Anda di halaman 1dari 89

KARYA ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG


MENJALANI HEMODIALISIS DAN PENERAPAN TERAPI TEKNIK RELAKSASI
NAPAS DALAM UNTUK PENURUNAN KECEMASAN DI RUANGAN INTERNE
WANITA RSUP DR.M. DJAMIL PADANG

Peminatan Keperawatan Medikal Bedah

DEA ANGELABERTI, S.Kep


2141312101

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2023
2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dalam tubuh dengan etiologi

yang berbagai macam, dimana hal ini dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang tidak

dapat kembali seperti semula dan progresif dimana tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan kadar urea yang

tinggi dalam tubuh, dan menjadi racun tersendiri dalam tubuh (Black & Hawk dalam Nurudin

& Sulistyaningsih, 2018). Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal tahap akhir yang

disebabkan oleh hilangnya fungsi tubuh untuk mempertahankan metabolism dan

keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan tingginya kadar ureum darah yang

membutuhkan terapi hemodialisa (Irene, Yemina, & Pangaribuan, 2022).

Penyakit gagal ginjal kronik telah menjadi penyebab kematian 850.000 orang setiap

tahunnya. angka tersebut menunjukkan bahwa penyakit gagal Ginjal Kronik (GGK)

menduduki peringkat ke – 12 tertinggi penyebab angka kematian di dunia (WHO,2020).

Menurut data RISKESDAS didapatkan bahwa angka kejadian gagal Ginjak Kronik (GGK) di

Indonesia yaitu sebesar 0,38% , yaitu dari 252.124.458 jiwa penduduk di Indonesia, terdapat

713,783 jiwa yang menderita penyakit gagal ginjal kronik di Indonesia (RISKESDAS, 2018).

Pasien yang mengalami gagal ginjal kronik akan menunjukkan gejala seperti terjadinya

penurunan lemak tubuh, retensi urin air dalam jaringan, perubahan warna kulit tubuh, mual

muntah,kelelahan, nyeri kepala tanpa sebab yang jelas, dan juga adanya penumpukan zat yang

tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Gagal ginjal kronik dikenal juga sebagai silent disease karena

seringkali tidak menunjukkan tanda – tanda peringatan dan jika tidak terdeteksi, penyakit ini

akan memperburuk kondisi dari waktu ke waktu (Hadrianti, Yarlitasari, & Ruslinawati, 2018).

Penderita gagal ginjal kronik mengalami kondisi dimana ginjal tidak mampu mengeluarkan
3

produk sisa dari darah dan sel tubuh dan mengekresikannya kedalam urine sehingga

diperlukan terapi pengganti ginjal atau dialisis (Salamah, Hasanah, & Dewi, 2022).

Pasien dengan gagal ginjal kronik memerlukan renal replacmenent therapy untuk

memperpanjang hidup (Teuku Yasir, Firly, & Wahyu, 2020). Terapi penggantian ginjal dapat

berupa hemodialisis, peritoneal dialysis (perawatan yang dapat dilakukan dirumah) dan

transplantasi ginjal. Hemodialisis adalah proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan

sakit akut dan pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi jangka

panjang atau permanen. Sementara itu bagi penderita penyakit gagal ginjal kronik,

hemodialisis bukan untuk memulihkan penyakit ginjal, hemodialisis merupakan terapi cuci

darah diluar tubuh yang merupakan metode yang lebih cepat, efisien dan peritoneal untuk

membuang urea serta toksin lain (Puspitaningrum, Kebidanan, Mitra, & Kematian, 2018).

Hemodilisis dilakukan dengan tujuan untuk mengeliminasi sisa – sisa metabolism

proteindan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit antara kompartemen darah dengan

kompartemen dialisat melalui membrane semipermiabel (Amalia & Apriliani, 2021).

Hemodialisa bukan digunakan untuk menyembuhkan pasien gagal ginjal kronik, melainkan

hanya untuk memperpanjang harapan hidup dengan tujuan untuk mengganti fungsi ginjal yang

rusak (Cahyanti, Wira, Putra, Arya, & Arisudhana, 2021).

Hemodialisis diberikan kepada pasien dengan gagal ginjal stadium akhir atau pasien

gagal ginjal kronis yang memerlukan dialisis jangka pendek. Hemodialisis dapat dilakukan

dengan tujuan untuk mencegah kematian, namun tidak dapat menyembuhkan penyakit ginjal,

selain itu hemodialisis juga tidak dapat mengkompensasi hilangnya metabolisme ginjal atau

aktivitas endokrin. Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam tabung ginjal

buatan (dialyzer) yang terdiri dari dua kompartemen darah yang terdiri dari membrane

permeable buatan (artificial) dengan kompartemen dialisat. Kemudian kompartemen dialist

diisi dengan kompartemen bebas pirogen, yang mengandung larutan dengan komponen
4

elektrolit yang mirip dengan serum normal, dan tidak mengandung residu metabolism

nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah lalu akan mengalami perubahan konsentrasi

karena zat terlarut berpindah dari yang konsentrasinya tinggi ke rendah, darah yang terpisah

lalu akan mengalami perubahan konsentrasi sehingga konsentrasi zat terlarut didua

kompartemen sama (difusi) (Anak, Didik, Moh, & Diah, 2022).

Hemodialisis mengakibatkan munculnya beberapa komplikasi seperti hipotensi dan

keram otot. Komplikasi ini memberikan stressor fisiologis kepada penderita gagal ginjal

kronik, selain mendapatkan stressor fisiologis, penderita gagal ginjal kronik juga mengalami

stressor psikologis. Stressor psikologis yang dialami yang dialami diantaranya adalah

pembatasan cairan, pembatasan konsumsi makanan, gangguan tidur, pembatasan aktivitas,

penurunan kehidupan sosial, pembatasan waktu dan masalah faktor ekonomi (Mait,

Nurmansyah, & Bidjuni, 2021).

Pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodilisa akan mengalami

kecemasan yang disebabkan oleh berbagai stressor, seperti pengalaman nyeri pada daerah

penusukan saat akan memulai hemodialisa, juga ketakutan terhadap kematian. Pasien yang

menjalani hemodialisa biasanya memiliki respon yang berbeda – beda terhadap hemodialisa

yang dialaminya, contohnya cemas disebkan karena oleh krisis situasional, ancaman kematian

dan tidak mengetahui hasil akhir dari terapi yang dilakukan. Pasien juga dihadapkan pada

ketidakpastian berapa lama hemodialisa diperlukan sepanjang hidupnya yang juga

memerlukan biaya yang besar (Santoso, 2018).

Pasien gagal ginjal menjalani hemodialisa membutuhkan waktu 12-15 jam untuk

dialisa setiap minggunya, dengan setidaknya paling sedikit 3-4 jam tiap kali terapi. Pasien

mengalami perubahan dari berbagai aspek kehidupan yang memicu stressor dalam

kehidupannya. Hemodialisa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan pasien memicu

stressor yang menjadi ancaman timbulnya sebuah kecemasan. Kecemasan akan seseorang
5

yang tidak mampu mengatasi stressor psikososial yang dialaminya. Kecemasan yang tidak

ditangani secara tepat akan menimbulkan dampak di berbagai aspek kehidupan mulai dari

fisiologis, kebiasaan, kognitif dan afektif seseorang (Purnami, Rahayu, Dira, & Daryaswanti,

2022).

Stressor yang menyebabkan cemas pada pasien yang menjalani hemodialisa cenderung

menetap. Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan

dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Karena stressor yang dialami cenderung

menetap jadi diperlukan strategi yang efektif untuk mengurangi kecemasan pada pasien yang

menjalani hemodialisa (Dame, Rayasari, Besral, Irawati, & Kurniasih, 2022).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengatasi stress dan kecemasan

termasuk pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis. Terapi yang diberikan yaitu dapa

berupa terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Kecemasan yang dialami pasien akan

mempengaruhi berbagai aspek kehidupan pasien termasuk kualitas tidur klien. Klien dengan

penyakit gagal ginjal kronik sering dihadapkan dengan berbagai macam komplikasi seiring

dengan penyakit yang diderita dimana komplikasi tersebut bisa berdampak pada menurunnya

kualitas hidup pasien (Natashia, Irawati, & Hidayat, 2020). Hemodialisis meskipun lebih

banyak kesempatan hidup kepada pasien, tetapi mengetahui jika hidupnya bergantung pada

mesin dan juga penyesuaian kondisi ketika sakit memberikan ketegangan pada pasien

(Damanik, 2020).

Pasien yang membutuhkan kemodialisis jangka panjang sering khawatir tentang gejala

dan juga penyakitnya yang tidak dapat diprediksi. Dari penelitian yang dilakukan pada pasien

gagal ginjal kronik menunjukkan 183 pasien (100%) mengalami kecemasan (Kamil, Agustina,

& Wahid, 2018). Kecemasan yang dialami oleh seseorang disebabkan karena adanya ancaman

terhadap integritas fisik berkaitan dengan penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas

sehari - hari dan integritas sistem tubuh yang melibatkan kerusakan pada identitas seseorang,
6

harga diri da fungsi sosial terintegrasi. Kecemasan yang tidak ditangani dengan baik akan

menimbulkan perilaku yang tidak rasional, konflik, ketidakpatuhan. ketakutan, dan

ketidakmampuan dalam menjalankan aktivitas sehari – hari dan juga adanya perasaan takut

akan kematian (Alfikrie, Purnomo, Selly, & Yarsi Pontianak, 2020).

Penaganan kecemasan dapat dilakukan dengan memberikan terapi medikasi pada

pasien dengan tingkat kecemasan berat sampai panik, sedangkan terapi relaksasi bisa

diberikan kepada pasien dengan tingkat kecemasan ringan sapmpai sedang. Salah satu cara

untuk mengatasi kecemasan adalah dengan memberikan terapi teknik relaksasi napas dalam.

Latihan teknik relaksasi napas dalam adalah tindakan yang dilakukan dengan cara ekspansi

maksimal secara kontinu Latihan napas dalam memiliki banyak manfaat diantaranya mudah

dilakukan secara mandiri, tidak memerlukan biaya dan juga praktis (Sukandar & Mustikasari,

2021).

Manfaat lain yang diperoleh dari latihan relaksasi tarik napas dalam adalah

meningkatnya inflasi alveolar maksimal dan relaksasi otot, meredakan kecemasan,

menghilangkan pola akfivita otot pernapasan yang tidak efektif dan tidak terkoordinasi,

memperlambat laju pernapasan, dan mengurangi kerja pernapasan. Sehingga, pernapasan

menjadi lebih lambat, santai dan ritmis, hal ini membantu dalam mengendalikan kecemasan

yang terjadi. Teknik relaksasi nafas dalam mampu menekan saraf simpatis (Rokawie, Sulastri,

& Anita, 2017). Teknik relaksasi napas dalam yang menekan saraf parasimpatis untuk

menurunkan ketegangan, kecemasan, serta mengendalikam fungsi denyut jantung sehingga

membuat tubuh menjadi rileks (Puspitasari, Marsudarinah, & Hermawati, 2021).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agustin (2020) didapatkan bahwa teknik

relaksasi napas dalam adalah metode non farmakologis yang efektif untuk mengurangi

kecemasan. Selain itu, latihan teknik relaksasi napas dalam ini memiliki efek positif pada

pasien dan juga fungsi psikologis. Teknik relaksasi nafas dalam yang dilakukan dengan teratur
7

dan benar akan menghilangkan ketegangan saat mengalami kecemasan. Selain itu tubuh juga

menjadi lebih rileks. Teknik relaksasi napas dalam juga memiliki manfaat lain yaitu

menyebabkan perubahan hemodinamik dilihat dari adanya penurunan tekanan darah dan

frekuensi nadi. Metode ini juga hemat biaya dan tidak memiliki efek samping (Anisah &

Maliya, 2021).

Oleh karena itu, berdasarkan pembahasan diatas peneliti tertarik untuk menulis laporan

ilmiah akhir tentang asuhan keperawatan pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa dengan penerapan terapi teknik nafas dalam untuk menurunkan kecemasan di

ruang Interne Wanita RSUP Dr. M. Djamil Padang.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Menganalisis asuhan keperawatan pasien dengan gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa dengan penerapan teknik relaksasi nafas dalam untuk

menurunkan kecemasan di ruang Interne Wanita RSUP Dr. M. Djamil Padang.

