Anda di halaman 1dari 37

TATALAKSANA GANGGUAN TIDUR PASIEN HEMODIALISA

BAB I
PENDAHULUAN

Keluhan tidur merupakan keluhan yang sangat umum pada pasien dengan
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD/End Stage Renal Disease) dan terbukti telah
berkontribusi pada penurunan kualitas hidup mereka (Abdelwhab et al., 2010).
Meskipun bervariasi, prevalensinya gangguan tidur telah dilaporkan lebih tinggi
pada populasi ini dibandingkan dengan populasi umum. Keluhan yang paling
sering dilaporkan adalah insomnia, restless leg syndrome (RLS), gangguan
pernapasan saat tidur/sleep apnea dan kantuk berlebihan di siang hari
(EDS/Excessive Daytime Sleepiness) (Ezzat and Mohab,2015).
Individu yang menerima hemodialisis menanggung beban yang tinggi baik
dari gejala fisik dan suasana hati. Lebih dari separuh pasien hemodialisis
melaporkan gangguan tidur, kram otot, dan kelelahan. Pasien menggambarkan
gejala-gejala tersebut secara substansial telah mempengaruhi kualitas hidup
mereka karena mengakibatkan gangguan pada hubungan sosial, stabilitas
keuangan, dan kesejahteraan secara keseluruhan (Cox et al., 2017). Hal ini
menunjukkan bahwa manajeemen pengurangan gejala dapat secara bermakna
meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga pada pasien hemodialisis
manajemen gejala merupakan bidang utama untuk penelitian dan inovasi serta
pengurangan gejala perlu menjadi prioritas di atas hasil kesehatan lainnya seperti
kematian dan indeks biokimia (Flythe et al., 2019).
Keluhan terkait tidur mempengaruhi 50-80% pasien yang menjalani
dialisis. Etiologi gangguan tidur seringkali multifaktorial: faktor biologis, sosial,
dan psikologis berperan. Hal ini terutama berlaku untuk insomnia, yang
merupakan gangguan tidur paling umum pada populasi yang berbeda, termasuk
pasien yang menjalani dialisis. Perubahan biokimia dan metabolisme, faktor gaya
hidup, depresi, kecemasan, dan gangguan tidur lainnya yang mendasari semuanya
dapat memiliki efek pada perkembangan dan persistensi gangguan tidur, yang
mengarah ke insomnia kronis. Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan memulai
atau mempertahankan tidur, atau memiliki tidur nonrestoratif. Hal ini juga terkait
dengan konsekuensi siang hari, seperti kantuk dan kelelahan, dan gangguan fungsi
siang hari (Novak et al., 2006).
Kedua sindrom baik sentral maupun obstruktif sleep apnea dilaporkan
lebih sering pada pasien dialisis daripada pada populasi umum. Gangguan fungsi
siang hari, kantuk, dan kelelahan, serta masalah kognitif, diketahui pada pasien
dengan sleep apnea. Semakin banyak bukti yang mendukung peran patofisiologi
sleep apnea pada gangguan kardiovaskular yang merupakan penyebab utama
kematian pada pasien ESRD. Faktor uremik mungkin terlibat dalam patogenesis
sleep apnea pada populasi pasien ini dan dialisis yang optimal dapat mengurangi
keparahan penyakit. Restless legs syndrome (RLS) sangat lazim pada pasien
dengan dialisis. Patofisiologi gangguan mungkin juga melibatkan faktor terkait
uremia, kekurangan zat besi, dan anemia, tetapi faktor genetik dan gaya hidup
mungkin juga berperan (Maung et al., 2016).
Pengobatan gangguan tidur secara keseluruhan harus melibatkan
kombinasi pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis. Mengingat pentingnya
gangguan tidur, kesadaran lebih di kalangan profesional yang terlibat dalam
perawatan pasien dialisis tentu sangat diperlukan. Penatalaksanaan gangguan tidur
yang tepat akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup dan bahkan mungkin
juga berdampak pada kelangsungan hidup pasien ginjal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Meskipun tidak ada konsensus tentang pengobatan khusus gangguan tidur


pada pasien dengan penyakit ginjal, dianjurkan untuk menggunakan pendekatan
non farmakologis terlebih dahulu (Scherer et al., 2017). Hal ini disebabkan karena
pada pasien dengan gangguan ginjal dapat menimbulkan masalah yang signifikan
ketika merancang intervensi farmakologis jangka panjang. Pengaruh gangguan
ginjal pada metabolisme obat yang diberikan merupakan pertimbangan yang
sangat penting (Novak et al., 2006).
Seperti yang sudah diketahui, hamper seluruh pasien CKD mengkonsumsi
sejumlah besar obat yang dapat berpotensi untuk berinteraksi. Oleh karena itu
interaksi obat juga perlu dinilai dengan hati-hati sebelum memperkenalkan obat
baru. Potensi toleransi dan kecanduan dengan beberapa hipnotik juga sangat
penting (Novak et al., 2006).
Demikian pula, banyak pertanyaan muncul ketika menilai terapi
nonfarmakologis pada populasi CKD. Efek kompleks dari penyakit ginjal kronis
yang berpotensi mengancam jiwa dan terapi CKD yang sangat restriktif dan
intrusif tentu memerlukan pertimbangan khusus dalam merancang intervensi
psikologis, karena faktor-faktor ini akan mempengaruhi kepatuhan pasien dan
efektivitas intervensi (Novak et al., 2006).Kekhawatiran khusus ini hanya dapat
diatasi secara memadai ketika hasil dari uji coba terkontrol acak yang dirancang
dan dilakukan dengan tepat yang melibatkan sejumlah besar subjek dengan
ukuran hasil yang penting secara klinis, seperti kualitas hidup, morbiditas,
pemanfaatan perawatan kesehatan, dan bahkan kelangsungan hidup, dilaporkan.
Hanya dengan demikian akan memungkinkan untuk menilai dengan tepat
keefektifan dan nilai keseluruhan dari pilihan pengobatan individu pada pasien
dengan gangguan ginjal atau terapi dialysis.

A.
A. Farmakologis
1. Insomnia
Pengobatan farmakologis sebagian besar diindikasikan untuk insomnia
sementara. Namun, data terbaru mendukung kelayakan manajemen farmakologis
jangka panjang insomnia kronis tanpa bukti toleransi atau penyalahgunaan (Novak
et al., 2006).
Pengobatan farmakologis insomnia pada gagal ginjal adalah:
1. Benzodiazepine-receptor agonists
Nama obat: temezapam (Restoril), lorazepam (Ativan), triazolam (Halcion)
Efek samping: sedasi, ataksia, hipotensi, pusing, gangguan siang hari
Penyesuaian dosis: tidak ada (Scherer et al., 2017).
Meskipun benzodiazepin umumnya digunakan sebagai hipnotik dan telah terbukti
berkhasiat dalam mengobati insomnia, namun golongan ini juga telah dikaitkan
dengan sejumlah efek samping. Ini termasuk toleransi, ketergantungan, penarikan
dan potensi penyalahgunaan, penurunan kinerja kognitif dan psikomotor di siang
hari (termasuk peningkatan risiko kecelakaan dan jatuh), efek buruk pada
pernapasan, dan gangguan arsitektur tidur normal dengan pengurangan tidur
gelombang lambat dan gerakan mata yang cepat (Barbera and Saphiro, 2005).
2. Nonbenzodiazepine-benzodiazepine receptor agonists
Nama obat: eszopiclone (Lunesta), zolpidem (Ambien), zaleplon (Sonata)
Efek samping: sedasi, ataksia, hipotensi, rasa tidak enak dari eszopiclone
Penyesuaian dosis: tidak ada (Scherer et al., 2017).
Agonis reseptor benzodiazepin (zolpidem, zaleplon, zopiclone, dan eszopiclone)
juga dipertimbangkan, bersama dengan benzodiazepin di atas, agen farmakologis
lini pertama untuk pengobatan insomnia akut/sementara. Hipnotik generasi kedua
ini tampaknya memiliki banyak keunggulan dibandingkan benzodiazepin.
Berdasarkan profil yang berbeda dari hipnotik ini, mereka mungkin diindikasikan
untuk insomnia onset tidur (kerja singkat) atau insomnia pemeliharaan (waktu
paruh menengah atau panjang). Obat short-acting, seperti triazolam dan zaleplon,
serta zolpidem dan zopiclone, umumnya lebih disukai karena mereka
menghasilkan sedikit sisa kantuk di pagi hari setelah penggunaannya. Lorazepam
dan temazepam memiliki waktu paruh menengah, oleh karena itu mereka
dianggap sebagian besar untuk insomnia pemeliharaan. Agen yang bekerja lebih
lama (misalnya, flurazepam), sementara meningkatkan pemeliharaan tidur,
mungkin memiliki efek residu yang signifikan (sedasi, gangguan fungsi kognitif
dan psikomotor) yang membatasi penggunaannya. Meskipun ada lebih sedikit
pengalaman klinis dengan obat yang lebih baru, dan kami membutuhkan lebih
banyak penelitian mengenai penggunaan jangka panjangnya, tolerabilitas
keseluruhan agonis reseptor benzodiazepin tampaknya cukup menguntungkan,
dengan kecenderungan rendah untuk menyebabkan efek residu klinis, withdrawl,
ketergantungan, atau toleransi. Dalam satu-satunya uji klinis yang menyelidiki
penggunaan obat hipnosedatif dalam rejimen "sesuai kebutuhan", zolpidem
menghasilkan peningkatan global dalam tidur (Hajak et al., 2004). Zaleplon
memiliki waktu paruh yang sangat pendek sekitar 1 jam, dan telah ditunjukkan
dalam sejumlah penelitian untuk mempromosikan inisiasi tidur, tetapi kurang
dalam mempromosikan pemeliharaan tidur. Efek samping zaleplon juga telah
terbukti sembuh lebih cepat atau lebih kecil daripada yang terkait dengan
benzodiazepin (termasuk triazolam) dan hipnotik nonbenzodiazepine yang bekerja
lebih lama (zolpidem dan zopiclone) (Barbera and Saphiro, 2005). Zaleplon telah
dipelajari dalam uji randomized, double blind, placebo-controlled trial dari 14
pasien HD di Italia. Pada dosis 10 mg (5 mg jika berusia> 65 tahun), ada
peningkatan yang signifikan dalam skor total kualitas tidur dibandingkan plasebo
(P <0,03) tanpa efek samping yang signifikan (Scherer et al., 2017).
