Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kuretase merupakan salah satu prosedur obstetrik dan ginekologi yang sering dilakukan.

Baik untuk pengosongan sisa konsepsi dari kavum uteri akibat abortus. Ataupun untuk
mengetahui kelainan perdarahan uterus pada kasus ginekologi. Prosedur ini berlangsung dalam
waktu singkat. Kasus yang membutuhkan tindakan kuretase bermacam-macam, diantaranya
abortus, blighted ovum, plasenta rest, dan hamil anggur. Ada juga kasus kuret yang ditujukan
untuk diagnostik seperti biopsi endometrium.
Diantara kasus kebidanan yang paling banyak memerlukan kuret diantaranya adalah
abortus. Menurut data resmi WHO (1994) abortus terjadi pada 10% dari seluruh kehamilan.1 Di
Inggris, setiap tahunnya ada 185.000 kasus induced abortion setiap tahun dan 11.500 kasus di
Skotlandia.2 Di Indonesia sendiri diperkirakan ada lima juta kehamilan pertahun, dimana 10-15%
diantaranya atau sekitar 500.000-750.000 mengalami abortus setiap tahun.3 Dan frekuensinya
terus meningkat setiap tahun.
Studi-studi terkini melaporkan 97% wanita merasakan nyeri mulai dari intensitas yang
ringan sampai dengan berat selama dan setelah abortus berlangsung.4 Tindakan pencegahan atau
menghilangkan rasa nyeri yang berhubungan dengan dilatasi kuretase ini bisa dilakukan dengan
anestesi umum maupun anestesi lokal. Dan seiring dengan perkembangan waktu semakin banyak
yang dikerjakan setelah diberikan anestesi terlebih dahulu.
Dahulu kuretase sering menggunakan anestesi dengan blok paraservikal maupun
intraservical. Namun, hal ini mulai ditinggalkan karena seringnya saat injeksi anestesi lokal
menjadi periode nyeri paling hebat dari seluruh rangkaian prosedur dilatasi dan kuretase. Hal ini
ditambah ketidaknyamanan pasien dengan tindakan tersebut dan kesuksesan tindakan ini sangat
dipengaruhi skill dari operator yang melakukan blok paraservical tersebut. Beberapa penelitian
bahkan menunjukkan meskipun sudah diblok paraservical tetap saja sekitar 21.3-50% pasien
mengeluhkan nyeri hebat pada saat kuretase berlangsung.5 Hal ini dikarenakan inervasi uteri
bagian atas tidak termasuk dalam daerah yang terblok dengan blok paraservikal maupun
intraservikal.6
1

