Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

POLI JIWA DAN NARKOBA


RSUD.JEND. AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan


Zat Stimulansia

Oleh :

Tri Ayati

21360093

Masa KKM : 21 Juni 2021 – 26 Juli 2021

Penguji :

dr. Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN NARKOBA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD. JENDRAL AHMAD YANI METRO
LAMPUNG
JULI 2021
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul

“Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Stimulansia”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada Juli 2021

Oleh:

Tri Ayati

21360093

Masa KKM : 21 Juni 2021 – 26 Juli 2021

Pembimbing :

dr. Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Sp.KJ


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gangguan Mental dan Perilaku....................................................................3
2.2. Intoksikasi Akut...........................................................................................3
2.3. Ketergantungan Zat......................................................................................4
2.4. Kokain..........................................................................................................6
2.5 Amfetamin...................................................................................................9
2.6. Kafein .........................................................................................................14
2.7. Nikotin.........................................................................................................14
2.8. Penanganan..................................................................................................14

BAB III PENUTUP


3.1.Kesimpulan...................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang

bila mana masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terumata otak/susunan

saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan fungsi sosialnya

karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap

NAPZA. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak,

sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran (Kemenkes RI,2014).

Laporan perkembangan situasi NAPZA dunia tahun 2014 menyatakan angka estimasi

pengguna tahun 2012 adalah antara 162 juta hingga 324 juta orang atau sekitar 3,5–7%.

Estimasi pengguna NAPZA tahun 2010 yang kisarannya 3,5–5,7% (UNODC, 2014).

Prevalensi penyalahguna NAPZA di Indonesia setiap tahun selalu meningkat. Pada tahun

2011 prevalensinya sebesar 2,32%, tahun 2013 sebesar 2,56%, dan tahun 2015 sebesar 2,80%

(BNN RI, 2016).

Zat psikoaktif juga diklasifikasikan berdasarkan pengaruh/efeknya terhadap Susuan

Saraf Pusat (SSP), yaitu: Stimulan dengan efek meningkatkan aktivitas SSP pada otak. Zat ini

meningkatkan debar jantung dan pernafasan, serta meningkatkan sensasi eforia (rasa senang

yang berlebihan). Contoh: amfetamin, kokain, nikotin, kafein. Depresan, efek yang didapat

adalah memperlambat aktifitas kerja otak dan menghasilkan ketenangan. Contoh: barbiturat

(fenobarbital, aprobarbital), benzodiazepin. Halusinogen adalah kelompok beragam zat yang

mengubah persepsi (kesadaran akan kondisi sekitar, ruang dan waktu), pikiran, perasaan
( Irsyad, 2020 ).

Zat psikoaktif adalah zat kimia yang memiliki efek psikologis. Banyak zat psikoaktif

yang beredar secara luas di masyarakat, baik yang digunakan secara sengaja ataupun tidak.

Ada beberapa jenis zat psikoaktif yaitu; (1) Golongan ilegal dan terlarang: kokain, mariyuana,

dan heroin; (2) Golongan yang dapat diperoleh dengan permintaan: tembakau dan alkohol;

dan (3) Tergolong legal: kafein (Kemenkes RI, 2010).

Stimulansia adalah zat yang dapat merangsang sistem saraf pusat (SSP). Stimulan

bekerja dengan merangsang psikomotorik. Pada dosis biasa, stimulan akan menciptakan

perasaan gembira dan euforia, meningkatkan kemampuan mental dan fisik, meningkatkan

konsentrasi, membuat seseorang lebih waspada dan siaga, serta mengurangi rasa lelah karena

pekerjaan fisik. Contoh senyawa yang termasuk zat stimulansia adalah amphetamine,

armodafinil, atomoxentine, caffeine, cocain, methylphenidate, nicotine, theobromine,

theophylline, varenicline ( Campbell & Young, 2017 ).

Intoksikasi adalah suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan alkohol

atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek

atau perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya. Keadaan putus zat merupakan

salah satu indikator dari sindrom ketergantungan. Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat

yang digunakan. Gangguan psikologis merupakan gambaran umum dari keadaan putus zat.

(Kemenkes, 2015).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Mental dan Perilaku

Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan obat merupakan gangguan yang

bervariasi luas dan berbeda keparahannya (dari intoksikasi tanpa komplikasi dan pengunaan

yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas dan demensia, tetapi semua itu

diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif dengan atau tanpa resep

dokter (Maslim, 2013).

Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif yang dulu disebut

gangguan penggunaan zat, adalah suatu perilaku yang menyimpang dari norma norma yang

umum nya berlaku pada bebagai kebudayaan didunia. Gangguan mental dan perilaku akibat

penggunaan Zat Psikoaktif, infeksi HIV /AIDS dan kekerasan (violence) merupakan tiga

epidemi yang melanda dunia menjelang berakhir nya millenium kedua dan masih berlanjut

sampai sekarang. Dampak gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan Zat Psikoaktif

tidak saja beerpengaruh pada kesehatan jasmani, fungsi mental, kehidupan emosi dan sosial

yang bersangkutan, tapi juga merugikan keluarga, masyarakat ,dan Negara karena

permasalahannya begitu luas dan rumit. Gangguan ini ditanggulangi secara multi disiplin ,

lintas sektoral, menyeluruh , terkoordinasi, dan konsisten (Soewana, 2004).

2.2 Intoksikasi Akut

Pedoman diagnosis intoksikasi akut berdasarkan PPDGJ-III sebagai berikut:

a. Intoksikasi sering dikaitkan dengan : tingkat dosis zat yang digunakan (dose-

dependent), individu dengan kondisi organik tertentu yang mendasarinya (misalnya


insufisiensi ginjal atau hati) yang dalam dosis kecil dapat menyebabkan efek

intoksikasi berat yang tidak profesional.

b. Disinhibisi yang ada hubungannya dengan konteks sosial perlu dipertimbangkan

(misalnya disinhibisi perilaku pada pesta atau upacara keagamaan)

c. Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul akibat penggunaan

alkohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif,

persepsi, afek atau perilaku, atau fungsi dan respon psikofisiologis lainnya. Intensitas

intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya efek menghilang

bila tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian orang tersebut akan kembali

ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang rusak atau terjadi komplikasi

lainnya.

2.3 Ketergantungan Zat

Ketergantungan adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis,

sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila

pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal

syamptom). Oleh karena itu pecandu selalu berusaha memperoleh NAPZA yang

dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari (Nasutian

et al, 2015).

Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi yang

ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran

yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi

dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
2.4 Definisi Zat Stimulansia

Stimulan adalah obat yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas fisik dan

kewaspadaan dengan meningkatkan gerak jantung dan pernapasan serta meningkatkan fungsi

otak. Dengan berkerja pada sistem saraf pusat, stimulan bisa merangsang tubuh baik secara

mental dan fisik (Dewi, 2015).

Stimulan mempercepat proses mental dan fisik, yang dapat menghasilkan efek yang

diinginkan dalam jangka pendek dengan meningkatkan kadar dopamin di otak. Sementara

pengguna mungkin merasa senang karena efek jangka pendek dari stimulan, penyalahgunaan

jangka panjang dari obat ini dapat memiliki konsekuensi yang signifikan ( American

Addiction Centers, 2021 ).

Stimulan dosis besar dapat menyebabkan over-stimulasi, menyebabkan kecemasan,

panik, kejang, sakit kepala, kram perut, agresi dan paranoia. Penggunaan stimulan kuat dalam

jangka panjang juga dapat menyebabkan sejumlah efek yang merugikan. Stimulan termasuk

kafein, nikotin, amfetamin, dan kokain ( Alcohol and Drug Foundation, 2021 ).

2.5 Efek

Stimulan dalam dosis terapeutik, seperti yang diberikan kepada pasien dengan ADHD,

meningkatkan kemampuan untuk fokus, kekuatan, kemampuan bersosialisasi, meningkatkan

gairah dan dapat meningkatkan mood. Namun, dalam dosis yang lebih tinggi stimulan

sebenarnya dapat menurunkan kemampuan untuk fokus. Dalam dosis yang lebih tinggi

stimulan juga dapat menghasilkan euforia, semangat, dan penurunan kebutuhan untuk tidur.

Banyak, tetapi tidak semua, stimulan memiliki efek ergogenik. Obat-obatan seperti efedrin,
pseudoefedrin, amfetamin, dan metilfenidat memiliki efek ergogenik yang terdokumentasi

dengan baik, sedangkan kokain memiliki efek sebaliknya (Avis et al, 2017).

2.6 Mekanisme Kerja

Kebanyakan stimulan mengerahkan efek pengaktifannya dengan meningkatkan

neurotransmisi katekolamin. Neurotransmitter katekolamin digunakan dalam jalur regulasi

yang terlibat dalam perhatian, gairah, motivasi, arti-penting tugas dan antisipasi penghargaan.

Stimulan memblokir pengambilan kembali atau merangsang penghabisan katekolamin ini,

menghasilkan peningkatan aktivitas sirkuit . Beberapa stimulan, khususnya yang memiliki

efek empathogenik dan halusinogen, juga mempengaruhi transmisi serotonergik. Beberapa

stimulan, seperti beberapa turunan amfetamin dan, terutama, yohimbine, dapat menurunkan

umpan balik negatif dengan melawan pengatur autoreseptor ( Docherty, 2017).

