Anda di halaman 1dari 55

ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN CHF

DENGAN MASALAH GANGGUAN POLA TIDUR


MENGGUNAKAN TERAPI RELAKSASI OTOT
PROGRESIF DI PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Disusun Oleh :

ISMAIL AJI
2021030035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN


PROFESI NERS PROGRAM PROFESI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GOMBONG
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal jantung kongestif merupakan ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah serta memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dengan
baik, saat kondisi istirahat maupun aktivitas (Azzahra dkk, 2018). Gagal
jantung juga dapat berarti kumpulan sindrom klinis yang memiliki gejala
diantaranya sesak nafas dan mudah lelah serta tanda berupa peningkatan
Jugular Venous Pressure (JVP) dan edema perifer yang disebabkan oleh
kelainan struktural dan fungsi pada jantung yang mengakibatkan penurunan
cardiac output (CO) sehingga distribusi darah tidak tersalurkan ke seluruh
tubuh (Ponikowski et al, 2015).
Data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) tahun 2020
menunjukkan bahwa pada tahun 2019 terdapat 23 juta atau sekitar 54% dari
total kematian disebabkan oleh CHF. Penelitian yang telah dilakukan di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa resiko berkembangnya CHF adalah
20% untuk usia ≥ 40 tahun dengan kejadian > 650.000 kasus baru yang
diagnosis Congestive Heart Failure (CHF) selama beberapa dekade terakhir.
Kejadian CHF kian meningkat dengan bertambahnya umur yang menjadi
faktor penyebab peningkatan kematian untuk CHF sekitar 50% dalam kurun
waktu lima tahun (Rispawati, 2019). Berdasarkan Riskesdas (2018) prevelensi
penyakit jantung yang terdiagnosis dokter pada semua umur di Indonesia
sebanyak 1,5 % atau diperkirakan sekitar 2.6 juta orang yang mana prevelensi
tersebut tidak ada penurunan dibanding prevelensi di lima tahun terakhir.
Indonesia menempati peringkat ke 4 negara dengan jumlah kematian akibat
penyakit kardiovasculer. Jawa Tengah masuk dalam 10 besar provinsi dengan
tingkat prevalensi penyakit jantung tertinggi dengan 1,6%.
Gagal jantung kongestif disebabkan oleh kelainan otot jantung,
aterosklerosis koroner, hipertensi sistemik atau pulmonal, peradangan,
penyakit jantung lain seperti gangguan aliran darah, ketidakmampuan jantung
untuk mengisi darah atau pengosongan jantung abnormal (Brunner &
Suddarth, 2013). Rampengan (2014) menyebutkan gagal jantung kongestif
disebabkan oleh anemia, diet natrium, infeksi, gaya hidup, dan kelelahan fisik.
2
Pada umumnya pasien dengan CHF muncul tanda dan gejala yang berbeda
disetiap letak gagal jantungnya seperti pada gagal jantung ventrikel kanan
mempunyai tanda dan gejala edema, anoreksia, mual, asites, dan sakit daerah
perut. Sedangkan pada gagal jantung ventrikel kiri mempunyai tanda dan
gejala badan lemah, cepat lelah, berdebar- debar, sesak nafas, batuk,
anoreksia, dan keringat dingin. Jika tanda dan gejala tersebut tidak dapat
diatasi dengan cepat dan tepat, maka akan terjadi komplikasi, seperti:
hepatomegali, edema paru, hidrotoraks, syok kardiogenik, dan tamponade
jantung (Kasron, 2012; LeMone,2016).
Pasien dengan Congestive Heart Failure (CHF) membutuhkan tidur yang
cukup dikarenakan dengan kualitas tidur yang baik akan memperbaiki sel-sel
otot jantung. Pasien perlu sekali beristirahat baik secara fisik maupun
emosional. Istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga
cadangan jantung, dan menurunkan tekanan darah. Lamanya berbaring juga
akan merangsang diuresis karena berbaring akan memperbaiki perfusi ginjal.
Istirahat juga mengurangi kerja otot pernapasan dan penggunaan oksigen.
Frekuensi jantung menurun, yang akan memperpanjang periode diastole
pemulihan sehingga memperbaiki efisiensi kontraksi jantung (Sariyudin,
2018).
Kualitas tidur merupakan kondisi tidur seseorang yang dapat
digambarkan dengan lama waktu tidur dan keluhan-keluhan yang dirasakan
saat tidur maupun saat bangun tidur seperti merasa letih, pusing, badan pegal-
pegal atau mengantuk berlebihan pada siang hari (Potter & Perry, 2009).
Menjaga kualitas tidur menjadi sangat penting pada klien yang sedang
menjalani hospitalisasi. Tindakan keperawatan mandiri yang bisa diberikan
kepada klien sebagai alternatif untuk mengatasi gangguan istirahat-tidur
adalah dengan menciptakan lingkungan yang tenang. Membatasi pengunjung,
menganjurkan klien teknik relaksasi, masase punggung dan latihan guided
imageri (Rizal, 2018). Seseorang yang mengalami gangguan sulit tidur
(gangguan pola tidur) akan berkurang kuantitas dan kualitas tidurnya. Gejala
gangguan pola tidur disebabkan karena adanya gangguan emosi/ketegangan
atau gangguan fisik. Gangguan pola tidur dapat diakibatkan oleh banyak
faktor, misalnya penyakit, lingkungan, kelelahan, stress psikologis, obat,
3
nutrisi, motivasi, merokok dan alkohol. Kurang tidur (gangguan pola tidur)
yang sering terjadi dan berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik
yang menyebabkan muka pucat dan mata sembab, badan lemas, dan daya
tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang penyakit (Lanywati, 2001).
Tindakan untuk mengatasi gangguan tidur bisa menggunakan terapi
farmakologi ataupun nonfarmakologi.Terapi farmakologis, penatalaksanaan
gangguan pola tidur yaitu dengan memberikan obat dari golongan sedatif-
hipnotik seperti benzodiazepin (ativan, valium, dan diazepam). Terapi
farmakologis memiliki efek yang cepat, tetapi jika diberikan dalam waktu
jangka panjang dapat menimbulkan efek berbahaya bagi kesehatanpada
pasien gangguan jantung. Penggunaan obat tidur secara terus menerus dapat
juga menimbulkan efek toksisitas, karena pada pasien CHF terjadi penurunan
aliran darah, motilitas pencernaan serta penurunan fungsi ginjal dan efek
samping lainya seperti habituasi, ketergantungan fisik dan psikologis,
gangguan kognitif dan psikomotor, mengantuk dan cemas pada siang hari
serta dapat terjadi gangguan tidur iatrogenik. Begitu pula dengan pemberian
sedatif untuk mengobati gangguan tidur berefek terjadinya inkontinensia
terutama terjadipada malam hari. Efek samping tersebut menyebabkan
semakin berkurangnya kualitas tidur. Sedangkan terapi nonfarmakologi untuk
mengatasi kebutuhan tidur terdiri dari beberapa tindakan penanganan,
meliputi; terapi menggunakan aromaterapi, terapi musik, pijatan dan teknik
relaksasi (Hadibroto, 2009).
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik untuk mengurangi
ketegangan otot dengan proses yang simpel dan sistematis dalam
menegangkan sekelompok otot kemudian merilekskannya kembali yang
dimulai dengan otot wajah dan berakhir pada otot kaki. Tindakan ini biasanya
memerlukan waktu 15- 30 menit dan dapat disertai dengan instruksi yang
direkam yang mengarahkan individu untuk memperhatikan urutan otot yang
direlakskan. Rendahnya aktivitas otot tersebut menyebabkan kekakuan pada
otot. Otot yang kaku akan menyebabkan tubuh tidak menjadi rileks sehingga
memungkinkan lansia mengalami gangguan pola tidur.(Marks, 2011).
Seorang psikolog dari Chicago yang mengembangkan metode fisiologis
melawan ketegangan dan kecemasan. Teknik ini disebut relaksasi progresif
4
yaitu teknik untuk mengurangi ketegangan otot dengan metode relaksasi
termurah, tidak memerlukan imajinasi, tidak ada efek samping, mudah untuk
dilakukan, serta dapat membuat tubuh dan fikiran terasa tenang, rileks, dan
lebih mudah untuk tidur (Ari, 2010).
Menurut dewi dkk (2015), Kegiatan teknik relaksasi otot progresif ini
tidak hanya dapat mengurangi gangguan pola tidur namun juga memicu
perbaikan aktifitas dan pengetahuan pasien CHF. Berdasarkan pengakuan
responden diketahui bahwa kegiatan penelitian ini menyebabkan keaktifan
dari pasien untuk memperbaiki kondisinya.Penelitian yang dilakukan oleh
sulidah dkk (2016), bahwa Frekuensi responden dengan kualitastidur baik
setelah relaksasi otot progresifmenunjukkan kecenderungan
meningkat,sedang responden dengan kualitas tidurburuk cenderung
berkurang. Sehinggamengindikasikan bahwa latihan relaksasiotot progresif
memberi pengaruh terhadappeningkatan kualitas tidur lansia. Hal tersebut
sesuai dengan teori Ramdhani (2006) dalam Triyanto (2014) bahwa teknik
relaksasi semakin sering dilakukan terbukti efektif mengurangi ketegangan
dan kecemasan, mengatasi gangguan pola tidur dan asma. Hal itu juga sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Greenberg (2002) yang dikutip Mashudi
(2012) mengatakan relaksasi akan memberikan hasil setelah dilakukan
sebanyak 3 kali latihan.Asuhan keperawatan pada pasien dengan CHF
merupakan asuhan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan
substansi ilmiah yaitu logis, sistimatis, dinamis dan terstruktur (Muhlisin,
2011).
Fenomena pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif diruang rawat inap
belum dilaksanakan. Dari hasil wawancara kepada salah seorang perawat
ruangan, terapi relaksasi otot progresif belum disosialisasikan dan sebagian
besar perawat masih asing dengan terapi komplementer ini sehingga terapi ini
belum ditetapkan dalam dalam intervensi keperawatan di PKU
Muhammadiyah Gombong. Angka kejadian CHF di PKU Muhammadiyah
Gombong pada bulan Februari kurang lebih 10 penderita dan yang mengalami
gangguan tidur sebanyak 7 penderita serta didapatkan hasil wawancara pada
pasien yang mengidap gagal jantung kongestif bahwa penyebab terjadinya
masalah dengan jantung disebabkan adanya riwayat hipertensi, pola makan
5
yang tidak teratur, dan kurangnya olahraga.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk


melaksanakan asuhan keperawatan yang akan dituangkan dalam bentuk karya
ilmiah akhir ners dengan judul “Analisis Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Gangguan Pola Tidur Pada Pasien CHF Dengan Terapi Relaksasi
Otot Progresif Di PKU Muhammadiyah Gombong”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan hal tersebut, maka penulis merumuskan masalah “Bagaimana
Analisis Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Pola Tidur
Pada Pasien CHF Dengan Terapi Relaksasi Otot Progresif Di PKU
Muhammadiyah Gombong”.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mampu melakukan analisis asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan pola tidur pada pasien CHF dengan terapi relaksasi otot
progresif di PKU Muhammadiyah Gombong.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami konsep teori dasar penyakit CHF dan
penerapan terapi relaksasi otot progresif terhadap gangguan pola tidur
di PKU Muhammadiyah Gombong.
b. Mahasiswa mampu melakukan penerapan dan pendokumentasian
dalam melakukan terapi relaksasi otot progresif pada pasien dengan
congestif heart failure (chf) di pku muhammadiyah gombong.
c. Mahasiswa mampu menganalisa jurnal yang berkaitan dengan
penerapan terapi relaksasi otot progresif pada pasien dengan congestif
heart failure (chf) di PKU Muhammadiyah Gombong.