2. Tujuan khusus

a. Menganalisis hasil pengkajian pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa dengan penerapan terapi teknik relaksasi nafas dalam dalam

menurunkan kecemasan di ruang Interne Wanita RSUP Dr. M. Djamil Padang

b. Menganalisis diagnosa keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa dengan penerapan terapi teknik relaksasi nafas dalam dalam

menurunkan kecemasan di ruang Interne Wanita RSUP Dr. M. Djamil Padang

c. Menganalisis rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik

yang menjalani hemodialisa dengan penerapan terapi teknik relaksasi nafas dalam

dalam menurunkan kecemasan di ruang Interne Wanita RSUP Dr. M. Djamil Padang
8

d. Menganalisis implementasi asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa dengan penerapan terapi teknik relaksasi nafas

dalam dalam menurunkan kecemasan di ruang Interne Wanita RSUP Dr. M. Djamil

Padang

e. Menganalisis asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa dengan penerapan terapi teknik relaksasi nafas dalam dalam

menurunkan kecemasan di ruang Interne Wanita RSUP Dr. M. Djamil Padang

1.3 Manfaat Penulisan

a. Bagi Profesi Keperawatan

Hasil dari karya ilmiah akhir ini diharapkan menjadi referensi dalam upaya

meningkatkan manajaemen usahan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa dengan penerapan terapi teknik relaksasi nafas

dalam dalam menurunkan kecemasan di ruang Interne Wanita RSUP Dr. M. Djamil

Padang

b. Bagi Rumah Sakit

Hasil dari karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi alternatif dalam

pemberian asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan gagal ginjal kronik

yang menjalani hemodialisa dengan penerapan terapi teknik relaksasi nafas dalam

dalam menurunkan kecemasan di ruang Interne Wanita RSUP Dr. M. Djamil Padang

c. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi referensi dan masukan

dalam menyusun asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa dengan penerapan terapi teknik relaksasi nafas
9

dalam dalam menurunkan kecemasan di ruang Interne Wanita RSUP Dr. M. Djamil

Padang
10

BAB II

TINJAUAN LITERATUR

A. Gagal Ginjal Kronis

2.1 Definisi

Gagal ginjal adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal

secara mendadak. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu lagi mengangkut

sampah metabolik tubuh atau tidak lagi mampu melakukan fungsi seperti biasanya.

Suatu bahan yang biasanya di eliminasi di urine menjadi menumpuk dalam cairan

tubuh akibat gangguan ekskreasi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin

dan metabolik, cairan elektrolit dan juga asam basa (Harmilah, 2020). Gagal ginjal

kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang berbagai macam, yang

mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi ginjal yang irreversible dan progresif

dimana tubuh gagal dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

sehingga menyebabkan uremia (Nurudin & Sulistyaningsih, 2018).

Gagal ginjal kronik merupakan masalah yang penting, karena prevalensinya

yang terus meningkat, selain itu pengobatan yang dijalani oleh orang yang menderita

gagal ginjal kronik merupakan pengobatan yang mahal dan harus dijalani seumur

hidup. Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada pendeirta gagal ginjal terminal.

Tindakan ini juga disebut sebagai terapi pengganti ginjal karena tindakan ini berfungsi

untuk menggantikan fungsi ginjal. Tindakan dialisis yang digunakan adalah

hemodialisis dan peritoneal dyalsisis (metode cuci darah yang dilakukan lewat perut)

dan hemodialisis (terapi cuci darah diluar tubuh), diantara kedua jenis tersebut yang

menjadi pilihan utama dan metode perawatan yang umum bagi penderita gagal ginjal

adalah hemodialisis (Amalia & Apriliani, 2021).


11

Fungsi Ginjal

Beberapa Fungsi Ginjal adalah :

a) Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh

Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai

urine yang encer dalam jumlah yang besar. Kekurangan air (kelebihan

keringat) menyebabkan urine yang diekskresikan jumlahnya menjadi

berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga sususan dan volume

cairan tubuh dapat dipertahanlan relative normal.

b) Mengatur keseimbangan osmotic dan keseimbangan ion

Fungsi ini terjadi dalam plasma bila terjadi pemasukan dan pengeluaran

yang tidak normaldari ion – ion. Akibat pemasukan garam yang berlebihan atau

penyakit perdarahan, diare, dan muntah –muntah, ginjal akan meningkatkan

sekrei ion – ion yang penting seperti natrium, kalium, klorida dan fosfat.

c) Mengatur keseimbangan asam dan basa

pH urine bervariasi antara 4,5 – 8,0. Ginjal menyekresi urine sesuai

dengan perubahan pH darah.

d) Ekskresi sisa – sisa metabolism makanan (ureum, asam urat dan kreatinin)

Bahan – bahan yang diekskresikan oleh ginjal antara lain zat toksik,

obat – obatan, hasil metabolism hemoglobin dan bahan kimia lain

(peptisida)

e) Fungsi hormonal dan metabolism

Ginjal menyekresi hormon renin yang mempunyai peranan penting

dalam mengatur takanan darah (sistem rennin-angiotensinaldosteron) yaitu

untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis). Ginjal juga


12

membentuk hormon dihidroksi kolekalsifero (vitamin D aktif) yang diperlukan

untuk absorbsi ion kalsium di usus.

f) Pengaturan tekanan darah dan memproduksi enzim rennin, angiotensin dan

aldosteron yang bersungsi meningkatkan tekanan darah.

g) Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan, obat-obatan atau zat

kimia asing lain dari tubuh (Hutagalung. M. Siregar, 2021).

Klasifikasi

1. Gagal Ginjal Kronik

a. Stadium I : penurunan cadangan ginjal

1) kreatinin serum dan kadar BUN normal

2) asimtomatik

3) tes bebanm kerja pada ginjal : pemekatan kemih, tes GFR

b. Stadium II : Insufisiensi Ginjal

1) kadar BUN meningkat (tergantung kadar protein dalam diet)

2) kadar kreatinin serum meningkat.

3) nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)

c. Stadium III :gagal ginjal stadium akhir atau uremia

1) kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat

2) ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit.

2.2 Etiologi

Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif, dengan

mengakibatkan akumulasi produk produk sampah dalam darah, abnormalitas elektrolit

dan anem.Gagal ginjal kronis disebabkan oleh beberapa hal yaitu riwayat penyakit

sebelumnya, riwayat konsumsi suplemen berenergi, riwayat konsumsi minuman


13

beralkohol, riwayat konsumsi obat-obatan dan riwayat konsumsi jamu (Agustianingsih

& Anugrahini, 2017).

Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit gagal ginjal

kronik seperti hipertensi, diabetes mellitus, pertambahan usia, ada riwayat penyakit

gagal ginjal kronik, obesitas, penyakit kardiovaskular, berat lahir rendah, penyakit

autoimun, keracunan obat, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih dan penyakit ginjal

bawaan (Siagian & Damayanty, 2018).

1. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang

etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi

tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritisn

dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya

berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal

terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus

sistemik (LES), mieloma multipel, atau amyloidosis (Gliselda, 2021).

2. Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena

penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam

keluhan gagal ginjal kronis dapat terjadi karena Nefropati diabetic (ND). Nefropatik

Diabetik (ND) merupakan komplikasi penyakit diabetes melitus yang termasuk dalam

komplikasi mikrovaskular, yaitu komplikasi yang terjadi pada pembuluh darah halus

(kecil). Tingginya kadar gula dalam darah akan membuat struktur ginjal berubah
14

sehingga fungsinya terganggu (Wahyuningsih, Nugroho, Suhartono, Hadisaputro, &

Adi, 2019).

3. Hipertensi

Hipertensi merupakan penyebab kejadian gagal ginjal tahap akhir kedua

seseorang dengan hipertensi mempunyai kemungkinan untuk sakit gagal ginjal kronis

15-20% lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak hipertensi. Penyakit ginjal

yang disebabkan karena hipertensi disebut dengan nefropati hipertensi (nefrosklerosis

hipertensi) adalah penyakit ginjal yang disebabkan karena terjadinya kerusakan

vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah akut maupun kronis

(Sagita & Andreas Arie Setiawan, 2018).

4. Ginjal Plikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material

yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan

ksita-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh

karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit.

Jadi ginjal polikistik merupakan kelinan genetik yang paling sering didapatkan. Nama

lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult

polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia

diatas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil,

sehingga digunakan istilah dominan autosomal (Marisa & Harun, 2021).

2.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala penyakit gagal ginjal kronik bisa dilihat dari berbagai sistem

tubuh (Hutagol, 2017) :


15

1. Cairan dan elektrolit Hypernatremia yang menyebabkan edema, Asites,

hyperkalemia yang menyebabkan gangguan konduksi syaraf, poliuria atau oliguria,

hypokalsemia, hyperphospatemia.

2. Hematologi dan imunologi Anemia, penurunana kualitas trombosit, masa

pembekuan panjang, peningkatan kecendrungan pendarahan, kerusakan antibody

humoral, pemakaian imunosupresan, peningkatan resiko infeksi, dan penurunan

jumlah leukosit.

3. Metabolik peningkatan BUN, ureum, kreatinin, hypoproteinemia,trigleseida,

asidosis metabolic, pericarditis.

4. Gastrointestinal, nafas berbau ammonia, ulserasi perdarahan pada mulut, anoreksia,

mual, muntah, cegukan, penurunan penghasilan saliva, haus, rasa kecap logam

pada mulut, kehilangan penghidu dan pengecap, parotitis dan stomatitis, peritonis,

konstipasi , diare, perdarahan gastrointestinal.

5. Kardiovaskuler Hipertensi, pitting edema, edema periorbital, friction rub

pericardial, pembesaran vena leher, gagal jantung kongestif, perikarditis, distrimia,

kardiomiopati, efusi pericardial.

6. Muskuloskletal dan integumenn Osteodystropi, pruritus, peticheae, purpura,

rambut, kuku rapuh, warna kulit abu-abu hipermigmentasi, kulit kering, bersisik

kulit tipis dan rapuh, kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang kaki, dan

perubahan warna kulit.

7. Neurologi dan psikologi peripheral neurophati, mudah lupa, mudah tersinggung,

stress berat, perubahan kepribadian, gangguan tidur, depresi/agitasi, tergantung

pada orang lain, kelemahan, keletihan, kejang, rasa panas pada tungkai, perubahan

tingkat kesadaran.
16

8. Sistem reproduktif Amenore, atropi testikuler, impotensi, penurunan libido,

kemandulan.

9. Sistem urinaria Perubahan frekuensi berkemih, hematuria, proteinuria, dan

nocturia.

10. Gangguan tidur Pasien gagal ginjal tahap akhir sering mengalami uremia akibat

penimbunan sampahmetabolisme. Uremia mengakibatkan gangguan sistem syaraf

dan menyebabkan restless leg syndrome. Restless leg syndrome merupakan salah

satu bentuk gangguan tidur dan penyebab imsonia pada pasien. Pesien penyakit

ginjal kronik yang menjalani hemodialisis sering mengalami gangguan tidur berupa

kesulitan memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur dan bangun terlalu dini

2.4 Patofisiologi

Penyakit gagal ginjal kronik merupakan proses patofisiologis dengan etiologi

yang beragam dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang progresif (Anak et al.,

2022). Ketika ginjal kehilangan fungsinya oleh sebab apapun, nefron yang masih utuh

akan mencoba untuk mempertahankan laju filtrasi glomerulus agar tetap normal.

Keadaan ini akan berdampak pada nefron yang tersisa harus bekerja melebihi

kapasitasnya, sehingga akan timbul kerusakan yang akan memperberat penurunan

fungsi ginjal. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap

ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami

hipertropi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh badan kerja ginjal. Terjadi

peningkatan kecepatan filtrasi, beban solut dan reabsobsi tubulus dalam setiap nefron

meskipun filtrasi glomerulus untuk seluruh masa nefron yang terdapat pada ginjal

turun dibawah nilai normal (Rahmawati, 2018).

Mekanisme dari adaptasi tersebut cukup berhasil untuk mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga pada tingkat dimana fungsi ginjal
17

yang sangat rendah. jika sekitar 75% masa nefron sudah hancur, maka kecepatan

filtrasi dan beban setiap nefron tinggi sehingga keseimbangan tubulas glomerulus tidak

dapat untuk dipertahankan lagi

Pada tahap – tahap perkembangan penyakit gagal ginjal kronik yang terjadi

dahulu adalah penrurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40-75%), pada tahap ini

hal yang terjadi pada tubuh penderita adalah sekitar 40-75%nefron tidak berfungsi, laju

filtrasi glomerulus 40-50% normal, BUN dan kreatinin serum masih normal serta

pasien asimtomatik.Selanjutnya gagal ginjal dengan faal ginjal kurang dari 10%,

beberapa hal yang terjadi diantaranya laju filtrasi glomerulus 10-20% normal. BUN

dan kreatinin serum meningkat,anemia, azotemia dan asidosis metabolic,polyuria dan

nokturia serta gejala gagal ginjal.

Tahap selanjutnya jika sudah lebih dari 85% nefron tidak berfungsi, laju filtrasi

glomerulus kurang dari 10% normal,BUN dan kreatinin tinggi, anemia, azotemia dan

asidosis metabolic, berat jenis urine tetap 1,010, oliguria dan gejala gagal ginjal. Pada

stadium akhir dimana kurang lebih 90% massa nefron telah hancur. NIlai GFR 10%

dibawah batas normal dan kadar kreatinin hanya 5-10ml/menit, bahkan kurang dari

jumlah tersebut. Selain itu terjadi peningkatan kreatinin serum dan BUN secara

mencolok.Pada stadium akhir penyakit gagal ginjal, penderita tidak akan sanggup

mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit didalam tubuh. Pada tahap ini

penderita akan mengalami oliguri (pengeluaran kemih kurang 500ml/hari karena

kegagalan glomerulus). Pada stadium akhir gagal ginjal inilah penderita sudah harus

mendapatkan pengobatan berupa transplantasi ginjal atau dengan dialisis

(Kalengkongan, Makahaghi, & Tinungki, 2018).

