Oleh :
Daning Yuniartika
132011101010
Pembimbing
LAPORAN KASUS
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSD dr.Soebandi Jember
Oleh:
Daning Yuniartika
NIM 132011101010
Dokter Pembimbing:
dr. Dwi Ariyanti, Sp.JP-FIHA
JUDUL .....................................................................................................................i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................................1
BAB 2. LAPORAN KASUS..................................................................................2
2.1. Identitas penderita ......................................................................................2
2.2. Anamnesis ..................................................................................................2
2.3. Pemeriksaan fisik .......................................................................................4
2.4. Pemeriksaan penunjang .............................................................................6
2.5. Resume .....................................................................................................11
2.6. Diagnosis kerja ........................................................................................12
2.7. Penatalaksanaan .......................................................................................12
2.8.Prognosis ...................................................................................................13
2.9.Follow Up...................................................................................................13
BAB 3.PEMBAHASAN.......................................................................................15
3.1 Gagal Jantung...........................................................................................16
3.2 Kardiomiopati...........................................................................................24
3.3Atrial Fibrilasi.............................................................................................27
BAB 4. KESIMPULAN.......................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
BAB 1. PENDAHULUAN
2) Paru :
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
Simetris Simetris
Retraksi -/- Retraksi -/-
Ketinggalan gerak -/- Ketinggalan gerak -/-
Palpasi: P: Palpasi:
Fremitus raba Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N N N
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S
R R R R R R R R
R R R R
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
V V V V
V V V V
V V V V
V V V V V V V V
V V V V
Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -
Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -
2.4.3 EKG
Gambar 2.2 EKG 19/2/18
Resume
TemporaryProblemList
1) Anamnesis
a. Pria usia 53 tahun
b. Nyeri dada
c. Sesak
2) Pemeriksaan Fisik
a. Batas jantung melebar
b. S1S2 irreguler e/g/m -/-/+
c. Takikardi
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Thorax (19/2/18) cardiomegali
b. EKG (19/12/18) frekuensi 122x/menit
2.4.4 PermanentProblem List
1) Heart AFilure
2) Dilated Cardiomyopathy
3) Atrial Fibrilasi
2.5 Diagnosis Kerja
Heart AFilure + Dilated Cardiomyopathy + Atrial Fibriasi + Hipokalemi
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Planning Diagnostik
1) Pemeriksaan foto thorax
2) Elektrokardiogram (EKG)
3) Pemeriksaan ekokardiografi
4) Pemeriksaan Laboratorium DL, RFT, LFT, SE
2.6.2 Planning Terapi
1) O2 masker 3 lpm
2) Inf PZ 7 tpm drip KCl 2 flacon
3) AFrgoxin 1 amp IV pelan Evaluasi EKG 4 jam kemudian
4) Inj lasix 1x1
5) Spironolakton 25 mg 0-1-0
6) Valsartan 80 mg 0-0-1
7) Simarc 2 mg 0-0-1
8) Amlodipin 5 mg 0-1-0
9) Bisoprolol 5 mg 1/2-0-1/2
2.6.3 Planning Monitoring
1) Observasi keluhan utama dan tanda vital
2) EKG basal
3) Pemeriksaan Laboratorium SE
2.6.4 Planning Edukasi
1) Istirahat yang cukup
2) Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga
penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta
usaha pencegahan komplikasi
3) Mengedukasi pasien untuk selalu kontrol ke poli jantung