6
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Rumah Sakit
Karya ilmiah ini dapat dijadikan media informasi tentang penyakit yang
diderita pasien dan bagaimana cara penangananya bagi pasien dan juga
bagi keluarga bagi dirumah maupun di rumah sakit khususnya untuk
gangguan sistnm kardiovaskuler : gagal jantung kongestif.
1.4.2 Bagi Perawat
Hasil karya ilmiah akhir ners ini dapat memberikan manfaat bagi
pelayanan keperawatan dengan memberikan gambaran dan
mengaplikasikan acuan dalam dalam melakukan asuhan kepawatan pasien
dengan CHF dengan masalah keperawatan insomsia dengan terapi otot
progresif.
1.4.3 Bagi institusi pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan untuk pelaksanaan pendidikan serta
masukan dan perbandingan untuk karya ilmiah lebih lanjut dalam asuhan
keperawatan pasien CHF.
1.4.4 Bagi pasien dan bagi keluarga
Pasien dan keluarga mendapatkan informasi juga pengetahuan tentang cara
merawat keluraga dengan CHF yang mengalami gangguan pola tidur.
1.4.5 Bagi mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuan serta
pengalaman yang lebih mendalam dalam memberikan asuhan keperawatan
khususnya pada pasien dengan CHF khususnya gangguan pola tidur
dengan terapi otot progresif.

7
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Congestive Heart Failure(CHF)


2.1.1 Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah keadaan ketika jantung tidak
mampu lagi memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan
sirkulasi tubuh untuk keperluan metabolisme jaringan tubuh pada kondisi
tertentu, sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung masih cukup tinggi
(Aspiani,2015).
Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan nutrisi jaringan (Smeltzer, 2017).Gagal jantung adalah kondisi
dimana jantung tidak mampu memompa darah dalam memenuhi kebutuhan
sirkulasi tubuh untuk keperluan metabolisme dan oksigen (Nugroho, 2011).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke
seluruh tubuh, sehingga tidak memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau
terjadinya defisit penyaluran oksigen ke organ tubuh.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1 Jantung


Sumber gambar : (John, 2009)
8
Jantung (Gambar 2.1) adalah organ berupa otot, berbentung kerucut,
berongga, basisnya diatas, dan puncaknya di bawah, apeksnya (puncak)
miring ke sebelah kiri. Jantung berada di dalam toraks, antara kedua paru –
paru dan di belakang sternum, dan lebih menghadap ke kiri dari pada ke
kanan. Kedudukannya yang tepat dapat digambarkan pada kulit dada kita
Sebuah garis ditarik dari tulang rawan iga ketiga kanan, 2 cm dari sternum,
keatas tulang rawan iga kedua kiri, 1 cm dari sternum, menunjuk kedudukan
basis jantung, tempat pembuluh darah masuk dan keluar. Titik disebelah kiri
antara iga dan ke enam, atau didalam ruang interkostal kelima kiri, 4 cm
dari garis medial, menunjuk kedudukan apeks jantung yang merupakan
ujung tajam ventrikel.
a. Struktur Jantung
Ukuran jantung kira kira sebesar kepalan tangan. Jantung dewasa
beratnya antara 220 sampai 260 gram. Jantung terbagi oleh sebuah septum
(sekat) menjadi dua belah, yaitu kiri dan kanan. Sesudah lahir tidak ada
hubungan antara kedua belahan ini. Setiap belahan kemudian dibagi lagi
dalam dua ruang, yang atas disebut atrium, dan yang bawah ventrikel.
Maka di kiri terdapat 1 atrium dan 1 ventrikel, dan di kanan juga terdapat 1
atrium dan 1 ventrikel di setiap sisi ada hubungan antara atrium dan
ventrikel melalui lubang atrio-ventrikuler dan pada setiap lubang tersebut
terdapat katup : yang kanan bernama katup (valvula) trikuspidalis dan yang
kiri katup mitral atau katup bikuspidalis. (istilah atrium dan aurikel adalah
sama).

Katup atrio-ventrikel mengizinkan darah mengalir hanya ke satu


jurusan, yaitu dari atrium ke ventrikel; dan menghindari darah mengalir
kembali dari ventrikel ke atrium. Katup trikuspidalis terdiri atas tiga
kelopak atau kuspa; katup mitral terdiri atas dua kelopak – karena mirip
topi seorang uskup atau mitre, dari situlah namadiambil. jantung tersusun
atas otot yang bersifat khusus dan terbungkus sebuah membran yang
disebut perikardium. Membran itu terdiri atas dua lapis, perikardium
viseral adalah membran serus yang lekat sekali dengan jantung dan

9
perikardium parietal adalah lapisan fibrus yang terlipat keluar dari basis
jantung dan membungkus jantung sebagai kantong longgar. Karena
susunan ini, jantung berada di dalam dua lapis kantong perikardium, dan
diantara dua lapisan itu ada cairan serus. Karena sifat meminyaki dari
cairan itu , jantung dapat bergerak bebas. Disebelah dalam jantung
dilapisi endotelium. Lapisan ini disebut endokardium. Katup – katupnya
hanya merupakan bagian yang lebih tebal dari membran ini.
Tebal dinding jantung dilukiskan sebagai terdiri atas tiga lapis:
1. Miokardium
Miokardium membentuk bagian terbesar dinding jantung.
Miokardium tersusun dari serat-serat otot jantung, yang bersifat
lurik dan saling berhubungan satu sama lain oleh cabang-cabang
muscular. Serat mulai berkontraksi pada embrio sebelum saraf
mencapainya, dan terus berkontraksi secara ritmis bahkan bila tidak
memperoleh inervasi.

2. Endokardium
Endokardium melapisi bagian dalam rongga jantung dan menutupi
katup pada kedua sisinya. Terdiri dari selapis sel endotel,
dibawahnya terdapat lapisan jaringan ikat, licin dan mengkilat.

3. Perikardium
Perikardium adalah kantong fibrosa yang menutupi seluruh jantung.
Perikardium merupakan kantong berlapis dua ; kedua lapisan saling
bersentuhan dan saling meluncur satu sama lain dengan bantuan
cairan yang mereka sekresikan dan melembabkan permukaannya.
Jumlah cairan yang ada normal sekitar 20 ml. Terdapat lapisan
lemak diantara miokardium dan lapisan perikardium diatasnya.
Dinding otot jantung tidak sama tebalnya. Dinding ventrikel paling
tebal dan dinding disebelah kiri lebih tebal dari dinding ventrikel
sebelah kanan, sebab kekuatan kontraksi ventrikel kiri jauh lebih
besar daripada yang kanan. Dinding atrium tersusun atas otot yang
lebih tipis.

10
b. Pembuluh Darah yang Tersambung Dengan Jantung
Vena kava superior dan inferior menuangkan darahnya ke dalam
atrium kanan. Lubang vena kava inferior membawa darah keluar dari
ventrikel kanan. Empat vena pulmonalis membawa darah dari paru-paru
ke atrium kiri. Aorta membawa darah keluar dari ventrikel kiri. Lubang
aorta dan arteri pulmonalis dijaga katup semilunar. Katup antara ventrikel
kiri dan aorta disebut katup aortik, yang menghindarkan darah mengalir
kembali dari aorta ke ventrikel kiri. Katup antara ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis disebut katup pulmonalis yang menghindarkan darah
mengalir kembali ke dalam ventrikel kanan.

c. Penyaluran Darah dan Saraf Kejantung


Arteri koronaria kanan dan kiri yang pertama-tama meninggalkan
aorta dan kemudian bercabang menjadi arteri-arteri lebih kecil. Arteri
kecil-kecil ini mengitari jantung dan menghantarkan darah ke semua
bagian organ ini. Darah yang kembali dari jantung terutama dikumpulkan
sinus koronaria dan langsung kembali ke dalam atrium kanan.
d. Persarafan
Meskipun gerakan jantung bersifat ritmik, tetapi kecepatan kontraksi
dipengaruhi rangsangan yang sampai pada jantung melalui saraf vagus
dan simpatik. Cabang urat-urat saraf ini berjalan ke nodul sinus atrial.
Pengaruh sistem simpatetik ini mempercepat irama jantung. Pengaruh
vagus, yang merupakan bagian dari sistem parasimpatetik atau sistem
otonomik menyebabkan gerakan jantung diperlambat atau dihambat.
Secara normal jantung selalu mendapat hambatan dari vagus. Akan
tetapi, bila tonus vagus ditiadakan untuk memenuhi kebutuhan
tubuh sewaktu bergerak cepat, irama debaran jantung bertambah.
Sebaliknya waktu tubuh istirahat dan keadaan jiwa tenang, iramanya
lebih perlahan. Jantung adalah sebuah pompa dan kejadian-kejadian yang
terjadi dalam jantung selama peredaran darah disebut siklus jantung.
Gerakan jantung berasal dari nodus sinus-atrial, kemudian kedua atrium
berkontraksi. Gelombang kontraksi ini bergerak melalui berkas His

11
kemudian ventrikel berkontraksi. Gerakan jantung terdiri atas dua jenis,
yaitu kontraksi atau sistol, dan pengenduran atau diastole. Kontraksi dari
kedua atrium terjadi serentak dan disebut sistol atrial, pengendurannya
adalah diastole atrial. Serupa dengan itu kontraksi dan pengenduran
ventrikel disebut juga sistol dan diastole ventrikuler. Lama kontraksi
ventrikuler adalah 0,3 detik dan tahap pengendurannya selama 0,5 detik.
Dengan cara ini jantung berdenyut terus-menerus, siang-malam, selama
hidupnya. Dan otot jantung mendapat istirahat sewaktu
diastoleventrikuler.

Kontraksi kedua atrium pendek, sedangkan kontraksi ventrikuler


lebih lama dan lebih kuat, dan yang dari ventrikel lebih lama dan lebih
kuat. Dan yang dari ventrikel kiri adalah yang terkuat karena harus
mendorong darah keseluruh tubuh untuk mempertahankan tekanan
daraharteri sistematik. Meskipun ventrikel kanan juga memompa darah
yang sama, tetapi tugasnya hanya mengirimkannya kesekitar paru-paru
dimana tekanannya jauh lebih rendah.
e. Sifat Otot Jantung
Otot jantung mempunyai ciri-cirinya yang khas. Kemampuan
berkontraksi. Dengan berkontraksi otot jantung memompa darah, yang
masuk sewaktu diastole, keluar dari ruang-ruangnya.
f. Konduktifitas (Daya Hantar)
Kontraksi diantarkan melalui setiap serabut otot jantung secara halus
sekali. Kemampuan pengantaran ini sangat jelas dalam berkas His Ritme.
Otot jantung memiliki juga kekuatan kontraksi ritmik secara otomatis,
tanpa tergantung pada rangsangan saraf. Pada keadaan yang dikenal
sebagai hambatan pengantaran‖. Berkas His gagal menghantarkan implus
yang berasal dari nodus sinus atrial atau sinus. Bila halangan ini hanya
sebagian, ventrikel hanya menjawab terhadap implus yang kedua atau
ketiga. Dalam hambatan jantung yang lengkap, ventrikel berkontraksi
bebas dari atrium. Dalam keadaan ini otot ventrikel hanya mematuhi
pace-maker yang baru. Denyut arteri adalah suatu gelombang yang
teraba pada arteri bila darah dipompa keluar jantung. Denyut ini mudah

12
diraba di tempat arteri melintasi sebuah tulang yang terletak dekat
permukaan, misalnya; arteri radialis di sebelah depan pergelangan tangan,
arteri temporalis di atas tulang temporal, atau arteri dorsalis pedis di
belokan mata kiri. Yang teraba bukan darah yang dipompa jantung masuk
ke dalam aorta melainkan gelombang tekanan yang dialihkan dari aorta
dan merambat lebih cepat dari pada darah itusendiri.