2.5 Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Medis Gagal Ginjal Kronik menurut Kowalak, dkk (2017) adalah :
18

1) Kelebihan cairan diberikan diuretic seperti : furosemide (Lasix),bumetanid

(Bumex), Metolazone (Zaroxolon), Chlorothiazide (Diuril).

2) Peningkatan trigliserida diatasi dengan Gemfibrozil.

3) Hiperkalemia diatasi dengan Kayexalate, Natrium Polisteren Sulfanat.

4) Hiperurisemia diatasi dengan Allopurinol.

5) Osteodistoofi diatasi dengan Dihidroksiklkalsiferol, alumunium hidroksida.

6) Kelebihan fosfat dalam darah diatasi dengan kalsium karbonat, kalsium asetat,

alumunium hidroksida.

7) Mudah terjadi perdarahan diatasi dengan desmopresin, estrogen

8) Ulserasi oral diatasi dengan antibiotic.

9) Intervensi diet yaitu diet rendah protein (0,4-0,8 gr/kgBB), vitamin B dan C, diet

tinggi lemak dan karbohirat

10) Asidosis metabolic diatasi dengan suplemen natrium karbonat.

l1) Abnormalitas neurologi diatasi denganDiazepam IV (valium), fenitonin (dilantin).

12) Anemia diatasi dengan rekombion eritropoitein manusia (epogen IV atau SC 3x

seminggu), kompleks besi (imferon), androgen (nandrolan dekarnoat/deca durobilin)

untuk perempuan, androgen (depo-testoteron) untuk pria, transfuse Packet Red

Cell/PRC.

13) Cuci darah (dialisis) yaitu dengan hemodialisa maupun peritoneal dialisa.

14) Transplantasi ginjal

b. Penatalaksanaan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik Menurut Nurlina (2018) adalah :

1) Mengkaji status nutrisi

2) Mengkaji status cairan

3) Batasi Asupan cairan

4) Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan.


19

5) Melaksanakan program diet yang sesuai untuk menjamin masukan nutrisi yang

sesuai dalam batas – batas program penaganan.

6) Memberikan masukan intake cairan yang adekuat untuk mengurangi adanya

pembentukan batu ginjal akibat urine yang terlalu pekat.

7) Memberikan dan meningkatkan rasa positif dengan mendorong peningkatan

perawatan diri.

8) Memberikan dukungan emosi yang besar untuk pasien dan keluarga yang

berhubungan dengan beberapa perubahan yang dialami oleh pasien.

9) Memberikan penjelasan dan juga informasu kepada pasien dan juga keluarga

pasien mengenai penyakit yang dideritanya

2.6 Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Kecemasan Pasien

Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa

1. Pengertian

Relaksasi adalah sebuah keadaan dimana seseorang terbebas dari tekanan dan

kecemasan atau kembalinya keseimbangan setelah terjadinya gangguan. Secara

fisiologis, keadaan relaksasi ditandai dengan penurunan kadar epinefrin dan non

epinefrin dalam darah, penurunan frekuensi denyut jantung, penurunan tekanan darah,

penurunan frekuensi napas, penurunan ketegangan otot, metabolisme menurun,

vasodilatasi dan peningkatan temperatur pada ekstremitas. Teknik relaksasi bertujuan

untuk memberikan rasa nyaman dan rileks pada pasien, dapat mengurangi intensitas

nyeri, serta dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigen darah

(Utami, 2016).

2. Efek Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Menurut Nurjanah & Yuniartika, 2020 teknik relaksasi napas dalam yang baik

dan benar akan memberikan efek yang penting bagi tubuh, efek tersebut antara lain:
20

a. Penurunan nadi, tekanan darah, dan pernapasan.

b. Penurunan konsumsi oksigen.

c. Penurunan ketegangan otot

d. Peningkatan kesadaran global

e. Kurang perhatian terhadap stimulus lingkungan

f. Tidak ada perubahan posisi yang volunteer

g. Perasaan damai dan sejahtera

h. Periode kewaspadaan yang santai, terjaga, dan dalam

3. Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Langkah – Langkah melakukan teknik relaksasi napas dalam :

a. Carilah tempat yang tenang.

b. Duduklah di kursi dengan sandaran punggung yang baik dengan kaki tetap

berada di lantai atau posisikan tubuh secara nyaman yaitu berbaring dengan

menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut, hindari posisi berdiri.

c. Tempatkan jari-jari pada perut dan pejamkan mata.

d. Hirup dan hembuskan napas dengan perlahan dan lembut sehingga perut naik

dan turun.

e. Hirup satu napas dalam dengan lambat.

f. Tahan napas sampai hitungan keempat (hitungan dilakukan dengan lambat).

g. Hembuskan napas perlahan dan stabil, sambil mengendurkan semua otot, dan

berkata “rileks” kepada diri sendiri.

h. Ulangi urutan sebanyak yang Anda inginkan, selalu lakukan dengan perlahan,

tanpa tegang.

Selama melaksanakan teknik relaksasi ini konsentrasikan kesadaran pada

seluruh bagian tubuh, rasakan setiap tarikan napas, rasakan perubahan-perubahan yang
21

terjadi selama melakukan relaksasi, jangan memikirkan persoalan apapun, semua

masalah yang ada harus dilupakan sejenak. Tidak sulit untuk mendapatkan manfaat

istimewa dari latihan pernapasan. Cukup dengan melakukan pernapasan dalam secara

bebas. Penuhi paru-paru dengan udara hingga dada terasa mengembang, kemudian

hembuskan napas secara perlahan. Hal ini bisa dilakukan sebagai kegiatan rutin pada

waktu senggang atau sedang dalam kondisi stress (Suyono, 2016).

2.7 Asuhan Keperawatan Teoritis

1. Pengkajian Keperawatan (Astuti & Setiyarini, 2022)

a. Identitas

Mengkaji data inti yang meliputi : nama pasien, usia, jenis kelamin, alamat, jam

dan tanggal masuk rumah sakit,tanggal pengkajian nomor rekam medis, diagnosa

medis, umur, dan ruangan tempat klien dirawat.

b. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan saat masuk rumah sakit

Keluhan saat masuk rumah sakit adalah alasan yang membuat pasien datang ke

rumah sakit. Pada pasien gagal ginjal, keparahan kondisi bergantung pada seberapa

parahnya kerusakan ginjal, kondisi yang mendasari dan usia pasien. Pada pasien

gagal ginjal kronis biasanya mengeluhkan mual dan muntah, gatal – gatal pada

kulit, pucat, volume urine yang sedikit, merasakan lemah, nafas berbau, bengkak

pada kaki dan sesak nafas.

2) Keluhan Utama Saat Dikaji

Pada pasien gagal ginjal kronik biasanya mengeluhkan mual, muntah, gatal

pada kulit, kulit pucat, merasa lemah, letih dan udem.

3) Riwayat Penyakit Dahulu


22

Melakukan pengkajian pada riwayat kesehatan pasien sebelumnya, tanyakan

apakah pasien pernah mengalami trauma pada ginjal, infeksi saluran kemih. Pada

pasien gagal ginjal kronik biasanya memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus

dan hipertensi, kaji berapa lama pasien menderita Diabetes Melitus dan hipertensi,

bagaimana pasien memberikan penanganan pada penyakit sebelumnya.

4) Riwayat penyakit keluarga

Biasanya memiliki anggota keluarga yang pernah menderita penyakit g

sebelumnya.

5) Riwayat Psikososial

Meliputi riwayat psikologis klien yang berhubungan dengan kondisi penyakit

serta dampak penyakit terhadap kehidupan sosial klien.

c. Pengkajian Fungsional Gordon

1) Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan

Pasien menyadari akan penyakitnya, akan mencari tahu tentang penyakit yang

diderita, sehingga kepatuhan akan mengkonsumsi obat lebih diperhatikan serta

melakukan penanganan yang tepat. Selain itu kaji riwayat alergi dan jenis obat

yang biasa dikonsumsi.

2) Pola Nutrisi dan Metabolik

Pada pasien dengan gagal ginjal kronis akan mengalami peningkatan berat

badan yang cepat dikarenakan adanya cairan yang tertahan dalam tubuh. Namun

jika pasien mengalami penurunan berat badan maka perlu dikaji adanya mual,

muntah, anoreksia, intake cairan yang tidak adekuat, nyeri ulu hati, adanya rasa

metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan ammonia).

3) Pola Eliminasi
23

pada pola eliminasi bisa dilihat adanya penurunan frekuensi urine, oliguria

(produksi urin yang sedikit), anuria (gagal tahap lanjut), abdomen yang kembung,

diare, konstipasi, perubahan pada warna urine seperti kuning pekat dan merah.

4) Pola Aktivitas dan Latihan

Timbulnya rasa kelemahan yang ekstrim, malaise dan keterbatasan gerak sendi.

5) Pola Istirahat dan Tidur

Menilai pola istirahat dan tidur pasien dengan cara melihat apakah pasien

mengalami gangguan tidur (insomnia, gelisah dan somnolen)

6) Pola Persepsi Sensori dan Kognitif

Adanya perasaan panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan

otot,perubahan tingkat kesadaran, nyeri pangggul, sakit kepala, keram/nyeri kaki

yang memburuk pada malam hari, mudah terdistraksi, gelisah, penglihatan kabur.

7) Pola Persepsi dan konsep Diri

Melihat apakah pasien memiliki perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan,

tidak ada kekuatan, ansietas, takut, marah, perubahan kepribadian, kesulitan

dalam menentukan kondisi contohnya tidak mampu bekerja seperti biasanya.

8) Pola Peran dan Hubungan

Pasien biasanya tidak mampu menjalankan peran seperti sebelum ia sakit.

9) Pola Reproduksi dan Seksual

Penurunan libido,amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi testikuler.

10) Pola Koping dan Toleransi Stress

Mengkaji tingkat kecemasan pasien, serta bagaimana kemampuan koping

pasien dalam menghadapi masalah/penyakit yang sedang diderita. Pasien gagal

ginjal kronis umumnya menunjukkan gejala cemas, stress, perasaan tidak


24

berdaya, taka da harapan, masalah finansial dan hubungan yang taka ada kekuatan

ditandai dengan ansietas, marah, dan takut.

11) Pola Nilai dan Keyakinan

Mengkaji agama dan kepercayaan yang dianut oleh pasien dan keluarganya,

bagaimana pengaruh kepercayaan dalam manajemen pengobatan, serta hal – hal

yang harus dipatuhi oleh pasien sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya.

d. Pemeriksaan Fisik

1) Keluhan utama : lemas, nyeri pinggang dan kondisi yang memburuk

2) Tingkat kesadaran : compos mentis sampai koma.

3) Pengukuran antropometri : penurunan berat badan, penurunan ukuran lingkar

lengan atas.

4) Tanda – tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu tubuh meningkat, nadi lemah,

disritmia, pernapasan dengan panjang ekspirasi dan inspirasi yang sama, sehingga

menyebabkan pernapasan menjadi lambat dan dalam (pernapasan kusmaul),

pernapasan tidak teratur.

5) Kepala

a) Mata : konjungtiva anemis, mata merah, mata berair, penglihatan kabur, edema

periorbital (mata berkantung).

b) Rambut :mudah rontok, tipis dan kasar.

c) Hidung ; pernapasan cuping hidung

d) Mulut : sariawan atau ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,

muntah, cegukan, peradangan pada gusi.

e) Leher : pembesaran kelenjar getah bening dan vena leher

6) Dada dan Thoraks


25

Penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal, kusmaul serta krekels,

nafas dangkal, pneuomonitis, edema pulmoner.

7) Ekstremitas

Capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam serta tipis, kelemahan

pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop, kekuatan otot.

8) Kulit

Ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat atau

hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura), edema.

e. Pemeriksaan Penunjang

1) Urine

a) Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada (anuria).

b) Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak,

pertikel koloid, fosfat atau urat.

c) Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan

ginjal berat)

d) Klirens kreatinin, mungkin menurun

e) Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu mereabsobsi natrium.

f) Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat menunjukkan kerusakan

glomerulus.

2) Darah

a) Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb biasanya kurang dari 7-8

gr

b) Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti azotemia.


26

c) GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan

kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir

katabolisme prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.

d) Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai perpindahan seluler

(asidosis) atau pengeluaran jaringan)

e) Magnesium fosfat meningkat

f) Kalsium menurun

g) Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan

protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan atau sintesa karena

kurang asam amino esensial.

h) Osmolaritas serum: lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urin.

