Anda di halaman 1dari 57

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Operasi atau pembedahan adalah suatu penanganan medis secara invasif yang
dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit, cedera, atau kelainan deformitas
tubuh (Nainggolan, 2013). Kiik (2013) menyatakan bahwa tindakan pembedahan akan
mencederai jaringan yang dapat menimbulkan perubahan fisiologis tubuh dan
mempengaruhi organ tubuh lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health
Organization (WHO) dalam Sartika (2013), jumlah pasien dengan tindakan operasi
mencapai angka peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Tercatat di tahun
2011 terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia yang menjalani pembedahan,
sedangkan pada tahun 2012 data mengalami peningkatan sebesar 148 juta jiwa.
Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor, dengan melakukan
penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian organ
abdomen yang mengalami masalah (hemoragik, perforasi, kanker, dan obstruksi)
(Sjamsuhidajat & Jong, 2005,; 2 http://medicastore.m, 2012). Laparatomi juga dilakukan
pada kasus-kasus digestif dan kandungan seperti apendisitis, perforasi, hernia inguinalis,
kanker lambung, kanker colon dan rektum, obstruksi usus, inflamasi usus kronis,
kolesistitis dan peritonitis (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Pada pembedahan laparoskopi ataupun laparotomi umumnya jenis anestesi yang
digunakan adalah jenis anestesi umum. Anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel
yang mengubah status fisiologis tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi),
hilangnya persepsi nyeri (analgesia), hilangnya memori (amnesia) dan relaksasi. Beberapa
substansi yang dapat menghasilkan keadaan anestesi umum antara lain bersifat inert
(xenon), anorganik (nitrous oxide), inhalasi hidrokarbon (halothan), dan struktur organik
komplek (barbiturat) (Morgan, 2013).
2

Anestesi umum dapat terjadi melalui obat-obat yang diberikan secara intravena dan
inhalasi. Obat-obat intravena antara lain golongan barbiturat (pentotal), ketamin, propofol,
dan etomidat. Sedangkan obat inhalasi digunakan untuk maintenance anestesi umum antara
lain ether (sekarang sudah tidak digunakan), metoksifluran, halotan, enfluran, desfluran,
sevofluran dan isofluran (Stoelting, 2006).
Obat inhalasi diketahui mempunyai banyak efek samping, antara lain gangguan
pada hepar, gangguan pada ginjal, sistem saraf pusat, bahkan gangguan otot jantung.
Sevofluran dan isofluran dalam banyak hal dinilai merupakan obat inhalasi yang
mempunyai efek samping yang lebih rendah disamping desfluran (Morgan, 2013), tetapi
desfluran masih jarang digunakan di Indonesia karena pemakaiannya yang boros dan
mahal.
Isofluran adalah obat inhalasi yang sering digunakan di kamar operasi. Pertama kali
disintesis oleh Ross Terell pada tahun 1965, dan digunakan di klinik tahun 1971 oleh
Dobkin dan Stevens. Koefisien partisi gas/darah isofluran adalah 1,4. Ini lebih kecil
dibanding obatt inhalasi lainnya, kecuali desfluran 0,42 dan sevofluran 0,6–0,7,
memungkinkan peningkatan konsentrasi isofluran di alveolar terjadi lebih cepat. Penelitian
oleh Frink dkk, pasien yang dianestesi dengan isofluran kurang dari 1 jam, dapat membuka
mata dengan perintah kira – kira 7 menit setelah anestesi dihentikan. Pemberian yang lebih
lama, yaitu selama 5 – 6 jam, munculnya respon dengan perintah relatif cepat, kira – kira 11
menit setelah isofluran dihentikan (Morgan, 2013).
Pulih sadarnya pasien yang mendapat obat anestesi volatil bergantung pada
eliminasi obat dari paru dan MACawake (kadar end-tidal yang berkaitan dengan membuka
mata dengan perintah verbal). Eliminasi paru ditentukan oleh ventilasi alveolar, koefisien
partisi darah - gas, dan dosis (MAC-jam). Kecepatan pulih sadar berbanding terbalik
dengan kelarutan obat dalam darah, makin rendah daya kelarutannya makin cepat eliminasi
dari paru. Bila anestesi berkepanjangan, maka proses pulih sadar juga bergantung pada total
3

ambilan obat anestesi oleh jaringan, yang juga berkaitan dengan daya kelarutan, kadar
rerata yang digunakan, dan lamanya pasien terpapar (Sinclair, 2006).
Berbagai cara dilakukan untuk mempercepat waktu pulih sadar pada pasien baik
secara non-farmakologis maupun dengan intervensi farmakologis telah dilaporkan untuk
mengurangi waktu pemulihan. Salah satu intervensi famakologis yang dapat dilakukan
adalah dengan pemberian Aminophylline . Beberapa penelitian klinis telah menyarankan
bahwa Aminophylline dapat menurunkan durasi pulih sadar setelah anestesi intravena total
dengan propofol dan remifentanil, sevofluran, dan desfluran (Turan dkk, 2010).
Aminophylline sering digunakan dalam praktik anestesi untuk mengatasi
bronkospasme dan pada neonatus prematur Aminophylline memiliki efek untuk
mengurangi kejadian apnea pasca operasi (Huphfl dkk, 2008). Selain dibidang anestesi
Aminophylline khususnya pemberian secara intravena dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi asma pada anak-anak yang tidak respon terhadap terapi inhalasi/nebulisasi lini
pertama (Lewis dkk, 2016).
Aminophylline merupakan senyawa methylxanthine yang dapat ditemukan pada
kopi dan teh, dimana senyawa ini secara parsial dapat melawan efek perubahan perilaku
dan hipnosis dari benzodiazepin (Farsad dkk, 2017). Penelitian menunjukkan bahwa
Aminophylline diberikan pada akhir operasi mempercepat waktu pulih sadar dari anestesi
umum dan meningkatkan kualitas pemulihan. Lebih dari itu Aminophylline memiliki efek
menurunkan kedalaman dan durasi sedasi yang dihasilkan oleh barbiturat, diazepam,
midazolam dan propofol (Huphfl dkk, 2008).
Telah dilaporkan bahwa Aminophylline mempercepat efek sedasi beberapa obat
anestesi dan analgesik. Laporan kasus disini menunjukkan bahwa Aminophylline intravena
efektif mempercepat efek obat sedasi / obat propofol yang berlangsung lama pada saat
pasca operasi. Tidak ada efek samping secara langsung atau efek lambat setelah sedasi pada
pemberian Aminophylline . Studi ini menunjukkan bahwa Aminophylline bisa bermanfaat
secara klinis sebagai antagonis propofol.(M.Hupl,dkk, 2008)
4

Pasien yang diteliti dalam kedua kelompok yang sebanding dengan usia, berat
badan, status ASA dan durasi operasi. Nilai ETCO2, SpO2 dan EKG serupa pada kedua
kelompok dan sebanding dengan nilai sebelum injeksi. Tidak ada perbedaan yang
signifikan secara statistik dalam skor BIS antara dua kelompok sebelum injeksi obat uji (p>
0,05). Setelah pemberian injeksi obat uji Aminophylline 4 mg/kg, skor BIS ditemukan
secara signifikan lebih tinggi (p <0,001) pada Kelompok A didapat 1- 25 menit. Tingkat
denyut jantung dan tekanan darah ditemukan lebih tinggi secara signifikan setelah injeksi
Aminophylline dibandingkan dengan kelompok plasebo (p <0,001. Waktu pemulihan pada
semua variabel terukur (waktu untuk pembukaan mata, ekstubasi, pegangan tangan dan
waktu bangun) secara signifikan lebih pendek pada Kelompok A (Aminophylline) (p
<0,001). Semua pasien memiliki nilai Aldrete 9 di unit perawatan pascaoperasi kurang dari
satu jam setelah penghentian operasi.(Ghaffaripour S,2014)
Aminophylline yang biasanya digunakan selama anestesi untuk mengobati
bronkospasme namun temuan terbaru menunjukkan bahwa hal itu juga dapat digunakan
untuk mempercepat waktu pemulihan setelah anestesi umum. Namun, tidak jelas apakah
Aminophylline menunjukkan sifat yang serupa selama fase anestesi operasi dalam keadaan
stabil. Penelitian ini dilakukan untuk menguji hipotesis bahwa pemberian Aminophylline
mengarah pada peningkatan nilai bispectral index sebagai parameter pengganti yang
menunjukkan bidang anestesi yang lebih ringan. Penelitian ini dirancang sebagai percobaan
double-blind, acak, terkontrol dengan dua kelompok utama (Aminophylline dan plasebo)
dan dua subkelompok (sevofluran dan propofol). Kami mempelajari 60 pasien yang
diberikan injeksi obat Aminophylline 3 mg/kgBB dikaitkan dengan peningkatan bispektral
Index yang signifikan hingga 10 menit setelah injeksi, sementara denyut jantung dan
tekanan darah tidak berubah. Diduga Aminophylline memiliki kemampuan untuk
mengurangi sebagian efek obat sedasi dari tindakan anestesi umum.(Hupfl M,et all,2008)
Mekanisme kerja dari efek Aminophylline yang dapat mempercepat waktu pulih
sadar berhubungan dengan sifatnya yang berlawanan dengan adenosin. Adenosin terdapat
5

di semua sel dan reseptornya tersebar di semua sel otak . Pemberian Infus adenosin dalam
dosis rendah memiliki efek hipnotik dari anestesi. Sebaliknya, pemberian Aminophylline
menghasilkan efek yang berlawanan terhadap obat anestesi seperti benzodiazepin,
barbiturat dan volatil anestesi lainnya (Ghaffaripour, 2014).
Bispectral Index Score (BIS) adalah parameter elektroencephalogram baru yang
secara khusus dikembangkan untuk mengukur efek sedasi dan hipnotik yang dihasilkan
oleh obat-obat anestesi. Efekutama BIS yaitu untuk mengukur kedalaman anestesi dan
berguna untuk menyesuaikan dosis obat sedatif. Indeks BIS adalah angka antara 0 dan 100
dalam skala yang berkorelasi antara hasil akhir klinis yang baik dan keadaan EEG selama
pemberian obat anestesi. Nilai BIS mendekati 100 mewakili keadaan klinis "terjaga/sadar
penuh" dan saat nilai BIS 0 memiliki arti tidak menunjukkan aktivitas EEG (Kelley, 2012).
Untuk mengukur Efek Aminophylline pada anestesi umum, kami menggunakan
pemantauan bispectral index (BIS) sebagai parameter pengganti karena Aminophylline
memiliki index terapi yang sangat sempit.(Ghaffaripour, 2014).
Sistem pemantauan Bispectral Index memungkinkan ahli anestesi untuk mengakses
informasi EEG yang dihasilkan untuk mengukur pengaruh anestesi tertentu selama
perawatan pasien yang mereka pilih untuk dipantau. Dampak klinis pemantauan Bispectral
Index telah ditunjukkan dalam berbagai percobaan randomize terkontrol yang
mengungkapkan potensi pemantauan BIS untuk memfasilitasi perbaikan, dalam hal ini
termasuk keselamatan pasien. (Scoot DC,2010)
Penelitian yang dilakukan oleh Sina, dkk. Menunjukan bahwa skor BIS ditemukan
secara signifikan lebih tinggi (p <0,001) pada kelompok yang diberi Aminophylline
dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan normal saline. Detak jantung dan
tekanan darah ditemukan lebih tinggi secara signifikan setelah injeksi Aminophylline
dibandingkan dengan kelompok kontrol (p <0,001). Selain itu waktu pemulihan di semua
variabel terukur (waktu untuk membuka mata, ekstubasi, pegangan tangan dan waktu
6

terjaga) secara signifikan lebih pendek pada kelompok yang menerima Aminophylline bila
dibandingan dengan kelompok kontrol (p <0,001) (Ghaffaripour, 2014).
Hasil penelitian lain yang dilakukan Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran Universitas Tehran, menunjukan bahwa waktu untuk melakukan
ekstubasi pasca operasi secara signifikan lebih singkat pada kelompok yang mendapat
Aminophylline 5 mg/KgBB (10,4 ± 4,78 menit), kemudian disusul kelompok
Aminophylline 1 mg/KgBB (11,15 ± 8,2 menit) dan paling lama pada kelompok yang
mendapat normal saline yaitu kelompok kontrol (12,26 ± 7,33 menit) dengan p-value =
0,001. Selain itu jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai skor BIS ≥ 90 secara
signifikan juga lebih singkat pada kelompok yang mendapat Aminophylline 5 mg/KgBB
(10,6 ± 3,7 menit) kemudian disusul kelompok Aminophylline 1 mg/KgBB (11,5 ± 5,6
menit) dan paling lama pada kelompok yang mendapat normal saline yaitu kelompok
kontrol (14,4 ± 4,2 menit) dengan p-value = 0,001. (Farsad, 2017).
Oleh karena itu berdasarkan latar belakang dan referensi penelitian diatas, peneliti
berkeinginan untuk meneliti efek Aminophylline 3 mg/kgBB intravena untuk mempercepat
waktu pulih sadar pasca general Anestesi dengan inhalasi isofluran pada pasien
pembedahan laparatomi dengan menggunakan bispectral index di Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan.

