Disusun Oleh :
ISMAIL AJI
2021030035
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal jantung kongestif merupakan ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah serta memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dengan
baik, saat kondisi istirahat maupun aktivitas (Azzahra dkk, 2018). Gagal
jantung juga dapat berarti kumpulan sindrom klinis yang memiliki gejala
diantaranya sesak nafas dan mudah lelah serta tanda berupa peningkatan
Jugular Venous Pressure (JVP) dan edema perifer yang disebabkan oleh
kelainan struktural dan fungsi pada jantung yang mengakibatkan penurunan
cardiac output (CO) sehingga distribusi darah tidak tersalurkan ke seluruh
tubuh (Ponikowski et al, 2015).
Data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) tahun 2020
menunjukkan bahwa pada tahun 2019 terdapat 23 juta atau sekitar 54% dari
total kematian disebabkan oleh CHF. Penelitian yang telah dilakukan di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa resiko berkembangnya CHF adalah
20% untuk usia ≥ 40 tahun dengan kejadian > 650.000 kasus baru yang
diagnosis Congestive Heart Failure (CHF) selama beberapa dekade terakhir.
Kejadian CHF kian meningkat dengan bertambahnya umur yang menjadi
faktor penyebab peningkatan kematian untuk CHF sekitar 50% dalam kurun
waktu lima tahun (Rispawati, 2019). Berdasarkan Riskesdas (2018) prevelensi
penyakit jantung yang terdiagnosis dokter pada semua umur di Indonesia
sebanyak 1,5 % atau diperkirakan sekitar 2.6 juta orang yang mana prevelensi
tersebut tidak ada penurunan dibanding prevelensi di lima tahun terakhir.
Indonesia menempati peringkat ke 4 negara dengan jumlah kematian akibat
penyakit kardiovasculer. Jawa Tengah masuk dalam 10 besar provinsi dengan
tingkat prevalensi penyakit jantung tertinggi dengan 1,6%.
Gagal jantung kongestif disebabkan oleh kelainan otot jantung,
aterosklerosis koroner, hipertensi sistemik atau pulmonal, peradangan,
penyakit jantung lain seperti gangguan aliran darah, ketidakmampuan jantung
untuk mengisi darah atau pengosongan jantung abnormal (Brunner &
Suddarth, 2013). Rampengan (2014) menyebutkan gagal jantung kongestif
disebabkan oleh anemia, diet natrium, infeksi, gaya hidup, dan kelelahan fisik.
2
Pada umumnya pasien dengan CHF muncul tanda dan gejala yang berbeda
disetiap letak gagal jantungnya seperti pada gagal jantung ventrikel kanan
mempunyai tanda dan gejala edema, anoreksia, mual, asites, dan sakit daerah
perut. Sedangkan pada gagal jantung ventrikel kiri mempunyai tanda dan
gejala badan lemah, cepat lelah, berdebar- debar, sesak nafas, batuk,
anoreksia, dan keringat dingin. Jika tanda dan gejala tersebut tidak dapat
diatasi dengan cepat dan tepat, maka akan terjadi komplikasi, seperti:
hepatomegali, edema paru, hidrotoraks, syok kardiogenik, dan tamponade
jantung (Kasron, 2012; LeMone,2016).
Pasien dengan Congestive Heart Failure (CHF) membutuhkan tidur yang
cukup dikarenakan dengan kualitas tidur yang baik akan memperbaiki sel-sel
otot jantung. Pasien perlu sekali beristirahat baik secara fisik maupun
emosional. Istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga
cadangan jantung, dan menurunkan tekanan darah. Lamanya berbaring juga
akan merangsang diuresis karena berbaring akan memperbaiki perfusi ginjal.
Istirahat juga mengurangi kerja otot pernapasan dan penggunaan oksigen.
Frekuensi jantung menurun, yang akan memperpanjang periode diastole
pemulihan sehingga memperbaiki efisiensi kontraksi jantung (Sariyudin,
2018).
Kualitas tidur merupakan kondisi tidur seseorang yang dapat
digambarkan dengan lama waktu tidur dan keluhan-keluhan yang dirasakan
saat tidur maupun saat bangun tidur seperti merasa letih, pusing, badan pegal-
pegal atau mengantuk berlebihan pada siang hari (Potter & Perry, 2009).
Menjaga kualitas tidur menjadi sangat penting pada klien yang sedang
menjalani hospitalisasi. Tindakan keperawatan mandiri yang bisa diberikan
kepada klien sebagai alternatif untuk mengatasi gangguan istirahat-tidur
adalah dengan menciptakan lingkungan yang tenang. Membatasi pengunjung,
menganjurkan klien teknik relaksasi, masase punggung dan latihan guided
imageri (Rizal, 2018). Seseorang yang mengalami gangguan sulit tidur
(gangguan pola tidur) akan berkurang kuantitas dan kualitas tidurnya. Gejala
gangguan pola tidur disebabkan karena adanya gangguan emosi/ketegangan
atau gangguan fisik. Gangguan pola tidur dapat diakibatkan oleh banyak
faktor, misalnya penyakit, lingkungan, kelelahan, stress psikologis, obat,
3
nutrisi, motivasi, merokok dan alkohol. Kurang tidur (gangguan pola tidur)
yang sering terjadi dan berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik
yang menyebabkan muka pucat dan mata sembab, badan lemas, dan daya
tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang penyakit (Lanywati, 2001).