2.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam
2.8 Follow Up
Kondisi 20/2/2018 21/2/2018 22/2/2018
Pasien
Keluhan Nyeri dada, sesak Nyeri dada, sesak berkurang Tidak ada keluhan
Heart AFilure
Anamnesis
AFtique +
Dyspnea +
Shortness of breath -
Pemeriksaan fisik
Kriteria Mayor
Paroxysmal nocturnal dypsnea +
Ortopnea +
Cheyne stokes respiratiom -
Distensi vena leher +
Ronki paru -
Kardiomegali +
Edema paru akut +
Gallop S3 -
Peningkatan tekanan vena jugularis +
Refluks hepatojugular +
Kriteria Minor
Edema ekstremitas -
Dispnea d’effort +
Hepatomegali -
Takikardia +
Efusi pleura -
Foto thorax
Kardiomegali +
Dilated Cardiomyopathy
Anamnesis
Sesak nafas +
Fatique +
Pemeriksaan fisik
Kardiomegali +
Pulsus alternans -
Nafas Cheyne-Stokes -
S3 dan S4 -
Edema perifer -
Asites -
Orthopnea +
Paroxysmal nocturnal dyspnea +
Foto penunjang
Kardiomegali akibat dilatasi ventrikel kiri +
Elektrokardiogafi
Sinus takikardia +
Atrial fibrilasi +
Premature Ventricular Contraction -
Atrial Fibrilasi
Anamnesis
Nyeri dada +
Fatique +
Pemeriksaan fisik
Kardiomegali +
Denyut jantung meningkat +
Denyut jantung irreguler +
Elektrokardiogafi
Gelombang P tidak telihat +
3.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah sindroma klinis yang terjadi karena abnormalitas
struktur dan/atau fungsi jantung yang diturunkan atau didapat sehingga
menyebabkan penurunan kemampuan pompa jantung. Gagal jantung juga
merupakan kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus
memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat
istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi
cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari
gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat (PERKI, 2015).
3.1.2 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi gagal jantung yang diketahui. Berdasarkan
onset terjadinya, berdasarkan letak kegagalannya, berdasarkan fungsinya,
berdasarkan output, kemudian berdasarkan klasifikasi dari New York Heart
Association. (Alwi et al., 2016).
3.1.3 Patofisiologi
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi
jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan/ atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (filling pressure).Kerja jantung diatur
oleh dua sistem yang berbeda. Sistem pertama adalah regulasi secara intrinsik
yang melibatkan respon miokard untuk meregangkan serat otot jantung sebelum
proses kontraksi (inotropik). Hal ini disebut preload dan melibatkan proses
pengisian jantung selama diastolik seperti volume diastolik akhir. Respon miokard
untuk meningkatkan kapasitas jantung setelah kontraksi dimulai disebut
afterload.Sistem kedua merupakan regulasi secara ekstrinsik yang melibatkan
respon jantung terhadap kondisi-kondisi seperti stimulasi neural, hormon, obat
dan penyakit.Setiap perubahan pada kedua sistem tersebut menyebabkan gagal
jantung.Selain itu, sirkulasi paru dan perifer juga dapat memperburuk kondisi
hemodinamik dari gagal jantung (Kats, 2000).
A. Hukum Frank Starling
Hukum ini pertama kali dicetuskan oleh Frank dan Starling, menyebutkan
bahwa pada kondisi fisiologi normal, tekanan yang dihasilkan oleh otot yang
berkontraksi akan lebih besar bila sebelumnya otot mengalami peregangan. Hal
ini mengakibatkan selama diastolik, jika terjadi pengisian darah yang lebih besar
ke dalam ventrikel dapat menyebabkan kontraksi berikutnya menjadi penuh
tekanan (Kats, 2000).
Menurut hukum Starling, suatu peningkatan pada volume diastolik akhir
(preload) menyebabkan jantung memulai kontraksinya pada tekanan dan volume
yang lebih tinggi. Volume sistolik akhir akan sedikit meningkat namun pada
kondisi ini jantung akan bekerja pada volume diastolik akhir yang lebih besar dan
akibatnya akan mengeluarkan volume stroke yang lebih besar juga. Karena itu
jantung mempunyai kemampuan intrinsik sendiri untuk mengontrol volume
stroke.Batas atas pada kontrol ini dicapai jika diperoleh volume diastolik akhir
tertentu tercapai, sehingga menghasilkan panjang jaringan miokard yang optimal
(Kats, 2000).
