Oleh :
Tri Ayati
21360093
Penguji :
Oleh:
Tri Ayati
21360093
Pembimbing :
Halaman
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gangguan Mental dan Perilaku....................................................................3
2.2. Intoksikasi Akut...........................................................................................3
2.3. Ketergantungan Zat......................................................................................4
2.4. Kokain..........................................................................................................6
2.5 Amfetamin...................................................................................................9
2.6. Kafein .........................................................................................................14
2.7. Nikotin.........................................................................................................14
2.8. Penanganan..................................................................................................14
PENDAHULUAN
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang
bila mana masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terumata otak/susunan
saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan fungsi sosialnya
NAPZA. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak,
Laporan perkembangan situasi NAPZA dunia tahun 2014 menyatakan angka estimasi
pengguna tahun 2012 adalah antara 162 juta hingga 324 juta orang atau sekitar 3,5–7%.
Estimasi pengguna NAPZA tahun 2010 yang kisarannya 3,5–5,7% (UNODC, 2014).
Prevalensi penyalahguna NAPZA di Indonesia setiap tahun selalu meningkat. Pada tahun
2011 prevalensinya sebesar 2,32%, tahun 2013 sebesar 2,56%, dan tahun 2015 sebesar 2,80%
Saraf Pusat (SSP), yaitu: Stimulan dengan efek meningkatkan aktivitas SSP pada otak. Zat ini
meningkatkan debar jantung dan pernafasan, serta meningkatkan sensasi eforia (rasa senang
yang berlebihan). Contoh: amfetamin, kokain, nikotin, kafein. Depresan, efek yang didapat
adalah memperlambat aktifitas kerja otak dan menghasilkan ketenangan. Contoh: barbiturat
mengubah persepsi (kesadaran akan kondisi sekitar, ruang dan waktu), pikiran, perasaan
( Irsyad, 2020 ).
Zat psikoaktif adalah zat kimia yang memiliki efek psikologis. Banyak zat psikoaktif
yang beredar secara luas di masyarakat, baik yang digunakan secara sengaja ataupun tidak.
Ada beberapa jenis zat psikoaktif yaitu; (1) Golongan ilegal dan terlarang: kokain, mariyuana,
dan heroin; (2) Golongan yang dapat diperoleh dengan permintaan: tembakau dan alkohol;
Stimulansia adalah zat yang dapat merangsang sistem saraf pusat (SSP). Stimulan
bekerja dengan merangsang psikomotorik. Pada dosis biasa, stimulan akan menciptakan
perasaan gembira dan euforia, meningkatkan kemampuan mental dan fisik, meningkatkan
konsentrasi, membuat seseorang lebih waspada dan siaga, serta mengurangi rasa lelah karena
pekerjaan fisik. Contoh senyawa yang termasuk zat stimulansia adalah amphetamine,
Intoksikasi adalah suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan alkohol
atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek
atau perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya. Keadaan putus zat merupakan
salah satu indikator dari sindrom ketergantungan. Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat
yang digunakan. Gangguan psikologis merupakan gambaran umum dari keadaan putus zat.
(Kemenkes, 2015).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan obat merupakan gangguan yang
bervariasi luas dan berbeda keparahannya (dari intoksikasi tanpa komplikasi dan pengunaan
yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas dan demensia, tetapi semua itu
diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif dengan atau tanpa resep
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif yang dulu disebut
gangguan penggunaan zat, adalah suatu perilaku yang menyimpang dari norma norma yang
umum nya berlaku pada bebagai kebudayaan didunia. Gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan Zat Psikoaktif, infeksi HIV /AIDS dan kekerasan (violence) merupakan tiga
epidemi yang melanda dunia menjelang berakhir nya millenium kedua dan masih berlanjut
sampai sekarang. Dampak gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan Zat Psikoaktif
tidak saja beerpengaruh pada kesehatan jasmani, fungsi mental, kehidupan emosi dan sosial
yang bersangkutan, tapi juga merugikan keluarga, masyarakat ,dan Negara karena
permasalahannya begitu luas dan rumit. Gangguan ini ditanggulangi secara multi disiplin ,
a. Intoksikasi sering dikaitkan dengan : tingkat dosis zat yang digunakan (dose-
c. Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul akibat penggunaan
alkohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif,
persepsi, afek atau perilaku, atau fungsi dan respon psikofisiologis lainnya. Intensitas
intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya efek menghilang
bila tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian orang tersebut akan kembali
ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang rusak atau terjadi komplikasi
lainnya.
