Anda di halaman 1dari 7

PROPOSAL

PENGARUH EXERCISE INTRADISLYSTIC TERHADAP TINGKAT


KELEMAHAN PADA PASIEN YANG SEDANG MELAKUKAN
HEMODIALISA DI RS SARTIKA ASIH BANDUNG

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Akhir Program Studi S1 Keperawatan

Di susun Oleh :

ASRI RAHAYU MUSLIM

AK.1.15.007

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES BHAKTI KENCANA BANDUNG
Jl. Soekarno-Hatta No. 754 Telp. (022) 7830768 Cibiru – Bandung

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah


dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan
cairan dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potassium dan fosfat
tetap stabil, sertamemproduksi hormone dan enzim yang membantu dalam
mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah merah dan menjaga tulang
tetap kuat.

Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat


global dengan prevalensi dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis
yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK mrningkat seiring
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes
mellitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada
stadium tertentu. Hasil systematic review dan meta analysis yang dilakukan oleh
Hill et al, 2016, PGK merupakan penyebab kematian terbesar 13,4%. Menurut
hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian
peringkat ke 27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke 18 pada
tahun 2010. Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan
ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit
jantung.

Penyakit ginjal kronis adalah penurunan fungsi ginjal dalam beberapa bulan
atau tahun. Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal dan atau
penurunan Gloerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2
selama minimal 3 bulan (kidney diasease)
Penderita gagal ginjal kronik menurut estimasi World Health Organization
(WHO) secara global lebih dari 500 juta orang dan sekitar 1,5 juta orang harus
menjalani hemodialisis. Populasi penderita gagal ginjal di Indonesia dari tahun
ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh PT. Askes,
pada tahun 2009 jumlah pasien gagal ginjal kronik sebanyak 70 ribu orang lalu
pada tahun 2010 jumlah pasien gagal ginjal kronik adalah 17.507 orang dan
meningkat lagi pada tahun 2011 sekitar lima ribu. Pada tahun 2011 ke 2012
terjadi peningkatan yakni 24.141 pasien (Nawawi, 2013). Perhimpunan Nefrologi
Indonesia atau Pernefri melaporkan bahwa setiap tahun terdapat 200.000 kasus
baru gagal ginjal stadium akhir (Anna, 2013).

Hasil survei yang dilakukan oleh Pernefri (2012) menyatakan bahwa


sebanyak 83% pasien gagal ginjal berada dalam tahap terminal. Pada tahap ini
telah terjadi penurunan fungsi ginjal sehingga keseimbangan cairan, elektrolit
dan asam basa didalam darah terganggu . Gagal ginjal dapat disebabkan oleh
bermacam-macam penyakit (Brunner & Suddarth, 2008). Menurut Pernefri
(2011), penyebab penyakit ginjal kronik pada pasien hemodialisis baru antara
lain glomerulopati primer 14%, nefropati diabetika 27%, nefropati lupus 1%,
penyakit ginjal hipertensi 34%, ginjal polikistik 1%, nefropati asam urat 2%,
nefropati obstruksi 8%, pielonefritis kronik 6%, lain-lain 6% dan tidak diketahui
1%.

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan di berbagai negara


dengan prevalensi yang selalu meningkat. Di Indonesia diperkirakan insiden
GGK berkisar 100 – 150 per 1 juta penduduk dan prevalensi mencapai 200 – 250
kasus per juta penduduk (Firmansyah, 2010).

Penatalaksanaan utama pada pasien GGK salah satunya dengan rutin


menjalani hemodialisa. Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan
pada pasien dalam keadaan sakit akut dan melakukan terapi dialysis jangka
pendek atau pasien dengan stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka
panjang atau permanen (Smeltzer, S.C., & Bare. B.G., 2008). Bagi penderita
GGK, hemodialisa akan mencegah kematian. Hemodialisa tidak menyembuhkan
atau memulihkan penyakit ginjal. Pasien akan tetap mengalami sejumlah
permasalahan dan komplikasi serta adanya berbagai perubahan pada bentuk dan
fungsi sistem dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2008; Knap, 2005).

Dampak dari hemodialisa yang membutuhkan waktu selama 5 jam umumnya


akan menimbulkan stres fisik pada pasien setelah hemodialisa. Pasien akan
merasakan kelelahan, sakit kepala dan keluar keringat dingin akibat tekanan
darah menurun sehubungan dengan efek hemodialisa, adanya status nutrisi yang
buruk juga dapat menyebabkan penderita mengeluh malaise dan fatigue.