B. Perubahan pada Gagal Jantung
Pada kasus terjadi gagal jantung sistolik terdapat kontraktilitas ventrikel kiri
yang terganggu sehingga terjadi pengurangan kemampuan meningkatkan volume
stroke dengan meningkatkan preload dan terjadi pergerakan kurva lebih ke
sebelah kanan/ bawah dari posisi normal. Jika kondisi ventrikel kiri memburuk,
tekanan volume jantung akan terus meningkat dan menyebabkan kongesti vena
paru.Setiap pengurangan pada preload, dengan peningkatan afterload atau
peningkatan tekanan inotropik atau keduanya akan menyebabkan pengurangan
tekanan pengisian ventrikel dan kerja ventrikel akan membaik (Kats, 2000).
Pada fase awal gagal jantung terdapat 2 mekanisme yang dapat dilakukan
untuk memperbaiki kontraktilitas miokard, yaitu:
1) mekanisme Starling
2) aktivasi sistem saraf simpatik
Selanjutnya akibat hipertropi miokard, pelemahan sistem saraf simpatik dan
pengeluaran peptida natriuretik atrium mengkompensasi peningkatan tekanan
dinding jantung. Jika penyakit bertambah parah, hipertropi menyebabkan
perburukan fungsi jantung dan menyebabkan abnormalitas aliran koroner,
morfologi kapiler, karakteristik mitokondria dan penghantaran fosfat berenergi
tinggi. Selain itu, terjadi iskemia subendokard akibat peningkatan tekanan
intraluminal, vasokontriksi akibat norepinefrin dan angiotensin II, dan juga
apoptosis yang menyebabkan fibrosis. Semua ini memperburuk kondisi gagal
jantung (Kats, 2000).
C. Aktivasi Neurohormonal
Selama ini terdapat pengertian bahwa respon neurohormonal berperan dalam
patogenesis gagal jantung. Respon ini pada awalnya menguntungkan, namun
selanjutnya menyebabkan perburukan pada gagal jantung. Respon ini
menghasilkan beberapa perubahan hemodinamik, seperti vasokontriksi dan retensi
volume air. Selain itu, respon ini juga menyebabkan reaksi inflamasi dan
berpengaruh pada pertumbuhan. Aktivasi reaksi neurohormonal dimulai dari
aktivasi sistem saraf simpatik (Kats, 2000).
Gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang tetap (HFpEF) atau gagal jantung
diastolik/disfungsi diastolik terjadi saat ventrikel kiri tidak melakukan pengisian
darah secara normal. HFpEF terjadi karena otot ventrikel kiri menjadi terlalu kaku
atau menebal. Terjadinya kekakuan pada ventrikel menyebabkan timbulnya
gangguan relaksasi serta berkurangnya pengisian darah dari atrium ke ventrikel.
Untuk mengimbangi otot jantung yang kaku, jantung harus meningkatkan tekanan
di dalam ventrikel untuk mengisi ventrikel dengan benar. Seiring berjalannya
waktu, peningkatan pengisian ini menyebabkan darah terdapat di atrium kiri dan
akhirnya masuk ke paru-paru, yang mana menyebabkan kongesti cairan dan gejala
gagal jantung. Meskipun fraksi ejeksi bernilai normal, jantung memiliki sedikit
darah di dalamnya untuk dipompa keluar. Jadi jantung memompa lebih sedikit
darah daripada yang dibutuhkan tubuh (Pai et al., 2016). Penyebab tersering
adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan
kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit
jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita
gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal (Mariyono and
Santoso, 2007).
Gambar 3. Mekanisme terjadinya Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik (Pai et al., 2016)
Tabel 6. Gejala dan tanda gagal jantung kiri/disfungsi ventrikel kiri (Kemp and Conte,
2012)
E. Disfungsi Ventrikel Kanan / Gagal Jantung Kanan
Gagal Jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk memompa
secara adekuat (Hudak & Gallo, 2011). Kegagalan jantung kanan sering kali
mengikuti kegagalan jantung kiri tetapi bisa juga disebabkan oleh karena
gangguan lain seperti atrial septal defek dan cor pulmonal (Lilly, 2011 didalam
Crawford, 2009). Pada kondisi gagal jantung kanan terjadi afterload yang
berlebihan pada ventrikel kanan karena peningkatan tekanan vaskular pulmonal
sebagai akibat dari disfungsi ventrikel kiri. Ketika ventrikel kanan mengalami
kegagalan, peningkatan tekanan diastolik akan berbalik arah ke atrium kanan yang
kemudian menyebabkan terjadinya kongesti vena sistemik (Lilly, 2011). Ini
mengakibatkan peningkatan tekanan pada sistem vena cava sehingga mengganggu
drainase vena dari tubuh. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan pada hati,
saluran gastrointestinal, dan ekstremitas bawah yang mana ditunjukan dengan
tanda dan gejala klinis berupa sakit perut, hepatomegali, dan edema perifer (Kemp
and Conte, 2012).