3. Antidepressants
Nama obat: trazodone (Desyrel), mirtazapine (Remeron), doxepin (Sinequan,
Silenor)
Efek samping: sedasi, efek antikolinergik, penambahan berat badan (mirtazapine)
Penyesuaian dosis: tidak ada (Scherer et al., 2017).
Antidepresan penenang (misalnya, amitriptyline, trazodone, mirtazapine),
meskipun bukan hipnotik, mungkin berguna dalam pengelolaan pasien yang
mengalami depresi dan insomnia. Namun, hanya ada sedikit data mengenai
efektivitas dan keamanannya pada insomnia kronis. Semua antidepresan memiliki
potensi efek samping yang signifikan, dan ini menimbulkan kekhawatiran
mengenai rasio risiko:manfaat. Karena sifat penenangnya, trazodone saat ini
merupakan obat yang paling sering diresepkan kedua di Amerika Serikat, tetapi
menurut tinjauan baru-baru ini, ada kekurangan penelitian untuk menunjukkan
keefektifannya pada pasien dengan insomnia (Mendelson, 2005). Efek samping
seperti pusing, sedasi, dan gangguan psikomotor menimbulkan kekhawatiran
tentang penggunaannya, terutama pada orang tua.
4. Orexin antagonist
Nama obat: suvorexant (Belsomra)
Efek samping: mengantuk, sakit kepala, pusing
Penyesuaian dosis: tidak ada, belum ada penelitian (Scherer et al., 2017).
5. Melatonin agonist
Nama obat: ramelteon (Rozerem)
Efek samping: sedasi
Penyesuaian dosis: tidak ada, belum ada penelitian (Scherer et al., 2017).
6. Melatonin
Nama obat: melatonin
Efek samping: kantuk
Penyesuaian dosis: tidak ada (Scherer et al., 2017).
Melatonin adalah produk dari kelenjar pineal, dan metabolismenya yang
terganggu diduga berperan dalam mekanisme gangguan tidur. Data mengenai
kemanjuran dan keamanan melatonin sangat minim. Melatonin direkomendasikan
untuk pengaturan dan peningkatan siklus tidur-bangun pada pasien dengan
insomnia. Basis bukti yang agak terbatas pada pasien ESRD mendukung hal ini.
Dalam studi jangka pendek pada pasien HD (Koch et al., 2009), 3 mg melatonin
(diberikan pada waktu tidur atau 10 malam masing-masing) meningkatkan
parameter tidur subjektif dan objektif, tanpa efek samping yang signifikan
dilaporkan. Dalam satu studi jangka panjang (Russcher et al., 2013), meskipun
tidak mempertahankan kemanjurannya pada satu tahun, penggunaan melatonin
terus menjadi pilihan yang aman dan ditoleransi dengan baik. Penelitian telah
menunjukkan bahwa melatonin dan agonis melatonin mengatur ritme tidur
sirkadian, dan penelitian terbaru dengan agonis melatonin juga telah menunjukkan
profil hipnosis yang efektif dari obat (Zemlan et al., 2005). Melatonin hampir
pasti akan memiliki peran penting sebagai agen kronoterapi. Mengingat tidak
adanya lonjakan melatonin yang dilaporkan pada pasien dengan penyakit ginjal,
melatonin eksogen telah dipelajari sebagai pengobatan untuk insomnia. Meskipun
terbukti efektif pada pasien dialisis dalam jangka pendek, sebuah penelitian
terhadap 67 pasien HD pemeliharaan yang secara acak menerima melatonin (3
mg, pelepasan segera) versus plasebo selama 1 tahun menunjukkan peningkatan
kualitas tidur didapat pada 6-12 minggu namun hilang dalam 12 bulan (Scherer et
al., 2017).
Manajemen obat memang sangat mungkin diperlukan pada beberapa pasien.
Namun, ada kesenjangan pengetahuan kritis tentang keamanan dan kemanjuran
obat insomnia yang berasal dari kelangkaan studi pemodelan farmakokinetik /
farmakodinamik (PK / PD) di antara pasien dialisis. Kesenjangan pengetahuan
seperti itu mungkin juga berimplikasi pada biaya obat. Sebagai contoh, data
pengamatan yang ada mengaitkan penggunaan agonis reseptor benzodiazepin dan
nonbenzodiazepin dengan risiko kematian yang lebih tinggi di antara pasien yang
menjalani hemodialysis (Winkelmayer et al., 2007). Tanpa studi pemodelan
PK/PD untuk memandu penilaian keamanan, pembayar dapat melabeli obat-
obatan tersebut sebagai obat berisiko tinggi, menciptakan hambatan untuk
mengakses. Sayangnya, uji klinis obat dengan profil efek samping risiko rendah,
seperti melatonin, menunjukkan bahwa perbaikan tidur tidak berkelanjutan
(Russcher et al., 2013). Studi lebih spesifik dialisis dari agen insomnia, terutama
obat-obatan yang mempromosikan tidur restoratif, bukan hanya induksi tidur,
harus dilakukan. Selain itu, penelitian yang bertujuan untuk memahami preferensi
dan pendekatan pasien terhadap pengambilan keputusan risiko-manfaat untuk
obat-obatan yang dapat meningkatkan insomnia dan kualitas hidup tetapi
berpotensi meningkatkan risiko kematian atau hasil merugikan lainnya diperlukan
(Flythe et al., 2019).
Meskipun ada bukti terbatas, sangat sedikit dari obat-obatan ini yang
memerlukan penyesuaian dosis pada gagal ginjal. Prinsipnya, obat harus
digunakan hanya untuk waktu yang relatif singkat, dimulai dengan dosis rendah,
dan dititrasi dengan hati-hati dengan pemantauan ketat dari efek samping (Scherer
et al., 2017).
Perhatian ekstra dan kehati-hatian harus dilakukan ketika merawat
insomnia pada pasien dengan gangguan ginjal. Kebanyakan hipnotik harus
diberikan dalam dosis yang dikurangi dengan tepat, dan interaksi dengan banyak
obat yang digunakan dalam populasi CKD yang berbeda harus dipertimbangkan
dengan hati-hati ketika meresepkan hipnotis untuk pasien dengan gagal ginjal.
Perlu diingat bahwa pengobatan insomnia tidak mungkin berhasil untuk
jangka panjang tanpa berurusan dengan kondisi yang mendasarinya. Sebagai
aturan umum dalam pengelolaan insomnia sekunder atau komorbiditas, seseorang
dokter harus bertujuan untuk mengobati gangguan yang mendasarinya, seperti
nyeri kronis, gatal, dll. Jika ada, mengobati depresi juga dapat memperbaiki gejala
insomnia (Novak et al., 2006).
2. Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Mirip dengan populasi umum, continuous positive airway pressure
(CPAP) adalah pengobatan lini pertama pada pasien CKD dengan OSA (Maung
et al., 2016). Meskipun bukan intervensi kuratif, continuous positive airway
pressure (CPAP) adalah pengobatan pilihan untuk kasus OSA sedang atau berat.
Dengan bantuan masker, CPAP memberikan tekanan jalan napas untuk menjaga
saluran udara bagian atas tetap terbuka saat tidur. Dalam kasus ringan, terapi
CPAP harus digunakan jika kantuk di siang hari atau gejala neurokognitif hadir.
Ini juga harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan kardiovaskular
yang signifikan. Tekanan jalan napas positif terus menerus memperbaiki kantuk
berlebihan di siang hari dan juga dapat meningkatkan hipertensi yang
berhubungan dengan apnea (Dhillon et al., 2005). Telah terbukti bahwa CPAP
meningkatkan kualitas hidup pasien apnea tidur dan bahkan pasangan tidur
mereka (Doherty et al., 2003). CPAP juga memperbaiki gejala neuropsikiatri dan
depresi, yang biasanya muncul pada OSA (Kawahara et al., 2005), serta disfungsi
ereksi yang berhubungan dengan OSA (Goncalves et al., 2005). Sebuah penelitian
terbaru menunjukkan bahwa pasien yang mendapat manfaat dari CPAP adalah
mereka yang menderita EDS (48). Kepatuhan terhadap CPAP masih jauh dari
optimal. Telah disarankan bahwa sekitar 20-40% pasien tidak akan menggunakan
CPAP, dan banyak lainnya tidak menggunakannya sepanjang malam atau setiap
malam. Menggunakan CPAP mungkin sangat menantang pada pasien dialisis,
yang hidupnya sudah bergantung pada peralatan mekanis lainnya.
Modalitas pengobatan lain pada populasi umum termasuk penggunaan
peralatan gigi, bedah mulut, dan mengobati kondisi medis yang mendasarinya
(misalnya, obesitas atau hipotiroidisme). Modalitas ini belum dipelajari secara
ekstensif pada populasi CKD. Penelitian telah menunjukkan bahwa konversi dari
HD konvensional ke HD nokturnal (NHD) mengurangi terjadinya apnea. Salah
satu mekanisme yang disarankan adalah bahwa NHD secara agresif
menghilangkan lebih banyak racun uremik daripada HD konvensional yang dapat
berkontribusi pada kualitas tidur yang lebih baik. Studi yang memeriksa pasien
ESRD sebelum dan sesudah konversi ke NHD, menemukan bahwa NHD efektif
dalam menurunkan denyut jantung dan mengurangi frekuensi apnea dan
hipoksemia pada semua pasien (Maung et al., 2016).
Ada sedikit bukti bahwa pengobatan apnea tidur asimtomatik (umumnya
pasien dengan kurang dari 15 kejadian apnea-hipopnea per jam tidur dan tanpa
kantuk di siang hari) bermanfaat, meskipun risiko gangguan kardiovaskular harus
dipertimbangkan. Pasien dengan apnea campuran, bahkan ketika komponen utama
tampaknya apnea sentral, harus diperlakukan seolah-olah mereka memiliki OSA.
Ini mungkin sangat penting pada pasien CKD, di mana apnea sentral atau
campuran mungkin lebih umum. Langkah pertama dalam pengelolaan spesifik
OSA yang terdokumentasi adalah mencari, dan mengobati jika ada, setiap
obstruksi jalan napas anatomis (pembesaran amandel, kelainan tulang, obstruksi
hidung). Dalam kasus sleep apnea ringan, penurunan berat badan, mengubah
posisi tidur (memasukkan bola tenis ke dalam saku yang dijahit ke bagian
belakang piyama, misalnya), atau perangkat oral khusus dapat membawa beberapa
perbaikan. Faktor gaya hidup seperti tidur dalam posisi terlentang atau
menghindari alkohol atau obat penenang menjelang waktu tidur juga harus
didiskusikan dengan pasien. Beberapa peralatan oral yang berbeda telah diusulkan
untuk memperbaiki OSA. Alat ini menonjolkan mandibula atau menjauhkan lidah
dari dinding faring. Ada data yang sangat terbatas yang tersedia untuk mendukung
efektivitas peralatan ini. Perangkat ini mungkin merupakan perawatan yang dapat
diterima untuk beberapa pasien dengan OSA ringan (Hoekema et al., 2004).