Kecepatan denyut jantung dalam keadaan sehat berbeda-beda,


dipengaruhi penghidupan, pekerjaan, makanan, umur, dan emosi. Irama
dan denyut sesuai dengan siklus jantung. Kalau jumlah denyut ada 70,
berarti siklus jantung 70 kali semenit juga Daya pompa jantung. Pada
orang yang sedang istirahat jantungnya berdebar sekitar 70 kali semenit
dan memompa 70 ml setiap denyut (volume denyutan adalah 70 ml).
Jumlah darah yang setiap menit dipompa dengan demikian adalah 70 x 70
ml atau sekitar 5 liter. Sewaktu banyak bergerak kecepatan jantung dapat
menjadi 150 kali setiap menit dan volume denyut nadi lebih dari 150 ml,
yang membuat daya pompa jantung 20 sampai 25 liter setiap menit. Tiap
menit sejumlah volume yang tepat sama kembali dari vena ke jantung.
Akan tetapi, bila pengembalian dari vena tidak seimbang dan ventrikel
gagal mengimbanginya dengan daya pompa jantung, terjadi payah
jantung. Vena-vena besar dekat jantung menjadi membengkak berisi
darah, sehingga tekanan dalam vena naik. Dan kalau keadaan ini tidak
cepat ditangani, terjadi edema. Edema karena payah jantung sebagian
karena adanya tekanan balik di dalam vena yang meningkatkan
perembesan cairan keluar dari kapiler dan sebagian karena daya pompa
jantung rendah yang juga mengurangi pengantaran darah ke ginjal. Maka
ginjal gagal mengeluarkan garam. Penimbunan garam menyebabkan
penimbunan air.
g. Sirkulasi Darah
Jantung adalah organ utama sirkulasi darah. Aliran darah dari
ventrikel kiri melalui arteri, arteriola, dan kapiler kembali ke atrium
kanan melalui vena disebut peredaran darah besar atau sirkulasi sitemik.
Aliran dari ventrikel kanan, melalui paru-paru, ke atrium kiri adalah

13
peredaran kecil atau sirkulasi pulmonal.

1. Peredaran darah besar


Darah meninggalkan ventrikel kiri jantung melalui aorta, yaitu
arteri terbesar dalam tubuh. Aorta ini bercabang menjadi arteri lebih
kecil yang menghantarkan darah keberbagai bagian tubuh. Arteri-arteri
ini bercabang dan beranting lebih kecil lagi hinggasampai pada
arteriola. Arteri-arteri ini mempunyai dinding yang sangat berotot yang
menyempitkan salurannya dan menahan aliran darah. Fungsinya
adalah untuk mempertahankan tekanan darah arteri dan dengan jalan
mengubah-ubah ukuran saluran-mengatur aliran darah dalam kapiler.
Dinding kapiler sangat tipis sehingga dapat berlangsung pertukaran zat
antara plasma dan jaringan interstisil. Kemudian kapiler-kapiler ini
bergabung dan membentuk pembuluh lebih besar yang disebut venula,
yang kemudian juga bersatu menjadi vena, untuk menghantarkan
darah kembali ke jantung. Semua vena bersatu dan bersatu lagi hingga
terbentuk dua batang vena, yaitu vena kava inferior yang
mengumpulkan darah dari dari badan dan anggota gerak bawah, dan
vena kava superior yang mengumpulkan darah dari kepala dan anggota
gerak atas. Kedua pembuluh darah ini menuangkan isinya ke dalam
atrium kanan jantung.

2. Peredaran darah kecil


Darah dari vena tadi kemudian masuk kedalam ventrikel kanan
yang berkontraksi dan memompanya ke dalam arteri pulmonalis.
Arteri ini bercabang dua untuk menghantarkan darahnya ke paru-paru
kanan dan kiri. Darah tidak sukar memasuki pembuluh-pembuluh
darah yang mengaliri paru- paru. Di alam paru-paru setiap arteri
membelah menjadi arteriola dan akhirnya menjadi kapiler pulmonal
yang mengitari alveoli di dalam jaringan paru-paru untuk memungut
oksigen dan melepaskan karbondioksida. Kemudian kapiler pulmonal
bergabung menjadi vena, dan darah dikembalikan ke jantung oleh

14
empat vena pulmonalis. Dan darahnya dituangkan ke dalam atrium
kiri. Darah ini mengalir masuk ke dalam ventrikel kiri. Ventrikel ini
berkontraksi dan darah dipompa masuk ke dalam aorta.

2.1.3 Klasifikasi
Pada CHF terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan. New
York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4
kelas:
Tabel 2.1
Klasifikasi penyakit gagal jantung kongestif sesuai dengan kelasnya

Klasifikasi Karakteristik
Kelas I  Tidak ada batasan aktivitas fisik
 Aktivitas fisik yang biasa tidak menyebabkan
dispnea napas, palpitasi, atau keletihanberlebihan
Kelas II  Gangguan aktivitas fisik ringan
 Merasa nyaman ketikaberistirahat
 Aktivitas fisik biasa menimbulkan keletihan, danpalpitasi
Kelas III  Keterbatasan aktivitas fisik yang nyata
 Merasa nyaman ketikaberistirahat
 Aktivitas fisik yang tidak biasanya menyebabkan dispnea
napas, palpitasi, atau keletihanberlebihan
Kelas IV  Tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun tanpa merasa
tidak nyaman
 Gejala gagal jantung kongestif ditemukan bahkan
pada saat istirahat
 Ketidaknyaman semakin bertambah ketika melakukan
aktivitas fisikapapun

Sumber: Aspiani, 2015


2.1.4 Etiologi
Menurut Asikin (2016) Mekanisme fisiologis yang dapat menyebabkan
timbulnya gagal jatung yaitu kondisi yang meningkatkan preload, afterload,
atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Kondisi yang
meningkatkan preload, misalnya regurgitasi aorta dan cacat septum
15
ventrikel. Afterload meningkat pada kondisi dimana terjadi stenosis aorta
atau dilatasi ventrikel. Pada infrak miokard dan kardiomiopati, kontraktilitas
miokardium dapat menurun. Terdapat faktor fisiologis lain yang dapat
menyebabkan jantung gagal sebagai pompa, anatara lain adanya gangguan
pengisian ventrikel (stenosis katup atrioventrikularis), serta adanya
gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan
tamponade jantung). Berdasarkan seluruh penyebab tersebut, diduga yang
paling mungkin terjadi yaitu pada setiap kondisi tersebut menyebabkan
gangguan penghantaran kalsium didalam sarkomer, atau didalam sintesis,
atau fungsi proteinkontraktil. Gagal jantung dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Gagal jantung kiri (Gagal jantung
kongestif) Dibagi menjadi 2, yaitu :

a) Gagal jantung sistolik yaitu ketidakmampuan jantung untuk


menghasilkan output jantung yang cukup untuk perfusi organ vital.
b) Gagal jantung diastolik yaitu kongesti paru meskipun curah jantung
dan output jantungnormal.
2. Gagal jantung kanan
merupakan ketidakmampuan ventrikel kanan untuk memberikan aliran
darah yang cukup sirkulasi paru pada tekanan vena sentral normal.

2.1.5 Manifestasi Klinis


Menurut Kasron (2012) manifestasi klinik dari CHF tergantung ventrikel
mana yang terjadi.
1. Gagal jantung kiri
Manifestasi kliniknya antara lain:
a. Dispneu
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan menganggu
pertukaran gas dan dapat mengakibatkan ortopnea (kesulitan rnafas
saat berbaring) yang dinamakan paroksimal nokturnal dispnea
(PND).
b. Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung kurang yang menghambat jaringan
dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan
16
sisa hasil katabolisme.

c. Sianosis
Terjadi karena kegagalan arus darah ke depan (forwad failure) pada
ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda berkurangnya perfusi ke
organ-organ seperti : kulit, dan otot-otot rangka
d. Batuk
Batuk bisa kering dan tidak produktif, tetapi yang tersering adalah
batuk basah yaitu batuk yang menghasilkan sputum berbusa dalam
jumlah banyak yang kadang disertai bercak darah. Batuk ini
disebabkan oleh kongesti cairan yang mengadakan rangsangan
pada bronki.
e. Denyut jantung cepat
Terjadi karena jantung memompa lebih cepat untuk menutupi
fungsi pompa yang hilang, irama gallop umum dihasilkan sebagai
aliran darah ke dalam serambi yang distensi.
2. Gagal jantung kanan
Manifestasi kliniknya antara lain :
a. Edema ekstremitas bawah atau edema dependen.
b. Hepatomegali, dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen
c. Anoreksia, dan mual yang terjadi akibat pembesaran vena dan
status vena di dalam ronggaabdomen.
d. Rasa ingin kencing pada malam hari yang terjadi karena perfusi
renal.
e. Badan lemah yang diakibatkan oleh menurunnya curah jantung,
gangguan sirkulasi, dan pembuangan produk sampah katabolisme
yang tidak adekuat darijaringan.

2.1.6 Patofisiologi
Secara patofisiologi CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk
menyalurkan darah, termasuk oksigen yang sesuai dengan kebutuhan
metabolisme jaringan pada saat istirahat atau kerja ringan. Hal tersebut

17
menyebabkan respon sistemik khusus yang bersifat patologik (selain saraf,
hormonal, ginjal dan lainnya) serta adanya tanda dan gejala yang khas.
Congestive Heart Failure (CHF) terjadi karena interaksi kompleks antara
faktor-faktor yang memengaruhi kontraktilitas, after load, preload, atau
fungsi lusitropik (fungsi relaksasi) jantung, dan respons neurohormonal dan
hemodinamik yang diperlukan untuk menciptakan kompensasi sirkulasi.
Meskipun konsekuensi hemodinamik CHF berespons terhadap intervensi
farmakologis standar, terdapat interaksi neurohormonal kritis yang efek
gabungannya memperberat dan memperlama sindrom yang ada.
Sistem renin angiotensin aldosteron (RAA): Selain untuk meningkatkan
tahanan perifer dan volume darah sirkulasi, angiotensin dan aldosteron
berimplikasi pada perubahan struktural miokardium yang terlihat pada
cedera iskemik dan kardiomiopati hipertropik hipertensif. Perubahan ini
meliputi remodeling miokard dan kematian sarkomer, kehilangan matriks
kolagen normal, dan fibrosis interstisial. Terjadinya miosit dan sarkomer
yang tidak dapat mentransmisikan kekuatannya, dilatasi jantung, dan
pembentukan jaringan parut dengan kehilangan komplians miokard normal
turut memberikan gambaran hemodinamik dan simtomatik pada Congestive
Heart Failure (CHF).
Sistem saraf simpatis (SNS): Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan
peningkatan tahanan perifer dengan peningkatan kerja jantung, takikardia,
peningkatan konsumsi oksigen oleh miokardium, dan peningkatan risiko
aritmia. Katekolamin juga turut menyebabkan remodeling ventrikel melalui
toksisitas langsung terhadap miosit, induksi apoptosis miosit,
dan peningkatan respon sautoimun.
1. Disfungsi ventrikel kiri sistolik
a) Penurunan curah jantung akibat penurunan kontraktilitas,
peningkatan afterload, atau peningkatan preload yang
mengakibatkan penurunan fraksi ejeksi dan peningkatan volume
akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV). Ini meningkatkan tekanan
akhir diastolik pada ventrikel kiri (I-VEDP) dan menyebabkan
kongesti vena pulmonal dan edema paru.