Tindakan untuk mengatasi gangguan tidur bisa menggunakan terapi
farmakologi ataupun nonfarmakologi.Terapi farmakologis, penatalaksanaan
gangguan pola tidur yaitu dengan memberikan obat dari golongan sedatif-
hipnotik seperti benzodiazepin (ativan, valium, dan diazepam). Terapi
farmakologis memiliki efek yang cepat, tetapi jika diberikan dalam waktu
jangka panjang dapat menimbulkan efek berbahaya bagi kesehatanpada
pasien gangguan jantung. Penggunaan obat tidur secara terus menerus dapat
juga menimbulkan efek toksisitas, karena pada pasien CHF terjadi penurunan
aliran darah, motilitas pencernaan serta penurunan fungsi ginjal dan efek
samping lainya seperti habituasi, ketergantungan fisik dan psikologis,
gangguan kognitif dan psikomotor, mengantuk dan cemas pada siang hari
serta dapat terjadi gangguan tidur iatrogenik. Begitu pula dengan pemberian
sedatif untuk mengobati gangguan tidur berefek terjadinya inkontinensia
terutama terjadipada malam hari. Efek samping tersebut menyebabkan
semakin berkurangnya kualitas tidur. Sedangkan terapi nonfarmakologi untuk
mengatasi kebutuhan tidur terdiri dari beberapa tindakan penanganan,
meliputi; terapi menggunakan aromaterapi, terapi musik, pijatan dan teknik
relaksasi (Hadibroto, 2009).
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik untuk mengurangi
ketegangan otot dengan proses yang simpel dan sistematis dalam
menegangkan sekelompok otot kemudian merilekskannya kembali yang
dimulai dengan otot wajah dan berakhir pada otot kaki. Tindakan ini biasanya
memerlukan waktu 15- 30 menit dan dapat disertai dengan instruksi yang
direkam yang mengarahkan individu untuk memperhatikan urutan otot yang
direlakskan. Rendahnya aktivitas otot tersebut menyebabkan kekakuan pada
otot. Otot yang kaku akan menyebabkan tubuh tidak menjadi rileks sehingga
memungkinkan lansia mengalami gangguan pola tidur.(Marks, 2011).
Seorang psikolog dari Chicago yang mengembangkan metode fisiologis
melawan ketegangan dan kecemasan. Teknik ini disebut relaksasi progresif
4
yaitu teknik untuk mengurangi ketegangan otot dengan metode relaksasi
termurah, tidak memerlukan imajinasi, tidak ada efek samping, mudah untuk
dilakukan, serta dapat membuat tubuh dan fikiran terasa tenang, rileks, dan
lebih mudah untuk tidur (Ari, 2010).
Menurut dewi dkk (2015), Kegiatan teknik relaksasi otot progresif ini
tidak hanya dapat mengurangi gangguan pola tidur namun juga memicu
perbaikan aktifitas dan pengetahuan pasien CHF. Berdasarkan pengakuan
responden diketahui bahwa kegiatan penelitian ini menyebabkan keaktifan
dari pasien untuk memperbaiki kondisinya.Penelitian yang dilakukan oleh
sulidah dkk (2016), bahwa Frekuensi responden dengan kualitastidur baik
setelah relaksasi otot progresifmenunjukkan kecenderungan
meningkat,sedang responden dengan kualitas tidurburuk cenderung
berkurang. Sehinggamengindikasikan bahwa latihan relaksasiotot progresif
memberi pengaruh terhadappeningkatan kualitas tidur lansia. Hal tersebut
sesuai dengan teori Ramdhani (2006) dalam Triyanto (2014) bahwa teknik
relaksasi semakin sering dilakukan terbukti efektif mengurangi ketegangan
dan kecemasan, mengatasi gangguan pola tidur dan asma. Hal itu juga sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Greenberg (2002) yang dikutip Mashudi
(2012) mengatakan relaksasi akan memberikan hasil setelah dilakukan
sebanyak 3 kali latihan.Asuhan keperawatan pada pasien dengan CHF
merupakan asuhan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan
substansi ilmiah yaitu logis, sistimatis, dinamis dan terstruktur (Muhlisin,
2011).
Fenomena pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif diruang rawat inap
belum dilaksanakan. Dari hasil wawancara kepada salah seorang perawat
ruangan, terapi relaksasi otot progresif belum disosialisasikan dan sebagian
besar perawat masih asing dengan terapi komplementer ini sehingga terapi ini
belum ditetapkan dalam dalam intervensi keperawatan di PKU
Muhammadiyah Gombong. Angka kejadian CHF di PKU Muhammadiyah
Gombong pada bulan Februari kurang lebih 10 penderita dan yang mengalami
gangguan tidur sebanyak 7 penderita serta didapatkan hasil wawancara pada
pasien yang mengidap gagal jantung kongestif bahwa penyebab terjadinya
masalah dengan jantung disebabkan adanya riwayat hipertensi, pola makan
5
yang tidak teratur, dan kurangnya olahraga.
6
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Rumah Sakit
Karya ilmiah ini dapat dijadikan media informasi tentang penyakit yang
diderita pasien dan bagaimana cara penangananya bagi pasien dan juga
bagi keluarga bagi dirumah maupun di rumah sakit khususnya untuk
gangguan sistnm kardiovaskuler : gagal jantung kongestif.
1.4.2 Bagi Perawat
Hasil karya ilmiah akhir ners ini dapat memberikan manfaat bagi
pelayanan keperawatan dengan memberikan gambaran dan
mengaplikasikan acuan dalam dalam melakukan asuhan kepawatan pasien
dengan CHF dengan masalah keperawatan insomsia dengan terapi otot
progresif.
1.4.3 Bagi institusi pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan untuk pelaksanaan pendidikan serta
masukan dan perbandingan untuk karya ilmiah lebih lanjut dalam asuhan
keperawatan pasien CHF.
1.4.4 Bagi pasien dan bagi keluarga
Pasien dan keluarga mendapatkan informasi juga pengetahuan tentang cara
merawat keluraga dengan CHF yang mengalami gangguan pola tidur.
1.4.5 Bagi mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuan serta
pengalaman yang lebih mendalam dalam memberikan asuhan keperawatan
khususnya pada pasien dengan CHF khususnya gangguan pola tidur
dengan terapi otot progresif.
7
BAB II
TINJAUAN TEORI
9
perikardium parietal adalah lapisan fibrus yang terlipat keluar dari basis
jantung dan membungkus jantung sebagai kantong longgar. Karena
susunan ini, jantung berada di dalam dua lapis kantong perikardium, dan
diantara dua lapisan itu ada cairan serus. Karena sifat meminyaki dari
cairan itu , jantung dapat bergerak bebas. Disebelah dalam jantung
dilapisi endotelium. Lapisan ini disebut endokardium. Katup – katupnya
hanya merupakan bagian yang lebih tebal dari membran ini.