2.7 Kokain

Kokain adalah salah satu stimulan paling terkenal di dunia. Obat yang sangat adiktif,

dibuat dari dan dinamai untuk tanaman koka Amerika Selatan. Bentuk kokain biasanya dalam

bentuk bubuk putih halus dan bentuk "retak" yang mengkristal. Kokain dapat digunakan

melalui banyak metode; bentuk paling umum dari konsumsi kokain bubuk adalah dengan

menghirup obatnya ( American Addiction Centers, 2021).

Kokain dapat memicu otak melepaskan dopamin dan menciptakan rasa gembira untuk

sesaat. Karena efek yang dirasakan bersifat sementara, seseorang jadi harus menggunakan

kokain berulang kali untuk mempertahankan sensasi gembira yang didapatkan. Hal ini

tentunya dapat meningkatkan risiko terjadinya beberapa masalah kesehatan, seperti:

1. Depresi atau kecemasan

2. Aritmia
3. Denyut jantung, tekanan darah, dan suhu tubuh meningkat

4. Kerusakan usus

5. Kehilangan nafsu makan dan kekurangan gizi

6. Kehilangan penciuman (anosmia), terutama bila penggunaan kokain melalui

hidung

7. HIV dan hepatitis C

Kokain adalah alkaloid yang didapatkan dari semak Eryhroxylon coca, asli dari

Amerika Serikat, yang daunnya dikunyah untuk mendapat efek stimulasi. Zat ini masih

digunakan sebagai anastesi lokal, terutama untuk pembedahan mata, hidung, dan

tenggorokan, karena efek vasokontriktif dan analgesiknya yang bermanfaat. Komorbiditas

gangguan terkait kokain sering disertai gangguan psikiatri tambahan. Timbulnya gangguan

mood, gangguan ansietas, gangguan kepribadian antisosial, dan sebagian besar gangguan

terkait kokain menunjukan bahwa gangguan depresi mayor, gangguan bipolar,

gangguansiklotimik, gangguan ansietas, dan gangguan kepribadian antisosial sering

dikaitkan. Pada faktor farmakologis, sebagai akibat kerjanya di Sistem Saraf Pusat (SSP),

kokain dapat menyebabkan sensasi kewaspadaan, euforia, dan rasa sehat (Kaplan & Sadock,

2014).

2.7.1 Ketergantungan dan Penyalahgunaan Kokain

Efek samping penyalahgunaan kokain, termasuk serangan jantung, kejang, dan henti

napas, bisa terjadi kapan saja. Bahkan, kematian akibat overdosis bisa terjadi pada

penggunaan kokain yang pertama kali, terutama jika digunakan bersamaan dengan alkohol.

Kokain juga diketahui bisa memicu perilaku kejam dan tidak terduga yang dapat

meningkatkan risiko pelanggaran hukum ( BNN, 2020 ).


Secara klinis dan praktis, ketergantungan kokain atau penyalahgunaan kokain dapat

dicurigai pada pasien yang menunjukkan perubahan kepribadian yang tak dapat dijelaskan.

Perubahan umum yang disebabkan oleh penggunaan kokain adalah iritabilitas, terganggunya

kemampuan berkonsentrasi. perilaku kompulsif, insomnia berat, dan penurunan berat badan.

Kolega di tempat kerja dan anggota keluarga dapat mengenali ketidakmampuan seseorang

semakin meningkat untuk mengerjakan tugas yang diharapkan yang berhubungan dengan

kehidupan keluarga atau pekerjaan. Pasien mungkin menunjukkan bukti baru meningkatnya

hutang atau ketidakmampuan membayar tagihan tepat waktu karena besarnya jumlah uang

yang digunakan untuk membeli kokain. Penyalahguna kokain sering menarik diri dari situasi

sosial atau pekerjaan tiap 30 sampai 60 mcnit untuk mencari tempat tersembunyi untuk

menghirup lebih banyak kokain. Oleh karena efek vasokonstriksi kokain, pengguna hampir

selalu mengalami kongesti nasal, yang rnungkin dicoba diobati sendiri dengan semprotan

dekongestan (Kaplan & Sadock, 2014).

2.7.2 Intoksikasi Kokain

Jika terdapat halusinasi ketika tidak ditemukan uji realitas yang intak, diagnosis yang

tepat adalah gangguan psikotik terinduksi kokain, dengan halusinasi. Orang menggunakan

kokain untuk efeknya yang khas yaitu elasi, euforia, peningkatan harga diri, dan peningkatan

tugas mental dan fisik. Sejumlah studi rnengindikasikan bahwa dosis rendah kokain

sebenarnya dapat dikaitkan dengan peningkatan kinerja beberapa tugas kognitif. Namun.

pada dosis tinggi, gejala intoksikasi meliputi agitasi, iritabilitas, daya nilai terganggu, perilaku

inipulsif dan seksual yarrg potensial berbahaya, agresi, peningkatan menyeluruh aktivitas

psikomotor, dan, secara potensial. gejala mania. Gejala fisik terkait utama adalah takikardia,

hipertensi, dan midriasis (Kaplan & Sadock, 2014).


