HEMORHOID
Oleh :
DANING YUNIARTIKA
132011101010
Pembimbing:
2017
BAB 1. HEMORRHOID
1.1 Definisi
Hemorrhoid adalah jaringan normal yang terdapat pada semua orang, yang terdiri atas
pleksus arteri vena, berfungsi sebagai katup di dalam saluran anus untuk membantu sistem
sfingter anus, mencegah inkontinensia flatus dan cairan. Apabila hemorrhoid menyebabkan
keluhan, baru dilakukan tindakan (Sjamsuhidajat, 2010). Hemorrhoid adalah varikositis
akibat pelebaran pleksus vena hemorrhoidalis interna (Isselbacher, 2000).
1.2 Etiologi
Menurut Mutaqqin (2011), beberapa predisposisi penting yang dapat meningkatkan
risiko hemoroid seperti berikut:
Anal canal adalah akhir dari usus besar dengan panjang 4 cm dari rektum hingga
orifisium anal. Setengah bagian ke bawah dari anal canal dilapisi oleh epitel skuamosa dan
setengah bagian ke atas oleh epitel kolumnar. Pada bagian yang dilapisi oleh epitel kolumnar
tersebut membentuk lajur mukosa (lajur morgagni). Suplai darah bagian atas anal canal
berasal dari pembuluh rektal superior sedangkan bagian bawahnya berasal dari pembuluh
rektal inferior. Kedua pembuluh tersebut merupakan percabangan pembuluh darah rektal
yang berasal dari arteri pudendal interna. Arteri ini adalah salah satu cabang arteri iliaka
interna. Arteri-arteri tersebut akan membentuk pleksus disekitar orifisium anal.
Hemoroid adalah bantalan vaskular yang terdapat di anal canal yang biasanya
ditemukan di tiga daerah utama yaitu kiri samping, kanan depan, dan bagian kanan belakang.
Hemoroid berada dibawah lapisan epitel anal canal dan terdiri dari plexus arteriovenosus
terutama antara cabang terminal arteri rektal superior dan arteri hemoroid superior. Selain itu
hemoroid juga menghubungkan antara arteri hemoroid dengan jaringan sekitar. Persarafan
pada bagian atas anal canal disuplai oleh plexus otonom, bagian bawah dipersarafi oleh saraf
somatik rektal inferior yang merupakan akhir percabangan saraf pudendal (Snell, 2006).
1.4 Patofisiologi
Hemoroid dianggap terjadi akibat kongesti dan pembesaran “fibrovasculer cushion”
(bantalan fibrovaskuler) sepanjang mukosa anus. Dalam keadaan normal, bantalan
fibrovaskuler ini berfungsi mempertahankan mekanisme kontinens defekasi pada saat
tekanan intrarektal meningkat. Apabila seseorang batuk, bersin, mengedan, kelompok
fibrovaskuler ini mengalami kongesti dan membesar, untuk turut menahan muncratnya feses
bersama mekanisme sfingter. Bantalan fibrovaskuler ini juga perlu dalam menerima sensasi
massa rektal yang melewatinya, apakah cair, solid, atau gas. Telah disepakati bahwa
keseringan mengedan /chronic straining akibat konstipasi, diare, merupakan penyebab
patologis hemoroid. Akibat keseringan mengedan yang kronik, daya lekat bantalan
fibrovaskuler tersebut dengan dinding anorektal dibawahnya sehingga terjadi prolaps jaringan
hemoroid interna melalui kanalis ani. Nutrisi rendah serat, konstipasi, pregnansi dapat
meningkatkan tekanan intra abdomen dan tekanan haemorrhoidial, mengakibatkan distensi
vena haemorrhoidal. Ketika rectal ampulla membentuk tonjolan, abstruksi vena terjadi.
