Anda di halaman 1dari 49

PENGARUH RELAKSASI AUTOGENIK TERHADAP TINGKAT

KECEMASAN PADA PASIEN HEMODIALISIS


DI RSUD PAPUA BARAT

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai


Gelar Sarjana Keperawatan

Disusun oleh :

MAULANA.A.R.D.PATTY 211FK05001
SUSI SEPIANI 211FK05003
UYAN SUPIAN 211FK05011

PROGRAM STUDI SARJANAKEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD)

berkontribusi pada beban penyakit dunia dengan angka kematian sebesar 1,19

juta jiwa per tahun (Global Burden of Disease, 2020). Di Indonesia, kasus

baru penyakit ginjal kronik diperkirakan berkisar 100-150/1juta penduduk.

Tahun 2018, di Indonesia terdapat 66.433 orang pasien baru dengan gagal

ginjal yang menjalani hemodialisis. Di wilayah Jawa Barat peningkatan

jumlah pasien yang menjalani hemodialisis terdapat 14.796 pasien penderita

gagal ginjal kronik baru yang menjalani hemodialisis (IRR, 2019).

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis

dengan berbagai macam penyebab, akibat dari perubahan fungsi nefron yang

mengalami kerusakan secara terus menerus dalam waktu yang lama hingga

menjadi stadium akhir (Nur, 2019). Masalah yang muncul pada pasien

penyakit ginjal kronik yaitu adanya penumpukan produk sisa metabolisme.

Dampak yang bisa terjadi akibat gagal ginjal kronik seperti kekurangan sel

darah merah, menumpuknya cairan di rongga tubuh bahkan di paru-paru yang

menyebabkan sesak nafas. Selain itu gangguan elektrolit menyebabkan

kenaikan kadar kalium tinggi dalam darah, sehingga menimbulkan masalah

pada fungsi otot, syaraf, irama jantung dan mengakibatkan kematian (Price

dan Wilson, 2019).

1
2

Penanganan masalah tersebut diantaranya dengan cara transplantasi

ginjal dan hemodialisis. Hemodialisis menjadi salah satu penanganan PGK

yang paling banyak dilakukan dan cara ini dilakukan apabila PGK sudah

mengalami stadium akhir gagal ginjal yaitu ginjal tidak mampu menjalankan

85-90% dari fungsi normalnya (Smeltzer, 2018). Prinsip kerja perpindahan

cairan pada hemodialisis adalah difusi, osmosis, ultrafiltrasi dan konveksi.

Melalui proses difusi molekul dalam darah dapat berpindah ke dialisat. Proses

perpindahan ini terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi larutan, dimana

konsentrasi darah lebih tinggi daripada konsentrasi dialisat. Osmosis adalah

perpindahan air dari tekanan tinggi (darah) ke tekanan yang lebih rendah

(dialisat) (Price & Wilson, 2018).

Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit

ginjal karena tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik

penyakit ginjal atau endokrin yang dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari

gagal ginjal serta terapi terhadap kualitas hidup pasien. Oleh karena itu pada

pasien yang menderita penyakit ginjal kronik harus menjalani dialisa

sepanjang hidupnya (Smeltzer, 2018). Pasien yang melakukan hemodialisis

memiliki dampak yang besar terhadap menurunnya kualitas hidup selain dari

itu pasien PGK akan mengalami adanya pembatasan cairan, hipotensi, emboli

udara, nyeri dada, pruritus, gangguan keseimbangan dialisis, kram dan nyeri

otot, hipoksemia, hiperkalemi dan juga kecemasan (Isroin, 2018; Smeltzer,

2018). Berbagai dampak yang muncul dari PGK, seperti pembatasan cairan,

hipotensi, emboli udara, nyeri dada, pruritus semuanya sudah ada penanganan
3

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (Smeltzer, 2018). Sedangkan untuk

kecemasan yang dilakukan tenaga kesehatan biasanya dengan meningkatkan

pengetahuan, namun selain dari itu, menurut peneliti perlu adanya intervensi

lain yang bisa mengatasi masalah kecemasan yang dialami oleh pasien PGK.

Akibat dari timbulnya kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik bisa

berdampak terhadap penurunan kualitas hidup dengan terganggunya aktivitas

sehari-hari.

Secara umum kecemasan dapat ditangani dengan menggunakan tehnik

farmakologis dan non-farmakologis. Tehnik non farmakologis yang bisa

digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan, seperti intervensi relaksasi

otot progresif, relaksasi autogenik, terapi musik, pernapasan berirama, dan

latihan relaksasi lainnya (Potter & Perry, 2018; Proverawati, 2019). Dari

berbagai intervensi tersebut, terapi autogenik menjadi salah satu terapi yang

memiliki keunggulan memberikan efek tenang dan pelaksanaannya mudah

dilakukan. Relaksasi autogenik bisa menjadi salah satu intervensi yang tepat,

dikarenakan mudahnya relaksasi autogenik karena kelebihan dari relaksasi

autogenik yaitu lebih mudah dilakukan dan diajarkan pada responden dan

hasilnya untuk masalah kecemasan bisa langsung diamati setelah pelaksanaan

intervensi.

Relaksasi autogenik merupakan relaksasi nafas dalam yang diikuti

dengan kata-kata positif atau sugesti positif pada diri sendiri dalam upaya

menenangkan diri sehingga menyebabkan pernafasan dan tekanan darah

menjadi rileks yang akhirnya cemas teratasi (Asmasi, 2018).


4

Penelitian yang dilakukaan oleh Rosida (2019) mengenai pengaruh

terapi relaksasi autogenik terhadap kecemasan pasien di Ruang Intensive Care

Unit Rumah Sakit Pusri Palembang didapatkan hasil bahwa Terapi relaksasi

autogenik mempunyai pengaruh terhadap penurunan kecemasan pasien.

Penelitian yang dilakukan oleh Saputri (2019) mengenai pengaruh terapi

autogenik terhadap kondisi psikologi didapatkan hasil bahwa terapi relaksasi

autogenik mempunyai pengaruh terhadap penurunan kecemasan pasien. Hasil

tinjauan jurnal lebih lanjut, peneliti tidak mendapatkan jurnal yang

menyebutkan tidak ada pengaruh intervensi autogenik terhadap kecemasan.

Keterbaruan dalam penelitian ini yaitu intervensi dilakukan pada pasien

hemodialisis, sedangkan dalam pencarian artikel tidak ada temuan intervensi

autogenik untuk mengatasi kecemasan pada pasien hemodialisis.

Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RSUD PAPUA

BARAT, jumlah pasien PGK yang dilakukan hemodialisis pada tahun 2019

sebanyak 42 orang, tahun 2020 sebanyak 53 orang dan pada tahun 2021

sebanyak 64 orang. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan kasus

PGK yang dilakukan hemodialisis setiap tahunnya. Hasil wawancara terhadap

10 orang pasien hemodialisis, didapatkan 8 orang menyebutkan sering merasa

gelisah, merasa takut, tidak bisa istirahat dengan tenang dan kadang pusing

serta mual apabila mengingat kondisi yang dialami. 2 orang menyebutkan

merasa tidak terlalu takut atas kondisi yang dialami dikarenakan merasa

penyakit yang dialami merupakan takdir dari Allah SWT.


5

Hasil wawancara terhadap tenaga kesehatan didapatkan bahwa selama

ini belum pernah dilakukan intervensi dalam mengatasi kecemasan pada

pasien hemodialisis. Hanya saja tenaga kesehatan selalu dengan rutin

berupaya meningkatkan pengetahuan klien dengan cara menginformasikan

mengenai gagal ginjal kronis dan hemodialisis. Lebih lanjut didapatkan hasil

wawancara terhadap 10 orang hemodialisis didapatkan bahwa semuanya

belum pernah tahu dan melakukan relaksasi autogenik. 8 dari 10 orang

tersebut mengatakan apabila sedang mengalami cemas upaya yang dilakukan

hanya berupaya istirahat dengan tenang 2 orang menyebutkan apabila

mengalami kecemasan maka berusaha istirahat dan membicarakan masalahnya

dengan keluarga.

Berdasarkan hasil di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh relaksasi autogenik terhadap tingkat

kecemasan pada pasien hemodialisis di RSUD PAPUA BARAT”.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu“Adakah pengaruh

relaksasi autogenik terhadap tingkat kecemasan pada pasien hemodialisis di

RSUD PAPUA BARAT?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh relaksasi autogenik terhadap tingkat

kecemasan pada pasien hemodialisis di RSUD PAPUA BARAT.


6

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui tingkat kecemasan pada pasien hemodialisis di RSUD

PAPUA BARAT sebelum relaksasi autogenik.

2. Mengetahui tingkat kecemasan pada pasien hemodialisis di RSUD

PAPUA BARAT setelah relaksasi autogenik.

3. Menganalisis pengaruh relaksasi autogenik terhadap tingkat

kecemasan pada pasien hemodialisis di RSUD PAPUA BARAT.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis dapat diketahui adanya pengaruh relaksasi autogenik

terhadap tingkat kecemasan pada pasien hemodialisis.

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Bagi Tempat Penelitian

Adanya penelitian ini tempat penelitian bisa menjadikan

standar operasional prosedur relaksasi autogenikdalam mengatasi

kecemasan pada pasien hemodialisis.

2) Bagi Perawat

Sebagai salah satu intervensi keperawatan berupa peran

tenaga kesehatan dalam mengatasi masalah kecemasan dengan

pemberian relaksasi autogenik.

3) Bagi Peneliti Selanjutnya


7

Penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk penelitian

lanjutan tentang cara mengatasi kecemasan pada pasien

hemodialisis.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian yaitu keperawatan medikal bedah. Masalah

yang terjadi yaitu adanya kecemasan pada pasien hemodialisis akibat rutinitas

yang harus dilakukan untuk bertahan hidup. Penelitian dilakukan pada bulan

Oktober 2022 sampai Juli 2023 dan dilakukan di RSUD PAPUA BARAT.

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode pre eksperiment.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Peneliti menemukan beberapa artikel hasil kajian pustaka yang

mengkaji mengenai relaksasi pengaruhnya terhadap tingkat fatigue

diantaranya sebagai berikut:

1. Penelitian Rosida (2019) mengenai pengaruh terapi relaksasi autogenik

terhadap kecemasan pasien di Ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit

Pusri Palembang. Penelitian ini didapatkan rata-rata kecemasan pre-test

yaitu 43,55 dan rata-rata kecemasan post-test yaitu 36,6 dengan nilai p =

0,001 (p<0,05). Hasil tersebut dapat dikatkaan bahwa terapi relaksasi

autogenik mempunyai pengaruh terhadap penurunan kecemasan pasien.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Saputri (2019) mengenai pengaruh terapi

autogenik terhadap kondisi psikologi didapatkan hasil bahwa pada

kelompok intervensi terdapat efektivitas terapi autogenik terhadap

penurunan tingkat depresi, kecemasan dan stres dengan masing-masing p

value=0,000/. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terapi relaksasi

autogenik mempunyai pengaruh terhadap penurunan kecemasan pasien.

2.2 Penyakit Ginjal Kronik

2.2.1 Pengertian

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologis

dengan etiologi bermacam-macam dan mengakibatkan terjadinya

8
9

penurunan fungsi ginjal yang progresif serta berujung dengan kondisi

gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan suatu kondisi klinis yang ditandai

dengan menurunnya fungsi ginjal yang bersifat irreversible, dan

memerlukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis, CAPD

(Continous Ambulatory Periteneal Dyalisis) ataupun transplantasi ginjal.

Selain itu penyakit ginjal kronik bisa dikatakan juga sebagai terjadinya

kerusakan ginjal (renal damage) dan terjadi lebih dari 3 bulan, berupa

kelainan fungsional dan struktural, adanya penurunan laju filtrasi

glomerulus (LFG), adanya kelainan patologis, kelainan ginjal seperti

kelainan dalam komposisi darah atau urin serta adanya kelainan pada tes

pencitraan (imaging tests) serta laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari

60 ml/mnt/1.73 m2 (Nurchayati, 2020).

Penyakit ginjal kronik merupakan gangguan fungsi pada ginjal

yang progresif dengan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan elektrolit dan cairan, menyebabkan

uremia atau terjadi retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah

(Smeltzer & Bare, 2019). Penyakit penyakit ginjal kronik terjadi bila

kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang

cocok untuk kelangsungan hidup. Penyebab penyakit ginjal kronik antara

lain penyakit infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif,

gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit

metabolik, nefropati toksik, nefropati obstruktif (Prince & Wilson, 2020).

Penyakit ginjal kronik adalah bentuk kegagalan fungsi ginjal terutama di


10

unit nefron yang berlangsung perlahan-lahan denggan penyebab yang

berlangsung lama, menetap dan mengakibatkan penumpukan sisa

metabolit atau toksik uremik, hal ini menyebabkan ginjal tidak dapat

memenuhi kebutuhan seperti biasanya sehingga menimbulkan gejala sakit

(Black & Hawks, 2020).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan

bahwa penyakit ginjal kronik adalah penurunan sampai terjadi kegagalan

fungsi ginjal yang mengakibatkan uremia atau terjadi retensi urea dan

sampah nitrogen lain dalam darah.