Medroxyprogesterone acetate (MPA) mungkin efektif pada beberapa
pasien dengan sindrom obesitas-hipoventilasi (sleep apnea, obesitas, dan
hipoventilasi terjaga) yang tidak dikontrol dengan CPAP. Beberapa pasien yang
menggunakan CPAP mungkin masih memiliki sisa kantuk; orang-orang ini dapat
mengambil manfaat dari penggunaan modafinil, agen yang mempromosikan
bangun.
3. Restless Legs Syndrome (RLS)
Tidak semua orang dengan RLS membutuhkan perawatan. Kebutuhan
terapi farmakologis tergantung pada frekuensi dan keparahan gejala. Beberapa
pasien memerlukan pengobatan hanya untuk peristiwa tertentu, misalnya, ketika
menghadiri teater atau bepergian, atau ketika duduk diam dalam waktu lama. Pada
pasien dengan insomnia berat dan gangguan kualitas hidup, farmakoterapi
mungkin diperlukan.
Langkah pertama adalah menyingkirkan RLS yang disebabkan oleh obat-
obatan (misalnya, antidepresan trisiklik, inhibitor reuptake serotonin selektif
(SSRI), litium, antagonis dopamin). Kafein, nikotin, dan alkohol juga dapat
memperburuk gejala RLS. Studi sebelumnya sering mengidentifikasi anemia
sebagai faktor risiko RLS pada populasi ESRD. Telah berulang kali ditunjukkan
bahwa pengobatan anemia ginjal dengan eritropoietin atau besi intravena
mengurangi prevalensi atau keparahan RLS (Sloand et al., 2004).
Rekomendasi saat ini menyarankan terapi dopaminergik (levodopa atau
agonis reseptor dopamin: pramipexol, ropinirole, pergolide, atau caber goline)
sebagai pengobatan lini pertama RLS. Pilihan ini telah menjadi yang paling sering
dipelajari, dan obat ini jelas efektif dalam mengurangi gejala RLS. Agonis
dopamin umumnya dianggap sebagai pilihan farmakologis pertama, dan mereka
secara bersamaan mengatasi gejala gerakan anggota tubuh secara berkala saat
tidur/periodic limb movements in sleep (PLMS) juga (Wijemanne et al., 2015).
Meskipun agonis dopamin adalah pengobatan awal yang efektif, agonis dopamin
hanya terbukti efektif dalam jangka panjang pada 25% pasien. Selain itu,
penggunaan jangka panjang menyebabkan gejala yang memburuk, yang dikenal
sebagai augmentasi, pada sebagian besar pasien. Sekitar 6%-17% pasien RLS
yang menggunakan agonis dopamin mengalami gangguan kontrol impuls.
Mengoreksi defisiensi besi telah terbukti meningkatkan RLS pada pasien HD
(Maung et al., 2016).
Terapi farmakologis lainnya termasuk ligan saluran kalsium alfa-2-delta
(gabapentin, dan pregabalin), opioid, dan terapi zat besi. Gabapentin, ligan alfa-2-
delta, adalah pilihan yang baik untuk pasien dengan polineuropati selain RLS.
Secara umum, baik gabapentin dan pregabalin tampaknya membantu dalam
meningkatkan kualitas tidur pada pasien ESRD dengan neuropati perifer yang
menyakitkan. Namun, dosis kedua obat perlu disesuaikan dengan ginjal, dan
profil efek samping belum dijelaskan secara memadai dalam studi CKD (Biyik et
al., 2013).
Pilihan lain dalam terapi RLS intermiten adalah agonis dopaminergic,
opioid potensi rendah (propoxyphene, codeine, atau tramadol), dan benzodiazepin
(terutama clonazepam) (Silber et al., 2004). Untuk RLS harian, terapi awal harus
mencakup agonis dopaminergik (pramipexole atau ropinirole) bersama dengan
tindakan nonfarmakologis. Alternatif untuk obat-obatan ini termasuk gabapentin
(walaupun hanya ada sedikit data yang mendukung keefektifannya) atau opioid
potensi rendah.
Pada pasien ginjal, beberapa obat telah disarankan untuk efektif dalam
mengobati RLS, namun, sebagian besar penelitian yang diterbitkan menderita
periode pengobatan yang singkat dan kekuatan statistik yang tidak mencukupi
karena ukuran sampel yang kecil. Mirip dengan terapi RLS nonuremik, obat
dopaminergik memainkan peran penting dalam pengelolaan RLS pada pasien
dialisis. Berdasarkan bukti terbatas yang tersedia, ropinirole (Pellecchia et al.,
2004) dan gabapentin (Micozkadioglu et al., 2004) juga efektif untuk pengobatan
RLS pada pasien ginjal.

B. Non Farmakologis
1. Cognitive-behavioral therapy (CBT)
Cognitive-behavioral therapy (CBT) atau terapi kognitif-perilaku terbukti
efektif untuk mengatasi gangguan tidur dan mengurangi peradangan pada pasien
yang mendapatkan hemodialysis (Hou et al., 2014). Terapi perilaku kognitif untuk
insomnia dalam pengaturan praktik umum rutin meningkatkan kualitas tidur,
mengurangi penggunaan obat hipnosis, dan meningkatkan kualitas hidup terkait
kesehatan dengan biaya yang menguntungkan pada penderita insomnia kronis
(Novak et al., 2006).
Sebuah penelitian RCT dilakukan terhadap 72 pasien hemodialisis dengan
gangguan tidur, 37 menerima terapi perilaku kognitif tiga mingguan yang
berlangsung selama 6 minggu dan 35 sisanya, yang menerima sleep hygiene
education/pendidikan kebersihan tidur, bertindak sebagai kontrol. Hasil penelitian
dinilai berdasarkan skor Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), Fatigue Severity
Scale (FSS), Beck Depression Inventory (BDI), dan Beck Anxiety Inventory (BAI)
yang menunjukkan peningkatan signifikan dari awal dengan terapi dibandingkan
dengan kelompok control pada semua jenis skoring. Hal ini bermakna bahwa CBT
efektif dalam membantu pasien HD dengan gangguan tidur melalui peningkatkan
kualitas tidur, penurunan keparahan kelelahan, dan penurunan emosi depresi dan
kecemasan Hasil penelitian juga mengungkapkan tingkat high-sensitive C-
reactive protein, IL-18, dan tingkat LDL teroksidasi (ox-LDL) yang menurun
secara signifikan setelah CBT dibandingkan dengan kelompok control. Hal ini
bermakna bahwa CBT juga dapat mengubah biomarker inflamasi dan stres
oksidatif pada pasien hemodialisa (Chen et al., 2011).
Komponen CBT dirancang untuk membantu pasien dalam mengidentifikasi,
menantang, dan mengubah kesalahpahaman tentang tidur. Komponen CBT
berupa: (Chen et al., 2011)
1) pembatasan tidur: menginstruksikan pasien untuk menjaga jadwal tidur dan
bangun, membatasi waktu tidur agar lebih dekat dengan waktu tidur yang
sebenarnya, dan menyinkronkan ritme sirkadian endogen dan dorongan
tidur;
2) kontrol stimulus: membantu pasien belajar untuk menginterupsi hubungan
antara tidur, lingkungan tidur, dan keadaan terjaga, serta menghilangkan
aktivitas yang tidak sesuai dengan kamar tidur;
3) pelatihan relaksasi: meminta pasien untuk meredakan ketegangan otot,
melakukan pernapasan berirama, dan pemusatan mental dengan latihan
sehari-hari.
Hasil utama penelitian membuktikan kemanjuran CBT 6 minggu pada
kualitas tidur. Hasil sekunder penelitian adalah pengukuran perubahan penanda
inflamasi (hs-CRP, IL-1b, dan IL-18) dan penanda stres oksidatif (oxLDL) selama
terapi (Chen et al., 2011).
Hasil utama sehubungan dengan kemanjuran CBT dinilai dengan PSQI,
yang mencakup 7 indeks: kualitas tidur subjektif, latensi (waktu yang dibutuhkan
untuk tertidur, dikonversi ke skor 0-3), durasi (jam tidur aktual per malam,
dikonversi menjadi skor 0–3), efisiensi (total waktu tidur dibagi waktu di tempat
tidur, dikonversi menjadi skor 0–3), dan gangguan (misalnya, bangun tengah
malam, nyeri, dan mimpi buruk), penggunaan obat tidur (frekuensi penggunaan
hipnotik per minggu), dan disfungsi siang hari (misalnya, kantuk di siang hari,
kehilangan antusiasme). Skor total berkisar dari 0 hingga 21 poin, dengan skor
yang lebih tinggi berarti kualitas tidur yang lebih buruk (Chen et al., 2011).
Hasil sekunder adalah perubahan penanda inflamasi termasuk hs-CRP, IL-
1b, IL-18, dipilih berdasarkan studi observatorium dan intervensi sebelumnya dan
penanda stres oksidatif, kadar oxLDL14 selama percobaan di semua peserta.
Semua penanda diukur sebelum dan sesudah percobaan 6 minggu dalam kondisi
yang sama (Chen et al., 2011). Sampel darah untuk pengukuran diambil di pagi
hari, setelah puasa semalam selama 48 jam sebelum dialisis pertengahan minggu
pasien. Data biokimia ditentukan menggunakan penganalisis otomatis Hitachi 747
(Hitachi, Tokyo, Jepang).
Kemanjuran CBT dapat dinilai melalui tingkat keparahan kelelahan,
depresi, dan kecemasan oleh FSS, BDI, dan BAI, masing-masing. FSS adalah
instrumen sembilan item yang mengukur tingkat keparahan kelelahan individu
berdasarkan kecenderungan kelelahan dalam situasi sehari-hari. Peserta diminta
untuk menilai pada skala 1-7 seberapa besar kemungkinan kelelahan
mempengaruhi aktivitas sehari-hari mereka dalam 9 situasi. Skor rata-rata 44
menunjukkan tingkat keparahan kelelahan yang tinggi. BDI adalah inventaris
laporan diri pilihan ganda 21 pertanyaan untuk mengukur tingkat keparahan
depresi. Ini terdiri dari item yang berkaitan dengan gejala depresi, kognisi, dan
gejala fisik. Skor total berkisar dari 0 hingga 63 poin, dengan skor total yang lebih
tinggi menunjukkan gejala depresi yang lebih parah. BAI terdiri dari 21
pertanyaan tentang bagaimana perasaan subjek dalam seminggu terakhir, yang
dinyatakan sebagai gejala umum kecemasan. Setiap pertanyaan memiliki set yang
sama dari empat pilihan jawaban yang mungkin. Skor total berkisar dari 0 hingga
63 poin, dengan skor yang lebih tinggi berarti lebih banyak kecemasan. PSQI,
FSS, BDI, dan BAI divalidasi dengan baik dan telah terbukti memiliki keandalan
dan konsistensi internal yang baik. Empat pengukuran diselesaikan sebelum dan
setelah uji coba 6 minggu oleh semua peserta di kedua kelompok (Chen et al.,
2011).