1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian yaitu: ”Apakah pemberian Aminophylline 3 mg/kgBB intravena dapat
mempercepat waktu pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran pada
pembedahan laparatomi dengan menggunakan bispectral index di RSUP Haji Adam Malik
Medan?”
7

2 Hipotesis
Didapatkan efek pemberian Aminophylline intravena dalam mempercepat waktu
pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran pada pembedahan laparatomi
dengan menggunakan bispectral index di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3 TUJUAN PENELITIAN
3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efek pemberian Aminophylline intravena dalam mempercepat
waktu pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran pada pembedahan
laparatomi dengan menggunakan bispectral index di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui rata-rata waktu pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi
isofluran dengan menggunakan bispectral index di RSUP Haji Adam Malik Medan
setelah pemberian Aminophylline 3 mg/kgBB
2. Untuk mengetahui perbandingan waktu pulih sadar pasca general anestesi dengan
inhalasi isofluran dengan pemberian Aminophylline 3mg/kgBB dan pemberian Normal
salinee (NaCl 0,9%) intravena pada pembedahan laparatomi dengan menggunakan
bispectral index.

4 Manfaat Penelitian
1.1.1 Manfaat Akademis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam
penanganan efek sedatif pascaoperasi pada keadaan berikut :
a) Sebagai data untuk penelitian lanjutan mengenai penggunaan Aminophylline
intravena untuk mempercepat waktu pulih sadar pascaoperasi yang lainnya.
8

b) Sebagai data untuk dosis awal dalam penggunaan Aminophylline intravena untuk
penelitian selanjutnya.

4.1 Manfaat Pelayanan Masyarakat


Sebagai bahan masukan khususnya bagi praktisi medis tentang efek pemberian
Aminophylline intravena dalam mempercepat waktu pulih sadar pasca general Anestesi
dengan inhalasi isofluran dengan menggunakan bispectral index, sehingga praktisi medis
khususnya dokter anestesi dapat meningkatkan standar pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dan pasien-pasien yang menjalani pembiusan dengan general anestesi menjadi
lebih baik.
9

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep General Anestesi

Pengertian General Anestesi

Anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel yang mengubah status fisiologis
tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi), hilangnya persepsi nyeri (analgesia),
hilangnya memori (amnesia) dan relaksasi. Beberapa senyawa yang dapat menghasilkan
keadaan anestesi umum antara lain bersifat inert (xenon), anorganik (nitrous oxide),
inhalasi hidrokarbon (halothan), dan struktur organik komplek (barbiturat) (Morgan, 2013).
Terdapat beberapa daerah mikoroskopik sebagai tempat bekerjanya substansi
anestesi umum. Pada otak diketahui anestesi umum mempengaruhi beberapa tempat, seperti
sistem retikular, kortek serebri, nukleus kuneatus, kortek olfaktori, dan hipokampus
(Firman, 2009).
Melalui mekanisme kerjanya, anestesi umum mengakibatkan terjadinya perubahan-
perubahan pada sistem seluler, seperti perubahan pada ligand gate ion channel, fungsi
second messenger, atau reseptor neurotransmitter. Sebagai contoh terjadi peningkatan
inhibisi pada γ-Aminobutyric Acid (GABA) pada sistem saraf pusat. Seperti diketahui
reseptor agonis GABA akan memperdalam anestesi, sedangkan antagonis GABA akan
menghilangkan aksi anestesi (Morgan, 2013).
Semua zat obat anestesi umum menghambat susunan saraf pusat secara bertahap,
dimulai dari fungsi yang kompleks dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang
bekerja sebagai pusat vasomotor dan pusat pernapasan.
Guedel (1920) membagi anestesia umum dengan menggunakan eter dalam empat
(4) stadium dimana stadium III dibagi lagi dalam empat tingkat (Sadikin, 2011).
Stadium I (analgesta). Stadium analgesta dimulai dari saat pemberian zat obat
anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat mengikuti
10

perintah, dan rasa sakit hilang (analgesia). Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan
pembedahan ringan seperti mencabut gigi, biopsi kelenjar dan sebagainya (Sadikin, 2011).
Stadium II (delirium/eksitasi). Stadium ini dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan
yang tidak menuruti kehendak, penderita tertawa, berteriak, menangis, menyanyi,
pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meninggi,
inkontinesia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi, takikardi; hal ini terutama terjadi
karena adanya hambatan pada susunan saraf pusat (Sadikin, 2011).
Stadium III (pembedahan). Stadium ini dimulai dengan teraturnya pernapasan
sampai hilangnya pernapasan spontan. Tanda yang harus dikenal ialah : (1) pernapasan
yang tidak teratur pada stadium II menghilang; pernapasan menjadi spontan dan teratur
oleh karena tidak adanya pengaruh psikis, sedangkan pengontrolan kehendak hilang; (2)
refleks kelopak mata dan konjungtiva hilang, bila kelopak mata atas diangkat dengan
perlahan dan dilepaskan tidak akan menutup lagi, kelopak mata tidak berkedip bila bulu
mata disentuh; (3) kepala dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas. Bila lengan
diangkat lalu dilepaskan akan jatuh bebas tanpa tahanan; dan (4) gerakan bola mata yang
tidak menuruti kehendak merupakan tanda spesifik untuk permulaan stadium III (Sadikin,
2011).
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan pernapasan perut yang
lebih lemah dibandingkan stadium III tingkat 4, tekanan darah tak dapat diukur karena
kolaps pembuluh darah, berhentinya denyut jantung dan dapat disusul kematian. Pada
stadium ini kelumpuhan pernapasan tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan (Sadikin,
2011).
Berbagai macam cara pemberian anestesi yaitu secara parenteral, perektal, inhalasi
ataupun secara intravena. Salah satu bentuk anestesi umum yang sering digunakan adalah
anestesi secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap). Anestesi inhalasi ini
memiliki keunggulan yaitu potensi dan konsentrasinya yang dapat dikendalikan melalui
11

mesin, dengan titrasi dosis untuk menghasilkan respon yang diinginkan. Obat anestesi
inhalasi yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan
isofluran sedangkan obat anestesi umum digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat,
narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis lainnya, dan beberapa obat
khusus seperti ketamin (Stoelting dan Hillier, 2007).
Dasar dari terjadinya stadium anestesia adalah adanya perbedaan kepekaan berbagai
bagian system saraf pusat terhadap obat anestesi. Sel-sel subtansia gelatinosa di kornu
dorsalis medula spinalis sangat peka terhadap obat anestesi. Penurunan aktivitas neuron di
daerah ini menghambat trasmisi sensorik dari rangsang neoseptik, hal ini yang
menyebabkan terjadinya tahap analgesia. Stadium II terjadi akibat aktivitas neuron yang
kompleks pada kadar obat anestesi yang lebih tinggi di otak. Aktivitas ini antara lain berupa
penghambatan berbagai neuron inhibisi bersamaan dengan dipermudahnya pelepasan
neurotransmitter eksitasi. Selanjutnya, depresi hebat pada jalur naik di sistem aktivasi
retikular dan penekanan aktivitas refleks spinal menyebabkan pasien masuk ke stadium III.
Neuron di pusat napas dan pusat vasomotor relatif tidak peka terhadap obat anestesi kecuali
pada kadar yang sangat tinggi. Apa yang menyebabkan perbedaan kepekaan berbagai
bagian sistem saraf pusat ini masih perlu diteliti (Sadikin, 2011).
12

Gambar 2.1 Skema Tingkat Kesadaran

Tabel 2.1 Perbedaan Tidur dan Sedasi


Tidur Sedasi
Ditimbulkan secara endogen Diinduksi oleh obat/obat
anesthesia
Ada kontrol homeostatik dan Tidak ada kontrol homeostatik dan
sirkadian sirkadian
Onset dan durasi bergantung Onset dan durasi bergantung pada
pada stress, obat-obatan, dosis dan durasi obat anestesia
lingkungan, nyeri, dan yang diberikan.
patologi
Batas kedalaman tidur Batas kesadaran ditentukan
bervariasi(NREM vs. REM)
Berefekdalam proses belajar Amnesia dan penurunan kognitif.
dan konsolidasi memori
13

Tidak ada efek samping PONV cukup sering ditemukan


Metabolic rate menurun Metabolic rate menurun
selama tidur NREM dan
meningkat selama tidur REM

Pemberian sedasi sering dilakukan untuk memberikan kenyamanan kepada pasien


sekaligus membantu kelancaran prosedur yang dilakukan, terutama pada pasien bayi, anak-
anak yang kurang kooperatif, atau dengan retardasi mental. Jenis sedasi yang diberikan
dapat berupa sedasi ringan sampai yang dalam.
The American Society of Anesthesiologists menggunakan definisi berikut untuk
sedasi (Porkka-Heiskanen T, 2009)
Sedasi minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien berespon
normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu, tetapi
fungsi kardiovaskuler dan ventilasi tidak dipengaruhi.
Sedasi sedang adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat di mana
pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah diikuti oleh
rangsangan taktil dan reflek cahaya. Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga jalan napas
dan ventilasi spontan yang masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler biasanya perlu
dimonitoring.
Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi penurunan kesadaran setelah
terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan berulang
atau rangsangan nyeri. Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi dapat
terganggu dan pasien akan memerlukan bantuan untuk menjaga jalan napas . Fungsi
kardiovaskuler perlu dimonitoring. Adenosine yang bekerja melalui reseptor A1adenosine
mengaktifkan jalur transduksi sinyal yang menghasilkan peningkatan kalsium intraseluler
yang mengarah pada aktivasi faktor transkripsi NF-kB dan kemungkinan transkripsi gen
14

yang berefekuntuk menyebabkan efek tidur jangka panjang. (Basheer R, Strecker RE,
2004)
Dapat terjadi progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam di mana kontak
verbal dan refleks protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga sulit dibedakan
dengan anestesia umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan diperlukan tingkat
keahlian yang lebih tinggi dalam penanganan pasien. Kemampuan pasien untuk menjaga
patensi jalan napas merupakan salah satu karakteristik sedasi sedang, tetapi pada tingkat
sedasi ini tidak dapat dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat
anestesia dapat digunakan dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat
sedatif dapat menghasilkan efek anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar.(Bronco A,
2010)
Pemberian sedasi dapat dilakukan secara intramuskuler, intravena, intratekal,
maupun dengan inhalasi, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Jenis obat yang
sering digunakan adalah golongan benzodiazepine dan opioid. Midazolam lebih disukai
dibandingkan dengan diazepam karena obat ini larut dalam air, tidak menimbulkan rasa
nyeri pada saat pemberian, waktu paruhnya lebih singkat, dan menghasilkan metabolit yang
kurang aktif dibandingkan dengan diazepam. Midazolam jarang mendepresi sistem
pernafasan, namun dapat menimbulkan efek agitasi pada beberapa individu. Pemberian
opioid dengan dosis tertentu dapat mendepresi sistem pernafasan karena tempat kerjanya
berada di reseptor µ medulla oblongata yang dapat menghambat respon terhadap
peningkatan CO2. Obat jenis lain seperti ketamin dan propofol juga menjadi pilihan obat
yang sering digunakan. Propofol umumnya hanya dipakai untuk pasien anak dengan usia di
atas 3 tahun.(Mahajan VA,Ni Chonghaile M, 2007)
Untuk pasien-pasien yang telah direncanakan sebelumnya untuk mendapat sedasi
selama prosedur berlangsung, sebaiknya dipuasakan terlebih dahulu (Morgan, 2013)
Tabel 2.2 Skor Sedasi Ramsay
Kriteria Skor
15

