Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif

dan irreverssible, kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan

uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer, S. C.,

& Bare, B. G, 2013). Gagal ginjal dikatakan jika glomerulus filtration rate

(GFR) secara mendadak berkurang sebesar 50% atau lebih, kasus gagal

ginjal kronis setiap tahun mengalami peningkatan terutama di Negara-

negara berkembang, gagal ginjal kronis telah menjadi masalah utama

kesehatan diseluruh dunia, yang disebabkan oleh diabetes melitus,

hipertensi, glomerulusnefritis dan penyakit ginjal lainnya (LeMone, P.,

Burke, K., & Bauldoff, G, 2016).

Gagal ginjal kronis saat ini menjadi salah satu penyakit yang banyak

terjadi didunia termasuk Indonesia. Jumlah kasus End-Stage Renal Disease

(ESRD) yang lazim terus meningkat sekitar 20.000 kasus per tahun dengan

total pasien 746,557 sebanyak 14.5 % pasien yang dirawat diseluruh dunia,

prevalensi terstandarisasi usia-jenis kelamin dari ESRD terus meningkat

sejak 2006 (USRDS, 2019). Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis

berdasarkan diganosis dokter pada penduduk > 15 tahun di Indonesia

sebanyak 3,8 % dengan total 499.800 orang. Jumlah penderita gagal ginjal

kronis terendah pada usia 15-24 tahun sebanyak 1,3%, prevalensi gagal
2

ginjal selalu mengalami kenaikan dengan seiring bertambahnya usia yaitu

55-64 tahun sebanyak 7,21%, pada usia 65-74 tahun sebanyak 8,23% dan 75

tahun keatas sebanyak 7,48%. Berdasarkan jenis kelamin penderita laki-laki

lebih banyak dibandingkan dengan perempuan yaitu laki-laki sebanyak

4,17% dan 3,52% perempuan. Prevalensi lebih tinggi terjadi pada penduduk

kota sebanyak 3,85% sedangkan 3,84% penduduk desa. Prevalensi lebih

banyak diderita oleh orang yang belum atau tidak pernah sekolah 5,73% dan

2,38% lulusan SLTP/MTS sedangkan lihat dari pekerjaannya penderita

gagal ginjal kronis paling banyak pada orang-orang yang sudah tidak

bekerja yaitu 4,76%. Tercatat data prevalensi yang pernah atau sedang

mengalami cuci darah terbanyak ada di daerah DKI yaitu 38,7%, Bali dan

Jabar sebanyak 19,3%. Jabar menempati urutan ke 8 dari 33 Provinsi pada

tahun 2018 (Riskesdas, 2018).

Pasien gagal ginjal kronis harus dilakukan hemodialisis untuk

menurunkan risiko kerusakan organ-organ vital lainnya akibat akumulasi zat

toksik dalam sirkulasi, tetapi tindakan hemodialisis tidak menyembuhkan

atau mengembalikan fungsi organ secara peramanen. Pasien gagal ginjal

kronis biasanya menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya biasanya tiga

kali seminggu selama 3-4 jam per kali terapi atau sampai mendapatkan

ginjal baru melalui transplantasi ginjal (Mutaqqin & Sari, 2012). Insiden

pasien ESRD mulai terapi penggantian ginjal dengan hemodialisis (HD)

sebesar 86,9%, dimulai dengan dialisis peritoneal (PD) sebesar 10,1%, dan

menerima transplantasi ginjal sebesar 2,9% (USRDS, 2019). Hemodialisis


3

merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit

akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga

beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal

ESRD yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen

(Smeltzer, S. C., & Bare, B. G, 2013).

Orang-orang yang menjalani terapi hemodialisis, maka hidupnya akan

bergantung pada teknologi dan tenaga ahli profesional. Mereka hidup

dengan ketakutan dan ancaman kematian (Melo, Ribeiro & Costa, 2015).

Hal ini menjadi stressor fisik yang berpengaruh pada berbagai dimensi

kehidupan pasien meliputi biologis, psikologis, sosial dan spiritual

(biopsikososial). Beberapa gejala paling umum pada pasien yang menjalani

hemodialisis adalah adanya kelemahan otot, penurunan konsentrasi,

gangguan emosional kekurangan energi dan merasa letih (fatigue), insomnia

yang dapat mempengaruhi kualitas hidup dalam jangka panjang (Jhamb, M.,

Weisbord, S. D., Steel, J. L., & Unruh, 2018).

Fatigue merupakan rasa letih luar biasa dan penurunan kapasitas kerja

fisik dan jiwa pada tingkat yang biasanya secara terus menerus (Kamitsuru,

S. & Herdman, T. H, 2015). Munculnya keluhan fatigue pada pasien yang

menjalani hemodialisis disebabkan oleh banyak faktor, termasuk nutrisi

yang buruk, gangguan psikologis, perubahan kondisi kesehatan, dan

gangguan tidur yang buruk (Fari, A., I., Sofiani, Y., & Warongan, A., W.

2019).
4

Hasil penelitian menunjukan bahwa fatigue merupakan salah satu

gejala yang paling umum dirasakan oleh pasien yang menjalani hemodialisis

dengan prevalensi kejadian fatigue antara 60% sampai 97% (Sari, Bakar,

and Kartini 2018). Berbagai penelitian telah dikembangkan untuk

mengetahui manfaat terapi nonfarmakologidan jenis-jenis latihan yang aman

digunakan selama proses hemodialisis sehingga lebih dikenal dengan

Complementary and Alternative Medicine (CAM) sangat popular dan

penting dari sisi kesehatan, ekonomi, pendamping terapi medis dan minim

efek samping (Rao, 2016). Jenis terapi non farmakologi seperti diet,

modifikasi gaya hidup, pengobatan herbal, massage,exercise, acupuntur dan

cognitive behavioral therapy (CBT) (Koncicki et al., 2017; Pham et al.,

2017). Terapi CAM dapat dilakukan dengan intervensi CBT salah satunya

mind-body(relaxation techniques (progressive muscle relaxation), imagery,

spiritual healing/prayer, biofeedback, hypnosis, meditation, yoga) (Hasbi

and Sutanta 2020).

Relaksasi merupakan salah satu bentuk main-body therapy, dimana

terapi ini mampu memberikan respon pada saraf simpatis dan parasimpatis

sehingga diterapkan pada pengelolaan diri. Terdapat beberapa macam

relaksasi yaitu relaksasi otot progresif (progressive muscle relaxation),

Pernafasan (relaxation breathing exercise), Meditasi (attention-focusing

exercise), dan relaksasi perilaku (behavioral relaxation training). (Fari, A.,

I., Sofiani, Y., & Warongan, A., W. 2019).


5

Progressive muscle relaxation (PMR) merupakan salah satu metode

relaksasi sederhana yang melalui dua proses yaitu menegangkan dan

merelaksasikan otot tubuh, dengan teknik latihan dalam posisi duduk atau

berbaring yang dapat dilakukan dimana saja (Herlina, S., Sitorus, R., &

Masfuri, 2015). Terapi relaksasi PMR merupakan suatu terapi pelengkap

dalam keperawatan sehingga keberadaan perawat profesional memiliki

posisi kunci yang dapat memberikan kegiatan perawatan utama,

peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit yang hemat biaya, sumber

yang efisien dan kompeten (Perry & Potter, 2010).

Pemberian latihan PMR secara fisiologis akan mengaktivasi kerja

sistem saraf parasimpatis dan memanipulasi hipotalamus pada saat rileks

sehingga akan menghasilkan frekuensi gelombang alpha pada otak yang

dapat menekan pengeluaran hormon kortisol maka terjadi vasodilatasi

pembuluh darah sehingga akan memberikan efek relaksasi otot (Fari, A., I.,

Sofiani, Y., & Warongan, A., W. 2019).

Teknik progressive muscle relaxation ini tergolong dalam aktivitas

fisik yang ringan, karena pasien hemodialisis tetap melaksanakan terapi

dalam posisi semi fowler. Aktivitas fisik yang tepat dan dilakukan selama

proses hemodialisis mampu memperbaiki aktivitas metabolisme seluler

yang sebelumnya anaerobic secara bertahap menjadi aerobic, tanpa efek

samping (Nekada, Roseli & Sriati, 2015).


6

Menurut penelitian sebelumnya oleh Herlina, S., Sitorus, R., &

Masfuri (2015) dengan judul Perubahan Tingkat Fatigue Melalui Latihan

Progressive muscle relaxation (PMR) pada pasien Gagal Ginjal Kronis yang

Menjalani Hemodialisis dengan sampel 32 responden yang dibagi 2

kelompok yang dilaksanakan selama 5 kali pengukuran didapatkan bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat fatigue pada kelompok

intervensi sebelum dan sesudah dilakukan PMR dengan nilai (p = 0,000).

Selain itu menurut hasil penelitian yang telah dilakukan Fari, A., I.,

Sofiani, Y., & Warongan, A., W. 2019 dengan judul “Efektivitas

Progressive muscle relaxation (PMR) dan Relaxation Breathing Exercise

(RBE) terhadap Tingkat Fatigue dan Selfcare pasien GGK” dengan sampel

30 responden selama 8 minggu didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan pada tingkat fatigue sebelum dan sesudah diberikan

intervensi penggabungan antara PMR dan RBE, hasil ini menunjukan

kelompok intervensi PMR (p= 0,000) dengan kelompok selfcare (p= 0,017).