2.7.3 Keadaan Putus Kokain

Menurut American Addiction Centers, Gejala putus kokain akut sering hilang setelah

sekitar 7-10 hari. Kokain memiliki waktu paruh yang relatif singkat dan, pada orang dengan

ketergantungan yang signifikan, gejala penarikan dapat dimulai segera setelah 90 menit

setelah dosis terakhir. Garis waktu untuk gejala penarikan bervariasi tergantung pada

individu. Berikut adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jangka waktu

penghentian kokain:

1. Lama penggunaan: Untuk orang yang menyalahgunakan kokain untuk waktu

yang singkat, gejala putus obat mungkin berlangsung relatif singkat. Orang yang telah

menggunakan kokain selama bertahun-tahun dapat terus menderita gejala putus zat

selama berminggu-minggu, mungkin sebagian karena penumpukan obat di dalam

tubuh mereka.

2. Dosis rata-rata yang digunakan: Orang yang telah menggunakan jumlah yang

sangat besar mungkin mengalami gejala penarikan yang lebih intens daripada

seseorang yang menggunakan dosis yang lebih rendah.

3. Ketergantungan polisubstansi: Seseorang yang telah ketergantungan fisiologis

pada 2 obat atau lebih mungkin mengalami gejala putus obat yang berhubungan

dengan keduanya, berpotensi mempersulit jalannya penarikan dan memperburuk

pengalaman orang yang melakukan detoksifikasi.

4. Lingkungan: Jika kokain digunakan sebagai sarana untuk melarikan diri dari

lingkungan yang penuh tekanan, stres dapat memicu keinginan untuk menggunakan

lagi. Akibatnya, faktor lingkungan yang menyebabkan stres - seperti masalah

hubungan, masalah pekerjaan, atau faktor lain - dapat menyebabkan keinginan yang
kuat untuk kokain, memperumit proses penarikan psikologis (American Addiction

Centers, 2021).

Setelah penghentian penggunaan kokain atau setelah intoksikasi akut, depresi pasca

intoksikasi ("crash") dapat menimbulkangejala disforia, anhedonia, ansietas, iritabilitas,

kelelahan, hipersolmolen, dan kadang-kadang agitasi. Dengan penggunaan kokain ringan

sarrpai sedang, gejala plltus zat berakhir dalam waktu 18 jam. Dengan penggunaan berat,

seperti pasca ketergantungan kokain, gejala putus zat cepat berlangsung hingga satu minggu

tapi biasanya memuncak dalam 2 sampai 1 hari. Beberapa pasien dan sejumlah laporan

anekdotal mcnggambarkan sindrom putus kokain yang berlangsung berminggu-minggu ataau

berbulan-bulan. Gejala putus zat juga dapat dihubungkan dengan ide bunuh diri pada orang

yang tcrkena (Kaplan & Sadock, 2014).

2.8 Amfetamin

Amfetamin merupakan salah satu zat kimia berbahaya yang dapat menyebabkan

kecanduan. Meskipun demikian amfetamin juga digunakan untuk pengobatan. Amfetamin

yang digunakan untuk pengobatan adalah kelas d-amfetamin dan metamfetamin, digunakan di

beberapa negara untuk mengobati berbagai penyakit seperti attention-deficit hyperactive

disorder (ADHD), narkolepsi, dan obesitas. Penggunaan amfetamin sebagai pengobatan

sering digunakan pada orang-orang yang memiliki gangguan mental komorbid dengan

asosiasi kompleks dan dua arah. Namun karena terjadi penyalahgunaan, amfetamin mulai

dilarang penggunaannya baik untuk pengobatan atau lainnya. Diantara jenis-jenis amfetamin

yang paling sering disalahgunakan, metamfetamin memiliki potensi yang lebih besar untuk

menimbulkan kecanduan (Triswara & Novita, 2017).


Amfetamin adalah salah satu obat terlarang yang banyak digunakan, kedua setelah

Kanabis di Inggris Raya, Australia, dan beberapa negara di Eropa Barat. Di Amerika Serikat,

Penggunaan kokain saat ini masih melampau penggunaan amfetamin nonmedis, beberapa

studi melaporkan hingga 600.000 penyalahgunaan. Indikasi saat ini yang disetujui oleh Food

and Drug Administration ( FDA ) untuk amfetamin terbatas pada gangguan pemusatan

perhatian/ hiperaktivitas dan narkolepsi. Amfetamin juga digunakan dalam penanganan

obesitas, depresi, distimia, sindrom kelelahan kronik, sindrom defisiensi imunitas didapat

(AIDS), dan neurastenia sebagai terapi ajuvan untuk depresi yang resisten terapi obat (Kaplan

& Sadock, 2014).