18
b) Penurunan kontraktilitas (inotropi) terjadi akibat fungsi miokard
yang tidak adekuat atau tidak terkoordinasi sehingga ventrikel kiri
tidak dapat melakukan ejeksi lebih dari 60% dari volume akhir
diastoliknya (LVEDV). lni menyebabkan peningkatanbertahap
LVEDV (Left ventricular end-diastolic volume) (juga dinamakan
preload) mengakibatkan peningkatan LVEDPdan kongesti vena
pulmonalis. Penyebab penurunan kontraktilitas yang tersering adalah
penyakit jantung iskemik, yang tidak hanya mengakibatkan nekrosis
jaringan miokard sesungguhnya, tetapi juga menyebabkan
remodeling ventrikel iskemik. Remodeling iskemik adalah sebuah
proses yang sebagian dimediasi oleh angiotensin II (ANG II) yang
menyebabkan jaringan parut dan disfungsi sarkomer di jantung
sekitar daerah cedera iskemik. Aritmia jantung dan kardiomiopati
primer seperti yang disebabkan oleh alkohol, infeksi,
hemakromatosis, hipertiroidisme, toksisitas obat dan amiloidosis juga
menyebabkan penurunan kontraktilitas. Penurunan curah jantung
mengakibatkan kekurangan perfusi pada sirkulasi sistemik dan aktivasi
sistem saraf simpatis dan sistem RAA, menyebabkan peningkatan tahanan
perifer dan peningkatan afterload.
c) Peningkatan afterload berarti terdapat peningkatan tahanan terhadap
ejeksi LV. Biasanya disebabkan oleh peningkatan tahanan vaskular
perifer yang umum terlihat pada hipertensi. Bisa juga diakibatkan
oleh stenosis katup aorta. Ventrikel kiri berespon terhadap
peningkatan beban kerja ini dengan hipertrofi miokard, suatu respon
yang meningkatkan massa otot ventrikel kiri tetapi pada saat yang
sama meningkatkan kebutuhan perfusi koronerpada ventrikel kiri.
Suatu keadaan kelaparan energi tercipta sehingga berpadu dengan
ANG II dan respons neuroendokrin lain, menyebabkan perubahan
buruk dalam miosit, seperti semakin sedikitnya mitokondria untuk
produksi energi, perubahan ekspresi gen dengan produksi protein
kontraktil yang abnormal (aktin, miosin, dan tropomiosin), fibrosis
interstisial, dan penurunan daya tahan hidup miosit. Dengan
berjalannya waktu, kontraktilitas mulai menurun dengan penurunan
19
curah jantung dan fraksi ejeksi, peningkatan LVEDV, dan kongesti
paru.

d) Peningkatan preload berarti peningkatan LVEDV, yang dapat


disebabkan langsung oleh kelebihan volume intravaskular sama
seperti yang terlihat pada infus cairan intra vena atau gagal ginjal.
Selain itu, penurunan fraksi ejeksi yang disebabkan oleh
perubahankontraktilitas atau afterload menyebabkan peningkatan LVEDV
sehingga meningkatkan preload. Pada saat LVEDV meningkat, ia akan
meregangkan jantung, menjadikan sarkomer berada pada posisi mekanis
yang tidak menguntungkan sehingga terjadi penurunan kontraktilitas.
Penurunan kontraktilitas ini yang menyebabkan penurunan fraksi ejeksi,
menyebabkan peningkatan LVEDV yang lebih lanjut, sehingga
menciptakan lingkaran setan perburukan Congestive Heart Failure(CHF).
e) Pasien dapat memasuki lingkaran penurunan kontraktilitas,
peningkatan afterload, dan peningkatan preload akibat berbagai
macam alasan (mis., infark miokard [MI], hipertensi, kelebihan
cairan) dan kemudian akhimya mengalami semua keadaan
hemodinamik dan neuro-hormonal. CHF sebagai sebuah mekanisme
yang menuju mekanisme lainnya.
2. Disfungsi ventrikel kiri diastolik
a) Penyebab dari 90% kasus
b) Didefinisikan sebagai kondisi dengan temuan klasik gagal kongestif
dengan fungsi diastolik abnormal tetapi fungsi sistolik normal;
disfungsi diastolik mumi akan dicirikan dengan tahanan terhadap
pengisian ventrikel dengan peningkatan LVEDP tanpa peningkatan
LVEDV atau penurunan curahjantung.
c) Tahanan terhadap pengisian ventrikel kiri terjadi akibat relaksasi
abnormal (lusitropik) ventrikel kiri dan dapat disebabkan oleh setiap
kondisi yang membuat kaku miokard ventrikel seperti penyakit
jantung iskemik yang menyebabkan jaringan parut, hipertensi yang
mengakibatkan kardiomiopati hipertrofi, kardiomiopati restriktif, penyakit
katup atau penyakit perikardium.
d) Peningkatan denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik

20
menjadi berkurang dan memperberat gejala disfungsi diastolik. Oleh
karena itu, intoleransi terhadap olahraga sudah menjadi umum.
e) Karena penanganan biasanya memerlukan perubahan komplians
miokard yang sesungguhnya, efektivitas obat yang kini tersedia
masih sangat terbatas. Penatalaksanaan terkini paling berhasil
dengan penyekat beta yang meningkatkan fungsi lusitropik,
menurunkan denyut jantung, dan mengatasi gejala. Inhibitor ACE
dapat membantu memperbaiki hipertrofi dan membantu perubahan
struktural di tingkat jaringan pada pasien dengan remodeling iskemik
atau hipertensi (Elizabeth, 2009).

2.1.7 Komplikasi
Menurut LeMone (2016). Mekanisme kompensasi yang dimulai pada gagal
jantung dapat menyebabkan komplikasi pada sistem tubuh lain.
Hepatomegali kongestif dan splenomegali kongestif yang disebabkan oleh
pembengkakkan sistem vena porta menimbulkan peningkatan tekanan
abdomen, asites, dan masalah pencernaan. Pada gagal jantung sebelah kanan
yang lama, fungsi hati dapat terganggu. Distensi miokardium dapat memicu
disritmia, mengganggu curah jantung lebih lanjut. Efusi pleura dan masalah
paru lain dapat terjadi. Komplikasi mayor gagal jantung berat adalah syok
kardiogenik dan edema paru. Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan
komplikasi pada sistem tubuh lain, yaitu:
1. Sistem kardiovaskuler: Angina, disritmia, kematian jantung mendadak,
dan syok kardiogenik.
2. Sistem pernapasan: Edema paru, pneumonia, asma kardiak, efusi pleura,
pernapasan Cheyne-Stokes, dan asidosis respiratorik.
3. Sistem pencernaan: Malnutrisi, asites, disfungsi hati.
2.1.8 Penatalaksanaan dan Terapi
Penatalaksanaan CHF bertujuan untuk menurunkan kerja jantung,
meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokard, dan menurunkan
retensi garam dan air (Aspiani, 2015). Penatalaksanaan CHF dibagi 2, yaitu:
1. Penatalaksanaan keperawatan
a. Memperbaiki kontraksi miokard/ perfusi sistemik:

21
- Istirahat total/ tirah baring dalam posisi semifowler
- Memberikan terapi oksigen sesuai dengan kebutuhan.
b. Menurunkan volume cairan yang berlebihan:
- Mencatat asupan dan haluaran.
- Menimbang berat badan.
- Restriksi garam/ diet rendah garam.
- Mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi:
- Mengatur jadwal mobilisasi secara bertahap sesuai keadaan pasien.
- Mencegah terjadinya imobilisasi akibat tirah baring.
- Mengubah posisi tidur.
c. Pendidikan kesehatan yang menyangkut penyakit, serta pencegahan
kekambuhan:
- Menjelaskan tentang perjalanan penyakit dan prognosis, kegunaan
obat-obatan yang digunakan, serta memberikan jadwal pemberian
obat.
- Mengubah gaya hidup/ kebiasaan yang salah, seperti: merokok,
stress, kerja berta, minuman alkohol, makanan tinggi lemak dan
kolesterol.

- Menjelaskan tentang tanda dan gejala yang menyokong terjadinya


gagal jantung, terutama yang berhubungan dengan kelelahan,
berdebar-debar, sesak napas, anoreksia, dan keringat dingin.
- Menganjurkan untuk kontrol semua secara teratur walaupun tanpa
gejala.
- Memberikan dukungan mental; klien dapat menerima keadaan
dirinya secara nyata/ realitas akan dirinya baik.
2. Penatalaksanaan kolaboratif
a. Pemberian diuretik akan menurunkan preload dan kerja jantung
b. Pemberian morfin untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi
perifer, menurunkan aliran balik vena dan kerja jantung,
menghilangkan ansietas karena dispnea berat.
c. Reduksi volume darah sirkulasi.

2.2 Konsep Dasar Keperawatan


22
2.2.1 Pengertian
Gangguan pola tidur merupakan kesulitan dalam memulai atau
mempertahankan tidur. Biasanya pasien dengan gangguan pola tidur
seringkali memiliki keluhan yang tidak spesifik, selain keluhan gangguan
pola tidur itu sendiri (Kaplan et. al., 2010).
Gangguan ini dapat bersifat sementara atau menetap. Periode singkat atau
sementara gangguan pola tidur paling sering dikarenakan kecemasan.
Sedangkan pada gangguan pola tidur menetap merupakan keadaan yang
cukup sering ditemukan dengan masalah yang paling sering, yaitu kesulitan
untuk jatuh tertidur (Sadock B. & Sadock V., 2014).
Jadi, gangguan pola tidur adalah kesulitan untuk tidur ataupun
mempertahankan tidur dan memiliki keluhan yang tidak sprsifik.
2.2.2 Etiologi
Faktor-faktor resiko berikut ini dapat menyebabkan gangguan tidur.
Berikut ini adalah penjelasan faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya
gangguan pola tidur :
1. Usia
Pada orang-orang usia lanjut dilaporkan lebih sering mengalami
kesulitan memulai dan mempertahankan tidur. Keadaan ini terjadi
karena adanya perubahan yang berhubungan dengan penuaan pada
mekanisme otak yang meregulasi waktu dan durasi tidur tersebut
(Nicholi, 1999). Terdapat pula perbedaan pola tidur diantara orang
dengan usia lanjut dengan orang-orang usia muda. Kebutuhan tidur
akan semakin berkurang dengan bertambahnya usia seseorang. Pada
usia 12 tahun kebutuhan tidur adalah sembilan jam, berkurang
menjadi delapan jam pada usia 20 tahun, lalu tujuh jam pada usia 40
tahun, enam setengah jam pada usia 60 tahun dan pada usia 80 tahun
menjadi hanya enam jam (Prayitno, 2002).
2. Jenis kelamin
Resiko gangguan pola tidur ditemukan lebih tinggi terjadi pada
wanita daripada laki-laki (Sateia & Nowell, 2004). Hal ini dikatakan
berhubungan secara tidak langsung dengan faktor hormonal, yaitu
saat seseorang mengalami kondisi psikologis dan merasa cemas,
23
gelisah ataupun saat emosi tidak dapat dikontrol akan dapat
menyebabkan hormon estrogen menurun, hal ini bisa menjadi salah
satu faktor meningkatnya gangguan tidur (Purwanto, 2008).
3. Kondisi medis dan psikiatri
Gangguan pola tidur bisa terjadi karena adanya kondisi medis yang
dialami, seperti penyalahgunaan zat, efek putus zat, kondisi yang
menyakitkan atau tidak menyenangkan dan bisa juga karena adanya
kondisi psikiatri, seperti kecemasan ataupun adanya depresi. Keluhan
yang dialami adalah sulit dalam memulai tidur dan mempertahankan
tidur (Kaplan et. al., 2010).
4. Faktor Lingkungan dan Sosial
Kehidupan sosial dan lingkungan sehari-hari juga dapat
menyebabkan gangguan pola tidur, seperti pensiunan dan perubahan
pola sosial, kematian dari pasangan hidup, suasana kamar tidur yang
tidak nyaman dan adanya perasaan-perasaan negatif dari lansia itu
sendiri (Adiyati, 2010).
Menurut SDKI (2017), penyebab terjadinya gangguan pola tidur antara
lain:

1. Hambatan lingkungan (mis. kelembapan lingkungan sekitar, suhu


lingkungan, pencahayaan, kebisingan, bau tidak sedap, jadwal
pemantauan/pemeriksaan/tindakan)
2. Kurang kontrol tidur
3. Kurang privasi
4. Restraint fisik
5. Ketiadaan teman tidur
6. Tidak familiar dengan peralatan tidur

2.2.3 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis gangguan pola tidur yang biasanya dirasakan
umumnya berupa waktu tidur yang kurang, mudah terbangun saat malam
hari, bangun pagi lebih awal, rasa mengantuk yang dirasakan sepanjang

24
hari dan sering tertidur sejenak (Bestari, 2013). Hal ini menyebabkan
kualitas tidur seseorang menjadi menurun. Akibatnya akan terlihat pada
kehidupan sehari-hari, yaitu menurunnya kualitas hidup, produktivitas
dan keselamatan serta dapat menyebabkan tubuh terasa lemah, letih dan
lesu akibat tidur yang tidak lelap (Sumedi dkk., 2010).
2.2.4 Klasifikasi gangguan pola tidur

Klasifikasi gangguan pola tidur dilihat dari penyebabnya dibagi menjadi


dua:
1. Gangguan pola tidur primer
Pada insomia primer, terjadi hyperarousal system yang berlebihan.
Pasien dapat tidur tetapi tidak merasa tidur. Fase REM sangat kurang
dan fase NREM cukup. Periode tidur juga mengalami pengurangan
dan lebih sering terbangun. Gangguan pola tidur primer tidak
berhubungan dengan kejiwaan, masalah neurologi, masalah medis
lainnya, ataupun penggunaan obat tertentu, namun penyebab
gangguan pola tidur primer berhubungan dengan kebiasaan sebelum
tidur, pola tidur, dan lingkungan tempattidur.
2. Gangguan pola tidur sekunder
Gangguan pola tidur sekunder disebabkan karena irama sirkardian,
kejiwaan, masalah neurologi atau masalah medis lainnya dan reaksi
obat. Gangguan pola tidur ini sering terjadi pada orang tua. Pada
gangguan pola tidur sekunder karena penyakit organik, kontinuitas
tidurnya terhanggu, misal pada penderita artritis yang mudah
terbangun karena nyeri yangtimbul (burysse, 2011).

2.2.5 Penatalaksanaan
1. Edukasi kesehatan
Edukasi kesehatan meliputi pemberian informasi mengenai gangguan
pola tidur seperti etiologi dan langkah-langkah yang akan diambil
untuk mengatasi gangguan pola tidur. Informasi yang diperoleh akan
memperbaiki kesalahpahaman mengenai siklus tidur, masalah, dan
langkah-langkah terapi.

25
2. Edukasi sleep hygiene
Edukasi sleep hygiene meliputi pergi ke tempat tidur hanya bila
mengantuk, hindari tidur sekejab di siang hari, bangun pada waktu
yang sama setiap hari, hentikan obat yang bekerja pada sistem saraf
pusat (kafein, nikotin, alkohol, stimulan), mempertahankan kondisi
tidur yang menyenangkan (tentang suhu, ventilasi, kebisingan,
cahaya), melakukan rutinitas relaksasi malam, seperti relaksasi otot
progresif atau meditasi, makan pada waktu yang teratur setiap hari,
hindari makan dalam jumlah besar sebelum tidur, hindari stimulasi
malam hari, gantikan televisi dengan radio atau bacaan santai, dan
dapatkan kebugaran fisik dengan program olahraga yang rajin dan
bertahap di pagi hari.
3. Terapi psikologis
Cognitif Behavioral Therapy (CBT) merupakan gabungan terapi
kognitif dan perilaku. Tujuan utama dari teknik perilaku untuk
pengobatan gangguan pola tidur adalah untuk merubah perilaku yang
berkaitan dengan tidur yang merupakan faktor yang memperburuk
gangguan tidur. Faktor-faktor ini mungkin karena kebiasaan tidur yang
buruk (terlalu lama di tempat tidur), pola tidur-bangun yang tidak
teratur, atau hiperaktivasi psikofisiologis. Sedangkan teknik kognitif
ditujukan untuk mengidentifikasi dan menganalisa pemikiran dan
keyakinan yang salah yang berkaitan dengan tidur atau konsekuensi
dari gangguan pola tidur.
4. Terapi farmakologis
Prinsip dasar terapi pengobatan gangguan pola tidur yaitu, Jangan
menggunakan obat hipnotik sebagai satu-satunya terapi, pengobatan
harus dikombinasikan dengan terapi nonfarmakologi, pemberian obat
golongan hipnotik dimulai dengan dosis yang rendah,
selanjutnya dinaikan perlahan –lahan sesuai kebutuhan, khususnya
pada orang tua, hindari penggunaan benzodiazepin jangka panjang,
hati – hati penggunaan obat golongan hipnotik khususnya
benzodiazepin pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan atau
ketergantungan obat, monitor pasien untuk melihat apakah ada
26
toleransi obat, ketergantungan obat atau penghentian penggunaan obat,
memberikan edukasi kepada pasien efek penggunaan obat hipnotik
yaitu mual dan kecelakaan saat mengemudi atau bekerja, khususnya
golongan obat jangka panjang, melakukan tapering obat secara
perlahan untuk menghindari penghentian obat dan terjadi rebound
fenomena.
2.2.6 Alat Ukur Gangguan pola tidur
Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur (gangguan pola tidur) dari
subyek adalah menggunakan KSPBJ-IRS (Kelompok Studi Psikiatri
Biologik Jakarta - Insomnia Rating Scale) (Dewi dkk, 2015). Alat ukur ini
mengukur masalah gangguan pola tidur secara terperinci, misalnya
masalah gangguan masuk tidur, lamanya tidur, kualitas tidur, serta kualitas
setelah bangun. Berikut merupakan butir- butir dari KSPBJ-Insomnia
Rating Scale dan nilai skoring dari tiap item yang dipilih oleh subyek
adalah sebagai berikut:
1. Lamanya tidur. Butir ini untuk mengevaluasi jumlah jam tidur
total, nilai butir ini tergantung dari lamanya subyek tertidur dalam
satu hari. Untuk subyek normal lamanya tidur biasanya lebih dari
6,5 jam, sedangkan pada penderita gangguan pola tidur memiliki
lama tidur yang lebih sedikit. Nilai yang diperoleh dalam setiap
jawaban adalah : Nilai 1 untuk jawaban tidak pernah tidur kurang
dari 6 jam. Nilai 2 untuk jawaban kadang-kadang. Nilai 3 untuk
jawaban sering. Nilai 4 untuk jawaban selalu tidur kurang dari 6
jam.
2. Mimpi. Subyek normal biasanya tidak bermimpi atau tidak
mengingat bila ia mimpi atau kadang-kadang mimpi yang dapat
diterimanya. Penderita gangguan pola tidur mempunyai mimpi
yang lebih banyak atau selalu bermimpi dan kadang-kadang mimpi
buruk. Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai 0
untuk jawaban tidak ada mimpi. Nilai 1 untuk jawaban terkadang
mimpi yang menyenangkan atau mimpi biasa saja. Nilai 2 untuk
jawaban selalu bermimpi. Nilai 3 untuk jawaban mimpi buruk atau
mimpi yang tidakmenyenangkan
27
3. Kualitas tidur. Kebanyakan subyek normal tidurnya dalam,
penderita gangguan pola tidur biasanya tidurnya dangkal. Nilai
yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai 0 untuk
jawaban dalam, sulit untuk terbangun. Nilai 1 untuk jawaban
terhitung tidur yang baik, tetapi sulit untuk terbangun. Nilai 2
untuk jawaban terhitung tidur yang baik, tetapi mudah untuk
terbangun. Nilai 3 untuk jawaban tidur yang dangkal, mudah untuk
terbangun.

4. Masuk tidur. Subyek normal biasanya dapat jatuh tertidur dalam


waktu 5-15 menit. Penderita gangguan pola tidur biasanya lebih
lama dari 15 menit. Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban
adalah : Nilai 0 untuk jawaban kurang dari 5 menit. Nilai 1 untuk
jawaban antara 6-15 menit. Nilai 2 untuk jawaban antara 16 - 29 menit.
Nilai 3 untuk jawaban antara 30 – 44 menit. Nilai 4 untuk jawaban antara
45 – 60 menit. Nilai 5 untuk jawaban lebih dari 1jam.
5. Terbangun malam hari. Subyek normal dapat mempertahankan
tidur sepanjang malam, kadang-kadang terbangun 1-2 kali, tetapi
penderita gangguan pola tidur terbangun lebih dari 3 kali. Nilai
yang diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai 0 untuk
jawaban tidak terbangun sama sekali. Nilai 1 untuk jawaban sekali
atau dua kali terbangun. Nilai 2 untuk jawaban tiga sampai empat
kali terbangun. Nilai 3 untuk jawaban lebih dari empat kali
terbangun.
6. Waktu untuk tidur kembali. Subyek normal mudah sekali untuk
tidur kembali setelah terbangun di malam hari biasanya kurang dari
5 menit mereka dapat tertidur kembali. Penderita gangguan pola tidur
memerlukan waktu yang panjang untuk tidur kembali. Nilai yang
diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai 0 untuk jawaban kurang
dari 5 menit. Nilai 1 untuk jawaban antara 6 – 15 menit. Nilai 2 untuk
jawaban antara 16 – 60 menit. Nilai 3 untuk jawaban lebih dari 60
menit.
7. Terbangun dini hari. Subyek normal dapat terbangun kapan ia ingin
bangun tetapi penderita gangguan pola tidur biasanya bangun lebih

28
cepat (misal 1-2 jam sebelum waktu untuk bangun). Nilai yang
diperoleh dalam setiap jawaban adalah : Nilai 0 untuk jawaban
sekitar waktu bangun tidur anda. Nilai 1 untuk jawaban bangun 30
menit lebih awal dari waktu bangun tidur anda dan tidak dapat
tertidur lagi. Nilai 2 untuk jawaban bangun 1 jam lebih awal dari
waktu bangun tidur anda dan tidak dapat tertidur lagi. Nilai 3 untuk
jawaban bangun lebih dari 1 jam lebih awal dari waktu bangun tidur
anda dan tidak dapat tertidur lagi.

8. Perasaan waktu bangun. Subyek normal merasa segar setelah tidur


di malam hari. Akan tetapi penderita gangguan pola tidur biasanya
bangun dengan tidak segar atau lesu. Nilai yang diperoleh dalam
setiap jawaban adalah : Nilai 0 untuk jawaban merasa segar. Nilai
1 untuk jawaban tidak terlalu baik. Nilai 2 untuk jawaban sangat
buruk. Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan oleh KSPBJ-
IRS ditetapkan bahwa nilai di atas 10 maka sudah dapat digolongkan ke
dalam orang yang mengalami gangguan pola tidur, dan untuk nilai
dibawah 10 digolongkan tidak gangguan pola tidur. Penghitungan
tersebut berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan KSPBJ- IRS
pada 175 pasien non psikiatrik pada poliklinik umum untuk keluhan
gangguan tidur.