Salah satu komplikasi kuretase adalah perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus ke
rongga peritoneum, ke ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh sebab itu, letak uterus
harus ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada awal tindakan, dan pada dilatasi serviks
tidak boleh digunakan tekanan berlebihan. Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis.7
Pranom et al. (2005) dalam penelitiannya membandingkan penggunaan asam mefenamat
oral 500 mg dua jam sebelum kuretase dan penggunaan paraservical blok untuk mengatasi nyeri
pada prosedur kuretase. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa skala nyeri maksimum
(menggunakan VAS 1-10) yang dialami pasien berkisar 7.5 dengan asam mefenamat dan 6.5
dengan paraservical blok. Dan setelah prosedur selesai pasien tetap mengalami nyeri meskipun
berkurang kadarnya. Belum lagi rasa kebas (numbness) yang dialami kelompok pasien dengan
blok paraservical. 5
Arifin tahun 2009 membandingkan efek analgetika kombinasi blok paraservikal dengan
ketoprofen dengan blok pareservikal dengan placebo pada tindakan kuretase. Yang menjadi latar
belakang pada penelitian ini bahwa inervasi fundus uteri berbeda dengan inervasi daerah servik
uteri. Sehingga rasa mulas akibat pelepasan prostaglandin di bagian fundus tidak bisa diblok oleh
anestesi blok paraservikal.6
Sirirat (2008) dalam penelitiannya membandingkan antara pasien yang diberi injeksi
petidin dengan yang diberikan paraservikal blok untuk anestesi kuretase. Hasil penelitiannya
menunjukkan injeksi petidin lebih efektif dalam menghilangkan nyeri dibandingkan dengan
paraservical blok.8
Sehingga dalam perkembangannya di kemudian hari anestesi kuretase lebih banyak
digunakan dengan menggunakan jalur intravena. Hal ini memunculkan kebutuhan untuk mencari
kombinasi obat anestesi yang dapat menghadirkan anestesi yang cepat mula kerjanya dengan
waktu pulih yang singkat dan memberikan kenyamanan serta analgesi yang adekuat.
Prosedur yang singkat ini memerlukan teknik anestesi yang dapat menghasilkan waktu
pulih yang singkat tetapi dengan tingkat sedasi dan analgesi yang adekuat sehingga TIVA
menjadi pilihan yang lebih sering digunakan dibandingkan inhalasi mengingat kemudahan
fasilitas pengadaan dan waktu pulih yang lebih singkat dibanding teknik inhalasi. Pada penelitian
yang membandingkan antara propofol dan sevofluran dalam kombinasi dengan N2O untuk
anestesi ambulatory didapati penggunaan propofol-N2O menghasilkan karakteristik pulih sadar
yang lebih cepat, kepuasan pasien lebih tinggi, dan biaya yang lebih rendah.9
2

Propofol adalah sedative hipnotik non barbiturate yang mulai berkembang penggunaanya
di Eropa sekitar tahun 1970 dan secara bertahap penggunaannya digunakan oleh ahli anestesi di
Amerika Serikat lebih dari dua dekade ini. Penggunaannya populer di Instalasi Gawat Darurat
sebagai bagian dari agen untuk prosedur yang membutuhkan sedasi dan analgesi. Propofol lebih
dipilih karena profil farmakokinetiknya dengan mula kerja obat yang cepat dan waktu pulih yang
singkat. Keunggulan lainnya adalah fungsinya sebagai antiemetic, anti kejang, dan amnesia
agen.10
Disamping kelebihan- kelebihan diatas, propofol juga mempunyai kekurangankekurangan, yaitu dapat menyebabkan penurunan tekanan darah arteri, penurunan denyut
jantung, depresi pernafasan, sampai henti nafas. Propofol menyebabkan penurunan tekanan
darah sistolik berkisar 25-40%. Mekanisme penurunan tekanan darah ini disebabkan oleh efek
inotropik negatif dan relaksasi dari otot polos pembuluh darah.10,11
Propofol sebagai agen anestesi dikatakan lack of analgesia. Karena itu apabila digunakan
sendiri akan menjadi inefektif karena masih akan timbul pergerakan atau menarik diri pada saat
prosedur berlangsung.12 Sehingga dalam penggunaanya, propofol sering dikombinasikan dengan
analgesik, seperti golongan opioid, maupun ketamin dosis rendah.13
Fentanil digunakan secara luas untuk anestesi total intravena saat ini. Fentanil merupakan
opioid sintetik dengan seratus kali lebih poten dari morfin sebagai analgesik, dan sebagai bagaian
dari anestesi berimbang, obat ini menghilangkan nyeri, mengurangi respon somatik dan
autonomic terhadap manipulasi airway, dengan hemodinamik yang lebih stabil dengan mula
kerja yang cepat dan durasi kerja yang singkat. Tetapi disamping itu kelemahannya adalah
mempengaruh ventilasi pernafasan dan mual muntah pasca operasi.13
Obat lain yang sering dikombinasi dengan propofol adalah ketamin. Obat ini merupakan
anlagesik poten, dengan efek anestesi dan analgesi dengan mekanisme kerja yang berbeda.
Keuntungan ketamin adalah rentang batas keamanan yang tinggi, tidak mengiritasi vena dan
berefek negatif pada ventilasi pernafasan maupun sirkulasi. Kelemahan ketamin yang utama ada
emergence delirium, yang tampaknya bisa dihilangkan bila digunakan bersama propofol.13
Ketamin dalam dosis sub hipnotik pada dosis 0.1-0.5 mg/kg diketahui memiliki efek sedasi yang
memuaskan dengan daya analgesik sehingga efektif apabila digabungkan dengan sedasi
propofol.11