Tebal dinding jantung dilukiskan sebagai terdiri atas tiga lapis:
1. Miokardium
Miokardium membentuk bagian terbesar dinding jantung.
Miokardium tersusun dari serat-serat otot jantung, yang bersifat
lurik dan saling berhubungan satu sama lain oleh cabang-cabang
muscular. Serat mulai berkontraksi pada embrio sebelum saraf
mencapainya, dan terus berkontraksi secara ritmis bahkan bila tidak
memperoleh inervasi.
2. Endokardium
Endokardium melapisi bagian dalam rongga jantung dan menutupi
katup pada kedua sisinya. Terdiri dari selapis sel endotel,
dibawahnya terdapat lapisan jaringan ikat, licin dan mengkilat.
3. Perikardium
Perikardium adalah kantong fibrosa yang menutupi seluruh jantung.
Perikardium merupakan kantong berlapis dua ; kedua lapisan saling
bersentuhan dan saling meluncur satu sama lain dengan bantuan
cairan yang mereka sekresikan dan melembabkan permukaannya.
Jumlah cairan yang ada normal sekitar 20 ml. Terdapat lapisan
lemak diantara miokardium dan lapisan perikardium diatasnya.
Dinding otot jantung tidak sama tebalnya. Dinding ventrikel paling
tebal dan dinding disebelah kiri lebih tebal dari dinding ventrikel
sebelah kanan, sebab kekuatan kontraksi ventrikel kiri jauh lebih
besar daripada yang kanan. Dinding atrium tersusun atas otot yang
lebih tipis.
10
b. Pembuluh Darah yang Tersambung Dengan Jantung
Vena kava superior dan inferior menuangkan darahnya ke dalam
atrium kanan. Lubang vena kava inferior membawa darah keluar dari
ventrikel kanan. Empat vena pulmonalis membawa darah dari paru-paru
ke atrium kiri. Aorta membawa darah keluar dari ventrikel kiri. Lubang
aorta dan arteri pulmonalis dijaga katup semilunar. Katup antara ventrikel
kiri dan aorta disebut katup aortik, yang menghindarkan darah mengalir
kembali dari aorta ke ventrikel kiri. Katup antara ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis disebut katup pulmonalis yang menghindarkan darah
mengalir kembali ke dalam ventrikel kanan.
11
kemudian ventrikel berkontraksi. Gerakan jantung terdiri atas dua jenis,
yaitu kontraksi atau sistol, dan pengenduran atau diastole. Kontraksi dari
kedua atrium terjadi serentak dan disebut sistol atrial, pengendurannya
adalah diastole atrial. Serupa dengan itu kontraksi dan pengenduran
ventrikel disebut juga sistol dan diastole ventrikuler. Lama kontraksi
ventrikuler adalah 0,3 detik dan tahap pengendurannya selama 0,5 detik.
Dengan cara ini jantung berdenyut terus-menerus, siang-malam, selama
hidupnya. Dan otot jantung mendapat istirahat sewaktu
diastoleventrikuler.
12
diraba di tempat arteri melintasi sebuah tulang yang terletak dekat
permukaan, misalnya; arteri radialis di sebelah depan pergelangan tangan,
arteri temporalis di atas tulang temporal, atau arteri dorsalis pedis di
belokan mata kiri. Yang teraba bukan darah yang dipompa jantung masuk
ke dalam aorta melainkan gelombang tekanan yang dialihkan dari aorta
dan merambat lebih cepat dari pada darah itusendiri.
13
peredaran kecil atau sirkulasi pulmonal.
14
empat vena pulmonalis. Dan darahnya dituangkan ke dalam atrium
kiri. Darah ini mengalir masuk ke dalam ventrikel kiri. Ventrikel ini
berkontraksi dan darah dipompa masuk ke dalam aorta.
2.1.3 Klasifikasi
Pada CHF terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan. New
York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4
kelas:
Tabel 2.1
Klasifikasi penyakit gagal jantung kongestif sesuai dengan kelasnya
Klasifikasi Karakteristik
Kelas I Tidak ada batasan aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang biasa tidak menyebabkan
dispnea napas, palpitasi, atau keletihanberlebihan
Kelas II Gangguan aktivitas fisik ringan
Merasa nyaman ketikaberistirahat
Aktivitas fisik biasa menimbulkan keletihan, danpalpitasi
Kelas III Keterbatasan aktivitas fisik yang nyata
Merasa nyaman ketikaberistirahat
Aktivitas fisik yang tidak biasanya menyebabkan dispnea
napas, palpitasi, atau keletihanberlebihan
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun tanpa merasa
tidak nyaman
Gejala gagal jantung kongestif ditemukan bahkan
pada saat istirahat
Ketidaknyaman semakin bertambah ketika melakukan
aktivitas fisikapapun
c. Sianosis
Terjadi karena kegagalan arus darah ke depan (forwad failure) pada
ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda berkurangnya perfusi ke
organ-organ seperti : kulit, dan otot-otot rangka
d. Batuk
Batuk bisa kering dan tidak produktif, tetapi yang tersering adalah
batuk basah yaitu batuk yang menghasilkan sputum berbusa dalam
jumlah banyak yang kadang disertai bercak darah. Batuk ini
disebabkan oleh kongesti cairan yang mengadakan rangsangan
pada bronki.
e. Denyut jantung cepat
Terjadi karena jantung memompa lebih cepat untuk menutupi
fungsi pompa yang hilang, irama gallop umum dihasilkan sebagai
aliran darah ke dalam serambi yang distensi.
2. Gagal jantung kanan
Manifestasi kliniknya antara lain :
a. Edema ekstremitas bawah atau edema dependen.
b. Hepatomegali, dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen
c. Anoreksia, dan mual yang terjadi akibat pembesaran vena dan
status vena di dalam ronggaabdomen.
d. Rasa ingin kencing pada malam hari yang terjadi karena perfusi
renal.
e. Badan lemah yang diakibatkan oleh menurunnya curah jantung,
gangguan sirkulasi, dan pembuangan produk sampah katabolisme
yang tidak adekuat darijaringan.