Pasien cemas dan gelisah atau tidak tenang, atau keduanya 1


Pasien kooperatif, berorientasi, dan tenang
2
Pasien merespon saat diperintah
Pasien menunjukkan respon cepat untuk sentuhan ringan di glabellar atau 3
stimulus pendengaran keras 4
Pasien menunjukkan respon yang lambat untuk sentuhan ringan di glabellar
atau stimulus pendengaran keras
5
Pasien menunjukkan tidak ada respon

6
16

Tabel 2.3 Protokol pemberian sedasi


17

Tabel 2.3 Morgan, 2013

2.2. Penggunaan obat sedatif


Obat-obat sedatif-hipnotik dan anti anxietas banyak digunakan di dunia. Diperkirakan 10-
15% masyarakat yang mengalami insomnia menggunakan pengobatan farmakologi untuk
menormalkan tidur. Insomnia sendiri diartikan sebagai keadaan susahnya memulai tidur,
tidak bisa tidur atau durasi tidur yang tidak adekuat. Beberapa obat yang digunakan untuk
mengatasi insomnia merupakan agonis GABA dan mempunyai efek sedasi langsung, yang
terdiri dari relaksasi otot, melemahnya ingatan, ataxia dan hilangnya keterampilan kerja,
seperti mengemudi. Durasi kerja obat untuk insomnia yang panjang, dapat menyebabkan
gangguan psikomotor, konsentrasi dan ingatan.(Dan M, 2015)

2.3 Anestesi Inhalasi


Nitrous oxide, kloroform, dan eter adalah anestesi umum pertama yang secara
universal diterima. Metoksifluran dan enfluran, adalah dua obat inhalasi yang ampuh yang
digunakan selama bertahun-tahun dalam praktek anestesi di Amerika Utara.
Methoxyflurane adalah obat inhalasi yang paling ampuh dan memiliki kelarutan tinggi dan
tekanan uap yang rendah sehingga menghasilkan induksi yang lebih lama. Lima obat
inhalasi yang masih digunakan dalam anestesiologi klinis: nitrous oxide, halotan, isofluran,
desfluran, dan sevofluran (Morgan, 2013).
Jalannya anestesi umum dapat dibagi menjadi tiga tahap : (1) induksi, (2)
maintenance, dan (3) emergence. Anestesi inhalasi, seperti halotan dan sevofluran,
bermanfaat dalam proses induksi pada pasien anak yang mungkin sulit dilakukan dengan
jalur intravena. Meskipun orang dewasa biasanya diinduksi dengan obat intravena,
nonpungency dan onset cepat sevofluran membuat induksi inhalasi praktis bagi pasien
dewasa. Terlepas dari usia pasien, anestesi sering dipertahankan dengan teknik inhalasi.
Karena rute administrasinya yang unik, anestesi inhalasi memiliki sifat farmakologi yang
18

berguna yang tidak dimiliki oleh obat anestesi lainnya. Misalnya, pemberian melalui
sirkulasi paru memungkinkan efek obat yang lebih cepat dalam darah arteri dari pada
pemberian intravena (Morgan, 2013).

Gambar 2.2. Perjalanan Gas Obat anestesi Inhalasi dari Mesin Anestesia ke Otak
Sumber : Morgan, 2013

Faktor-faktor yang menentukan kecepatan transfer obat anestesi di jaringan otak


ditentukan oleh:
 Kelarutan zat obat anestesi dalam darah
Kelarutan ini dinyatakan sebagai blood : gas partition coefficlent (λ), yaitu
perbandingan konsentrasi obat anestesi gas dalam darah dengan konsentrasinya
dalam gas yang diinspirasi setelah dicapai keseimbangan. Zat yang sangat mudah
larut misalnya dietileter dan metoksilluran, mempunyai nilai (λ) 12,1 ; sedangkan
etilen yang sukar larut mempunyai nilai (λ), 0,14. Nilai (λ) siklopropan adalah 0,42 ;
19

N2O 0,47 dan kloroform 9,4. Lamanya dicapai keseimbangan antara tekanan parsial
di alveoli dan darah tergantung dari kelarutan dalam darah ini, bila kelarutannya
tinggi, atau zat obat anestesi mudah larut dalam darah maka dibutuhkan waktu lebih
lama, sebab untuk obat ini darah merupakan reservoar; dengan demikian induksi
berjalan lebih lambat. Pada penggunaan eter, tekanan parsial dalam darah hanya 5%
dari tekanan parsial pada keseimbangan dengan sekali isap, sedangkan halotan 25%,
siklopropan atau N2O 65% dan etilen 85% (Sadikin, 2011).
 Kadar obat anestesi dalam udara inspirasi
Kadar obat anestesi dalam campuran gas yang dihirup menentukan tekanan
maksimum yang dicapai di alveoli maupun kecepatan naiknya tekanan parsial arteri.
Kadar obat anestesi yang tinggi akan mempercepat transfer obat anestesi ke darah,
sehingga akan meningkatkan kecepatan induksi anestesi (Sadikin, 2011).
 Ventilasi paru.
Hiperventilasi mempercepat masuknya obat anestesi gas ke sirkulasi dan
jaringan, tetapi hal ini hanya nyata pada obat anestesi yang larut dalam darah seperti
halotan. Untuk obat anestesi yang sukar larut dalam darah misalnya siklopropan,
N2O, pengaruh ventilasi ini tidak begitu nyata karena kadar darah arteri cepat
mendekati kadar alveoli (Sadikin, 2011).
 Aliran darah paru.
Bertambah cepat aliran darah paru bertambah cepat aliran darah paru
bertambah cepat pula pemindahan obat anestesi dari udara inspirasi ke darah.
Namun hal itu akan memperlambat peningkatan tekanan darah arteri sehingga
induksi anestesia akan lebih lambat khususnya oleh obat anestesi dengan tingkat
kelarutan sedang dan tinggi, misalnya halotan dan isofluran (Sadikin, 2011).
 Perbedaan antara tekanan parsial obat anestesi di darah arteri dan vena.
Kecepatan difusi ke darah berbanding langsung dengan perbedaan tekanan
parsial obat anestesi gas di alveoli dan di dalam darah. Karena tekanan parsial obat
anestesi gas dalam aliran darah paru bertambah dengan ventilasi yang berulang kali
ke paru, maka pemindahan obat anestesi gas berlangsung lambat sampai tercapainya
keseimbangan (Sadikin, 2011).
20

2.4 Isofluran
Isofluran adalah obat anestesi volatil tidak mudah terbakar dengan bau yang tidak
terlalu menyengat. Walaupun isofluran merupakan isomer kimia dengan berat molekul
yang sama dengan enfluran, tetapi keduanya memiliki sifat fisikokimia yang berbeda
(Morgan, 2013).
Koefisien partisi gas/darah isofluran adalah 1,4. Ini lebih kecil dibanding obat
inhalasi lainnya, kecuali desfluran 0,42 dan sevofluran 0,6–0,7, memungkinkan
peningkatan konsentrasi isofluran di alveolar terjadi lebih cepat. Penelitian oleh Frink dkk,
pasien yang dianestesi dengan isofluran kurang dari 1 jam, dapat membuka mata dengan
perintah kira – kira 7 menit setelah anestesi dihentikan. Pada pemberian yang lebih lama,
yaitu selama 5 – 6 jam, munculnya respon dengan perintah relatif cepat, kira – kira 11
menit setelah isofluran dihentikan. MAC isofluran berkisar 0,5 - 1,2. Induksi dengan
isofluran relatif cepat tetapi isofluran dapat mengiritasi jalan nafas bila digunakan pada
awal induksi dengan masker pada konsentrasi tinggi. Induksi lambat direkomendasikan
untuk mengurangi efek iritatif saluran nafas dan untuk menghindari tahan nafas dan batuk.
Dalam praktek barbiturat kerja pendek biasanya diberikan untuk memfasilitasi proses
tersebut (Morgan, 2013), (Stoelting dan Hillier, 2007).

Gambar 2.3. Rumus Bangun Isofluran


Sumber : Morgan, 2013

Tekanan darah turun dengan cepat dengan makin dalamnya anestesi tetapi berbeda
dengan efek enfluran, curah jantung dipertahankan oleh isofluran. Hipotensi lebih
disebabkan oleh vasodilatasi di otot jantung. Pembuluh koroner juga berdilatasi dan aliran
21

koroner dipertahankan walaupun kosumsi O2 berkurang. Dengan demikian isofluran


dianggap lebih aman untuk pasien dengan penyakit jantung dibandingkan dengan halotan
atau enfluran. Namun pada kenyataannya, isofluran dapat menyebabkan iskemia
miokardium melalui fenomena coronary steal, yaitu pengalihan aliran darah dari daerah
yang perfusinya buruk ke perfusi yang lebih baik. Kecenderungan timbulnya aritmia sangat
kecil, sebab isofluran tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.(Bronco
A, Ingelmo PM, 2010)
Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan system saraf
pusat seperti pada pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak sementara
metabolisme otak hanya menurun sedikit. Sirkulasi otak tetap responsif terhadap CO 2 maka
hiperventilasi bisa menurunkan aliran darah, metabolisme otak dan tekanan intrakranial.
Keamanan isofluran pada wanita hamil, atau waktu partus, belum terbukti. Isofluran dapat
merelaksasikan otot uterus sehingga tidak dianjurkan untuk analgesik pada saat persalinan.
Penurunan kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam sesudah anestesi tetapi tidak terjadi mual
muntah atau eksitasi sesudah operasi. Isofluran mengalami biotransformasi jauh lebih
sedikit. Asam trifluoroasetat dan ion fluor yang terbentuk jauh di bawah batas yang
merusak sel. Belum pernah dilaporkan gangguan fungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan
isofluran.( Puri GD, 2003) ( Ashraf A,2005)

2.4.1 Indikasi dan Kontra Indikasi


Inhalasi anestesi baik digunakan sebagai induksi maupun pemeliharaan anestesi. Anestesi
inhalasi dapat digunakan pada pasien dari berbagai usia.(Morgan, 2013)
Kontra Indikasi
 Sangat sensitif terhadap obat anestesi inhalasi.
 Diketahui atau dicurigai mudah mengalami demam tinggi
(malignant hyperthermia).
 Pasien yang pernah mendapat anestesi isoflurane atau obat inhalasi lainnya
dapat terjadi ikterus atau gangguan fungsi hepar atau eosinophilia pada masa
pasca anestesi.
22

 Nonselective MAO Inhibitor.