Sebagai akibat dari terulangnya dan terjadi dalam waktu lama peningkatan tekanan dan
obtruksi, dilatasi permanen vena haemorrhoidal terjadi. Akibat dari distensi
itu, trombosis dan perdarahan terjadi. Komplikasi utama adalah perdarahan trombosis dan
stragulasi haemorrhoid. Perdarahan hebat dari trauma pada vena selama defekasi dapat
menyebabkan volume darah menurun dan dapat menimbulkan resiko kekurangan cairan dan
dari perdarahan terjadi resiko injuri yang mengakibatkan resiko infeksi. Trombosis dapat
terjadi sewaktu-waktu dimanifestasikan oleh intensitas nyeri, dapat menimbulkan takut untuk
BAB yang menyebabkan feses mengeras dan terjadi resiko konstipasi. Sementara itu,
kongesti hemoroid juga .menyebabkan penipisan/perapuhan mukosa di atasnya sehingga
vaskularisasi meningkat. Secara anatomis, koneksi arteriovenosa, adalah normal tejadi di
bantalan hemoroid tersebut. Dengan semakin menipisnya mukosa di atas bantalan
fibrovaskuler disertai kongesti, jaringan vaskuler pecah dan menimbulkan perdarahan yang
segar (hematoskesia).pada saat defekasi yang disertai feses keras/mengedan.
1.5 Klasifikasi
Menurut Sjamsuhidayat tahun 2010, hemorhoid dibagi menjadi dua, hemorhoid
eksterna dan interna.
a. Hemorhoid eksterna
Hemoroid eksternal, berasal dari dari bagian distal dentate line dan dilapisi oleh epitel
skuamos yang telah termodifikasi serta banyak persarafan serabut saraf nyeri somatik.
Ada 3 bentuk yang sering dijumpai:
Bentuk hemorrhoid biasa tapi letaknya distal linea pectinea
Bentuk trombosis atau benjolan hemorrhoid yang terjepit
Bentuk skin tags
Biasanya benjolan ini keluar dari anus kalau penderita disuruh mengedan, tapi dapat
dimasukkan kembali dengan cara menekan benjolan dengan jari. Rasa nyeri pada
perabaan menandakan adanya trombosis, yang biasanya disertai penyulit seperti infeksi,
abses perianal atau koreng. Ini harus dibedakan dengan hemorrhoid eksterna yang
prolaps dan terjepit, terutama kalau ada edema besar menutupinya. Sedangkan penderita
skin tags tidak mempunyai keluhan, kecuali kalau ada infeksi (Isselbacher, 2000).
b. Hemorhoid Interna
Hemorhoid interna adalah pleksus vena hemorhoidalis superior di atas dentate line
dan ditutupi oleh mukosa. Hemorhoid interna sering dijumpai pada tiga posisi primer
yaitu kanan-depan, kanan-belakang, dan kiri lateral (Sjamsuhidajat, 2010). Hemorhoid
interna dapat menjadi prolaps dan berdarah terkadang juga menjadi sangat nyeri apabila
berkembang menjadi trombosis dan nekrosis (biasanya terjadi prolaps yang berat,
inkarserasi dan atau strangulasi). Hemorhoid interna sesuai dengan tingkat prolapsnya
diklasifikasikan menjadi 4 derajat, yaitu:
Tingkat I : perdarahan merah segar tanpa nyeri pada waktu defekasi dan pada
anoskopi terlihat permukaan dari benjolan hemorrhoid.
Tingkat II : perdarahan atau tanpa perdarahan, tetapi sesudah defekasi terjadi prolaps
hemorrhoid yang dapat masuk sendiri.
Tingkat III : perdarahan atau tanpa perdarahan sesudah defekasi dengan prolaps
hemorrhoid yang tidak dapat masuk sendiri, harus didorong dengan jari.
Tingkat IV : hemorrhoid yang terjepit dan sesudah reposisi akan keluar lagi.
1.7 Pemeriksaan
Pemeriksaan pada hemorhoid dilakukan secara subjektif dan objektif.
a. Pemeriksaan Subjektif
Pemeriksaan subjektif dilakukan melalui anamnesis meliputi:
Riwayat obstipasi
Defekasi yang keras, yang membutuhkan tekanan abdominal yang meninggi
(mengejan), pasien sering duduk lama di WC, dan dapat disertai rasa nyeri bila
terjadi peradangan.