Ketergantungan adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis,
sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal
syamptom). Oleh karena itu pecandu selalu berusaha memperoleh NAPZA yang
dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari (Nasutian
et al, 2015).
ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran
yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi
dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
2.4 Definisi Zat Stimulansia
Stimulan adalah obat yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas fisik dan
kewaspadaan dengan meningkatkan gerak jantung dan pernapasan serta meningkatkan fungsi
otak. Dengan berkerja pada sistem saraf pusat, stimulan bisa merangsang tubuh baik secara
Stimulan mempercepat proses mental dan fisik, yang dapat menghasilkan efek yang
diinginkan dalam jangka pendek dengan meningkatkan kadar dopamin di otak. Sementara
pengguna mungkin merasa senang karena efek jangka pendek dari stimulan, penyalahgunaan
jangka panjang dari obat ini dapat memiliki konsekuensi yang signifikan ( American
panik, kejang, sakit kepala, kram perut, agresi dan paranoia. Penggunaan stimulan kuat dalam
jangka panjang juga dapat menyebabkan sejumlah efek yang merugikan. Stimulan termasuk
kafein, nikotin, amfetamin, dan kokain ( Alcohol and Drug Foundation, 2021 ).
2.5 Efek
Stimulan dalam dosis terapeutik, seperti yang diberikan kepada pasien dengan ADHD,
gairah dan dapat meningkatkan mood. Namun, dalam dosis yang lebih tinggi stimulan
sebenarnya dapat menurunkan kemampuan untuk fokus. Dalam dosis yang lebih tinggi
stimulan juga dapat menghasilkan euforia, semangat, dan penurunan kebutuhan untuk tidur.
Banyak, tetapi tidak semua, stimulan memiliki efek ergogenik. Obat-obatan seperti efedrin,
pseudoefedrin, amfetamin, dan metilfenidat memiliki efek ergogenik yang terdokumentasi
dengan baik, sedangkan kokain memiliki efek sebaliknya (Avis et al, 2017).
yang terlibat dalam perhatian, gairah, motivasi, arti-penting tugas dan antisipasi penghargaan.
stimulan, seperti beberapa turunan amfetamin dan, terutama, yohimbine, dapat menurunkan
2.7 Kokain
Kokain adalah salah satu stimulan paling terkenal di dunia. Obat yang sangat adiktif,
dibuat dari dan dinamai untuk tanaman koka Amerika Selatan. Bentuk kokain biasanya dalam
bentuk bubuk putih halus dan bentuk "retak" yang mengkristal. Kokain dapat digunakan
melalui banyak metode; bentuk paling umum dari konsumsi kokain bubuk adalah dengan
Kokain dapat memicu otak melepaskan dopamin dan menciptakan rasa gembira untuk
sesaat. Karena efek yang dirasakan bersifat sementara, seseorang jadi harus menggunakan
kokain berulang kali untuk mempertahankan sensasi gembira yang didapatkan. Hal ini
2. Aritmia
3. Denyut jantung, tekanan darah, dan suhu tubuh meningkat
4. Kerusakan usus
hidung
Kokain adalah alkaloid yang didapatkan dari semak Eryhroxylon coca, asli dari
Amerika Serikat, yang daunnya dikunyah untuk mendapat efek stimulasi. Zat ini masih
digunakan sebagai anastesi lokal, terutama untuk pembedahan mata, hidung, dan
gangguan terkait kokain sering disertai gangguan psikiatri tambahan. Timbulnya gangguan
mood, gangguan ansietas, gangguan kepribadian antisosial, dan sebagian besar gangguan
dikaitkan. Pada faktor farmakologis, sebagai akibat kerjanya di Sistem Saraf Pusat (SSP),
kokain dapat menyebabkan sensasi kewaspadaan, euforia, dan rasa sehat (Kaplan & Sadock,
2014).