Mengacu pada hasil beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa peran terapi non farmakologi sangat penting, maka peran perawat

dalam mengatasi fatigue dimulai dari awal pengkajian mengenai tingkat

fatigue setiap pasien dan jumlah aktivitas yang dilakukan sampai menyusun

intervensi dengan tepat bagi setiap pasien,


7

Maka permasalahan dalam tingkat fatigue pada pasien gagal ginjal

kronis yang menjalani hemodialisis dengan progressive muscle relaxation

harus dikaji semakin dalam untuk mempersiapkan metode dalam membantu

pasien yang mengalami fatigue. Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan

literatur review mengenai “Pengaruh Progressive muscle relaxation

terhadap tingkat Fatigue pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini peneliti

membuat rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana pengaruh

progressive muscle relaxation terhadap tingkat fatigue pada pasien gagal

ginjal kronis yang menjalani hemodialisis?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi pengaruh progressive muscle relaxation

terhadap tingkat fatigue pada pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi progressive muscle relaxation pada

pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.

b. Untuk mengidentifikasi tingkat fatigue pada pasien gagal ginjal

kronis yang menjalani hemodialisis.


8

c. Untuk mengidentifikasi pengaruh progressive muscle relaxation

terhadap tingkat fatigue pada pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Literatur review ini diharapkan dapat dijadikan sumber

informasi tambahan bagi ilmu keperawatan medikal bedah dalam

mengatasi fatigue pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis dengan memberikan intervensi progressive muscle

relaxation.

2. Manfaat praktik

Literatur Review ini diharapkan dapat memberikan acuan dalam

intervensi keperawatan berbasis evidance based dan menambah ilmu

pengetahuan dalam keperawatan mengenai pengaruh progressive

muscle relaxation pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Gagal ginjal Kronis

1. Pengertian

Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang

progresif dan irreversible yang berlangsung lebih dari 3 bulan,

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia (retensi

urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) yang ditandai dengan

albuminuria, abnormalitas sedimen urin, histologi, perubahan struktur

ataupun adanya riwayat pasien yang pernah menjalani transplamtasi

ginjal. (Merdawati, L & Malini, H, 2019)

2. Etilogi

Merdinawati, L &Malini, H (2019) & Yasmara, D., Nursiswati

& Arafat, R, (2017) menyatakan bahwa diabetes melitus

menyebabkan gagal ginjal kronis yang utama dan lebih dari 30% klien

mengalami dialysis. Hipertensi juga menjadi penyebab kedua gagal

ginjal kronis, selain itu yang mengakibatkan gagal ginjal kronis antara

lain:

a. Infeksi Saluran kemih dan penyakit peradangan

glumerulonefritis

b. Penyakit vaskular hipertensi (nefrosklerosi, stenosis arteri

renalis)

9
10

c. Gangguan jaringan penyambung (SLE poliarterites nodusa,

sklerosi sistemik)

d. Penyakit konginetal dan herediter (penyakit ginjal poliklitik,

asidosis, tubulus ginjal)

e. Penyakit metabolik (Diabetes Melitus, Hiperparatiroidisme)

f. Nefropati toksik

g. Nefropati obstruktif (Batu saluran kemih)

3. Manifestasi Klinis

Brunner & Suddarth (2018) menyatakan bahwa beberapa manifestasi

klinis pada pasien gagal ginjal kronis, antara lain:

a. Kardiovaskuler

Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan dan sakrum), edema

periorbital, gesekan perikardium, pembesaran vena-vena dileher,

perikarditis, temponade perikardium, hiperkalemia dan

hiperlipidemia.

b. Integumen

Warna kuliat keabu-abuan, kulit kering dan gampang terkelupas

pruritus berat, ekimosis, purpura, kaku rapuh, rambut kasar dan

tipis.

c. Paru-paru

Ronkhi basah kasar (krekels), sputum yang kental dan lengket,

penurunan refleks batuk, nyeri pleura, sesak nafas, takipnea,

pernafasam Kussmaul, pneumonitis uremik.


11

d. Saluran cerna

Bau amonia ketika nafas, pengecapan rasa logam, ulserasi dan

perdarahan mulut, anoreksia, mual dan muntah, cegukan,

konstipasi atau diare, perdarahan pada saluran cerna

e. Neurologik

Kelemahan atau keletihan, konfusi, ketidakmampuan

berkonsentrasi, disoeientasi, tremor, kejang, asteriksis, tungkai

tidak nyaman, telapak kaki serasa terbakar, perubahan prilaku.

f. Muskuloskeletal

Kram otot, kehilangan kekuatan otot, osteodistrofi ginjal, nyeri

tulang, fraktur dan kulai kaki.

g. Reproduksi

Amenorea, atrofi testis, ketidaksuburan dan penurunan libido

h. Hematologi

Anemia dan trombositopenia.

4. Klasifikasi

Klasifikasi gagal ginjal kronis dibagi menjadi beberapa bagian

Klasifikasi stadium pada pasien dengan penyakit ginjal kronis

ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus (LFG), yaitu stadium

yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih

rendah (Hidayati, 2013).


12

Tabel 2.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Konis

Derajat LFG (ml/mnt/1,732m2 Penjelasan


1 90 kerusakan ginjal dengan
LFG normal atau meningkat
2 60-89 kerusakan ginjal dengan
LFG turun ringan
3A 45-59 kerusakan ginjal dengan
LFG turun dari ringan
sampai sedang
3B 30-44 kerusakan ginjal dengan
LFG turun dari sedang
sampai berat
4 15-29 kerusakan ginjal dengan
LFG turun berat
5 <15 Gagal Ginjal
Sumber: (Kidney Disease: Improving Global Outcome, 2013)

5. Pemeriksaan Diagnostik Gagal ginjal kronis

Pemeriksaan diagnostik pada gagal ginjal kronis dibagi menjadi

2 bagian yaitu dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologi

(Madjid & Suharyanto, 2013).

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan urinalisis untuk mengetahui warna, bau dan

kejernihan urine, keasaman, protein, glukosa, keton dan berat

jenis urin.

b. Pemeriksaan Radiologi

1) Pemeriksaan Ultrasound untuk menilai adanya

abnormalitas pada ginjal yaitu akumulasi cairan, massa,

malforasi, perubahan ukuran ataupun adanya obstruksi

2) Pemeriksaan Intra Vena Pielografi untuk menegakkan

diagnosa lesi pada ginjal dan ureter


13

3) Foto polos abdomen untuk menilai bentuk besar ginjal

(adanya batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan

memperburuk keeadaan ginjal, oleh sebab itu penderita

diharapkan tidak puasa

4) Renogram untuk menilai fungsi ginjal kiri dan kanan,

lokasi gangguan (vaskular, parenkim, ekskresi), serta sisa

fungsi ginjal

6. Patofisiologi

Fungsi renal menurun karena produk akhir metabolisme protein

tertimbun dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadinya uremia

dan mempengaruhi seluruh sistem tubuh. Semakin banyak timbunan

produksi sampah maka gejala semakin berat (Nursalam & Batticaca,

2011).

Gangguan clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah

glomerulus yang berfungsi. Penurunan laju filtrasi glomerulus

dideteksi dengan memeriksa clearance keratinin urine tampung 24

jam yang menunjukukan penurunan clerance kreatinin dan

peningkatan kadar kreatinin serum (Nursalam & Batticaca, 2011).

Retensi cairan dan natrium ginjal juga tidak mampu untuk

mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada

penyakit ginjal tahap akhir respon ginjal yang sesuai terhadap

perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi.

Pasien sering menahan natrium dan cairan yang mengakibatkan


14

edema, CHF dan Hipertensi. Hipertensi dapat terjadi karena aktivitas

aksis renin angiotensin sehingga kerja sama keduanya meningkatkan

sekresi aldosteron yang menyebabkan meningkatnya retensi natrium

dan air ditubulus ginjal. Kehilangan garam mengakibatkan risiko

hipotensi dan hipovolemia. Muntah dan diare menyebabkan

perpisahan air dan natrium sehingga status uremik memburuk

(Brunner & suddarth, 2013).

Asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu mensekresi asam

(H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam akibat tubulus ginjal

tidak mampu mensekresi amonia (NH3-) dan mengabsorpsi natrium

bikarbonat (HCO3-). Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain

terjadi (Nursalam & Batticaca, 2011).

Hiperkalemia terjadi karena pennurunan laju filtrasi glomerulus

tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein

menghasilkan pelepasan kalium seluler kedalam cairan tubuh,

menyebabkan hiperkalemia berat (kadar kalium tinggi). Hiperkalemia

menyebabkan disritmia dan henti jantung. Sumber kalium mencakup

katabolisme jaringan normal; masukan diet; darah disaluran

gastrointestinal; atau tranfusi darah dan sumber-sumber lainnya (infus

intravena, penisilin kalium, dan pertukaran ektraseluler sebagai respon

terhadap adanya asidosis metabolik).

Anemia terjadi produksi eritropoitein yang tidak memadai,

memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan


15

kecenderungan untuk mengalami pendarahan akibat status uremik

pasien, terutama dari saluran pencernaan. Eritropoitein yang di

produksi oleh ginjal, menstimulasi sumsum tulang untuk

menghasilkan sel darah merah, dan produksi eritropoitein menurun

sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan, angina,

dan sesak nafas (Nursalam & Batticaca, 2011).

Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan

metabolisme. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki

hubungan timbal balik. Jika salah satunya meningkat, maka fungsi

yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui

glomerulus ginjal, maka meningkatnya kadar fosfat serum, dan

sebaliknya. Penurunan kadar kalsium menyebabkan sekresi

parathormon dari kelenjar paratiroid. Tetapi gagal ginjal tubuh tidak

merespon kalsium normal terhadap peningkatan sekresi parathormon,

sehingga kalsium di tulang menurun, menyebabkan terjadinya

perubahan tulang dan penyakit tulang. Demikian juga, vitamin D (1,25

dihidrokolekalsiferol) yang dibentuk ginjal normal, maka akan

menurun seiring perkembangannya gagal ginjal (Nursalam &

Batticaca, 2011).
7. Pathway Gagal Ginjal Kronik Gagal Ginjal Kronis

Penimbunan asam Produksi renin Proteinuria Penurunan Fungsi Peningkatan Kadar


dalam cairan tubuh ginjal Kreatinin dan BUN
serum
Angiostensi I Kadar protein
pH darah menurun meningkat didalam darah turun Produksi
(<6,8) eritropoetin azotemia
Penurunan tekanan menurun
Angiostensin II
Pernafasan kusmaul osmotik Penurunan Sindrom uremia
meningkat
pembetukan
Cairan keluar ke eritrosit
Pola nafas tidak Sekresi Aldosteron Gangguan sistem
efektif ektravaskuler Anemia gastrointestinal

Retensi natrium dan air meningkat Edema Intoleransi


Mual dan muntah
Aktivitas
Tekanan darah meningkat Kelebihan Volume
Cairan Keridakseimbangan
nutrisi kurang dari
Resiko penurunan curah jantung
kebutuhan tubuh
Gambar 2.1 Pathway Gagal Ginjal Kronik
Sumber : Wijaya, (2013) ; Brunner & Suddarth (2013), Yasmara, Nursiswati & Arafat, (2017)

18
19

B. Hemodialisis

1. Pengertian

Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah dan dialisis

artinya pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses

pembersihan darah dari zat-zat sampah melalui proses penyaringan

diluar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesin

dialisis yang dikenal secara awam dengan istilah cuci darah (Yasmara,

D., Nursiswati & Arafat, R, 2017)

Hemodialisis adalah proses yang menggantikan secara

fungsional pada gangguan fungsi ginjal dengan membuang kelebihan

cairan dan/ atau akumulasi toksin endogen atau eksogen (Doenges,

2014)

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

hemodialisis merupakan proses yang menggantikan gangguan fungsi

gagal ginjal dengan membuang kelebihan cairan atau pembersihan

darah melalui proses penyaringan diluar tubuh.

2. Tujuan hemodialisis

Untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksin dari dalam

darah dan mengeluarkan air berlebihan. Terdapat 3 (tiga) prinsip yang

mendasari kerja hemodialisis yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi.

Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melalui proses

difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi

tinggi, kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan

19
20

dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi

ekstrasel yang ideal. (Suharyanto, T., & Madjid, A, 2013)

Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses

osmosis. Pengeluarkan air dapat dikendalikan dengan menciptakan

gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang

lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan

dialisat). Gradien ini dapat digunakan melalui penambahan tekanan

negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan

negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada

membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharyanto, T., &

Madjid, A, 2013).

3. Indikasi hemodialisis

Wijaya & Putri (2013) menyatakan bahwa indikasi hemodialisis

adalah sebagai berikut:

a. Pasien yang memerlukan hemodialisis adalah pasien gagal ginjal

kronis dan gagal ginjal akut untuk sementara sampai fungsi

ginjal pulih (laju filtrasi glomerulus < 15ml)

b. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisis

apabila terdapat indikasi: Hiperkalemia (K+ darah >6 meq/l),

asidosis, kegagalan terapi konservatif, kadar ureum/ kreatinin

tinggi dalam darah (Ureum >200 mg%, kreatinin serum > 6

meq/l), kelebihan cairam mual dan muntah hebat.


21

c. Intoksikasi obat zat dan zat kimia

d. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat

e. Sindrom hepatorenal cairan dan elektrolit berat

1) K+ pH darah <7,10 asidosis

2) Oliguria/ anuria >5 hari

3) GFR <15ml pada gagal ginjal kronis

4) Ureum darah >200 mg/dl

4. Kontraindikasi

Wijaya & Putri (2013); (Yasmara, D., Nursiswati & Arafat, R,

2017) menyatakan bahwa indikasi hemodialisis adalah sebagai

berikut:

a. Pasien yang mengalami perdarahan sangat serius disertai anemia

b. Pasien pasca operasi besar, 3 hari pasca operasi

c. Hipertensi berat

d. Hipotensi

e. Hematoma subdural

f. Demam tinggi

5. Komplikasi

Komplikasi akut yang paling umum selama perawatan

hemodialisis adalah hipotensi (20-30%), kram otot dan kelelahan (5-

20%), mual–muntah (5-15%), sakit kepala (5%), febris sampai

menggigil (Yasmara, D., Nursiswati & Arafat, R, 2017). Pada saat


22

dialisis pasien memerlukan pemantauan yang konstan untuk

mendeteksi sebagai komplikasi, antara lain:

a. Hipotensi

Hipotensi instradialisis merupakan efek samping yang paling

umum terjadi saat hemodialisis disertai gejala seperti kram,

puusing, mual, muntah, kelelahan yang berlebihan dan

kelemahan. Interaksi sistem berbasis hipotensi intradialisis

kronis ketika ada penurunan tekanan darah <30 mmHg.

b. Sakit kepala, keluhan sakit kepala belum diketahui secara pasti

namun faktor pemicu dari sakit kepala yaitu hipertensi,

hipotensi, tingkat rendah natrium dan penurunan osmolaritas

serum.

c. Sakit dada, selama prosedur hemodialisis kegawat daruratan

yang berhubungan dengan angina, infark miokard, hemolisis

akut atau reaksi anafilaktoid.

d. Hipoksemia selama hemodilisis PaO2 menurun menjadi sekitar

10-20 mmHg. Penuurunan tersebut tidak menyebabkan masalah

klinik yang signifikan pada pasien yang mengalami oksigensasi

normal, tetapi dapat menghasilkan bencana pada mereka yang

memiliki kadar oksigenasi yang rendah.

e. Gatal-gatal pasien yang menjalani hemodialisis belum diketahui

penyebab yang pasti, diduga faktor yang menyebabkannya


23

adalah kulit kering, deposit kristal kalsium-fosfor, alergi

terhadap obat dan pelepasan histamin dari sel induk.

f. Anemia, tidak memiliki cukup sel darah merah dalam darah

adalah komplikasi umum dari gagal ginjal dsn hemodialisis

karena produksi hormon eritropoietin yang berkurang.

g. Depresi, perubahan suasana hati umum terjadi pada orang yang

mengalami gagal ginjal, pasien cenderung menolak pengobatan

ataupun terapi hemodialisa.

h. Kram dan fatigue pasien gagal ginjal yang menjalani

hemodialisis akan mudah mengalami Fatigue akibat hipoksia

yang disebabkan oleh edema pulmoner. Edema pulmoner terjadi

akibat retensi cairan dan sodium, sedangkan hipoksia bisa terjadi

akibat pneumonitis uremik. Fatigue merupakan komplikasi

dengan prevalensi tinggi pada pasien hemodialisis (Nasution,

2016).

C. Fatigue

1. Pengertian

Fatigue adalah keletihan terus menerus dan penurunan kapasitas

untuk kerja fisik dan mental pada tingkat yang lazim (Herdman, H &

Kamitsuru, S, 2015). Fatigue berhubungan dengan pengalaman

tertentu terhadap kelelahan dan kapasitas fisik maupun mental yang

tidak dapat dikurangi dengan istirahat (Sulistini, 2015).


24

2. Etiologi

Fatigue dapat disebabkan oleh patofisiologi penyakit, treatmen

dan maturasi. Penyakit yang mempengaruhi terjadinya Fatigue

diantaranya hipotiroid, chronic renal failure, maglinasi, congestive

heart failure, anemia, gangguan nutrisi, penyakit paru, AIDS,

Parkinson dan multiple sclerosis (Sulistini, 2015)

Kelelahan pada dasarnya di timbulkan oleh dua hal, yaitu:

a. Kelelahan akibat faktor fisiologis

Kelelahan fisiologis adalah kelelahan yang timbul karena

adanya perubahan fisiologi didalam tubuh. Dari segi fisiologis,

bisa terjadi oleh anemia yaitu kondisi tubuh kekurangan sel

darah merah yang tidak berfungsi dengan baik, akibatnya tidak

mendapat cukup oksigen yang membuat pucat dan mudah lelah.