3) Pemeriksaan radiologic

a) Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan bladder/KUB):

menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung kemih, dan adanya obstruksi (batu).

b) Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskuler,

masa

c) Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam

ureter dan retensi.

d) Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi

pada saluran perkemuhan bagian atas.

e) Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk menentukan seljaringan

untuk diagnosis hostologis.

f) Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelis ginjal (keluar

batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif).


27

g) Elektrokardiografi (EKG): mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan

elektrolit dan asam basa.

h) Fotokaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan, dapat menunjukkan demineralisasi,

kalsifikasi.

i) Pielogram intravena (IVP), menunjukkan keberadaan dan posisi ginjal, ukuran dan

bentuk ginjal.

j) CT scan untuk mendeteksi massa retroperitoneal (seperti penyebararn tumor).

k) Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendeteksi struktur ginjal, luasnya lesi

invasif ginjal.

4. Diagnosa Keperawatan berdasarkan SDKI, 2016

a) Resiko perfusi renal tidak efektif b.d disfungsi ginjal

b) Pola nafas tidak efektif b.d sindrom hipoventilasi

c) Hipervolemia b.d kelebihan asupan natrium

d) Gangguan pola tidur b.d proses penyakit

Diagnosa Keperawatan Berdasarkan Nursing Diagnosis Handbook,2017

a) Ketidakefektifan koping b.d situasi krisis

b) Perubahan dalam keluarga b.d perubahan tanggung jawab peran akibat terapi

c) Kelebihan volume cairan b.d haluaran urin yang minimal

d) Ketidakberdayaan b.d terapi pengobatan

e) Intoleransi aktivitas b.d efek dari anemia

f) Cemas akibat kematian b.d penyakit yang diderita

g) penurunan curah jantung b.d peningkatan kadar kalium

h) gangguan kenyamanan b.d sensasi gatal


28

5. Rencana Asuhan Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Resiko perfusi renal Perfusi Renal (L.02011) Manajemen Cairan
tidak efektif (D.0016) Kriteria hasil: (I.03098)
a.Jumlah urine dapat Tindakan
meningkat a.Observasi
b.Nyeri abdomen dapat  Monitor status hidrasi
menurun (mis. frekuensi nadi,
c.Mual dapat menurun kekuatan nadi, akral,
d.Muntah dapat menurun pengisian
e.Distensi abdomen dapat kapiler,kelembapan
menurun mukosa, turgor kulit,
f.Tekanan arteri rata-rata teknan darah)
dapat membaik  Monitor berat badan
g.Kadar urea nitrogen harian
darah dapat membaik  Monitor berat badan
h.Kadar kreatinin plasma sebelum dan sesudah
dapat membaik dialisis
i.Tekanan darah sistolik  monitor hasil
dapat membaik pemeriksaan
j. Tekanan darah diastolic laboratorium
dapat membaik (mis.hematokrit, Na,
j. Kadar elektrolit dapat K,Cl, berat jenis
membaik urine, BUN)
k. Keseimbangan asam  monitor status
basa dapat membaik hemodinamik (mis.
l. Bising usus dapat MAP,CVP,PAP,
membaik PCWP jika tersedia)
b.Terapeutik
 Catat intake – output
dan hitung balance
cairan 24 jam
 Berikan asupan
cairan, sesuai
kebutuhan
 Berikan cairan
intravena jika perlu
c. Kolaborasi
 kolaborasi pemberian
diuretic jika perlu
2. Pola Napas Tidak Pola Napas Manajemen Jalan Napas
efektif (D.0005)
29

(L.01004) (I.01012)
Kriteria Hasil Tindakan :
a.Ventilasi semenit dapat a.Observasi
meningkat  Monitor pola napas
b.Kapasitas vital dapat (frekuensi,
meningkat kedalaman, usaha
c.Diameter thoraks napas0
anterior – posterior dapat  Monitor bunyi napas
meningkat tambahan
d. Tekanan ekspirasi dapat (mis.gurgling, mengi,
meningkat wheezing, ronkhi
e. Tekanan inspirasi dapat kering)
menngkat  monitor sputum
f. Dispnea dapat menurun (jumlah, warna,
g. Penggunaan otot bantu aroma)
nafas dapat menurun b.Terapeutik
h. Pemanjangan fase  pertahankan
ekspirasi dapat menurun kepatenan jalan napas
i. Ortopnea dapat dengan head-tilt dan
menurun chin-lift (jaw – thrust
j. Pernapasan pursed – lip jika curiga trauma
dapat menurun servikal0
k. Pernapasan cuping  posisikan semi fowler
hidung dapat menurun atau fowler
l. Frekuensi napas dapat  berikan minuman
membaik hangat
m. Kedalaman napas
 lakukan fisioterapi
dapat membaik
dada, jika perlu
n. Ekskursi dada dapat
 lakukan pengisapan
membaik
lendir kurang dari 15
detik
 berikan oksigen,jika
perlu
c.Edukasi
 anjurkan asupan
cairan 200ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
 ajarkan teknik batuk
efektif
d. Kolaborasi
 kolaborasi pemberian
bronkodilator,
30

ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
3. Hipervolemia (D.0022) Keseimbangan Cairan Manajemen Hipervolemia
(L.05020) (I.03114)
Kriteria Hasil : a.Observasi
a.Asupan cairan dapat  Periksa tanda gejala
meningkat hipervolemia
b.Keluaran urine dapat (mis.ortopnea,
meningkat dyspnea, edema,
c.Kelembapan membrane JVP/CVP meningkat,
mukosa dapat meningkat suara napas
d.Asupan makanan dapat tambahan)
meningkat  Identifikasi penyebab
e.Edema dapat menurun hypervolemia
f.Dehidrasi dapat  Monitor status
menurun hemodinamik (mis.
g. Asites dapat menurun frekuensi jantung,
h. Konfusi dapat menurun tekanan darah)
i. Tekanan darah dapat  Monitor intake dan
membaik output cairan
j. Denyut nadi radial dapat  Monitor tanda
membaik hemokonsentrasi
k. Tekanan arteri rata-rata (mis. kadar natrium,
dapat membaik BUN,
l. Membran mukosa dapat hematocrit,berat jenis
membaik urine)
m. Mata cekung dapat  Monitor tanda
membaik peningkatan tekanan
n. Turgor kulit dapat onkolitik plasma
membaik (mis. kadar protein
o. Berat badan dapat dan albumin
membaik meningkat)
 Monitor kecepatan
infus secara ketat
 Monitor efek
samping diuretic (mis.
hipotensi
ortortostatik,
hipovolemia,
hypokalemia,
hiponatremia)
b.Terapeutik
 Timbang berat badan
31

setiap hari pada waktu


yang sama
 Batasi asupan cairan
dan garam
 Tinggikan kepala
tempat tidur 30-400
c.Edukasi
 Anjurkan melapor
jika haluaran urine
<0,5ml/kg/jam dalam
6 jam
 anjurkan melapor jika
BB bertambah >1kg
dalam sehari
 Ajarkan cara
mengukur dan
mencatat asupan dan
haluaran cairan
 ajarkan cara
membatasi cairan
d.Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
diuretic
4. Gangguan Pola Tidur Pola Tidur (L.05045) Dukungan Tidur (I.05174)
(D.0055) Kriteria Hasil: Tindakan
a.Keluhan sulit tidur dapat a.Observasi
menurun  Identifikasi pola
b.Keluhan sering terjaga aktivitas dan tidur
dapat menurun  Identifikasi faktor
c.Keluhan tidak puas tidur pengganggu tidur
dapat menurun (fisik / psikologis)
d. Keluhan pola tidur  Identifikasi makanan
berubah dapat menurun dan minuman yang
e. Keluhan istirahat tidak mengganggu tidur
cukup dapat menurun (mis: kopi, the,
f. Kemampuan alcohol, makan
beraktivitas dapat mendekati waktu
meningkat tidur, minum banyak
air sebelum tidur)
 Identifikasi obat tidur
yang dikonsumsi
b.Terapeutik
 Modifikasi
32

lingkungan (mis:
pencahayaan,
kebisingan, suhu,
matras dan tempat
tidur)
 Batasi waktu tidur
siang, jika perlu
 Fasilitasi
menghilangkan stress
sebelum tidur
 Tetapkan jadwal tidur
rutin
 Lakukan prosedur
untuk meningkatkan
kenyamanan
(mis:pijat, pengaturan
posisi)
 Sesuaikan jadwal
pemberian obat
dan/atau tindakan
untuk menunjang
siklus tidur-terjaga
c.Edukasi
 Jelaskan pentingnya
tidur cukup selama
sakit
 Anjurkan menepati
kebiasaan waktu tidur
 Anjurkan
menghindari
makanan/minuman
yang mengganggu
tidur
 Ajarkan relaksasi otot
autogenic atau cara
nonfarmakologi
lainnya
33

B. Evidenced – Based Nursing (EBN)

2.8 Pengantar

Evidenced – based practice (EBN) berperan secara integral dalam pelayanan

kesehatan yang berkualitas tinggi dan telah diakui secara internasional sebagai

pendekatan problem solving yang ideal serta menekankan pada penerapan penelitian

terbaik, membantu profesional kesehatan tetap up to date dan membuat keputusan

perawatan kesehatan yang lebih baik. EBN merupakan landasan praktik praktik

keperawatan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien (American

Academy of Nursing, 2016)

Secara internsasional World Health Organization (WHO) dan komisi eropa

menekankan bahwa layanan kesehatan dan sosial harus didasarkan pada bukti

penelitian terbaik (WHO, 2018).

Pelaksanaan EBN teknik relaksasi nafas dalam pada pasien gagal ginjal kronik

yang menjalani hemodialisa, diberikan kepada pasien dengan tingkat kesadaran

compos mentis yang mengalami kecemasan mengenai penyakitnya.

2.9 Kritisi Jurnal

a. Identifikasi Masalah

Dari fenomena yang didapat pada pasien dengan gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisa maka pernyataan klinis yang muncul adalah “apakah penerapan

teknik relaksasi nafas dalam dapat mengurangi kecemasan pasien gagal ginjal kronik”

Untuk mengidentifikasi masalah suatu evidence based, maka diidentifikasi melalui

analisa PICO (Population, Intervention, Comparative, dan Outcome) :

1) Population (P) adalah pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa
34

2) Intervention (I), adalah pemberian terapi teknik relaksasi nafas dalam

3) Comparative (C), memberikan posisi nyaman pada pasien selama

intervensi

4) Outcome (O), dengan pemberian terapi teknik relaksasi nafas dalam dapat

mengurangi kecemasan pasien.

b. Temukan Jurnal yang Sesuai

Berdasarkan analisa PICO diatas didapatkan kata kunci kecemasan, latihan

nafas dalam,gagal ginjal kronis, hemodialisa. Dari hasil kata kunci yang didapat,

dilakukan pencarian jurnal di search engine google scholar. Dari hasil pencarian jurnal

didapatlah jurnal “Pengaruh Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Kecemasan Pada Pasien

Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa”.

Beberapa jurnal ditemukan untuk melihat bagaimana pengaruh teknik relaksasi

nafas dalam terhadap penurunan kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa. Salah

satunya adalah jurnal Pramono,2019, dalam penelitiannya Pramono menjelaskan butuh

waktu selama 15-30 menit untuk melakukan teknik relaksasi dafas dalam. Penelitian

dilakukan kepada satu kelompok pasien yang menjalani hemodialisa, sebelumnya

dilakukan pretest menggunakan HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) untuk melihat

tingkat kecemasan pasien. Terapi yang diberikan dikombinasikan dengan teknik

relaksasi otot progresif, namun latihan teknik relaksasi otot progresif hanya dilakukan

satu kali saja. DIdapatkan hasil bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan

kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.

Penelitian lainnya mengenai perngaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap

penurunan kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa adalah penelitian yang

dilakukan oleh Puspitasari, 2021 yang melakukan penelitian pada 35 orang pasien yang

menjalani hemodialisa, dengan melakukan pretest dan post-test menggunakan HARS,


35

dan mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam, didapatkan hasil penurunan kecemasan

pasien, namun pada jurnal tidak dijelaskan berapa lama waktu yang digunakan untuk

mengajarkan dan melakukan teknik relaksasi nafas dalam pada pasien.

Penelitian yang dilakukan oleh Alfikrie, 2020 didapatkan hasil adanya

penurunan kecemasan pada pasien yang menjalani hemodialisa dengan diajarkannya

teknik relaksasi nafas dalam, penelitian dilakukan pada 15 orang kelompok kontrol,

dan 15 orang kelompok intervensi, didapatkan hasil penurunan tingkat kecemasan

setelah dilakukan intervensi teknik relaksasi nafas dalam selama 10-20 menit selama

tiga hari.

c.Telaah Jurnal

Penelitian ini adalah penelitian quasy experiment dengan metode non

equivalent control group pre test and post test design Pada penelitian ini melibatkan 30

orang responden dengan 15 kelompok control dan 15 orang kelompok intervensi

dengan kesadaran compos mentis, pasien dengan diagnosa utama gagal ginjal kronik,

responden dengan tingkat kecemasan ringan sampai sedang dan pasien dengan usia

lebih 18 tahun. Pada pasien kelompok intervensi diberikan teknik relaksasi nafas dalam

selama 10-20 menit, dan pada kelompok control diberikan leaflet mengenai relaksasi

nafas dalam. Pasien diberikan latihan teknik relaksasi nafas dalam yang dilakukan

selama tiga hari dengan frekuensi dua kali dalam satu hari, selanjutnya dilakukan

posttest untuk pengukuran tingkat kecemasan. Pengumpulan data yang digunakan

meliputi wawancara, observasi, catatan individu, catatan rekam medis, dan perawatan.