Penelitian RCT lain melaporkan hasil yang agak bertentangan pada
efektivitas CBT pada pasien dengan insomnia, tetapi satu tinjauan sistematis
termasuk enam RCT (282 orang) menemukan bahwa terapi perilaku kognitif
kelompok atau individu (termasuk kebersihan tidur, kontrol stimulus, pembatasan
tidur, relaksasi otot, dan pendidikan tidur) secara signifikan meningkatkan skor
PSQI dibandingkan tanpa pengobatan, segera setelah pengobatan, dan pada 3
bulan (Montgomery and Dennis, 2003). Selanjutnya, metaanalisis lain yang
melibatkan 2102 pasien dalam 59 percobaan menemukan bahwa pembatasan tidur
dan terapi kontrol stimulus lebih efektif daripada teknik relaksasi bila digunakan
sendiri (Edinger and Sampson, 2003).
2. Hypnotherapy
Hipnoterapi dianggap berpotensi bermanfaat bagi pasien insomnia karena
menawarkan metode praktis sendiri dalam mengelola kecemasan, meningkatkan
relaksasi yang mendalam, dan mengurangi aktivitas kognitif yang berlebihan dan
gairah simpatik yang terkait dengan kecemasan pra-pekerjaan melalui relaksasi
dan citra. Hipnosis telah diterapkan di banyak kondisi medis dan psikologis,
seperti berbagai kondisi nyeri, depresi, dan kecemasan yang semuanya terkait erat
dengan insomnia (Nash et al., 2009). Kemanjuran hipnosis untuk gangguan ini
didukung dengan baik. Misalnya, meta-analisis sebelumnya menunjukkan bahwa
hipnosis memiliki ukuran efek kecil hingga sedang untuk pengobatan kondisi
nyeri, gejala depresi, dan gangguan psikosomatik (Shih et al., 2009). British
Psychological Society menegaskan bahwa hipnoterapi sama efektifnya dengan
pelatihan relaksasi untuk insomnia.
Sebuah penelitian systematic review oleh Departemen Psikiatri, Universitas
Hong Kong, Cina mengenai penggunaan hipnoterapi dan intervensi mirip-
hipnoterapi dalam mengobati insomnia berdasarkan 13 studi RCT menunjukkan
regimen pengobatan pada hipnoterapi umunya dapat diklasifikasikan menjadi tiga
jenis: sesi 1-jam mingguan selama tiga hingga 4 minggu, satu hingga dua sesi
selama satu hingga 3 hari dan akhirnya jadwal mandiri dengan jumlah jam yang
fleksibel satu sampai 6 minggu. Rejimen pengobatan terakhir hanya digunakan
sebagai intervensi berbasis internet atau pengiriman email, sedangkan jenis kedua
jarang diterapkan dalam pengaturan klinis (Lam et al., 2015).
Deskripsi rejimen pengobatan berupa waktu pengobatan berkisar dari 4
sampai 6 minggu; durasi sesi berlangsung dari 20 menit hingga 1,5 jam.
Perawatan disampaikan secara langsung secara individu dalam lima studi dan
disampaikan melalui internet dalam satu studi (Studi 6). Citraan yang digunakan
dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, citra fokus somatik (Studi 2, 3 dan 6) dan
citra tempat menyenangkan (Studi 4); satu tidak melaporkan rincian saran (Studi
1), dan satu menggunakan teknik yang lebih canggih seperti tanggapan ideomotor,
regresi usia, dan penguatan ego (Studi 5). Perawatan menggunakan pelatihan
autogenik atau pencitraan seperti hipnosis terpandu bervariasi dari satu sesi
hingga empat sesi mingguan, dan durasi sesi berlangsung dari 12,5 menit hingga 1
jam. Perawatan disampaikan secara langsung secara individu dalam empat
penelitian, dalam kelompok yang terdiri dari tiga hingga lima peserta dalam dua
penelitian, dan disampaikan melalui email dalam satu penelitian. Citraan yang
digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, citra fokus somatik
(Penelitian 7), citra tempat yang menyenangkan (Studi 11 dan 13), dan citra objek
netral (Studi 8 dan 9). Dua studi menggabungkan citra yang berfokus pada
somatik dan tempat yang menyenangkan (Studi 10 dan 12) (Lam et al., 2015).
Hasilnya, hipnoterapi memiliki efek dalam perbaikan insomnia namun
masih banyak perdebatan mengenai mekanisme dan validitas hasil. Oleh
karenanya, meskipun temuan mengenai hipnoterapi pada pasien insomnia
menunjukkan bahwa hipnoterapi berkhasiat, hasil positif tetap dipertanyakan
karena jumlah penelitian yang masih kecil dan keterbatasan metodologis (Lam et
al., 2015).
Dalam penelitian systematic review tersebut, disebutkan bahwa studi sangat
bervariasi dalam prosedur hipnoterapi dan jenis sugesti yang digunakan. Citra
yang berfokus pada somatik, citra tempat yang menyenangkan dan citra objek
netral telah digunakan sebagai saran dalam penelitian sebelumnya; yang pertama
bertujuan untuk mengurangi gairah fisiologis dengan relaksasi tubuh, yang kedua
bertujuan untuk menginduksi relaksasi dengan citra visual tempat-tempat yang
menyenangkan, sedangkan yang ketiga bertujuan untuk mengalihkan pikiran
dengan citra visual objek netral. Mengingat bahwa insomnia kronis dikaitkan
dengan hiperarousal fisiologis, kognitif dan emosional, tampaknya sulit untuk
menentukan jenis sugesti mana yang lebih berguna (Lam et al., 2015).
Hipnoterapi, seperti banyak terapi komplementer atau alternatif, telah
dikritik karena tidak memiliki bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung klaimnya
terutama karena masih kurangnya kontrol plasebo yang tepat sebagai kelompok
pembanding (Becker, 2015).
Praktisi hipnosis telah mengembangkan kosa kata mereka sendiri untuk
membahas perubahan dalam keadaan kesadaran yang mewakili trans hipnosis.
Literatur hipnosis menjelaskan teknik-teknik tertentu untuk induksi, pendalaman,
sugesti, dan sugesti pascahipnotis. Penggunaan bahasa terapeutik melalui
pelatihan hipnosis merupakan keuntungan yang signifikan bagi setiap profesional
perawatan kesehatan. Mempersiapkan subjek untuk hipnosis adalah seperti proses
terapeutik yang tepat yang melibatkan penetapan tujuan terapeutik dan harapan
yang meningkat. Hubungan saling percaya memfasilitasi masuk ke trans.
Memfokuskan perhatian dan penggunaan pengulangan ("menonton arloji,"
menatap objek di seberang ruangan, atau ujung pensil, dll) memungkinkan subjek
untuk mengubah kesadaran dengan lebih mudah. Mereka yang tertarik untuk
mempelajari teknik hipnosis harus mengikuti kursus pelatihan yang ditawarkan
oleh organisasi profesional seperti American Society of Clinical Hypnosis
(Becker, 2015).
Skenario contoh salah satu teknik hipnosis untuk insomnia yang akan
ditawarkan kepada pasien yang siap menggunakan hipnosis/self-hypnosis untuk
tidur.
Induksi - Luruskan lengan kiri Anda di depan mata Anda. Sekarang
tekuk punggung tangan Anda ke atas di pergelangan tangan.
Berkonsentrasilah pada satu titik di punggung tangan Anda..
- Fokuskan mata Anda pada titik itu saat Anda fokus pada
suara saya. Sebentar lagi Anda akan merasakan tangan dan
lengan Anda semakin berat..
- Saat tangan dan lengan menjadi berat, Anda akan melihat
bagaimana tangan dan lengan ingin turun ke kaki..
- Tangan dan lengan Anda semakin berat dan semakin berat.
Ini seperti beban yang ditarik ke bawah lengan. Anda
semakin siap untuk merasakan kelegaan saat
mengistirahatkan tangan Anda. (lanjutkan saran sampai
gerakan turun pertama dimulai, dan kemudian dorong)
Sangat bagus, Anda melakukannya dengan sangat baik.
Sekarang perhatikan bagaimana kelopak mata Anda terasa
lebih berat dan lebih berat karena beban menarik tangan
Anda ke bawah untuk bertumpu pada kaki atau samping
Anda..
- Sangat bagus. Anda hampir sampai. Tanganmu, lenganmu,
kelopak matamu lebih berat dan lebih berat. Kelopak mata
Anda siap untuk menutup. Saat tanganmu beristirahat,
kelopak matamu akan menutup..
- Dengan tangan Anda beristirahat dan kelopak mata Anda
tertutup, Anda sekarang siap untuk mengalami relaksasi
lebih dalam.
Pendalaman - Perhatikan betapa beratnya tangan dan lengan Anda terasa..
Perhatikan bahwa beratnya menjadi sedikit lebih kuat setiap
kali Anda menghembuskan napas..
- Tarik napas dan rasakan beratnya saat Anda mengembuskan
napas.. Betul sekali. Perhatikan pernapasan Anda.
- Buang napas dan beban bertambah seiring Anda badan jadi
rileks.. Apakah Anda siap untuk bersantai lebih dalam
sehingga Anda bisa tidur nyenyak dan nyenyak? Tentu saja
kamu. Tidur nyenyak adalah tujuan Anda di sini..
- Perhatikan betapa beratnya tangan dan lengan Anda
rasakan.. Sekarang perhatikan bagaimana bahu Anda
semakin berat.. Betul sekali. Beratnya, relaksasi menyebar
dari lengan Anda dan masuk ke tubuhmu..
- Bahu Anda berat dan rileks. Dengan setiap pernafasan,
kenyamanan, relaksasi menyebar di bahu Anda ke lengan
Anda yang lain dan turun ke dada sampai ke punggung
Anda..
- Baik sekali. Rasakan saat menyebar ke seluruh tubuh Anda,
turun ke kaki Anda..