Dalam halnya tubuh manusia dapat dianggap sebagai

mesin yang dapat membuat bahan bakar, dan memberikan

keluaran berupa tenaga yang berguna untuk melakukan

kegiatan. Pada prinsipnya, ada lima macam mekanisme yang

dilakukan oleh tubuh, yaitu sistem peredaran darah, sistem

pencernaan, sistem syaraf dan sistem pernafasan (Nasekhah,

2016).
25

Kerja fisik berkelanjutan, berpengaruh terhadap

mekanisme tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun

bersama-sama. Kelelahan yang terjadi salah satunya karena

terkumpulnya produk sisa dalam otot dan peredaran darah,

dimana produk sisa ini bersifat membatasi kelangsunggan

kegiatan otot. Produk sisa ini mempengaruhi sera-serat- syaraf

dan sistem syaraf pusat sehingga menyebabkan individu menjadi

lambat bekerja jika sudah lelah (Cahyani, 2018).

b. Kelelahan akibat faktor psikologis

Kelelahan dapat dikatakan jika timbul dalam perasaan

orang yang bersangkutan dan terlihat dalam tingkah lakunya

yang tidak konsekuen lagi, serta jiwanya yang labil (stress,

depresi dan asietas) dengan adanya perubahan walaupun dalam

kondisi lingkungan atau tubuhnya sendiri. Keluhan ini dapat

diakibatkan oleh beberapa hal diantaranya: kurang minat dalam

bekerja, berbagai penyakit penyerta, keadaan lingkungan,

adanya perasaan yang mengikat dan merasa tidak sesuai, sebab-

sebab mental seperti: tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik

(Cahyani, 2018).
26

3. Pengukuran Fatigue

Pengukuran dapat dilakukan dengan berbagai instrument yang

banyak dikembangkan, diantaranya Fatigue Assesment Scale (FAS),

Fatigue Severity Scale (FSS) Paper Fatigue Scale (PFS). Peneliti

menggunakan instrumen FAS karena lebih simpel dan mencakup 10

item pertanyaan antara lain terganggu oleh rasa lelah, mudah merasa

lelah, kegiatan yang dilakukan siang hari, energi cukup untuk

melakukan aktivitas, secara fisik merasa lelah, sulit untuk

mengerjakan sesuatu, sulit untuk berfikir secara jernih, malas dalam

melakukan berbagai kegiatan, secara mental merasa lelah, mudah

berkonsentrasi penuh, peneliti memilih kuesioner ini dengan alasan

lebih memudahkan pasien dengan pertanyaan yang ditidak rumit.

Adapun nilai dari pertanyaan yang telah dijawab adalah 1 = tidak

pernah, 2= Kadang-kadang, 3= dialami secara teratur, 4= sering

dialami, 5= selalu dialami (Zuraida & Chie, 2015)

4. Faktor yang berhubungan dengan Fatigue

Menurut (Herdman, H & Kamitsuru, S, 2015), faktor yang

berhubungan dengan Fatigue, antara lain:

a. Ansietas

b. Depresi

c. Gangguan tidur

d. Gaya hidup tanpa stimulasi

e. Hambatan lingkungan
27

f. Kelesuan fisiologis (misalnya anemia, kehamilan, penyakit)

g. Malnutrisi

h. Peristiwa hidup negatif

i. Stressor

5. Faktor- faktor yang mempengaruhi Fatigue pada pasien yang

menjalani hemodialisis

Pasien yang menjalani hemodalisis mengalami kelelahan karena

berbagai alasan seperti akumulasi limbah metabolisme dalam tubuh,

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, energi yang dikeluarkan

abnormal, ketidakpastian anemia, depresi, strees, dan ansietas.

Perasaan lelah cenderung bertahan bahkan setelah istirahat dan sulit

untuk dicegah. Kelelahan dan kurang tidur dapat mempengaruhi

pasien untuk bekerja, kegiatan rekreasi, status gizi, dan hubungan

sosial dengan keluarga dan teman (Unal & Akpinar, 2016).

D. Progressive muscle relaxation

1. Pengertian

Progressive muscle relaxation adalah teknik relaksasi otot

dalam yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan atau sugesti yang

berespon pada kecemasan dan kejadian merangsang pikiran dengan

ketegangan otot (Setyoadi & Kushariyadi, 2011).


28

2. Tujuan Progressive muscle relaxation

Menurut (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) tujuan dari Progressive

muscle relaxation adalah untuk:

a. Menurunkan keteganggan otot, kecemasan, nyeri leher dan

punggung, tekanan darah ringgi, frekuensi jantung, kebutuhan

oksigen.

b. Mengurangi disritmia jantung, kebutuhan oksigen

c. Meningkatkan gelombang akfa otak yang terjadi ketika klien

sadar dan tidak memfokuskan perhatian serta rileks

d. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi

e. Memperbaiki kemampuan mengatasi stress

f. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot,

fobia ringan, gagap ringan dan

g. Membangun emosi positif dari emosi negatif.

3. Indikasi Progressive muscle relaxation

Menurut (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) indikasi dalam

progressive muscle relaxation, antara lain:

a. Mengalami gangguan tidur (insomnia)

b. Mengalami stres dan depresi

c. Mengalami kecemasan

d. Mengalami keletihan
29

4. Kontraindikasi Progressive muscle relaxation

Menurut (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) kontraindikasi dalam

progressive muscle relaxation, antara lain:

a. Mengalami gangguan muskuoskeletal, misalnya tidak bisa

menggerakan tangan dan kaki.

b. Menjalani tirah baring lama (bed rest)

5. Hal-hal yang perlu diperhatikan

Menurut (Setyoadi & Kushariyadi, 2011) berikut adalah hal-hal

yang perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan progressive

muscle relaxation antara lain:

a. Jangan terlalu menegangkan otot berlebihan karena dapat

melukai diri sendiri

b. Dibutuhkan waktu sekitar 10-50 detik untuk membuat otot-otot

relaks

c. Perhatikan posisi tubuh, lebih nyaman dengan mata tertutup.

Hindari posisi berdiri.

d. Menegangkan kelompok otot dua kali tegangan

e. Melakukan pada bagian kanan tubuh dua kali terlebih dahulu,

kemudian bagian kiri dua kali

f. Memeriksa apakah klien benar-benar relaks

g. Terus-menerus memberikan intruksi

h. Memberikan instruksi tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat


30

6. Standar Operasional Prosedur Progressive muscle relaxation

a. Persiapan

Persiapan alat: Bed dan bantal

Persiapan lingkungan: lingkungan klien tenang

Persiapan klien.

1) Jelaskan tujuan, manfaat prosedur dan pengisian lembar

persetujuan terapi kepada klien

2) Posisikan tubuh klien secara nyaman yaitu berbaring

dengan mata tertutup menggunakan bantal dibawah kepala

dan lutut atau duduk di kursi dengan kepala ditopang,

hindari posisi berdiri

3) Lepaskan aksesoris yang digunakna klien seperti

kecamata, jam dan sepatu

4) Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau yang sifatnya

mengikat ketat.

5) Mulailah dengan latihan nafas dalam dengan cara tarik

nafas panjang, tahan sebanyak 3 hitungan lalu hembuskan

perlahan-lahan sambil mengatakan dalam hati “badan

menjadi nyaman dan relaks”

6) Ulangi latihan nafas dalam sebanyak 3 kali sehingga tubuh

semakin relaks

7) Selanjutnya mulailah melakukan teknik relaksasi otot.

Selama melakukan teknik relaksasi otot klien di


31

instruksikan menarik nafas panjang dan dalam untuk

setiap kali akan memulai menegangkan otot dan tahan

tegangan otot selama 5 detik kemudian relaksasikan otot

teganganan tersebut selama 10 detik sambil bernafas

dengan perlahan-lahan. Dilakukan setiap 2 kali pada setiap

kelompok sehingga klien dapat membedakan antara

ketegangan dan keadaan relaks yang terjadi Menurut

(Setyoadi & Kushariyadi, 2011)

b. Langkah- langkah:

Gerakan 1: ditujukan untuk melatih otot tangan dengan cara

tangan kiri membuat kepalan, buat kepalan semakin kuat dan

rasakan sensasi ketegangan yang terjadi lalu lepaskan kepalan

tangan klien sambil di pandu merasakan rileks 10 detik,

kemudian ulangi kembali gerakan pada tangan yang sama

sehingga klien dapat merasakan perbedaan antara ketegangan

oto dan keadaan otot yang rileks. Lakukan hal yang sama pada

tangan kanan klien.

Gerakan ke 2: ditujukan untuk melatih otot tangan bagian

belakang caranya tekuk kedua lengan kebelakang pada

pergelangan dan bagian bawah lengan menegang dengan posisi

jari-jari kearah atas.

Gerakan ke 3: ditujukan untuk melatih otot-otot bisep (otot besar

pada bagian atas pangkal lengan) caranya kepalkan kedua


32

tangan kemudian tempatkan kepalan tangan kepundak sehingga

otot bisep menegang

Gerakan ke 4: ditujukan untuk otot bahu supaya mengendur

caranya, angkat kedua bahu setinggi yang bisa dilakukan seolah-

olah menyentuh kedua telinga fokuskan ketegangan pada area

bahu, punggung atas dan leher.

Gerakan ke 5 & 6: ditujukan untuk melemaskan otot-otot wajah

(otot dahi, mata, rahang, mulut) caranya gerakan otot dahi

dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai otot terasa dan

kulitnya mengkerut,tutup mata sekeras-kerasnya sehingga

dirasakan ketegangan diarea sekitar otot mata

Gerakan ke 7: ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang

dialami oleh otot rahang, caranya katupkan rahang diikuti

dengan menggigit gigi sehingga terjadi ketegangan disekitar otot

rahang

Gerakan ke 8: ditujukan untuk mengendurkan otot-otot disekitar

mulut, caranya bibir di moncongkan sekuat-kuatnya yang bisa

dilakukan sehingga dirasakan ketegangan disekitar mulut.