2.1.6 Patofisiologi
Secara patofisiologi CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk
menyalurkan darah, termasuk oksigen yang sesuai dengan kebutuhan
metabolisme jaringan pada saat istirahat atau kerja ringan. Hal tersebut
17
menyebabkan respon sistemik khusus yang bersifat patologik (selain saraf,
hormonal, ginjal dan lainnya) serta adanya tanda dan gejala yang khas.
Congestive Heart Failure (CHF) terjadi karena interaksi kompleks antara
faktor-faktor yang memengaruhi kontraktilitas, after load, preload, atau
fungsi lusitropik (fungsi relaksasi) jantung, dan respons neurohormonal dan
hemodinamik yang diperlukan untuk menciptakan kompensasi sirkulasi.
Meskipun konsekuensi hemodinamik CHF berespons terhadap intervensi
farmakologis standar, terdapat interaksi neurohormonal kritis yang efek
gabungannya memperberat dan memperlama sindrom yang ada.
Sistem renin angiotensin aldosteron (RAA): Selain untuk meningkatkan
tahanan perifer dan volume darah sirkulasi, angiotensin dan aldosteron
berimplikasi pada perubahan struktural miokardium yang terlihat pada
cedera iskemik dan kardiomiopati hipertropik hipertensif. Perubahan ini
meliputi remodeling miokard dan kematian sarkomer, kehilangan matriks
kolagen normal, dan fibrosis interstisial. Terjadinya miosit dan sarkomer
yang tidak dapat mentransmisikan kekuatannya, dilatasi jantung, dan
pembentukan jaringan parut dengan kehilangan komplians miokard normal
turut memberikan gambaran hemodinamik dan simtomatik pada Congestive
Heart Failure (CHF).
Sistem saraf simpatis (SNS): Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan
peningkatan tahanan perifer dengan peningkatan kerja jantung, takikardia,
peningkatan konsumsi oksigen oleh miokardium, dan peningkatan risiko
aritmia. Katekolamin juga turut menyebabkan remodeling ventrikel melalui
toksisitas langsung terhadap miosit, induksi apoptosis miosit,
dan peningkatan respon sautoimun.
1. Disfungsi ventrikel kiri sistolik
a) Penurunan curah jantung akibat penurunan kontraktilitas,
peningkatan afterload, atau peningkatan preload yang
mengakibatkan penurunan fraksi ejeksi dan peningkatan volume
akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV). Ini meningkatkan tekanan
akhir diastolik pada ventrikel kiri (I-VEDP) dan menyebabkan
kongesti vena pulmonal dan edema paru.
18
b) Penurunan kontraktilitas (inotropi) terjadi akibat fungsi miokard
yang tidak adekuat atau tidak terkoordinasi sehingga ventrikel kiri
tidak dapat melakukan ejeksi lebih dari 60% dari volume akhir
diastoliknya (LVEDV). lni menyebabkan peningkatanbertahap
LVEDV (Left ventricular end-diastolic volume) (juga dinamakan
preload) mengakibatkan peningkatan LVEDPdan kongesti vena
pulmonalis. Penyebab penurunan kontraktilitas yang tersering adalah
penyakit jantung iskemik, yang tidak hanya mengakibatkan nekrosis
jaringan miokard sesungguhnya, tetapi juga menyebabkan
remodeling ventrikel iskemik. Remodeling iskemik adalah sebuah
proses yang sebagian dimediasi oleh angiotensin II (ANG II) yang
menyebabkan jaringan parut dan disfungsi sarkomer di jantung
sekitar daerah cedera iskemik. Aritmia jantung dan kardiomiopati
primer seperti yang disebabkan oleh alkohol, infeksi,
hemakromatosis, hipertiroidisme, toksisitas obat dan amiloidosis juga
menyebabkan penurunan kontraktilitas. Penurunan curah jantung
mengakibatkan kekurangan perfusi pada sirkulasi sistemik dan aktivasi
sistem saraf simpatis dan sistem RAA, menyebabkan peningkatan tahanan
perifer dan peningkatan afterload.
c) Peningkatan afterload berarti terdapat peningkatan tahanan terhadap
ejeksi LV. Biasanya disebabkan oleh peningkatan tahanan vaskular
perifer yang umum terlihat pada hipertensi. Bisa juga diakibatkan
oleh stenosis katup aorta. Ventrikel kiri berespon terhadap
peningkatan beban kerja ini dengan hipertrofi miokard, suatu respon
yang meningkatkan massa otot ventrikel kiri tetapi pada saat yang
sama meningkatkan kebutuhan perfusi koronerpada ventrikel kiri.
Suatu keadaan kelaparan energi tercipta sehingga berpadu dengan
ANG II dan respons neuroendokrin lain, menyebabkan perubahan
buruk dalam miosit, seperti semakin sedikitnya mitokondria untuk
produksi energi, perubahan ekspresi gen dengan produksi protein
kontraktil yang abnormal (aktin, miosin, dan tropomiosin), fibrosis
interstisial, dan penurunan daya tahan hidup miosit. Dengan
berjalannya waktu, kontraktilitas mulai menurun dengan penurunan
19
curah jantung dan fraksi ejeksi, peningkatan LVEDV, dan kongesti
paru.
20
menjadi berkurang dan memperberat gejala disfungsi diastolik. Oleh
karena itu, intoleransi terhadap olahraga sudah menjadi umum.
e) Karena penanganan biasanya memerlukan perubahan komplians
miokard yang sesungguhnya, efektivitas obat yang kini tersedia
masih sangat terbatas. Penatalaksanaan terkini paling berhasil
dengan penyekat beta yang meningkatkan fungsi lusitropik,
menurunkan denyut jantung, dan mengatasi gejala. Inhibitor ACE
dapat membantu memperbaiki hipertrofi dan membantu perubahan
struktural di tingkat jaringan pada pasien dengan remodeling iskemik
atau hipertensi (Elizabeth, 2009).