Tabel 7. Gejala dan tanda gagal jantung kanan/disfungsi ventrikel kanan (Kemp
and Conte, 2012)
Gambar 5. Mekanise terjadinya Gagal Jantung Kanan dan Kiri (Pai et al., 2016)
Orthopnea merupakan dispnea yang terjadi pada posisi telentang. Hal ini
terjadi akibat redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstremitas bawah
ke dalam sirkulasi sentral selama posisi berbaring. Batuk malam hari adalah
manifestasi umum dari proses ini. Orthopnea umumnya dapat ditangani dengan
duduk tegak atau tidur dengan memakai bantal tambahan (Mann and Chakinala,
2015)
Paroxysmal nocturnal dypsnea (PND) mengacu pada episode akut sesak
nafas dan batuk yang parah yang umumnya terjadi pada malam hari serta
membuat pasien terbangun dari tidurnya, yang mana biasanya terjadi 1-3 jam
setelah pasien tertidur. PND dapat terjadi dikarenakan peningkatan tekanan arteri
bronkial yang mana akan menyebabkan kompresi saluran nafas, bersamaan
dengan edema paru interstisial yang menyebabkan peningkatan resistensi saluran
nafas. Pasien terus mengalami batuk terus-menerus dan mengi bahkan setelah
mereka mengambil posisi tegak.Cardiac asthma berhubungan erat dengan PND,
ditandai dengan mengi sekunder akibat bronkospasme, dan harus dibedakan dari
asma primer dan penyebab pendarahan paru (Mann and Chakinala, 2015).
Pada gagal jantung ringan atau sedang berat, pasien nampaknya merasa
nyaman saat istirahat kecuali saat berbaring datar selama lebih dari beberapa
menit. Pada gagal jantung yang lebih parah, pasien harus duduk tegak serta tidak
bia menyelesaikan kalimat saat berbicaa dikarenakan susah bernafas (Mann and
Chakinala, 2015).
Edema perifer adalah manifestasi kardinal dari HF, tapi nonspesifik dan
biasanya akan hilang pada pasien yang telah diobati secara rutin dengan diuretik.
Edema perifer biasanya simetris dan tergantung pada HF. Ini terjadi terutama pada
pergelangan kaki serta daerah pretibial pada pasien rawat jalan.Pada pasien yang
terbaring di tempat tidur, edema dapat ditemukan di daerah sakral (edema
presakral) dan skrotum (Mann and Chakinala, 2015).
3.1.5 Diagnosis
a. Anamnesis
AFtique, dispnea, shortness of breath.Keluhan dapat berupa keluhan
saluran pencernaan seperti anoreksia, nausea, dan rasa penuh.Jika berat dapat
terjadi konfusi, disorientasi, serta gangguan pola tidur dan mood (Alwi et al.,
2016).
b. Pemeriksaan Fisik
Sesak dirasakan saat posisi pasien tidur terlentang. Tekanan darah dapat
meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena disfungsi ventrikel
kiri. Penilaian perfusi perifer, suhu, peninggian tekanan vena jugularis, adanya
murmur sistolik, murmur diastolic, dan irama gallop perlu dideteksi dalam
auskultasi jantung (Alwi et al., 2016).