Gerakan ke 9: ditujukan untuk merilekskan otot leher bagian

depan maupun belakang, caranya dimulai dari otot belakang

bahu lalu kedepan letakan kepala sehingga bisa beristirahat lalu

dorong kepala kepermukaan bantalan kursi sedemikian rupa


33

sehingga dapat merasakan ketegangan dibelakang leher dan

punggung atas.

Gerakan ke 10: ditujukan untuk leher bagian depan, caranya

tundukan kepala sampai dagu menyentuh dada dan rasakan

ketegangan pada daeraj leher bagian muka

Gerakan ke 11: ditujukan otot punggung dengan cara

mengangkat dari sandaran kursi lalu punggung didorong

kedepan dan dada dibusungkan tahan selama 10 detik. kemudian

rileks dengan kembali bersandar

Gerakan ke 12: ditujukan untuk melemaskan otot dada dengan

cara tarik nafas dalam tahan 3 detik kemudian hembuskan

perlahan-lahan. Ulangi sebanyak 2 kali.

Gerakan ke 13: ditujukan tarik dengan kuat perut ke dalam,

tahan sampai menjadi kencang selama 10 detik lalu lepaskan

secara perlahan-lahan kemudian ulangi sebanyak 2 kali

Gerakan ke 14-15: luruskan kedua kaki sehingga oto paha terasa

tegang, tahan posisi selama 10 detik lalu lepaskan. Ulangi

sebanyak 2 kali.
34

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santi

Herlina, Ratna Sitorus, Masfuri (2015) yang berjudul Perubahan

Tingkat Fatigue melalui Latihan Progressive Mudcle

Relaxation. (PMR) pada pasien Gagal Ginjal Kronis yang

Menjalani Hemodialisa dilakukan sebanyak 5 kali pengukuran

menggunakan kuesioner Piper Fatigue Scale dengan

hasilTerdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat

Fatigue pada pasien antara sebelum dan sesudah dilakukan

Progressive Mudcle Relaxation. Penelitian yang dilakukan oleh

Fari, Sofiani & Warongan (2019) dilakukan selama 8 minggu

menggunakan kuesioner Piper Fatigue Scale dengan hasil

intervensi PMR terdapat perbedaan tingkat fatigue. Sehingga

terdapat pengaruh yang signifikan pemberian latihan

Progressive muscle relaxation terhadap tingkat Fatigue pada

pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.


35

E. Kerangka Penelitian
Gagal Ginjal Kronis

Menjalani Hemodialisis

Perubahan Psikologis Perubahan Fisiologis

Depresi Anemia

Stress Hipotensi

Ansietas

Fatigue

Penatalaksnaan Progressive
muscle relaxation untuk
mengatasi Fatigue

Memusatkan konsentrasi pada


penegangan otot dan mengatur
pernafasan untuk masuk
dalam kondisi relaks

Fatigue dapat
berkurang

Gambar 2.2 Kerangka Teori

Sumber : Nasution (2016); Sulistini (2015); Cahyani (2018); Setyoadi & Kushariyadi, (2011)
37

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metodologi Penelitian

a. Paradigma Penelitian

Fatigue adalah keletihan terus menerus dan penurunan kapasitas

untuk kerja fisik dan mental pada tingkat yang lazim (Kamitsuru, S. &

Herdman, T. H, 2015). Mengalami kelelahan secara psikologis

sebenarnya adalah pasien yang menjalani hemodialisis, terjadinya

fatigue disebabkan oleh salah satu faktor psikologis diantaranya stres,

depresi, dan ansietas (Fari, Sofiani & Warongan, 2019).

Respon stres masuk ke dalam sistem saraf pusat, lalu

kehipotalamus dilepaskan corticotrophin hormone releasing factor

yang akan menstimulasi sistem saraf simpatis untuk mengeluarkan

norepinefrin yang merupakan vasokonstriktor dan berakibat pada

kontraksi otot polos (Guyton & Hall, 2014). Dampak dari fatigue yang

menjalani hemodialysis adalah penurunan fungsi fisik dan

kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, kualitas hidup

yang lebih buruk, dan mengurangi kelangsungan hidup (Darmawan, P.

E., Nurhesti, P. O., & Suardana, I., K, 2019).

Perawat dapat memberikan intervensi mandiri dengan

progressive muscle relaxation yang merupakan salah satu terapi

simple, mudah dan sederhana yang dapat meningkatkan ekspresi

perasaan negatif menjadi positif. Selain mengatasi fatigue terapi ini

37
38

dapat diberikan pada pasien yang mengalami kecemasan, stres dan

depresi dimana poin tesebut merupakan pencetus terjadinya fatigue.

Progressive muscle relaxation merupakan teknik relaksasi yang

memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot tersebut serta

kombinasi teknik pernafasan, pola pengaturan nafas yang benar dapat

meningkatkan aliran oksigen ke otak dan akan membuat tubuh

menjadi lebih tenang dan relaks serta dampak akhir akan memberikan

ketenangan yang memungkinkan dapat menurunkan fatigue (Setyoadi

& Kushariyadi, 2011).

Berdasarkan uraian diatas, maka pada penelitian ini penulis

membuat kerangka penelitian progressive muscle relaxation terhadap

tingkat fatigue sebagai berikut:

(Variabel Independen) (Variabel Dependen)

Progressive muscle Fatigue pada pasien gagal


relaxation ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis

Gambar 3.1 Kerangka Penelitian


Sumber: Modifikasi Sugiyono (2017)
39

b. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan quasi eksperimen

dengan prettest-posttest Control Group Design. Pendekatan yang

digunakan dengan Sistematik Literature Review. Sistematik literatur

review merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada

metodologi penelitian atau riset tertentu dan pengembangan yang

dilakukan untuk mengumpulkan serta mengevaluasi penelitian yang

terkait pada fokus topik tertentu (Triandini, 2019).

Kegiatan yang akan dilakukan adalah melakukan analisis

dengan mencari kesamaan (compare), mencari perbedaan (contrast),

menggabungkan beberapa sumber (synthesize), memberikan pendapat

sendiri berdasarkan dari sumber yang dibaca (summarize).

Pre-test Intervensi Post-test


(pengukuran Pemberian (pengukuran
Perubahan rerata (Relaksasi otot Perubahan rerata
Fatigue) Fatigue)
progresif)

Gambar 3.2 Rancangan Penelitian


Sumber: Modifikasi dari Sugiyono (2017)

c. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah kegiatan yang mempunyai variasi

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2017).


40

a. Variabel Independen (variabel bebas)

Variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab

perubahannya variabel terikat (Sugiyono, 2017). Variabel

independen dalam penelitian ini adalah Progressive muscle

relaxation.

b. Variabel Dependen (variabel terikat)

Variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena

adanya variabel bebas (Sugiyono, 2017). Variabel dependen

dalam penelitian ini adalah tingkat Fatigue.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian adalah pasien

gagal ginjal kronis.

2. Sampel

Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis serta

mengalami fatigue yang datanya diambil dari jurnal Garuda, Science

Direct, Google Scholar dan PubMed.

a. Kriteria Inklusi

1) Berbahasa indonesia dan berbahasa Inggris

2) Sumber literatur yang diambil mulai tahun 2015-2020,

kesesuaian keyword penulisan, keterkaitan hasil penulisan

dan pembahasan.

3) Melakukan pencarian berdasarkan Full text


41

4) Melakukan penelitian terhadap jurnal dari abstrak apakah

berdasarkan tujuan penelitian dan melakukan Critical

appraisal dengan tool yang ada.

b. Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi merupakan kriteria diamana subjek penelitian

tidak mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sampel

yang dipilih harus memenuhi kriteria ekslusi yaitu Penelitian

kualitatif (karena penelitian ini berdasarkan kuantitatif)

C. Teknik Pengumpulan Data

1. Tahap Awal

Melakukan bimbingan dengan pembimbing 1 dan pembimbing 2

diantaranya: pengajuan judul penelitian, persetujuan judul oleh

pembimbing, menunggu persetujuan judul dari LPPM.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Menyusun Bab 1,2 dan 3

b. Melaksanakan Seminar Proposal tanggal 2 April 2020

c. Melakukan analisis dengan tahapan sebagai berikut:

Strategi dalam mencari jurnal pada Literatur Review,

peneliti menggunakan pertanyaan dalam melakuakan Literatur

review yang disesuaikan dengan PICO dan istilah pencarian

jurnal melalui MESH, batasan mengambil jurnal dan lainnya.

Jurnal yang diambil dengan menggunakan metode pencarian

electronic data base sebagai berikut:


42

1) Metode pencarian jurnal internasional: Google Scholar,

PubMed, Sciencedirect. Peneliti membuka website

www.scholar.google.com, www.ncbi.nlm.nih.gov dan

www.sciencedirect.com. Peneliti menuliskan kata kunci

sesuai MESH (Medical Subject Heading) yaitu Fatigue,

Progressive muscle relaxation,Chronic Renal Failure and

Hemodialysis.