2.1.7 Komplikasi
Menurut LeMone (2016). Mekanisme kompensasi yang dimulai pada gagal
jantung dapat menyebabkan komplikasi pada sistem tubuh lain.
Hepatomegali kongestif dan splenomegali kongestif yang disebabkan oleh
pembengkakkan sistem vena porta menimbulkan peningkatan tekanan
abdomen, asites, dan masalah pencernaan. Pada gagal jantung sebelah kanan
yang lama, fungsi hati dapat terganggu. Distensi miokardium dapat memicu
disritmia, mengganggu curah jantung lebih lanjut. Efusi pleura dan masalah
paru lain dapat terjadi. Komplikasi mayor gagal jantung berat adalah syok
kardiogenik dan edema paru. Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan
komplikasi pada sistem tubuh lain, yaitu:
1. Sistem kardiovaskuler: Angina, disritmia, kematian jantung mendadak,
dan syok kardiogenik.
2. Sistem pernapasan: Edema paru, pneumonia, asma kardiak, efusi pleura,
pernapasan Cheyne-Stokes, dan asidosis respiratorik.
3. Sistem pencernaan: Malnutrisi, asites, disfungsi hati.
2.1.8 Penatalaksanaan dan Terapi
Penatalaksanaan CHF bertujuan untuk menurunkan kerja jantung,
meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokard, dan menurunkan
retensi garam dan air (Aspiani, 2015). Penatalaksanaan CHF dibagi 2, yaitu:
1. Penatalaksanaan keperawatan
a. Memperbaiki kontraksi miokard/ perfusi sistemik:
21
- Istirahat total/ tirah baring dalam posisi semifowler
- Memberikan terapi oksigen sesuai dengan kebutuhan.
b. Menurunkan volume cairan yang berlebihan:
- Mencatat asupan dan haluaran.
- Menimbang berat badan.
- Restriksi garam/ diet rendah garam.
- Mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi:
- Mengatur jadwal mobilisasi secara bertahap sesuai keadaan pasien.
- Mencegah terjadinya imobilisasi akibat tirah baring.
- Mengubah posisi tidur.
c. Pendidikan kesehatan yang menyangkut penyakit, serta pencegahan
kekambuhan:
- Menjelaskan tentang perjalanan penyakit dan prognosis, kegunaan
obat-obatan yang digunakan, serta memberikan jadwal pemberian
obat.
- Mengubah gaya hidup/ kebiasaan yang salah, seperti: merokok,
stress, kerja berta, minuman alkohol, makanan tinggi lemak dan
kolesterol.
24
hari dan sering tertidur sejenak (Bestari, 2013). Hal ini menyebabkan
kualitas tidur seseorang menjadi menurun. Akibatnya akan terlihat pada
kehidupan sehari-hari, yaitu menurunnya kualitas hidup, produktivitas
dan keselamatan serta dapat menyebabkan tubuh terasa lemah, letih dan
lesu akibat tidur yang tidak lelap (Sumedi dkk., 2010).
2.2.4 Klasifikasi gangguan pola tidur
2.2.5 Penatalaksanaan
1. Edukasi kesehatan
Edukasi kesehatan meliputi pemberian informasi mengenai gangguan
pola tidur seperti etiologi dan langkah-langkah yang akan diambil
untuk mengatasi gangguan pola tidur. Informasi yang diperoleh akan
memperbaiki kesalahpahaman mengenai siklus tidur, masalah, dan
langkah-langkah terapi.
25
2. Edukasi sleep hygiene
Edukasi sleep hygiene meliputi pergi ke tempat tidur hanya bila
mengantuk, hindari tidur sekejab di siang hari, bangun pada waktu
yang sama setiap hari, hentikan obat yang bekerja pada sistem saraf
pusat (kafein, nikotin, alkohol, stimulan), mempertahankan kondisi
tidur yang menyenangkan (tentang suhu, ventilasi, kebisingan,
cahaya), melakukan rutinitas relaksasi malam, seperti relaksasi otot
progresif atau meditasi, makan pada waktu yang teratur setiap hari,
hindari makan dalam jumlah besar sebelum tidur, hindari stimulasi
malam hari, gantikan televisi dengan radio atau bacaan santai, dan
dapatkan kebugaran fisik dengan program olahraga yang rajin dan
bertahap di pagi hari.
3. Terapi psikologis
Cognitif Behavioral Therapy (CBT) merupakan gabungan terapi
kognitif dan perilaku. Tujuan utama dari teknik perilaku untuk
pengobatan gangguan pola tidur adalah untuk merubah perilaku yang
berkaitan dengan tidur yang merupakan faktor yang memperburuk
gangguan tidur. Faktor-faktor ini mungkin karena kebiasaan tidur yang
buruk (terlalu lama di tempat tidur), pola tidur-bangun yang tidak
teratur, atau hiperaktivasi psikofisiologis. Sedangkan teknik kognitif
ditujukan untuk mengidentifikasi dan menganalisa pemikiran dan
keyakinan yang salah yang berkaitan dengan tidur atau konsekuensi
dari gangguan pola tidur.
4. Terapi farmakologis
Prinsip dasar terapi pengobatan gangguan pola tidur yaitu, Jangan
menggunakan obat hipnotik sebagai satu-satunya terapi, pengobatan
harus dikombinasikan dengan terapi nonfarmakologi, pemberian obat
golongan hipnotik dimulai dengan dosis yang rendah,
selanjutnya dinaikan perlahan –lahan sesuai kebutuhan, khususnya
pada orang tua, hindari penggunaan benzodiazepin jangka panjang,
hati – hati penggunaan obat golongan hipnotik khususnya
benzodiazepin pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan atau
ketergantungan obat, monitor pasien untuk melihat apakah ada
26
toleransi obat, ketergantungan obat atau penghentian penggunaan obat,
memberikan edukasi kepada pasien efek penggunaan obat hipnotik
yaitu mual dan kecelakaan saat mengemudi atau bekerja, khususnya
golongan obat jangka panjang, melakukan tapering obat secara
perlahan untuk menghindari penghentian obat dan terjadi rebound
fenomena.
