
Hematokrit 34,5 - 41-53%
Trombosit 252 - 150-450 x 109 /L
GDA 95 - < 200 mg/dL
Albumin 3,9 - 3,4-4,8 gr/dL
Bilirubin direct - - 0.2-0.4 mg/dl
Bilirubin total - - <1,2mg/dl
SGOT 23 - 10-31U/L
SGPT 29 - 9-36U/L
Na 141,6 138.4 136-145mmol/L
K 2,46 3,37 3.4-4.5 mmol/L
Cl 107,1 102.6 90-110mmol/L
Ca 236 2.31 2.15-2.57mmol/L
Kreatinin serum 0.8 - 0.5-1.1 mg/dl
BUN 10 - 6-20 mg/dl
Urea 16 - 12-43mg/dl

Tabel 2.2 Hasil Laboratorium Pasien

2.4.2 Foto Thorax


Gambar 2.1 Foto Thorax Tanggal 19/2/2018
a. Bacaan dari foto : Kardiomegali
b. Yang didapat pada foto :
1) Identitas pasien :
Nama : Tn. M
Usia : 53 tahun
2) Tanggal pengambilan foto : 19/2/2018
3) Posisi foto : posteroanterior
4) Trakea : tidak tampak adanya deviasi
5) Sudut costophrenicus : dextra tampak tajam, sinistra tidak tampak
6) Diafragma kanan cembung, diafragma kiri cembung dan bersinggungan
dengan jantung.
7) Cardio thoracic ratio (CTR) : 79,2 % (kardiomegali)

2.4.3 EKG
Gambar 2.2 EKG 19/2/18

Resume
TemporaryProblemList
1) Anamnesis
a. Pria usia 53 tahun
b. Nyeri dada
c. Sesak
2) Pemeriksaan Fisik
a. Batas jantung melebar
b. S1S2 irreguler e/g/m -/-/+
c. Takikardi
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Thorax (19/2/18) cardiomegali
b. EKG (19/12/18) frekuensi 122x/menit
2.4.4 PermanentProblem List
1) Heart AFilure
2) Dilated Cardiomyopathy
3) Atrial Fibrilasi
2.5 Diagnosis Kerja
Heart AFilure + Dilated Cardiomyopathy + Atrial Fibriasi + Hipokalemi
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Planning Diagnostik
1) Pemeriksaan foto thorax
2) Elektrokardiogram (EKG)
3) Pemeriksaan ekokardiografi
4) Pemeriksaan Laboratorium DL, RFT, LFT, SE
2.6.2 Planning Terapi
1) O2 masker 3 lpm
2) Inf PZ 7 tpm drip KCl 2 flacon
3) AFrgoxin 1 amp IV pelan  Evaluasi EKG 4 jam kemudian
4) Inj lasix 1x1
5) Spironolakton 25 mg 0-1-0
6) Valsartan 80 mg 0-0-1
7) Simarc 2 mg 0-0-1
8) Amlodipin 5 mg 0-1-0
9) Bisoprolol 5 mg 1/2-0-1/2
2.6.3 Planning Monitoring
1) Observasi keluhan utama dan tanda vital
2) EKG basal
3) Pemeriksaan Laboratorium SE
2.6.4 Planning Edukasi
1) Istirahat yang cukup
2) Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga
penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta
usaha pencegahan komplikasi
3) Mengedukasi pasien untuk selalu kontrol ke poli jantung
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam

2.8 Follow Up
Kondisi 20/2/2018 21/2/2018 22/2/2018
Pasien
Keluhan Nyeri dada, sesak Nyeri dada, sesak berkurang Tidak ada keluhan

Tekanan 160/80 mmHg 140/60 mmHg 110/60 mmHg


Darah
Nadi 122 x/ menit 96 x/ menit 86 x/ menit
Respiratory 24 x/menit 20 x/menit 20 x/menit
Rate
Suhu 36,6°C 36,3°C 36,5°C
Tubuh
Kepala dan a/i/c/d : -/-/-/+ a/i/c/d : -/-/-/- a/i/c/d : -/-/-/-
Leher
Cor I Ictus cordis tidak Ictus cordis tidak tampak Ictus cordis tidak tampak
tampak
P Ictus cordis teraba Ictus cordis teraba Ictus cordis teraba

di ICS VI AAL sin di ICS VI AAL sin di ICS VI AAL sin


P Redup Redup Redup
A S1 S2 irreguler S1 S2 reguler S1 S2 reguler

e/g/m-/-/- e/g/m-/-/- e/g/m-/-/-


Pulmo I Simetris Simetris Simetris
P Fremitus raba +/+ Fremitus raba +/+ Fremitus raba +/+
P Sonor +/+ Sonor +/+ Sonor +/+
A Vesikuler +/+ Vesikuler +/+ Vesikuler +/+

Rhonki -/- Rhonki -/- Rhonki -/-

Wheezing -/- Wheezing -/- Wheezing -/-


Abdomen I Flat Flat Flat
A Bising usus (+) normal Bising usus (+) normal Bising usus (+) normal
P Tymphani Tymphani Tymphani
P Soepel, nyeri tekan (-) Soepel, nyeri tekan (-) Soepel, nyeri tekan (-)
Ekstermitas Akral Hangat Akral Hangat Akral Hangat

 Superior +/+  Superior +/+  Superior +/+


 Inferior +/+  Inferior +/+  Inferior +/+
Edema Edema Edema

 Superior -/-  Superior -/-  Superior -/-


 Inferior -/-  Inferior -/-  Inferior -/-
Diagnosis HF+AF+DCM+Hipokal HF+AF+DCM+Hipokalemi HF+AF+DCM+Hipokale
emi mi
Terapi O2 masker 3 lpm PZ 7 tpm drip Kcl 2 flacon PZ 7 tpm
PZ 7 tpm drip Kcl 2 Inj. Lasix 1amp 1x1 Inj. Lasix 1amp 1x1
flacon Spironolakton 50 mg 0-1-0 Spironolakton 50 mg 0-
Inj. Lasix 2amp 3x1 Simarc 2mg 0-0-1 1-0
AFrgoxin 1amp IV Valsartan 80mg 0-0-1 Simarc 2mg 0-0-1
pelan Valsartan 80mg 0-0-1
Amlodipin 10mg 0-1-0
Spironolakton 50 mg 0-
Amlodipin 10mg 0-1-0
1-0 Bisoprolol 5mg 1/2-0-1/2