2.8.1 Ketergantungan Amfetamin dan Penyalahgunaan Amfetamin

Efek yang dapat muncul setelah penggunaan amfetamin tergantung dari jumlah

amfetamin yang dikonsumsi dan cara pemberiannya. Pada umumnya, penggunaan amfetamin

menimbulkan efek akut berupa gangguan sistem simpatetik saraf otonom seperti hipertensi,

takikardia, hipertermia, takipnea, dan vasokonstriksi. Selain itu penggunaan akut amfetamin

dapat menyebabkan euforia, meningkatnya energi dan kewaspadaan, meningkatnya libido dan

kepercayaan diri, perasaan meningkatnya. Pengguna amfetamin jangka panjang akan

mengalami gangguan atensi. Suatu penelitian menunjukkan bahwa atensi berhubungan

dengan kadar N-asetil aspartat yang merupakan penanda intergritas selular yang ditemukan di

dendrit dan akson pada korteks singuli anterior. Fungsi memori juga terganggu pada

pengguna amfetamin jangka panjang. Pengguna amfetamin memiliki waktu respon yang lebih

lambat untuk mengingat dibandingkan orang sehat. (Triswara & Novita, 2017).

Ketergantungan amfetamin dapat mengakibatkan penurunan spiral yang cepat dari

kemampuan seseorang untuk menghadapi kewajiban dan stres yang berkaitan dengan
keluarga dan pekerjaan. Seseorang yang menyalahgunakan amfetamin membutuhkan dosis

tinggi amfetamin yang semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi (high) yang biasa,

dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan berat badan dan ide

paranoid) hampir selalu timbul dengan diteruskannya penyalahgunaan. ( Kaplan & Sadock,

2014).

2.8.2 Intoksikasi Amfetamin

Sindrom intoksikasi kokain (menghalangi reuptake dopamin) dan amfetamin

(menyebabkan pelepasan dopamin) sifatnya serupa. Oleh karena penelitian tentang

penyalahgunaan dan intoksikasi kokain dilakukan lebih teliti dan mendalam dibanding pada

amfetamin, literatur klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi temuan klinis pada

pcnyalahgunaan kokain. Gejala intoksikasi amfetamin sebagian besar pulih setelah 24 jam

dan umumnya akan hilang sepenuhnya setelah 48 jam ( Kaplan & Sadock, 2014).

2.8.3 Keadaan Putus Amfetamin

Setelah intoksikasi amfetamin, terjadi crash dengan gejala ansietas, gemetar, mood

disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk (diserlai tidur dengan rapid eye movement yang

berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot. kram perut, dan rasa lapar yang tak

terpuaskan. Gejala putus zat biasanya memuncak dalanr 2 sampai.4 hari dan hilang dalam 1

minggu. Gejala putus zat yang paling serius adalah depresi, yang terutama dapat menjadi

berat setelah penggunaan amfetamin dosis tinggi terus-menerus dan dapat dikaitkan dengan

ide atau perilaku bunuh diri ( Kaplan & Sadock, 2014).

2.9 Kafein

Kafein adalah stimulan sistem saraf pusat (SSP) alami dari kelas methylxanthine dan

merupakan stimulan psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi secara global. Obat ini paling
sering bersumber dari biji kopi tetapi juga dapat ditemukan secara alami pada jenis teh dan

biji kakao tertentu. Ini juga merupakan aditif untuk soda dan minuman energi. Tujuan utama

dari konsumsi kafein adalah untuk memerangi kelelahan dan kantuk, tetapi ada banyak

kegunaan tambahan. Zat psikoaktif yang paling banyak dikonsurnsi di dunia adalah kafein.

Diperkirakan lebih dari 80 persen orang dewasa di Amerika Serikat mengonsumsi kafein

secara teratur dan di seluruh dunia. Oleh karena penggunaan kafein sangat pervasif dan

diterima secara luas. gangguan yang dikaitkan clengan penggunaan kafein mungkin terlewat.

Namun. seseorang sebaiknya mengetahui bahwa kafein merupakan senyawa psikoaktif yang

dapat menimbulkan kisaran sindrom yang luas. (Nehlig et al, 2020 ).

2.9.1 Kafein sebagai Zat yang Disalahgunakan

Kafein membuktikan semua sifat yang dikaitkan dcngan zat yang umumnya

disalahgunakan. Pertama, kafein dapat bekerja sebagai penguat positif, tcrutama pada dosis

rendah. Dosis kafein sekitar 100 mg rnenginduksi euforia ringan pada manusia dan efek

periIaku mencari zat berulang pada hewan lain. Namun, dosis kafein 300 mg tidak bertindak

scbagai penguat positif dan dapat menimbulkan peningkatan ansietas dan disforia ringan.