Kongesti paru ditandai dengan adanya rhonki basah pada kedua basal
paru.Penilaian vena jugularis dapat normal saat istirahat, tetapi dapat meningkat
dengan adanya tekanan pada abdomen (abdominojugular reflux positif).Pada
abdomen, adanya hepatomegali merupakan tanda gagal jantung.Edema
ekstremitas yang umumnya simetris dapat ditemukan (Alwi et al., 2016).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru (Mariyono and
Santoso, 2007).
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet
jantung (cardio thoraxic ratio > 50%). Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan
gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung,
meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang
sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi
ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan
foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal
jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya
(Mariyono and Santoso, 2007).
3.1.6 Tatalaksana
a. Tatalaksana Nonfarmakologi
b. Tatalaksana farmakologi
Tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk mencegah bertambah
progresifnya penyakit, mengurangi gejala / keluhan, mengurangi masa rawatan
dan mencegah kematian.Penatalaksanaan terhadap gagal jantung meliputi
(PERKI, 2015):
- Membatasi aktifitas fisik untuk mengurangi kerja jantung
- mengurangi pre load pada jantung dengan membatasi cairan dan garam,
penggunaan vasodilator untuk dilatasi vena dan penggunaan diuretik untuk
mengurangi volume cairan.
- Mengurangi after load dengan penggunaan vasodilator arteri atau
menghambat angiotensin II dengan pemakaian Angiotensin Converting
Enzyme ( ACE ) inhibitors
- Meningkatkan kontraktilitas jantung dengan pemberian inotropik positif -
Mengurangi efek adrenergik dengan antagonis reseptor β
Beberapa terapi yang digunakan dalam gagal jantung :
1) Diuretik
Pada pasien gagal jantung dengan adanya overload maka harus diberikan
diuretiks dimana pemberian lebih awal berhubungan dengan hasil yang lebih baik.
Pada pasien ini tujuan pemberian diuretik adalah mencapai peningkatan output
urin dan penurunan berat badan 0,5 – 1 kg/hari sampai tercapai euvolemia secara
klinis. Pada kasus adanya resistensi diuretik maka pemberian diuretik dapat
berupa kombinasi beberapa macam obat lebih efektif dan memiliki efek samping
yang lebih rendah dibandingkan pemberian satu jenis obat dengan dosis yang
lebih tinggi. Pada pasien yang mendapat diuretik harus dimonitor berat badan,
keseimbangan cairan masuk dan keluar, kadar elektrolit dan fungsi ginjal.
Golongan loop diuretiks ( furosemid ) merupakan diuretik kuat yang menghambat
transpor sodium keluar pada loop ascending Henle sehingga menyebabkan
meningkatnya pengeluaran cairan dan sodium. Golongan tiazid bekerja pada
tubulus distal ginjal dengan mengurangi reabsorbsi sodium dan meningkatkan
eksresi cairan. Pemberian diuretik dapat berupa kombinasi thiazid dengan loop
diuretik untuk edema yang resisten, namun harus diperhatikan secara cermat
kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia (PERKI,
2015).
2) Vasodilator
Pemberian vasodilator seperti nitrogliserin diberikan pada pasien yang
kurang respon dengan hanya pemberian diuretik. Tujuan pemberian vasodilator
akan mengurangi preload dan mempercepat pengurangan bendungan paru.
Golongan nitrat (nitrogliserin) mendilatasi arteri perifer dan vena dengan
merelaksasikan otot polos vaskuler yang menyebabkan pengurangan preload dan
afterload. Pemberian nitrat ( sublingual/IV ) mengurangi preload dan berguna
untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak
sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Oleh karena itu dosis pemberian harus
adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa
mengganggu perfusi jaringan. Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai
vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien
gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati (PERKI, 2015).
3) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
Oleh karena pentingnya aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
dalam progresifnya gagal jantung maka blokade sistem ini menjadi salah satu
dasar keberhasilan terapi. Golongan ACE inhibitor bekerja dengan memblok
pembentukan angiotensin II dan aldosteron yang menyebabkan penurunan
resistensi vaskuler dan mengurangi retensi sodium/cairan. Pasien dengan tidak
ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran terhadap ACE Inhibitor
(ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang
simtomatik dan LVEF <40% dimana dengan ACE inhibitor akan memperbaiki
fungsi ventrikel. Beberapa contoh obat golongan ACE inhibitor adalah captopril,
enalapril, lisinopril, ramipril dan trandolapril (PERKI, 2015).