Simarc 2mg 0-0-1 Bisoprolol 5mg 1/2-0-1/2

Valsartan 80mg 0-0-1

Amlodipin 10mg 0-1-0


BAB 3. PEMBAHASAN
Textbook Pasien

Heart AFilure
Anamnesis
 AFtique +
 Dyspnea +
 Shortness of breath -
Pemeriksaan fisik
Kriteria Mayor
 Paroxysmal nocturnal dypsnea +
 Ortopnea +
 Cheyne stokes respiratiom -
 Distensi vena leher +
 Ronki paru -
 Kardiomegali +
 Edema paru akut +
 Gallop S3 -
 Peningkatan tekanan vena jugularis +
 Refluks hepatojugular +
Kriteria Minor
 Edema ekstremitas -
 Dispnea d’effort +
 Hepatomegali -
 Takikardia +
 Efusi pleura -
Foto thorax
 Kardiomegali +

Dilated Cardiomyopathy
Anamnesis
 Sesak nafas +
Fatique +
Pemeriksaan fisik
 Kardiomegali +
 Pulsus alternans -
 Nafas Cheyne-Stokes -
 S3 dan S4 -
 Edema perifer -
 Asites -
 Orthopnea +
 Paroxysmal nocturnal dyspnea +
Foto penunjang
 Kardiomegali akibat dilatasi ventrikel kiri +
Elektrokardiogafi
 Sinus takikardia +
 Atrial fibrilasi +
 Premature Ventricular Contraction -

Atrial Fibrilasi
Anamnesis
 Nyeri dada +
 Fatique +
Pemeriksaan fisik
 Kardiomegali +
 Denyut jantung meningkat +
 Denyut jantung irreguler +
Elektrokardiogafi
 Gelombang P tidak telihat +

3.1 Gagal Jantung / Heart AFilure

3.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah sindroma klinis yang terjadi karena abnormalitas
struktur dan/atau fungsi jantung yang diturunkan atau didapat sehingga
menyebabkan penurunan kemampuan pompa jantung. Gagal jantung juga
merupakan kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus
memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat
istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi
cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari
gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat (PERKI, 2015).

3.1.2 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi gagal jantung yang diketahui. Berdasarkan
onset terjadinya, berdasarkan letak kegagalannya, berdasarkan fungsinya,
berdasarkan output, kemudian berdasarkan klasifikasi dari New York Heart
Association. (Alwi et al., 2016).

Berdasarkan onset terjadinya, menurut Alwi et al. tahun 2016 gagal


jantung dibagi menjadi 2 yaitu.

1. Gagal jantung akut


Suatu kondisi curah jantung yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan
penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.Dapat terjadi dengan atau
tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi
sistolik atau disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau
ketidakseimbangan dari preload atau afterload.Gagal jantung akut dapat berupa
acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung
sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik.Pada pasien yang
pernah menderita gagal jantung, seringkali pemicunya terlihat jelas seperti
aritmia, pengobatan diuretik yang tidak tuntas pada HFrEF dan volume overload
atau hipertensi berat pada HFpEF.

Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan manifestasi klinis menurut Alwi


et al. tahun 2016:
a. Gagal jantung dekompensasi (Acute decompensated congestive heart
failure)
Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada pasien yang telah
diketahui gagal jantung yang sedang dalam pengobatan dan bukti adanya
bendungan paru dan sistemik.
b. Gagal jantung akut hipertensif (Acute heart failure with
hypertension/crisishypertension)
Tanda dan gejala gagal jantung disertai peningkatan tekanan darah dan
biasanya fungsi ventrikel kiri masih baik.Terdapat bukti peningkatan tonus
simpatis dengan takikardi dan vasokonstriksi.Responnya cepat terhadap
terapi yang tepat dan mortaliti rumah sakitnya rendah.
c. Gagal jantung akut dengan edema paru (Acute heart failure with
pulmonaryedema)
Pasien yang datang dengan distress pernafasan berat, takipnoe, dan
ortopnoe, dengan ronki basah halus seluruh lapangan paru.Saturasi O2
arteri biasanya < 90° pada udara ruangan sebelum diterapi oksigen.
d. Syok kardiogenik (Cardiogenic shock/ low output syndrome)
Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah dilakukan
koreksi preload dan aritmia mayor.Bukti hipoperfusi organ dan bendungan
paru terjadi dengan cepat.
e. High output heart failure
Ditandai tingginya curah jantung, umumnya disertai laju jantung yang
sangat cepat (penyebabnya antara lain : aritmia, tirotoksikosis, anemia,
penyakit paget, iatrogenik), dengan perifer hangat, kongesti paru, dan
kadang tekanan darah yang rendah seperti pada syok septik.
f. Gagal jantung kanan (Righ-sided acute heart failure)
Ditandai oleh sindrom low output dengan peningkatan tekanan vena
sentral tanpa disertai kongesti paru. Banyak pasien gagal jantung datang
dengan gambaran klinis dan bukti laboratoris sindrom koroner akut.
Sekitar 15% pasien dengan sindrom koroner akut memiliki tanda dan
gejala gagal jantung akut.