2.2.6 Alat Ukur Gangguan pola tidur
Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur (gangguan pola tidur) dari
subyek adalah menggunakan KSPBJ-IRS (Kelompok Studi Psikiatri
Biologik Jakarta - Insomnia Rating Scale) (Dewi dkk, 2015). Alat ukur ini
mengukur masalah gangguan pola tidur secara terperinci, misalnya
masalah gangguan masuk tidur, lamanya tidur, kualitas tidur, serta kualitas
setelah bangun. Berikut merupakan butir- butir dari KSPBJ-Insomnia
Rating Scale dan nilai skoring dari tiap item yang dipilih oleh subyek
adalah sebagai berikut:
1. Lamanya tidur. Butir ini untuk mengevaluasi jumlah jam tidur
total, nilai butir ini tergantung dari lamanya subyek tertidur dalam
satu hari. Untuk subyek normal lamanya tidur biasanya lebih dari
6,5 jam, sedangkan pada penderita gangguan pola tidur memiliki
lama tidur yang lebih sedikit. Nilai yang diperoleh dalam setiap
jawaban adalah : Nilai 1 untuk jawaban tidak pernah tidur kurang
dari 6 jam. Nilai 2 untuk jawaban kadang-kadang. Nilai 3 untuk
jawaban sering. Nilai 4 untuk jawaban selalu tidur kurang dari 6
jam.
2. Mimpi. Subyek normal biasanya tidak bermimpi atau tidak
mengingat bila ia mimpi atau kadang-kadang mimpi yang dapat
diterimanya. Penderita gangguan pola tidur mempunyai mimpi
yang lebih banyak atau selalu bermimpi dan kadang-kadang mimpi
buruk. Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai 0
untuk jawaban tidak ada mimpi. Nilai 1 untuk jawaban terkadang
mimpi yang menyenangkan atau mimpi biasa saja. Nilai 2 untuk
jawaban selalu bermimpi. Nilai 3 untuk jawaban mimpi buruk atau
mimpi yang tidakmenyenangkan
27
3. Kualitas tidur. Kebanyakan subyek normal tidurnya dalam,
penderita gangguan pola tidur biasanya tidurnya dangkal. Nilai
yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai 0 untuk
jawaban dalam, sulit untuk terbangun. Nilai 1 untuk jawaban
terhitung tidur yang baik, tetapi sulit untuk terbangun. Nilai 2
untuk jawaban terhitung tidur yang baik, tetapi mudah untuk
terbangun. Nilai 3 untuk jawaban tidur yang dangkal, mudah untuk
terbangun.
28
cepat (misal 1-2 jam sebelum waktu untuk bangun). Nilai yang
diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai 0 untuk jawaban
sekitar waktu bangun tidur anda. Nilai 1 untuk jawaban bangun 30
menit lebih awal dari waktu bangun tidur anda dan tidak dapat
tertidur lagi. Nilai 2 untuk jawaban bangun 1 jam lebih awal dari
waktu bangun tidur anda dan tidak dapat tertidur lagi. Nilai 3 untuk
jawaban bangun lebih dari 1 jam lebih awal dari waktu bangun tidur
anda dan tidak dapat tertidur lagi.
29
2.3.2 Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif
Relaksasi progresif sebagai salah satu teknik relaksasi otot telah terbukti
dalam program terapi terhadap ketegangan otot mampu mengatasi keluhan
penderita gangguan tidur (gangguan pola tidur) untuk meningkatkan kualitas
tidur, anxietas, kelelahan, kram otot, nyeri leher dan pinggang, tekanan
darah tinggi, fobia ringan dan gagap. Selain itu, relaksasi progresif adalah
cara yang efektif untuk relaksasi dan mengurangi kecemasan karena dengan
mengistirahatkan otot-otot kita melalui suatu cara yang tepat, maka hal ini
akan diikuti dengan relaksasi mental atau pikiran (Kanender, dkk., 2015).
30
Meromiosin ringan tersusun dari dua utas peptida yang satu sama lainnya
saling melilit dalam satu heliks. Meromiosin berat terdiri dari dua bagian,
yaitu heliks kembar yang sama dengan yang terdapat pada meromiosin
ringan dan bagian kepala yang terletak pada ujung heliks kembar (lryani
2010).
Badan filamen terdiri dari utas meromiosin ringan yang sejajar. Bagian
meromiosin berat dari molekul miosin terdapat penonjolan yang membentuk
jembatan penyeberang. Batang penyeberang bertindak sebagai lengan yang
memungkinkan kepala meluas jauh keluar dari badan filamen miosin atau
terletak dekat dengan badan. Bemstein & Borkovec (2007), sistem kontrol
desending adalah suatu sistem serabut berasal dari dalam otak bagian bawah
dan bagian tengah dan berakhir pada serabut interneuronal dalam kornu
dorsalis dari medula spinalis. Relaksasi otot progresif dilakukan dengan cara
menegangkan kelompok otot tertentu kemudian melepaskan ketegangan
tersebut. Pada saat otot sedang ditegangkan memang menimbulkan rasa
tidak nyaman, tetapi ketika ketegangan dilepaskan maka saat itulah akan
merasakan sensasi rasa nyaman. Dalam hal ini, orang yang melakukan
latihan relaksasi otot memang diminta untuk berkonsentrasi membedakan
sensasi rasa nyaman yang timbul ketika ketegangan dilepaskan.
Ketegangan otot merupakan hasil dari kontraksi serabut otot,
sedangkan relaksasi merupakan perpanjangan serabut otot. Hingga saat ini
belum ada alat untuk mengukur tingkat ketegangan dan relaksasi otot.