2.3 Konsep Dasar Terapi Relaksi Otot Progresif


2.3.1 Pengertian
Teknik relaksasi otot progresif memusatkan perhatian pada suatu aktivitas
otot dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan
ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan
relaks (Herodes, 2010). Teknik relaksasi otot progresif merupakan suatu
terapi relaksasi yang diberikan kepada klien dengan menegangkan otot-otot
tertentu dan kemudian relaksasi. Relaksasi progresif adalah salah satu cara
dari teknik relaksasi mengombinasikan latihan napas dalam dan serangkaian
seri kontraksi dan relaksasi otot tertentu (Kustanti dan Widodo, 2008). Jadi
terapi relaksasi otot progresif adalah suatu terapi relaksasi yang digunakan
untuk menenangkan otot-otot tertentu agar tidak tegang.

29
2.3.2 Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif
Relaksasi progresif sebagai salah satu teknik relaksasi otot telah terbukti
dalam program terapi terhadap ketegangan otot mampu mengatasi keluhan
penderita gangguan tidur (gangguan pola tidur) untuk meningkatkan kualitas
tidur, anxietas, kelelahan, kram otot, nyeri leher dan pinggang, tekanan
darah tinggi, fobia ringan dan gagap. Selain itu, relaksasi progresif adalah
cara yang efektif untuk relaksasi dan mengurangi kecemasan karena dengan
mengistirahatkan otot-otot kita melalui suatu cara yang tepat, maka hal ini
akan diikuti dengan relaksasi mental atau pikiran (Kanender, dkk., 2015).

2.3.3 Fisiologis Kontraksi dan Relaksasi Otot Progresif


Latihan relaksasi otot progresif melibatkan sembilan kelompok otot
yang ditegangkan dan dilemaskan, yaitu kelompok otot tangan, kaki, dahi,
mata, otot- otot bibir, lidah, rahang, dada dan leher. Kontraksi dan relaksasi
otot dikendalikan oleh susunan syaraf pusat melalui serabut syaraf
motoriknya, tempat lekat cabang-cabang syaraf motorik adalah
neuromuscular junction yang merupakan penghantar kimiawi (neuro
transmitter) asetil kholin maupun adrenalin untuk eksitasi serabut otot.
Impuls syaraf yang tiba pada sebuah neuromuscular akan dihantar langsung
kepada tiap- tiap sarkomer oleh sistem tubura transversar yang mengelilingi
miofibril. Semua sarkomer pada otot akan menerima sinyal untuk
berkontraksi sehingga otot dapat berkontraksi sebagai satu kesatuan yang
utuh. Sinyal elektrik itu dihantar menuju retikulum sarkoplasmik, yaitu
suatu sistem dari vesicles yang bersifat membran dan berasal dari retikulum
endoplasma yang membungkus miofibril (Kuntarti & Setiadi, 2007).
Pada keadaan relaksasi, ujung-ujung filamen aktin yang berasal dari
dua membran yang berurutan satu sama lain hampir tidak tumpang tindih,
sedangkan pada saat yang sama filamen miosin mengadakan tumpang tindih
secara sempuma, sebaliknya pada keadaan kontraksi filament-filamen aktin
ini tertarik kedalam diantara filamen miosin sehingga satu sama lain saling
tumpang tindih. Filamen aktin dapat ditarik demikian kuatnya sehingga
ujung-ujung filamen miosin melengkung ketika kontraksi. Molekul miosin
terdiri dari dua bagian, yaitu meromiosin ringan dan meromiosin berat.

30
Meromiosin ringan tersusun dari dua utas peptida yang satu sama lainnya
saling melilit dalam satu heliks. Meromiosin berat terdiri dari dua bagian,
yaitu heliks kembar yang sama dengan yang terdapat pada meromiosin
ringan dan bagian kepala yang terletak pada ujung heliks kembar (lryani
2010).
Badan filamen terdiri dari utas meromiosin ringan yang sejajar. Bagian
meromiosin berat dari molekul miosin terdapat penonjolan yang membentuk
jembatan penyeberang. Batang penyeberang bertindak sebagai lengan yang
memungkinkan kepala meluas jauh keluar dari badan filamen miosin atau
terletak dekat dengan badan. Bemstein & Borkovec (2007), sistem kontrol
desending adalah suatu sistem serabut berasal dari dalam otak bagian bawah
dan bagian tengah dan berakhir pada serabut interneuronal dalam kornu
dorsalis dari medula spinalis. Relaksasi otot progresif dilakukan dengan cara
menegangkan kelompok otot tertentu kemudian melepaskan ketegangan
tersebut. Pada saat otot sedang ditegangkan memang menimbulkan rasa
tidak nyaman, tetapi ketika ketegangan dilepaskan maka saat itulah akan
merasakan sensasi rasa nyaman. Dalam hal ini, orang yang melakukan
latihan relaksasi otot memang diminta untuk berkonsentrasi membedakan
sensasi rasa nyaman yang timbul ketika ketegangan dilepaskan.
Ketegangan otot merupakan hasil dari kontraksi serabut otot,
sedangkan relaksasi merupakan perpanjangan serabut otot. Hingga saat ini
belum ada alat untuk mengukur tingkat ketegangan dan relaksasi otot.
Sehingga ukuran otot yang tegang dan rileks menjadi tidak standar dan lebih
dominan bersifat subyektif. Untuk ketegangan otot, secara obyektif
sebenamya bisa dilihat dan dirasakan. Pergerakan otot yang terjadi akibat
makin membesar dan memanjangnya serabut otot bisa dilihat secara kasat
mata. Konsistensi atau kekerasan bisa menjadi salah satu indikator
ketegangan karena semakin tegang suatu otot maka akan semakin keras
konsistensinya. Selain itu, usaha menegangkan otot harus dilakukan dengan
menahan nafas. Keras dan lemahnya getaran atau guncangan saat
menegangkan mengindikasikan tingkat ketegangan otot (Derma, 2018).

2.3.4 Indikasi

31
1. Lansia yang mengalami gangguan tidur.
2. Lansia yang sering mengalami stress.
3. Lansia yang mengalami kecemasan.

4. Lansia yang mengalami depresi (Pentasari, 2019)


2.3.5 Kontraindikasi
1. Lansia yang mengalami keterbatasan gerak, misalnya tidak
bisa menggerakkan badannya.
2. Lansia yang menjalani perawatan tirah baring (bedrest) (Pentasari,
2019)
2.3.6 Mekanisme Kerja Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap
Penurunan Gangguan pola tidur
Mekanisme kerja relaksasi otot Progresif dalam mempengaruhi kebutuhan
tidur dimana terjadi respon relaksasi (Trophotropic) yang menstimulasi
semua fungsi dimana kerjanya berlawanan dengan system saraf simpatis
sehingga tercapai keadaan relaks dan tenang. Perasaan rileks ini akan
diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing
Factor (CRF) yang nantinya akan menstimulasi kelenjar pituitary untuk
meningkatkan produksi beberapa hormone, seperti β- Endorphin, Enkefalin
dan Serotonin. Secara Fisiologis, terpenuhinya kebutuhan tidur ini
merupakan akibat dari penurunan aktifitas RAS (Reticular Activating
System) dan noreepineprine sebagai akibat penurunan aktivitas sistem
batang otak. Respon relaksasi terjadi disebabkan teransangnya aktifitas
sistem saraf otonom parasimpatis nuclei rafe sehingga menyebabkan
perubahan yang dapat mengontrol aktivitas sistem saraf otonom berupa
pengurangan fungsi oksigen, frekuensi nafas, denyut nadi, ketegangan otot,
tekanan darah, serta gelombang alfa dalam otak sehingga mudah untuk
tertidur (Guyton dan Hall,2016).

2.3.7 Teknik Terapi Relaksasi Otot Progresif


Teknik relaksasi otot progresif (Setyoadi dan Kushariyadi, 2011) :
a. Persiapan
Persiapan alat dan lingkungan: kursi, bantal, serta lingkungan yang
tenang dan sunyi.

32
1. Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur, dan pengisian lembar persetujuan
terapi pada lansia.
2. Posisikan tubuh lansia secara nyaman yaitu berbaring dengan mata
tertutup menggunakan bantal dibawah kepala dan lutut atau duduk
dikursi dengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri.
3. Lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan sepatu.

4. Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain yang sifatnya
mengikat ketat.
b. Tahap – tahap gerakan otot progresif
1. Gerakan 1: Ditunjukan untuk melatih otot tangan.
a. Genggam tangan kiri sambil membuat suatukepalan.
b. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan
yang terjadi.
c. Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan relaksasi selama 10 detik.
d. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga lansia
dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan
relaks yang dialami.

e. Lakukan gerakan yang sama pada tangan kanan.


2. Gerakan 2: Ditunjukan untuk melatih otot tangan bagian belakang.
a. Tekuk kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan sehingga
otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang.
b. Jari-jari menghadap kelangit-langit.
Gambar 2.2 Gerakan ke 1 dan 2

33
3. Gerakan 3: (Ditunjukan untuk melatih otot biseps (otot besar pada
bagian atas pangkal lengan).
a. Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
b. Kemudian membawa kedua kapalan ke pundak sehingga otot
biseps akan menjadi tegang.

Gambar 2.3 Gerakan ke 3

52

4. Gerakan 4: Ditunjukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur.


a. Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga
menyentuh kedua telinga.
b. Fokuskan perhatian gerekan pada kontrak ketegangan yang terjadi di
bahu punggung atas, dan leher.
Gambar 2.4 Gerakan ke4

5. Gerakan 5 dan 6: ditunjukan untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti


dahi, mata, rahang dan mulut).
a. Gerakan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai
otot terasa kulitnya keriput.
b. Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di

34
sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.

6. Gerakan 7: Ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami


oleh otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi
sehingga terjadi ketegangan di sekitar ototrahang.
7. Gerakan 8: Ditujukan untuk mengendurkan otot-otot di sekitar mulut.
Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan
ketegangan di sekitar mulut.
Gambar 2.5 Gerakan ke 5,6,7 dan 8

8. Gerakan 9: Ditujukan untuk merilekskan otot leher bagian depan


maupun belakang.

a. Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian


otot leher bagian depan.

b. Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.


c. Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa
sehingga dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan
punggung atas.
9. Gerakan 10: Ditujukan untuk melatih otot leher bagian depan.

a. Gerakan membawa kepala kemuka.


b. Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan ketegangan di
daerah leher bagian muka.
10. Gerakan 11: Ditujukan untuk melatih otot punggung.
a. Angkat tubuh dari sandaran kursi.
b. Punggung dilengkungkan.
35
c. Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik, kemudian
relaks.
d. Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil membiarkan otot
menjadi lurus.
11. Gerakan 12: Ditujukan untuk melemaskan otot dada.
a. Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara
sebanyak- banyaknya.
b. Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di
bagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.
c. Saat tegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.
Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi
tegang dan relaks.

Gambar 2.6 Gerakan ke 9, 10, 11, dan 12

12. Gerakan 13: Ditujukan untuk melatih otot perut.


a. Tarik dengan kuat perut ke dalam.
b. Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik, lalu
36
dilepaskan bebas.
c. Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut.
13. Gerakan 14-15: Ditujukan untuk melatih otot-otot kaki (seperti paha
dan betis).
a. Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.
b. Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga
ketegangan pindah ke otot betis.
c. Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.
d. Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.