2. Gagal jantung kronis


Suatu kondisi patologis yang diakibatkan adanya kegagalan jantung
memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan dan terjadi sejak lama.
Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom
klinik yang kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, AFtik,
baik dalam keadaan istirahat atau aktivitas, edema dan tanda objektif adanya
disfungsi jantung dalam keadaan isrirahat.
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan abnormalitas struktural jantung
(ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional
(NYHA)

Gambar 2. Klasifikasi klinis gagal jantung kronis (Hunt et al, 2005)

Berdasarkan fungsi ejeksinya menurut Alwi et al. tahun 2016 gagal


jantung dibagi menjadi 2 yaitu.
1. Gagal jantung sistolik (heart failure with a reduced ejection fraction)
merupakan ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga fraksi
ejeksi/curah jantung (cardiac ouput) menurun dan menyebabkan keluhan
hipoperfusi.
2. Gagal jantung diastolik (heart failure with preserved ejection fraction)
merupakan gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel, namun tidak
didapatkan penurunan fraksi ejeksi/curah jantung(cardiac output).
Berdasarkan letak kerusakan, menurut Alwi et al. tahun 2016 gagal
jantung dibagi menjadi 2 yaitu.
1. Gagal jantung kiri yaitu gagal jantung yang diakibatkan kelemahan ventrikel
kiri, sehingga meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru.
2. Gagal jantung kanan yaitu diakibatkan oleh melemahnya ventrikel kanan
seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder maupun tromboemboli paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik.
Berdasarkan output nya, menurut Alwi et al. tahun 2016 gagal jantung
juga dibedakan menjadi 2 yaitu.
1. Low output heart failure yaitu gagal jantung yang disertai oleh hipertensi,
kardiomiopati dilatasi, kelainan katup, dan pericardium.
2. High ouput heart failure yaitu gagal jantung yang disertai dengan adanya
penurunan resistensi vascular sistemik seperti pada hiperparatiroidisme.
Sedangkan, berdasarkan klasifikasi dari NYHA yaitu:

Kapasitas Fungsional Klinis


Kelas I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas
fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
naAFs
Kelas II Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istrahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak naAFs
Kelas III Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
istrahat, tetapi aktfitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktifitasfisik tanpa keluhan. Terdapat
gejala saat istrahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
Tabel 2. Klasifikasi NYHA berdasarkan NYHA

3.1.3 Patofisiologi
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi
jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan/ atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (filling pressure).Kerja jantung diatur
oleh dua sistem yang berbeda. Sistem pertama adalah regulasi secara intrinsik
yang melibatkan respon miokard untuk meregangkan serat otot jantung sebelum
proses kontraksi (inotropik). Hal ini disebut preload dan melibatkan proses
pengisian jantung selama diastolik seperti volume diastolik akhir. Respon miokard
untuk meningkatkan kapasitas jantung setelah kontraksi dimulai disebut
afterload.Sistem kedua merupakan regulasi secara ekstrinsik yang melibatkan
respon jantung terhadap kondisi-kondisi seperti stimulasi neural, hormon, obat
dan penyakit.Setiap perubahan pada kedua sistem tersebut menyebabkan gagal
jantung.Selain itu, sirkulasi paru dan perifer juga dapat memperburuk kondisi
hemodinamik dari gagal jantung (Kats, 2000).
A. Hukum Frank Starling
Hukum ini pertama kali dicetuskan oleh Frank dan Starling, menyebutkan
bahwa pada kondisi fisiologi normal, tekanan yang dihasilkan oleh otot yang
berkontraksi akan lebih besar bila sebelumnya otot mengalami peregangan. Hal
ini mengakibatkan selama diastolik, jika terjadi pengisian darah yang lebih besar
ke dalam ventrikel dapat menyebabkan kontraksi berikutnya menjadi penuh
tekanan (Kats, 2000).
Menurut hukum Starling, suatu peningkatan pada volume diastolik akhir
(preload) menyebabkan jantung memulai kontraksinya pada tekanan dan volume
yang lebih tinggi. Volume sistolik akhir akan sedikit meningkat namun pada
kondisi ini jantung akan bekerja pada volume diastolik akhir yang lebih besar dan
akibatnya akan mengeluarkan volume stroke yang lebih besar juga. Karena itu
jantung mempunyai kemampuan intrinsik sendiri untuk mengontrol volume
stroke.Batas atas pada kontrol ini dicapai jika diperoleh volume diastolik akhir
tertentu tercapai, sehingga menghasilkan panjang jaringan miokard yang optimal
(Kats, 2000).
B. Perubahan pada Gagal Jantung
Pada kasus terjadi gagal jantung sistolik terdapat kontraktilitas ventrikel kiri
yang terganggu sehingga terjadi pengurangan kemampuan meningkatkan volume
stroke dengan meningkatkan preload dan terjadi pergerakan kurva lebih ke
sebelah kanan/ bawah dari posisi normal. Jika kondisi ventrikel kiri memburuk,
tekanan volume jantung akan terus meningkat dan menyebabkan kongesti vena
paru.Setiap pengurangan pada preload, dengan peningkatan afterload atau
peningkatan tekanan inotropik atau keduanya akan menyebabkan pengurangan
tekanan pengisian ventrikel dan kerja ventrikel akan membaik (Kats, 2000).
Pada fase awal gagal jantung terdapat 2 mekanisme yang dapat dilakukan
untuk memperbaiki kontraktilitas miokard, yaitu:
1) mekanisme Starling
2) aktivasi sistem saraf simpatik
Selanjutnya akibat hipertropi miokard, pelemahan sistem saraf simpatik dan
pengeluaran peptida natriuretik atrium mengkompensasi peningkatan tekanan
dinding jantung. Jika penyakit bertambah parah, hipertropi menyebabkan
perburukan fungsi jantung dan menyebabkan abnormalitas aliran koroner,
morfologi kapiler, karakteristik mitokondria dan penghantaran fosfat berenergi
tinggi. Selain itu, terjadi iskemia subendokard akibat peningkatan tekanan
intraluminal, vasokontriksi akibat norepinefrin dan angiotensin II, dan juga
apoptosis yang menyebabkan fibrosis. Semua ini memperburuk kondisi gagal
jantung (Kats, 2000).
C. Aktivasi Neurohormonal
Selama ini terdapat pengertian bahwa respon neurohormonal berperan dalam
patogenesis gagal jantung. Respon ini pada awalnya menguntungkan, namun
selanjutnya menyebabkan perburukan pada gagal jantung. Respon ini
menghasilkan beberapa perubahan hemodinamik, seperti vasokontriksi dan retensi
volume air. Selain itu, respon ini juga menyebabkan reaksi inflamasi dan
berpengaruh pada pertumbuhan. Aktivasi reaksi neurohormonal dimulai dari
aktivasi sistem saraf simpatik (Kats, 2000).