Efek samping penyalahgunaan kokain, termasuk serangan jantung, kejang, dan henti
napas, bisa terjadi kapan saja. Bahkan, kematian akibat overdosis bisa terjadi pada
penggunaan kokain yang pertama kali, terutama jika digunakan bersamaan dengan alkohol.
Kokain juga diketahui bisa memicu perilaku kejam dan tidak terduga yang dapat
dicurigai pada pasien yang menunjukkan perubahan kepribadian yang tak dapat dijelaskan.
Perubahan umum yang disebabkan oleh penggunaan kokain adalah iritabilitas, terganggunya
kemampuan berkonsentrasi. perilaku kompulsif, insomnia berat, dan penurunan berat badan.
Kolega di tempat kerja dan anggota keluarga dapat mengenali ketidakmampuan seseorang
semakin meningkat untuk mengerjakan tugas yang diharapkan yang berhubungan dengan
kehidupan keluarga atau pekerjaan. Pasien mungkin menunjukkan bukti baru meningkatnya
hutang atau ketidakmampuan membayar tagihan tepat waktu karena besarnya jumlah uang
yang digunakan untuk membeli kokain. Penyalahguna kokain sering menarik diri dari situasi
sosial atau pekerjaan tiap 30 sampai 60 mcnit untuk mencari tempat tersembunyi untuk
menghirup lebih banyak kokain. Oleh karena efek vasokonstriksi kokain, pengguna hampir
selalu mengalami kongesti nasal, yang rnungkin dicoba diobati sendiri dengan semprotan
Jika terdapat halusinasi ketika tidak ditemukan uji realitas yang intak, diagnosis yang
tepat adalah gangguan psikotik terinduksi kokain, dengan halusinasi. Orang menggunakan
kokain untuk efeknya yang khas yaitu elasi, euforia, peningkatan harga diri, dan peningkatan
tugas mental dan fisik. Sejumlah studi rnengindikasikan bahwa dosis rendah kokain
sebenarnya dapat dikaitkan dengan peningkatan kinerja beberapa tugas kognitif. Namun.
pada dosis tinggi, gejala intoksikasi meliputi agitasi, iritabilitas, daya nilai terganggu, perilaku
inipulsif dan seksual yarrg potensial berbahaya, agresi, peningkatan menyeluruh aktivitas
psikomotor, dan, secara potensial. gejala mania. Gejala fisik terkait utama adalah takikardia,
Menurut American Addiction Centers, Gejala putus kokain akut sering hilang setelah
sekitar 7-10 hari. Kokain memiliki waktu paruh yang relatif singkat dan, pada orang dengan
ketergantungan yang signifikan, gejala penarikan dapat dimulai segera setelah 90 menit
setelah dosis terakhir. Garis waktu untuk gejala penarikan bervariasi tergantung pada
individu. Berikut adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jangka waktu
penghentian kokain:
yang singkat, gejala putus obat mungkin berlangsung relatif singkat. Orang yang telah
menggunakan kokain selama bertahun-tahun dapat terus menderita gejala putus zat
tubuh mereka.
2. Dosis rata-rata yang digunakan: Orang yang telah menggunakan jumlah yang
sangat besar mungkin mengalami gejala penarikan yang lebih intens daripada
pada 2 obat atau lebih mungkin mengalami gejala putus obat yang berhubungan
4. Lingkungan: Jika kokain digunakan sebagai sarana untuk melarikan diri dari
lingkungan yang penuh tekanan, stres dapat memicu keinginan untuk menggunakan
hubungan, masalah pekerjaan, atau faktor lain - dapat menyebabkan keinginan yang
kuat untuk kokain, memperumit proses penarikan psikologis (American Addiction
Centers, 2021).