2) Metode pencarian jurnal Nasional: Peneliti menuliskan

kata kunci yaitu Kelelahan, Latihan otot progresif, gagal

ginjal kronis dan Hemodialisis. Peneliti membuka website

www.scholar.google.com, dan

www.garuda.ristekbrin.go.id. Hal lain yang relevan

penulis gunakan dalam mendapatkan kata kunci tersebut

saling dikombinasikan agar tercapai hasil pencarian yang

lebih spesifik tentang jurnal Progressive muscle

relaxation pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

Hemodialisis serta penulis menggunakan semua desain

dalam mengindentifikasi Progressive muscle relaxation

pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

Hemodialisis.
43

D. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan peneliti pada Literatur Review antara

lain berdasarkan chronological analysis, conseptual analysis, and simplified

analysis. Instrumen yang digunakan untuk analisa data penelitian ini

menggunakan PRISMA dengan metode PICO. Setiap pertanyaan tersebut

telah mengikuti PICOT dimana setiap pertanyaan terdapat P= problem/

pasien/ populasi, I/E= implementasi/ intervensi/ exprosure, C= kontrol/

intervensi pembanding dan O= hasil.

E. Etika Penelitian

Etika penelitian dalam penelitian data primer yaitu terdiri dari: justice,

respec for person dan advantage karena data yang diambil berasal dari

manusia. Etika penelitian dalam penelitian data sekunder yang berasal dari

artikel jurnal orang lain, etika yang digunakan peneliti dengan batas plagiat

S1 keperawatan maksimal sebesar 35% dengan pengecekan menggunakan

software yaitu Plagiarism.


BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Bagan PRISMA
identification

PubMed Garuda Google Scholar Science Direct


N=27 Artikel N= 6 Artikel N= 32 Artikel N= 109 Artikel

Total
N= 174 Artikel

Jurnal/ Artikel yang tidak bisa dipakai


Jurnal/ Artikel yang bisa dipakai
karena duplikat
N= 139 Artikel
N= 35 Artikel
Screening

Jurnal/ Artikel yang tidak bisa diakses


Artikel yang bisa diakses N= 99 Artikel
N= 40 Artikel

Jurnal/ Artikel yang tidak dipakai setelah


Artikel keseluruhan yang layak screening dari Abstrak
N= 20 Artikel
N= 20 Artikel
eligibility

Artikel keseluruhan yang layak Artikel yang tidak bisa dipakai N= 13


karena isi artikel tidak berfokus pada
N= 7 Artikel
gerakan relaksasi otot pada pasien yang
mengalami fatigue.
include

Artikel keseluruhan yang layak


N= 7 Artikel

44
include

45
46

2. Data Sintesis Hasil Tinjauan

Nama

No Peneliti dan Tujuan Responden Metode Intervensi Hasil Kesimpulan

Tahun
1. Herlina, S., mengetahui 32 Responden kuantitatif, Progressive Dalam penelitian ini Terdapat pengaruh

Sitorus, R & pengaruh (16 responden design Quasi muscle didapatkan bahwa fatigue yang signifikan

Masfuri Progressive kelompok eksperimen relaxation di pengaruhi oleh beberapa pemebrian latihan

muscle relaxation intervensi dan dengan Pretest faktor psikologis (stess, PMR terhadap

terhadap tingkat 16 responden Posttest control depresi, anisetas dan penurunan tingkat

Fatigue pada kelompok group, analisis gangguan pola tidur) dan fatigue pada pasien

pasien gagal kontrol) dilakukan fisiologis (anemia, gagal ginjal kronis

ginjal kronis yang univariat dan malnutrisis, uremia, yang menjalani

menjalani biavariat dengan hiperparatiroid, dan hemodialisis.

hemodialisis dilakukan uji t inflamasi) serta

indenpendent sosiodemografi (usia,jenis


47

dan t dependent, kelamin, pendidikan,

alat ukur yang status pekerjaan, dan

digunakan dukungan sosial).

adalah kuesioner Intervensi dilakukan

skala fatigue selama 5 kali latihan

Piper Fatigue dengan durasi ± 25 menit.

Scale yang Sebelum diberikan

terdiri dari 14 intervensi rata-rata 6,03

pertanyaan yang merupakan kategori

dengan skor 1- fatigue sedang menjadi

10. 2,51 setelah intervensi

menjadi kategori fatigue

ringan. Sedangkan pada

kelompok kontrol terdapat


48

peningkatan dari rata- rata

6,13 menjadi 6,16.


2. Fari, A. I., mengetahui 30 responden kuantitatif, progressive Hasil yang didapatkan setelah uji T

Sofiani, Y & efektivitas dengan kriteria Randomized muscle pada penelitian ini bahwa (paired sample

Warongan, progressive inklusi yang Clinical Trial, relaxation perubahan fisiologis yang test)ada perbedaan

A. W (2019) muscle relaxation menajalani pretest dan dan terjadi pada usia tua sangat yang signifikan

dan relaxation hemodialisis posttest three relaxation memungkinkan pasien pada selfcare

breathing exercise seminggu 2 group, alat ukur breathing lebih mudah mengalami sebelum dan

terhadap tingkat kali, usia yang digunakan exercise fatigue. 30 responden sesudah diberikan

fatigue dan self diatas 18 kuesioner Piper dibagi menjadi 3 intervensi

care pada pasien tahun, nilai Hb Fatigue Scale kelompok yaitu 10 orang penggabungan

gagal ginjal perempuan (Cronbach alfa kelompok Progressive antara PMR dan

kronis, >9,7 gr/dL dan = 0,646) dan muscle relaxation (PMR), RBE, dengan p

laki-laki >8,7 Manajemen 10 orang kelompok value <0,00 (α=

gr/dL, telah Selfcare Fatigue Relaxation Breathing 0,05).


49

menjalani (Cronbach alfa= Exercise (RBE) dan 10

hemodialisis 0,930), uji orang PMR & RBE.

>3 bulan, bisa normalitas data Intervensi ini dilakukan

baca dan tulis, setelah dan selama 15-20 menit

mampu sebelum dengan waktu 8 minggu.

berkomunikasi dilakukan Hal tersebut dapat

secara verbal, intervensi disimpulkan dengan uji T

tidak menggunakan (paired sample test)ada

mengalami Shapiro-Wilk perbedaan yang signifikan

gangguan hasilnya >0,05 pada tingkat fatigue

muskuloskelet kemudian sebelum dan sesudah

al dan penyakit dilakukan uji diberikan intervensi

jantung. statistik dengan penggabungan antara PMR

paired sample dan RBE, dengan p value


50

test dan uji t-test <0,00 (α= 0,05). Begitu

independen hal yang sama pada

selfcare.

3. Amini, et. Al untuk mengetahui 100 responden, kuantitatif, progressive Pada penelitian ini Intervensi PMR

(2016) efek dari dibagi menjadi Random muscle dilakukan selama 60 hari, dan aerobic

pemberian 3 kelompok assigned to three relaxation peneliti sudah melakukan exercise sebelum

progressive (kelompok gorups (PMR, dan aerobic kontrak dengan pasien dan sesudah

muscle relaxation progressive aerobic exercise exercise untuk melakukan diberikan dengan

dan aerobic muscle dan kontrol), intervensi dengan kesimpulan

exercise terhadap relaxation, alat ukur pada diberikan CD yang Terdapat perbedaan

fatigue dan kelompok penelitian ini dilakukan dirumah signifikan dari

kualitas tidur aerobic menggunakan masing-masing. Sebelum anxietas, fatigue

pada pasien gagal exercise dan kuesioner tidur pasien harus dan kualitas tidur.
51

ginjal kronis serta kelompok cemas, kualitas melakukan intervensi p value <0,05.

di evaluasi. progressive tidur dan PMR dan aerobic exercise.

muscle fatigue. Uji Intervensi pertama

relaxation statistik yang dilakukan dengan

serta kelompok dilakukan kehadiran peneliti setelah

aerobic dengan itu dilanjutkan dirumah

exercise ANOVA, masing-masing. Peneliti

Chisquare dan t memantau 1 minggu sekali

test oleh dengan menelepon nomor

Software Stata yang telah diberikan oleh

versi 13. pasien untuk menanyakan

masalah pada saat

dilakukannya gerakan.
4. Hadadian, F. mengetahui 65 responden, kuantitatif, Progressive pada penelitian ini Tidak ada

et,al (2019) pengaruh teknik dengan kriteria Eksperimen muscle didapatkan bahwa perbedaan efek
52

progressive telah menjalani dengan relaxation relaksasi dilakukan selama positif terhadap

muscle relaxation hemodialisis purposive 15 menit, sebelumnya fatigue pasien

terhadap fatigue selama 6 random pasien melakukan latihan hemodialisis,

pada pasien bulan, bersedia sampling dengan peneliti dan peneliti tidak

hemodialisis menjadi alat ukur dengan selanjutnya dilakuakan di merekomendasikan

pastisipan saat brief fatigue rumah selama 30 hari. untuk diberikan

penelitian, usia inventory scale Peneliti akan memonitor teknik progressive

>15 tahun, dengan 10 proses latihan tersebut muscle relaxation

kesadaran pertanyaan. Uji dengan cara menelepon dan tidak efektif

penuh, tidak statistik t test pasien dan hanya diberikan untuk

memiliki independen menyelesaikan program hasil fatigue

gangguan sebanyak 70% sampai normal p value

psikologis. evaluasi akhir. Untuk 0,145 (α> 0,05)

kelompok kontrol hasilnya


53

sebelum dan sesudah

dilakukan intervensi

dilakukan evaluasi data

dengan tool yang sudah

disediakan.
5. Siregar, C. T untuk 20 Responden kuantitatif, Teknik Pada penelitian ini Terdapat pengaruh

& Nasution, menentukan dengan design pre test Progressive didapatkan bahwa fatigue yang signifikan

R. A. (2017) perbedaan tingkat populasi yang and post test muscle mengakibatkan kurangnya terhadap tingkat

fatigue pada telah menjalani without control relaxation konsentrasi, lemah, kurang fatigue sebelum

pasien gagal hemodialisis group, alat ukur tidur, emosi tidak stabil dan sesudah

ginjal kronis yang selama 1 digunakan Piper dan mengahambat diberikan

menjalani tahun. Fatigue Scale aktivitas. Dari data intervensi, p value

hemodialisis (PFS) yang telah tersebut sebelum 0,000 (α= 0,005)

setelah diberikan di uji validitas, dilakukan intevensi 4

intevensi teknik dan uji statistik responden mengalami


54

progressive Paired t-test. fatigue ringan, 6

muscle responden mengalami

relaxation. fatigue sedang dan 10

responden mengalami

fatigue berat. Setelah

dilakukan intervensi, yang

tidak mengalami fatigue 4

responden, mengalami

fatigue ringan 6 responden

dan mengalami fatigue

sedang 10 responden.