Tabel 3. Respon Neurohormonal pada Gagal Jantung (Kats, 2000)

D. Disfungsi Ventrikel Kiri / Gagal Jantung Kiri


Disfungsi ventrikel kiri (LV) dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu
disfungsi sistolik (gangguan kontraksi dan ejeksi ventrikel) dan disfungsi
diastolik (gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel). Meskipun terdapat banyak
etiologi gagal jantung, namun 70% pasien mengalami disfungsi sistolik
dibandingkan dengan disfungsi diastolik sebanyak 30%. Selain itu, kebanyakan
pasien dengan disfungsi sistolik juga memiliki komponen disfungsi diastolik.
Pasien dengan gagal jantung dengan disfungsi sistolik atau diastolik tergantung
pada fraksi ejeksi (EF), yang didefinisikan sebagai jumlah darah yang dipompa
dari ventrikel dalam satu detak jantung.Jika EF <40%, itu adalah disfungsi
sistolik/HFrEF, dan jika >40%, itu adalah disfungsi diastolik/HFpEF.
Gagal jantung dengan fraksi ejeksi berkurang (HFrEF) terjadi saat sisi kiri
jantung tidak bisa memompa darah keluar ke tubuh seperti normal. Ini disebut
juga dengan istilah gagal jantung sistolik/disfungsi sistolik. Nilai fraksi ejeksi
yaitu <40%. Hal ini tejadi karena ventrikel kiri tidak bisa meremas cukup kuat
selama fase sistolik akibat adanya hipertrofi ventirkel kiri, sehingga jumlah darah
yang dipompa tidak adekuat serta darah yang keluar dari jantung kurang dari
kebutuhan tubuh. Maka akan terjadi hipoperfusi ke jaringan tubuh (Pai et al.,
2016).

Tabel 4. Penyebab Gagal Jantung Sistolik (Pai et al., 2016)

Gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tetap (HFpEF) atau gagal jantung
diastolik/disfungsi diastolik terjadi saat ventrikel kiri tidak melakukan pengisian
darah secara normal. HFpEF terjadi karena otot ventrikel kiri menjadi terlalu kaku
atau menebal. Terjadinya kekakuan pada ventrikel menyebabkan timbulnya
gangguan relaksasi serta berkurangnya pengisian darah dari atrium ke ventrikel.
Untuk mengimbangi otot jantung yang kaku, jantung harus meningkatkan tekanan
di dalam ventrikel untuk mengisi ventrikel dengan benar. Seiring berjalannya
waktu, peningkatan pengisian ini menyebabkan darah terdapat di atrium kiri dan
akhirnya masuk ke paru-paru, yang mana menyebabkan kongesti cairan dan gejala
gagal jantung. Meskipun fraksi ejeksi bernilai normal, jantung memiliki sedikit
darah di dalamnya untuk dipompa keluar. Jadi jantung memompa lebih sedikit
darah daripada yang dibutuhkan tubuh (Pai et al., 2016). Penyebab tersering
adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan
kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit
jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita
gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal (Mariyono and
Santoso, 2007).

Gambar 3. Mekanisme terjadinya Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik (Pai et al., 2016)

Jika disimpulkan, konsekuensi secara umum akibat disfungsi ventrikel


kiri/gagal jantung kiri yaitu berkurangnya cardiac output yang dapat
menyebabkan hipoperfusi global. Selain itu, disfungsi ventrikel kiri menyebabkan
peningkatan jumlah darah di ventrikel, sehingga akan terjadi peningkatan volume
akhir-sistolik dan akhir diastolik. Hal ini pada akhirnya menyebabkan peningkatan
tekanan akhir-diastolik ventrikel kiri (LVEDP) yang mana akan menyebabkan
peningkatan tekanan atrium kiri. Sehingga akan menyebabkan peningkatan
tekanan kapiler di paru-paru. Tekanan yang meningkat ini di paru-paru memaksa
cairan keluar dari kapiler paru dan menyebabkan kongesti paru dan gejala klinis
utama dispnea. Namun penting untuk dipahami bahwa gejala gagal jantung
sistolik dan diastolik akibat disfungsi ventrikel kiri/gagal jantung kiri adalah
sama. Kemudian untuk menentukan apakah pasien mengalami disfungsi sistolik
atau diastolik bergantung pada fraksi ejeksinya (EF) (Kemp and Conte, 2012).

Gambar 4. Mekanisme Gagal Jantung Kiri/Disfungsi Ventrikel Kiri (Kemp and


Conte,2012)

Tabel 6. Gejala dan tanda gagal jantung kiri/disfungsi ventrikel kiri (Kemp and Conte,
2012)
E. Disfungsi Ventrikel Kanan / Gagal Jantung Kanan
Gagal Jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk memompa
secara adekuat (Hudak & Gallo, 2011). Kegagalan jantung kanan sering kali
mengikuti kegagalan jantung kiri tetapi bisa juga disebabkan oleh karena
gangguan lain seperti atrial septal defek dan cor pulmonal (Lilly, 2011 didalam
Crawford, 2009). Pada kondisi gagal jantung kanan terjadi afterload yang
berlebihan pada ventrikel kanan karena peningkatan tekanan vaskular pulmonal
sebagai akibat dari disfungsi ventrikel kiri. Ketika ventrikel kanan mengalami
kegagalan, peningkatan tekanan diastolik akan berbalik arah ke atrium kanan yang
kemudian menyebabkan terjadinya kongesti vena sistemik (Lilly, 2011). Ini
mengakibatkan peningkatan tekanan pada sistem vena cava sehingga mengganggu
drainase vena dari tubuh. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan pada hati,
saluran gastrointestinal, dan ekstremitas bawah yang mana ditunjukan dengan
tanda dan gejala klinis berupa sakit perut, hepatomegali, dan edema perifer (Kemp
and Conte, 2012).