Setelah penghentian penggunaan kokain atau setelah intoksikasi akut, depresi pasca
sarrpai sedang, gejala plltus zat berakhir dalam waktu 18 jam. Dengan penggunaan berat,
seperti pasca ketergantungan kokain, gejala putus zat cepat berlangsung hingga satu minggu
tapi biasanya memuncak dalam 2 sampai 1 hari. Beberapa pasien dan sejumlah laporan
berbulan-bulan. Gejala putus zat juga dapat dihubungkan dengan ide bunuh diri pada orang
2.8 Amfetamin
Amfetamin merupakan salah satu zat kimia berbahaya yang dapat menyebabkan
yang digunakan untuk pengobatan adalah kelas d-amfetamin dan metamfetamin, digunakan di
sering digunakan pada orang-orang yang memiliki gangguan mental komorbid dengan
asosiasi kompleks dan dua arah. Namun karena terjadi penyalahgunaan, amfetamin mulai
dilarang penggunaannya baik untuk pengobatan atau lainnya. Diantara jenis-jenis amfetamin
yang paling sering disalahgunakan, metamfetamin memiliki potensi yang lebih besar untuk
Kanabis di Inggris Raya, Australia, dan beberapa negara di Eropa Barat. Di Amerika Serikat,
Penggunaan kokain saat ini masih melampau penggunaan amfetamin nonmedis, beberapa
studi melaporkan hingga 600.000 penyalahgunaan. Indikasi saat ini yang disetujui oleh Food
and Drug Administration ( FDA ) untuk amfetamin terbatas pada gangguan pemusatan
obesitas, depresi, distimia, sindrom kelelahan kronik, sindrom defisiensi imunitas didapat
(AIDS), dan neurastenia sebagai terapi ajuvan untuk depresi yang resisten terapi obat (Kaplan
Efek yang dapat muncul setelah penggunaan amfetamin tergantung dari jumlah
amfetamin yang dikonsumsi dan cara pemberiannya. Pada umumnya, penggunaan amfetamin
menimbulkan efek akut berupa gangguan sistem simpatetik saraf otonom seperti hipertensi,
takikardia, hipertermia, takipnea, dan vasokonstriksi. Selain itu penggunaan akut amfetamin
dapat menyebabkan euforia, meningkatnya energi dan kewaspadaan, meningkatnya libido dan
dengan kadar N-asetil aspartat yang merupakan penanda intergritas selular yang ditemukan di
dendrit dan akson pada korteks singuli anterior. Fungsi memori juga terganggu pada
pengguna amfetamin jangka panjang. Pengguna amfetamin memiliki waktu respon yang lebih
lambat untuk mengingat dibandingkan orang sehat. (Triswara & Novita, 2017).
kemampuan seseorang untuk menghadapi kewajiban dan stres yang berkaitan dengan
keluarga dan pekerjaan. Seseorang yang menyalahgunakan amfetamin membutuhkan dosis
tinggi amfetamin yang semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi (high) yang biasa,
dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan berat badan dan ide
paranoid) hampir selalu timbul dengan diteruskannya penyalahgunaan. ( Kaplan & Sadock,
2014).
penyalahgunaan dan intoksikasi kokain dilakukan lebih teliti dan mendalam dibanding pada
amfetamin, literatur klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi temuan klinis pada
pcnyalahgunaan kokain. Gejala intoksikasi amfetamin sebagian besar pulih setelah 24 jam
dan umumnya akan hilang sepenuhnya setelah 48 jam ( Kaplan & Sadock, 2014).
Setelah intoksikasi amfetamin, terjadi crash dengan gejala ansietas, gemetar, mood
disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk (diserlai tidur dengan rapid eye movement yang
berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot. kram perut, dan rasa lapar yang tak
terpuaskan. Gejala putus zat biasanya memuncak dalanr 2 sampai.4 hari dan hilang dalam 1
minggu. Gejala putus zat yang paling serius adalah depresi, yang terutama dapat menjadi
berat setelah penggunaan amfetamin dosis tinggi terus-menerus dan dapat dikaitkan dengan
2.9 Kafein
Kafein adalah stimulan sistem saraf pusat (SSP) alami dari kelas methylxanthine dan
merupakan stimulan psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi secara global. Obat ini paling
sering bersumber dari biji kopi tetapi juga dapat ditemukan secara alami pada jenis teh dan
biji kakao tertentu. Ini juga merupakan aditif untuk soda dan minuman energi. Tujuan utama
dari konsumsi kafein adalah untuk memerangi kelelahan dan kantuk, tetapi ada banyak
kegunaan tambahan. Zat psikoaktif yang paling banyak dikonsurnsi di dunia adalah kafein.