Teknik Progressive

muscle relaxation

dilakukan selama 1 bulan.


55

Setelah diberikan

intervensi pasien

merasakan relaks dan

bugar, terapi ini dilakukan

sangat mudah dan simpel

serta memberikan dari

perasaan negatif menjadi

positif, hal ini sangat di

rekomendasikan kepada

perawat untuk

menurunkan angka

penurunan fatigue.
6. Kaplan, E S., mengetahui efek 96 reponden Kuantitatif, Progressive pada penelitian ini Dalam penelitian

Ovayolu, N dari latihan dibagi menjadi desain Relaxation didapatkan bahwa sebelum eksperimental

& Ovayolu relaksasi 2 kelompok menggunakan Exercise diberikan intervensi ini,dapat


56

O. (2019) progressive (48 intervensi eksperimen, peneliti melakukan disimpulkan bahwa

terhadap nyeri, dan 48 control random, dan interview terlebih dahulu Progressive

fatigue dan yang kontroling. Alat kemudian intervensi relaxation exercise

kualitas hidup. menerima ukur digunakan pertama dilakukan kepada mengurangi skala

terapi Piper Fatigue pasien yang didampingi kelelahan,

hemodialisa Scale, Visual oleh peneliti, hal ini untuk keparahan

dengan 2 Analog Scale memudahkan pasien dalam kelelahan, skor

rumah sakit, untuk nyeri gerakan latihan progresif. rata-rata nyeri, dan

dengan sedang, dan Pasien melakukan gerakan keparahan rasa

kualifikasi Quality of Life mandiri selama dirumah sakit. Latihan

menjalani Scale. uji dengan CD dan buku yang relaksasi progresif

hemodialisis statistik yang diberikan oleh peneliti juga meningkat

selama 6 digunakan kemudian hasil tersebut di rata-rata skor QOL

bulan, usia 18 independent- catat setelah dilakukan dan, dengan


57

tahun, bersedia samples t test intervensi selama 6 demikian,

untuk menjadi dan chi square. minggu, 2 minggu sekali meningkatkan

responden dan peneliti menanyakan kualitas hidup.

tidak informasi tentang praktik

mengalami yang dilakukan melalui

gangguan CD.

mental.

7. Antoni, A., untuk melihat 66 responden kuantitatif, progressive hasil penelitian Terdapat pengaruh

Dharmajaya, pengaruh dibagi 2 dengan muscle menunjukan bahwa secara bermakna

R & Harahap, progressive kelompok (33 menggunakan relaxation fatigue dipengaruhi oleh terhadap penurunan

I. A (2016) muscle relaxation kelompok quasi usia dan jenis kelamin gejala fatigue

terhadap gejala intervensi dan experimental (wanita lebih besar pasien Diabetes

fatigue pada 33 kelompok pretest- posttest mengalami fatigue Melitus Tipe 2


58

pasien DM TIPE kontrol) design. Alat dibandingkan laki-laki), dengan p value

2 ukur yang hal tersebut menunjukan <0,001

digunakan Piper penurunan kekuatan dan

Fatigue Scale, ketahanan otot, sehingga

uji yang kelelahan menjadi semakin

digunakan meningkat. Oleh karena itu

paired t test dan intervensi progrssive

independent t muscle relaxation

test merupakan salah satu

tindakan mandiri

keperawatan yang harus

dilakukan pada pasien

yang mengalami gejala

fatigue sebelum dilakukan


59

progressive muscle

relaxation pada kelompok

intervensi menunjukan

rata-rata 7,32 sedangkan

kelompok kontrol

menunjukan rata-rata 7,27.

Mengalami perubahan

pada kelompok intervensi

setelah diberikan

intervensi dengan rata-rata

5,47 sedangkan pada

kelompok kontrol rata-rata

7,22.
3. Resume Diagram Prisma

Dalam pengambilan artikel dilakukan dengan metode PRISMA

yaitu sebagai berikut:

1. Metode pencarian jurnal internasional: Google Scholar,

PubMed, Sciencedirect. Pada website Google scholar ditemukan

sebanyak 11.000 temuan, kemudian dipersempit dengan 5 tahun

terakhir dan kata kunci hanya dalam judul sebanyak 31 temuan.

Pada website Sciencedirect ditemukan sebanyak 597 temuan,

kemudian dipersempit dengan 5 tahun terakhir dan tipe artikel

(review article dan research article) ditemukan sebanyak 109

temuan. Dan yang terakhir dengan website PubMed ditemukan

sebanyak 48 temuan, kemudian dipersempit 5 taun terakhir

dengan tipe artikel full text dan species human ditemukan

sebanyak 27 temuan.

2. Metode pencarian jurnal Nasional: Peneliti membuka website

www.scholar.google.com dan www.garuda.ristekbrin.go.id

Google Scholar ditemukan 133 temuan kemudian dipersempit

dengan 5 tahun terakhir dan kata kunci hanya dalam judul

sebanyak 1 temuan, garuda ditemukan 79 temuan kemudian

dipersempit dengan 5 tahun terakhir sebanyak 6 temuan.


61

B. Pembahasan

Pembahasan yang dilakukan oleh peneliti adalah menganalisis

persamaan, perbedaan dan Analisa peneliti dari beberapa jurnal/

artikel yang paling baik dan efektif dari segi hasil akhir penelitian.

Menurut Hadadian (2019); Antoni (2016); Siregar (2016), Kaplan

(2019) serta Amini (2016) prevalensi terjadinya fatigue pada pasien gagal

ginjal kronis yang menjalani hemodialisis berkisar 60-90 %. Hal ini perlu

diperhatikan karena menjadi salah satu masalah perawat yang harus diatasi.

Menurut Siregar (2016) perasaan responden mengalami fatigue terjadinya

penurunan konsentrasi, keletihan yang berkepanjangan, dan mengurangi

kegiatan aktivitas. Tetapi Fari (2019) mengemukaan bahwa munculnya

keletihan pada pasien yang menjalani hemodialisis terjadi oleh banyak

faktor termasuk nutrisi yang buruk, gangguan psikologis, dan perubahan

kondisi kesehatan diikuti oleh Kaplan (2019) bahwa efek dan keparahan

kelelahan dalam aktivitas sehari-hari dilihat dari emosional pasien yang

menyebabkan gejala kelelahan dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan

kelelahan mental. Maka penelitian Herlina (2015) mewakili dari judul

tersebut ingin mengetahui bagaimana perubahan tingkat fatigue sebelum

dan sesudah dilakukan intervensi progressive muscle relaxation.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa dari tujuh jurnal/ artikel

meggunakan metode kuantitatif studi dimana Hadadian (2019)

menggunakan kuesioner Brief fatigue inventory scale yang sudah terstandar

atau hasil analisis sendiri sedangkan sisanya menggunakan Fatigue Paper


62

Scale dalam pengumpulan data. Desain dalam penelitian tersebut

menggunakan desain eksperimen sebanyak 4 penelitian menggunakan

Randomized  Clinical Trial dan 3 penelitian menggunakan quasi

eksperimen. hal itu dapat dilihat dari Siregar (2016) menggunakan Pretest

Posttest without control design. Herlina (2015); Hadadian (2019); Antoni

(2016) dan Kaplan (2019) membagi 2 kelompok dengan kelompok

intervensi dan kelompok kontrol sehingga desain yang digunakan yaitu

Pretest Posttest Control Gorup. Diikuti Fari (2019) dan Amini (2016)

menggunakan pretest posttest three group untuk dilakukan intervensi.

Penelitian Antoni (2016) sebanyak 66 sampel, Herlina (2015)

sebanyak 32 sampel dan Kaplan (2019) sebanyak 96 sampel, penelitian

tersebut dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok intevensi dan kelompok

kontrol sehingga terdapat kelompok pembanding untuk meninjau hasil

intervensi progressive muscle relaxation terhadap fatigue. Outcome yang

didapatkan dari 3 jurnal tersebut memiliki kesamaan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan pada tingkat fatigue sebelum dan sesudah

diberikan intervensi progressive muscle relaxation dengan p value 0,001.