Tabel 7. Gejala dan tanda gagal jantung kanan/disfungsi ventrikel kanan (Kemp
and Conte, 2012)
Gambar 5. Mekanise terjadinya Gagal Jantung Kanan dan Kiri (Pai et al., 2016)

3.1.4 Manifestasi Klinik


Gagal jantung mempunyai gejala dan tanda yang khas. Gejalanya yaitu
sesak nafas saat istrahat atau aktifitas, kelelahan,edema tungkai.Sedangkan, untuk
tanda khas dari penyakit ini adalah takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura,
peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, serta hepatomegali. Tanda
objektf gangguan struktur atau fungsional jantung yaitu terjadi saat isitrahat,
adanya kardiomegali, suara jantung ke tiga (S3), murmur jantung, abnormalitas
dalam gambaran ekokardiografi, serta kenaikan konsentrasi peptida natriuretik.
Gambar 6. Gejala dan Tanda Gagal Jantung (PERKI, 2015)

Orthopnea merupakan dispnea yang terjadi pada posisi telentang. Hal ini
terjadi akibat redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstremitas bawah
ke dalam sirkulasi sentral selama posisi berbaring. Batuk malam hari adalah
manifestasi umum dari proses ini. Orthopnea umumnya dapat ditangani dengan
duduk tegak atau tidur dengan memakai bantal tambahan (Mann and Chakinala,
2015)
Paroxysmal nocturnal dypsnea (PND) mengacu pada episode akut sesak
nafas dan batuk yang parah yang umumnya terjadi pada malam hari serta
membuat pasien terbangun dari tidurnya, yang mana biasanya terjadi 1-3 jam
setelah pasien tertidur. PND dapat terjadi dikarenakan peningkatan tekanan arteri
bronkial yang mana akan menyebabkan kompresi saluran nafas, bersamaan
dengan edema paru interstisial yang menyebabkan peningkatan resistensi saluran
nafas. Pasien terus mengalami batuk terus-menerus dan mengi bahkan setelah
mereka mengambil posisi tegak.Cardiac asthma berhubungan erat dengan PND,
ditandai dengan mengi sekunder akibat bronkospasme, dan harus dibedakan dari
asma primer dan penyebab pendarahan paru (Mann and Chakinala, 2015).
Pada gagal jantung ringan atau sedang berat, pasien nampaknya merasa
nyaman saat istirahat kecuali saat berbaring datar selama lebih dari beberapa
menit. Pada gagal jantung yang lebih parah, pasien harus duduk tegak serta tidak
bia menyelesaikan kalimat saat berbicaa dikarenakan susah bernafas (Mann and
Chakinala, 2015).
Edema perifer adalah manifestasi kardinal dari HF, tapi nonspesifik dan
biasanya akan hilang pada pasien yang telah diobati secara rutin dengan diuretik.
Edema perifer biasanya simetris dan tergantung pada HF. Ini terjadi terutama pada
pergelangan kaki serta daerah pretibial pada pasien rawat jalan.Pada pasien yang
terbaring di tempat tidur, edema dapat ditemukan di daerah sakral (edema
presakral) dan skrotum (Mann and Chakinala, 2015).

Gambar 7. Perbedaan Gagal Jantung Kanan dan Kiri

Kriteria Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda


kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver
valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan
kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak
disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan
yang tidak disebut panas (warm) (Hariyono and Santoso, 2007).
Gambar 8. Kriteria Stevensom pada Gagal Jantung (Hariyono and Santoso, 2007; Alwi et
al., 2016)

3.1.5 Diagnosis
a. Anamnesis
AFtique, dispnea, shortness of breath.Keluhan dapat berupa keluhan
saluran pencernaan seperti anoreksia, nausea, dan rasa penuh.Jika berat dapat
terjadi konfusi, disorientasi, serta gangguan pola tidur dan mood (Alwi et al.,
2016).
b. Pemeriksaan Fisik
Sesak dirasakan saat posisi pasien tidur terlentang. Tekanan darah dapat
meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena disfungsi ventrikel
kiri. Penilaian perfusi perifer, suhu, peninggian tekanan vena jugularis, adanya
murmur sistolik, murmur diastolic, dan irama gallop perlu dideteksi dalam
auskultasi jantung (Alwi et al., 2016).
Kongesti paru ditandai dengan adanya rhonki basah pada kedua basal
paru.Penilaian vena jugularis dapat normal saat istirahat, tetapi dapat meningkat
dengan adanya tekanan pada abdomen (abdominojugular reflux positif).Pada
abdomen, adanya hepatomegali merupakan tanda gagal jantung.Edema
ekstremitas yang umumnya simetris dapat ditemukan (Alwi et al., 2016).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru (Mariyono and
Santoso, 2007).
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet
jantung (cardio thoraxic ratio > 50%). Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan
gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung,
meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang
sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi
ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan
foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal
jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya
(Mariyono and Santoso, 2007).

3.1.6 Tatalaksana
a. Tatalaksana Nonfarmakologi

Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan


pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan
prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal
jantung (PERKI, 2015).
1) Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada
terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
2) Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
3) Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis.
4) Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
5) Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan
angka kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 %
dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien
didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan
hati-hati.
6) Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan
di rumah sakit atau di rumah.
7) Aktvitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan
pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan
tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat.