Penelitian Hamdani et al. (1999) menyimpulkan tidak ada perbedaan statistik yang
signifikan antara kombinasi propofol fentanil dan propofol ketamin sebagai agen anestesi
intravena baik pada efikasi maupun toleransi pada prosedur ginekologik minor. Selain itu dari
hasil penelitian ini juga didapati dosis ketamin 0.3 mg/kg tidak cukup sebagai analgesia pada
prosedur ini.14
Motoko dkk.(2001) menggunakan propofol 0,8mg/kg dan ketamin 0,7 mg/kg untuk
prosedur dilatasi dan kuretase mendapati pergerakan tubuh yang sering.15
Aynur Akin (2005) meneliti perbandingan propofol 1 mg/kg dan ketamin 0.5 mg/kg
dengan propofol 1mg/kg dan fentanil 1g/kg dan didapati mual,vertigo dan pandangan kabur
lebih banyak pada grup propofol 1 mg/kg dan ketamin 0.5 mg/kg dan waktu pulih lebih singkat
pada grup propofol fentanil. Tetapi penelitian ini tidak membahas mengenai rasa nyeri ataupun
banyak tidaknya pergerakan tubuh pada saat tindakan berlangsung.16
Castillo et al. (2004) dalam penelitiannya menggunakan beberapa dosis remifentanil ( 0,5
g/kg, 1,0 g/kg dan 1,5 g/kg) dengan propofol (2 mg/kg) untuk menilai respon stress
pembedahan pada proses dilatasi dan kuretase. Jika laju nadi naik 15% dari preoperasi, tekanan
darah sistolik lebih dari 15% preoperasi, serta banyak pergerakan dari ekstremitas, mata terbuka,
atau meringis, dan berkeringat, serta menangis maka diberi tambahan bolus remifentanil 0,25
g/kg setiap menit jika diperlukan. Rumatan anestesi dengan 60% N2O dalam O2 dengan masker
12 L/menit. Penelitian dengan kelompok dosis remifentanil 0,5 g/kg tidak dilanjutkan karena
dalam perjalanan penelitian dosis ini tidak cukup untuk melawan respon stimulus pembedahan.
Sehingga oleh peneliti dianggap tidak etis dan hanya dosis 1,0 g/kg dan 1,5 g/kg yang
diberikan. Hasil penelitian memberikan bahwa dosis 1,5 g/kg lebih baik untuk mencegah
respon stimulus pembedahan, waktu pulih yang lebih singkat, tambahan remifentanil tidak
diperlukan. Tapi peneliti juga mencatat kejadian henti nafas yang terjadi hingga 50% pada
kelompok 1,5 g/kg (16). Penilaian nyeri dilakukan saat akan meninggalkan kamar operasi
dengan Verbal Pain Scale.17
Mahajan dkk. (2010) meneliti perbandingan fentanil (2/kg) dan ketamin (1mg/kg)
dengan propofol ( 2 mg/kg) untuk operasi yang berlangsung singkat (kurang dari satu jam) dan
menyimpulkan bahwa baik ketamin maupun fentanil sama dalam hal hemodinamik dan waktu
pulih bila digabung dengan propofol untuk operasi singkat.13