Hal tersebut berbeda dengan penelitian Hadadian (2019) sebanyak 65

sampel yang digunakan untuk teknik progressive muscle relaxation

(kelompok eksperimen 27 orang dan kelompok kontrol 38 orang) dari hasil

penelitian ini yang dilakukan selama 1 bulan menunjukan bahwa pemberian

progressive muscle relaxation tidak ada efek positive terhadap perubahan

fatigue pasien hemodialisis p value >0,05. Secara umum, pemberian teknik


63

tersebut tidak efektif untuk mengurangi fatigue mencapai tingkat normal,

hal ini memungkinkan setiap pasien memiliki pengalaman atau kondisi yang

berbeda dalam mengatasi masalah yang muncul terhadap fatigue saat

diberikannya intervensi progressive muscle relaxation. Selain itu, berkenaan

dengan keterbatasan penelitian, intervensi tersebut dilakukan dirumah

masing-masing secara mandiri oleh pasien. Peneliti tersebut

merekomendasikan untuk dilakukan penelitian selanjutnya. Berbanding

terbalik dengan penelitian Siregar (2016) sebanyak 20 sampel yang sama

dilakukan selama 1 bulan hasil dari penelitian tersebut terdapat perbedaan

yang bermakna terhadap perubahan tingkat fatigue, penelitian ini sangat

direkomendasikan sebagai pelayanan keperawatan untuk mengajarkan pada

pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis untuk mengurangi

tingkat fatigue.

Penelitian Fari (2019) menekankan bahwa pengalaman yang berbeda

dengan ketakutan dan ancaman kematian dapat memicu stress yang

mengakibatkan fatigue sehingga dilakukan teknik progressive muscle

relaxation dengan hasil yang diberikan sebelum dan sesudah intervensi

selama 8 minggu, sampel yang digunakan sebanyak 30 responden

(progressive muscle relaxation 10 orang, aerobic exercise 10 orang dan

kelompok kontrol 10 orang). Populasi dan sampel penelitian ini

teridentifikasi dengan baik begitu juga intervensi dan outcome yang ingin

dicapai. Outcome yang dicapai dari penggabungan 2 intervensi menunjukan

ada perbedaan yang signifikan pada tingkat fatigue dan selfcare sebelum
64

dan sesudah diberikan intevensi progressive muscle relaxation. Intervensi

tersebut sangat direkomendasikan kepada pelayanan keperawatan dalam

melakukan asuhan keperawatan. Namun, hal tersebut berbeda dengan

penelitian Amini (2016) sampel yang digunakan untuk kelompok intervensi

sebanyak 65 orang dan 35 orang kelompok kontrol, intervensi dibagi

menjadi 2 kelompok (Aerobic Exercise 32 orang dan Progressive muscle

relaxation 33 orang). Hasil penelitian tersebut selama 2 bulan menunjukkan

bahwa outcome yang dicapai (penurunan tingkat anxietas, fatigue dan

kualitas tidur) menurun secara bermakna setelah dilakukan intervensi

Progeresive muscle relaxation, namun pada intervensi aerobic exercise

tidak signifikan untuk pasien yang mengalami fatigue, hanya mempengaruhi

terhadap anxietas dan kualitas tidur. Pada penelitian ini teknik progressive

muscle relaxation lebih efektif dibandingkan dengan teknik aerobic

exercise. Hal ini kemungkinan besar berhubungan dengan adanya gerakan

yang berlebih terhadap pasien meskipun keduanya sama-sama mampu

mereduksi fatigue namun efek bahagia dan ketenangan lebih tinggi pada

teknik progressive muscle relaxation.

Penulis dapatkan dari penelitian Herlina (2015); Siregar (2016); Fari

(2019); Hadadian (2019); Kaplan (2019) dan Amini (2016) menggunakan

teknik progressive muscle relaxation selama ± 15-25 menit dalam satu sesi.

Latihan ini menurut Herlina (2015) intervensi progressive muscle relaxation

memberikan efek relaksasi otot sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh

darah yang memberikan efek nyaman. Hal ini juga memiliki kesamaaan
65

dengan Siregar (2016) yang mendapatkan hasil bahwa teknik pemberian

progressive muscle relaxation dapat mengurangi ketegangan otot, membuat

tubuh santai dan pikiran terasa tenang. Latihan progressive muscle

relaxation yang berisi latihan relaksasi dan latihan streching untuk

kelompok otot-otot besar ditubuh manusia dari kepala sampai kaki yang

dilakukan secara teratur, termasuk latihan ringan sehingga jika dilaksanakan

selama 25 menit tidak akan menimbulkan kelelahan.

Dalam penelitian Fari (2019) dan Amini (2016) menunjukan cakupan

bahasan yang lebih luas dimana gerakan relaksasi atau latihan fisik

berhubungan untuk mengurangi fatigue sehingga dampak yang baik untuk

dilakukan dengan meningkatkan energi negatif menjadi energi positif.

Selain itu, Antoni (2016) berpendapat bahwa pasien yang mengalami

fatigue pada diabetes melitus tipe 2, diberikan intervensi progressive muscle

relaxation sangat berpengaruh terhadap penurunan tingkat fatigue, maka

teknik progressive muscle relaxation dapat dilakukan oleh semua pasien

yang mengalami fatigue dengan syarat tidak mengalami gangguan

muskuloskeletal.

Peneliti menganalisis dari hasil segi akhirnya 6 jurnal/ artikel

menuliskan keefektifan progressive muscle relaxation dapat mengurangi

fatigue, dan 1 artikel menuliskan bahwa intervensi progressive muscle

relaxation tidak efektif untuk diberikan terhadap pasien yang mengalami

fatigue, namun hal tersebut harus di lakukan penelitian selanjutnya. Perlu di

perhatikan oleh perawat dimana pasien yang menjalani hemodialisis sangat


66

rentan sekali mengalami keluhan terutama pada fatigue, demikian

progressive muscle relaxation menjadi terapi non farmakologi yang

digunakan dengan efek samping yang minim, seperti yang dikatakan bahwa

Amini (2016) teknik progressive muscle relaxation lebih baik diberikan

pada pasien yang mengalami fatigue dibandingkan dengan teknik aerobic

exercise dan Siregar (2017) sangat merekomendasikan intervensi

progressive muscle relaxation diberikan pada pasien gagal ginjal kronis

yang menjalani hemodialisis dengan keluhan fatigue. Dari beberapa

penelitian progressive muscle relaxation dapat dilakukan secara mandiri,

waktu yang fleksibel dan aman untuk digunakan. Waktu yang paling lama

dalam penelitian tersebut yaitu 2 bulan berdasarkan dari penelitian Amini

(2016) dan Fari (2019) serta waktu yang paling singkat dilakukan oleh

Herlina (2015) dengan kurun waktu 3 minggu sebanyak 5 kali latihan pada

pasien hemodialisis. Kemudian, sampel yang di gunakan sangat beragam

dari beberapa penelitian dengan rentang 20-100 sampel yang dibagi secara

merata hal tersebut dinyatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna

antara variabel independen dengan variabel dependen, kecuali pada

penelitian Hadadian (2019) pembagian sampel tidak merata pada penelitian

ini lebih banyak sampel yang digunakan pada kelompok kontrol. Sehingga

dari penelitian tersebut mempengaruhi hasil yang didapatkan, maka tidak

terdapat perbedaan antara variabel independen dengan variabel dependen.


67

Berdasarkan hasil analisis yang diambil oleh peneliti, diperkuat dari

beberapa penelitian bahwa pemberian progressive muscle relaxation lebih

efisen dan efektif terhadap pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis dengan keluhan fatigue. Progressive muscle relaxation ini

terapi yang bisa dilakukan dengan beberapa gerakan dan posisi terlentang

ataupun setengah duduk. Sehingga sangat mudah bagi pasien untuk

melakukan secara mandiri.


BAB V

SIMPULAN

A. Simpulan

Hasil tinjauan dari penelitian menunjukan bahwa fatigue di sebabkan

oleh banyak faktor diantaranya usia, latar belakang pendidikan, lamanya

menjalani hemodialisis, nutrisi dan yang paling utama stres. Sehingga

pelaksanaan non farmakologi dengan latihan progressive muscle relaxation

durasi ±15-25 menit per sesi untuk mendapatkan hasil yang maksimal. 6

jurnal menyatakan bahwa efek latihan progressive muscle relaxation dapat

menurunkan fatigue jika dilaksanakan secara rutin, namun 1 jurnal

menyebutkan bahwa efek progressive muscle relaxation tidak berpengaruh

terhadap tingkat fatigue, sehingga harus dilakukan penelitian lebih lanjut.

Hal ini sangat di rekomendasikan oleh peneliti sebagai pelayanan

keperawatan untuk pasien yang mengalami fatigue.

B. Saran

Penelitian ini terbatas karena hanya menggunakan 7 artikel dengan

sampel yang cukup sedikit. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai pengaruh progressive muscle relaxation terhadap tingkat fatigue

pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis dengan jumlah

artikel serta menggunakan sampel yang lebih banyak lagi. Penyusunan

Standar Prosedur Operasional (SPO) terhadap teknik progressive muscle

relaxation perlu diperhatikan demi menjaga keselamatan pasien.

Anda mungkin juga menyukai