- Saat menyebar, rasakan bagaimana Anda bebas dari
ketegangan, bebas dari sesak, bebas dari stres, bebas
ketegangan..
- Sebuah beban yang luar biasa seperti dipeluk dalam pelukan
yang indah. Setiap ketegangan atau sesak atau stres atau
ketegangan mengalir keluar dari Anda saat Anda
mengembuskan napas.. Itu benar, hembuskan saja
ketegangan, sesak, stres, ketegangan terakhir sebagai
relaksasi yang nyaman mulai menyebar ke wajah Anda..
- Rasakan betapa rileks dan nyamannya mulut, pipi, dan
kelopak mata Anda, bahkan mata Anda sendiri, dahi, dan
daun telinga, bahkan kulit kepala dan lidah Anda terasa
sangat rileks.. Sekarang pikiran Anda siap untuk tertidur
lelap.
Sugesti: the - Sekarang periksa diri Anda untuk melihat apakah ada
circle of deep ketegangan atau keketatan terakhir yang perlu meledak.
sleep Ambil napas dalam-dalam. Tahan napas itu. Kumpulkan
sedikit ketegangan dan keketatan terakhir. Sekarang
lepaskan napas, dan rasakan ketegangan dan sesak terakhir
mengalir keluar dari Anda..
- Baik sekali. Sekarang nyenyak, tidur nyenyak..
- Bayangkan Anda berada di tempat yang indah dan nyaman.
Tempat dimana kamu merasa aman dan nyaman. Tempat
yang bebas dari ketegangan dan sesak. Tempat yang bebas
dari stres dan ketegangan. Anda sangat santai. Anda
berdamai dengan diri Anda sendiri dan dengan dunia. Tidak
ada yang bisa dilakukan selain menikmati tidur nyenyak.
- Sekarang saatnya Anda menerima saran penting. Tubuh
Anda sudah siap. Kamu adalah siap. Bayangkan cara
menulis tanpa menggunakan tangan. Ini menulis dengan
pikiranmu..
- Biarkan pikiran Anda memutuskan apa yang terbaik.
Beberapa orang membayangkan awan membentuk angka
dan surat. Yang lain melihat langit menulis. Beberapa
menemukan itu ada di TV atau komputer. Saya pribadi
menyukai papan tulis ajaib. Dengarkan saja dan lihat apa
yang terjadi saat Anda siap untuk tidur nyenyak. Baik
sekali..
- Sekarang gambar sebuah kotak dan lingkaran. Perhatikan
bagian tengah kotak tempat pikiran Anda menulis 100. Di
sana, angka 100 muncul. Perhatikan bagaimana 100
memudar dengan sangat lambat bahkan saat Anda bergerak
ke lingkaran. Sekarang dalam lingkaran, perhatikan saat
pikiran Anda menerima tulisan berikutnya. Perhatikan
lingkaran mengembang dan 100 menghilang saat huruf
muncul ..T..I..D..U..R….N..Y..E..N..Y..A..K..
- Anda menciptakan tidur nyenyak dengan setiap huruf .. Saat
Anda melihat kotaknya, 99 mulai muncul bahkan saat
lingkaran tidur nyenyak diserap kembali ke pikiran Anda.
Sekarang perhatikan lingkaran saat huruf
kembali, ..T..I..D..U..R….N..Y..E..N..Y..A..K..
- Saat Anda membuat setiap huruf tidur nyenyak, angka-
angka di kotak menghitung mundur dan memudar jauh.
Dengan nomor berikutnya, 98, lingkaran tidur nyenyak
diserap ke dalam pikiran Anda dan tumbuh lebih dalam dan
lebih dalam ke dalam pikiran
Anda ...T..I..D..U..R….N..Y..E..N..Y..A..K..
- Kemudian 97,..T..I..D..U..R….N..Y..E..N..Y..A..K..
- Kemudian 96, ..T..I..D..U..R….N..Y..E..N..Y..A..K..
- Teruslah begitu sebagaimana Anda menyerap tidur nyenyak.
Sugesti: - Baik sekali. Anda telah melakukannya dengan sangat baik.
pascahipnosis Dan saat Anda berlatih, Anda akan melakukannya dengan
lebih baik..
- Anda hampir siap untuk membawa kotak dan lingkaran ke
tempat tidur.
- Anda ingin dan Anda perlu
menjadikan . ..T..I..D..U..R….N..Y..E..N..Y..A..K.. sebagai
kebiasaan. Kebiasaan yang menjadi bagian yang luar biasa
dari Anda.
- Setiap hari selama minggu depan pertimbangkan di mana
dan kapan Anda dapat berlatih kebiasaan indah tidur
nyenyak..
- Baik pagi, siang, atau malam, luangkan waktu untuk
membuat yang indah kebiasaan tidur nyenyak Anda sendiri.
Lihat kotak nomor dan lingkaran penyerap tidur nyenyak
dalam aktivitas normal.
- Saat menyikat gigi di pagi dan malam hari, ada lingkaran
tidur nyenyak. A tanda berhenti mengingatkan Anda untuk
berhenti melamun dan mengingat lingkaran tidur nyenyak.
Dalam aktivitas sehari-hari Anda, ada lingkaran tidur
nyenyak. Lingkaran tidur nyenyak adalah bagian dari Anda
saat Anda mengambil peralatan makan, bersantai dengan
TV, tugas terakhir, membaca, duduk di depan komputer.
- Akan sangat menarik bagaimana lingkaran tidur nyenyak
tampak bagi Anda sepanjang hari. Tonton dan nikmati
lingkaran tidur nyenyak.
- Sekarang, lihat diri Anda berjalan ke kamar tidur Anda ke
lingkaran tidur nyenyak. Mempersiapkan untuk tempat tidur
dan lingkaran mengelilingi Anda. Lingkaran yang
memelukmu seperti cinta pertamamu..
- Kamu siap menyambut tidur nyenyak. Anda dapat melihat
diri Anda merasa nyaman di tempat tidur.
- Anda mengangkat tangan dan lengan Anda sekitar satu kaki
dari tempat tidur. Ketika berat, itu itu turun ke bawah. Beban
menyebar di dada Anda, turun ke kaki Anda dan naik ke
wajah Anda bahkan ke otak dan pikiran Anda. Tanpa
memikirkannya, 100 muncul di dalam kotak. Saat 100
memudar, lingkaran . ..T..I..D..U..R….N..Y..E..N..Y..A..K..
muncul.
- Saat lingkaran tidur nyenyak diserap ke dalam pikiran Anda,
99 muncul, lalu lingkaran berikutnya tidur nyenyak diserap,
lalu 98 dan lingkaran berikutnya saat Anda jatuh ke dalam
tidur yang nyaman, dalam, dan menyegarkan. Jika Anda
bangun untuk kamar mandi atau alasan apa pun, kotak dan
lingkaran itu akan muncul kembali dan Anda mulai dari
bagian yang Anda tinggalkan di dalam lingkaran tidur lelap.
Anda mungkin menemukan, seperti yang dilakukan orang
lain sebelumnya, bahwa jarang mengingat angka di atas 95.
Deinduksi - Baik sekali. Anda telah melakukannya dengan sangat baik.
Tidur nyenyak lebih merupakan bagian dari Anda.
- Saya mengucapkan selamat atas kesuksesan Anda hari ini
dan seberapa baik Anda akan melakukannya malam ini dan
sebagian besar lainnya setiap malam. Aku tidak tahu.
Mungkin ada malam tidur yang terganggu dan itu baik-baik
saja. Ingat: terimalah tidur malam apa pun, baik ringan
maupun dalam. Malam yang terang membantu Anda untuk
lebih menghargai malam tidur nyenyak.
- Sekarang, saya akan membawa Anda kembali ke ruangan
tempat kita duduk. Saya akan menghitung dari 10 sampai 1.
Seperti yang saya menghitung, Anda akan merasa pikiran
Anda menjadi lebih dan lebih waspada. Perasaan luar biasa
dari kesadaran santai kembali ke lengan dan kaki dan tubuh
Anda.
- 10 dan 9, siap untuk menikmati semua yang Anda capai; 8
dan 7, lebih waspada; 6 dan 5, perasaan luar biasa kesadaran
santai kembali ke lengan dan kaki dan tubuh Anda; 4, 3, 2,
sangat bagus, hampir sampai; 1 dan sadar akan tubuh Anda,
ruangan, dan apa yang telah Anda capai.
Tabel 1: Contoh scenario hypnosis pasien insomnia (Becker, 2015).

3. Sleep Hygiene Training


Program pelatihan kebersihan tidur/sleep hygiene training banyak
digunakan dalam kombinasi dengan intervensi psikologis untuk insomnia dan
telah terbukti efektif untuk insomnia kronis pada orang tua, pasien dengan kanker,
dan pasien dengan nyeri kronis. Program pelatihan kebersihan tidur mencakup
instruksi tentang praktik kesehatan dan faktor lingkungan yang dapat bermanfaat
untuk mempertahankan tidur yang cukup dan juga rincian mengenai dorongan
homeostatis untuk tidur, faktor sirkadian, dan efek obat-obatan dan kebiasaan
sebelum tidur (Saeedi et al., 2014). Kebersihan tidur melibatkan praktik berbasis
perilaku pada pemahaman tentang fisiologi dan farmakologi tidur, yang telah
diidentifikasi untuk mempromosikan tidur yang baik.
Contoh komponen sleep hygiene training pada insomnia dapat berupa:
(Novak et al., 2006)
 Tidur hanya saat mengantuk. Jika Anda tidak bisa tertidur dalam waktu 20
menit, bangun dan lakukan sesuatu yang membosankan sampai Anda
merasa mengantuk.
 Jangan tidur siang, kecuali dokter Anda menyarankan demikian.
 Jadwal tidur-bangun yang teratur itu penting. Bangun dan tidur pada
waktu yang sama setiap hari, bahkan di akhir pekan.
 Olahraga teratur meningkatkan kualitas tidur, tetapi kebanyakan orang
harus menahan diri dari olahraga setidaknya 4 jam sebelum tidur.
 Kembangkan ritual tidur (mendengarkan musik, dll.). Penting untuk
memberi isyarat pada tubuh Anda bahwa inilah saatnya untuk melambat
dan tidur.
 Gunakan tempat tidur Anda hanya untuk tidur dan keintiman. Menahan
diri dari menggunakan tempat tidur Anda untuk menonton TV atau
bekerja.
 Jauhi minuman, makanan, dan obat-obatan yang mengandung kafein,
nikotin, dan alkohol setidaknya 4-6 jam sebelum tidur.