Penelitian David et al. (2008) menyimpulkan ketamin dosis rendah (0.3 mg.kg) lebih
aman daripada fentanil (1.5g/kg) pada prosedur sedasi analgesi di IGD dengan propofol dan
memiliki efikasi yang serupa dalam hal adekuasi sedasi dan analgesia serta waktu pulih.
Penilaian nyeri dilakukan dengan Visual Analogue Scale (VAS) sebelum prosedur dan saat
prosedur. Dan nyeri saat prosedur ditanyakan sesudah prosedur selesai. Akan tetapi dalam
diskusi limitasi penelitian hal ini diungkapkan ada kelemahan, karena pasien tidak mampu
mengingat kejadian tersebut. Disamping itu dilaporkan juga mengenai kepuasan operator
anestesi mengenai adekuatnya sedasi analgesia hanya berkisar 6-7,6 (digunakan skala 1-10
dengan nilai 10 sebagai sangat memuaskan.11
Smita Lisa (2005) dalam penelitiannya melaporkan pada kasus debridement luka bakar,
tidak dijumpai henti nafas dan hipoventilasi serta analgesia pasca operasi yang lebih lama pada
grup propofol dengan ketamin (0.5 mg/kg) dibandingkan dengan grup propofol dengan fentanil
(2 /kg) (15). Pada penelitian ini nyeri dinilai dengan VAS sebelum dan sesudah prosedur.18
Hasil berbeda dikemukakan Vallejo dkk. (2002) yang meneliti perbandingan propofol
dengan ketamin (1-1.5 mg/kg) dibandingkan propofol dengan fentanil (3-5 /kg) untuk prosedur
laparascopy ligasi tuba uteri dengan anestesi umum pada pasien one day care dan didapati bahwa
pada grup propofol ketamin memiliki laju nadi yang lebih cepat, membutuhkan obat penghilang
rasa sakit lebih banyak, dan frekuensi bermimpi lebih banyak dibandingkan grup propofol
fentanil. Sehingga disimpulkan dalam penelitian ini bahwa penggunaan propofol ketamin tidak
memperbaiki analgesi, mual muntah pasca operasi dan waktu pulih dibandingkan dengan
penggunaan propofol fentanil.19
Senada dengan Vallejo dkk. (2002), Loh G (2007) melakukan pengkajian terhadap
sebelas penelitian mengenai penggunaan propofol dengan ketamin dosis rendah secara intravena.
Dari hasil pengkajian didapati kombinasi propofol ketamin, meskipun lebih sedikit pasien yang
mengalami hemodinamik yang tidak stabil pada kenyataannya pasien yang mendapat ketamin
dosis rendah lebih tinggi, dilaporkan memiliki peningkatan insidensi mual, muntah, dan
emergence reaction. Hanya sedikit hasil penelitian yang menggambarkan rating kepuasan pasien
pasca prosedur dan efek kombinasi propofol ketamin terhadap kriteria keluar dari ruang pulih
sadar tepat waktu belum bisa disimpulkan. Sehingga hasil pengkajian oleh Loh G ini
menyimpulkan masih belum ada cukup bukti untuk merekomendasikan penggunaan ketamin
dosis rendah dengan propofol untuk prosedur sedasi di Instalasi Gawat Darurat.20
5