2.2.2 Etiologi

Penyebab utama penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, dan

secara keseluruhan etiologi dari terjadinya penyakit ginjal kronik

disebabkan karena adanya diabetes mellitus tipe 2, hipertensi,

glomerulonefritis, nefritis interstisialis, infeksi, nefritis lupus, nefropati

urat, introksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, obstruksi

traktus urinarius, lesi herediter seperti penyakit ginjal polikistik dan

penyebab yang tidak diketahui(Brunner & Suddarth, 2019).

2.2.3 Patofisologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangannya proses yang

terjadi sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi

struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)


11

sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif

seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya

hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran

darah glomerulus.

Pada stadium paling dini pada penyakit ginjal kronik, terjadi

kehilangan daya penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisisang

ginjal (renal reserve), dimana basal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih

normal atau dapat meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan

terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan

peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar

60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah

terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum sampai pada LFG

sebesar 30%. Kerusakan ginjal dapat menyebabkan terjadinya penurunan

fungsi ginjal, produk akhir metabolik yang seharusnya dieksresikan ke

dalam urin, menjadi tertimbun dalam darah. Kondisi seperti ini dinamakan

sindrom uremia. Terjadinya uremia dapat mempengaruhi setiap sistem

tubuh. Semakin banyak timbunan produk metabolik (sampah), maka gejala

akan semakin berat (Brunner & Suddarth, 2019).

Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan

seperti hipovolemi atau hipervolemi, gangguan keseimbangan elektrolit

antara lain natrium dan kalium. LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan

komplikasi yang lebih serius, dan pasien memerlukan terapi pengganti

ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi


12

ginjal, pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal

(Suharyanto dalam Hidayati, 2020).

2.2.4 Gambaran Klinis

Gambaran klinis pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, yaitu

(Sudoyo, 2019):

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus,

infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperuremia,

Lupus Erimatosus Sistemik (LES) dan lain sebagainya.

2. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual

muntah, nokturia, kelebihan volume cairan,(volume overload),

neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang

sampai koma.

3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodstrofi

renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan

elektrolit (sodium, kalium dan klorida).

2.2.5 Stadium Penyakit ginjal kronik

Tahapan penyakit penyakit ginjal kronik berlangsung secara terus-

menerus dari waktu ke waktu. The Kidney Disease Outcomes Quality

Initiative (K/DOQI) mengklasifikasikan penyakit ginjal kronik sebagai

berikut:

1. Stadium 1: kerusakan masih normal (GFR >90 mL/min/1.73 m2)

2. Stadium 2: ringan (GFR 60-89 mL/min/1.73 m2)


13

3. Stadium 3: sedang (GFR 30-59 mL/min/1.73 m2)

4. Stadium 4: gagal berat (GFR 15-29 mL/min/1.73 m2)

5. Stadium 5: gagal ginjal terminal (GFR <15 mL/min/1.73 m2)

Pada penyakit ginjal kronik tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan

tanda-tanda kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal

atau urin yang abnormal (Arora, 2019).

2.3 Konsep Hemodialisis

2.3.1 Pengertian

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien

dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek

(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit

ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang

memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis

adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah

dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2019).

Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi

sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir

gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis

waktu singkat. Penderita penyakit ginjal kronik, hemodialisis akan

mencegah kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan

penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas

metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal
14

ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth,

2019).

2.3.2 Tujuan

Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut

diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi

(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin,

dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam

mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat

ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita

penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan fungsi ginjal sambil

menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2019).

Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang

melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi

elektrokimia. Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan

suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari

ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat

terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan dengan memindahkan zat

terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi zat

terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi. Molekul

kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang

kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2- microglobulin, dan

albumin, dan zat terlarut yang terikat protein seperti pcresol, lebih lambat

berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-
15

pori) di membran dengan bantuan proses konveksi yang ditentukan oleh

gradien tekanan hidrostatik dan osmotik – sebuah proses yang dinamakan

ultrafiltrasi (Cahyaning, 2019).

Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada perubahan dalam

konsentrasi zat terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk

membuang kelebihan cairan tubuh total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis

pasien harus diperiksa agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan

tujuan untuk masing-masing sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan

menyatukan komponen peresepan dialisis yang terpisah namun berkaitan

untuk mencapai laju dan jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat

terlarut yang diinginkan. Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek

gejala (symptoms) yang dikenal sebagai sindrom uremi (uremic

syndrome), walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun

organ tertentu merupakan penyebab akumulasi zat terlarut tertentu pada

uremia (Lindley, 2019).

Menurut Sumpena (2019) Sebagai terapi pengganti, kegiatan

hemodialisis mempunyai tujuan :

1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin.

2) Membuang kelebihan air.

3) Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.

4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.


16

2.3.3 Prinsip yang Mendasari Kerja Hemodialisis

Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan

limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah

tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.

Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat

artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan

bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati

tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya.

Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui

membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2019).

Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi,

osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan

melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki

konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah

(Lavey, 2019). Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting

dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari

dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan

dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah

dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih

rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui

penambahan tekanan negative dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin

dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan


17

penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Elizabeth, et

all, 2019).

2.3.4 Akses Sirkulasi Darah Pasien

Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan

femoralis, AV. Shunt. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada

hemodialisis darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk

pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam

pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara (Barnett

& Pinikaha, 2020).

AV. Shunt yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan

(biasanya dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan

atau menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side

to side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). AV. Shunt

tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum

siap digunakan (Brruner & Suddart, 2019). Waktu ini diperlukan untuk

memberikan kesempatan agar AV. Shunt pulih dan segmenvena AV.

Shunt berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen

besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah

agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer.

Segmen vena AV. Shunt digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus)

darah yang sudah didialisis (Barnett & Pinikaha, 2020).


18

2.3.5 Penatalakasanaan Pasien yang Menjalani Hemodialisis

Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai

upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat

menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis

dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal

(Anita, 2020).

Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup

agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang

penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan

protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan

protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70

meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan

tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan

untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah

urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-

120 mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan

tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong

pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode

di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar

(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2019).

Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian

melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida

jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat


19

untuk memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan

dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko

timbulnya efek toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo,

2020).

2.3.6 Komplikasi

Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi,

emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus.

Masing – masing dari point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada,

gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa

faktor. Hipotensi terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.

Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,

rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati

otonomik, dan kelebihan berat cairan. Emboli udara terjadi jika udara

memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak & Gallo, 2020). Nyeri dada

dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi

darah diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan dialisis terjadi

karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.

Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala

uremia yang berat. Pruritus terjadi selama terapi dialisis ketika produk

akhir metabolisme meninggalkan kulit (Smelzer, 2019).

Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom

disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan


20

intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen

akibat dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi.

Dampak dilakukan hemodialisis diantaranya adalah persepsi haus karena

adanya pembatasan cairan, hipotensi, emboli udara, nyeri dada, pruritus,

gangguan keseimbangan dialisis, kram dan nyeri otot, hipoksemia,

kalasemia dan juga kecemasan (Brunner & Suddarth, 2019, Isroin, 2019).

2.4 Konsep Kecemasan

2.4.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan

dan tidak dapat dibenarkan yang sering disertai dengan gejala fisiologis

(Tomb, 2018). Stuart (2018) mengatakan kecemasan adalah keadaan

emosi yang tidak memiliki objek yang spesifik dan kondisi ini dialami

secara subjektif. kecemasan berbeda dengan rasa takut. Takut merupakan

penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Kecemasan adalah

respon emosional terhadap penilaian tersebut. Menurut Wignyosoebroto,

dikutip oleh Purba, dkk. (2018), takut mempunyai sumber penyebab yang

spesifik atau objektif yang dapat diidentifikasi secara nyata, sedangkan

kecemasan sumber penyebabnya tidak dapat ditunjuk secara nyata dan

jelas.

Kecemasan merupakan suatu keadaan yang wajar, karena

seseorang pasti menginginkan segala sesuatu dalam kehidupannya dapat

berjalan dengan lancar dan terhindar dari segala marabahaya atau

kegagalan serta sesuai dengan harapannya. Banyak hal yang harus


21

dicemaskan, salah satunya adalah kesehatan, yaitu pada saat dirawat di

rumah sakit. Kecemasan merupakan suatu respon yang tepat terhadap

ancaman, tetapi kecemasan dapat menjadi abnormal bila tingkatannya

tidak sesuai dengan proporsi ancaman (Purba, 2018).

2.4.2 Tanda dan Gejala Kecemasan

Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan

oleh seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang

dirasakan oleh idividu tersebut (Hawari, 2019). Keluhan yang sering

dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum

menurut Hawari (2019), antara lain adalah sebagai berikut:

1. Gejala psikologis : pernyataan cemas/ khawatir, firasat buruk, takut

akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak

tenang, gelisah, mudah terkejut.

2. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

3. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.

4. Gejala somatic : rasa sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar, sesak

nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala, gangguan perkemihan,

tangan terasa dingin dan lembab, dan lain sebagainya.

2.4.3 Rentang Respon Kecemasan

Menurut Stuart (2018), rentang respon induvidu terhadap

kecemasan berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang

respon yang paling adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga

untuk beradaptasi dengan kecemasan yang mungkin muncul. Sedangkan


22

rentang yang paling maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak

mampu lagi berespon terhadap kecemasan yang dihadapi sehingga

mengalami ganguan fisik dan psikososial.

2.4.4 Faktor Predisposisi

Penyebab kecemasan dapat dipahami melalui beberapa teori seperti

yang dikemukakan oleh Stuart (2018).

1. Teori Psikoanalitik

Pandangan psikoanalitik menyatakan kecemasan adalah konflik

emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan

superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang,

sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan

dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi

menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan, dan fungsi

kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

2. Teori Interpersonal

Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari

perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan

interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan

trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan

kelemahan spesifik. Individu dengan harga diri rendah mudah

mengalami perkembangan kecemasan yang berat.


23

3. Teori Perilaku

Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan hasil dari

frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang

untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor tersebut bekerja

menghambat usaha seseorang untuk memperoleh kepuasan dan

kenyamanan.

4. Teori Keluarga

Teori keluarga menunjukkan bahwa kecemasan merupakan hal

yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Kecemasan ini terkait

dengan tugas perkembangan individu dalam keluarga.

5. Teori Biologis

Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor

khusus untuk benzodiazepin. Reseptor ini mungkin membantu

mengatur kecemasan. Penghambat asam aminobutirik-gamma

neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama

dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan. Selain

itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai

akibat nyata sebagai predisposisi terhadap kecemasan. Kecemasan

mungkin disertai gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan

kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.


24

2.4.5 Faktor Presipitasi

Stuart (2018) mengatakan bahwa faktor presipitasi/ stressor

pencetus dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu :

1. Ancaman Terhadap Integritas Fisik

Ancaman terhadap integritas fisik seseorang meliputi

ketidakmampuan fisiologis atau menurunnya kapasitas untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Kejadian ini menyebabkan

kecemasan dimana timbul akibat kekhawatiran terhadap tindakan

pemasangan infus yang mempengaruhi integritas tubuh secara

keseluruhan.

2. Ancaman terhadap Rasa Aman

Ancaman ini terkait terhadap rasa aman yang dapat

menyebabkan terjadinya kecemasan, seperti ancaman terhadap sistem

diri seseorang yang dapat membahayakan identitas, harga diri dan

fungsi sosial seseorang.

2.4.6 Indikator Tingkat Kecemasan

Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan

yaitu menurut alat ukur kecemasan yang disebut HADS . Hospital Anxiety

and Depression Scale (HADS) adalah instrumen yang digunakan untuk

melakukan pengukuran tingkat kecemasan dan depresi. Instrumen HADS

dikembangkan oleh Zigmond and Snaith (1983) dalam Campos, Gimares,

Remein (2020) dan dimodifikasi oleh Made (2020). Instrumen ini terdiri

dari 14 item total pertanyaan yang meliputi pengukuran kecemasan


25

(pertanyaan nomor 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13), pengukuran depresi (pertanyaan

nomor 2, 4, 6, 8, 9, 12, 14).

Dalam penelitian ini hanya menggunakan pertanyaan kecemasan

saja. Semua pertanyaan terdiri dari pertanyaan positif (favorable) dan

pertanyaan negatif (unfavorable). Hal ini dilakukan untuk menghindari

adanya bias. Item favorable dengan pilihan ansietas atau kecemasan

terdapat pada nomor 4 dengan pengukuran skala likert skor 0=selalu,

1=sering, 2=jarang dan 3=tidak pernah (pilihan item jawaban sesuai

dengan pertanyaan yang disajikan) Item unfavorable dengan pilihan

kecemasan terdapat pada nomor 1, 2, 3, 5, 6, 7 dengan skoring 0=tidak

pernah, 1=jarang, 2=sering dan 3=selalu (pilihan item jawaban sesuai

dengan pertanyaan yang disajikan) Penggolongan nilai skor merupakan

penjumlahan seluruh hasil jawaban adalah normal (skor 0-7), ringan (skor

8-10), sedang (skor 11-15) dan berat (skor 16-21) (Made, 2020).Indikator

7 item dalam HADS meliputi masalah kecemasan sebagai berikut:

1. Ketegangan

Sub variabel mengenai rasa sakit hati, kebingungan, adanya rasa sesak,

fokus suatu masalah dan kekuatan dalam menghadapi masalah.