4) Inotropik
Pasien dengan low output dan adanya tanda – tanda hipoperfusi atau
bendungan dipertimbangkan untuk pemberian obat inotropik seperti dopamin,
dobutamin, milrinone, enoximone dan levosimendan. Obat – obatan ini akan
memperbaiki gejala yang berhubungan dengan perfusi yang buruk dan
mempertahankan fungsi end organ pada pasien dengan disfungsi sistolik berat.
Obat inotropik memberikan hasil yang bagus pada pasien dengan hipotensi relatif
dan intoleran atau tidak respon dengan vasodilator dan diuretiks. Dobutamin dan
dopamin bekerja dengan merangsang reseptor B adrenergik sehingga
meningkatkan kontraktilitas miokard dan cardiac output (PERKI, 2015).
5) Glikosida Digoksin
Diberikan pada pasien gagal jantung dan atrial fibrilasi dimana digoksin
digunakan untuk mengurangi frekuensi jantung. Digoksin bekerja dengan
menghambat kerja sodium – potassium ATPase. Blokade terhadap enzim ini
berhubungan dengan:
Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi ventrikelkiri.
Menstimulasi baroreseptor jantung
Mengurangi sekresi renin dari ginjal.
Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan
aktifitas vagal.
Pemberian digoksin pada pasien dewasa dengan gagal jantung dan fungsi ginjal
normal dengan dosis 0,25 mg. Pada pasien tua dan adanya gangguan ginjal dosis
dikurangi menjadi 0,0625 mg sampai 0,125 mg. Efek samping obat ini dapat
berupa blok sinoatrial dan AV, aritmia serta tanda – tanda toksisitas seperti mual,
anoreksia, pusing dan gangguan penglihatan warna (PERKI, 2015).
6) Beta Bloker
Beta bloker menghambat efek sistemik saraf simpatis yang dimediasi
melalui reseptor beta-1, beta-2 dan alpha-1 pada otot jantung. Manfaat dari
pemberian B-bloker adalah :
Mengurangi frekuensi jantung dimana memperlambat pengisian diastolik
sehingga memperbaiki perfusi miokard
Meningkatkan LVEF (left ventricualr ejection fraction).
Carvedilol bekerja dengan menghambat reseptor beta-1, beta-2 dan alpha-
1. Sementara itu bisoprolol, nebivolol dan metaprolol merupakan
antagonis selektif beta-1.
Beta bloker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.Beta bloker memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup (PERKI, 2015).
3.2 Kardiomiopati Dilatasi
3.2.1 Definisi
Kardiomiopati adalah sekumpulan kelainan pada jantung dengan kelainan
utama terbatas pada miokardium.Kondisi ini seringkali berakhir dengan menjadi
gagal jantung (William, 2013).
3.3.2 Etiologi
Etiologi terkadang dapat diketahui tetapi tidak jarang pula etiologinya
tidak diketahui.Yang tidak termasuk dalam klasifikasi penyakit ini tetapi sama-
sama menganggu miokardium dan dapat menimbulkan gagal jantung adalah
kondisi seperti hipertensi, penyakit katup, maupun penyakit arteri koroner
(William, 2013).
3.3.3 Klasifikasi
Kardiomiopati dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan perubahan anatomi
yang terjadi, yaitu kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati hipertrofi dan
kardiomiopati restriksi (William, 2013).