Kedua. Studi pada hewan dan manusia melaporkan bahwa kafein dapat dibedakan clengan

plasebo pada kondisi eksperimental tersamar. Ketiga, baik studi pada hewan maupun manusia

menunjukkan bahwa timbul toleransi fisik terhadap beberapa efek kafein dan terjadi gejala

putus zat. (Kaplan & Sadock, 2014)

2.9.2 Intoksikasi Kafein

Konsumsi kafein umumnya diakui aman. Sebagian besar zat tidak memerlukan

persetujuan FDA untuk aditif kafein selama berada dalam tingkat aman yang ditentukan oleh

undang-undang. Dosis khas kafein kira-kira 70 hingga 100 mg per minuman. Meskipun tidak
ada tunjangan harian khusus untuk kafein, dosis hingga 400 mg sehari dianggap aman

(Nehlig et al, 2020 ).

Gejala yang lazim disebabkan olch intoksikasi kalein antara lain ansietas, agitasi

psikomotor. gelisah. iritabilitas, dan keluhan psikofisiologis seperti kedutan otot, muka

memerah, mual, diuresis, gangguan gastrointestinal, keringat berlebih, rasa geli di jari tangan

dan kaki, dan insomnia. Konsumsi lebih dari I g kafein dapat menyebabkan bicara rneracau.

pikiran bingung, aritrnia jantung, rasa tidak mudah lelah. agitasi nyata. Tinitus, dan halusinasi

visuaal ringan (kilasan cahaya). Konsumsi lebih dari l0 g kafein dapat menyebabkan kejang

umum tonik-klonik, gagal napas, dan kematian (Kaplan & Sadock, 2014 ).

2.9.3 Keadaan Putus Kafein

Munculnya gejala putus zat mencerminkan toleransi dan ketergantungan fisiologis

yang timbul dengan konsumsi kafein berkelanjutan. Bebcrapa studi epidemiologis

melaporkan gejala keadaan putus kafein pada 50 sampai 75 persen pengguna kafein yang

diteliti. Gejala paling umum adalah sakit kepala dan kelelahan, gcjala lain mencakup ansietas,

iritabilitas, gcjala deprcsi ringan, kinerja psikomotor terganggu, mual, muntah. ketagihan

kafein. serta nyeri otot dan kekakuan. Jumlah dan keparahan gejala putus zat berkorelasi

dengan jumlah kafein yang dikonsumsi serta putus zat yang rnendadak. Gejala putus kafein

memiliki awitan 12 sampai 24 jam setelah dosis terakhir; gejala memuncak pada 24 sampai

48jam, dan menghilang dalam 1 minggu (Kaplan & Sadock, 2014).

2.10 Nikotin

2.10.1 Ketergantungan Nikotin

Pencitraan otak menunjukkan bahwa nikotin secara akut meningkatkan aktivitas otak

di lobus prefrontal, korteks, thalamus, dan sistem visual. Stimulasi reseptor nikotinik
kolinergik sentral oleh nikotin akan meningkatkan pelepasan berbagai neurotransmitter di

otak, khususnya dopamin. Pelepasan dopamin akan mencetuskan sensasi pengalaman yang

menyenangkan pada otak, menekan rasa lapar, dan meningkatkan metabolisme tubuh.

Paparan nikotin berulang akan menyebabkan neuroadaptasi yaitu toleransi terhadap efek

nikotin, hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah reseptor nikotinik kolinergik di otak.

Ketergantungan nikotin harus dapat didiagnosis dan ditatalaksana dengan baik. Salah satu tes

diagnostik untuk mengetahui apakah seseorang ketergantungan nikotin atau tidak adalah

dengan menggunakan tes Fagerstrom. Seseorang dengan ketergantungan nikotin dosis tinggi

sehingga menimbulkan gejala sering terbangun malam hari dan mengalami gangguan tidur,

memiliki risiko mengalami sakit akibat rokok yang sangat besar (Fitri et al, 2017).

Ketergantungan nikotin timbul dengan cepat, mungkin karena nikotin mengaktivasi

sistern dopaminergik area tegmental ventral, sistem yang sama dengan yang dipengaruhi

kokain dan amfctamin. Berkembangnya dcpendensi diperkuat faktor sosial yang kuat yang

mendorong seseorang untuk merokok pada beberapa situasi serta efek yang sangat kuat dari

iklan perusahaan rokok. Orang akan cenderung merokok bila orang tua atau saudara

kandungnya merokok dan berfungsi sebagai contoh baginya. Sejumlah studi terkini juga

n.renyarankan suatu diatesis genetik terhadap ketergantungan nikotin. Sebagian besar orang

yang merokok ingin berhenti dan telah mencoba beberapa kali untuk berhenti namun gagal

( Kaplan & Sadock, 2014).

2.10.2 Keadaan Putus Nikotin

Gejala putus nikotin ditandai dengan gejala emosi yang menurun, cemas, sulit

berkonsentrasi, lapar, peningkatan berat badan, gangguan tidur, dan stress yang meningkat.
Hal ini terjadi karena adanya aktivasi dari extrahypothalamic corticotropin-releasing factor

(CRF) yang dilepaskan di nukleus inti amigdala (Fitri et al, 2017).