 Tekanan intrakranial tinggi
 Hipovolemia
 Hipotensi

2.4.2 Efek samping penggunaan Isofluran


Vaporiser khusus untuk isoflurane dikalibrasi sehingga konsentrasi anestesi dapat
dikontrol secara akurat. Hipotensi dan peningkatan kejadian depresi pernafasan sebagai
anestesi dapat diperdalam. Laporan dari QT memanjang, terkait dengan torsade de pointes
(dalam kasus luar biasa, yang fatal) telah ditemukan.( Turan A, 2010)
Dalam mengelola anestesi umum, termasuk isoflurane, untuk pasien dengan
gangguan mitokondria harus mendapat perhatian lebih. Isoflurane, seperti obat inhalasi
lainnya, memiliki efek relaksasi pada uterus dengan potensi risiko perdarahan uterus.
Penilaian klinis harus diamati ketika menggunakan isoflurane selama anestesi obstetri.
Harus dipertimbangkan untuk menggunakan konsentrasi terendah dari isoflurane dalam
operasi kandungan .(Sakurai S, 2008)
Kasus meningkatnya carboxyhaemoglobin telah dilaporkan dengan penggunaan
obat inhalasi fluorinated (yaitu, desflurane, enfluran dan isofluran). Isoflurane telah
dilaporkan dapat berinteraksi dengan absorben karbon dioksida dalam membentuk karbon
monoksida. Untuk meminimalkan risiko pembentukan karbon monoksida dalam proses
pernapasan dan kemungkinan terbentuknya tingkat carboxyhaemoglobin tinggi, penyerapan
karbon dioksida sebaiknya minimal. Kasus yang jarang terjadi dari panas yang ekstrim,
asap dan atau kebakaran spontan dalam mesin anestesi telah dilaporkan selama anestesi
umum dengan obat dalam kelas ini bila digunakan bersama dengan absorben CO2,
khususnya yang mengandung kalium hidroksida (misalnya Baralyme). Ketika seorang
dokter mencurigai bahwa penyerapan CO2 meningkat, harus dikoreksi terlebih dahulu
sebelum pemberian isoflurane. (El Tahan MR, 2011)
23

Pemberian isoflurane harus dikerjakan oleh klinisi yang sudah memahami


farmakologi obat dan sudah melalui pelatihan dan pengalaman dalam mengelola pasien.
Karena tingkat anestesi dapat diubah dengan cepat dan mudah, isoflurane hanya digunakan
jika terdapat vaporizer yang memberikan prediksi output yang akurat atau keadaan di
mana inspirasi dan ekspirasi dapat dipantau. Tingkat hipotensi dan depresi pernafasan dapat
menjadi pertimbangan dalam anestesi.(Hung ZL,2005) (Wu CC,2006)
Laporan menunjukkan bahwa isoflurane dapat menghasilkan kerusakan hati mulai
dari kenaikan sementara enzim hati hingga nekrosis hati yang fatal dalam beberapa kasus
yang sangat jarang terjadi. Telah dilaporkan bahwa paparan sebelumnya dengan anestesi
hidrokarbon terinhalasiasi, terutama jika interval kurang dari 3 bulan, dapat meningkatkan
potensi kerusakan hati. Sirosis, hepatitis virus atau penyakit hati lainnya bisa menjadi
alasan untuk memilih obat bius selain anestesi inhalasi. Terlepas dari anestesi yang
digunakan, maintenance hemodinamik yang normal penting untuk menghindari iskemia
miokard pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Isoflurane secara nyata meningkatkan
aliran darah otak pada tingkat anestesi yang lebih dalam. kemungkinan ada kenaikan
sementara tekanan cairan serebrospinal yang sepenuhnya reversibel dengan hiperventilasi.
Isoflurane harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial, pada kasus seperti ini hiperventilasi mungkin diperlukan. Penggunaan
isoflurane pada pasien hipovolemik dan hipotensi belum pernah diteliti. Sebuah konsentrasi
yang lebih rendah dari isoflurane direkomendasikan untuk digunakan pada pasien ini.
(Khafagy,2012)
Isoflurane memiliki potensi yang nyata sebagai pelumpuh otot, namun tidak
sedalam obat-obatan non-depolarisasi. Isoflurane dapat menyebabkan sedikit penurunan
fungsi intelektual selama 2-4 hari setelah anestesi. Kelelahan neuromuskular dapat dilihat
pada pasien dengan penyakit neuromuskuler, seperti myasthenia gravis. Isoflurane harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien ini.(El Yacoubi M, 2003)
24

Isoflurane dapat menyebabkan depresi pernafasan yang diperberat dengan


premedikasi narkotika atau obat lain yang dapat menyebabkan depresi pernafasan.
Respirasi harus diawasi dan jika perlu, dibantu selama induksi anestesi, air liur mengalir
dan sekresi trakeobronkial dapat menjadi penyebab laryngospasm, terutama pada anak-anak
Perhatian khusus harus dilakukan ketika isoflurane digunakan pada anak-anak kecil karena
keterbatasan penggunaan pada kelompok usia ini.(Mahajan VA,2007)
Pada individu yang rentan, anestesi isoflurane dapat memicu otot rangka menjadi
hipermetabolik dan menyebabkan kebutuhan oksigen yang tinggi dan sindrom klinis yang
dikenal sebagai hipertermia maligna. Sindrom ini mencakup gejala spesifik seperti
kekakuan otot, takikardia, takipnea, sianosis, aritmia, dan tekanan darah tidak stabil. (Hal
ini juga harus dicatat bahwa banyak dari tanda-tanda spesifik mungkin muncul dengan
anestesi ringan, hipoksia akut, dll). PaO2 dan pH dapat menurun, hiperkalemia dan defisit
basa mungkin muncul. Tatalaksana termasuk penghentian obat (misalnya isoflurane),
intravena dantrolene natrium, dan penerapan terapi suportif. Terapi tersebut mencakup
upaya untuk mengembalikan suhu tubuh normal, pernapasan dan peredaran darah, dan
pengelolaan gangguan elektrolit-cairan asam-basa. (Konsultasikan pemberian dantrolene
natrium intravena untuk informasi tambahan mengenai manajemen pasien.) Gagal ginjal
mungkin muncul kemudian.(Myles PS,Leslie K, 2004)
Penggunaan obat anestesi inhalasi dikaitkan dengan peningkatan kalium serum yang
telah mengakibatkan aritmia jantung dan kematian pada pasien anak selama periode pasca-
operasi. Pasien yang lemah serta penyakit neuromuskuler yang jelas, terutama distrofi otot,
adalah yang paling rentan. Penggunaan secara serentak dari suksinilkolin telah dikaitkan
dengan sebagian besar, tapi tidak semua pada kasus ini. Pasien-pasien ini juga mengalami
peningkatan tingkat creatinekinase serum yang signifikan dalam dalam beberapa kasus,
perubahan konsistensi urin dengan mioglobinuria. Meskipun ada kemiripan dengan
malignant hipertermia, tidak ada pasien yang menunjukkan tanda-tanda atau gejala
kekakuan otot atau gangguan hipermetabolik. Intervensi awal yang agresif untuk mengobati
25

hiperkalemia dan aritmia dianjurkan, seperti evaluasi berkelanjutan untuk penyakit


neuromuskuler .(Basher R, 2004)
Efek inhalasi isofluran pada sistem organ dan farmakologi isofluran dalam praktik klinis :
 Kardiovaskular
Efek depresi isofluran pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan
dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain. Pada penelitian in vivo isofluran
menyebabkan depresi minimal ventrikel kiri. Curah jantung dipengaruhi oleh
kenaikan detak jantung melalui baroreflexes karotis. Stimulasi ringan β-adrenergik
meningkatkan aliran darah otot rangka, mengurangi resistensi pembuluh darah
sistemik dan menurunkan tekanan darah arteri. Peningkatan konsentrasi isoflurane
mengakibatkan peningkatan sementara denyut jantung, tekanan darah arteri, dan
kadar plasma norepinefrin. Isofluran melebarkan arteri koroner, tetapi efeknya tidak
sama dengan nitrogliserin atau adenosin. Tekanan darah dan denyut nadi relatif
stabil pada penggunaan isofluran selama anestesi. Dengan demikian isofluran
merupakan obat pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita kelainan
kardiovaskuler (Morgan, 2013).
 Pernapasan
Seperti halnya obat anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga menimbulkan
depresi pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan. Depresi
pernapasan selama anestesi isofluran menyerupai anestesi lainnya, kecuali takipnea
yang kurang jelas. Rendahnya tingkat isofluran (0,1 MAC) menumpulkan respon
ventilasi normal terhadap hipoksia dan hiperkapnia. Meskipun isofluran memiliki
kecenderungan untuk mengiritasi refleks jalan napas atas, isofluran dianggap
sebagai bronkodilator yang baik namun tidak sebaik bronkodilator golongan halotan
(Sadikin, 2011).
 Serebral
Efek yang ditimbulkaan terhadap sistem saraf pusat sesuai dengan dosis
yang diberikan. Isofluran tidak menimbulkan kelainan EEG seperti yang
26

ditimbulkan oleh enfluran. Pada dosis anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan
perubahan mekanisme sirkulasi serebrum, autoregulasi aliran darah otak tetap stabil.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh isofluran adalah penurunan konsumsi oksigen
otak. Sehingga dengan demikian isofluran merupakan obat pilihan untuk anestesi
pada kraniotomi, karena tidak berpengaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai
efek proteksi serebral dan efek metaboliknya yang menguntungkan pada teknik
hipotensi kendali (Morgan, 2013).
 Neuromuskular
Isofluran memiliki efek melemaskan otot rangka. Penurunan tonus otot
rangka terjadi melalui mekanisme depresi pusat motorik pada serebrum, sehingga
dengan demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Walaupun demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot untuk mendapatkan
keadaan relaksasi otot yang optimal terutama pada operasi laparatomi (Sadikin,
2011).
 Renal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju fitrasi
glomerulus sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi kondisi ini masih dalam
batas normal (Morgan, 2013).
 Hati
Jumlah aliran darah hati (arteri hepatik dan aliran vena portal) berkurang
selama anestesi isofluran. Suplai oksigen hati dipertahankan lebih baik dengan
isofluran dibandingkan dengan halotan, sehingga fungsi hati biasanya tidak
terpengaruh (Morgan, 2013).

Tabel 2.4. Efek Anestesi Inhalasi Pada Berbagai Organ (Morgan, 2013)
27

 Biotransformasi & Toksisitas


Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat. Meskipun kadar
cairan fluorida serum akan naik, nefrotoksisitas sangat tidak mungkin. Sedasi
berkepanjangan (>24 jam pada 0,1-0,6% isofluran) pada pasien sakit kritis
menghasilkan peningkatan kadar plasma fluorida (15-50 umol/L) tanpa bukti
kerusakan ginjal. Demikian pula, sampai 20-jam MAC isofluran dapat
menyebabkan kadar fluorida yang melebihi 50 µmol/L tanpa terdeteksi disfungsi
ginjal pasca operasi. Metabolisme oksidatif isofluran yang terbatas juga
meminimalkan risiko kemungkinan disfungsi hati yang signifikan. Isofluran hampir
seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi, hanya 0,2% dimetabolisme di
dalam tubuh (Morgan, 2013).