 Makanlah kudapan ringan sebelum tidur dengan segelas susu, yang
mengandung triptofan yang meningkatkan tidur.
 Mandi air panas 90 menit sebelum tidur. Mandi air panas akan
meningkatkan suhu tubuh Anda, tetapi penurunan suhu tubuh yang
mungkin membuat Anda merasa mengantuk.
 Pastikan tempat tidur dan kamar tidur Anda tenang dan nyaman.
 Gunakan tirai yang sesuai, penyumbat telinga, atau mesin white noise jika
perlu. Kamar yang lebih dingin direkomendasikan. Gunakan pelembab
udara jika udara terlalu kering.
Sebuah penelitian mengenai pengaruh program sleep hygiene
training/pelatihan kebersihan tidur terhadap kualitas tidur pasien hemodialysis
menunjukkan bahwa program ini telah meningkatkan skor global kualitas tidur
dan komponennya pada pasien hemodialisis. Dalam penelitian ini, program
pelatihan kebersihan tidur menciptakan peningkatan yang signifikan dalam semua
komponen kualitas tidur, peningkatan disfungsi siang hari menunjukkan bahwa
kebersihan tidur juga sangat membantu menghilangkan kelelahan dan kantuk di
siang hari (Saeedi et al., 2014).
Walaupun program ini bermanfaat, namun, rata-rata skor global kualitas
tidur pada kelompok intervensi setelah program pelatihan kebersihan tidur tetap
menunjukkan kualitas tidur yang rendah (skor global kualitas tidur > 5) meskipun
sebenarnya sudah mengalami perbaikan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun
program pelatihan kebersihan tidur meningkatkan kualitas tidur pasien, tidak
dapat membawa kualitas tidur rata-rata ke tingkat normal. Hal ini menunjukkan
bahwa kualitas tidur pasien hemodialisa memang sudah sangat terganggu
sehingga memerlukan intervensi gabungan bersama intervensi jenis lain (Saeedi
et al., 2014).
4. Massage Therapy
Terapi pijat adalah salah satu metode non-farmakologis untuk mengatasi
gangguan tidur dan juga meningkatkan sirkulasi darah, menghilangkan stres,
membantu sistem pencernaan dan kinerjanya, merangsang sistem limfatik,
meningkatkan fungsi sistem saraf otonom, menurunkan denyut jantung dan darah.
tekanan, menyebabkan sekresi endorfin dan dengan demikian mengurangi nyeri
punggung, insomnia dan menenangkan pasien (Stuart dan Cherry, 2016). Pijat
juga bisa efektif dalam menyeimbangkan sistem saraf, dan mengubah
keseimbangan fisik. Kulit dan otot mengandung koneksi saraf yang sangat besar.
Oleh karena itu, pijatan lembut oleh saraf menyebabkan kelegaan dan pemulihan
kesehatan di bagian tubuh mana pun. Ini dilakukan melalui tekanan lembut dan
kemudian melepaskan otot dan pembuluh darah (Corbin, 2005). Kaki
mengandung ribuan ujung saraf yang mencerminkan koneksi ke seluruh tubuh.
Jadi saat diberi pijatan kaki, seluruh tubuh terpengaruh. Oleh karena itu, banyak
terapis pijat yang tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan total body
massage, terfokus pada pijat kaki (Azami et al., 2015). Sejak penyelidikan lebih
lanjut tentang efek pijat telah dilakukan pada pasien non hemodialis dan dengan
teknik seperti pijat Swedia dan teknik refleksologi dan di sisi lain pijat kaki
kurang dipelajari sebagai metode yang unik, aman dan ekonomis untuk
meningkatkan kualitas tidur malam pada pasien hemodialysis dan juga mengingat
bahwa dalam beberapa penelitian, efek pijat kaki pada kualitas tidur telah
disarankan karena akses yang mudah ke kaki selama hemodialisis, sehingga
penelitian ini dilakukan untuk menyadarkan perawat unit perawatan intensif
tentang efek kaki pijat terhadap kesehatan pasien dan juga untuk mengetahui
pengaruh pijat kaki terhadap peningkatan kualitas tidur malam pasien
hemodialysis (Malekshahi et al., 2017).
Massage therapy merupakan intervensi berupa pijat kaki di metatarsus, dari
tumit ke ujung jari selama 5 menit untuk setiap kaki (total 10 menit) selama
dialisis. Proses ini dilakukan 3 kali seminggu selama 4 minggu berturut-turut pada
sore dan malam hari (karena kedekatan dengan waktu tidur malam). Terapi pijat
ini dilakukan dengan cara, mula-mula tangan pemijat harus dibuat menjadi hangat
dengan minyak, lalu berikan tekanan ringan sampai sedang yang teratur tanpa ada
perubahan (Malekshahi et al., 2017).
Sebuah penelitian mengenai efek terapi pijat dilakukan dengan mengisi
kembali kuesioner Pittsburg yang sudah diisi sebelumnya untuk menyelidiki
status tidur pasien pada kelompok kontrol dan eksperimen. Kelompok kontrol
tidak menerima intervensi apapun dari peneliti untuk gangguan tidur mereka
sedangkan kelompok eksperimen adalah pasien hemodialisa yang sudah mendapat
terapi 4 minggu sesi pijat. Hasil menunjukkan bahwa durasi tidur malam pasien
meningkat sebelum dan sesudah intervensi terapi pijat dan berdasarkan uji
statistik Freedman, status tidur pasien secara umum meningkat di setiap minggu
dibandingkan dengan minggu lalu (P<0,001) (Malekshahi et al., 2017).
Berdasarkan hasil yang diperoleh ada hubungan yang signifikan secara
statistik antara kualitas tidur sebelum dan sesudah intervensi (P<0,001). Dengan
kata lain, pijat kaki efektif untuk peningkatan kualitas tidur. Penelitian ini
menunjukkan bahwa pijat kaki malam hari dapat bermanfaat untuk mengatasi
gangguan tidur dan mengatasi beberapa masalah seperti kesulitan tidur dan durasi
tidur malam yang pendek (Malekshahi et al., 2017).
Field dkk. (2007) membandingkan efek terapi pijat terhadap nyeri
punggung dan gangguan tidur pada dua kelompok yang mendapat terapi pijat dan
relaksasi. Dua sesi pijat 30 menit per minggu selama 5 minggu dilakukan dengan
menggunakan minyak tubuh. Pijat lutut dan punggung dalam posisi berbaring di
perut kemudian pijat leher, perut, dada, paha dan lutut dilakukan dalam posisi
terlentang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nyeri punggung dan gangguan
tidur menurun secara signifikan pada pasien dengan terapi pijat dibandingkan
dengan pasien yang mendapatkan relaksasi. Temuan studi Imani dan rekan (2009)
menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen skor kuesioner Pittsburgh
menurun secara signifikan dan pijat kaki 10 menit meningkatkan kualitas tidur di
HP. Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa jumlah waktu yang dibutuhkan
seseorang untuk tidur atau setelah bangun dari tidur, untuk tidur lagi, menurun
secara signifikan di malam hari setelah intervensi. Russel (2007) melakukan studi
kasus untuk menyelidiki efek terapi pijat pada wanita menikah berusia 35 tahun
yang mengalami sindrom kaki gelisah selama 23 tahun. Pijat 45 menit dilakukan
selama 3 minggu berbaring di perut dan punggung. Efek pijat pada jumlah jam
tidur, sering bangun, gejala dan tingkat keparahan sindrom kaki gelisah diukur
dan ditemukan bahwa pijat secara progresif meningkatkan kualitas tidur dan orang
merasa lebih rileks dan dapat melakukan tugas yang berkaitan dengan sehari-hari
dengan lebih baik. kehidupan.
Meskipun banyak gangguan tidur di antara pasien hemodialisis, intervensi
terapi pijat menunjukkan manfaat melalui metode yang ekonomis dan aman.
Mengajarkan metode ini kepada pasien dan keluarga mereka adalah upaya yang
sangat sederhana untuk meningkatkan kenyamanan tidur dan kualitas hidup pasien
dengan hemodialisa.
5. Intradialytic Exercize (IDE)
Telah terbukti bahwa latihan olahraga meningkatkan fungsi fisik, kinerja
fisik, status gizi, fungsi kardiovaskular, efisiensi HD, QOL, dan SQ pada pasien
HD (Tentori et al., 201). Semakin banyak bukti menunjukkan efek yang
menguntungkan dan efek samping yang lebih sedikit menggunakan intervensi
non-farmakologis (termasuk pelatihan olahraga) pada gangguan tidur, yang
merupakan metode yang menjanjikan untuk meningkatkan kualitas tidur pada
populasi yang bergantung pada dialysis (Yang et al., 2015). Berbagai jalur telah
diusulkan untuk menjelaskan hubungan antara olahraga dan tidur. Mekanisme
yang diusulkan meliputi perubahan suhu tubuh, perubahan konsentrasi sitokin,
peningkatan konsumsi energi/laju metabolisme, kelelahan sistem saraf pusat,
perubahan gejala mood/kecemasan, perubahan denyut jantung dan variabilitas
denyut jantung, sekresi hormon pertumbuhan, sekresi faktor neurotropik yang
diturunkan dari otak, peningkatan tingkat ftness, dan perubahan komposisi tubuh
(Kredlow et al., 2015).
Latihan intradialitik/Intradialytic Exercise (IDE), dilakukan hanya selama
pengobatan HD, adalah salah satu pilihan yang menjanjikan untuk pasien HD,
karena dapat dilakukan dalam pengaturan dengan pemantauan ketat, tidak
melibatkan waktu atau perjalanan tambahan, dan dapat mengurangi rasa takut
pasien terhadap cedera muskuloskeletal, yang dapat meningkatkan kepatuhan dan
pengawasan relatif terhadap olahraga pada hari-hari non-dialisis (Heiwe et al.,
2014).