Data yang telah dikumpulkan dianalisis untuk melihat masalah keperawatan yang

dialami pasien dan juga meninjau keefektifan intervensi yang telah dilakukan untuk

menyelesaikan masalah keperawatan tersebut.


36

Hasil penelitian didapatkan bahwa terjadi penurunan skor kecemasan pada

kelompok yang diberikan terapi teknik relaksasi nafas dalam selama 10-20 menit

dalam tiga hari (Alfikrie et al., 2020).

2.10 Prosedur

a. Berbaring dengan posisi nyaman.

b. Anjurkan klien untuk menutup mata.

c. Anjurkan klien untuk relaksasi semua otot secara dalam, mulai dari kaki

dan relaksasikan sampai wajah.

d. Nafas melalui hidung, hembuskan nafas, sambil mengucap satu, tenangkan

pikiran. Nafas dalam…..hembuskan, satu, Nafas dalam……hembuskan

satu. Bernafaslah dengan mudah dan alami….hembuskan sampai tercipta

ketenangan dan rileks pada diri anda.

e. Ulangi 10 sampai 20 menit sampai anda tenang.

f. Ciptakan lingkungan yang sunyi dan bebas dari gangguan. Sebaiknya

dilakukan pada waktu kita kesulitan untuk memulai tidur. Memang sulit

untuk menghilangkan gangguan pikiran atau kecemasan, karena itu tehnik

ini memerlukan latihan, dengan konsistensi dan berjalannya waktu, respon

relaksasi bisa dicapai dengan mudah.

g. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal anda harus membuat jadwal

waktu latihan relaksasi diantara rutinitas sehari – hari. Banyak orang

melakukan tehnik latihan pada waktu yang hampir bersamaan setiap

harinya; contohnya setelah lepas dari kesibukan orang akan memperoleh

malam yang rileks dan menyenangkan.


WOC

produk eritopoitin turun Gagal Ginjal Kronik GFR menurun, ureum naik

anemia
mual, muntah
Dialisat tidak mampu menarik cairan tubuh

bengkak seluruh tubuh, edema paru, efusi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
kelebihan volume cairan
perikarditis

curah jantung menurun


suplai oksigen tidak adekuat pola nafas tidak efektik

penurunan curah jantung


penurunan perfusi jaringan

sesak nafas saat bergerak intoleransi aktivitas

((Astuti & Setiyarini, 2022),(Rahmawati, Hassanudin, & Mokodompit, 2019))


BAB III

LAPORAN KASUS

A. Pengkajian

1. Gambaran Umum Kasus

Ny. E seorang pasien berusia 45 tahun datang ke RSUD Dr. M. Djamil Padang

dengan keluhan nyeri pada daerah leher menjalar ke punggung ditempat

pemasangan selang CDL, saat datang kerumah sakit pada tanggal 27 Maret 2022

pasien mengalami demam dengan suhu 390C. Pasien memiliki riwayat Diabetes

Melitus Tipe II sejak Desember 2021. Pengkajian pada pasien dilakukan pada

tanggal 29 Maret 2022.

2. Data Dasar

Kesadaran: Composmentis

TTV: TD : 154/96 mmHg, N : 96x/menit, S :36,50C, P : 26x/menit

Nyeri: Ada

Gol Darah: O Rh: +

TB: 155 cm , BB: 59 kg

Diagnosis Medis: CKD (gagal ginjal kronik) stage V yang menjalani hemodialisa,

HAP, Anemia

1. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama :

Pasien masuk rumah sakit sejak 27 Maret 2022 dengan keluhan demam sejak

satu hari sebelum masuk ke rumah sakit.

2) Riwayat Kesehatan Sekarang

Pada saat pengkajian tanggal 29 Maret 2022 pasien mengeluh sesak napas,

merasa nyeri di ulu hati. dibagian leher yang terpasang CDL sampai kebelakang
39

punggung dengan skala nyeri 3. pasien mengeluh mual dan batuk tidak berdahak.

Pasien menderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, pasien mengeluh

tidak bisa tidur dan sering terbangun pada malam hari. Pasien juga menderita

Diabetes Melitus terkontrol.

3) Riwayat Kesehatan Dahulu

Pasien menderita gagal ginjal kronik dan rutin menjalani hemodialisa sejak

awal tahun 2022, pasien sudah menderita penyakit DM sejak bulan Desember 2021

dan tidak memiliki riwayat hipertensi.

4) Riwayat Kesehatan Keluarga

Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang

sama seperti pasien. Keluarga juga mengatakan tidak ada anggota keluarga yang

memiliki riwayat penyakit seperti DM, Hipertensi, dan Stroke.

Genogram

X X
X X

Ket:
: Perempuan : serumah

: Laki-laki : Pasien

X : Meninggal
40

5) Pengkajian Fungsional Gordon

a. Pola Persepsi Dan Penanganan Kesehatan

Pasien mengatakan tidak menyangka akan menderita penyakit Diabetes Melitus dan

ginjal yang mengharuskannya unruk melakukan hemodialisa secara rutin, karena tidak

memiliki keturunan yang menderita penyakit ini. sebelumnya Pasien mengatakan merasa

cemas setiap akan menjalani hemodialisa, namun pasien percaya dengan rutin melakukan

hemodialisa kesehatannya tidak akan bertambah buruk. Keluarga pasien dan pasien

mengetahui jika pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis memiliki ginjal yang tidak

berfungsi dengan normal lagi dan harus rutin melaksanakan hemodialisa seumur

hidupnya, pasien rutin menggunakan insulin untuk penyakit Diabetes Melitusnya. tidak

memiliki riwayat merokok, mengkonsumsi alkohol dan obat - obatan, pasien tidak

memiliki alergi. Pasien agak kesulitan membatasi minum sesuai instruksi dokter, karena

pasien sudah terbiasa mengkonsumsi banyak air putih sebelumnya karena sering merasa

haus.

b. Pola Nutrisi/Metabolisme

Sebelum dirawat di rumah sakit, pasien sudah mengatur makananya, dengan tidak

makan secara berlebihan dan pasien terkadang menjadi kurang nafsu makan karena

kadang merasakan mual. Pasien mengatakan mengalami penurunan BB (61 kg - 59 kg)

dalam wakru satu bulan, IMT pasien saat ini 24,5 (normal). nafsu makan pasien agak

berkurang, namun pasien selalu berusaha menghabiskan makanan yang diberikan

kepadanya dan asupan nutrisi diberikan melalui oral, pasien tidak memiliki kesulitan

dalam menelan, pasien tidak memiliki alergi makanan. Adapun gambaran pola konsumsi

pasien dalam sehari


41

Sebelum Sakit Selama Sakit


Pagi : lontong dan gorengan Pagi : bubur (1 porsi)
Siang : nasi, sayur, lauk pauk (1 Siang : nasi, sayur, lauk pauk (1/2- 1
porsi dihabiskan) porsi)
Malam : nasi, lauk pauk (1 porsi Malam : bubur
dihabiskan)

c. Pola Eliminasi: Keluhan :

Pasien mengatakan bahwa sebelum sakit biasanya pasien BAB rutin satu kali sehari,

biasanya di pagi hari, konsistensi biasa, pasien jarang mengalami konstipasi, tidak ada

riwayat hemoroid, pasien mengatakan BAK nya menjadi seidikit sejak tiga bulan terakhir.

Sebelum sakit biasanya pasien BAK 5-6 kali dalam sehari, warna kuning jernih.

Balance cairan pasien pada 30 Maret 2022 (dalam 24 jam)

input cairan :

minum : 700 cc

Cairan infus : 500 cc

Jumlah intake : 1200 cc

Output cairan :

urine = 200 cc

IWL = 590cc (10cc x 59 kg)

Jumlah output = 790 cc

Jadi, balance cairan pasien : 1200 cc – 709 cc = +410cc/24 jam

Pola Defekasi Pola Urinasi


Pasien belum BAB sejak jumat Frekuensi : 3-4x sehari
siang (4 hari terkahir) Warna : kunng
Bau : khas
Banyaknya : 200 cc/24 jam
Alat bantu : tidak ada
42

d. Pola Aktivitas /Olah Raga: Keluhan :

Pasien mengatakan sebelum sakit ia melakukan segala aktivitas secara mandiri

dan tanpa ada mengalami keseulitan dan tidak ada keluhan selama beraktivitas, dan

pasien jarang berolahraga. Selama dirawat aktivitas pasien dibantu oleh keluarga dan

perawat.

Kemampuan Perawatan Diri (0 = Mandiri, 1 = Dengan Alat Bantu, 2 = Bantuan dari orang
lain , 3 = Bantuan peralatan dan orang lain, 4 = tergantung/tdk mampu)
Aktivitas 0 1 2 3 4
Makan/Minum V
Mandi V
Berpakaian/berdandan V
Toileting V
Mobilisasi di Tempat Tidur V
Berpindah V
Berjalan V
Menaiki Tangga V
Berbelanja V
Memasak V
Pemeliharaan rumah V

ALAT BANTU:V Tdak ada _____Kruk _____Pispot ditempat tidur


_____Walker____Tongkat ______Belat/Mitela ________Kursi roda. Kekuatan Otot :

e. Pola Istirahat Tidur:

Pasien mengatakan sebelum sakit ia tidur 6 – 7 jam sehari, tidak merasakan ada

masalah dengan pola tidurnya dan merasa segar saat bangun pagi harinya. Pasien mulai

tidur pukul 10 malam dan bangun jam 5 pagi.Pasien tidak biasa tidur siang, jadi pasien

bisa tidur malam dengan nyenyak, pasien tidak kesulitan untuk memulai tidur dan

jarang terbangun saat tidur. Pada saat sakit pasien hanya tidur selama 3 – 4 jam pada

malam hari dan sering terbangun tetapi tidak merasa mengantuk lagi, pasien tidur siang

selama ½ jam, tidur terganggu karena rasa nyeri.

f. Pola Kognitif –Persepsi


43

Pasien dalam keadaan sadar, bicara normal, pasien menggunakan bahasa

indonesia dalam kehidupan sehari-harinya. Pasien mengatakan tidak memiliki

gangguan penglihatan. Pasien tidak memiliki gangguan dalam pendengaran, maupun

penciuman. Kemampuan memahami pasien cukup baik. Pasien mengalami ansietas

sedang. Pasien mengatakan cemas karena akan dilakukan cuci darah, dan pasien juga

cemas dengan keadaan yang dirasakan saat ini tubuh terasa berat dan napas kadang

sesak , namun pasien mengatakan tindakan cuci darah itu akan membantu untuk

mengurangi mual dan sakit ginjal yang dialami sekarang. Pasien berorientasi baik

dengan waktu, tempat, dan orang.

g. Pola Peran Hubungan

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, tidak ada masalah mengenai

perawatan pasien, pasien tidak terlihat menarik diri dari lingkungan sekitar. Saat

dirumah sakit pasien biasanya ditemani oleh anak-anaknya yang menjaganya secara

bergantian. Pasien mengatakan bahwa biaya pengobatannya dibantu dengan BPJS,

pasien mengatakan tidak ada mengikuti kegiatan sosial dilingkungan rumahnya.

h. Pola Seksualitas/Reproduksi:

Pasien sudah berusia 45 tahun dan sudah mempunyai 3 orang anak. Pasien

mengatakan sangat menyayangi anak-anaknya. Untuk masalah seksual lainnya tidak

dikaji.

i. . Pola Koping-Toleransi Stres:

Pasien mengatakan biasanya jika memiliki masalah pasien selalu bercerita

kepada keluarga dan jika ada masalah pasien mendiskusikannya bersama keluarga.

Pasien tidak mengkonsumsi obat penghilang stress.


44

j. Pola Keyakinan-Nilai

Pasien beragama islam dan selama dirawat sering berdoa namun aktivitas

ibadah sering terhambat. Pasien rutin berdo’a agar cepat sembuh dan kembali

beraktivitas seperti biasanya.

k. Pola Persepsi Diri

Pasien merasakan nyeri leher kanan, nyeri bagian punggung.