Kardiomiopati dilatasi adalah jenis kardiomiopati dengan ciri-ciri yaitu
terdapatnya dilatasi ruang ventrikel yang progresif dan disertai dengan disfungsi
dari kontraksi ventrikel saat sistolik. Penyakit ini memiliki banyak etiologi antara
lain: genetik, bahan toksik (alkohol, doxorubicin), peripartum, miokarditis virus,
tetapi pada sebagian besar kasus penyebabnya adalah idiopatik.1-3 Dilatasi ruang
yang terjadi lebih sering mengenai salah satu ventrikel saja. Dilatasi ruang
ventrikel biasanya diikuti pembesaran dinding ventrikel tetapi pembesaran
dinding yang terjadi masih lebih kecil dibandingkan dengan dilatasi ruang
ventrikel.2 Secara mikroskopik dapat terlihat degenerasi kardiomiosit dengan
hipertrofi yang iregular dan atrofi dari serat otot.Terkadang dapat ditemukan
fibrosis interstitial dan fibrosis perivaskular yang sangat luas (Abraham et al.,
2012; William, 2013).
3.3.4 Patofisiologi
Penyebab dari gejala klinis yang tampak pada kardiomiopati dilatasi
adalah adanya penurunan fungsi kontraksi miokardium diikuti oleh adanya
dilatasi pada ruang ventrikel.Penurunan fungsi kontraksi miokardium disebabkan
karena adanya kerusakan pada kardiomiosit. Kerusakan ini akan mengakibatkan
kontraksi ventrikel menurun, dan diikuti dengan penurunan volume sekuncup
serta curah jantung (Rossendorf, 2005; Abraham et al., 2012; Lily, 2011).
Penurunan kontraksi ventrikel jika sudah tidak dapat diatasi lagi oleh
mekanisme kompensasi (baik oleh peningkatan simpatis, mekanisme Frank-
Starling, sistem reninangiotensin-aldosteron/RAA dan vasopresin), maka akan
menyebabkan ventrikel hanya dapat memompa sejumlah kecil darah ke sirkulasi,
sehingga nantinya darah tersebut akan lebih banyak tertimbun di ventrikel,
timbunan darah inilah yang akan menyebabkan dilatasi ruang ventrikel yang
bersiAFt progresif (Abraham et al., 2012; Lily, 2011).
Dilatasi ruang yang progresif nantinya akan membuat disfungsi katup
mitral (katup mitral tidak dapat tertutup sempurna), kelainan pada katup mitral ini
akan menyebabkan terjadinya regurgitasi darah ke atrium kiri. Regurgitasi darah
ke atrium kiri memiliki tiga dampak yang buruk yaitu (Lily, 2011; William, 2013).
Peningkatan tekanan dan volume yang berlebihan di atrium kiri sehingga
atrium kiri membesar yang akan meningkatkan resiko,
Regurgitasi ke atrium kiri menyebabkan darah yang dipompakan oleh
ventrikel kiri lebih sedikit sehingga memperparah penurunan stroke
volume yang telah terjadi,
Pada saat diastolik volume darah yang masuk ke atrium kiri menjadi lebih
besar karena mendapat tambahan darah yang disebabkan oleh regurgitasi
ventrikel kiri yang pada akhirnya akan menambah jumah darah di
ventrikel kiri, sehingga memperparah dilatasi yang telah terjadi.
Abraham, W.T., Acker, M.A., Ackerman, M.J., Ades. P.A., Antman, E.M., Anversa
P, et al. 2012.Braunwald Heart Disease. 9thed. Philadelphia: Elsevier.
Alwi, I., Salim, S., Hidayat, R., Kurniawan, J., and Tahapany, D.L. 2016. Panduan
Praktik Klinis Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Chakinala, M. and Mann, L.D. 2015. Heart AFilure: Pathophysiology and
Diagnosis dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine ed.19th. USA:
McGraw Hill Education.
Katz, A.M. 2000. Heart AFilure : pathophysiology, molecular biology and clinical
management. Lippincott Williams and Wilkins.
Lilly, L.S. 2011.Patophysiology of heart disease. 5ed. Philadelphia: Lippincott
William&Wilkins.
Mariyono, H.H., and Santoso, A. 2007.Gagal Jantung. J Peny Dalam, Vol. 8 No.3.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.2015. Pedomn
Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia.
William. 2013. Patofisiologi dan Patogenesis Kardiomiopati. Jakarta: Universitas
Kristen Duta Wacana.
Siti, S., et al. 2014. Gagal Jantung dan Atrial Fibrilasi. Jakarta: Interna
Publishing.