 Kontraindikasi
28

Tidak ada kontraindikasi yang spesifik pada penggunaan isofluran. Pasien


dengan hipovolemia berat mungkin tidak dapat mentolerir efek vasodilatasi. Hal ini
dapat memicu malignan hipertermia (Morgan, 2013).
 Interaksi obat
Penggunaan isofluran yang bersamaan dengan epinefrin dapat dengan aman
diberikan sampai dengan dosis epinefrin 4,5 mcg/kg (Morgan, 2013).
 Penggunaan Klinik
Sama seperti halotan dan enfluran, isofluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum. Disamping efek hipnotik,
juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi ringan. Untuk mengubah cairan
isofluran menjadi uap, diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus isofluran
(Sadikin, 2011).
 Keuntungan dan Kelemahan
Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap
mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari halotan, tidak menimbulkan
mual muntah, dan tidak menimbulkan menggigil. Penilaian terhadap pemakaian
isofluran saat ini adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan gangguan terhadap
fungsi kardiovaskuler, tidak mengubah sensitivitas otot jantung terhadap
katekolamin, isofluran sangat sedikit mengalami pemecahan dalam tubuh dan tidak
menimbulkan efek eksitasi sistem saraf pusat. Kelemahannya dari penggunaan
isofluran adalah batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis), analgesia
dan relaksasinya kurang, sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain (Morgan,
2011).

2.5. Aminophylline
Aminophylline merupakan bentuk garam dari teofilin. Mekanisme kerjanya yaitu
dengan menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMP
dan cGMP masing-masing menjadi 5’-AMP dan 5’-GMP. Penghambatan PDE
29

menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot
polos termasuk otot polos bronkus. (Wu CC, Lin CS, 2006)
Aminophylline adalah salah satu obat bronkodilator golongan xantin yang memiliki
efek mendilatasi bronkus. Aminophylline merupakan senyawa kompleks teofilin dengan
etilendiamin, dengan kandungan teofilin anhidrat bervariasi antara 79-86 %. Dalam tubuh
Aminophylline terurai menjadi teofilin. Teofilin termasuk obat-obat yang mempunyai
lingkup terapi (therapeutic windows) sempit (10-20 mcg/ml). Artinya, jarak antar dosis
terapatik dan dosis toksis kecil, sehingga efek toksik akan mudah timbul apabila dosis atau
kadarnya melewati ambang toksik. (Farsad dkk, 2017)

Gambar 2.4 Struktur Kimia Aminophylline


Sumber : Katzung, BG., 2014

2.5.1 Farmakokinetik
Obat golongan xantin seperti Aminophylline cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal
ataupun parenteral. Kelarutan Aminophylline lebih besar daripada teofilin, tetapi ternyata
derajat absorpsinya tidak banyak berbeda. Setelah pemberian per-oral, obat ini diabsorpsi
dengan cepat, sehingga kadang-kadang terjadi lonjakan kadar dalam darah yang
menimbulkan gejala efek samping. Pemberian teofilin/Aminophylline bersama dengan
katekolamin dan simpatomimetik golongan amina harus hati-hati karena dapat memperkuat
30

terjadinya takiaritmia. Teofilin mengalami metabolisme terutama di hepar dan ± 8 % fraksi


obat diekskresikan melalui urin dalam bentuk tetap. Aminophylline dapat mencapai kadar
puncak plasma dalam waktu 2 jam, tetapi saat ini ada teofilin lepas lambat yang bisa
bertahan dengan interval 8, 12 atau 24 jam. Adanya makanan dalam lambung akan
memperlambat kecepatan absorbsi Aminophylline atau golongan xantin lainnya. Pemberian
IM dapat menyebabkan nyeri lokal yang sangat lama. Metilxantin dapat menembus
plasenta dan masuk ke air susu ibu. Dalam keadaan normal ikatan golongan xantin dengan
protein sebesar 60% tetapi pada keadaan sirosis hepatis ikatan protein menurun menjadi
40%. Eliminasi xantin terutama melalui metabolisme hepar. Sebagian besar dieliminasi
bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin, kurang dari 20%
Aminophylline ditemukan dalam bentuk utuh dalam urin.(Altan A,2005) (Ekman A,2004)

2.5.2 Farmakodinamik Aminophylline


Aminophylline merupakan bentuk garam dari teofilin. Mekanisme kerjanya yaitu
dengan menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah pemecahan
cAMPdan cGMP masing-masing menjadi 5’-AMP dan 5’-GMP. Penghambatan PDE
menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot
polos termasuk otot polos bronkus (Katzung, 2014).
Berikut ini akan dipaparkan efek Aminophylline pada berbagai organ :
 Sistem saraf pusat
Aminophylline atau teofilin merupakan sebagai perangsang sistem saraf pusat
yang kuat, bila dosis pemberian ditinggikan maka mampu memberikan efek
berderbar, gelisah, insomnia, tremor, dan kejang. Tetapi dengan dosis rendah
metilxantin seperti Aminophylline dapat merangsang system saraf pusat yang
sedang mengalami depresi, misalnya pemberian Aminophylline dosis 2 mg/kgbb
dengan cepat akan memulihkan keadaan narkosis pada individu yang mendapat 100
mg morfin Intravena untuk anestesia (Louisa, 2011). Penelitian menunjukkan bahwa
31

Aminophylline yang diberikan pada akhir operasi dapat mempercepat waktu pulih
sadar dari anestesi umum dan meningkatkan kualitas pemulihan (Huphfl dkk, 2008).
 Medula Oblongata
Metilxantin seperti Aminophylline dapat merangsang pusat nafas pada medula
oblongata dengan meningkatkan kepekaan pusat nafas terhadap perangsangan CO2.
Selain itu juga dapat menimbulkan mual dan muntah karena perangsangan sentral
maupun perifer. Muntah dapat terinduksi bila kadar dalam plasma melebihi 15
mcg/ml (Louisa, 2011).
 Sistem Kardiovaskular
Pada jantung Aminophylline atau teofilin dapat meningkatkan frekuensi
denyut jantung. Sedangkan pada pembuluh darah Aminophylline atau teofilin
menyebabkan dilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner dan
pulmonal karena efek langsung pada otot pembuluh darah. Pada sirkulasi otak
xantin menyebabkan hambatan adenosin yang penting untuk pengaturan sirkulasi
otak. Pada sirkulasi koroner golongan xantin menyebabkan vasodilatasi arteri
koroner dan bertambahnya aliran darah koroner. Selain itu golongan xantin juga
meningkatkan kerja jantung atau kontraksi jantung (Louisa, 2011).
 Otot Polos dan Otot Rangka
Golongan xantin dapat merelaksasi otot polos terutama otot polos bronkus
dengan menghambat enzim PDE. Aminophylline juga menyebabkan penurunan
motilitas usus untuk sementara waktu. Pada otot rangka golongan xantin dapat
memperbaiki kontraktilitas dan mengurangi kelelahan otot diafragma (Katzung,
2014).
Semua golongan xantin meningkatkan produksi urin tetapi efeknya hanya
sebentar. Diduga efek ini melalui mekanisme penghambatan reabsorbsi elektrolit di
tubulus proksimal tanpa disertai perubahan filtrasi ataupun perubahan aliran darah
ke ginjal. Golongan xantin dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam
plasma dan dapat meningkatkan metabolisme basal (Louisa, 2011).

2.5.3 Efek Aminophylline


32

Adenosin adalah neuromodulator sistem saraf pusat. Ada 4 subtipe reseptor


adenosin yang berada dalam sistem saraf pusat: A1, A2A, A2B, dan A3. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa kedua subtipe A1R dan A2AR menstimulasi tidur, meskipun subtipe
reseptor adenosin yang bertanggung jawab untuk pengaturan tidur masih diperdebatkan.
Efek hipnotis adenosin lebih dulu telah dilakukan pada hewan percobaan dan efek
tidur(soporific) dari pemberian adenosin sistemik dan pusat juga telah diteliti pada manusia
(Turan dkk, 2010).
Stirt melaporkan pada tahun 1981 bahwa Aminophylline merupakan antagonis dari
efek hipnotis diazepam. Mekanismenya pada efek antihipnotik Aminophylline adalah
sebagai penekan reseptor adenosin pusat. Beberapa studi klinis dan laporan kasus lainnya
menunjukkan bahwa Aminophylline memiliki efek antagonis terhadap barbiturat, morfin,
propopol, isofluran dan sejenisnya, Aminophylline bertahan didalam tubuh efeknya bisa
sampai 4 sampai 5 hari. (Turan dkk, 2010).
Durasi dan kedalaman tidur dimodulasi secara mendalam oleh konsentrasi adenosin
yang tinggi. Selain pengaruhnya di basal otak depan, adenosin memberi efek efek tidur
(soporifik) pada lateral hipotalamus dengan menghambat neuron hypocretin / orexin.
Peningkatan aktivitas neuronal yang berhubungan pembangkitan kesadaran terkait dengan
meningkatnya konsentrasi adenosin ekstraselular. Pemberian adenosin sistemik
meningkatkan efek hipnosis yang diinduksi oleh anestesi intravena, Pemberian dari
antagonis reseptor adenosin A1 8-siklopentil berupa teofilin/Aminophylline meningkatkan
laju pelepasan neuron kolinergik pada otak depan bagian basal dan mengakibatkan kondisi
terjaga (Turan dkk, 2010).
Pada penelitian sebelumnya oleh (Turan dkk, 2010), menemukan bahwa
Aminophylline meningkatkan nilai BIS selama anestesi volatil. Aminophylline juga
menurunkan efek anestesi dari propofol yang ditentukan oleh BIS.

2.6 Gambaran EEG terhadap siklus tidur dan Anestesi umum


33

Siklus tidur berada diantara dua kondisi yaitu tidur REM (rapid-eye-movement) dan
tidur non-REM, yang mempunyai gambaran EEG berbeda. Tidur non-REM terdiri dari 3
tahap, dengan tahap ke 3 menunjukkan pola gambaran EEG yang serupa dengan fase 2
anestesi umum (pola gambaran EEG vegetatif, koma) (Brown, 2010). Dengan demikian
anestesi dan slow-wave sleep merupakan dua keadaan yang dapat dibandingkan dengan
keadaan koma patologis, tetapi metabolit energi tetap dipertahankan pada kadar normal,
serta mudah dikembalikan pada kondisi semula (reversibel); keduanya mempuyai efek pada
struktur otak yang sama, tetapi mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti (Saleh, 2013).

Gambar 2.5. Pola EEG selama Keadaan Terjaga, Anestesi Umum, dan Tidur
34

Sumber : Brown, EN., 2010


Baik pada saat tidur maupun dalam pengaruh anestesi, terjadi hambatan jalur
asending neuron yang menyusun sistem bangun (arousal). Pada saat tidur neuron GABA-
ergik di nukleus praoptik ventrolateral menghambat komponen sistem tersebut melalui
reseptor GABA. Diketahui bahwa kebanyakaan obat anestesi bekerja pada reseptor GABA
agonis yang menghambat aktivitas sistem arousal dengan mengaktivasi reseptor GABA
yang sama yang digunakan pada saat proses tidur. Hasilnya berupa perlambatan dari
aktivitas talamokortikal baik pada tidur maupun anestesi (Brown, 2010).
Obat anestesi umum dapat menghasilkan pola gambaran EEG yang jelas, yaitu
aktivitas gelombang rendah dan aktivitas gelombang tinggi yang meningkat secara
progresif dengan bertambah dalamnya anestesi. Ternyata gambaran EEG tersebut
didapatkan juga pada pasien yang dalam keadaan koma, disamping pola aktivitas EEG
akibat kerusakan otak yang bergantung pada luas kerusakan tersebut. Dengan demikian
fakta tersebut menunjukkan bahwa anestesi umum adalah suatu kondisi reversibel dari
koma yang disebabkan oleh obat, meskipun dokter anestesi menyebutnya dengan kondisi
tidur (Brown, 2010).