b. Tatalaksana farmakologi
Tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk mencegah bertambah
progresifnya penyakit, mengurangi gejala / keluhan, mengurangi masa rawatan
dan mencegah kematian.Penatalaksanaan terhadap gagal jantung meliputi
(PERKI, 2015):
- Membatasi aktifitas fisik untuk mengurangi kerja jantung
- mengurangi pre load pada jantung dengan membatasi cairan dan garam,
penggunaan vasodilator untuk dilatasi vena dan penggunaan diuretik untuk
mengurangi volume cairan.
- Mengurangi after load dengan penggunaan vasodilator arteri atau
menghambat angiotensin II dengan pemakaian Angiotensin Converting
Enzyme ( ACE ) inhibitors
- Meningkatkan kontraktilitas jantung dengan pemberian inotropik positif -
Mengurangi efek adrenergik dengan antagonis reseptor β
Beberapa terapi yang digunakan dalam gagal jantung :
1) Diuretik
Pada pasien gagal jantung dengan adanya overload maka harus diberikan
diuretiks dimana pemberian lebih awal berhubungan dengan hasil yang lebih baik.
Pada pasien ini tujuan pemberian diuretik adalah mencapai peningkatan output
urin dan penurunan berat badan 0,5 – 1 kg/hari sampai tercapai euvolemia secara
klinis. Pada kasus adanya resistensi diuretik maka pemberian diuretik dapat
berupa kombinasi beberapa macam obat lebih efektif dan memiliki efek samping
yang lebih rendah dibandingkan pemberian satu jenis obat dengan dosis yang
lebih tinggi. Pada pasien yang mendapat diuretik harus dimonitor berat badan,
keseimbangan cairan masuk dan keluar, kadar elektrolit dan fungsi ginjal.
Golongan loop diuretiks ( furosemid ) merupakan diuretik kuat yang menghambat
transpor sodium keluar pada loop ascending Henle sehingga menyebabkan
meningkatnya pengeluaran cairan dan sodium. Golongan tiazid bekerja pada
tubulus distal ginjal dengan mengurangi reabsorbsi sodium dan meningkatkan
eksresi cairan. Pemberian diuretik dapat berupa kombinasi thiazid dengan loop
diuretik untuk edema yang resisten, namun harus diperhatikan secara cermat
kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia (PERKI,
2015).
2) Vasodilator
Pemberian vasodilator seperti nitrogliserin diberikan pada pasien yang
kurang respon dengan hanya pemberian diuretik. Tujuan pemberian vasodilator
akan mengurangi preload dan mempercepat pengurangan bendungan paru.
Golongan nitrat (nitrogliserin) mendilatasi arteri perifer dan vena dengan
merelaksasikan otot polos vaskuler yang menyebabkan pengurangan preload dan
afterload. Pemberian nitrat ( sublingual/IV ) mengurangi preload dan berguna
untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak
sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Oleh karena itu dosis pemberian harus
adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa
mengganggu perfusi jaringan. Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai
vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien
gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati (PERKI, 2015).
3) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
Oleh karena pentingnya aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
dalam progresifnya gagal jantung maka blokade sistem ini menjadi salah satu
dasar keberhasilan terapi. Golongan ACE inhibitor bekerja dengan memblok
pembentukan angiotensin II dan aldosteron yang menyebabkan penurunan
resistensi vaskuler dan mengurangi retensi sodium/cairan. Pasien dengan tidak
ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran terhadap ACE Inhibitor
(ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang
simtomatik dan LVEF <40% dimana dengan ACE inhibitor akan memperbaiki
fungsi ventrikel. Beberapa contoh obat golongan ACE inhibitor adalah captopril,
enalapril, lisinopril, ramipril dan trandolapril (PERKI, 2015).
4) Inotropik
Pasien dengan low output dan adanya tanda – tanda hipoperfusi atau
bendungan dipertimbangkan untuk pemberian obat inotropik seperti dopamin,
dobutamin, milrinone, enoximone dan levosimendan. Obat – obatan ini akan
memperbaiki gejala yang berhubungan dengan perfusi yang buruk dan
mempertahankan fungsi end organ pada pasien dengan disfungsi sistolik berat.
Obat inotropik memberikan hasil yang bagus pada pasien dengan hipotensi relatif
dan intoleran atau tidak respon dengan vasodilator dan diuretiks. Dobutamin dan
dopamin bekerja dengan merangsang reseptor B adrenergik sehingga
meningkatkan kontraktilitas miokard dan cardiac output (PERKI, 2015).
5) Glikosida Digoksin
Diberikan pada pasien gagal jantung dan atrial fibrilasi dimana digoksin
digunakan untuk mengurangi frekuensi jantung. Digoksin bekerja dengan
menghambat kerja sodium – potassium ATPase. Blokade terhadap enzim ini
berhubungan dengan:
 Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi ventrikelkiri.
 Menstimulasi baroreseptor jantung
 Mengurangi sekresi renin dari ginjal.
 Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan
aktifitas vagal.
Pemberian digoksin pada pasien dewasa dengan gagal jantung dan fungsi ginjal
normal dengan dosis 0,25 mg. Pada pasien tua dan adanya gangguan ginjal dosis
dikurangi menjadi 0,0625 mg sampai 0,125 mg. Efek samping obat ini dapat
berupa blok sinoatrial dan AV, aritmia serta tanda – tanda toksisitas seperti mual,
anoreksia, pusing dan gangguan penglihatan warna (PERKI, 2015).
6) Beta Bloker
Beta bloker menghambat efek sistemik saraf simpatis yang dimediasi
melalui reseptor beta-1, beta-2 dan alpha-1 pada otot jantung. Manfaat dari
pemberian B-bloker adalah :
 Mengurangi frekuensi jantung dimana memperlambat pengisian diastolik
sehingga memperbaiki perfusi miokard
 Meningkatkan LVEF (left ventricualr ejection fraction).
 Carvedilol bekerja dengan menghambat reseptor beta-1, beta-2 dan alpha-
1. Sementara itu bisoprolol, nebivolol dan metaprolol merupakan
antagonis selektif beta-1.
Beta bloker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.Beta bloker memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup (PERKI, 2015).
3.2 Kardiomiopati Dilatasi
3.2.1 Definisi
Kardiomiopati adalah sekumpulan kelainan pada jantung dengan kelainan
utama terbatas pada miokardium.Kondisi ini seringkali berakhir dengan menjadi
gagal jantung (William, 2013).

3.3 Kardiomiopati Dilatasi


3.3.1 Definisi
Kardiomiopati adalah sekumpulan kelainan pada jantung dengan kelainan
utama terbatas pada miokardium.Kondisi ini seringkali berakhir dengan menjadi
gagal jantung (William, 2013).