2. Ketakutan akan sesuatu hal yang buruk terjadi

Sub variabel mengenai ketakutan kondisi yang semakin memburuk,

ketakutan sakit selamanya yang ditakdirkan oleh tuhan.


26

3. Kekhawatiran pada kehilangan

Sub variabel mengenai kekhawatiran meninggal dan kesiapan apabila

anggota keluarga meninggal.

4. Ketenangan dalam sikap dan berperilaku

Sub variabel mengenai tidak bisa diam dan tidak bisa istirahat dengan

tenang.

5. Efek pada tubuh akibat ketakutan

Sub variabel mengenai badan gemetar, pusing dan mual.

6. Kekhawatiran dengan kondisi sekarang

Sub variabel mengenai kekhawatiran permasalahan biaya dan

kekhawatiran permasalahan kesembuhan.

7. Kepanikan yang terjadi

Sub variabel mengenai menangis, kekesalan dan emosi atau marah.

(Made, 2020).

2.1.2 Penanganan Kecemasan

Ada banyak jenis tehnik non farmakologis yang bisa digunakan

untuk menurunkan tingkat kecemasan, seperti intervensi relaksasi otot

progresif, relaksasi autogenik, terapi musik, pernapasan berirama, dan

latihan relaksasi lainnya (Potter & Perry, 2019).

1. Relaksasi otot progresif

Teknik relaksasi otot progresif adalah memusatkan perhatian pada

suatu aktivitas otot, dengan mengidentifikasikan otot yang tegang


27

kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi

untuk mendapatkan perasaan relaks. Teknik relaksasi otot progresif

dilakukan dengan cara mengendorkan atau mengistirahatkan otot-otot,

pikiran dan mental dan bertujuan untuk mengurangi kecemasan

(Purwanto, 2018).

2. Relaksasi autogenik

Relaksasi autogenik terbukti dapat menolong dalam mengurangi

pikiran yang obsesi, kecemasan (stres), depresi dan permusuhan.

Relaksasi autogenik ini merupakan salah satu teknik yang dapat

menurunkan kecemasan karena dengan relaksasi diharapkan akan

menghilangkan ketegangan (Davis, 2018).

3. Terapi musik

Musik mempunyai karakteristik bersifat terapi adalah musik yang

nondramatis, dinamikanya bisa diprediksi, memiliki nada yang lembut,

harmonis salah satunya musik klasik mozart. Music klasik Mozart

memiliki tempo 60-80 ketukan per menit, tanpa lirik, mengalun, dapat

menstimulasi gelombang alpha dan tetha pada otak yang mengaktifkan

sistem limbik sehingga mmembuat tubuh rileks, menimbulkan efek

neuroendokrin dan merangsang pelepasan zat endorphin yang dapat

mengurangi persepsi kecemasan (Alexander, 2019).


28

4. Pernapasan berirama

Pernapasan berirama berguna untuk melatih pernafasan dengan

mengatur irama secara baik dan benar, sehingga pemusatan pikiran dan

penghayatan akan lebih mempercepat proses penyembuhan atau

menghilangkan stress dan kecemasan serta memelihara dan

meningkatkan kesehatan fisik dan mental (Handoyo, 2019).

5. Latihan relaksasi lainnya

Banyak sekali latihan relaksasi lainnya untuk mengjhilangkan

kecemasan, diantaranya yaitu, relaksasi otot, relaksasi kesadaran

indera, Relaksasi melalui hipnosa, yoga, dan meditasi (Zainul Anwar,

2019).

2.5 Konsep Relaksasi Autogenik

2.5.1 Pengertian

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketengangan

dan stres. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi

rasa tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri. Teknik

relaksasi dapat digunakan saat individu dalam kondisi sehat atau sakit

(Potter & Perry, 2019).

Autogenik merupakan salah satu dari teknik relaksasi yang

berdasarkan konsentrasi pasif dengan menggunakan persepsi tubuh

(misalnya, tangan merasa hangat dan berat) yang difasilitasi oleh sugesti

diri sendiri. Relaksasi autogenik merupakan teknik relaksasi yang


29

bersumber dari diri sendiri berupa kata-kata atau kalimat pendek yang bisa

membuat pikiran menjadi tenang. Relaksasi autogenik membantu individu

untuk dapat mengendalikan beberapa fungsi tubuh seperti pernapasan,

tekanan darah, frekuensi jantung dan aliran darah sehingga tercapailah

keadaan rileks. Efektifnya relaksasi ini dilakukan selama 20 menit

(Asmadi, 2018).

2.5.2 Mekanisme Teknik Relaksasi Autogenik

Latihan autogenik (Autogenic Training) dapat melatih sesorang

untuk melakukan sugesti diri, tujuannya agar seseorang dapat merilekskan

ototototnya dan dapat mengendalikan atau mengurangi reaksi emosi yang

bergejola pada dirinya baik pada saraf pusat maupun pada saraf otonom.

Setelah diajarkan teknik ini, seseorang tidak lagi tergantung pada ahli

terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri melalui teknik sugesti

diri (auto-sugestion technique).

Beberapa latihan dari relaksasi autogenik ini adalah latihan untuk

merasakan berat dan panas pada anggota gerak. Caranya, dengan

mengatakan dalam diri “saya merasakan lengan kanan saya berat” dan

“saya rasakan lengan kanan saya panas dan rileks”. Kemudian, latihan

pernapasan atau pengaturan aktivitas jantung dan paru-paru, dengan

mengatakan dalam diri “pernapasan saya lebih tenang dan denyut jantung

saya berdetak lebih lamba”’. Serta latihan untuk merasakan panas atau

dingin pada perut dan dahi, dengan mengatakan dalam diri “dahi dan perut
30

saya lebih dingin”. Latihan ini dapat meningkatkan perasaan segar dan

sehat (Gunarsa, 2018)

2.5.3 Manfaat teknik relaksasi autogenik

Teknik relaksasi dikatakan efektif apabila setiap individu dapat

merasakan perubahan pada respon fisiologis tubuh seperti penurunan

tekanan darah, penurunan ketegangan otot, denyut nadi menurun,

perubahan kadar lemak dalam tubuh, penurunan kecemasan serta

penurunan proses inflamasi (Potter & Perry, 2019). Relaksasi autogenik

akan membantu tubuh untuk membawa perintah melalui autosugesti untuk

rileks sehingga dapat mengendalikan pernafasan, tekanan darah, denyut

jantung serta suhu tubuh. Imajinasi visual dan mantra-mantra verbal yang

membuat tubuh merasa hangat, berat dan santai merupakan standar latihan

relaksasi autogenik.