Gejala putus zat dapat timbul dalam 2 Jam setelah merokok rokok kretek terakhir,

biasanya memuncak dalarn 24 sampai 18 jam pertama, dan dapat berlangsung selama

berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala yang lazim mencakup ketagihan intens

terhadap nikotin, ketegangan. iritabilitas, kesulitan berkonsentrasi, mengantuk dan kesulitan

tidur paradoksikal, penurunan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, peningkatan nafsu

makan dan perlambatan berat badan, penurunan kinerja motorik, serta peningkatan tegangan

otot. Sindrom ringan keadaan putus nikotin dapat muncul bila seorang perokok beralih dari

rokok kretek biasa ke rokok yang berkadar nikotin rendah (Kaplan & Sadock, 2014).

2.11 Terapi Farmakologis

Obat antipsikotik dan obat penenang dapat digunakan untuk mengelola gejala psikotik

yang dihasilkan dari intoksikasi psikostimulan akut. Banyak pasien dengan gangguan

penyalahgunaan napza juga mengalami gangguan jiwa komorbiditas seperti depresi,

gangguan stres pascatrauma, mania, atau psikosis. Segera setelah penghentian penggunaan

napza, banyak pasien mengalami gejala kejiwaan seperti kecemasan atau insomnia yang dapat

diobati dengan obat simptomatik. Namun, obat penenang-hipnotis seperti benzodiazepin

harus digunakan dengan hati-hati sebagai pengobatan lini pertama karena obat ini memiliki

potensi ketergantungan yang tinggi. Sebaliknya, alternatif obat-obatan seperti antidepresan

penenang atau neuroleptik dosis rendah harus dipertimbangkan sebagai tambahan untuk

perawatan psikososial dan perilaku (UNODC, 2019)

Antipsikotik diklasifikasikan menjadi antipsikotik generasi pertama dan antipsikotik

generasi kedua. Kedua kelompok antipsikotik tersebut memiliki aktivitas farmakologi yang
sama, yaitu memblokir reseptor dopamin D2 (Bruijnzeel et al., 2014). Antipsikotik generasi

pertama efektif menangani gejala-gejala positif (Conn et al., 2008). Sedangkan antipsikotik

generasi kedua efektif dalam menangani gejalagejala negatif. Antipsikotik generasi kedua

diketahui memiliki risiko efek samping ekstrapiramidal yang lebih rendah dibandingkan

antipsikotik generasi pertama (Weinbrenner et al., 2009; Hanson et al., 2010).


BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan Zat Psikoaktif, infeksi HIV /AIDS

dan kekerasan (violence) merupakan tiga epidemi yang melanda dunia menjelang berakhir

nya millenium kedua dan masih berlanjut sampai sekarang. Dampak gangguan mental dan

perilaku akibat penggunaan Zat Psikoaktif tidak saja beerpengaruh pada kesehatan jasmani,

fungsi mental, kehidupan emosi dan sosial yang bersangkutan, tapi juga merugikan keluarga,

masyarakat ,dan Negara karena permasalahannya begitu luas dan rumit. Gangguan ini

ditanggulangi secara multi disiplin , lintas sektoral, menyeluruh , terkoordinasi, dan konsisten

(Soewana, 2004).

Stimulansia adalah zat yang dapat merangsang sistem saraf pusat (SSP). Stimulan

bekerja dengan merangsang psikomotorik. stimulan akan menciptakan perasaan gembira dan

euforia, meningkatkan kemampuan mental dan fisik, meningkatkan konsentrasi, membuat

seseorang lebih waspada dan siaga, serta mengurangi rasa lelah karena pekerjaan fisik.

Contoh senyawa yang termasuk zat stimulansia adalah amphetamine, armodafinil,

atomoxentine, caffeine, cocain, methylphenidate, nicotine, theobromine, theophylline,

varenicline ( Campbell & Young, 2017 ).

Intoksikasi adalah suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan alkohol

atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek

atau perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya (Kemenkes, 2015).
Efek samping penyalahgunaan kokain, termasuk serangan jantung, kejang, dan henti

napas, bisa terjadi kapan saja. Bahkan, kematian akibat overdosis bisa terjadi pada

penggunaan kokain yang pertama kali, terutama jika digunakan bersamaan dengan alkohol.

Kokain juga diketahui bisa memicu perilaku kejam dan tidak terduga yang dapat

meningkatkan risiko pelanggaran hukum ( BNN, 2020 ). Secara klinis dan praktis,

ketergantungan kokain atau penyalahgunaan kokain dapat dicurigai pada pasien yang

menunjukkan perubahan kepribadian yang tak dapat dijelaskan. Perubahan umum yang

disebabkan oleh penggunaan kokain adalah iritabilitas, terganggunya kemampuan

berkonsentrasi. perilaku kompulsif, insomnia berat, dan penurunan berat badan ( Kaplan &

Sadock, 2014 ).