Gambar 2.7 Gerakan ke 13 dan 14

2.4 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.4.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk
37
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien. Tahap
pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan
sesuai dengan kebutuhan individu (pasien) (Nursalam, 2008). Pengkajian
keperawatan pada pasien dengan Congestive Heart Failure (CHF) menurut
Asikin, 2016 sebagai berikut:
a. Identitas pasien
Nama, alamat, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, diagnosa medis,
tanggal masuk rumah sakit, dan nomor medical record.
b. Pengkajian Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1) Aktivitas dan istirahat
a) Gejala:
Cepat lelah, kelelahan sepanjang hari, ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari misalnya: membersikan tempat tidur
dan menaiki tangga, intoleransi aktivitas, dispnea saat istirahat atau
beraktivitas, gangguan pola tidur, tidak mampu untuk tidur
telentang.
b) Tanda:
Toleransi aktivitas terbatas, kelelahan, gelisah, perubahan status
mental misalnya: ansietas dan latergi, perubahan tanda- tanda vital
saat beraktivitas.
2) Sirkulasi
a) Gejala:
Riwayat hipertensi, infark miokard baru atau akut, episode gagal
jantung sebelumnya, penyakit katup jantung, bedah jantung,
endokarditis, lupus eritematosus sistemik, anemia, syok sepsis,
pembengkakan pada tungkai, dan distensi abdomen.
b) Tanda:
Tekanan darah rendah akibat kegagalan pompa jantung, denyut
nadi teraba lemah, denyut dan irama jantung takikardia; disritmia,
nadi apikal titik PMI menyebar dan bergerak ke arah kiri, bunyi
jantung S1 dan S2 terdengar lemah; S3 gallop terdiagnosis GJK; S4
dengan hipertensi dan murmur sistolik diastolik dapat menandakan
adanya stenosis yang menyebabkan GJK, denyut nadi perifer
38
berkurang; nadi sentral teraba kuat, kulit pucat; berwarna abu-abu;
sianosis, kuku pucat dengan pengisian kapiler yang lambat,
pembesaran hati teraba, edema dependen, dan terdapat distensi
venajugularis.
3) Integritas ego
a) Gejala:
Ansietas, stres yang berhubungan dengan penyakit atau kondisi
finansial
b) Tanda:
Berbagai macam menifestasi misalnya: ansietas, marah, takut, dan
iritabilitas (mudah tersinggung).
4) Eliminasi
a) Gejala:
Penurunan frekuensi berkemih, urine berwarna gelap, berkemih di
malam hari.
b) Tanda:
Penurunan frekuensi berkemih di siang hari dan peningkatan
frekuensi berkemih pada malam hari (nokturia).

5) Makanan/cairan
a) Gejala:
Riwayat diet tinggi garam; lemak; gula; serta kafein, penurunan
nafsu makan, anoreksia, mual, muntah.
b) Tanda:

Edema di ekstremitas bawah, edema dependen, edema pitting,


distensi abdomen menandakan adanya asites atau pembengkakan
hati.
6) Hygiene
a) Gejala:
Kelelahan, kelemahan selama melakukan aktivitas.
b) Tanda:

39
Penampilan mengindikasikan adanya kelalaian dalam perawatan
diri.
7) Neurosensori
a) Gejala:
Kelelahan, pusing, pingsan.
b) Tanda:
Latergi, kebingungan, disorientasi, perubahan perilaku, iritabilitas
(mudah tersinggung).
8) Nyeri / ketidaknyamanan
a) Gejala:
Nyeri dada, angina akut atau angina kronis, nyeri abdomen bagian
kanan atas (gagal jantung kanan), nyeri otot.
b) Tanda:
Gelisah, fokus berkurang dan menarik diri, menjaga perilaku.
9) Pernapasan
a) Gejala:
Dispnea saat beraktivitas atau istirahat, dispnea pada malam hari
sehingga mengganggu tidur, tidur dengan posisi duduk atau dengan
sejumlah bantal, batuk dengan atau tanpa produksi sputum terutama
saat posisi rekumben, penggunaan alat bantunafas misalnya oksigen
atau obat-obatan.

b) Tanda:

Takipnea, nafas dangkal, penggunaan otot bantu nafas, pernafasan


cuping hidung, batuk moist pada gagal jantung kiri, pada sputum
terdapat darah berwatna merah muda dan berbuih (edema
pulmonal), bunyi nafas terdengar lemah dengan adanya krakels dan
mengi, penurunan proses berpikir; letargi; kegelisahan, pucat atau
sianosis.
10) Keamanan
a) Tanda:

Perubahan proses berpikir dan kebingungan, penurunan kekuatan


40
dan tonus otot, peningkatan resiko jatuh, kulit lecet, ruam.
c. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi:
a) Respirasi meningkat, dispnea.
b) Batuk kering, sputum pekat, bercampur darah.
c) Vena leher dengan JVP meningkat.
d) Kulit bersisik ,pucat.

e) Edema kaki, skrotum.


f) Asites abdomen.
2) Palpasi:
a) Jantung, PMI bergeser ke kiri, inferior karena dilatasi atau
hipertrofi ventrikel.
b) Pulsasi perifer menurun.
c) Hati teraba di bawah arkus kosta kanan.
d) Denyut jantung meningkat indikasi tekanan vena porta sistemik
meningkat.
e) Edema menyebabkan piting.
3) Auskultasi:
a) Suara paru menurun, basilar rates mengakibatkan cairan pada
jaringan paru.
b) Suara jantung dengan S1, S2 menurun. Kontraksi miokard
menurun. S3 meningkat, volume sisa meningkat, murmur terkadang
juga terjadi.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan Congestive Heart Failure
(CHF) adalah:
1) Pemeriksaan laboratorium:
a) Enzym hepar: meningkat dalam gagal jantung kongestif.

b) Elektrolit: berubah karena perpindahan cairan, penurunan fungsi ginjal.


c) AGD (Analisa Gas Darah): gagal ventrikel kiri ditandai dengan
alkalosis respiratorik ringan atau hipoksemia dengan peningkatan
(partial pressure of carbondioxide).

41
d) Albumin: menurun sebagai akibat penurunan masukan protein.
2) Radiologi, yaitu Rongent Thorax:
a) Bayangan hulu paru yang tebal dan melebar, kepadatan makin ke
pinggir berkurang.
b) Lapang paru bercak-bercak karena edema paru.
c) Distensi vena paru.
d) Hidrotoraks.
e) Pembesaran jantung, rasio kardio-toraks meningkat.
3) EKG
Dapat ditemukan kelainan primer jantung (iskemik, hipertrofi
ventrikel, gangguan irama) dan tanda-tanda faktor pencetus akut
(infark miokard, emboli paru).
4) Ekokardiografi
Untuk deteksi gangguan fungsional serta anatomis yang menjadi
penyebab gagal jantung.
5) Kateterisasi jantung
Pada gagal jantung kiri didapatkan (VEDP) 10 mmHg atau pulmonary
arterial wedge pressure > 12 mmHg dalam keadaan istirahat. Curah
jantung lebih rendah dari 2,71/menit/ luas permukaan tubuh.

2.4.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan pada pasien CHF yaitu:
1. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi
hemoglobin
2. Intoleransi aktifitas b.d ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
3. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
4. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas
5. Gangguan pola tidur b.d kurangnya kontrol tidur
6. Resiko penurunan curah jantung b.d perubahan afterload
42
2.4.3 Intervensi keperawatan
No. SDKI SLKI SIKI

1 D.0011 L.02008 I.02075


Penurunan curah Curah Jantung Perawatan Jantung
jantung b.d Setelah diberikan intervensi Observasi
perubahan selama 3x24 jam maka curah jantung 1. Identifikasi tanda dan gejala primer penurunan curah jantung
afterload meningkat, dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi tanda/gejala dekunder penurunan curah janrung
1. Kekuatan nadi perifermeningkat 3. Monitor tekanan darah
2. Papitasi menurun 4. Monitor intake dan output cairan
3. Bradikardia menurun 5. Monitor berat badan
4. Takikardia menurun 6. Monitor saturasi oksigen
5. Gambaran ekg aritmia menurun 7. Monitor keluhan nyeri dada
6. Lelah menurun 8. Monitor EKG 12 sandapan
7. Edema menurun 9. Monitor aritmia
8. Distensi vena jugularis menurun 10. Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan sesudah aktifitas
9. Dispnea menurun 11. Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian
10. Oliguria menurun obat Teraupetik
11. Pucat/ sianosis menurun 1. Posisikan psien semifowler
12. Suara jantung S3 menurun 2. Berikan diet jantung yang sesuai
13. Suara jantung S4 menurun 3. Berikan teknik relaksasi untuk mengurangi stress
14. Tekanan darah membaik 4. Berikan dukungan emosional dan
spiritual Edukasi

43
1. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
2. Anjurkan beraktivitas secara bertahap
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian anti
aritmia
2. Intoleransi aktivitas Toleransi Aktifitas Manajemen energi
b.d Setelah diberikan intervensi selama 2 x Observasi :
ketidakseimbangan 24, maka intoleransi ak tivitas dapat 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
antara suplai dan menurun dengan kriteria hasil: 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
kebutuhan oksigen 1. Frekuensi nadi meningkat 3. Monitor pola dan jam tidur
2. Saturasi oksigen meningkat 4. Monitor lokasi dan
3. Kekuatan tubuh menurun ketidaknyaman Terapeutik
4. Keluhan lelah menurun 1. Sediakan lingkungan yang nyaman
5. Dispneu menurun 2. Lakukan latihan ROM
6. Perasaan lemah menurun 3. Berikan aktivitas distraksi yang
7. Sianosis menurun menyenangkan Edukasi
8. Warna kulit membaik 1. Anjurkan tirah baring
9. Tekanan darah membaik 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
10. Frekuensi nafas membaik 3. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang peningkatan asupan makanan
3. D.0077 L.08066 I.08238

44
Nyeri akut b.d agen Tingkat Nyeri Manajemen nyeri
pencedera fisiologis Setelah diberikan intervensi selama Observasi
3x24 jam maka tingkat nyeri menurun, 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
2. Meringis menurun Teraupetik
3. Gelisah menurun 1. Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kesulitan tidur menurun 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
5. Frekuensi nadi membaik 3. Fasilitasi istirahat dan
6. Pola nafas membaik tidur Edukasi
7. Pola tidur membaik 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
8. Tekanan darah membaik 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mnegurangi rasa
nyeri Kolaborasi

45
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
4. D.0005 L.01004 I.01012
Pola nafas tidak Pola Napas Manajemen Jalan Napas
efektif b.d Setelah diberikan intervensi selama Observasi
hambatan upaya 1x24 jam maka pola nafas membaik, 1. Monitor pola nafas
nafas dengan kriteria hasil : 2. Moitor bunyi nafas tambahan
1. Dispnea menurun 3. Monitor sputum
2. Penggunaan otot bantu nafas Teraupetik
menurun 1. Posisikan semi fowler
3. Pemanjangan fase ekspirasi 2. Berikan minuman hangat
menurun 3. Lakukan fisioterapi dada
4. Frekuensi nafas membaik 4. Berikan oksigen
5. Kedalaman nafas membaik Edukasi
1. Anjarkan teknik batuk efektif
2. Kolaborasi
3. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
5. D. 0055 L.05045 I.05174
Gangguan pola Pola Tidur Dukungan Tidur
tidur kurangnya Setelah diberikan intervensi selama Observasi
kontrol tidur 3x24 jam maka gangguan pola tidur 1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
membaik, dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi faktor pengganggu
46
1. Keluhan sulit tidur menurun tidur Teraupetik
2. Keluhan sering terjaga menurun 1. Modifikasi lingkungan
3. Keluahan tidak puas tidur menurun 2. Lakukan prosedur untuk meningkatkan
4. Keluhan istirahat tidak cukup kenyamanan Edukasi
menurun 1. Ajarkan cara nonfarmakologi untuk mengatasi gangguan tidur
5. Kemampuan beraktivitas
meningkat

47
2.4.4 Implementasi

Pelaksanaan keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana intervensi


untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu
pasien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana intervensi
yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor- faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan dari pelaksanaan adalah
membantu pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan
memfasilitasi koping. Selama tahap pelaksanaan, perawat terus melakukan
pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan
kebutuhan pasien (Nursalam, 2008).