3.3.2 Etiologi
Etiologi terkadang dapat diketahui tetapi tidak jarang pula etiologinya
tidak diketahui.Yang tidak termasuk dalam klasifikasi penyakit ini tetapi sama-
sama menganggu miokardium dan dapat menimbulkan gagal jantung adalah
kondisi seperti hipertensi, penyakit katup, maupun penyakit arteri koroner
(William, 2013).
3.3.3 Klasifikasi
Kardiomiopati dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan perubahan anatomi
yang terjadi, yaitu kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati hipertrofi dan
kardiomiopati restriksi (William, 2013).
Kardiomiopati dilatasi adalah jenis kardiomiopati dengan ciri-ciri yaitu
terdapatnya dilatasi ruang ventrikel yang progresif dan disertai dengan disfungsi
dari kontraksi ventrikel saat sistolik. Penyakit ini memiliki banyak etiologi antara
lain: genetik, bahan toksik (alkohol, doxorubicin), peripartum, miokarditis virus,
tetapi pada sebagian besar kasus penyebabnya adalah idiopatik.1-3 Dilatasi ruang
yang terjadi lebih sering mengenai salah satu ventrikel saja. Dilatasi ruang
ventrikel biasanya diikuti pembesaran dinding ventrikel tetapi pembesaran
dinding yang terjadi masih lebih kecil dibandingkan dengan dilatasi ruang
ventrikel.2 Secara mikroskopik dapat terlihat degenerasi kardiomiosit dengan
hipertrofi yang iregular dan atrofi dari serat otot.Terkadang dapat ditemukan
fibrosis interstitial dan fibrosis perivaskular yang sangat luas (Abraham et al.,
2012; William, 2013).
3.3.4 Patofisiologi
Penyebab dari gejala klinis yang tampak pada kardiomiopati dilatasi
adalah adanya penurunan fungsi kontraksi miokardium diikuti oleh adanya
dilatasi pada ruang ventrikel.Penurunan fungsi kontraksi miokardium disebabkan
karena adanya kerusakan pada kardiomiosit. Kerusakan ini akan mengakibatkan
kontraksi ventrikel menurun, dan diikuti dengan penurunan volume sekuncup
serta curah jantung (Rossendorf, 2005; Abraham et al., 2012; Lily, 2011).
Penurunan kontraksi ventrikel jika sudah tidak dapat diatasi lagi oleh
mekanisme kompensasi (baik oleh peningkatan simpatis, mekanisme Frank-
Starling, sistem reninangiotensin-aldosteron/RAA dan vasopresin), maka akan
menyebabkan ventrikel hanya dapat memompa sejumlah kecil darah ke sirkulasi,
sehingga nantinya darah tersebut akan lebih banyak tertimbun di ventrikel,
timbunan darah inilah yang akan menyebabkan dilatasi ruang ventrikel yang
bersiAFt progresif (Abraham et al., 2012; Lily, 2011).
Dilatasi ruang yang progresif nantinya akan membuat disfungsi katup
mitral (katup mitral tidak dapat tertutup sempurna), kelainan pada katup mitral ini
akan menyebabkan terjadinya regurgitasi darah ke atrium kiri. Regurgitasi darah
ke atrium kiri memiliki tiga dampak yang buruk yaitu (Lily, 2011; William, 2013).
 Peningkatan tekanan dan volume yang berlebihan di atrium kiri sehingga
atrium kiri membesar yang akan meningkatkan resiko,
 Regurgitasi ke atrium kiri menyebabkan darah yang dipompakan oleh
ventrikel kiri lebih sedikit sehingga memperparah penurunan stroke
volume yang telah terjadi,
 Pada saat diastolik volume darah yang masuk ke atrium kiri menjadi lebih
besar karena mendapat tambahan darah yang disebabkan oleh regurgitasi
ventrikel kiri yang pada akhirnya akan menambah jumah darah di
ventrikel kiri, sehingga memperparah dilatasi yang telah terjadi.

Gambar 11. Patofisiolofi Kardiomiopati Dilatasi (Lily, 2011; William, 2013).

Penurunan stroke volume karena menurunnya kontraktilitas miokardium


dan ditambah dengan adanya regurgitasi katup mitral akan menimbulkan gejala
kelelahan dan kelemahan pada otot rangka karena kurangnya suplai darah ke otot
rangka (Lily, 2011; William, 2013).
Pada kardiomiopati dilatasi juga terjadi peningkatan tekanan pengisian
ventrikel yang akan menimbulkan gejalagejala kongesti paru seperti dispnea,
ortopnea, ronki basah dan juga gejala-gejala kongesti sistemik seperti peningkatan
tekanan vena jugularis, hepatomegali dan edema perifer (Lily, 2011; William,
2013).
Gambar 12 Kardiomiopati Dilatasi (www.wikipedia.org).
3.3.5 Manifestasi Klinis
Pasien dengan kardiomiopati dilatasi secara umum mempunyai gejala
klinis yang tidak jelas dan tiba-tiba didapati gejala gagal jantung
kongestif.Awalnya terdapat batuk karena kongesti paru, dispnea saat aktivitas
ringan, kelemahan dan anoreksia yang memburuk secara bertahap dalam hitungan
bulan sampai tahun.Bila keadaan bertambah berat, kulit menjadi dingin dan pucat,
volume dan tekanan nadi berkurang, takikardia, tekanan vena jugularis meningkat,
hepatomegali, dan edema kaki bias didapati (Wynne and Braunwald, 2015).
Dalam menentukan diagnosis pastikan keparahan penyakit, penyebab yang
mungkin (seperti alkohol atau penggunaan obat), dan gejala.Gejala yang didapat
antara lain (Wynne and Braunwald, 2015).
 AFtique
 Dispnea pada aktifitas berat
 Orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea
 Edema, berat badan, atau lingkar abdominal meningkat.