2.5.4 Indikasi dan Kontraindikasi Relaksasi Autogenik

Indikasi dilakukan relaksasi autogenik diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pasien dengan masalah tekanan darah

2. Adanya ketegangan otot

3. Pasien yang mengalami kecemasan, stres ataupun depresi

4. Pasien yang mengalami nyeri

Kontraindikasi dilakukannya relaksasi autogenik diantaranya adalah

sebagai berikut:
31

1. Pasien dengan sesak nafas

2. Pasien dengan riwayat penyakit jantung (Potter & Perry, 2019)

2.5.5 Langkah-Langkah Relaksasi Autogenik

Menurut Asmadi (2018) langkah-langkah latihan relaksasi

autogenik sebagai berikut:

a. Persiapan sebelum memulai latihan

1) Tubuh berbaring, kepala disanggah dengan bantal, dan mata

terpejam.

2) Atur napas hingga napas menjadi lebih teratur.

3) Tarik napas sekuat-kuatnya lalu buang secara perlahan-lahan

sambil katakana dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.

b. Langkah pertama : merasakan berat

1) Fokuskan perhatian pada lengan dan bayangkan kedua lengan terasa

berat. Selanjutnya, secara perlahan-lahan bayangkan kedua lengan

terasa kendur, ringan hingga terasa sangat ringan sekali sambil

katakana ‘saya merasa damai dan tenang’.

2) Lakukan hal yang sama pada bahu, punggung, leher, dan kaki.

c. Langkah kedua : merasakan kehangatan

1) Bayangkan darah mengalir keseluruh tubuh dan rasakan hangatnya

aliran darah, sambil mengatakan dalam diri ‘saya merasa hangat

dan tenang’.

2) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.


32

d. Langkah ketiga : merasakan denyut jantung

1) Tempelkan tangan kanan pada dada kiri dan tangan kiri pada perut.

2) Bayangkan dan rasakan jantung berdenyut dengan teratur dan

tenang, sambil katakana ‘jantung saya berdenyut dengan teratur

dan tenang’.

3) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.

e. Langkah keempat : merasakan pernapasan

1) Posisi tangan tidak berubah

2) Bayangkan nafas anda terasa sangat longgar dan teratur, sambil

mengatakana dalam diri ‘napasku longgar dan tenang’.

3) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.

f. Langkah kelima : merasakan aliran darah perut

1) Posisi tangan tidak berubah. Rasakan aliran darah dalam perut

mengalir dengan teratur dan terasa hangat, sambil mengatakana

dalam diri ‘darah yang mengalir dalam perutku terasa hangat’.

2) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.

g. Langkah keenam : merasakan dingin di kepala

1) Kedua tangan kembali pada posisi awal.

2) Bayangkan kepala anda terasa dingin, sambil mengatakan dalam

diri ‘kepala saya terasa benar-benar dingin’.

3) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.

h. Langkah ketujuh : akhir latihan Mengakhiri latihan relaksasi autogenik

dengan melekatkan (mengepalkan) tangan bersamaan dengan menarik


33

napas dalam, lalu membuang napas secara perlanhan-lahan sambil

membuka mata dan melepaskan kepalan tangan.

2.1.2 Waktu Pelaksanaan

Relaksasi Autogenik memerlukan waktu 15- 20 menit yang

nyaman dilakukan pada pagi hari maupun sore hari. Hasil dari relaksasi

mulai terasa jika penderita melakukannya selama 3 kali atau lebih secara

berturut-turut. Pada teknik relaksasi autogenik terdiri 7 fase tindakan

(Saunders, 2018).

2.6 Kerangka Konseptual

Kecemasan dapat ditangani dengan menggunakan tehnik farmakologis

dan non-farmakologis. Ada banyak jenis tehnik non farmakologis yang bisa

digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan, seperti intervensi relaksasi

otot progresif, relaksasi autogenik, terapi musik, pernapasan berirama, dan

latihan relaksasi lainnya (Potter & Perry, 2019). Relaksasi autogenik yaitu

relaksasi nafas dalam yang disertai dengan keyakinan.

Mekanisme dengan dilakukan relaksasi nafas autogenik dapat

menurunkan aktivitas saraf simpatis dan merangsang aktivitas saraf

parasimpatis. Penurunan aktivitas simpatis dapat menurunkan kadar adrenalin

dan kortisol di dalam darah. Penurunan kadar adrenalin dan kortisol dapat

menurunkan tekanan darah, denyut jantung, memberikan rasa nyaman dan

ketenangan pada diri seseorang sehingga pada akhirnya dapat menurunkan

kecemasan (Istianah, 2019).


34

Bagan 2.1.
Kerangka Konseptual

Pasien Gagal
Ginjal Kronik yang
Menjalani Takut
Hemodialisis
Penanganan :
Cemas
Relaksasi Autogenik
Dampak
Psikologis Depresi

Stres

Rasa bersalah

Menarik diri

Menghambat aktifitas saraf simpatis

Menurunkan kadar adrenalin dan kortisol dalam darah

Menurunkan denyut jantung dan tekanan darah

Memberikan rasa nyaman dan tenang

Cemas berkurang

Sumber :Goleman (2019); Davidson (2018); Istianah (2019);


Potter & Perry (2019)
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian berupa pre eksperiment yaitu penelitian

menggunakan satu kelompok eksperimen tanpa menggunakan kelompok

kontrol. Pendekatan yang dilakukan berupa One Group Pretest-Posttest

Design yaitu perlakuan diawali dengan pre-test dan setelah pemberian

perlakuan diadakan pengukuran kembali (post-test) (Nursalam, 2019).

Rancangan ini menggunakan satu kelompok sampel yang diobservasi

sebanyak dua kali, yaitu observasi sebelum eksperimen disebut pretest, dan

observasi sesudah eksperimen (02) disebut post test.

3.2 Paradigma Penelitian

Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis akan

mengalami dampak secara psikologis berupa kecemasan. Kecemasan dapat

ditangani dengan menggunakan tehnik farmakologis dan non-farmakologis.