Sehingga ukuran otot yang tegang dan rileks menjadi tidak standar dan lebih
dominan bersifat subyektif. Untuk ketegangan otot, secara obyektif
sebenamya bisa dilihat dan dirasakan. Pergerakan otot yang terjadi akibat
makin membesar dan memanjangnya serabut otot bisa dilihat secara kasat
mata. Konsistensi atau kekerasan bisa menjadi salah satu indikator
ketegangan karena semakin tegang suatu otot maka akan semakin keras
konsistensinya. Selain itu, usaha menegangkan otot harus dilakukan dengan
menahan nafas. Keras dan lemahnya getaran atau guncangan saat
menegangkan mengindikasikan tingkat ketegangan otot (Derma, 2018).
2.3.4 Indikasi
31
1. Lansia yang mengalami gangguan tidur.
2. Lansia yang sering mengalami stress.
3. Lansia yang mengalami kecemasan.
32
1. Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur, dan pengisian lembar persetujuan
terapi pada lansia.
2. Posisikan tubuh lansia secara nyaman yaitu berbaring dengan mata
tertutup menggunakan bantal dibawah kepala dan lutut atau duduk
dikursi dengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri.
3. Lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan sepatu.
4. Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain yang sifatnya
mengikat ketat.
b. Tahap – tahap gerakan otot progresif
1. Gerakan 1: Ditunjukan untuk melatih otot tangan.
a. Genggam tangan kiri sambil membuat suatukepalan.
b. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan
yang terjadi.
c. Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan relaksasi selama 10 detik.
d. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga lansia
dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan
relaks yang dialami.
33
3. Gerakan 3: (Ditunjukan untuk melatih otot biseps (otot besar pada
bagian atas pangkal lengan).
a. Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
b. Kemudian membawa kedua kapalan ke pundak sehingga otot
biseps akan menjadi tegang.
52
34
sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.
5) Makanan/cairan
a) Gejala:
Riwayat diet tinggi garam; lemak; gula; serta kafein, penurunan
nafsu makan, anoreksia, mual, muntah.
b) Tanda:
39
Penampilan mengindikasikan adanya kelalaian dalam perawatan
diri.
7) Neurosensori
a) Gejala:
Kelelahan, pusing, pingsan.
b) Tanda:
Latergi, kebingungan, disorientasi, perubahan perilaku, iritabilitas
(mudah tersinggung).
8) Nyeri / ketidaknyamanan
a) Gejala:
Nyeri dada, angina akut atau angina kronis, nyeri abdomen bagian
kanan atas (gagal jantung kanan), nyeri otot.
b) Tanda:
Gelisah, fokus berkurang dan menarik diri, menjaga perilaku.
9) Pernapasan
a) Gejala:
Dispnea saat beraktivitas atau istirahat, dispnea pada malam hari
sehingga mengganggu tidur, tidur dengan posisi duduk atau dengan
sejumlah bantal, batuk dengan atau tanpa produksi sputum terutama
saat posisi rekumben, penggunaan alat bantunafas misalnya oksigen
atau obat-obatan.
b) Tanda:
41
d) Albumin: menurun sebagai akibat penurunan masukan protein.
2) Radiologi, yaitu Rongent Thorax:
a) Bayangan hulu paru yang tebal dan melebar, kepadatan makin ke
pinggir berkurang.
b) Lapang paru bercak-bercak karena edema paru.
c) Distensi vena paru.
d) Hidrotoraks.
e) Pembesaran jantung, rasio kardio-toraks meningkat.
3) EKG
Dapat ditemukan kelainan primer jantung (iskemik, hipertrofi
ventrikel, gangguan irama) dan tanda-tanda faktor pencetus akut
(infark miokard, emboli paru).
4) Ekokardiografi
Untuk deteksi gangguan fungsional serta anatomis yang menjadi
penyebab gagal jantung.
5) Kateterisasi jantung
Pada gagal jantung kiri didapatkan (VEDP) 10 mmHg atau pulmonary
arterial wedge pressure > 12 mmHg dalam keadaan istirahat. Curah
jantung lebih rendah dari 2,71/menit/ luas permukaan tubuh.
43
1. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
2. Anjurkan beraktivitas secara bertahap
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian anti
aritmia
2. Intoleransi aktivitas Toleransi Aktifitas Manajemen energi
b.d Setelah diberikan intervensi selama 2 x Observasi :
ketidakseimbangan 24, maka intoleransi ak tivitas dapat 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
antara suplai dan menurun dengan kriteria hasil: 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
kebutuhan oksigen 1. Frekuensi nadi meningkat 3. Monitor pola dan jam tidur
2. Saturasi oksigen meningkat 4. Monitor lokasi dan
3. Kekuatan tubuh menurun ketidaknyaman Terapeutik
4. Keluhan lelah menurun 1. Sediakan lingkungan yang nyaman
5. Dispneu menurun 2. Lakukan latihan ROM
6. Perasaan lemah menurun 3. Berikan aktivitas distraksi yang
7. Sianosis menurun menyenangkan Edukasi
8. Warna kulit membaik 1. Anjurkan tirah baring
9. Tekanan darah membaik 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
10. Frekuensi nafas membaik 3. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang peningkatan asupan makanan
3. D.0077 L.08066 I.08238
44
Nyeri akut b.d agen Tingkat Nyeri Manajemen nyeri
pencedera fisiologis Setelah diberikan intervensi selama Observasi
3x24 jam maka tingkat nyeri menurun, 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
2. Meringis menurun Teraupetik
3. Gelisah menurun 1. Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kesulitan tidur menurun 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
5. Frekuensi nadi membaik 3. Fasilitasi istirahat dan
6. Pola nafas membaik tidur Edukasi
7. Pola tidur membaik 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
8. Tekanan darah membaik 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mnegurangi rasa
nyeri Kolaborasi
45
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
4. D.0005 L.01004 I.01012
Pola nafas tidak Pola Napas Manajemen Jalan Napas
efektif b.d Setelah diberikan intervensi selama Observasi
hambatan upaya 1x24 jam maka pola nafas membaik, 1. Monitor pola nafas
nafas dengan kriteria hasil : 2. Moitor bunyi nafas tambahan
1. Dispnea menurun 3. Monitor sputum
2. Penggunaan otot bantu nafas Teraupetik
menurun 1. Posisikan semi fowler
3. Pemanjangan fase ekspirasi 2. Berikan minuman hangat
menurun 3. Lakukan fisioterapi dada
4. Frekuensi nafas membaik 4. Berikan oksigen
5. Kedalaman nafas membaik Edukasi
1. Anjarkan teknik batuk efektif
2. Kolaborasi
3. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
5. D. 0055 L.05045 I.05174
Gangguan pola Pola Tidur Dukungan Tidur
tidur kurangnya Setelah diberikan intervensi selama Observasi
kontrol tidur 3x24 jam maka gangguan pola tidur 1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
membaik, dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi faktor pengganggu
46
1. Keluhan sulit tidur menurun tidur Teraupetik
2. Keluhan sering terjaga menurun 1. Modifikasi lingkungan
3. Keluahan tidak puas tidur menurun 2. Lakukan prosedur untuk meningkatkan
4. Keluhan istirahat tidak cukup kenyamanan Edukasi
menurun 1. Ajarkan cara nonfarmakologi untuk mengatasi gangguan tidur
5. Kemampuan beraktivitas
meningkat
47
2.4.4 Implementasi
2.4.5 Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosa keperawatan,
rencana asuhan keperawatan, dan pelaksanaan keperawatan. Evaluasi
keperawatan sebagai sesuatu yang direncanakan dan perbandingan yang
sistematik pada status kesehatan pasien. Dengan mengukur perkembangan
pasien dalam mencapai suatu tujuan maka perawat dapat menentukan
efektivitas asuhan keperawatan. Meskipun tahap evaluasi keperawatan
diletakkan pada akhir proses keperawatan tetapi tahap ini merupakan bagian
integral pada setiap tahap proses keperawatan.