Fatique diartikan secara fisiologis yaitu adanya penurunan kekuatan otot


disebabkan karena kehabisan tenaga dan peningkatan sisa-sisa metabolisme,
misalnya asam laktat dan karbon dioksida (Soetomo, 1981)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fatigue merupakan salah satu gejala


yang paling umum dirasakan oleh pasien yang menjalani hemodialisis (Weisbord
SD, Fried LF, Mor MK et al., 2005). Prevalensi kejadian fatigue antara 60%
sampai 97% (Corwin, Elizabeth J. 2009). Fatigue dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang bervariasi, diantaranya kekurangan nutrisi, fisiologis yang tidak
normal, dan kurang tidur. Orang dewasa yang menerima hemodialisis khususnya
yang mengalami fatigue meskipun pada posisi terlentang maupun duduk
menunjukkan energi yang lemah, perubahan cairan dan kadar kimia darah
(Jablonski, A., 2007)

Pengkajian dan managemen fatigue sangat penting untuk meningkatkan hasil


klinis dan kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis. Penelitian
menunjukkan baik intervensi farmakologi seperti agen stimulating eritropoesis
dan non farmakologi seperti akupresur dan program aktifitas fisik digunakan
untuk penanganan fatigue (Ayu, G.I, 2010).

Aktifitas fisik (intradialytic exercise) meningkatkan kualitas tidur, relakasasi


otot, massase dan edukasi (Girija, K & Radha, R. 2013). Exercise intradialytic
merupakan latihan yang dilakukan pada saat menjalani hemodialisis. Pada
penelitian yang telah dilakukan oleh perkumpulan Nefrologi Canada dinyatakan
bahwa dari perspektif fisiologi, Exercise intradialytic dapat meningkatkan aliran
darah otot dan peningkatan jumlah area kapiler pada otot yang sedang bekerja
sehingga akan menghasilkan aliran urea dan racun-racun yang lainnya dari
jaringan ke area vaskuler yang dipindahkan selanjutnya pada dialiser (Jablonski,
A., 2007).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan diruang hemodialisa di


RS SARTIKA ASIH BANDUNG yang berjumlah 80 responden yang melakukan
hemodialisa yang telah rutin dan terjadwal rata rata tampak mengalami fatique
pada saat melakukan hemodialisa dan hasil wawancara dengan perawat yang
bertugas di ruangan hemodialisa mengatakan bahwa exercise intradyalitic belum
di lakukan di ruang hemodialisa RS SARTIKA ASIH BANDUNG. Hal ini yang
membuat peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai exercise intradyalic
terhadap fatigue.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan Masalah Dalam Penelitian Ini Adalah “Adakah Pengaruh Exercise


Intradialystic Terhadap Tingkat Kelelahan Pada Pasien Yang Sedang Melakukan
Hemodialisa Di Rumah Sakit Sartika Asih Bandung?”.
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum :

Mengetahui Pengaruh Exercise Intradialystic Terhadap Tingkat


Fatigue Pada Pasien Yang Sedang Melakukan Hemodialisa Di Rumah
Sakit Sartika Asih Bandung

1.3.2 Tujuan Khusus :

1) Mengidentifikasi Tingkat Kelelahan Sebelum Dilakukan Exercise


Intradialystic Pada Pasien Yang Sedang Melakukan Hemodialisa Di
Rumah Sakit Sartika Asih Bandung

2) Mengidentifikasi Tingkat Kelelahan Sesudah Dilakukan Exercise


Intradialystic Pada Pasien Yang Sedang Melakukan Hemodialisa Di
Rumah Sakit Sartika Asih Bandung

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

1) Bagi Ilmu Keperawatan

Penelitian Ini Di Harapkan Agar Menjadi Sumbangan ilmu


berupa standar operasional mengenali intervensi keperawatan yang
dapat di gunakan dalam penanganan Fatigue dan dapat menjadi bahan
reperensi mengenai pengaruh Exercise intradialytic Terhadap Fatigue
Pada Pasien Yang Sedang Melakukan Hemodialisa Di Rumah Sakit
Sartika Asih Bandung.

2) Bagi peneliti selanjutnya


Penelitian ini di harapkan bisa menjadi data dasar untuk
melakukakan penelitan mengenai terapi non farmakologi untuk
mengatasi Fatigue.

1.4.2 Praktis

1) Bagi Rumah sakit

Penelitian ini di harapkan agar menjadi rekomendasi bagi Rumah


Sakit dalam memberikan pedoman asuhan keperawatan dan dapat
menggunakan sebagai salah satu teknik dalam penanganan pada klien
yang mengalami Fatigue.

Anda mungkin juga menyukai