45

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium: (28 Maret 2022)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi


Hematologi

Hemoglobin 10.2 g/dl 12.0 – 14.0 Rendah


Leukosit 8.09 10^3/mm^3 5.0 – 10.0 Normal
Hematokrit 32 % 37.0- 43.0 Rendah
Trombosit 249 10^3/mm^3 150 – 400 Normal
Eritrosit 3,47 10^6/µL 4.0 – 4.5 Rendah

MCV 92 fL 82.0 – 92.0 Normal


MCH 29 pg 27.0 – 31.0 Normal
MCHC 32 % 32.0 – 36.0 Normal
Kimia Klinik
Total protein 7.2 g/dl 6.6 – 8.7 Normal
Albumin 3.6 g/dl 3.8 – 5.0 Rendah
Globulin 3.6 g/dl 1.3 – 2.7 Tinggi
Bilirubin total 0,5 mg/dl 0.3 – 1.0 Normal
Ureum darah 143 mg/dl 10 - 50 Tinggi
Kreatinin darah 12.2 mg/dl 0.6 – 1.2 Tinggi
Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 136 - 145 Normal
Kalium 4.4 mmol/L 3.5 – 5.1 Normal
Klorida 106 mmol/L 97 – 111 Normal

Kesimpulan : Nilai hemoglobin, hematocrit, eritrosit dan albumin menurun, nilai globulin
meningkat.
46

PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN
FISIK
Gambaran
Tanda Vital TD :114/65 mmHg S : 36.60C
N : 85x/m P :22x/m
Kulit Kulit kering (-), gatal/pruritis (-), bersisik (-), oedema
(+)
Kepala Bentuk kepala normal, rambut hitam tidak mudah
rontok, tidak ada pembengkakan.

Leher Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid , pada leher


kanan terpasang CDL dengan kateter dan balutan
lukanya dalam keadaan bersih.
Toraks
I:gerak dada simetris kiri dan kana
- Paru
Pa: fremitus kiri dan kanan
Pe:sonor
A: vesikuler

- Jantung I:iktus cordis tidak tampak


Pa: teraba 1 jari medial IVCS RIC V kiri
A: bunyi jantung reguler

Abdomen I: tidak ada pembengkakan


Pa: distensi abdomen
Pe: timpani
A:bising usus normal

Genitali Tidak ada kelainan


a Rectal
47

Lokasi Luka/nyeri/injuri*:

Keterangan:*Diarsir bagian tubuh


yang mengalami. Apabila luka
dilengkapi dengan ukuran & jenis
luka

P (Provokes/Faktor Pencetus): proses penyakit


Q (Quality/Kualitas): seperti ditusuk - tusuk
R (Region/lokasi): bahu kanan, punggung
S (Severity/Keparahan): skala 3
T (Time/Durasi) : hilang timbul

Penatalaksanaan Medis:
Jenis Nama Obat Dosis
IVFD
NaCl 0.9% 500cc,
24jam/kolg
Renxamin 250cc/24 jam
Injeksi
Cefriaxon 2x1 gr
Oral
Asam folat 1x5 mg
Natrium bicarbonat 3x250 mg
48

WOC KASUS

Diabetes Mellitus

pola nafas tidak efektif


Gangguan tubulus dan glomerulus

virus menyebabkan reaksi peradangan


Jaringan ginjal kurang O2 dan nutrisi di paru

Penurunan fungsi nefron – penurunan GFR infeksi nosokomial (HAP)

BUN dan kreatinin meningkat dirawat di rumah sakit

Hemodialisa
Penurunan produksi eritro protein Gagal Ginjal Kronik

Kecemasan

masa hidup eritrosit berkurang dan jumlah CDL mengalami infeksi


ertitrosit menurun
Gangguan Pola Tidur
Nyeri Akut
Anemia
ANALISA DATA
NO DATA ETIOLOGI PROBLEM
/TGL
1 Data Subjektif : GFR turun Pola napas tidak

- pasien merasa sesak efektif b.d

napas saat berbaring GGK hiperventilasi

- Pasien merasa sesak

napas dan sesak Sekresi

meningkat jika eritropaitin

pasien banyak menurun

bergerak

Data Objektif: Produksi hb turun

- RR ; 26x/menit

- fase ekspirasi Hiperventilasi

memanjang

- Terpasang O2 nasal Pengambilan O2

kanul 5l/m meningkat

- PO2: 162.1
Ketidakefektifan
- pCO2 : 20.1
pola napas

2. Data Subjektif : Kehilangan fungsi Nyeri akut b.d proses

- pasien mengatkan ginjal penyakit

merasa nyeri
50

- P; nyeri karena Disfungsi pada

proses penyakit dan glomerulus

infeksi terpasang

CDL GFR menuun

- Q: seperti ditusuk –

tusuk Sekesi turun

- R : bahu kanan,

punggung, Peningkatan

- S : skala 3 tekanan darah

- T : hilang timbul
Nyeri akut
Data Objektif :

- Pasien tampak

meringis

- Pasien gelisah dan

cemas

3. Data Subjektif : Gagal ginjal Ansietas b.d

- pasien khawatir kronik penyakit kronis

dengan akibat dari progresif

kondisi yang dirawat dirumah

dihadapi (terkait sakit

penyakit yang

diderita saat ini,

yaitu gagal ginjal menjalani


51

kronik dan cemas hemodialisa

dengan hemodialisa

yang harus dijalani Ansietas

seumur hidup)

- pasien sulit

berkonsentrasi

- pasien merasa tidak

berdaya

Data Objektif:

- Pasien tampak

gelisah

- pasien sulit tidur

- frekuensi napas

meningkat

- tekanan darah

meningkat

RENCANA KEPERAWATAN
52

No Diagnosa Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1 Pola napas tidak Pola napas (L.01004) Manajemen jalan napas
efektif (D.0005) Kriteria Hasil : (I.01011)
- Dispnea dapat Observasi :
menurun -monitor pola napas
- Penggunaan otot bantu
Monitor bunyi napas
nafas dapat menurun
- Pemanjangan fase Terapeutik :
ekspirasi dapat menurun - Berikan posisi
- Ortopnea dapat
semi fowler
menurun
- Pernapasan pursed – - Berikan minuman
lip dapat menurun hangat
- Pernapasan cuping
- Berikan oksigen,
hidung dapat menurun
- Frekuensi napas dapat jika perlu
membaik Edukasi :
- Kedalaman napas
- Anjurkan asupan
dapat membaik
- Ekskursi dada dapat cairan 2000
membaik ml/hari jika tidak
ada kontraindikasi.

2 Nyeri Akut Tingkat nyeri (L.08066) Manajemen nyeri (I.08238)


(D.0077) Kriteria Hasil : Aktivitas - Aktivitas :
- Keluhan nyeri Observasi :
dapat menurun - Identifikasi lokasi,
- Meringis dapat karakteristik
menurun durasi, frekuensi,
- Gelisah dapat kualitas dan
menurun intensitas nyeri
- Kesulitan tidur - Identifikasi skala
dapat menurun nyeri
53

- Pola napas - Identifikasi faktor


dapat membaik yang memperberat
- Tekanan darah dan memperingan
dapat membaik nyeri
- Fungsi - Monitor efek
berkemih dapat samping
membaik penggunaan
analgetik
Terapeutik :
- Berikan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa
nyeri
- Fasilitasi istirahat
dan tidur
Edukasi :
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Ajarkan monitor
nyeri secara
mandiri
- Anjurkan
menggunakan
analgesic secara
tepat
3 Ansietas (D.0080) Tingkat Ansietas Terapi relaksasi (I.09326)
(L.09093) Observasi :
Kriteria Hasil : - Identifikasi
- verbalisasi penurunan tingkat
khawatir akibat energy, ketidak
kondisi yang mampuan
54

dihadapi dapat berkonsentrasi,


menurun atau gejala lain
- perilaku gelisah yang menganggu
dapat menurun kemampuan
- perilaku tegang kognititf
dapat menurun - identifikasi teknik
- keluhan pusing relaksasi yang
dapat menurun pernah efektif
- frekuensi digunakan
pernapasan - identifikasi
dapat menurun kesediaan,
- tekanan darah kemampuan, dan
dapat menurun penggunaan teknik
- pucat dapat sebelumnya

menurun - periksa ketegangan

- pola tidur dapat otot, frekuensi

membaik nadi, tekanan


darah, dan suhu
sebelum dan
sesudah latihan
- monitor respon
terhadap terapi
relaksasi
Terapeutik :
- ciptakan
lingkungan tenang
dan tanpa
gangguan dengan
penvahayaan dan
suhu ruanh
nyaman, jika
55

memungkinkan
- gunakan pakaian
longgar
- gunakan nada
suara lembut
dengan irama
lambat dan
berirama.
- gunakan relaksasi
sebagai strategi
penunjang dengan
analgetik atau
tindakan medis
lain, jika sesuai
Edukasi ;
- Jelaskan tujuan,
manfaat, batasan,
dan jenis relaksasi
yang tersedia
- jelaskan secara
rinci intervensi
relaksasi yang
dipilih
- anjurkan
mengambil posisi
nyaman
- anjurkan rileks dan
merasakan sensasi
relaksasi
- anjurkan sering
mengulangi dan
56

melaih teknik yang


dipilih
- demonstrasikan
dan latih teknik
relaksasi

CATATAN PERKEMBANGAN
57

Hari/Tanggal :Selasa, 29 Maret 2022


No. Diagnosa Implementasi Evaluasi
1 Pola napas - Mengatur posisi pasien 16.00 WIB
tidak efektif semi fowler S = pasien masih
- Menghitung frekuensi mengelukan napas
pernapasan terasa sesak,
- Monitor oksigenasi -Pasien masih

- Melakukan pemberikan merasakan sesak saat


O2 melalui nasal kanul berabring
- Monitor pola napas -Frekuensi nafas

- Monitor bunyi napas belum membaik


O = RR 26x/menit
A = masalah belum
teratasi
P= intervensi
dilanjutkan
2. Nyeri akut - Mengidentifikasi 17.00 WIB
lokasi, karakteristik, S= pasien mengeluh
durasi, waktu dan nyeri dibagian bahu
kualitas nyeri dan punggung
- Identifikasi skala nyeri -Pasien masih
- fasilitasi istirahat dan mengeluhkan sulit
tidur tidur akibat nyeri
O= p :nyeri dibagian
yang terpasang CDL
Q: seperti ditusuk –
tusuk
R : bahu, punggung
S : skala 3
58

T: hilang timbul
- pasien terlihat
gelisah
Tekanan Darah =
154/96 mmHg
A= masalah belum
teratasi
P = intervensi
dilanjutkan
3 Ansietas - mengidentifikasi 20.00
kecemasan yang S=
dialami pasien
- pasien
- mendemonstrasikan
teknik relaksasi napas mangatakn
dalam sebagai salah
merasa cemas
satu terapi untuk
dengan
mengurangi kecemasan
- meminta pasien penyakitnya
mengulangi kembali - pasien
cara melakukan teknik
mengatakan
relaksasi nafas dalam
- meminta pasien sering terjaga
mengambil posisi ketika tidur
nyaman jika ingin
karena cemas
melakukan teknik
relaksasi napas dalam - pasien
- menganjurkan pasien kesulitan
menggunakan pakaian
memulai tidur
yang longgar
- menganjurkan rileks karena cemas
dan merasakan sensasi
59

relaksasi. - pasien

mengatakan

mengerti

tentang

bagaimana

cara

melakukan

teknik

relaksasi nafas

dalam

O= pasien tampak

gelisah

A = masalah belum

teratasi

P = intervensi

dilanjutkan

Hari/Tanggal : Rabu, 30 Maret 2022


60

No. Diagnosa Implementasi Evaluasi


1 Pola napas - Mengatur posisi 15.00 WIB
tidak efektir pasien semi fowler S=
- Menghitung frekuensi - pasien
pernapasan mengatakan
- Monitor pola napas masih sesak
- Monitor pemberian napas,namun
oksigenasi sudah

- Monitor bunyi napas berkurang


- pasien tidak
merasakan
sesak saat
berbaring
O=
- RR 24x/menit
- tidak ada
pemanjangan
fase inspirasi
dan ekspirasi
A= masalah teratasi
sebagian
P = intervensi
dilanjutkan
2. Nyeri akut - Mengidentifikasi 17.00 WIB
lokasi, karakteristik, S =
kualitas, intensitas - pasien
nyeri mengatakan
- Identifikasi skala nyeri sudah
nyeri sedikit
- Fasilitasi istirahat berkurang
- Pasien
61

tidur mengatakan
sesaknya sudah
mulai
berkurang
O=
Tekanan Darah : 130/70
mmHg
RR :24x/m
N :87x/m
S : 36,50C

P: nyeri saat berpindah


Q : seperti ditusuk –
tusuk
R : leher kanan
S:2
T : hilang timbul

A= masalah tertasi
sebagian
P = intervensi
dilanjutkan
3 Ansietas - mengulang kembali 20.30 WIB
teknik relaksasi napas
S=
dalam
- pasien
- meminta pasien
mengambil posisi mengatakan
nyaman jika ingin sudah bisa
melakukan teknik
memulai tidur
relaksasi napas dalam
- menganjurkan pasien meskipun
62

menggunakan masih sering


pakaian yang longgar
terbangun
- menganjurkan rileks
- pasien sudah
dan merasakan
sensasi relaksasi. mempraktekka

n ulang teknik

relaksasi napas

dalam saat

merasa cemas

- pasien

mengatakan

kecemasannya

berkurang

sehingga bisa

memulai tidur

lebih cepat dari

sebelumnya

O = pasien masih

tampak lemah

A = masalah teratasi

sebagian

P = intervensi

dilanjutkan
63

Hari/Tanggal : Kamis, 31 Maret 2022


No. Diagnosa Implementasi Evaluasi
1 Pola napas - Mengatur posisi pasien 21.30
tidak efektif semifowler S=
- Menghitung frekuensi - pasien
pernapasan mengatakan
- Monitor bunyi napas sudah tidak
merasa sesak
- pasien tidak
64

merasa sesak
saat berbaring
O=
- RR ; 20x/m
- tidak ada
pemanjangan
fase inspirasi
dan ekspirasi
A = masalah teratasi
P = intervensi
dihentikan