2.4.5 Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosa keperawatan,
rencana asuhan keperawatan, dan pelaksanaan keperawatan. Evaluasi
keperawatan sebagai sesuatu yang direncanakan dan perbandingan yang
sistematik pada status kesehatan pasien. Dengan mengukur perkembangan
pasien dalam mencapai suatu tujuan maka perawat dapat menentukan
efektivitas asuhan keperawatan. Meskipun tahap evaluasi keperawatan
diletakkan pada akhir proses keperawatan tetapi tahap ini merupakan bagian
integral pada setiap tahap proses keperawatan.

Diagnosa keperawatan perlu dievaluasi dalam hal keakuratan. Evaluasi


diperlukan pada tahap rencana asuhan keperawatan untuk menentukan apakah
tujuan rencana asuhan keperawatan tersebut dapat dicapai secara efektif.
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam mencapai
tujuan. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat respon pasien terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan sehingga perawat dapat mengambil keputusan.
Tahap evaluasi pada proses keperawatan meliputi kegiatan mengukur
pencapaian tujuan pasien dan menentukan keputusan dengan cara
membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan

48
(Nursalam, 2008).

2.5 Kerangka Konsep


VARIABEL PENGGANGGU VARIABEL BEBAS

CHF Terapi otot progresif

Gangguan Pola
Tidur

VARIABEL TERIKAT

Gambar 2.8 Skema Kerangka Konsep

Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti

49
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan desain penelitian


studi kasus deskriptif. Metode deskriptif yaitu sekumpulan obyek yang
biasanya bertujuan untuk membuat atau deskriptif gambaran atau
fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi dalam suatu populasi tertentu.
Studi kasus dilakukan dengan cara meneliti suatu permasalahan melalui
suatu kasus yang terdiri dari unit tunggal. Unit tunggal dapat berarti satu
orang.Unit yang menjadi kasus tersebut secara mendalam dianalisis dari
segi yang berhubungan denan keadaan kasus itu sendiri, faktor-faktor yang
mempengaruhi, kejadian-kejadian khusus yang muncul sehubungan
dengan kasus, maupun tindakan dan reaksi kasus terhadap suatu perlakuan
atau pemaparan tertentu (Notoatmojo, 2012).
Metode deskriptif ini bersifat eksperimen pre dan post yang mana
pasien dilakukan tindakan terapi relaksasi otot progresif selama selama 3 x
2 siklus (pagi dan sore) dimana setiap siklus dilakukan selama 15-30 menit
untuk mengetahui efektifitas dari terapi relaksasi oto progresif pada pasien
CHF dengan keluhan gangguan pola tidur di RS PKU Muhammadiyah
Gombong.
3.2 Subjek Studi Kasus

Pada penelitian ini, subjek studi kasus yang digunakan yaitu


sebanyak lima pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebagai
berikut:
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi subjek studi kasus yaitu sebagai berikut:
a. Pasien CHF dengan keluhan gangguan pola tidur
b. Pasien dewasa (40 – 80 tahun)
c. Pasien dalam keadaan sadar.

27
28

d. Pasien kooperatif
e. Pasien bukan tuna rungu
f. Pasien yang masih membutuhkan perawatan ≥ 3 hari
2. Kriteria Ekslusi
Kriteria eksklusi subjek studi kasus yaitu sebagai berikut:
a. Pasien yang harus menjalani bedrest.
b. Pasien dengan keterbatasan gerak
c. Pasien yang menolak dilakukan prosedur tindakan.

3.3 Fokus Studi Kasus

Studi kasus ini berfokus pada masalah keperawatan gangguan pola tidur pada pasien
CHF.
3.4 Lokasi dan Waktu Studi Kasus

1. Lokasi
Studi kasus Karya Ilmiah Akhir Ners ini dilaksanakan di RS PKU
Muhammadiyah Gombong.
2. Waktu
Studi Karya Ilmiah Akhir Ners ini dilaksanakan dan diambil per bulan April
2022.
3.5 Definisi Operasional

Tebel 3.1 Definisi Operasional


Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur
Gangguan pola Ketidakmampuan untuk Kuesioner IRS Gangguan tidur
tidur (pre) memiliki kualitas dan (Insomnia Rating Scale) dikategorikan menjadi 3:
intensitas tidur yang cukup yang terdiri dari 11 1) Tidak ada keluhan
sebelum dilakukan insomnia: 11-19
pertanyaan tentang
tindakan terapi relaksasi 2) Insomnia ringan: 20-27
kualitas sebelum tidur,
otot progresif 3) Insomnia berat: 28-36
saat tidur dan setelah
4) Insomnia sangat berat:
tidur serta intensitas
37-44
tidur. Pengukuran
dilakukan dengan skala
linkert, dimana terdapat
4 alternatif jawaban.
Tidak pernah (1),
29

kadang-kadang (2),
sering (3), selalu (4).
Gangguan pola Hasil evaluasi terapi Kuesioner IRS Gangguan tidur
tidur (post) relaksasi otot progresif (Insomnia Rating Scale) dikategorikan menjadi 4:
terhadap ketidakmampuan yang terdiri dari 11 1) Tidak ada keluhan
untuk memiliki kualitas insomnia: 11-19
pertanyaan tentang
dan intensitas tidur yang 2) Insomnia ringan: 20-27
kualitas sebelum tidur,
cukup 3) Insomnia berat: 28-36
saat tidur dan setelah
4) Insomnia sangat berat:
tidur serta intensitas
37-44
tidur. Pengukuran
dilakukan dengan skala
linkert, dimana terdapat
4 alternatif jawaban.
Tidak pernah (1),
kadang-kadang (2),
sering (3), selalu (4).

3.6 Instrument Studi Kasus


Instrumen adalah alat atau fasilitas yang digunakan untuk mendapatkan data.
Alat-alat dan bahan merupakan penjelasan tentang alat-alat yang dibutuhkan selama
studi kasus (Budiarto, 2009), alat dan instrument yang digunakan dalam
pengambilan kasus ini antara lain:
1. Format asuhan keperawatan yang terdiri dari: pengkajian, diagnosa
keperawatan, intevensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi
keperawatan.
2. SOP terapi relaksasi otot progresif
3. Kuesioner Insomnia rating scale
Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang terdiri dari 11
pertanyaan dengan alternatif jawaban “Tidak Pernah” diberi nilai 1, “Kadang-
Kadang” diberi nilai 2, “Sering” diberi nilai 3, dan “Selalu” diberi nilai 4, sehingga
rentang nilainya adalah 11-44 dengan klasifikasi sebagai berikut:
1) Tidak ada keluhan insomnia: 11-19
2) Insomnia ringan: 20-27
3) Insomnia berat: 28-36
4) Insomnia sangat berat: 37-44
30

3.7 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah menentukan metode setepat-tepatnya untuk


memperoleh data, kemudian disusul dengan cara-cara menyusun alat pembantunya,
yaitu insturmen (Arikunto, 2010). Agar data dapat terkumpul dengan baik dan terarah,
maka akandilakukan pengumpulan data dengan metode antara lain:
1. Peneliti berkoordinasi dengan kepala ruang untuk menjelaskan tujuan dan
prosedur penelitian.
2. Peneliti berkoordinasi dengan ketua tim untuk menentukan pasien yang akan
dijadikan subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
3. Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan peneliti
kepada responden serta mengkonfirmasi terkait kriteria inklusi dan eksklusi.
4. Peneliti menjelaskan prosedur penelitian kepada responden dan keluarga serta
menjelaskan bahwa penelitian ini tidak berakibat buruk bagi responden dan
apabila dalam proses penelitian terjadi hal yang tidak diinginkan maka
peneliti bertanggungjawab penuh.
5. Peneliti menjelaskan bahwa penelitian ini bersifat terbuka dan bebas dari
paksaan sehingga responden berhak menolak. Responden juga berhak
mengundurkan diri selama proses penelitian.
6. Peneliti menjelaskan bahwa identitas responden dan semua keterangan serta
jawaban yang responden berikan hanya untuk kepentingan penelitian dan
dijamin kerahasiannya.
7. Peneliti melakukan kontrak waktu pengisian kuesioner kurang lebih 5 menit
dan tindakan terapi relaksasi otot progresif kurang lebih 15 menit. Peneliti
menjelaskan akan melakukan terapi otot progresif sehari dua kali pagi dan
sore selama tiga hari.
8. Peneliti meminta persetujuaan responden dengan meminta responden untuk
menandatangani lembar inform concern yang disaksikan oleh keluarga
responden.
9. Peneliti meminta responden mengisi kuesioner Insomnia Rating Scale
sebelum dilakukan terapi relaksasi otot progresif.
10. Peneliti melakukan terapi relaksasi otot progresif pada subjek penelitian
selama 15 menit pada pagi dan sore hari selama 3 hari berturut turut.
11. Peneliti meminta responden mengisi kembali kuesioner Insomnia Rating
31

Scale setelah dilakukan terapi relaksasi otot progresif untuk mengevaluasi


efektifitas terapi.
12. Peneliti mengecek kembali kelengkapan pengisian kuesioner

3.8 Analisa Data dan Penyajian Data

1. Analisa Data
Analisa data dalam penulisan hasil studi kasus ini dilakukan secara observasi,
dokumentasi, dan wawancara menggunakan format pendokumentasian asuhan
keperawatan.
2. Penyajian Data
Penyajian data yang dilakukan dalam penulisan studi kasus menggunakan
penyajian dalam bentuk naratif dan tabel. Pendokumentasian akan disajikan dalam
bentuk asuhan keperawatan untuk menarik kesimpulan berdasarkan data subjektif
dan objektif.

3.9 Etika Studi Kasus

Pada penulisan Karya Tulis Akhir Ners ini, peneliti telah mendapatkan
rekomendasi dari institusi tempat penelitian. Prinsip etik menurut (Dharma, 2011)
yang meliputi :
1. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Peneliti mempertimbangkan hak-hak subjek untuk mendapatkan informasi
yang terbuka terkait dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan
menentukan pilihan dan kebebasan dari paksaan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan penelitian (autonomy). Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip
menghormati harkat dan martabat manusia pada penelitian ini adalah peneliti
telah memberikan penjelasan terkait penelitian yang akan dilakukan kemudian
bila subjek telah mengerti peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subjek
(Inform Concern) dan apabila subjek menolak maka peneliti tidak akan memaksa.
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and
confidentiality)
Pada dasarnya penelitian akan menimbulkan akibat terbukanya informasi
individu termasuk informasi yang bersifat pribadi, sehingga peneliti
memperhatikan hak-hak dasar individu tersebut dan memperhatikan keamanan
32

dan kenyamanan (safety). Pada tahap ini peneliti tidak mencantumkan nama
terang maupun tanggal lahir, riwayat penyakit, dan sebagainya yang menyangkut
privasi subjek.
3. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and
benefits)
Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa berguna pada tingkat populasi yang
lebih banyak khususnya para pasien SKA yang mengalami nyeri dada akut dan
untuk tenaga medis rumah sakit.Peneliti meminimalisir dampak tidak bermanfaat
yang dapat merugikan subjek (non maleficience).
4. Prinsip keadilan (respect for justice)
Pada penelitian ini, peneliti mempertimbangkan aspek keadilan dan hak
subjek untuk mendapatkan perlakuan yang sama yaitu memperlakukan subjek
secara adil baik sebelum, selama, maupun sesudah keikutsertaan dalam penelitian
ini.

Anda mungkin juga menyukai