Ada banyak jenis tehnik non farmakologis yang bisa digunakan untuk

menurunkan tingkat kecemasan, seperti intervensi relaksasi otot progresif,

relaksasi autogenik, terapi musik, pernapasan berirama, dan latihan relaksasi

lainnya (Potter & Perry, 2019). Relaksasi autogenik yaitu relaksasi nafas

dalam yang disertai dengan keyakinan. Relaksasi autogenik bisa mengurangi

kecemasan dengan adanya keyakinan dan juga pola mengatur napas yang bisa

35
36

menghambat aktivitas saraf simpatis, menurunkan kadar adrenalin dan kortisol

dalam darah yang bisa menurunkan denyut jantung dan tekanan darah yang

akhirnya memberikan rasa nyaman dan tenang ataupun dengan kata lain

cemas akan berkurang.

pase
Bagan 3.1

Kerangka Pemikiran

Pre Test Intervensi Post test

Tingkat kecemasan Relaksasi autogenik Tingkat kecemasan


sebelum Intervensi setelah intervensi

3.3 Variabel Penelitian

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai

beda terhadap sesuatu (benda, manusia dan lain-lain) (Nursalam, 2019).

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen dan variabel

dependen.

3.3.1 Variabel Independen (Bebas)

Dikatakan variabel independen atau variabel bebas karena bersifat

mempengaruhi dan nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2019).

Variabel independen dalam penelitian ini adalah relaksasi autogenik.

3.3.2 Variabel Dependen (Terikat)

Dikatakan variabel dependen atau variabel terikat karena nilainya

ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2019). Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah tingkat kecemasan.


37

3.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesa adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaan penelitian (Nursalam, 2019). Jawaban hipotesa dalam penelian ini

adalah:

Ha : Ada pengaruh relaksasi autogenik terhadap tingkat kecemasan pada

pasien hemodialisis di RSUD PAPUA BARAT

Ho : Tidak ada pengaruh relaksasi autogenik terhadap tingkat kecemasan

pada pasien hemodialisis di RSUD PAPUA BARAT

3.5 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional

3.5.1 Definisi Konseptual

1. Relaksasi Autogenik

Relaksasi autogenik merupakan teknik relaksasi yang

bersumber dari diri sendiri berupa kata-kata atau kalimat pendek yang

bisa membuat pikiran menjadi tenang. Relaksasi autogenik membantu

individu untuk dapat mengendalikan beberapa fungsi tubuh seperti

pernapasan, tekanan darah, frekuensi jantung dan aliran darah sehingga

tercapailah keadaan rileks. (Asmadi, 2018).

2. Kecemasan

Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak

menyenangkan dan tidak dapat dibenarkan yang sering disertai dengan

gejala fisiologis (Tomb, 2018)


38

3.5.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional

Definisi Skala
No Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur

1 Relaksasi Pemberian - - - -
autogenik relaksasi
autogenik kepada
responden selama
15-20 menit
dilakukan
sebanyak 3x
pertemuan

2 Tingkat Kecemasan yang Kuesioner Angket 1. Kecemasan Ordinal


Kecemasan dirasakan oleh instrumen HADS Normal :
pasien HADS dengan 7 Skor 0-7
hemodialisis (Hospital pertanyaan 2. Kecemasan
Anxiety ringan :
Depression Skor 8-10
Scale) 3. Kecemasan
sedang :
skor 11-15
4. Kecemasan
berat: skor
16-21

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian

3.6.1 Populasi Peneitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto,

2019). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien hemodialisis yang

dirawat di ruang hemodialisis RSUD PAPUA BARAT dengan

banyaknya pasien yang rutin menjalani hemodialisis sebanyak 64

orang.
39

3.6.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian (Nursalam, 2019). Banyaknya

sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai

Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan rancangan

acak lengkap, acak kelompok atau faktorial (Supranto, 2019) secara

sederhana dapat dirumuskan :

(t – 1) (r – 1 ) > 15

Keterangan :

r = jumlah sampel

t = banyaknya kelompok

maka di dapatkan perhitungan sebagai berikut;

(t-1)(r-1)>15

(1-1)(r-1)>15

(1)(r-1)>15

r>15+0

r=15

15x10%

15+1,5=16,5

=17 orang

Jadi jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini yaitu sebanyak 17

orang. Teknik pengambilan sampel berupa purposive sampling, yaitu

cara pengambilan sampel yang dilakukan dengan memilih sampel yang


40

memenuhi kriteria penelitian (Nursalam, 2018). Waktu yang ditentukan

oleh peneliti dalam pengambilan sampel yaitu sebanyak 1 bulan.

Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah:

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau dan diteliti (Nursalam,2018).

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Bisa membaca dan menulis

b. Pasien tanpa adanya gangguan pendengaran

c. Mengalami kecemasan

2. Kriteria Eklusi

Kriteria eklusi adalah menghilangkan subjek yang tidak

mempunyai kriteria inklusi karena berbagai sebab (Nursalam,

2018). Kriteria eklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Pasien dengan sesak nafas

b. Pasien dengan riwayat penyakit jantung karena dikhawatirkan

adanya masalah sesak atau jantung pada saat dilakukan

intervensi karena adanya beberapa saat untuk menahan nafas.

3.7 Etika Penelitian

1. Menghormati Harkat dan Martabat Manusia (Respect for Human Dignity)

Sebagai bentuk menghormati harkat dan martabat manusia, peneliti

melakukan Informed Consent sebelum dilakukan penelitian. Informed


41

consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden

penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Penelitian memberikan

informed consent sebagai bukti persetujuan dari responden.

2. Tanpa nama dan kerahasiaan (AnonimityandConfidentiality)

Confidentiality adalah kerahasiaan, yaitu peneliti menjamin kerahasiaan

dari data yang telah diberikan oleh responden, termasuk keterlibatan

responden dalam penelitian ini dan penggunaan data tersebut hanya untuk

kepentingan penelitian saja. Peneliti tidak mencantumkan nama responden

dalam penelitian ini hanya mencantumkan inisial saja.

3. Keadilan dan keterbukaan (respect for justice and Inclusiveness)

Prinsip keadilan ini menjamin bahwa semua responden memperoleh

perlakuan yang sama dari peneliti tanpa memandang keyakinan, suku, ras,

dan sebagainya. Peneliti pada saat penelitian tidak membeda-bedakan atau

tidak memilih-milih responden, peneliti memilih responden berasarkan

kriteria inklusi dan eksklusi.