Diperkirakan lebih dari 80 persen orang dewasa di Amerika Serikat mengonsumsi kafein
secara teratur dan di seluruh dunia. Oleh karena penggunaan kafein sangat pervasif dan
diterima secara luas. gangguan yang dikaitkan clengan penggunaan kafein mungkin terlewat.
Namun. seseorang sebaiknya mengetahui bahwa kafein merupakan senyawa psikoaktif yang
Kafein membuktikan semua sifat yang dikaitkan dcngan zat yang umumnya
disalahgunakan. Pertama, kafein dapat bekerja sebagai penguat positif, tcrutama pada dosis
rendah. Dosis kafein sekitar 100 mg rnenginduksi euforia ringan pada manusia dan efek
periIaku mencari zat berulang pada hewan lain. Namun, dosis kafein 300 mg tidak bertindak
scbagai penguat positif dan dapat menimbulkan peningkatan ansietas dan disforia ringan.
Kedua. Studi pada hewan dan manusia melaporkan bahwa kafein dapat dibedakan clengan
plasebo pada kondisi eksperimental tersamar. Ketiga, baik studi pada hewan maupun manusia
menunjukkan bahwa timbul toleransi fisik terhadap beberapa efek kafein dan terjadi gejala
Konsumsi kafein umumnya diakui aman. Sebagian besar zat tidak memerlukan
persetujuan FDA untuk aditif kafein selama berada dalam tingkat aman yang ditentukan oleh
undang-undang. Dosis khas kafein kira-kira 70 hingga 100 mg per minuman. Meskipun tidak
ada tunjangan harian khusus untuk kafein, dosis hingga 400 mg sehari dianggap aman
Gejala yang lazim disebabkan olch intoksikasi kalein antara lain ansietas, agitasi
psikomotor. gelisah. iritabilitas, dan keluhan psikofisiologis seperti kedutan otot, muka
memerah, mual, diuresis, gangguan gastrointestinal, keringat berlebih, rasa geli di jari tangan
dan kaki, dan insomnia. Konsumsi lebih dari I g kafein dapat menyebabkan bicara rneracau.
pikiran bingung, aritrnia jantung, rasa tidak mudah lelah. agitasi nyata. Tinitus, dan halusinasi
visuaal ringan (kilasan cahaya). Konsumsi lebih dari l0 g kafein dapat menyebabkan kejang
umum tonik-klonik, gagal napas, dan kematian (Kaplan & Sadock, 2014 ).
melaporkan gejala keadaan putus kafein pada 50 sampai 75 persen pengguna kafein yang
diteliti. Gejala paling umum adalah sakit kepala dan kelelahan, gcjala lain mencakup ansietas,
iritabilitas, gcjala deprcsi ringan, kinerja psikomotor terganggu, mual, muntah. ketagihan
kafein. serta nyeri otot dan kekakuan. Jumlah dan keparahan gejala putus zat berkorelasi
dengan jumlah kafein yang dikonsumsi serta putus zat yang rnendadak. Gejala putus kafein
memiliki awitan 12 sampai 24 jam setelah dosis terakhir; gejala memuncak pada 24 sampai
2.10 Nikotin
Pencitraan otak menunjukkan bahwa nikotin secara akut meningkatkan aktivitas otak
di lobus prefrontal, korteks, thalamus, dan sistem visual. Stimulasi reseptor nikotinik
kolinergik sentral oleh nikotin akan meningkatkan pelepasan berbagai neurotransmitter di
otak, khususnya dopamin. Pelepasan dopamin akan mencetuskan sensasi pengalaman yang
menyenangkan pada otak, menekan rasa lapar, dan meningkatkan metabolisme tubuh.
Paparan nikotin berulang akan menyebabkan neuroadaptasi yaitu toleransi terhadap efek
nikotin, hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah reseptor nikotinik kolinergik di otak.