Efek yang dapat muncul setelah penggunaan amfetamin tergantung dari jumlah

amfetamin yang dikonsumsi dan cara pemberiannya. Pada umumnya, penggunaan amfetamin

menimbulkan efek akut berupa gangguan sistem simpatetik saraf otonom seperti hipertensi,

takikardia, hipertermia, takipnea, dan vasokonstriksi. Selain itu penggunaan akut amfetamin

dapat menyebabkan euforia, meningkatnya energi dan kewaspadaan, meningkatnya libido dan

kepercayaan diri, perasaan meningkatnya. Pengguna amfetamin jangka panjang akan

mengalami gangguan atensi. . Fungsi memori juga terganggu pada pengguna amfetamin

jangka panjang. Pengguna amfetamin memiliki waktu respon yang lebih lambat untuk

mengingat dibandingkan orang sehat. (Triswara & Novita, 2017).

Kafein membuktikan semua sifat yang dikaitkan dcngan zat yang umumnya

disalahgunakan. Kafein dapat bekerja sebagai penguat positif, tcrutama pada dosis rendah.

Dosis kafein sekitar 100 mg rnenginduksi euforia ringan pada manusia dan efek periIaku

mencari zat berulang pada hewan lain. Namun, dosis kafein 300 mg tidak bertindak scbagai
penguat positif dan dapat menimbulkan peningkatan ansietas dan disforia ringan. (Kaplan &

Sadock, 2014)

Seseorang dengan ketergantungan nikotin dosis tinggi sehingga menimbulkan gejala

sering terbangun malam hari dan mengalami gangguan tidur, memiliki risiko mengalami sakit

akibat rokok yang sangat besar (Fitri et al, 2017). Ketergantungan nikotin timbul dengan

cepat, mungkin karena nikotin mengaktivasi sistern dopaminergik area tegmental ventral,

sistem yang sama dengan yang dipengaruhi kokain dan amfctamin. Orang akan cenderung

merokok bila orang tua atau saudara kandungnya merokok dan berfungsi sebagai contoh

baginya ( Kaplan & Sadock, 2014).


Daftar Pustaka

American Addiction Centers (2021). Stimulant Drug pada URL:


https://americanaddictioncenters.org/stimulant-drugs diakses tanggal 6 Juli 2021

Avois, L; Robinson, N; Saudan, C; Baume, N; Mangin, P; Saugy. M (2017). "Central nervous


system stimulants and sport practice". British Journal of Sports Medicine. .

Bruijnzeel, D., Uma, S., Rajiv, T. 2014. Antipsychotic treatment: An Update. Asian Journal
of Psychiatry, 635 p: 1-5

Conn PJ, Tamminga C, Schoepp DD, Lindsley C. 2008. moving beyond monoamine
antagonists. Mol Interv, 8 p: 99-107.
Docherty, J R (2017). "Pharmacology of stimulants prohibited by the World Anti-Doping
Agency (WADA)". British Journal of Pharmacology. 154 (3): 606–622.

Evans J, Richards JR, Battisti AS. Caffeine. (2020) . Treasure Island. StatPearls Publishing;

Ida Ayu Kade Arisanthi Dewi (2015). (2015). Penyalahgunaan Zat Terlarang (Doping dan
Napza) Sebagai Upaya dalam meningkatkan stamina dalam Olahraga . Jurnal Pendidikan
Kesehatan Rekreasi Volume 1 : Hal. 15 – 19

Kemenkes. (2015). Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


HK.02.02/MENKES/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Kedokteran Jiwa

Morton, W. Alexander; Stockton, Gwendolyn G. (2017). "Methylphenidate Abuse and


Psychiatric Side Effects". Primary Care Companion to the Journal of Clinical
Psychiatry. 2 (5): 159–164.

Nasution, dkk, (2015). Penyalahgunaan Napza.Divisi Psikosomatis Departemen Ilmu


Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik .Medan.

Nehlig A, Daval JL, Debry G. (2020). Caffeine and the central nervous system: mechanisms
of action, biochemical, metabolic and psychostimulant effects. Brain Res Brain Res Rev.
1992 May-Aug;17(2):139-70.
Sadock, Benjamin J, dan Virginia A. Sadock. 2014. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: EGC

Soewana, S. (2004). Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif:


Penyalahgunaan NAPZA/ Narkoba. EGC.

Weinbrenner, S., Assion H-J., Stargardt T., et al. 2009. Drug Prescription Pattern : Analysis
of Data from a German Health Insurance Fund. Pharmacopsychiatry, 42 p: 66 – 71

Anda mungkin juga menyukai