2.7 Waktu Pulih Sadar


Pulih sadar merupakan kembalinya kesadaran dari efek obat anestesi setelah proses
pembedahan dilakukan (Barone, 2008). Bangun atau pulih sadar dari anestesi merupakan
suatu proses pasif yang bergantung pada (a) jumlah obat yang digunakan; (b) titik tangkap
kerja obat tersebut, potensi obat, dan farmakokinetiknya; (c) karakteristik fisiologi pasien;
dan (d) jenis dan lama pembedahan (Saleh, 2013).
Secara umum pada akhir pengelolaan anestesi, pasien diharapkan segera pulih sadar
atau bangun, kecuali pada tindakan tertentu atau terjadinya penyulit selama pembedahan
yang menyebabkan dokter anestesi harus mempertahankan pasien dalam kondisi tersedasi
(Saleh, 2013).
Pulih sadarnya pasien yang mendapat obat anestesi volatil bergantung pada
eliminasi obat dari paru dan MACawake (kadar end-tidal yang berkaitan dengan membuka
35

mata dengan perintah verbal). Eliminasi paru ditentukan oleh ventilasi alveolar, koefisien
partisi darah - gas, dan dosis (MAC-jam). kecepatan pulih sadar berbanding terbalik dengan
kelarutan obat dalam darah, makin rendah daya kelarutannya makin cepat eliminasi dari
paru. Bila anestesi berkepanjangan, maka proses pulih sadar juga bergantung pada total
ambilan obat anestesi oleh jaringan, yang juga berkaitan dengan daya kelarutan, kadar rata-
rata yang digunakan, dan lamanya pasien terpapar (Sinclair, 2006).

2.8 BIS
Indeks Bispectra [BIS] memantau kedalaman anestesi yang memungkinkan dokter
untuk mengelola dosis obat minimal yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan hipnosis
yang adekuat. Ini adalah salah satu dari beberapa teknologi yang digunakan untuk
memantau kedalaman anestesi. Menetapkan dosis obat anestesi dengan cara melihat dari
nilai BIS selama anestesi umum pada orang dewasa dan anak-anak berusia di atas 1 tahun
memungkinkan dokter anestesi untuk menyesuaikan dosis obat anestesi untuk
kebutuhan pasien, sehingga memungkinkan waktu pulih sadar lebih cepat dari efek obat
anestesi. Sistem pemantauan Bispectral Index memungkinkan dokter anestesi untuk melihat
informasi EEG yang diproses sebagai dasar untuk mengukur pengaruh anestesi tertentu
selama pembedahan yang dipantau dengan menggunakan BIS. Indeks BIS adalah
parameter EEG yang diproses dengan validasi ekstensif dan menunjukkan utilitas klinis.
Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan gabungan pengukuran dari pemrosesan sinyal
EEG, termasuk analisis bispectral, spektral daya analisis, dan analisis domain waktu.
Langkah-langkah ini dikombinasikan melalui algoritma untuk mengoptimalkan korelasi
antara EEG dan efek klinis anestesi, dan dihitung dengan menggunakan kisaran BIS Index.
(Ekman A, Lindholm ML, 2004)
Pada tahun 2009, Administrasi Makanan dan Obat-obatan A.S menyatakan Indeks
BIS sebagai alat bantu dalam memantau efek tertentu pada obat anestesi. Pada tahun 2009,
Administrasi Makanan dan Obat-obatan memberikan pernyataan tambahan yang
menyatakan: "Penggunaan BIS membantu membimbing pemberian obat anestesi terkait
36

dengan mempercepat waktu pemulihan kesadaran dengan berkurangnya jumlah dosis obat
anestesi yang diberikan selama anestesi umum dan sedasi." Pemantauan BIS digunakan
untuk membantu pemberian anestesi dan memantau status pasien. Hal ini adalah tanggung
jawab masing-masing klinisi dalam pengambilan keputusan terbaik untuk pasien. Saat ini,
Indeks BIS merupakan alat yang paling baik dalam menilai kesadaran atau fungsi otak
yang digunakan dalam pemantauan konteks klinis anestesi dan perawatan sedasi. Indeks
BIS adalah hasil dari dua inovasi tertentu: bispectral analisis dan algoritma BIS (Puri GD,
Murthy SS,2013)
Analisis bispectral merupakan metodologi pemrosesan sinyal untuk menilai
hubungan antar komponen sinyal dan menangkap sinkronisasi sinyal seperti EEG. Dengan
mengukur korelasi antara semua frekuensi di dalam sinyal, analisis bispectral menghasilkan
aspek EEG tambahan pada aktifitas otak. Algoritma BIS dikembangkan untuk
menggabungkan gambaran EEG (bispectral dan lainnya) yang sangat berkorelasi dengan
sedasi / hypnosis. Pada lebih dari 5.000 orang dewasa yang diuji, gambaran EEG dicirikan
sebagai perubahan gelombang spektrum yang disebabkan anestesi adalah frekuensi dengan
nilai tinggi (14 sampai 30 Hz), jumlah sinkronisasi frekuensi rendah, periodenya hampir
tidak tampak dalam EEG, dan kemunculan periode rendah (yaitu, isoelektrik, "flatline")
dalam EEG. Algoritma ini memungkinkan kombinasi optimum gambaran EEG untuk
menyediakan parameter EEG yang diproses dengan tepat untuk melihat efek anestesi dan
sedative dengan Indeks BIS. Gambar 2.6: Algoritma BIS, yang dikembangkan melalui
pemodelan statistik, menggabungkan kontribusi masing-masing gambaran EEG sebagai
kunci untuk menghasilkan skala Indeks BIS .(Khafagy, 2012)
37

Gambar 2.6 EEG pada BIS

Sensor non-invasif memiliki perekat seperti pada EEG. Setelah diletakkan pada dahi
dan pelipis pasien dengan alkohol dan dilakukan pengeringan kulit untuk memastikan
didapatkan sinyal yang berkualitas, sensor diletakkan diatas pelipis kiri atau kanan. Sensor
kemudian mengirimkan informasi EEG mentah melalui kabel dan konverter ke mesin BIS.
Data EEG akan diproses sesuai dengan algoritma yang menggabungkan pilihan gambaran
EEG untuk menghasilkan indeks BIS. Indeks ini adalah angka Antara 0 dan 100 yang
ditampilkan dimonitor dan menggambarkan tingkat sedasi pasien. Nilai BIS antara 40 dan
60 menunjukkan tingkat yang sesuai untuk anestesi umum seperti yang direkomendasikan.
Inti dari BIS adalah mengolah sinyal kompleks (EEG), analisis dan proses hasilnya menjadi
satu nomor. (El Yacoubi M, 2008)
38

PET

% BMR 100 64 54 38

BIS 95 66 62 34

Gambar 2.7 Indeks BIS dikelompokkan untuk berkorelasi dengan titik akhir klinis
penting selama pemberian obat anestesi.

Gambar 2.8 Korelasi yang signifikan terlihat antara penurunan tingkat metabolisme otak (%
BMR = persen metabolisme glukosa awal seluruh otak yang diukur dari pemindaian PE T) dan
peningkatan efek anestesi (yang diukur dengan penurunan nilai BIS).

Pada akhirnya, penting untuk dicatat bahwa nilai BIS memberikan pengukuran status otak
yang berasal dari EEG, bukan konsentrasi obat tertentu. Sebagai contoh, nilai BIS menurun
selama tidur alami dan juga selama pemberian obat anestesi.(Lambert P,2011)
39

2.9 Kerangka Teori

Relaksasi

Anestesi Umum Analgetik

ISOFLURAN
Sedatif

Menghambat
Aminophylline pembentukan enzim PDE
Saluran nafas

Penumpakan cAMP

Bronkodilatasi saluran
nafas
Relaksasi otot polos
40

Adenosin
Pembuluh darah

Neuromodulator SISTEM
Soporik ( A2A, A1) SARAF

Dilatasi Pembuluh
Pulih Sadar darah

Gambar 2.9 Kerangka Teori

2.10 KERANGKA KONSEP

Aminophillyne
3 mg/kgBB

BIS
NaCl 0,9 %
( Normal Salinee)

= Variabel bebas

= Variabel tergantung
41

Gambar 2.10 Kerangka Konsep


42

BAB 3
METODE PENELITIAN

5 DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol dan tersamar ganda.
Untuk mengetahui efek pemberian Aminophylline intravena dalam mempercepat waktu
pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran berdasarkan bispectral index di
RSUP Haji Adam Malik Medan

6 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


6.1 Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan.

6.2 Waktu
Penelitian dimulai setelah mendapat ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) dan izin dari RSUP Haji Adam
Malik Medan diterbitkan sampai dengan jumlah sampel terpenuhi.

7 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN


7.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh subjek yang terjadwal secara elektif menjalani
laparotomi abdomen dengan teknik anestesi umum dengan inhalasi isofluran di RSUP Haji
Adam Malik.

7.2 Sampel
Sampel penelitian adalah populasi yang mememenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Sampel ini di bagi menjadi 2 kelompok yaitu :
a. Kelompok A menerima Aminophylline intravena 3 mg/KgBB dalam waktu 10 menit.
43

b. Kelompok B menerima cairan normal saline intravena yang volumenya sama dengan
jumlah volume Aminophylline pada kelompok A dalam waktu 10 menit.

8 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI


8.1 Kriteria Inklusi
1. Usia 19–60 tahun
2. Pasien yang menjalani pembedahan laparatomi yang lebih dari 2 jam
3. Pasien status fisik ASA 1 dan 2
4. Pasien bersedia untuk ikut serta dalam penelitian

8.2 Kriteria Eksklusi


1. Pasien dengan riwayat penggunaan Aminophylline dalam jangka waktu 4 - 5
hari
2. Pasien dengan riwayat aritmia jantung, kejang.

8.3 Kriteria Putus Uji (Drop Out)


1. Terjadi kegawatdaruratan jantung dan paru setelah pemberian Aminophylline
2. Terjadi reaksi alergi pasca penggunaan Aminophylline

9 BESAR SAMPEL
Estimasi besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus sebagai
berikut :

2 2  Z (1 / 2 )  Z (1  ) 
2

n1  n2 
 1   2  2

Dimana :

Z (1 / 2 ) = deviat baku alpha. utk  = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96
Z (1  ) = deviat baku alpha. utk  = 0,10 maka nilai baku normalnya 1.282
44

S d   = Standar deviasi waktu pulih sadar sebesar=4,2 menit(Kepustakaan)

1   2 = beda rerata yang bermakna ditetapkan sebesar = 1 menit

Maka sampel minimal untuk masing-masing kelompok sebanyak 17orang.

Dari perhitungan dengan rumus diatas, maka diperoleh besar sampel: n 1 = n2 = 17


orang ditambah 10% bila terjadi putus uji menjadi 20 orang per kelompok. Jadi jumlah
keseluruhan sampel dari kedua kelompok adalah 40 orang.

10 INFORMED CONSENT
Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FK USU,
pasien mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan
secara tertulis kesediaannya dalam lembar informed consent.