Sejumlah penelitian diatas menggunakan propofol dalam berbagai dosis dan cara
pemberian, apakah melalui bolus atau titrasi. Castillo tahun 2004 menggunakan propofol dengan
cara bolus 2 mg/kgBB intravena pada kasus kuretase. Untuk analgetiknya digunakan
remifentanil yang dibolus dengan besar dosis sesuai dengan kelompok penelitian. Alasan
penggunaan bolus dikarenakan dilatasi dan kuretase merupakan prosedur yang sangat singkat,
dan sesuai dengan waktu paruh remifentanil yang singkatme dan penggunaan infusion dianggap
tidak rasional secara ekonomi. Selain itu penggunaan teknik bolus lebih sesuai, lebih mudah,
lebih murah, dan lebih praktis untuk prosedur yang sangat singkat ini.17 Penggunaan dosis
propofol 2mg/kgBB juga dipilih oleh Mahajan et al (2010) yang memilih berdasarkan dosis
induksi.13 Penelitian Smita Lisa (2005) mendapatkan dosis rata-rata propofol yang dibutuhkan
untuk induksi anestesi total intravena pada debridement berkisar 1,62- 2,02 mg/kgBB.18
Sehingga peneliti memilih untuk menggunakan propofol dosis 2 mg/kgBB untuk induksi.
Fentanil memiliki berbagai variasi dosis, akan tetapi untuk analgesia dalam Stoelting
(2006) dapat berkisar pada 1-2 g/kgBB. Propofol sering dikombinasikan dengan fentanil
dengan rentang dosis 1-2 g/kgBB dalam prosedur sedasi analgesia.
Analgesia dari kelas opioid memilik kelemahan karena memiliki efek samping mendepresi
pernafasan. Dosis fentanil yang lebih besar sering menyebabkan efek samping hipoventilasi
hingga henti nafas. Penelitian Castillo menggunakan remifentanil dengan dosis 1,5 g/kgBB
mendapatkan efek analgesi yang optimal akan tetapi efek samping henti nafas yang mencapai
50% dari kelompok subjek penelitian. Disisi lain Castillo juga meneliti dengan remifentannil
dosis 0,5 g/kgBB, akan tetapi kelompok grup ini tidak dilanjutkan. Hal ini dikarenakan dalam
pelaksanaanya dosis itu tidak mampu menghilangkan rasa nyeri akibat stimulus nyeri kuretase.
Penelitian Smita Lisa menggunakan dosis fentanil 2g/kgBB akan tetapi insidensi henti nafas
mencapai 22%. Sehingga peneliti mengambil dosis fentanil 1 g/kgBB sebagai salah satu
kelompok penelitian. Dipilihnya dosis ini dengan harapan dosis analgetik bekerja maksimal dan
efek samping hipoventilasi bisa dihindari.
Ketamin dosis rendah atau sering juga dikatakan dosis subanestetik sebagai analgetik
sudah banyak diteliti. Dosis ketamin sebagai analgetik ini bervariasi. Stoelting tahun 2006
menuliskan dosis 0,2 hingga 0,5 mg/kgBB intravena sebagai dosis subanestetik. Selain itu
rentang dosis ketamin 0,1-0,5 mg/kgBB juga dinyatakan memiliki efek analgetik pada penelitian
David (2008) dan Suwarman (2007).11,21 Dari penelitian Hamdani didapati dosis 0,3 mg/kgBB
6

intravena tidak cukup sebagai analgetik pada prosedur ginekologik minor. Aynur Akin (2005)
telah menggunakan dosis ketamin 0,5 mg/kgBB intravena akan tetapi dalam prosedur sedasi
biosi endometrium. Akan tetapi dalam pengukurannya tidak memperhitungkan masalah nyeri.
Sehingga peneliti berkeinginan untuk meneliti dosis ketamin 0,5 mg/kgBB intravena sebagai
analgetik dalam kasus kuretase kebidanan.
Sebagai gambaran, sebuah studi pendahuluan telah dilaksanakan peneliti dengan
menggunakan propofol 2 mg/kgBB intravena dikombinasi dengan fentanil 1 g/kgBB intravena
(grup PF) dibandingkan dalam hal analgesi dengan kombinasi propofol 2 mg/kgBB dengan
ketamin 0,5 mg/kgBB intravena (grup PK) pada kasus kuretase kebidanan. Skala nyeri pada saat
tindakan diukur dengan Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS). Skor CBNPS
dengan rentang hasil 0-5 yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri dengan skor semakin tinggi.
Studi pendahuluan dilakukan dengan sampel tiap grup sebanyak 10 subjek. Hasilnya didapati
pada grup PF memiliki skor CBNPS sama dengan 0 sebanyak 60% dan grup PK 40% yang
memiliki skor 0. Akan tetapi mengingat jumlah sampel yang sangat terbahfnmtas maka hal ini
belum bisa dijadikan acuan.
Berdasarkan berbagai hasil penelitian dan latar belakang diatas, peneliti berkeinginan
meneliti lagi untuk menilai efek analgetik terhadap kombinasi propofol (2 mg/kgBB) dengan
ketamin (0.5 mg/kgBB) dan dengan fentanil (1g/kgBB) pada tindakan dilatasi dan kuretase
dengan anestesi total intravena dengan alasan :
1. Kasus kuretase bertambah banyak setiap tahunnya. Sedangkan penelitian yang secara khusus
mengenai anestesi total intravena pada prosedur ini tidak banyak.
2. Dari beberapa penelitian diatas mengungkapkan masih perlunya dilakukan penelitian lagi
terhadap efek analgesi antara kedua kombinasi. Karena kebanyakan menilai skala nyeri
sesudah prosedur berlangsung, padahal prosedur nyeri ini terjadi pada saat pasien tersedasi.
Sehingga diperlukan penilaian skala nyeri dari pengamatan terhadap tingkah laku pasien dan
dibandingkan dengan self reported oleh pasien sesudah pulih dari pembiusan.
3. Dari beberapa penelitian diatas mengungkapkan masih perlunya dilakukan penelitian lagi
terhadap karakteristik waktu pulih antara kedua kombinasi obat pada dosis yang telah
ditentukan. Hal ini dilakukan karena dari berbagai penelitian yang dilakukan juga belum
mendapatkan hasil yang seragam pada kedua kombinasi. Sehingga perlu dicantumkan juga