Keluhan prolaps perianal atau benjolan, rasa tidak nyaman, sakit, atau bengkak.
b. Pemeriksaan Objektif
Inspeksi
Pada inspeksi, hemorhoid eksterna mudah terlihat apalagi bila sudah mengalami
trombus, sedangkan hemorhoid eksterna sudah dapat terlihat terlihat pada
pemeriksaan, saat istirahat atau ketika berbaring. Hemorhoid interna yang prolaps
dapat terlihat sebagai benjolan yang tertutup mukosa. Untuk membuat prolaps
dapat dengan menyuruh pasien untuk mengejan.
Rectal Toucher (Colok Dubur)
Pada pemeriksaan colok dubur, hemorhoid interna tidak dapat diraba sebab tekanan
vena di dalamnya tidak cukup tinggi. Colok dubur diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan karsinoma rektum.
Anoskopi
Penilaian dengan anoskop diperlukan untuk melihat hemorhoid interna yang tidak
menonjol ke luar. Benjolan hemorhoid akan menonjol pada ujung anoskop. Pada
anoskopi dapat dilihat warna selaput lendir yang merah meradang atau perdarahan,
banyaknya benjolan, letaknya dan besarnya benjolan. Trombosis terlihat sebagai
massa biru atau ungu mengkilat dengan bekuan subkutan berdekatan dengan anus.
Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa keluhan bukan
disebabkan oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat yang lebih tinggi
(rektum/sigmoid).
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat hemoglobin / hematokrit jika perdarahan
yang terjadi sangat besar dan menerus.
1.8 Penatalaksanaan
Tatalaksana hemorhoid terdiri dari terapi non bedah dan bedah.
a. Terapi Non Bedah
Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif terdiri dari mengubah kebiasaan defekasi dan manipulasi
diet. Terapi konservatif ini ditujukan untuk pasien yang memiliki kebiasaan diet
atau higiene yang tidak normal. Kebanyakan pasien dengan hemorhoid (derajat I
dan II) dapat diobati dengan tindakan lokal dan anjuran diet. Untuk menghilangkan
faktor penyebab, misalnya obstipasi dapat dengan cara banyak makan makanan
berserat seperti buah dan sayur, banyak minum dan mengurangi konsumsi daging
serta makanan yang merangsang.
Hemorhoid interna yang mengalami prolaps karena edema umumnya dapat
dimasukkan kembali secara perlahan disusul dengan tirah baring dan kompres
lokal untuk mengurangi pembengkakan. Rendam duduk dengan air hangat selama
10 sampai 15 menit (sitz bath) juga dapat meringankan nyeri.
Rubber Band Ligation
Hemorhoid yang besar atau mengalami prolaps dapat ditangani dengan gelang
karet menurut Barron yang dipopulerkan pada tahun 1962. Gelang dipasang pada
mukosa di atas massa hemorhoid yang sedikit inervasinya dibantu dengan
proktoskopi atau anoskopi kecil. Cara kerja metode ini adalah akan mengobliterasi
lokal vena hemorrhoidalis sampai terjadi ulserasi (7-10 hari) yang diikuti dengan
terjadinya jaringan parut (3-4 minggu) dan hemorhoid tersebut akan terlepas
dengan sendirinya. Prosedur ini dilakukan pada hemorhoid derajat 3. Prosedurnya
tidak menyakitkan dan sekaligus dapat dilakukan beberapa ikatan.