2. Nyeri akut - Monitor TTV 22.00


- Identifikasi lokasi, S= pasien mengatakan
karakteristik, durasi, nyeri sudah berkurang
frekuensi dan intensitas O = Tekanan Darah :
nyeri 119/69 mmHg
- Ajarkan teknik napas P: pasien sudah tidak
dalam untuk merasakan nyeri
meredakan nyeri A = masalah teratasi
P = intervensi
dihentikan

3 Ansietas - mengidentifikasi 06.30 WIB


kecemasan yang S =
dialami pasien
- pasien
- mendemonstrasikan
teknik relaksasi napas mengatakan
dalam sebagai salah
sudah
satu terapi untuk
mempraktekka
65

mengurangi kecemasan n ulang teknik


- meminta pasien
relaksasi nafas
mengulangi kembali
dalam dan
cara melakukan teknik
relaksasi nafas dalam merasa
- meminta pasien cemasnya
mengambil posisi
berkurang
nyaman jika ingin
melakukan teknik setelah
relaksasi napas dalam melakukan
- menganjurkan pasien
teknik
menggunakan pakaian
yang longgar relaksasi napas
- menganjurkan rileks dalam
dan merasakan sensasi
- Pasien yang
relaksasi.
biasa sulit tidur

karena cemas,

mengatakan

dia bisa tidur

cepat dan

nyenyak

O = pasien terlihat

segar dan lebih tenang

A= masalah teratasi

sebagian

P = intervensi
66

dihentikan

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Asuhan Keperawatan Kasus Berdasarkan EBN

1. Pengkajian

Pasien bernama Ny. E berusia 45 tahun yang beralamat di Padang.

Masu ke RSUP Dr. M. Djamil padang Padang pada tanggal 27 Maret 2022

dengan diagnosa medis CKD stage V on HD, HAP, dan anemia.

Berdasarkan rumus Cocroft-Gault, didapatkan nilai GFR pada Ny. E

adalah 5,42 ml/min/1,73 m2 dan sesesai dengan pengklasifikasian CKD

menurut The Kidney Disease Outcomes Qualit Initiative (K/DOQI) Ny. E

mengalami CKD stadium V. Diagnosa CKD pada Ny.E didukung dengan

adanya data penigkatan nila ureum (143mg/dl) dan kreatinin (12.2 mg/dl).

Menurut Teori Tandi (2014)Pada stadium paling dini penyakit

gagal ginjal kronik, akan terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal

reserve), pada keadaan dimana basal GFR masih normal atau bahkan
67

mungkin telah meningkat. Lalu secara perlahan akan terjadi penurunan

fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan adanya peningkatan

kadar ureum dan keratin serum.Selain itu juga akan terjadi kelainan

urinalisa berupa proteinuria.

Penyebab gagal ginjal kronik yang terjadi pada Ny. E yaitu karena

adanya riwayat Diabetes Melitus. Klien mengatakan tidak mengetahui

tentang penyakit Diabetes Melitus yang dialaminya, karena klien tidak

memiliki keturunan yang menderita Diabetes Melitus.. Hal ini sesuai

dengan penelitian Arsana (2020) yang menyebutkan bahwa Diabetes

Melitus merupakan penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir dan

juga salah satu faktor risiko dari penyakit ginjal adalah Diabetes Melitus.

Hal ini juga mendukung penelitian Budianto (2017) yang

menjelaskan bahwa salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal adalah

nefropati diabetic akibat penyakit Diabetes Melitus yang tidak terkontrol

dan merupakan penyebab kematian terbesar pendeita Diabetes Melitus.

Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular yang sering

ditemukan baik pada pasien Diabetes Melitus tipe satu maupun Diabetes

Melitus tipe dua (Kumar, Abbas, & Aster, 2019).

Pada saat pengkajian tanggal 29 Maret 2022 pasien mengatakan

kakinya bengkak, kaki agak terasa berat menyebabkan pasien agak sulit

bergerak dan merasa badannya terasa lemas dan merasa letih. Piting edema

dan intake lebih cairan lebih banyak daripada output cairan yang

menandakan adanya retensi cairan (SDKI, 2016). Retensi cairan akan


68

mengakibatkan gangguan elektrolit di dalam tubuh. Penurunan kadar

natrium dalam darah mengakibatkan cairan bergerakke ruang intertisial

dan akumulasi cairan dalam ruang tersebut mengakibatkan adanya edema

pada kelopak mata, tangan dan kaki (Nurbadriyah, 2021).

Pasien mengatakan nafsu makannya semenjak sakit nafsu

makannya menjadi berkurang karena merasakan mual,sehingga terkadang

pasien tidak menghabiskan makanannya, namun terkadang pasien

berusaha untuk menghabiskan porsi makanan yang disediakan untuknya

dan tidak ada muntah. Menurut Astiani (2020) gangguan gastrointestinal

yang dialami oleh pasien gagal ginjal kronis diantaranya adalah anoreksia,

mual dan muntah. Keadaan ini berhubungan dengan gangguan

metabolisme protein dalam usus.

Pasien merasa cemas dengan kondisi yang ia alami saat ini, pasien

takut dan sering membayangkan hal buruk terjadi terkait dengan penyakit

yang dideritanya, pasien merasa was – was terutama saat akan menjalani

hemodialisa yang harus dijalani seumur hidupnya. Pasien sering

membayangkan hal buruk seperti kematian saat menjalani hemodialisa,

jika mendekati hari untuk menjalani hemodialisa kecemasan pasien akan

meningkat dan pasien menjadi semakin sulit tidur da merasa kekurangan

waktu istirahat yang menyebabkan pasien menjadi semakin lemah dan

lesu. Dari hasil pemgukuran tingkat kecemasan pasien menggunakan

kuesioner Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) didapatkan nilai

atau skor pasien yaitu 23 yang dikategorikan kecemasan sedang.


69

Menurut Akhdiyat (2020) pasien gagal ginjal kronik tidak bisa

lepas dari hemodialisa sepanjang hidupnya. Penyakit yang diderita dan

harus menjalani hemodialisa sepanjang hidup juga menyebabkan pasien

kehilangan banyak hal dalam hidupnyaseperti kebebasan, dan

kemandirian. Hal ini menimbulkan kecemasan pada pasien gagal ginjal

kronis dan gejala kecemasan yang dialami oleh pasien gagal ginjal kronik

yang menjalani hemodialisa biasanya memburuk dari waktu ke waktu.

Gangguan psikologis pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa berupa stress, cemas dan depresi ditunjukkan dengan adanya

gangguan tidur (Rahayu, Munawaroh, & Mashudi, 2019).

Saat pengkajian, hasil pemeriksaan laboratorium pasien oadan

tanggal 28 Maret 2022 menunjukkan hemoglobin rendah yairu 10.2 g/dl,

klien tampak pucat, konjungtiva anemis dan CRT 4 detik. Gagal ginjal

kronik juga menyebabkan anemia karena adanya produksi eritroprotein

yang tidak memadai dan memendeknya usia sel darah merah karena

adanya perubahan plasma (Yuniarti, 2021). Eritroprotein yang diproduksi

oleh ginjal , menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah

merah, jika produksi eitroprotein menurun maka akan mengakibatkan

anemia berat disertai keletihan, angina dan sesak napas (Amudi & Palar,

2021).

2. Diagnosa
70

Diagnosa keperawatan adalah sebuah konsep kritis untuk

memandu proses pengkajian dan intervensi. Diagnosa juga menjadi

komunikasi dan basis ilmu keperawatan dalam interaksinya dengan

disiplin ilmu yang lain. Diagnosa keperawatan merupakan penilaian

perawat berdasarkan respon pasien secara holistic (bio-psiko-sosio-

spiritual)terhadap penyakit atau gangguan yang sedang dialaminya

(Koerniawan, Daeli, & Srimiyati, 2020). Proses identifikasi gangguan

kebutuhan berdasarkan respon yang didapat dari pasien diperoleh dari

proses pengkajian dan kemudian dianalisis untuk penarikan kesimpulan

atau keputusan klinikdalam bentuk diagnosa keperawatan (Herdman &

Kamitsuru, 2018).

Setelah dilakukan pengkajian, didapatkan data sesuai dengan

keluhan pasien, maka muncul beberapa diagnosa keperawatan yang dapat

diangkat yaitu pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi,

nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit dan ansietas berhubungan

dengan penyakit kronis progresif

a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi

Diagnosa pertama yang diangkat adalah pola napas tidak efektif

berhubungan dengan hiperventilasi. Dalam Standar Diagnosis

Keperawatan Indonesia (SDKI), 2017 pola napas tidak efektif adalah

inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat. Dari

hasil pengkajian didapatkan data yang mendukung untuk pola napas tidak

efektik adalah pasien yang mengeluhkan sesak napas, frekuensi


71

pernapasan pasien 26x/menit PO2 :162.1 dan PCO2 : 20.1. pasien merasa

sesak saat berbaring, pasien merasa sesak napas meningkat jika banyak

bergerak.

Sesuai dengan SDKI (2017) dalam menegakkan diagnose pola

napas tidak efektfif memiliki beberapa tanda dan gejala seperti dyspnea,

ortopnea, fase ekspirasi memanjang, dan pola napas abnormal.

Pada pasien gagal ginjal stage V atau gagal ginjal tahap akhir,

fungsi ginjal dalam pengaturan keseimbangan cairan tubuh, pengatur

keseimbangan elektrolit, membuang sisa metabolism tubuh dan membantu

proses pembentukan sel darah merah (eritrosit) sudah tidak lagi berjalan

dengan baik. Sesak napas pada pasien gagal ginjal kronik stage V dapat

disebabkan oleh penumpukan cairan pada paru, adanya gangguan

keseimbangan asam dan basa dalam tubuh dan anemia (Aprioningsih,

Susanti, & Muti, 2021)

Outcome yang diharapkan setelah pasien mendapatkan asuhan

keperawatan pola napas tidak efektik adalah pola napas, dengan kriteria

hasil dyspnea dapat menurun, penggunaan otot bantu napas dapat

menurun, pemanjangan fase ekspirasi dapat menurun,, frekuensi napas

dapat membaik (SLKI,2018).

Intervensi yang diberikan pada Ny. E adalah mengatur posisi semi

fowler, mengitung frekuensi pernapasan, monitor oksigenasi, melakukan

pemberian O2 melalui nasal kanul, monitor pola napas, monitor bunyi

napas tambahan.
72

Evaluasi akhir pada pasien terkait diagnose keperawatan pola

napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi adalah masalah

teratasi pada hari rawatan ke-5 dengan pola napas sudah kembali normal,

dengan frekuensi pernapasan 20x/m, dan pasien sudah tidak terpasang O2

nasal kanul.

b. Nyeri Akut Berhubungan dengan Proses Penyakit

Diagnosa keperawatan yang kedua yaitu nyeri akut

berhubungan dengan proses penyakit. Dalam Standar Diagnosa

Keperawatan Indonesia (SDKI,2017) nyeri akut adalah

pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak

atau lambat dan berintensitas ringan hingga bera, yang

berlangsung kurang dari tiga bulan. Dari hasil pengkajian data

yang dilakukan data yang mendukung untuk mengangkat

diagnose tersebut adalah pasien mengatkan merasa nyeri karena

adanya infeksi pada bagian yang terpasang selang CDL, pasien

tampak meringis,gelisah dan cemas.

Pasien dibawa ke rumah sakit karena infeksi pada selang

CDL nya, dimana pada saat dibawa kerumah sakit pasien

mengalami demam dan merasakan nyeri pada bagian leher

menjalar kepunggung. Setelah dilakukan pemeriksaan

laboratorium didapatkan kadar albumin pasien rendah yaitu

3,6g/dl.
73

Infeksi merupakan salah satu komplikasi penggunaan

kateter hemodialisis. Tiga faktor yang berpengaruh dalam dalam

terjadinya bacteremia pada pasien yang menjalani hemodialisis

yaitu imunitas pasien, virulensi bakteri dan prosedur hemodialisis.

Kadar albumin yang rendah juga memiliki kecenderungan yang

lebih besar untuk menyebabkan infeksi pada kateter hemodialisis

(Trianto, Semadi, & Widiana, 2017).