mengenai karakteristik waktu pulih termasuk efek-efek samping yang terjadi sesudah selesai
tindakan anestesi.
4. Keinginan peneliti untuk menemukan kombinasi mana yang lebih efektif jika digunakan
dalam setting prosedur kuretase di Indonesia khususnya di Sumatera Utara
1.2

Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan efek analgesi saat pasien tersedasi pada kombinasi propofol (2

mg/kgBB) dengan fentanil (1g/kgBB) dan dengan ketamin (0.5 mg/kgBB) pada pasien dengan
tindakan kuretase kebidanan dengan anestesi total intravena?

1.3

Hipotesa
Ada perbedaan efek analgesi pada pasien kuretase kebidanan dengan anestesi total

intravena dengan kombinasi propofol (2 mg/kgBB) dengan fentanil (1 g/kgBB) dan dengan
ketamin (0.5 mg/kgBB).
1.4

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk memperoleh kombinasi obat yang lebih efektif dalam anestesi total intravena pada
prosedur dilatasi dan kuretase kebidanan
Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran derajat analgesia antara kombinasi propofol fentanil dan
propofol ketamin pada waktu tersedasi dan setelah pulih pada prosedur dilatasi dan kuretase
kebidanan dengan anestesi total intravena.
2. Untuk mengetahui perbandingan waktu pulih antara kombinasi propofol fentanil dan
propofol ketamin pada prosedur dilatasi dan kuretase kebidanan dengan anestesi total
intravena.
3. Untuk mengetahui perbandingan timbulnya halusinasi dan mual muntah paska operasi
antara kombinasi propofol fentanil dan propofol ketamin pada prosedur dilatasi dan kuretase
kebidanan dengan anestesi total intravena.
4. Untuk mengetahui perbandingan perubahan tekanan darah, laju nafas dan laju nadi dengan
kombinasi propofol ketamin dan propofol fentanil pada prosedur dilatasi dan kuretase
kebidanan dengan anestesi total intravena.

1.5

Manfaat Penelitian

1.5.1

Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan tambahan
dalam penelitian lanjutan tentang kombinasi anestesi total intravena dalam prosedur
dilatasi kuretase kebidanan.

1.5.2

Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan sebagai acuan dalam pemilihan kombinasi
anestesi total intravena dalam prosedur operasi singkat terutama pada kasus kuretase
terutama untuk pasien yanng direncanakan One Day Care Surgery

Anda mungkin juga menyukai