48
(Nursalam, 2008).
Gangguan Pola
Tidur
VARIABEL TERIKAT
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
49
BAB III
METODE PENELITIAN
27
28
d. Pasien kooperatif
e. Pasien bukan tuna rungu
f. Pasien yang masih membutuhkan perawatan ≥ 3 hari
2. Kriteria Ekslusi
Kriteria eksklusi subjek studi kasus yaitu sebagai berikut:
a. Pasien yang harus menjalani bedrest.
b. Pasien dengan keterbatasan gerak
c. Pasien yang menolak dilakukan prosedur tindakan.
Studi kasus ini berfokus pada masalah keperawatan gangguan pola tidur pada pasien
CHF.
3.4 Lokasi dan Waktu Studi Kasus
1. Lokasi
Studi kasus Karya Ilmiah Akhir Ners ini dilaksanakan di RS PKU
Muhammadiyah Gombong.
2. Waktu
Studi Karya Ilmiah Akhir Ners ini dilaksanakan dan diambil per bulan April
2022.
3.5 Definisi Operasional
kadang-kadang (2),
sering (3), selalu (4).
Gangguan pola Hasil evaluasi terapi Kuesioner IRS Gangguan tidur
tidur (post) relaksasi otot progresif (Insomnia Rating Scale) dikategorikan menjadi 4:
terhadap ketidakmampuan yang terdiri dari 11 1) Tidak ada keluhan
untuk memiliki kualitas insomnia: 11-19
pertanyaan tentang
dan intensitas tidur yang 2) Insomnia ringan: 20-27
kualitas sebelum tidur,
cukup 3) Insomnia berat: 28-36
saat tidur dan setelah
4) Insomnia sangat berat:
tidur serta intensitas
37-44
tidur. Pengukuran
dilakukan dengan skala
linkert, dimana terdapat
4 alternatif jawaban.
Tidak pernah (1),
kadang-kadang (2),
sering (3), selalu (4).
1. Analisa Data
Analisa data dalam penulisan hasil studi kasus ini dilakukan secara observasi,
dokumentasi, dan wawancara menggunakan format pendokumentasian asuhan
keperawatan.
2. Penyajian Data
Penyajian data yang dilakukan dalam penulisan studi kasus menggunakan
penyajian dalam bentuk naratif dan tabel. Pendokumentasian akan disajikan dalam
bentuk asuhan keperawatan untuk menarik kesimpulan berdasarkan data subjektif
dan objektif.
Pada penulisan Karya Tulis Akhir Ners ini, peneliti telah mendapatkan
rekomendasi dari institusi tempat penelitian. Prinsip etik menurut (Dharma, 2011)
yang meliputi :
1. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Peneliti mempertimbangkan hak-hak subjek untuk mendapatkan informasi
yang terbuka terkait dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan
menentukan pilihan dan kebebasan dari paksaan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan penelitian (autonomy). Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip
menghormati harkat dan martabat manusia pada penelitian ini adalah peneliti
telah memberikan penjelasan terkait penelitian yang akan dilakukan kemudian
bila subjek telah mengerti peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subjek
(Inform Concern) dan apabila subjek menolak maka peneliti tidak akan memaksa.
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and
confidentiality)
Pada dasarnya penelitian akan menimbulkan akibat terbukanya informasi
individu termasuk informasi yang bersifat pribadi, sehingga peneliti
memperhatikan hak-hak dasar individu tersebut dan memperhatikan keamanan
32
dan kenyamanan (safety). Pada tahap ini peneliti tidak mencantumkan nama
terang maupun tanggal lahir, riwayat penyakit, dan sebagainya yang menyangkut
privasi subjek.
3. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and
benefits)
Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa berguna pada tingkat populasi yang
lebih banyak khususnya para pasien SKA yang mengalami nyeri dada akut dan
untuk tenaga medis rumah sakit.Peneliti meminimalisir dampak tidak bermanfaat
yang dapat merugikan subjek (non maleficience).
4. Prinsip keadilan (respect for justice)
Pada penelitian ini, peneliti mempertimbangkan aspek keadilan dan hak
subjek untuk mendapatkan perlakuan yang sama yaitu memperlakukan subjek
secara adil baik sebelum, selama, maupun sesudah keikutsertaan dalam penelitian
ini.