3.4 Atrial Fibrilasi


3.3.1 Definisi
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari AF adalah tiadanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang
bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, AF
biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat
(PERKI, 2015).
Ciri-ciri AF pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-
kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG,
paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.
3.3.2 Klasifikasi
Secara klinis menurut PERKI tahun 2015 AF dapat dibedakan menjadi lima
jenis menurut waktu presentasi dan durasinya, yaitu:
1. AF yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang
pertama kali datang dengan manifestasi klinis AF, tanpa memandang durasi atau
berat ringannya gejala yang muncul.
2. AF paroksismal adalah AF yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam,
namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. AF persisten adalah AF dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
AF yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. AF persisten lama (long standing persistent) adalah AF yang bertahan hingga
≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. AF permanen merupakan AF yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter
(dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila
strategi kendali irama masih digunakan maka AF masuk ke kategori AF persisten
lama.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) menurut PERKI
tahun 2015 maka AF dapat dibedakan menjadi:
1. AF dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/menit
2. AF dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit
3. AF dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit
3.3.3 Etiologi Atrial Fibrilasi
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi
beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu:
a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium
 Kelainan katub jantung
 Hipertrofi jantung
 Kardiomiopati
 Hipertensi pulmonal (chronic obstructive purmonary disease dan cor
pulmonary chronic)
 Tumor intracardiac
b. Proses Infiltratif dan Inflamasi
 Pericarditis atau miocarditis
 Amiloidosis dan sarcoidosis
 AFktor peningkatan usia
c. Kelainan Endokrin
 Hipertiroid
 Feokromotisoma
 Diabetes melitus
d. Iskemik Atrium
 InAFrk miocardial
e. Obat-obatan
 Alkohol
 Kafein
3.3.4 Patofisiologi Atrial Fibrilasi
Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu proses
aktivasi fokal dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi fokal bisa
melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses
aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis
superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava
superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik
yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial
aksi yang dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA). Sedangkan multiple wavelet
reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan melibatkan sirkuit
atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak tergantung pada
adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal, tetapi lebih tergantung
pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi.
Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau wavelet yang
dipicu oleh depolarisasi atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari fokus yang
tercetus secara cepat. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal
elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium
dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran
atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan terjadi
penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan
sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan
terjadinya atrial fibrilasi. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme
fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan
bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium
adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium
mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan
ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding
atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur
konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya
merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium (Siti et al., 2014).
3.3.5 Tanda dan Gejala Atrial Fibrilasi
Pada dasarnya, atrial fibrilasi tidak memberikan tanda dan gejala yang khas
dan spesifik pada perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari atrial fibrilasi
adalah peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama jantung dan
ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi juga memberikan
gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke jaringan,
seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Akan tetapi,
lebih dari 90% episode dari atrial fibrilasi tidak menimbulkan gejala-gejala
tersebut.
Tanda dan gejala lain pada atrial fibrilasi seperti palpitasi. Palpitasi
merupakan salah satu gejala yang sering muncul pada pasien dengan atrial
fibrilasi akibat respon ventrikel yang ireguler. Namun gejala palpitasi dapat juga
terjadi pada pasien dengan penyakit jantung lainnya. Palpitasi belum menjadi
gejala yang spesifik untuk mendasari pasien mengalami atrial fibrilasi. Untuk
menunjukkan adanya atrial fibrilasi, pasien biasanya disertai dengan keluhan
kesulitan bernafas seperti sesak, syncope, pusing dan ketidaknyamanan pada dada.
Gejala tersebut di atas dialami oleh pasien dimana pasien juga mengeluh dadanya
terasa seperti diikat, sesak nafas dan lemas.
Sering pada pasien yang berjalan, pasien merasakan sakit kepala seperti
berputar-putar dan melayang tetapi tidak sampai pingsan. Serta nadi tidak teratur,
cepat, dengan denyut sekitar 140x/menit. Atrial fibrilasi dapat disertai dengan
pingsan (syncope) ataupun dengan pusing yang tak terkendali. Kondisi ini akibat
menurunnya suplai darah ke sitemik dan ke otak (Siti et al., 2014).
3.3.6 Tata Laksana Atrial Fibrilasi
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat
mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal
kalsium non-dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan
hemodinamik stabil. Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh
dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel yang masih baik. Obat
intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk mengontrol respon irama
ventrikel. Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk mengontrol laju
ventrikel pada pasien dengan AF dan gagal jantung atau adanya hipotensi. Namun
pada AF dengan preeksitasi obat terpilih adalah antiaritmia kelas I (propafenon,
disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat yang menghambat NAV tidak
boleh digunakan pada kondisi AF dengan preeksitasi karena dapat menyebabkan
aritmia letal. Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-100 kpm. Pada layanan
kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan sekunder/tersier, untuk sementara
kendali laju dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia oral. Diharapkan
laju jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian antagonis
kanal kalsium (diltiazem 30 mg atau verapamil 80 mg), penyekat beta (propanolol
20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg). Fibrilasi atrium dengan
respon irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik dengan pemberian atropin
(mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan pemberian atropin pasien masih
simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung
sementara (PERKI, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Abraham, W.T., Acker, M.A., Ackerman, M.J., Ades. P.A., Antman, E.M., Anversa
P, et al. 2012.Braunwald Heart Disease. 9thed. Philadelphia: Elsevier.
Alwi, I., Salim, S., Hidayat, R., Kurniawan, J., and Tahapany, D.L. 2016. Panduan
Praktik Klinis Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Chakinala, M. and Mann, L.D. 2015. Heart AFilure: Pathophysiology and
Diagnosis dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine ed.19th. USA:
McGraw Hill Education.
Katz, A.M. 2000. Heart AFilure : pathophysiology, molecular biology and clinical
management. Lippincott Williams and Wilkins.
Lilly, L.S. 2011.Patophysiology of heart disease. 5ed. Philadelphia: Lippincott
William&Wilkins.
Mariyono, H.H., and Santoso, A. 2007.Gagal Jantung. J Peny Dalam, Vol. 8 No.3.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.2015. Pedomn
Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia.
William. 2013. Patofisiologi dan Patogenesis Kardiomiopati. Jakarta: Universitas
Kristen Duta Wacana.
Siti, S., et al. 2014. Gagal Jantung dan Atrial Fibrilasi. Jakarta: Interna
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai