Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas ridho dan limpahan rahmat-Nya Tugas
Makalah ini dapat tersusun tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu prasyarat
dalam rangka menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Kedokteran Forensik. Makalah
ini berjudul Penyalahgunaan Psikotropika.
Makalah ini akan membahas mengenai jenis-jenis psikotropika yang sering
disalahgunakan di masyarakat, beserta ciri-ciri keracunan yang ditimbulkan dan pemeriksaan
forensiknya secara umum sesuai dengan tanda-tanda keracunan pada secara umum
Kami mohon maaf jika dalam penulisan referat ini terdapat kesalahan. Kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan untuk dapat memperbaikinya pada kesempatan mendatang.
Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan
memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan ilmu forensik terkait
narkotika.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Psikotropika
Penyalahgunaan zat adalah pemakaian zat atau obat diluar indikasi medik tanpa petunjuk
atau resep dokter, digunakan untuk pemakaian sendiri secara teratur atau berkala, sekurangkurangnya selama satu bulan dan dapat menciptakan keadaan yang tidak terkuasai oleh individu.
Obat psikotropika ialah bahan atau zat (substansi) yang bekerja pada atau mempengaruhi
fungsi fisik psikis, kelakuan atau pengalaman ( WHO, 1966).
Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Psikotropika adalah zat atau
obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Ketentuan peresepan berdasarkan Undang - undang No. 5 Tahun 1997 yang mengatur
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang berada dibawah pengawasan internasional,
yaitu yang mempunyai potensi mengakibatkan sindrom ketergantungan. Psikotropika
digolongkan menjadi :
a. Psikotropika golongan I
Adalah psikotropika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi, hanya diberikan khusus untuk penelitian serta potensinya
amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. Termasuk obat psikotropika golongan
I adalah 3-4 methylenedioxymethamphetamine (MDMA) (Ectacy), Psilosibin dan
psilosin, LSD (Lysergic Diethylamide), Mescaline. Berikut penjelasan golongan ekstasi
sebagai psikotropika yang sering disalahgunakan.
Ekstasi
Ekstasi
atau
nama
lainnya
3,4-metilenedioksimetamfetamin
(MDMA)
didefinisikan sebagai suatu zat bersifat stimulan yang merupakan analogis dari
amfetamin. Jika ditinjau dari definisi secara kimia, ekstasi merupakan suatu sintetik
yang analogis dengan amfetamin C11H15NO2 yang digunakan untuk meningkatkan
mood seseorang dan agen hallusinasi (Merriam-WebsterDictionary).
Cara kerja ekstasi
Ekstasi
merupakan
derivat
amfetamin
yang
dikenal
sebagai
3,4-
air seterusnya memicu kepada hiponatremia yang berat, kejang dan dapat berakibat
fatal. Komplikasi lain seperti sindrom serotonin yaitu perubahan status mental,
hiperaktivitas autonomik, dan abnormalitas neuromuskular . Penghentian ekstasi
secara tiba-tiba pula dapat menimbulkan withdrawal syndrome yang ditandai dengan
depresi yang terjadi sehingga beberapa minggu. Selain itu, dilaporkan juga terjadinya
aggresifitas pada mereka yang berpuasa dari mengambil ekstasi (Katzung, 2007).
Hubungan Ekstasi dan otak
-
indirek. Terjadinya secara direk adalah akibat dari sifat neurotoksin ekstasi yang
mengakibatkan kerusakan pada akson terminal neuron serotonin. Terjadinya secara
indirek adalah ekstasi menyebabkan penurunan sirkulasi serebral. Ekstasi juga
menyebabkan penurunan memori di mana ia menyebabkan defek pada hipokampus,
bagian otak yang berfungsi untuk konsolidasi memori jangka pendek kepada memori
jangka panjang.
-
berkait langsung dengan dosis yang digunakan. Mekanisme terjadinya hipertermia ini
dimulai apabila amfetamin merangsang pelepasan katekolamin dan serotonin
b. Psikotropika golongan II
Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam
terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat menimbulkan
sindrom ketergantungan apalagi diberikan dalam jangka waktu yang lama. Contoh antara
lain Amfetamin, Fenobilina, Metakualin, Zipepprol, Secobarbital.
c. Psikotropika golongan III
Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam
terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mengakibatkan sindrom
ketergantungan. Contoh Butalbital, Pentazosina, Amobarbital, Pentobarbital, Glutetimide.
d. Psikotropika golongan IV
Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dala terapi
dan atau tujuan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi ringan yang mengakibatka
sindrom ketergantungan. Obat Golongan IV ini sering diresepkan oleh dokter umum
maupun oleh dokter spesialis. Sebagian besar obat ini adalah depresan sistem saraf pusat
(SSP) Contoh antara lain Alprazolom, aminorex, Brotizolam, Etinomat, Bromazepam,
diazepam, Meprobamate. Peresepannya hanya untuk short term therapy misalnya tidak
boleh digunakan lebih dari satu minggu untuk tiap resep. Bila sesudah satu rninggu ada
indikasi untuk meneruskan maka dapat diberikan resep untuk satu minggu. Jadi setiap
kali resep jumlah obat yang diberikan hendaknya tidak boleh diberikan satu minggu
pemakaian.
Apabila dilihat dari pengaruh penggunaannya terhadap susunan saraf pusat
manusia obat psikotropika dapat dikelompokkan menjadi :
1. Depresant
Stimulant merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta kesadaran. Jenis
stimulan: Amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah Shabu-shabu dan
Ekstasi.
a. Amphetamin : memiliki efek menghilangkan rasa mengantuk, menambah tenaga atau
kewaspadaan dan mengurangi nafsu makan sehingga obat-obatan ini tidak diberikan
kepada pasien dengan anoreksia (kehilangan nafsu makan), insomnia (sulit tidur) dan
kepribadian psikopat atau labil.
b. Ecstasy : mulut kering, kejang, jantung berdenyut lebih cepat dan keringat keluar
lebih banyak, kemudian efek selanjutnya adalah penderita merasakan mata kabur,
Demam tinggi, paranoid, sulit berkonsentrasi dan seluruh otot tubuh terasa nyeri yang
berlangsung seminggu atau lebih.
c. Shabu : merasa bersemangat karena kekuatan fisiknya meningkat, kemampuan
bekerja juga meningkat dan rasa lelah berkurang, kewaspadaan yang meningkat,
menambah daya konsentrasi, menyebabkan rasa gembira luar biasa dan kemampuan
besosialisasi meningkat, kuat jaga semalaman menyebabkan insomnia, mengurangi
nafsu makan, malas makan dan diikuti rasa haus, peningkatan gairah seksual, hal ini
berkebalikan dengan opiate menurunkan libido, namun penggunaan jangka panjang
justru menurunkan fungsi seksual, penggunaan pada saat hamil, bisa menyebabkan
komplikasi pralahir, meningkatkan kelahiran premature atau menyebabkan perilaku
bayi yang tidak normal.
3. Halusinogen
Efek utama halusinogen adalah mengubah daya persepsi atau mengakibatkan halusinasi.
Efek lain yang bisa ditimbulkan adalah rasa khawatir yang akut, gelisah dan tidak bisa
tidur, biji mata yang melebar, suhu badan yang meningkat, tekanan darah yang meningkat
dan gangguan jiwa yang berat.
Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari kaktus dan
psilocybin dari jamur-jamuran. Selain itu ada juga yang diramu di laboratorium seperti
LSD. Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja.
agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, yang di-lakukan melalui berbagai upaya
kesehatan, diantaranya penyelenggaraan pelayan-an kesehatan kepada masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut, psikotropika memegang peranan
penting. Disamping itu, psikotropika juga digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan
meliputi penelitian, pengembangan, pendidikan, dan pengajaran sehingga ketersediaannya perlu
dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.
Penyalahgunaan psikotropika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila
penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahguna, tetapi juga
berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi
kehidupan bangsa dan negara.
Narkotika dan zat psikotropika merupakan jenis zat yang diperlukan dalam ilmu
pengetahuan dan pengobatan. Pengggunaan narkotika diatur dalam UU No.22/1997 tentang
Narkotika yang dapat menimbulkan ketergantungan Fisik dan psikis dan merugikan apabila
digunakan oleh seseorang tanpa pembatasan dan pengawasan seksama. Sedangkan psikotropika
diatur dalam UU No.5/1997 tentang Psikotropika merupakan obat yang diperlukan dalam dunia
kedokteran untuk pengobatan dan ilmu pengetahuan. Penggunaannya dapat menimbulkan
ketergantungan fisik dan psikis. Narkotika dan psikotropika keduanya termasuk dalam zat
berbahaya.
Dalam Undang-Undang Psikotropika telah diatur secara khusus ketentuan pidana
sebagaimana ditetapkan pada BAB XIV pasal 59 sampai dengan Pasal 72, seluruhnya
merupakan delik kejahatan. Tindak pidana di bidang psikotropika, antara lain berupa perbuatanperbuatan seperti memproduksi dan/atau mengedarkan secara gelap, maupunmenyalahgunakan
psikotropika merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara. Di antara ketentuan
pidana yang diatur dalam UU Psikotropika terdapat ancaman pidana yang dibatasi maksimal dan
minimalnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (1), yaitu minimal pidana penjara 4
tahun dan maksimal 15 Tahun serta pidana denda minimal Rp.10 juta dan maksimal Rp.750 juta.
Sementara dalam pasal 59 ayat (2) dan (3), yaitu maksimal pidana mati dan ditambah pidana
denda paling banyak Rp. 5 milyar.
2.4 Resiko Penyalahgunaan Obat Psikotropika
Obat psikotropik, sebagai salah satu zat psikoaktif , bila digunakan secara salah (misuses)
atau disalah-gunakan (abuse) beresiko menyebabkan timbulnya gangguan jiwa menurut PPDGJIII termasuk kategori diagnosis F10-F19 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan at
Psikoaktif.
Gangguan mental dan perilaku tersebut dapat bermanifestasi dalam bentuk sebagai berikut :
a) Intoksikasi Akut (tanpa atau dengan komplikasi)
Berkaitan dengan dosis yang digunakan (efek yang berbeda oada dosis yang
berbeda)
Gejala intoksikasi tidak selalu mencerminkan efek primer dari zat (dapat terjadi
efek paradoksa)
b) Penggunaan yang merugikan (Harmful use)
Pola penggunaan zat psikoaktifyang merusak kesehatan (dapat berupa fisik atau
mental)
Belum menunjukkan adanya sindrom ketergantungan
Sudah ada hendaya psikososial sebagai dampaknya
c) Sindrom Ketergantungan (Dependence syndrome)
Adanya keinginan yang amat kuat (dorongan kompulsif) untuk menggunakan zat
psikoaktif secara terus-menerus dengan tujuan memperoleh efek psikoaktif dari
zat tersebut.
Terdapat kesulitan untuk menguasai perilaku menggunakan zat, baik mengenai
Bentuk dan keparahan gejala tersebut tergantung pada jenis dan dosis zat yang
digunakan sebelumnya.
Gejala putus zat tersebut mereda dengan meneruskan penggunaan zat tersebut
Salah satu indikator dari sindrom ketergantungan.
e) Gangguan Psikotik (Psychotic Disorder)
Sekelompok gejala-gejala psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah
pengguna zat.
f) Sindrom Amnesik (Amnesic Syndrom)
Terjadi hendaya atau gangguan daya ingat jangka pendek (recent memory) yang
menonjol, kadang-kadang terdapat gangguan daya ingat jangka panjang (remote
memory), sedangkan daya ingat segera (immediate recall) masih baik. Fungsi
jawab
profesi medis. Profesi medis memegang teguh dan patuh kepada etika medis, karena itu
diperlukan keterampilan medis yang cukup ketat dan tidak dapat didelegasikan kepada
kelompok profesi lain. Salah satu komponen penting dalam keterampilan medis yang erat
kaitannya dengan gawat darurat medik adalah keterampilan membuat diagnosis.
Dalam rehabilitasi pasien ketergantungan psikotropika, profesi medis (dokter) mempunyai
peranan terbatas. Proses rehabilitasi pasien ketergantungan psikotropika melibatkan berbagai
profesi dan disiplin ilmu. Namun dalam kondisi emergency, dokter merupakan pilihan yang
harus diperhitungkan.
Gawat Darurat yang terjadi meliputi berbagai gejala klinis berikut :
a. Intoksikasi
b. Overdosis
c. Sindrom putus NALZA
Lurus dan tengadahkan (ekstenikan) leher kepada pasien (jika diperlukan dapat
memberikan bantalan dibawah bahu)
Terapi untuk waham dan delirium pada putus amphetamine : Pada gangguan waham
karena amfetamin atau kokain berikan inj. Haloperidol 2.5- 5 mg IM dan dilanjutkan
peroral 3x2,5- 5 mg/hari.
mental
dan
perilaku
akibat
penggunaan
zat
psikoaktif
(co-
morbid
umumnya terdapat pada amfetamin, kokain, LSD, atropin dan obat antirnuskarinik lain.
Nistagmus horizontal dicirikan pada keracunan dengan fenitoin, alkohol, barbiturat dan
obat seclatit lain. Adanya nistagmus horizontal dan vertikal memberi kesan yang kuat
keracunan fensiklidin.1
3. Sistem saraf
Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah esensial. Kejang fokal atau defisit
motorik lebih menggambarkan lesi struktural (seperti perdarahan intrakranial akibat
trauma) daripada ensefalopati toksik atau metabolik. Nistagmus, disartria dan ataksia
adalah khas pada keracunan fenitoin, alkohol, barbiturat dan keracunan sedatif lainnya.
Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum ditemukan pada metakualon, haloperidol,
fensiklidin (PCP) dan obat-obat simpatomimetik. Kejang sering disebabkan oleh
antidepresan trisiktik, teotilin, isoniazid dan fenotiazin. Koma ringan tanpa refleks dan
bahkan EEG isoelektrik mungkin terlihat pada koma yang dalam karena obat narkotika
dan sedatif-hipnotik dan mungkin menyerupai kematian otak.1
2.6.2 Langkah-Langkah Analisis Toksikologi Forensik
Secara umum tugas analisis toksikolog forensik dalam melakukan analisis dapat
dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu:
1) Penyiapan sampel sample preparation,
2) Analisis meliputi uji penapisan screening test atau dikenal juga dengan general
unknown test dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan kuantifikasi,
3) Langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis.
Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan makanan,
analisis kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang
menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal
ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti
diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi
target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari
informasi penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak
kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di
tempat kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik. Sangat
sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa induk, melainkan
metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa matabolit juga
merupakan target analisis.
Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan
biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Berbeda dengan analisis
kimia lainnya, hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari
analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu menerjemahkan
apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu dapat dikatakan sebagai
penyebab keracunan (pada kasus kematian).
2.6.3 Penyiapan Sampel
Spesimen untuk analisis toksikologi forensik dapat berupa cairan biologis, jaringan,
organ tubuh. Dalam pengumpulan spesimen dokter forensik memberikan label pada masingmasing bungkus/wadah dan menyegelnya. Label seharusnya dilengkapi dengan informasi: nomer
indentitas, nama korban, tanggal/waktu otopsi, nama spesimen beserta jumlahnya. Pengiriman
dan penyerahan spesimen harus dilengkapi dengan surat berita acara menyeran spesimen, yang
ditandatangani oleh dokter forensik. Toksikolog forensik yang menerima spesimen kemudian
memberikan dokter forensik surat tanda terima, kemudian menyimpan sampel/spesimen dalam
lemari pendingin freezer dan menguncinya sampai analisis dilakukan. Prosedur ini dilakukan
bertujuan untuk memberikan rantai perlindungan/pengamanan spesimen (chain of custody).
Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel adalah: jenis
dan sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan analisis. Dengan demikian
akan dapat merancang atau memilih metode penanganan sampel, jumlah sampel yang akan
digunakan, serta memilih metode analisis yang tepat. Penanganan sampel perlu mendapat
perhatian khusus, karena sebagian besar sampel adalah materi biologis, sehingga sedapat
mungkin mencegah terjadinya penguraian dari analit. Penyiapan sampel umumnya meliputi
hidrolisis, ekstraski, dan pemurnian analit. Prosedur ini haruslah mempunyai efesiensi dan
selektifitas yang tinggi. Perolehan kembali yang tinggi pada ekstraksi adalah sangat penting
untuk menyari semua analit, sedangkan selektifitas yang tinggi diperlukan untuk menjamin
pengotor atau senyawa penggangu terpisahkan dari analit. Pada analisis menggunakan GC/MS,
penyiapan sampel termasuk derivatisasi analit secara kimia, seperi salilisasi, metilisasi, dll.
Derivatisasi ini pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan volatilitas analit atau
meningkatkan kepekaan analisis.
2.6.4 Uji Penapisan Screening test
Uji skrinning adalah pemeriksaan pendahuluan laboratorium sebagai upaya penyaring
untuk mengetahui ada atau tidaknya dan jenis obat yang menimbulkan efek toksis atau efek
gangguan kesehatan. Dalam deteksi penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, uji skrining
dilakukan untuk menentukan golongan analit (narkotika dan psikotropika) yang digunakan.1,2
Hasil dari uji skrining dapat dijadikan dasar dugaan atau hanya sebagai petunjuk dan
bukan merupakan bukti yang kuat bahwa seseorang telah mengkonsumsi narkotika dan
psikotropika karena uji skrining belum mampu mendeteksi jenis zat narkotika dan psikotropika
spesifik yang terkandung di dalam sampel .Pemeriksaan skrining positif berarti suatu obat atau
metabolitnya terdapat dalam darah sebanyak atau lebih banyak dari batas deteksi alat.2,3
Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit) dalam sampel.
Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia maupun efek
farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika secara umum dalam uji
penapisan dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain, kannabinoid, turunan amfetamin,
turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-siklik, turunan asam barbiturat, dan
turunan metadon.
a. Teknik immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam analisis
obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan anti-drug antibody untuk
mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi biologik). Jika di dalam
matrik terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target) maka dia akan berikatan dengan
anti-drug antibody, namun jika tidak ada antigentarget maka anti-drug antibody akan
berikatan dengan antigen-penanda. Terdapat berbagai metode / teknik untuk
mendeteksi ikatan antigenantibodi ini, seperti enzyme linked immunoassay (ELISA),
enzyme
multiplied
immunoassay
technique
(EMIT),
fluorescence
polarization
Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan,
bukan untuk menarik kesimpulan, karena kemungkinan antibodi yang digunakan dapat
bereaksi dengan berbagai senyawa yang memiliki baik bentuk struktur molekul maupun
bangun yang hampir sama. Reaksi silang ini tentunya memberikan hasil positif palsu.
hasil reaksi immunoassay (screening test) harus dilakukan uji pemastian (confirmatori
test).2
Alat yang dapat digunakan untuk melakukan uji skrinning dan hanya memerlukan
waktu sesaat untuk membaca hasilnya secara manual adalah strip test. Strip test
merupakan teknik immunoassay dengan menggunakan dasar reaksi imunologi antara
antigen dan antibodi. Selanjutnya dilakukan uji konfirmasi untuk memastikan jenis zat
narkotika dan psikotropika yang terkandung di dalam sampel tersebut.2
b. Kromatografi lapis tipis (KLT)
KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya, namun
KLT kurang sensitif jika dibandungkan dengan teknik immunoassay. Kombinasi KLT
dengan spektrofotodensitometri, analit yang telah terpisah dapat dideteksi spektrumnya
(UV atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya akan meningkatkan derajat sensitifitas dan
spesifisitas dari uji penapisan dengan metode KLT. Secara simultan kombinasi ini dapat
digunakan untuk uji pemastian.2
(screening test) memberi hasil positif (BNN, 2008). Dari hasil uji konfirmasi ini akan diketahui
jenis zat golongan yang terdapat pada sampel, contohnya pada sampel darah diketahui positif
mengandung diazepam. Untuk mengetahui apakah pada saat kejadian korban berada di bawah
pengaruh obat tersebut, maka perlu dilakukan penetapan kadar.2
Bila uji skrining pada sampel menggunakan teknik immonoassay test (EMIT) terdeteksi
positif golongan opiat dan benzodiazepine, maka perlu dilakukan uji konfirmasi untuk
menentukadar kadar zat tersebut. Dari penetapan kadar alkohol di darah dan urin terdapat
alkohol 0,1 promil dan 0,1 promil.
Pada uji konfirmasi dengan menggunakan alat GC-MS diperoleh hasil:
- darah sebelum di hidrolisis: - morfin: 0,200 g/ml, - kodein: 0,026 g/ml
- darah setelah hidrolisis: - morfin: 0,665 g/ml, - kodein: 0,044 g/ml
- urin sebelum hidrolisis: - 6-asetilmorfin: 0,060 g/ml, - morfin: 0,170 g/ml, - kodein:
0,040 gml
- urin setelah hidrolisis : - morfin: 0,800 g/ml, - kodein: 0,170 g/ml
Golongan benzodiazepin yang terdeteksi di darah adalah: diazepam: 1,400 g/ml;
nordazepam: 0,086 g/ml; oxazepam: 0,730 g/ml; temazepam: 0,460 g/ml
Dalam menginterpretasikan hasil temuannya seorang toksikolog forensik harus mengulas
kembali efek toksik dan farmakologi yang ditimbulkan oleh analit, baik efek tunggal dari opiate
dan benzodiazepin maupun efek kombinasi yang ditimbulkan dalam pemakaian bersama antara
opiat dan benzodiazepin. Menyacu informasi konsentrasi toksik (lethal concentration) dapat
diduga penyebab kematian dari korban. Efek toksik yang ditimbulkan oleh pemakaian heroin
adalah dipresi saluran pernafasan. Keracunan oleh heroin ditandai dengan adanya udema paruparu. Sedangkan pemakaian diazepam secara bersamaan akan meningkatkan efek heroin dalam
penekanan sistem pernafasan. Hal ini akan mempercepat kematian.
sisa-sisa tablet/kapsul pada tempat kejadian, sisa-sisa tablet dengan warna khas pada mulut atau
dalam lambung akan sangat membantu diagnosis.1,2,3
Diagnosis banding tergantung dari hasil pemeriksaan toksikologi jenis zat yang terdapat
dalam tubuh korban. Untuk ini diperlukan tersedianya pemeriksaan kromatografi yang dengan
cepat dapat menentukan jenis dan jumlah obat depresi SSP dalam tubuh. Pada barbiturat tidak
terjadi deposit masif dalam organ tertentu, meskipun dalam hati kadarnya lebih banyak dari
darah.2
Jika obat dihirup, dapat ditemukan sejumlah kecil bubuk pada saat hidung dibuka atau
melalui swab methanol pada septum hidung. Pada injeksi biasanya digunakan jarum insulin, dan
bekas suntikan biasanya agak sulit dilihat. Kaca pembesar dapat digunakan untuk melihat bekas
suntikan tersebut, bekas suntikan tersebut kemungkinan tidak terdapat perdarahan. Ketika
pengguna cenderung untuk menggunakan berulang kali untuk meningkatkan efek, bekas tusukan
cenderung banyak dan berkumpul disekitar vena yang sering digunakan. Terkadang bekas tato di
atas vena menyembunyikan bekas tusukan.
Jika obat dihisap atau dikonsumsi secara oral, mungkin tidak ada manifestasi eksternal
yang ditemukan. Disamping informasi lain, terdapat tanda terbakar pada jari telunjuk bagian
palmar
yang
digunakan
untuk
memegang
pipa
panas
pada
penggunaan
oral.
Sampel autopsi harus menyertakan darah perifer, urin, jaringan hepar, empedu, isi lambung dan
rambut. Urin, cairan spinal dan jaringan dapat positif untuk beberapa hari setelah penggunaan
pertama, dan positif untuk waktu yang lebih lama pada penggunaan kronis. Rambut juga dapat
dianalisis untuk melihat positif tidaknya penggunaan MDMA. Beberapa pemeriksaan juga
menyertakan paru paru dan otak sebagai sampel tambahan
Penemuan Post Mortem pada Korban dengan Penyalahgunaan Psikotropika
Gambaran post mortem pada keracunan psikotropika
menimbulkan
depresi pusat pernapasan ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan,
mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida
(hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia
hipoksik) dan terjadi kematian. Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan
atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif.
ekstraselular dan intraselular. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, yang terjadi
adalah anoksia ekstraselular, dimana enzim sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian
berlangsung perlahan.
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia,
telah ditetapkan beberapa tanda klasik,yaitu:
a. Tardieus spot (Petechial hemorrages). Tardieus spot terjadi karena peningkatan
tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding
perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit
dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera
mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga
terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa
laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.
b. Kongesti dan Oedema. Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik
dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah,
sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan
sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah
mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan
cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada
sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).
c. Sianosis. Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang
tidak berikatan dengan O2).
d. Tetap cairnya darah. Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian.
Pada pemeriksaan luar jenazah dengan asfiksia dapat ditemukan:
a. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
b. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.
c. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase 1 (dispneu) yang disertai sekresi selaput lendir
saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran
sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat
pecahnya kapiler.
d. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2 (konvulsi) . Akibatnya
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena,
venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga
dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.
Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan:
a. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
b. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
c. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi
lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan
darah.
d. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis
paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit
kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan
daerah sub-glotis.
e. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
Obat-obat psikotropika yang sering disalahgunakan adalah amfetamin dan barbiturat.
Berikut temuan post mortem obat-obat tersebut :
1. Keracunan Amfetamin
Penemuan pada otak. Studi post mortem memperlihatkan perubahan level serotonin dan
metabolit utamanya pada otak pada pengguna jangka panjang amfetamine. Level
serotonin berkurang 50%80% pada regio yang berbeda pada otak, pada perbandingan
dengan yang tidak menggunakan amfetamine. Dapat memperlihatkan gambaran
disseminated intravaskular coagulation (DIC), edema dan degenerasi neuron nampak
pada lokus ceruleus. Sebuah studi postmortem terhadap 6 orang pengguna amfetamine, 2
orang memperlihatkan fokal hemoragi pada otak. Pada salah satu kasus terdapat nekrosis
ditemukan hemoragi intra alveolar. Pada salah satu kasus terdapat inhalasi isi gaster.
Penemuan pada jantung. Jantung adalah target organ, terkadang terjadi penambahan
berat, terutama pada hipertrofi ventrikel kiri dan pembesaran jantung bagian kanan. Pada
pemeriksaan mikroskopik ditemukan kongesti dari organ dengan edema. Juga dapat
ditemukan peningkatan sejumlah partikel karbon. Bisa juga terlihat nekrosis myofibril.
Sejak diketahui bahwa obat ini merupakan stimulator katekolamin, dan menyebabkan
terjadinya peningkatan katekol dalam darah, jantung sering terdapat area iskemi dan
Pemeriksaan darah.
o Waktu paruh yang cukup lama menyebabkan obat dapat dideteksi pada darah
dalam waktu beberapa jam, bergantung dari dosisnya. Metabolisme menghasilkan
amfetamin sebagai metabolit pertama dari metamfetamin, dan rasio pada darah
dan urin dapat membantu menentukan penggunaan akut atau kronis. Kebanyakan
tes skrining darah untuk amfetamin adalah menggunakan teknik imunoassay.
Dapat juga dengan menggunakan gas kromatografi dan analisis spektroskopi.
Identifikasi amfetamine dengan menggunakan saliva telah ada dan dapat
digunakan untuk tes simpel yang non-invasif.
Tes Urin.
o Pengguna MDMA akan memperlihatkan hasil positif pada amfetamin (metode
umum) dan metamfetamin (metode tes yang baru dan lebih jarang digunakan).
Periode deteksi amfetamin pada urin adalah 24-96 jam setelah penggunaan (rata
rata 72 jam). Periode deteksi amfetamin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pH dan status hidrasi.
2. Keracunan Barbiturat
Pada otopsi, diagnosis kematian akibat keracunan barbiturat akut terkadang tidak dapat
ditentukan oleh karena tertutupi oleh sebab kematian yang lain seperti perdarahan subarakhnoid
spontan, ruptur aneurisma aorta. Gambaran post mortem padakeracunan barbiturat biasanya tidak
khas.Pada pemeriksaan luar hanya tampak gambaran asfiksia berupa sianosis, keluarnya busa
halus dari mulut atau paru, tardieau spot, dapat ditemukan vesikel atau bula pada kulit daerah
yang tidak tertekan. Pada pembedahan jenazah, mukosa saluran cerna dan seluruh organ
menunjukkan tanda-tanda perbendungan. Esofagus menebal, berwarna merah coklat gelap dan
kongestif.1,2
tersebut mati. Untuk menentukan barbiturat dalam organ tubuh perlu dilakukan ekstraksi lebih
dahulu. Ada 5 macam metode ekstraksi dan yang memberikan hasil terbaik ialah ekstraksi
langsung dengan kloroform. Dapat pula dilakuakan dengan metode Kopanyi yaitu memasukkan
50 ml urin atau isi lambung dalam sebuah corong. Diperiksa dengan kertas lakmus, jika bersifat
alkali tambahkan HCl sampai bersifat asam. Tambahkan 100 ml eter, kocok selama beberapa
menit. Diamkan sebentar, tampak air terpisah dari eter, lapisan air dibuang, barbiturat terdapat
dalam lapisan eter. Saring eter ke dalam beaker glass dan uapkan sampai kering. Kemudian
tambahkan 10 tetes kloroform. Ambil beberapa tetes larutan letakkan pada white pocelain spot
plate. Tambahkan 1 tetes kobalt asetatdan 2 tetes isopropilamin. Barbiturat akan memberi warna
merah muda sampai ungu. Pemeriksaan semikuantitatif dan kuantitatif dapat dilakukan dengan
kromatografi lapis tipis, kromatografi gas cair, dan spektrofotometri ultra violet.1,2
Bab 3
Simpulan
1
3.1
Simpulan
Dari penjabaran yang telah disebutkan sebelumnya, dapat kami simpulkan bahwa
psikotropika dibagi menjadi 4 golongan menurut undang-undang Undang - undang No. 5 Tahun
1997 , yaitu dibagi menurut potensinya menimbulkan ketergantungan pada korban serta dalam
penggunaannya. Penyalahgunaan psikotropika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan
apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan . Keracunan pada psikotropika memiliki ciri
tertentu dan dengan pemeriksaan forensik serta pemeriksaan penunjang dapat dibedakan dari
keracunan pada zat atau obat-obatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
HPLC-DAD.
Universitas
Udayana.
Tersedia
dalam
Medik
Gangguan
Penggunaan
NAPZA.
Tersedia
dalam
http://buk.depkes.go.id/index.php?
option=com_docman&task=doc_download&gid=699&Itemid=142 , diakses
Februari 2014.
pada 12