Ketergantungan nikotin harus dapat didiagnosis dan ditatalaksana dengan baik. Salah satu tes
diagnostik untuk mengetahui apakah seseorang ketergantungan nikotin atau tidak adalah
dengan menggunakan tes Fagerstrom. Seseorang dengan ketergantungan nikotin dosis tinggi
sehingga menimbulkan gejala sering terbangun malam hari dan mengalami gangguan tidur,
memiliki risiko mengalami sakit akibat rokok yang sangat besar (Fitri et al, 2017).
sistern dopaminergik area tegmental ventral, sistem yang sama dengan yang dipengaruhi
kokain dan amfctamin. Berkembangnya dcpendensi diperkuat faktor sosial yang kuat yang
mendorong seseorang untuk merokok pada beberapa situasi serta efek yang sangat kuat dari
iklan perusahaan rokok. Orang akan cenderung merokok bila orang tua atau saudara
kandungnya merokok dan berfungsi sebagai contoh baginya. Sejumlah studi terkini juga
n.renyarankan suatu diatesis genetik terhadap ketergantungan nikotin. Sebagian besar orang
yang merokok ingin berhenti dan telah mencoba beberapa kali untuk berhenti namun gagal
Gejala putus nikotin ditandai dengan gejala emosi yang menurun, cemas, sulit
berkonsentrasi, lapar, peningkatan berat badan, gangguan tidur, dan stress yang meningkat.
Hal ini terjadi karena adanya aktivasi dari extrahypothalamic corticotropin-releasing factor
Gejala putus zat dapat timbul dalam 2 Jam setelah merokok rokok kretek terakhir,
biasanya memuncak dalarn 24 sampai 18 jam pertama, dan dapat berlangsung selama
tidur paradoksikal, penurunan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, peningkatan nafsu
makan dan perlambatan berat badan, penurunan kinerja motorik, serta peningkatan tegangan
otot. Sindrom ringan keadaan putus nikotin dapat muncul bila seorang perokok beralih dari
rokok kretek biasa ke rokok yang berkadar nikotin rendah (Kaplan & Sadock, 2014).
Obat antipsikotik dan obat penenang dapat digunakan untuk mengelola gejala psikotik
yang dihasilkan dari intoksikasi psikostimulan akut. Banyak pasien dengan gangguan
gangguan stres pascatrauma, mania, atau psikosis. Segera setelah penghentian penggunaan
napza, banyak pasien mengalami gejala kejiwaan seperti kecemasan atau insomnia yang dapat
harus digunakan dengan hati-hati sebagai pengobatan lini pertama karena obat ini memiliki
penenang atau neuroleptik dosis rendah harus dipertimbangkan sebagai tambahan untuk
generasi kedua. Kedua kelompok antipsikotik tersebut memiliki aktivitas farmakologi yang
sama, yaitu memblokir reseptor dopamin D2 (Bruijnzeel et al., 2014). Antipsikotik generasi
pertama efektif menangani gejala-gejala positif (Conn et al., 2008). Sedangkan antipsikotik
generasi kedua efektif dalam menangani gejalagejala negatif. Antipsikotik generasi kedua
diketahui memiliki risiko efek samping ekstrapiramidal yang lebih rendah dibandingkan
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan Zat Psikoaktif, infeksi HIV /AIDS
dan kekerasan (violence) merupakan tiga epidemi yang melanda dunia menjelang berakhir
nya millenium kedua dan masih berlanjut sampai sekarang. Dampak gangguan mental dan
perilaku akibat penggunaan Zat Psikoaktif tidak saja beerpengaruh pada kesehatan jasmani,
fungsi mental, kehidupan emosi dan sosial yang bersangkutan, tapi juga merugikan keluarga,
masyarakat ,dan Negara karena permasalahannya begitu luas dan rumit. Gangguan ini
ditanggulangi secara multi disiplin , lintas sektoral, menyeluruh , terkoordinasi, dan konsisten
(Soewana, 2004).
Stimulansia adalah zat yang dapat merangsang sistem saraf pusat (SSP). Stimulan
bekerja dengan merangsang psikomotorik. stimulan akan menciptakan perasaan gembira dan
seseorang lebih waspada dan siaga, serta mengurangi rasa lelah karena pekerjaan fisik.
Intoksikasi adalah suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan alkohol
atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek
atau perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya (Kemenkes, 2015).