4. Tidak ada kerugian dan bermanfaat (Non maleficience and beneficience)

Pada prinsip non maleficience peneliti berusaha untuk tidak melakukan

suatu perbuatan atau tindakan yang merugikan pasien (first do no harm) .

Penelitian ini tidak merugikan responden, hasil setelah penelitian tidak ada

kerugian pada responden.


BAB IV

DESAIN PENELITIAN

4.1 Pengumpulan Data

4.1.1 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk

mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2018).

Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur kecemasan sebelum

dan setelah intervensi adalah menggunakan Hospital Anxiety Depression

Scale (HADS).

4.1.2 Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini pengumpulan data berupa data primer. Data

primer diperoleh melalui tindakan terapi dengan rencana tindakan sebagai

berikut:

1. Melakukan proses perijinan ke rumah sakit, setelah mendapatkan ijin

dari rumah sakit, peneliti melakukan survei responden yang dijadikan

sampel dalam penelitian.

2. Peneliti mencatat data-data responden yang dijadikan sampel dan

mengidentifikasi sesuai kriteria.

3. Peneliti melakukan pendekatan serta meminta persetujuan pada

responden dengan cara menjelaskan pelaksanaan intervensi.

1
2

4. Dilakukan pengukuran kecemasan terhadap pasien sebelum intervensi

(pre test) menggunakan instrumen penelitian.

5. Dilakukan intervensi berupa relaksasi autogenik selama 15-20 menit

dan dilakukan sebanyak 3 kali (pagi-sore-pagi) atau (sore-pagi-sore)

6. Pengambilan data dilakukan dengan cara per orang (one by one) dan

dilakukan di ruang perawat.

7. Intervensi relaksasi autogenik dilakukan dengan cara berbaring

ataupun duduk bersandar.

8. Dilakukan pengukuran kecemasan kembali terhadap pasien (post test)

menggunakan instrumen penelitian.

4.2 Langkah-langkah Penelitian

4.2.1 Tahap Persiapan

1. Memilih lahan penelitian.

2. Menentukan fenomena penelitian.

3. Studi kepustakaan.

4. Menyusun proposal.

5. Menyusun instrumen.

6. Seminar proposal.

7. Perbaikan seminar proposal.

4.2.2 Tahap Pelaksanaan

1. Menentukan sampel penelitian.

2. Mengurus ijin penelitian.

3. Melakukan penelitian
3

4.2.3 Tahap Akhir

1. Penyusunan laporan penelitian.

2. Sidang skripsi atau pertanggung jawaban hasil penelitian.

3. Perbaikan hasil sidang.

4. Pendokumentasian hasil penelitian.

4.3 Pengolahan Data dan Analisa Data

4.3.1 Pengolahan Data

1. Editing

Hasil penelitian didapatkan semua jawaban dari responden terisi semua

setelah dilihat oleh peneliti.

2. Coding data

Pengkodingan data dilakukan dengan maksud untuk memudahkan

proses pengolahan data..

3. Tabulating

Peneliti membuat tabel di komputer untuk memasukkan data hasil

lapangan yaitu membuat data tabel untuk hasil kecemasan sebelum

intervensi (pre test) dan tabel hasil kecemasan setelah intervensi (post

test)

4. Entry data

Peneliti kemudian memasukkan data hasil lapangan pada tabel yang

dibuat.
4

5. Cleaning

Dalam cleaning dilakukan pengecekan kembali data yang sudah di

entry pada dengan maksud untuk mengevaluasi apakah masih ada

kesalahan atau tidak. Hasil didapatkan tidak ada kesalahan hasil data

mentah dengan hasil data di komputer.

4.3.2 Analisis Data

Arikunto (2019) menyebutkan bahwa analisis data adalah proses

setelah data terkumpul, dilakukan pengolahan data dengan menggunakan

rumus atau aturan yang sesuai dengan pendekatan penelitian dan desain

yang digunakan sehingga diperoleh suatu simpulan. Berikut ini adalah

teknik analisa data yang dilakukan:

1. Analisis Univariat

Analisis yang digunakan untuk mendapatkan gambaran

distribusi responden serta untuk mendeskripsikan hasil analisis tingkat

kecemasan sebelum dan setelah dilakukan relaksasi autogenik. Analisis

univariat menggunakan distribusi frekuensi dengan hasil jawaban

sebagai berikut:

1. Kecemasan Normal : Skor 0-7

2. Kecemasan ringan : Skor 8-10

3. Kecemasan sedang : skor 11-15

4. Kecemasan berat: skor 16-21

Selanjutnya setelah didapatkan jawaban perkategori maka

dilakukan prosentase menggunakan rumus:


5

Σf
P= x 100 %
n

Keterangan :

P = Prosentase

f = Frekuensi.

n = Jumlah responden.

Hasil perhitungan secara prosentase kemudian diinterpretasikan

dengan kriteria:

0% = tidak seorang pun.

1 % - 25 % = sebagian kecil .

26 % - 49 % = hampir setengahnya.

50 % = setengahnya.

51 % - 79 % = lebih dari setengahnya.

80 % - 99 % = sebagian besar.

100 % = seluruhnya.

2. Analisis Bivariat

Analisa Bivariat adalah analisis secara simultan dari dua

variabel. Pada penelitian ini digunakan untuk melihat pengaruh

relaksasi autogenik terhadap tingkat kecemasan.

Uji normalitas adalah sebuah uji yang dilakukan dengan tujuan

untuk menilai sebaran data pada sebuah kelompok data atau variabel,

apakah sebaran data tersebut berdistribusi normal ataukah tidak

(Sugiyono, 2019). Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan

terhadap responden dengan mengambil data nilai pretest dan


6

posttest.Uji normalitas ini menggunakan program software statistik

komputer dengan taraf signifikansi 0,05. uji normalitas menggunakan

Shapiro Wilk (karena sampel kurang dari 50) dengan rumus:


n
D=∑ ( x1 −x )2
i=1

Keterangan :

xi = angka ke i pada urutan data

x = rata-rata data

Selanjutnya apabila data berdistribusi normal maka menggunakan uji

paired T test dan apabila data berdistribusi tidak normal maka

menggunakan Wilcoxon Signed rank test. Selanjutnya hasil uji T

disesuaikan dengan ketentuan sebagai berikut:

Jika nilai p > 0,05 maka Ha ditolak dan H O diterima atau tidak ada

pengaruh relaksasi autogenik terhadap tingkat kecemasan.

Jika p ≤ 0,05 maka Ha diterima dan Ho ditolak atau ada pengaruh

relaksasi autogenik terhadap tingkat kecemasan.

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSU Abdul Radjak Purwakartapada bulan

Oktober 2022 sampai Juli 2023.


7

Anda mungkin juga menyukai