11 ALAT, BAHAN DAN CARA KERJA


11.1 Alat dan Bahan
1.1.1.1 Alat
a. Bispectral index monitoring device (IoC-View)
b. Alat monitor non invasif otomatik (tekanan darah, denyut jantung, frekuensi
nafas, EKG, saturasi oksigen) (Kontron)
c. Spuit 3 ml, 5 ml, 10 ml dan 20 ml ( Terumo)( R)
d. Laringoskop set (macinthos dan miller)
e. Pipa endotrakea 3(6.5, 7, 7.5) ukuran sesuai usia ( Aximed)
f. Kanul vena 18G, infus set, threeway ( Terumo)
g. Pencatat waktu (Jam )
h. Alat tulis dan formulir penelitian
i. Extention tube (hospitech)
j. Syringe pump (B-Braun)

1.1.1.2 Bahan
a. Obat premedikasi: midazolam 0,05 mg/kg dan fentanil 2mcg/kg.
b. Obat-obatan induksi anestesi umum: propofol 2 mg/kg, rocuronium 1 mg/kg
45

c. Obat pemeliharaan anestesi: isofluran 0,5-1 % dan O2 : Air 50 % : 50 %,


rocuronium 0,1-0,2 mg/kg setiap 20-30 menit, fentanil 0,5 mcg/kg bila tekanan
darah dan laju nadi meningkat >20% dari nilai basal.
d. Obat reversal Neostigmin 0,02 – 0,04 mg/kgBB + SA 0,01-0,02 mg/kgBB
e. Cairan: ringer laktat
f. Obat-obatan emergensi : efedrin 5 mg/ml dan sulfas atropin 0,25 mg/ml yang
sudah teraplus
g. Obat yang diteliti : Aminophylline (Phapros)
h. NaCl 0,9%

11.2 Cara Kerja


Persiapan Pasien dan Obat
1. Setelah disetujui Komite Etik Penelitian Kesehatan FK USU dan Komite Etik
Penelitian Kesehatan RSUP Haji Adam Malik Medan serta mendapat informed
consent, seluruh sampel dilakukan pengukuran PBW (Predicted Body Weight)
dan BMI kemudian subjek penelitian dimasukkan ke dalam kriteria inklusi dan
eksklusi.
2. Kepada pasien dijelaskan pada saat kunjungan pemeriksaan prabedah tentang
rencana tindakan pembiusan anestesi umum dan prosedur penelitian meliputi
pemantauan waktu pulih sadar menggunakan bispectral index pasca
pembedahan.
3. Sampel secara acak dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok A mendapat
Aminophylline intravena 3 mg/KgBB dalam waktu 10 menit. Kelompok B
menerima cairan normal saline intravena yang volumenya sama dengan jumlah
volume Aminophylline pada kelompok A dalam waktu 10 menit.
4. Randomisasi dilakukan dengan cara blok, masing-masing sekuens terdiri dari 6
subjek, dengan jumlah kemungkinan kombinasi sekuens sebanyak 20.
Kemudian dijatuhkan pena di atas angka random. Angka yang ditunjuk oleh
pena tadi merupakan nomor awal untuk menentukan sekuens yang sesuai.
Kemudian dipilih 7 pasangan angka di bawah dari pasangan angka pertama tadi
46

sehingga diperoleh jumlah sekuens yang sesuai dengan besar jumlah sampel.
Kemudian sekuens yang diperoleh disusun secara berurutan sesuai dengan
nomor amplop.
5. Obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi (peneliti tidak
mengetahui komposisi obat yang diberikan).

Pelaksanaan Penelitian
1. Setelah pasien tiba diruang tunggu kamar bedah, pasien diperiksa ulang
terhadap identitas, diagnosa, rencana tindakan pembiusan, akses infus (pastikan
telah terpasang infus dengan abocath 18G, threeway dan aliran infus lancar).
2. Kemudian pasien dibawa kekamar operasi, lalu dipasang alat monitor standar
(EKG, tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas, saturasi oksigen) dan BIS
3. Kedua kelompok pasien diberikan preloading cairan ringer laktat 10 ml/kgBB
4. Kedua kelompok dipersiapkan untuk dilakukan tindakan anestesi umum.
Premedikasi dengan fentanil 2 mcg/kg, midazolam 0,05 mg/kg, ditunggu onset 5
menit.
5. Pasien diinduksi dengan propofol 2 mg/kg, pelumpuh otot rocuronium 1 mg/kg,
setelah onset tercapai 1 menit, laringoskopi direk dilakukan dengan laringoskop
dan trakea diintubasi dengan pipa endotrakea yang sesuai ukuran.
6. Pembedahan dimulai, pemeliharaan sedasi menggunakan Isofluran,
pemeliharaan analgesi dengan fentanil sesuai respon hemodinamik, dan
pemeliharaan pelumpuh otot menggunakan rocuronium.
7. Selesai penjahitan kutis isofluran dihentikan. Setelah ada nafas spontan
diberikan reversal ( Neostigmin 0,02-0,04 mg/kgBB dan SA 0,01 – 0,02
mg/kgBB) dilanjutkan pada kelompok A diberikan Aminophylline intravena
dengan dosis 3 mg/KgBB yang diencerkan menjadi 20 cc dengan NaCl 0,9%
sedangkan kelompok pada B (kelompok kontrol) diberikan cairan normal saline
(NaCl 0,9%) yang volumenya sebanding dengan yang diberikan pada kelompok
A dengan menggunakan syringe pump.
47

8. Setelah masing-masing kelompok mendapat intervensi, kemudian diobservasi


dan dicatat berapa lama waktu pulih sadar pasien pada masing-masing individu
diantara kedua kelompok. Pasien pulih sadar apabila BIS bernilai > 90. Dan
dinilai saat pemberian Aminophylline sebagai T0, 5 menit (T1), 10 menit (T2),
15 menit (T3), 20 menit (T4), 25 menit (T5), dan 30 menit (T6)
9. Pasien kemudian diobservasi di ruang pemulihan dan dipindahkan keruang
rawatan.
10. Hasil data pengamatan pada kedua kelompok dibandingkan secara statistik
11. Penelitian dihentikan apabila subjek penelitian menolak untuk berpartisipasi
lebih lanjut, operasi memanjang sehingga dibutuhkan tambahan obat anestesi
umum, terjadi reaksi alergi terhadap Aminophylline dan terjadi
kegawatdaruratan jalan nafas, jantung, paru, otak yang mengancam jiwa.

12 IDENTIFIKASI VARIABEL
12.1 Variabel Bebas
a. Aminophylline intravena 3 mg/KgBB dalam waktu 10 menit.
b. Cairan normal saline intravena yang volumenya sama dengan jumlah volume
Aminophylline pada kelompok A dalam waktu 10 menit.

12.2 Variabel Tergantung


a. Nilai Bispectral Index

13 RENCANA MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA


a. Setelah seluruh data yang diperlukan telah terkumpul, data tersebut kemudian
diperiksa kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah.
Setelahnya diberikan coding pada data tersebut untuk memudahkan dalam
mentabulasi. Data ditabulasi ke dalam master tabel dengan menggunakan
software SPSS.
48

b. Data numerik ditampilkan dalam nilai rata-rata + SD (standard deviasi),


sedangkan data kategorik ditampilkan dalam jumlah (persentase).
c. Data demografi: Uji kenormalan data numerik digunakan uji fisher exact test,
sedangkan untuk data katagorik digunakan uji chi-square.
d. Hipotesa penelitian diuji dengan menggunakan uji Mann-Whitney test
e. Interval kepercayaan 95% dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna secara
signifikan.

14 DEFINISI OPERASIONAL
a. Waktu pulih sadar adalah bangun dari efek obat anestesi setelah proses
pembedahan dilakukan. Dalam penelitian ini pulih sadar bila BIS > 90.
b. General anestesi/anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel yang
mengubah status fisiologis tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran
(sedasi), hilangnya persepsi nyeri (analgesia), hilangnya memori (amnesia) dan
relaksasi. Beberapa substansi yang dapat menghasilkan keadaan anestesi umum
antara lain bersifat inert (xenon), anorganik (nitride oxide), inhalasi
hidrokarbon (Isofluran), dan struktur organik komplek (barbiturat). Dalam
penelitian ini general anestesi dilakukan dengan pemberian inhalasi isofluran.
c. Aminophylline merupakan senyawa methylxanthine yang dapat ditemukan pada
kopi dan teh, dimana senyawa ini secara parsial dapat melawan efek perubahan
perilaku dan hipnosis dari benzodiazepine. Dalam penelitian ini Aminophylline
yang diberikan pada pasien (kelompok intervensi) sebanyak 3 mg/KgBB secara
intravena.
d. Bispectral Index Score (BIS) adalah parameter elektroencephalogram baru yang
secara khusus dikembangkan untuk mengukur efek hipnosis dari anestesi.
Efekutama BIS yaitu untuk mengukur kedalaman anestesi dan berguna untuk
menyesuaikan dosis obat sedatif. Indeks BIS adalah angka antara 0 dan 100
diskalakan berkorelasi dengan titik akhir klinis yang penting dan keadaan EEG
selama pemberian obat anestesi. Nilai BIS > 90 mewakili keadaan klinis "pulih
49

sadar”.sedangkan indeks BIS 40-60 menandakan nilai sedasi yang baik selama
pembedahan.
e. Laparotomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor dengan cara
melakukan penyayatan pada lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan
organ dalam abdomen yang mengalami masalah, misalnya kanker, pendarahan,
obstruksi, dan perforasi.
f. Depresi pernapasan diartikan sebagai penurunan frekuensi pernapasan atau
penurunan kedalaman pernapasan dari basal yang dialami pasien dalam 24 jam
pascabedah. Dinilai dengan skor numerik yang terdiri dari 2 poin mulai dari 1
(tidak ada depresi napas), 2(ada depresi napas).
g. Kegawatdaruratan jantung dapat diartikan ketidak mampuan jantung untuk
memasok aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sampai
henti jantung
h. PBW (Predicted Body Weight) = Formulasi untuk menentukan perkiraan berat
badan.
PBW (Laki-laki) = 50 + 0,9 (Tinggi (cm) – 152,4)
PBW (Perempuan) = 45,5 + 0,9 (Tinggi (cm) – 152,4)
i. BMI = Body Mass Index = Indeks massa tubuh dimana untuk menentukan berat
badan ideal, berlebih maupun obesitas.
BMI = berat (kg) / tinggi (m)2.

Dibawah 18,5 Underweight / malnutrisi

18,5 – 24,9 Normal

25,0 – 29,9 Overweight

Diatas 30 Obesitas

15 MASALAH ETIKA
a. Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Komisi Etik Penelitian
Kesehatan FK USU dan dari RSUP Haji Adam Malik Medan.
50

b. Pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat serta resiko dan
hal yang terkait dengan penelitian. Kemudian diminta mengisi formulir
kesediaan menjadi subjek penelitian (informed consent).
c. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tindakan yang sudah
lazim dikerjakan terhadap pasien dan sebelum anestesi dan proses penelitian
dimulai, telah dipersiapkan alat-alat kegawatdaruratan (oro/nasopharyngeal
airway, ambu bag, sumber oksigen, laringoskopi, endotracheal tube ukuran
pasien, suction set), monitor (pulse oximetry, tekanan darah, EKG, laju
jantung), obat emergensi (efedrin, adrenalin, sulfas atropin, lidokain,
deksametason).
d. Jika terjadi hipotensi akibat tindakan anestesi umum, akan diatasi dengan
pemberian cairan / efedrin / vasokonstriktor / vasopresor.
51

16 Alur Penelitian

Populasi

Inklusi Eksklusi

Sampel

Randomisasi
Kelompok A Kelompok B
Sebelum induksi dilakukan BIS dipasangkan kepada pasien
GA-ETT  Preloading infus RL  Premedikasi  Induksi  Intubasi ETT. Pemeliharaan
sedasi menggunakan isoflurane, fentanyl dan pemeliharaan pelumpuh otot  Selama durante
operasi sampai pasien bangun tingkat kedalaman sedatif dinilai dengan menggunakan BIS
Selesai penjahitan kutis isofluran di hentikan dan setelah ada nafas spontan diberikan reversal neostigmin 0,02-
0,04 mg/kgBB dan SA 0,01-0,02 mg/KgBB diberikan aminophylline dicatat sebagai T0. Kemudian dinilai
tingkat sedasi dengan menggunakan BIS
Aminophylline 3mg/kgBB diberikan dengan alat NaCl 0,9% diberikan dengan alat Syringe Pump, kemudian
Syringe Pump dengan spuit 20cc kemudian dibalut dibalut dengan kertas. dengan spuit 20cc kemudian
dengan kertas dihabiskan dalam 10 ‘ dihabiskann dalam 10’

Penilaian Bispectral Index dengan waktu pulih sadar dengan metode BIS
5’(T1), 10’(T2), 15’(T3), 20’(T4), 25’(T5) dan 30’(T6)