Secara umum, olahraga dapat diklasifikasikan ke dalam kategori berikut:
(1) latihan aerobic/aerobic exercise (AE), atau latihan yang berirama, terus
menerus, menggunakan kelompok otot besar, dan umumnya diresepkan untuk
meningkatkan daya tahan; (2) latihan resistensi/resistance exercise (RE), atau
latihan kekuatan, yang dikenal untuk meningkatkan ukuran dan kekuatan otot; dan
(3) latihan kombinasi/combination exercise (CE), kombinasi AE dan RE
(Johansen, 2007). Setiap program pelatihan memiliki tujuan kebugaran dan
kesehatan tertentu. Telah diketahui bahwa AE adalah pilihan terbaik dalam hal
meningkatkan kebugaran kardiopulmoner (massa otot kaki juga dapat meningkat),
sedangkan RE lebih unggul dibandingkan dengan bentuk latihan lainnya dalam
hal meningkatkan massa, kekuatan, dan kekuatan otot. Oleh karena itu, efek
positif tambahan diharapkan dengan menggabungkan AE dan RE. Meskipun
partisipasi olahraga dapat memberikan manfaat yang lebih besar di antara pasien
HD daripada populasi umum, ada kemungkinan bahwa pasien dialisis juga dapat
menimbulkan risiko yang lebih besar karena penyakit jantung atau
muskuloskeletal yang mendasarinya. Meskipun banyak penelitian yang
diterbitkan, terutama tidak terkontrol dan/atau dengan sampel pasien kecil,
program latihan "terbaik" untuk pasien HD belum ditentukan (Cho et al., 2018).
Sebuah penelitian mengenai pengaruh latihan intradialitik pada aktivitas
fisik sehari-hari dan kualitas tidur pasien hemodialisis dilakukan selama 12
minggu dengan desain paralel acak yang menyelidiki efek dari rezim latihan yang
berbeda pada perubahan aktivitas fisik harian/daily physical activity (DPA) dan
kualitas tidur/sleep quality (SQ) (Cho et al., 2018). Peserta diacak menjadi empat
kelompok yang berbeda saat mereka direkrut oleh peneliti (menggunakan skema
pengacakan blok dan amplop tertutup). Kelompok AE melakukan 30 menit AE
intradialitik tiga kali seminggu, yang terdiri dari bersepeda statis; kelompok RE
menyelesaikan sesi terprogram RE intradialitik tiga kali seminggu menggunakan
pita resistif elastis dan beban lunak; kelompok CE melakukan AE dan RE
intradialitik tiga kali seminggu; dan kelompok kontrol tidak melakukan IDE tetapi
hanya menerima peregangan pemanasan. Peregangan pemanasan meliputi: (1)
peregangan leher; (2) peregangan lengan/tangan; (3) mengangkat bahu dan rotasi;
(4) peregangan dada dan punggung atas; (5) peregangan samping; (6) tarikan lutut
tunggal; (7) peregangan kaki; dan (8) peregangan betis (Cho et al., 2018). Data
dinilai melalui perangkat lunak ActiLife menggunakan algoritme default untuk
mendapatkan parameter DPA berikut: metabolic equivalent of task (MET,
kkal/jam/kg; sebagai indeks intensitas aktivitas).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan, pada 12 minggu dibandingkan
dengan baseline, ditemukan peningkatan signifikan dalam MET (Cho et al.,
2018). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian non-acak baru-baru ini yang
menunjukkan bahwa pelatihan RE intradialitik meningkatkan aktivitas fisik pada
75 pasien HD (Saitoh et al., 2016). Sebuah meta-analisis terbaru dari IDE pada
pasien HD menunjukkan bahwa modalitas IDE dalam uji coba terkontrol secara
acak terdiri dari berbagai jenis olahraga (Sheng et al., 2014). Khusu pada
penelitian ini, menunjukkan CE meningkatkan lebih banyak parameter DPA
daripada AE dan RE. Namun, CE lebih kompleks, dan kepatuhan mungkin lebih
buruk daripada dua pilihan lainnya. Secara umum, lebih banyak penelitian,
khususnya studi komparatif, diperlukan untuk mengidentifikasi modalitas IDE
yang paling cocok untuk pasien HD (Cho et al., 2018).
6. Lain-lain
Rekomendasi terbaik menyarankan untuk menggabungkan beberapa
metode, ini mungkin terdengar sepele. Akan tetapi, kepatuhan terhadap hal-hal
kecil masih relatif buruk, karena sering kali memerlukan perubahan dalam
kebiasaan "buruk" yang sudah mendarah daging. Beberapa poin penting yang
harus dibiasakan untuk mendukung program terapi adalah membangun jadwal
tidur yang teratur dan menciptakan lingkungan tidur yang sesuai, serta aktivitas
fisik yang teratur, sangat penting dalam memerangi insomnia. Paparan cahaya
alami yang tepat, bahkan pada hari berawan, dapat meningkatkan mood dan juga
membantu menjaga siklus tidur-bangun yang teratur. Tidur siang sangat sering
terjadi pada orang tua, tetapi dalam beberapa kasus, tidur siang juga dapat
menyebabkan gangguan tidur malam. Tidur siang selama sesi dialisis harus
dihindari pada pasien yang rentan terhadap insomnia (Novak et al., 2006).
Teknik lain yang dipelajari untuk insomnia termasuk pelatihan relaksasi,
dan akupresur. Pelatihan relaksasi dapat menjadi terapi tambahan yang membantu
dalam mengobati insomnia kronis (Chen et al., 2011). Ini menekankan relaksasi
otot progresif dan latihan pernapasan untuk menghilangkan rasa sakit kronis dan
insomnia. Kelompok Iran Rambod et al menunjukkan bahwa mendengarkan kaset
audio relaksasi instruksional selama dua puluh menit, dua kali sehari, selama 8
minggu, setelah sesi pelatihan awal, menghasilkan peningkatan kualitas tidur yang
signifikan secara statistik pada pasien yang diobati dengan HD, yang diukur
dengan Indeks Kualitas Tidur Pittsburg. Dalam akupresur, titik-titik tertentu di
sepanjang jalur energi ditargetkan, tanpa menggunakan jarum. Bukti tentang
kegunaan akupresur dan pijat titik akupresur pada pasien ESRD dengan insomnia
kronis sebagian besar berasal dari tiga RCT yang dilakukan oleh kelompok yang
berbasis di Taiwan, dan dua RCT Iran. Kekhawatiran metodologis dari studi ini
telah didokumentasikan dalam beberapa penelitian tetapi akupresur diyakini
merupakan terapi alternatif yang aman untuk insomnia (Maung et al., 2016).
7.
BAB III
KESIMPULAN

Pada pasien dengan ESRD, identifikasi, diagnosis dan pengobatan


gangguan tidur diperumit oleh presentasi yang tumpang tindih dengan CKD dan
kondisi komorbiditas lainnya. Salah satu pendekatan untuk
mengkonseptualisasikan hubungan ini adalah dengan mempertimbangkan
gangguan tidur sebagai produk sekunder atau akhir dari beberapa proses
bersamaan dan interaktif . Proses tersebut meliputi gangguan psikologis (depresi,
kecemasan), faktor gaya hidup (penggunaan kopi/nikotin, kebersihan tidur), faktor
terkait pengobatan (waktu dialisis, tidur siang, produksi sitokin, perubahan
termoregulasi, sindrom disekuilibrium dialisis, gangguan ritme sirkadian, efek
samping pengobatan) serta intrinsik, faktor spesifik ESRD (anemia/OSA/RLS dan
komorbiditas lainnya, uremia, keseluruhan semua kesehatan dan kualitas hidup,
perubahan dalam produksi neurotransmitter). Pendekatan ini menyoroti kesulitan
dalam memisahkan gangguan tidur baik untuk penelitian atau tujuan klinis, dan
menyarankan bahwa pengobatan gangguan tidur harus berlapis-lapis dan
komprehensif.
Pendekatan alternatif yang lebih sederhana adalah memisahkan insomnia
dari komorbiditas medis/psikiatri yang terjadi bersamaan, dan memperlakukannya
sebagai gangguan yang terjadi bersamaan secara independent. Sementara
pendekatan ini tidak memiliki kekayaan konseptualisasi multifaktorial,
pendekatan ini lebih memungkinkan untuk studi yang ditargetkan dan pengobatan
disfungsi tidur pada populasi ESRD. Jelas, tingginya tingkat sleep apnea,
insomnia, dan RLS pada populasi ESRD memerlukan uji klinis yang lebih besar
dan dirancang dengan baik. Penelitian di masa depan harus berusaha menjelaskan
hubungan timbal balik yang kompleks antara tidur dan penyakit ginjal, menguji
perawatan standar di komunitas ESRD dan mengembangkan perawatan baru
untuk gangguan tidur yang dapat membawa beban psikososial dan fisiologis
kompleks yang diberikan HD.
DAFTAR PUSTAKA

Abdelwhab, S., Kamel, M. & Noshey, M. (2010). Sleep Disorders in


Hemodialysis Patients. Kidney 19, 175–181.
https://doi.org/10.1007/s00596-010-0147-5
Barbera J, Shapiro C. (2005). Benefit-risk assessment of zaleplon in the treatment
of insomnia. Drug Saf 28:301–318
Becker, P.M. (2015) ‘Hypnosis in the Management of Sleep Disorders’. Sleep
Medicine Clinics, 10(1), pp. 85–92. DOI: 10.1016/j.jsmc.2014.11.003.
Biyik Z, Solak Y, Atalay H, Gaipov A, Guney F, Turk S. (2013). Gabapentin
versus pregabalin in improving sleep quality and depression in hemodialysis
patients with peripheral neuropathy: a randomized prospective crossover
trial. Int Urol Nephrol; 45: 831-837 [PMID: 22644743 DOI:
10.1007/s11255-012-0193-1]
Chen, H.-Y. et al. (2011) ‘Cognitive-Behavioral Therapy for Sleep Disturbance
Decreases Inflammatory Cytokines and Oxidative Stress in Hemodialysis
Patients’. Kidney International, 80(4), pp. 415–422. DOI:
10.1038/ki.2011.151.
Cox KJ, Parshall MB, Hernandez SHA, Parvez SZ, Unruh ML (2017). Symptoms
among patients receiving in-center hemodialysis: A qualitative study.
Hemodial Int 21: 524–533
Dhillon S, Chung SA, Fargher T, Huterer N, Shapiro CM (2005) Sleep apnea,
hypertension, and the effects of continuous positive airway pressure. Am J
Hypertens 18:594–600
Doherty LS, Kiely JL, Lawless G, McNicholas WT. (2003). Impact of nasal
continuous positive airway pressure therapy on the quality of life of bed
partners of patients with obstructive sleep apnea syndrome. Chest
124:2209–2214
Edinger JD, Sampson WS. (2003). A primary care “friendly” cognitive behavioral
insomnia therapy. Sleep 26:177–182
Evangelidis N, Tong A, Manns B, Hemmelgarn B, Wheeler DC, Tugwell P,
Crowe S, Harris T, Van Biesen W, Winkelmayer WC, Sautenet
B,O’Donoghue D, Tam-Tham H, Youssouf S,Mandayam S, Ju A, Hawley
C, Pollock C, Harris DC, Johnson DW, Rifkin DE, Tentori F, Agar J,
Polkinghorne KR, Gallagher M, Kerr PG, McDonald SP, Howard K,
Howell M, Craig JC. (2017). Standardized Outcomes in Nephrology–
Hemodialysis (SONG-HD) Initiative: Developing a set of core outcomes for
trials in hemodialysis: An international delphi survey. Am J Kidney Dis 70:
464–475
Ezzat, H., & Mohab, A. (2015). Prevalence of Sleep Disorders Among ESRD
Patients. Renal Failure, 37(6), 1013–1019. doi:
https://doi.org/10.3109/0886022X.2015.1044401
Field, T., Hernandez-Reif, M., Diego, M., & Fraser, M. (2007). Lower back pain
and sleep disturbance are reduced following massage therapy.Journal of
Bodywork and Movement Therapy,11, 141-145.