Skleroterapi
Dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Metode ini menggunakan zat sklerosan
yang disuntikkkan para vassal. Setelah itu sklerosan merangsang pembentukan
jaringan parut sehingga menghambat aliran darah ke vena-vena hemorhoidalis,
akibatnya perdarahan berhenti. Sklerosan yang dipakai adalah 5% phenol in
almond oil dan 1% polidocanol. Sebanyak 1 cc hingga 2 cc zat sklerosing
disuntikkan submukosa ke dalam jaringan longgar diatas hemorhoid interna, pada
kuadran yang terkena dengan harapan timbul inflamasi, fibrosis, dan jaringan parut
lalu hemorhoid mengecil. Injeksi ini dilakukan dengan jarum hemorhoid panjang
melalui anoskop, dan injeksi harus dilakukan diatas mucocutaneus junction
(Carolina, 2014).
b. Terapi Bedah
Teknik Milligan-Morgan
Teknik ini digunakan untuk tonjolan hemorhoid di tiga tempat utama. Teknik ini
dikembangkan di Inggris pada tahun 1973. Basis massa hemorhoid tepat diatas
linea mukokutan dicengkram dengan hemostat dan diretraksi dari rektum.
Kemudian di pasang transfiksi catgut proksimal terhadap pleksus hemorhoidalis.
Penting untuk mencegah pemasangan jahitan melalui otot sfingter internus.
Hemostat kedua ditempatkan distal terhadap hemorhoid eksterna. Suatu insisi elips
dibuat dengan skalpel melalui kulit dan tunika mukosa sekitar pleksus
hemorhoidalis internus dan eksternus yang dibebaskan dari jaringan yang
mendasarinya. Hemorhoid di eksisi secara keseluruhan. Bila diseksi mencapai
jahitan transfiksi catgut maka hemorhoid eksterna dibawah kulit di eksisi. Setelah
mengamankan hemostasis, maka mukosa dan kulit anus ditutup secara longitudinal
dengan jahitan jelujur sederhana. Biasanya tidak lebih dari tiga kelompok
hemorhoid yang dibuang pada satu waktu. Striktura rektum dapat merupakan
komplikasi dari eksisi tunika mukosa rektum yang terlalu banyak. Sehingga lebih
baik mengambil terlalu sedikit daripada mengambil terlalu banyak jaringan
(Mansyur, 2004).
Teknik Whitehead
Teknik operasi Whitehead dilakukan pada hemorhoid yang sirkuler dengan
mengupas seluruh hemorhoidalis interna, membebaskan mukosa dari submukosa
dan melakukan reseksi sirkuler terhadap mukosa di daerah tersebut. Lalu
mengusahakan kontinuitas mukosa kembali (Werner, 2010)
Teknik Langenbeck
Pada teknik operasi Langenbeck, vena hemorhoidalis interna dijepit radier dengan
klem. Dilakukan penjahitan jelujur dibawah klem dengan chromic catgut no 2/0,
kemudian eksisi jaringan diatas klem, setelah itu, klem dilepas dan jepitan jelujur
dibawah klem diikat. Teknik ini lebih sering digunakan karena caranya mudah dan
tidak mengandung risiko pembentukan parut sekunder yang bisa menimbulkan
stenosis. Dalam melakukan operasi diperlukan narkose yang dalam karena sfingter
ani harus benar-benar lumpuh (Werner, 2010).
BAB 2. LAPORAN KASUS
RR : 16x/menit
Suhu : 36,1oC
b. Kepala
- Bentuk : bulat lonjong, simetris
- Rambut : hitam, lurus
- Mata : konjungtiva anemis : +/+
sklera ikterus : -/-
- Hidung
Inspeksi : pernafasan cuping hidung (-)
Deformitas : tidak ada
SGOT 27 10-31
SGPT 39 9-36
BUN 15 6-20mg/dl
Urea 32 12-43mg/dl
2.8 Prognosis
Ad Vitam : Dubia Ad bonam
Ad Sanationam : Dubia
Foto Klinis pasien sebelum hemoroidektomi
2.9 Follow Up
Selasa, 24 Oktober 2017/H11 MRS/H0 POST OP
Carolina, Leliana. 2014. Hemorhoid Dalam Kehamilan. Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Palembang.
Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Volume 4 Edisi 13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Marvin, L Corman. 2005. Colon & Rectal Surgery 5th Ed. Lippincott Wiliam & Wilkins.
Sjamsuhidajat R., dan De Jong Wim. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Werner, Kahle. 2010. Atlas Berwarna dan Teks Anatomi Manusia Alat-Alat Dalam. Jakarta:
EGC.