Tabulasi Data

Gambar 3.11. Alur Penelitian


Nb: Pengenceran dan pemberian obat dilakukan oleh seorang relawan. Peneliti tidak
tahu obat apa yang diberikan. BIS dinilai selama durante dan 30 menit post
operasi .
DAFTAR PUSTAKA
52

Altan A, Turgut N, Yildiz F, Türkmen A, Ustün H. Effects of magnesium sulphate and


clonidine on propofol consumption, haemodynamics and postoperative recovery. Br J
Anaesth. 2015;94(4): 438-441.
Asciutto KC, Kalapotharakos G, Lofgren M, Hogberg T, Borgfeldt C. Robot-assisted surgery in
cervical cancer patients reduces the time to normal activities of daily living. Acta Obstet
Gynecol Scand. 2015;94(3):260–5. doi: 10.1111/aogs.12561. [PubMed: 25494915].
Avidan MS, Jacobsohn E, Glick D, Burnside BA, Zhang L, Villafranca A, Karl L, Kamal S, Torres
B, O’Connor M, Evers AS, Gradwohl S, Lin N, Palanca BJ, Mashour GA; BAG-RECALL
Research Group. Prevention of intraoperative awareness in a high-risk surgical population. N
Engl J Med 2011;365:591–600
Avidan MS, Mashour GA. Prevention of intraoperative awareness with explicit recall: making sense
of the evidence. Anesthesiology 2013;118:449–56
Bronco A, Ingelmo PM, Aprigliano M, Turella M, Sahillioglu E, Bucciero M, et al. Xenon
anaesthesia produces better early postoperative cognitive recovery than sevoflurane
anaesthesia. Eur J Anaesthesiol. 2010;27(10):912–6. doi: 10.1097 /EJA.
0b013e32833b652d. [PubMed: 20523212].
Chan MT, Cheng BC, Lee TM, Gin T; CODA Trial Group. BISguided anesthesia decreases
postoperative delirium and cognitive decline. J Neurosurg Anesthesiol 2013;25:33–42
Clark CJ, Boyd G. Combination of Aminophylline (Phyllocontin Continus tablets) and
salbutamol in the management of chronic obstructive airways disease. British J clin
pharmacol. 2012;9(4):359–64.
Datta S, Harlalka S, Pradhan A, Sil S, et al. Role of Ketamine, Levetiracetam and L-
Carnitine in Aminophylline Induced Seizure in Wister Rat Model. Am J Phytomed
ClinTherap. 2015;3(2):137– 44.
El Tahan MR. Effects of Aminophylline on cognitive recovery after sevoflurane anesthesia.
J Anesth. 2011;25(5):648–56. doi: 10.1007/s00540-011-1190-8. [PubMed: 21755342].
Fritz BA, Rao P, Mashour GA, Abdallah AB, Burnside BA, Jacobsohn E, Zhang L, Avidan MS.
Postoperative Recovery with Bispectral Index versus Anesthetic Concentration-guided
Protocols. Anesthesiology 2013;118:1113–22
53

Greening AP, Baillie E, Gribbin HR, Pride NB. Sustained release oral Aminophylline in
patients with airflow obstruction. Thorax. 2011;36(4):303–7. [PubMed: 7025336].
Harsten A, Kehlet H, Toksvig-Larsen S. Recovery after total intravenous general anaesthesia or
spinal anaesthesia for total knee arthroplasty: a randomized trial. Br J Anaesth 2013 Apr 11.
[Epub ahead of print]
Hupfl M, Schmatzer I, Buzath A, Burger H, Horauf K, Ihra G, et al. The effects of
Aminophylline on bispectral index during inhalational and total intravenous
anaesthesia. Anaesthesia. 2012;63(6):583–7. doi: 10.1111/j.1365-2044.2008.05445.x.
[PubMed: 18279487].
Leslie K, Myles PS, Forbes A, Chan MT. The effect of bispectral index monitoring on long-term
survival in the B-aware trial. Anesth Analg 2010;110:816–22
Lewis LD, Weiner VS, Mukamel EA, Donoghue JA, Eskandar EN, Madsen JR, Anderson WS,
Hochberg LR, Cash SS, Brown EN, Purdon PL. Rapid fragmentation of neuronal networks at
the onset of propofol-induced unconsciousness. Proc Natl Acad Sci U S A 2012;109:E3377–86
Khafagy HF, Ebied RS, Osman ES, Ali MZ, Samhan YM. Perioperative effects of various
anesthetic adjuvants with TIVA guided by bispectral index. Korean J Anesthesiol.
2012;63(2):113-119. doi: 10.4097/kjae.2012.63.2.113.
Kertai MD, Pal N, Palanca BJ, Lin N, Searleman SA, Zhang L, Burnside BA, Finkel KJ, Avidan
MS; B-Unaware Study Group. Association of perioperative risk factors and cumulative
duration of low bispectral index with intermediate-term mortality after cardiac surgery in the
B-Unaware Trial. Anesthesiology 2010;112:1116–27
Kertai MD, Palanca BJ, Pal N, Burnside BA, Zhang L, Sadiq F, Finkel KJ, Avidan MS; B-Unaware
Study Group. Bispectral index monitoring, duration of bispectral index below 45, patient risk
factors, and intermediate-term mortality after noncardiac surgery in the B-Unaware Trial.
Anesthesiology 2011;114:545–56
Khafagy HF, Ebied RS, Osman ES, Ali MZ, Samhan YM. Perioperative effects of various
anesthetic adjuvants with TIVA guided by bispectral index. Korean J Anesthesiol.
2012;63(2):113-119. doi: 10.4097/kjae.2012.63.2.113
Ku SW, Lee U, Noh GJ, Jun IG, Mashour GA. Preferential inhibition of frontal-to-parietal feedback
connectivity is a neurophysiologic correlate of general anesthesia in surgical patients. PLoS
One 2011;6:e25155
54

Liu X, Li S, Wang B, An L, Ren X, Wu H. Intraoperative and postoperative anaesthetic and


analgesic effect of multipoint transcutaneous electrical acupuncture stimulation combined with
sufentanil anaesthesia in patients undergoing supratentorial craniotomy. Acupuncture Med.
2015;33(4):270–6.
Mashour GA, Shanks A, Tremper KK, Kheterpal S, Turner CR, Ramachandran SK, Picton P,
Schueller C, Morris M, Vandervest JC, Lin N, Avidan MS. Prevention of intraoperative
awareness with explicit recall in an unselected surgical population: a randomized comparative
effectiveness trial. Anesthesiology 2012;117:717–25
Mason SE, Noel-Storr A, Ritchie CW. The impact of general and regional anesthesia on the
incidence of post-operative cognitive dysfunction and post-operative delirium: a systematic
review with meta-analysis. J Alzheimers Dis 2010;22 Suppl 3:67–79
Pandit JJ, Cook TM. National Institute for Clinical Excellence guidance on measuring depth of
anaesthesia: limitations of EEG-based technology. Br J Anaesth 2013;110:325–8
Pandit JJ, Cook TM, Jonker WR, O’Sullivan E; 5th National Audit Project (NAP5) of the Royal
College of Anaesthetists and the Association of Anaesthetists of Great Britain, Ireland. A
national survey of anaesthetists (NAP5 baseline) to estimate an annual incidence of accidental
awareness during general anaesthesia in the UK. Br J Anaesth 2013;110:501–9
Porkka-Heiskanen T. Adenosine in sleep and wakefulness. Ann Med. 2011;31(2):125–9.
[PubMed: 10344585].
Pal M, Roy U, Datta S, Harlalka S, Pradhan A, Sil S, et al. Role of Ketamine, Levetiracetam and L-
Carnitine in Aminophylline Induced Seizure in Wister Rat Model. Am J Phytomed ClinTherap.
2015;3(2):137– 44.
Purdon PL, Pierce ET, Mukamel EA, Prerau MJ, Walsh JL, Wong KF, Salazar-Gomez AF, Harrell
PG, Sampson AL, Cimenser A, Ching S, Kopell NJ, Tavares-Stoeckel C, Habeeb K, Merhar R,
Brown EN. Electroencephalogram signatures of loss and recovery of consciousness from
propofol. Proc Natl Acad Sci U S A 2013;110:E1142–51
Puri GD, Murthy SS. Bispectral index monitoring in patients undergoing cardiac surgery
under cardiopulmonary bypass. Eur J Anaesthesiol. 2013 Jun;20(6):451-6.
Radtke FM, Franck M, Lendner J, Kruger S, Wernecke KD, Spies CD. Monitoring depth of
anaesthesia in a randomized trial decreases the rate of postoperative delirium but not
postoperative cognitive dysfunction Br J Anaesth: epub ahead of print 28 March, 2013.
Ribeiro JA, Sebastiao AM. Caffeine and Adenosine. J Alzheimer’s Dis. 2010;20(Suppl 1):S3-15.
doi: 10.3233/ JAD-2010-1379
55

Sessler DI, Sigl JC, Kelley SD, Chamoun NG, Manberg PJ, Saager L, Kurz A, Greenwald S.
Hospital stay and mortality are increased in patients having a “triple low” of low blood
pressure, low bispectral index, and low minimum alveolar concentration of volatile anesthesia.
Anesthesiology 2012;116:1195–203
Turan A, Kasuya Y, Govinda R, Obal D, Rauch S, Dalton JE, et al. The effect of
Aminophylline on Loss of Consciousness, Bispectral Index, Propofol Requirement,
and Minimum Alveolar Concentration of Desflurane in Volunteers. Anesth Analg.
2010;110(2):449–54. doi: 10.1213/ANE.0b013e3181c6be7e. [PubMed: 19955506]. 16.
Pal M, Roy U,
Turan A, Kasuya Y, Govinda R, Obal D, Rauch S, Dalton JE, et al. The Effect of
Aminophylline on Loss of Consciousness, Bispectral Index, Propofol Requirement,
and Minimum Alveolar Concentration of Desflurane in Volunteers. Anesth Analg.
2010;110(2):449-454. doi: 10.1213/ ANE.0b013e3181c6be7e
Turan A, Kasuya Y, Govinda R, Obal D, Rauch S, Dalton JE, et al. The effect of aminophylline on
loss of consciousness, bispectral index, propofol requirement, and minimum alveolar
concentration of desflurane in volunteers. Anesth Analg. 2010;110(2):449–54. doi:
10.1213/ANE.0b013e3181c6be7e. [PubMed: 19955506].
Whitlock EL, Villafranca AJ, Lin N, Palanca BJ, Jacobsohn E, Finkel KJ, Zhang L, Burnside BA,
Kaiser HA, Evers AS, Avidan MS. Relationship between bispectral index values and volatile
anesthetic concentrations during the maintenance phase of anesthesia in the B-Unaware trial.
Anesthesiology 2011;115:1209–18
Yokoba M, Ichikawa T, Takakura A, Ishii N, Kurosaki Y, Yamada Y, et al. Aminophylline
increases respiratory muscle activity during hypercapnia in humans. Pulm Pharmacol
Ther. 2015;30:96–101. doi: 10.1016/j.pupt.2014.03.006. [PubMed: 24721495].
Zhang C, Xu L, Ma YQ, Sun YX, Li YH, Zhang L, Feng CS, Luo B, Zhao ZL, Guo JR, Jin YJ, Wu
G, Yuan W, Yuan ZG, Yue Y. Bispectral index monitoring prevent awareness during total
intravenous anesthesia: a prospective, randomized, doubleblinded, multi-center controlled trial.
Chin Med J (Engl) 2011;124:3664–9
Zakeri R, Patel H, Rao J, Edwards J, Socci L. Enhanced recovery after thoracic surgery: Outcomes
following implementation of a tailored eras pathway in a tertiary centre. Int J Surg.
2015;23:S34–5
56

Anda mungkin juga menyukai