Flythe JE, Dorough A, Narendra JH, Forfang D, Hartwell L, Abdel Rahman E
(2018). Perspectives on symptom experiences and symptom reporting
among individuals on hemodialysis. Nephrol Dial Transplant 33: 1842–
1852
Flythe, J.E. et al. (2019) ‘Fostering Innovation in Symptom Management among
Hemodialysis Patients: Paths Forward for Insomnia, Muscle Cramps, and
Fatigue’. Clinical Journal of the American Society of Nephrology, 14(1), pp.
150–160. DOI: 10.2215/CJN.07670618.
Goncalves MA, Guilleminault C, Ramos E, Palha A, Paiva T (2005). Erectile
dysfunction, obstructive sleep apnea syndrome and nasal CPAP treatment.
Sleep Med 6:333–339
Hajak G, Geisler P (2004). Experience with zolpidem “as needed” in primary care
settings. CNS Drugs 18(suppl 1):35–40; discussion 41:43–35
Heiwe S, Jacobson SH (2014) Exercise training in adults with CKD: a systematic
review and meta-analysis. Am J Kidney Dis 64(3):383–393.
https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2014.03.020
Hoekema A, Stegenga B, De Bont LG (2004) Efficacy and co-morbidity of oral
appliances in the treatment of obstructive sleep apnea-hypopnea: a
systematic review. Crit Rev Oral Biol Med 15:137–155
Hou, Y. et al. (2014) ‘Effects of Cognitive Behavioral Therapy on Insomnia of
Maintenance Hemodialysis Patients’. Cell Biochemistry and Biophysics,
69(3), pp. 531–537. DOI: 10.1007/s12013-014-9828-4.
Imani, E., & Imani, A. (2009). The effect of foot massage on sleeping in
hemodialysis patients. Shaheed Sadughi, 17(2), 76-82.
Johansen KL (2007) Exercise in the end-stage renal disease population. J Am Soc
Nephrol 18(6):1845–1854. https://doi. org/10.1681/ASN.2007010009
Kawahara S, Akashiba T, Akahoshi T, Horie T (2005). Nasal CPAP improves the
quality of life and lessens the depressive symptoms in patients with
obstructive sleep apnea syndrome. Intern Med 44:422–427
Koch BC, Nagtegaal JE, Hagen EC, van der Westerlaken MM, Boringa JB,
Kerkhof GA, Ter Wee PM. (2009). The effects of melatonin on sleep-wake
rhythm of daytime haemodialysis patients: a randomized, placebo-
controlled, cross-over study (EMSCAP study). Br J Clin Pharmacol; 67: 68-
75 [PMID: 19076157 DOI: 10.1111/j.1365- 2125.2008.03320.x]
Kredlow MA, Capozzoli MC, Hearon BA, Calkins AW, Otto MW (2015) The
efects of physical activity on sleep: a meta-analytic review. J Behav Med
38(3):427–449. https://doi.org/10.1007/s108 65-015-9617-6
Lam, T.-H. et al. (2015) ‘Hypnotherapy for Insomnia: A Systematic Review and
Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials’. Complementary
Therapies in Medicine, 23(5), pp. 719–732. DOI:
10.1016/j.ctim.2015.07.011.
Malekshahi, F., Aryamanesh, F. and Fallahi, S. (2017) ‘The Effects of Massage
Therapy on Sleep Quality of Patients with End-Stage Renal Disease
Undergoing Hemodialysis’. Sleep and Hypnosis - International Journal.
DOI: 10.5350/Sleep.Hypn.2017.19.0138.
Manns B, Hemmelgarn B, Lillie E, Dip SC, Cyr A, GladishM, Large C,
Silverman H, Toth B, Wolfs W, Laupacis A (2014). Setting research
priorities for patients on or nearing dialysis.ClinJ Am Soc Nephrol 9: 1813–
1821
Maung, S.C. et al. (2016) ‘Sleep Disorders and Chronic Kidney Disease’. World
Journal of Nephrology, 5(3), p. 224. DOI: 10.5527/wjn.v5.i3.224.
Mendelson WB (2005). A review of the evidence for the efficacy and safety of
trazodone in insomnia. J Clin Psychiatry 66:469–476
Micozkadioglu H, Ozdemir FN, Kut A, Sezer S, Saatci U, Haberal M. (2004).
Gabapentin versus levodopa for the treatment of restless legs syndrome in
hemodialysis patients: an open-label study. Ren Fail 26:393–397
Montgomery P, Dennis J. (2003). Cognitive behavioural interventions for sleep
problems in adults aged 60+. Cochrane Database Syst Rev 1:CD003161.
Nash MR, Perez N, Tasso A, Levy JJ. (2009). Clinical research on the utility of
hypnosis in the prevention, diagnosis, and treatment of medical and
psychiatric disorders. Int J Clin Exp Hypn;57:443–450.
Novak, M. et al. (2006) ‘Reviews: Diagnosis and Management of Insomnia in
Dialysis Patients: DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF INSOMNIA’.
Seminars in Dialysis, 19(1), pp. 25–31. DOI: 10.1111/j.1525-
139X.2006.00116.x.
Pellecchia MT, Vitale C, Sabatini M, Longo K, Amboni M, Bonavita V, Barone P
(2004). Ropinirole as a treatment of restless legs syndrome in patients on
chronic hemodialysis: an open randomized crossover trial versus levodopa
sustained release. Clin Neuropharmacol 27:178–181
Rambod M, Pourali-Mohammadi N, Pasyar N, Rafii F, Sharif F. (2013). The
effect of Benson’s relaxation technique on the quality of sleep of Iranian
hemodialysis patients: a randomized trial. Complement Ther Med; 21: 577-
584 [PMID: 24280464 DOI: 10.1016/ j.ctim.2013.08.009]
Russell, M. (2007). Massage therapy and restless legs syndrome. Journal of
Bodywork and Movement Therapy, 11, 146-150.
Russcher M, Koch BC, Nagtegaal JE, van Ittersum FJ, Pasker-de Jong PC, Hagen
EC, van Dorp WT, Gabreëls B, Wildbergh TX, van der Westerlaken MM,
Gaillard CA, Ter Wee PM. (2013). Long-term effects of melatonin on
quality of life and sleep in haemodialysis patients (Melody study): a
randomized controlled trial. Br J Clin Pharmacol. 2013 Nov;76(5):668-79.
doi: 10.1111/bcp.12093. PMID: 23432361; PMCID: PMC3853526.
Saeedi, M. et al. (2014) ‘Sleep Hygiene Training Program for Patients on
Hemodialysis’. 8(1), p. 5.
Saitoh M, Ogawa M, Dos Santos MR, Kondo H, Suga K, Itoh H, Tabata Y (2016)
Efects of intradialytic resistance exercise on protein energy wasting,
physical performance and physical activity in ambulatory patients on
dialysis: a Single-Center Preliminary Study in a Japanese Dialysis Facility.
Ther Apher Dial 20(6):632–638. https://doi.org/10.1111/1744-9987.12447
Scherer, J.S., Combs, S.A. and Brennan, F. (2017) ‘Sleep Disorders, Restless
Legs Syndrome, and Uremic Pruritus: Diagnosis and Treatment of Common
Symptoms in Dialysis Patients’. American Journal of Kidney Diseases,
69(1), pp. 117–128. DOI: 10.1053/j.ajkd.2016.07.031.
Sheng K, Zhang P, Chen L, Cheng J, Wu C, Chen J (2014) Intradialytic exercise
in hemodialysis patients: a systematic review and meta-analysis. Am J
Nephrol 40(5):478–490. https://doi. org/10.1159/000368722
Shih M, Yang YH, Koo M. (2009). A meta-analysis of hypnosis in the treatment
of depressive symptoms: a brief communication. Int J Clin Exp
Hypn;57:431–442.
Silber MH, Ehrenberg BL, Allen RP, Buchfuhrer MJ, Earley CJ, Hening WA,
Rye DB (2004). An algorithm for the management of restless legs
syndrome. Mayo Clin Proc 79:916–922
Sloand JA, Shelly MA, Feigin A, Bernstein P, Monk RD (2004). A double-blind,
placebo-controlled trial of intravenous iron dextran therapy in patients with
ESRD and restless legs syndrome. Am J Kidney Dis 43:663–670
Tentori F, Elder SJ, Thumma J, Pisoni RL, Bommer J, Fissell RB, Fukuhara S,
Jadoul M, Keen ML, Saran R, Ramirez SP, Robinson BM (2010) Physical
exercise among participants in the Dialysis Outcomes and Practice Patterns
Study (DOPPS): correlates and associated outcomes. Nephrol Dial
Transplant 25(9):3050–3062. https://doi.org/10.1093/ndt/gfq13
Wijemanne S, Jankovic J. (2015). Restless legs syndrome: clinical presentation
diagnosis and treatment. Sleep Med; 16: 678-690 [PMID: 25979181 DOI:
10.1016/j.sleep.2015.03.002]
Winkelmayer WC, Mehta J, Wang PS (2007) Benzodiazepine use and mortality
of incident dialysis patients in the United States. Kidney Int 72: 1388–1393.
Yang B, Xu J, Xue Q, Wei T, Xu J, Ye C, Mei C, Mao Z (2015) Non-
pharmacological interventions for improving sleep quality in patients on
dialysis: systematic review and meta-analysis. Sleep Med Rev 23:68–82.
https://doi.org/10.1016/j.smrv.2014.11.005
Zemlan FP, Mulchahey JJ, Scharf MB, Mayleben DW, Rosenberg R, Lankford A.
(2005). The efficacy and safety of the melatonin agonist beta-methyl-6-
chloromelatonin in primary insomnia: a randomized, placebo-controlled,
crossover clinical trial. J Clin Psychiatry 66:384–390

Anda mungkin juga menyukai