Efek samping penyalahgunaan kokain, termasuk serangan jantung, kejang, dan henti
napas, bisa terjadi kapan saja. Bahkan, kematian akibat overdosis bisa terjadi pada
penggunaan kokain yang pertama kali, terutama jika digunakan bersamaan dengan alkohol.
Kokain juga diketahui bisa memicu perilaku kejam dan tidak terduga yang dapat
meningkatkan risiko pelanggaran hukum ( BNN, 2020 ). Secara klinis dan praktis,
ketergantungan kokain atau penyalahgunaan kokain dapat dicurigai pada pasien yang
menunjukkan perubahan kepribadian yang tak dapat dijelaskan. Perubahan umum yang
berkonsentrasi. perilaku kompulsif, insomnia berat, dan penurunan berat badan ( Kaplan &
Sadock, 2014 ).
Efek yang dapat muncul setelah penggunaan amfetamin tergantung dari jumlah
amfetamin yang dikonsumsi dan cara pemberiannya. Pada umumnya, penggunaan amfetamin
menimbulkan efek akut berupa gangguan sistem simpatetik saraf otonom seperti hipertensi,
takikardia, hipertermia, takipnea, dan vasokonstriksi. Selain itu penggunaan akut amfetamin
dapat menyebabkan euforia, meningkatnya energi dan kewaspadaan, meningkatnya libido dan
mengalami gangguan atensi. . Fungsi memori juga terganggu pada pengguna amfetamin
jangka panjang. Pengguna amfetamin memiliki waktu respon yang lebih lambat untuk
Kafein membuktikan semua sifat yang dikaitkan dcngan zat yang umumnya
disalahgunakan. Kafein dapat bekerja sebagai penguat positif, tcrutama pada dosis rendah.
Dosis kafein sekitar 100 mg rnenginduksi euforia ringan pada manusia dan efek periIaku
mencari zat berulang pada hewan lain. Namun, dosis kafein 300 mg tidak bertindak scbagai
penguat positif dan dapat menimbulkan peningkatan ansietas dan disforia ringan. (Kaplan &
Sadock, 2014)
sering terbangun malam hari dan mengalami gangguan tidur, memiliki risiko mengalami sakit
akibat rokok yang sangat besar (Fitri et al, 2017). Ketergantungan nikotin timbul dengan
cepat, mungkin karena nikotin mengaktivasi sistern dopaminergik area tegmental ventral,
sistem yang sama dengan yang dipengaruhi kokain dan amfctamin. Orang akan cenderung
merokok bila orang tua atau saudara kandungnya merokok dan berfungsi sebagai contoh
Bruijnzeel, D., Uma, S., Rajiv, T. 2014. Antipsychotic treatment: An Update. Asian Journal
of Psychiatry, 635 p: 1-5
Conn PJ, Tamminga C, Schoepp DD, Lindsley C. 2008. moving beyond monoamine
antagonists. Mol Interv, 8 p: 99-107.
Docherty, J R (2017). "Pharmacology of stimulants prohibited by the World Anti-Doping
Agency (WADA)". British Journal of Pharmacology. 154 (3): 606–622.
Evans J, Richards JR, Battisti AS. Caffeine. (2020) . Treasure Island. StatPearls Publishing;
Ida Ayu Kade Arisanthi Dewi (2015). (2015). Penyalahgunaan Zat Terlarang (Doping dan
Napza) Sebagai Upaya dalam meningkatkan stamina dalam Olahraga . Jurnal Pendidikan
Kesehatan Rekreasi Volume 1 : Hal. 15 – 19
Nehlig A, Daval JL, Debry G. (2020). Caffeine and the central nervous system: mechanisms
of action, biochemical, metabolic and psychostimulant effects. Brain Res Brain Res Rev.
1992 May-Aug;17(2):139-70.
Sadock, Benjamin J, dan Virginia A. Sadock. 2014. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: EGC
Weinbrenner, S., Assion H-J., Stargardt T., et al. 2009. Drug Prescription Pattern : Analysis
of Data from a German Health Insurance Fund. Pharmacopsychiatry, 42 p: 66 – 71