Kriteria hasil yang diharapkan setelah pasien mendapatkan

asuhan keperawatan nyeri akut adalah Keluhan nyeri dapat

menurun, meringis dapat menurun, gelisah dapat menurun,

kesulitan tidur dapat menurun, pola napas dapat membaik, tekanan

darah dapat membaik, fungsi berkemih dapat membaik

(SLKI,2018).

Intervensi yang diberikan Kepada Ny. E untuk mengatasi

nyeri akut adalah manajemen nyeri dengan implementasi

Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, waktu dan kualitas

nyeri, dentifikasi skala nyeri, dan memfasilitasi istirahat dan tidur

pasien.

Evaluasi akhir pada pasien terkait diagnosa nyeri akut

teratasi pada hari rawatan ke-5. Hal ini ditandai dengan pasien

yang sudah tidak meringis dan tidak lagi mengeluhkan nyeri.

c. Ansietas Berhubungan dengan Penyakit Kronis Progresif


74

Diagnosa ketiga yaitu ansietas berhungan dengan penyakit kronis

progresif. Dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI)

(2017) ansietas adalah kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu

terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang

memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi

ancaman. Kecemasan adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak diketahui

yang menyebabkan munculnya perasaan yang tidak tenang dan rasa

khawatir bahkan ketakutan. Kecemasan hampir mirip dengan ketakutan

tapi dengan fokus yang kurang spesifik (Putri, Sudayasa, & Eddy, 2021).

Diagnosa ansietas diangkat dari hasil pengkajian yaitu pasien khawatir

dengan akibat dari kondisi yang dihadapi (terkait penyakit yang diderita

saat ini, yaitu gagal ginjal kronik dan cemas dengan hemodialisa yang

harus dijalani seumur hidup),pasien sulit berkonsentrasi, pasien merasa

tidak berdaya, pasien tampak gelisah, pasien sulit tidur, frekuensi napas

meningkat, tekanan darah meningkat.

Sesuai dengan SDKI (2016) dalam menegakkan diagnosa ansietas

harus disertai dengan keluhan merasa khawatir dengan akibat dari kondisi

yang dihadapi, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah, sulit tidur dan

tekanan darah meningkat.

Pasien yang menjalani hemodialisa karena mengidap gagal ginjal

kronik memiliki tingkat kecemasan yang bervariasi. Kecemasan pada

pasien gagal ginjal kronik biasanya terjadi karena harus menjalani

hemodialisa. Pasien yang menjalani hemodialisa, terutama yang baru


75

menjalani hemodialisa akan mengalami kecemasan tingkat berat. Namun

setelah terapi berkelanjutan pasien akan mulai beradaptasi namun masih

mengalami kecemasan pada tingkat sedang dan ringan (Santoso, 2018).

Outcome yang diharapkan setelah pasien mendapatkan asuhan

keperawatan ansietas dapat teratasi dengan kriteria hasil verbalisasi

khawatir akibat kondisi yang dihadapi dapat menurun, perilaku gelisah

dapat menurun, perilaku tegang dapat menurun, keluhan pusing dapat

menurun, frekuensi pernapasan dapat menurun, tekanan darah dapat

menurun, pucat dapat menurun, pola tidur dapat membaik (SLKI, 2018).

Intervensi yang diberikan kepada Ny. E untuk mengurangi ansietas

adalah terapi relaksasi. Pada pasien diberikan terapi relaksasi napas

dalam selama tiga hari. Teknik relaksasi nafas dalam dapat memberikan

pemijatan halus pada berbagai kelenjar tubuh, menurunkan produksi

kortisol dalam darah, mengembalikan pengeluaran hormone yang

secukupnya sehingga memberi keseimbangan emosi dan ketenangan

pikiran (Sakitri & Astuti, 2019).

Pada intervensi terapi sesuai dengan penerapan EBN yaitu

dilakukannya teknik relaksasi nafas dalam. Teknik relaksasi nafas dalam

adalah proses yang dapat melepaskan ketegangan dan mengembalikan

keseimbangan tubuh. Teknik relaksasi nafas dalam dapat meningkatkan

konsentrasi pada diri, mempermudah mengatur nafas, meningkatkan

oksigen dalam darah dan memberikan rasa tenang sehingga membuat

tubuh menjadi lebih rileks (Pandie & As, 2022)


76

Pada implementasinya Ny. E dilakukan tes HARS untuk mengukur

tingkat kecemasan yang dialaminya, dimana Ny. E berada pada tingkat

kecemasan yang sedang,selanjutnya teknik relaksasi nafas dalam

diberikan kepada Ny. E dengan cara mengatur posisi pasien menjadi

posisi nyaman, berusaha memusatkan perhatian pada teknik relaksasi,

kemudian menghirup napas dalam dari hidung, tahan selama beberapa

detik lalu hembuskan perlahan dari mulut, langkah tersebut diulangi

sampai pasien merasa tenang, selama mencoba latihan teknik relaksasi

nafas dalam, pasien bisa rileks setelah melakukan teknik relaksasi nafas

dalam selama sepuluh menit.

Evaluasi akhir pada pasien terkait diagnosa ansietas masalah teratasi

sebagian, hal ini ditandai dengan tingkat kecemasan Ny. E yang

berkurang dari tingkat sedang menjadi ringan, pasien mengatakan sudah

mempraktekkan ulang teknik relaksasi nafas dalam dan merasa cemasnya

berkurang setelah melakukan teknik relaksasi napas dalam sertapasien

yang biasa sulit tidur karena cemas, mengatakan dia bisa tidur cepat dan

nyenyak.

B. Implikasi dan Keterbatasn Penerapan EBN

1. Implikasi

Penerapan Evidence Based Nursing (EBN) adalah satu metode

untuk memberikan outcome yang lebih baik dan lebih efektif. EBN

merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam praktik keperawatan

kesehatan, yang berdasarkan evidence atau fakta. EBN didapatkan dari


77

penggabungantemuan kualitas penelitian yang baik dalam praktek

keperawatan (Elysabeth, Libranty, & Natalia, 2017).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengunakan evidence

based nursing dengan penelitian terapi non farmakologis berupa teknik

relaksasi nafas dalam berpengaruh kepada tingkat kecemasan pasien yang

merasakan ansietas karena penyakit gagal ginjal kronik yang membuatnya

cemas dengan apa yang tidak pasti kedepannya. Relaksasi bertujuan untuk

mengurangi ketegangan dan kecemasan. Latihan relakasi napas dalam

yang dilakukan dapat meningkatkan inflasi alveolar maksimal dan

relaksasi otot, memperlambat laju pernapasan dan mengurangi kerja

pernapasan. Pernapasan yang lambat, santai dan ritmis juga membantu

dalam mengontrol kecemasan (Alfikrie et al., 2020). Hasil studi ini dapat

dijadikan referensi dalam menangani pasien dengan kecemasan karena

harus menjalani hemodialisa akibat gagal ginjal kronik.

2. Keterbatasan

Pada proses implementasi evidence based nursing masih memiliki

kekurangan yaitu karena intervensi diberikan kepada banyak

responden, peneliti tidak mengamati semua fase latihan relaksassi,

selain itu periode waktu laihan juga relative singkat. Namun studi ini

sudah memberikan gambaran mengenai teknik relaksasi nafas dalam

yang bisa diberikan kepada pasien dengan kecemasan yang menjalani

hemodialisa, dimana teknik relaksasi nafas dalam ini juga tidak

membutuhkan biaya untuk pelaksanaannya.


78

C. Rencana Tindak Lanjut

Rencana tindak lanjut dari asuhan keperawatan adalah

menganjurkan pasien untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam ini

setiap kali merasa cemas, karena selain bisa menurunkan tekanan darah

pasien juga akan merasakan tenang dan nyaman.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan

diagnosa medis mengenai intervensi teknik relaksasi nafas dalam untuk

mengurangi kecemasan pada Ny. E yang menjalani hemodialisa akibat

gagal gijal kronik, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan pada Ny. E dengan gagal

ginjal kronis pada tanggal 29 Maret 2022 ditemukan bahwa pasien hari

rawatan ke-3 dengan tingkat kesadaran composmentis GCS 15,

tekanan darah :154/96mmHg. pasie mengalami kecemasan akibat

gagal ginjal kronik yang dialaminya.

2. Diagnosa keperawatan yang diangkat yaitu pola nafas tidak efektif

berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri akut berhubungan dengan


79

proses penyakit, dan ansietas berhubungan dengan penyakit kronis

progresif.

3. Intervensi keperawatan yang direncanakan yaitu manajemen jalan

nafas, manajemen nyeri, dan terapi relaksasi.

4. Implementasi dengan melakukan teknik relaksasi nafas dalam untuk

menurunkan kecemasan diberikan kepada pasien selama tiga hari.

5. Hasil evaluasi pasien didapatkan masalah pola nafas tidak efektif

teratasi, masalah nyeri akut teratasi, dan kecemasan pasien menurun

dari tingkat sedang menjadi ringan.

B. Saran

1. Bagi Instansi Pendidikan

Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi referensi dan masukan

dalam pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif khususnya

pada pasien gagal ginjal kronik yang mengalami kecemasan akibat

hemodialisa dengan penerapan teknik relaksasi nafas dalam.

2. Bagi Rumah Sakit

Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi bahan alternatif dalam

pemberian asuhan keperawatan sebagai salah satu intervensi mandiri

perawat khususnya untuk menangani pasien pasien gagal ginjal kronik

yang mengalami kecemasan akibat hemodialisa

3. Bagi Penulis Selanjutnya

Diharapkan untuk tetap mengembangkan jumlah populasi sampel,

tapi dengan lebih teliti untuk mengawasi teknik relaksasi nafas dalam
80

yang dilatih oleh pasien gagal ginjal kronik yang mengalami

kecemasan akibat hemodialisa.

Daftar Pustaka

Ackley, B. J., Ladwig, G. B., & Makic, M. B. F. (2017). NANDA-I Diagnoses.

Singapore: Elsevier.

Agustianingsih, T. S., & Anugrahini, H. N. (2017). Penyebab Gagal Ginjal Kronik

(GGK) di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya.

Jurnal Keperawatan, X(3), 98–106.

Agustin, N., Hudiyawati, D., & Purnama, A. P. (2020). Pengaruh Efektifitas

Relaksasi Benson Terhadap Kecemasan Pada Pasien Yang Menjalani

Hemodialisa Di Unit Hemodialisa. Jurnal Kesehatan, 62–68.

Akhdiyat, H. R. (2020). Analisis Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penderita Gagal

Ginjal Kronik. International Journal of Applied Chemistry Research, 1(1), 1.

https://doi.org/10.23887/ijacr.v1i1.28708

Alfikrie, F., Purnomo, A., Selly, R., & Yarsi Pontianak, S. (2020). Pengaruh

Relaksasi Napas Dalam Terhadap Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal


81

Kronis Yang Menjalani Hemodialisa. Borneo Nursing Journal (BNJ), 2(2),

1–8. Retrieved from https://akperyarsismd.e-journal.id/BNJ

Amalia, A., & Apriliani, N. M. (2021). Analisis Efektivitas Single Use dan Reuse

Dialyzer pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUD Mardi Waluyo Kota

Blitar. Jurnal Sains Dan Kesehatan, 3(5), 679–686.

Amudi, T., & Palar, S. (2021). Gagal Ginjal Kronik Hemodialisis dengan Kadar

Eritropoietin dan Hemoglobin Normal: Laporan Kasus. Medical Scope

Journal, 2(2), 73–77. https://doi.org/10.35790/msj.2.2.2021.32547

Anak, A. A. E. C., Didik, P., Moh, F. A., & Diah, P. (2022). Gambaran Diagnosis

Pasien Pra - Hemodialisa di RSUD Wangaya Tahun 2020-2021. Jurnal

Ilmiah Hospitality 661, 11(1), 2685–5534. Retrieved from http://stp-

mataram.e-journal.id/JIH

Anisah, I. N., & Maliya, A. (2021). Efektivitas Relaksasi Benson Terhadap

Kecemasan Pasien Yang Menjalani Hemodialisa. Jurnal Berita Ilmu

Keperawatan, 14(1), 57–64. https://doi.org/10.23917/bik.v14i1.12226

Aprioningsih, E., Susanti, I. H., & Muti, R. T. (2021). Studi Kasus pada Pasien

Gagal Ginjal Kronik Ny . A dengan Ketidakefektifan Pola Napas di Bancar

Purbalingga. Seminar Nasional Penelitian Dan Pengabdian Kepada

Masyarakat (SNPPKM) Purwokerto, 448–455.

Arisanti, M., Sumarya, & Arsana. (2020). Kadar Gula Darah Sebagai Faktor

Risiko Penyakit Ginjal Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poli Dalam

Rsud Bangli. Jurnal Widya Biologi, 11(01), 60–67.

https://doi.org/10.32795/widyabiologi.v11i01.571
82

Astiani, R., & Puka, N. La. (2020). CHRONIC KIDNEY (CKD) + ANEMIA

DISEASE IN CLASS III UNIT TREATMENT UNDER HOSPITAL “X.”

Social Clinical Pharmacy Indonesia Journal, 5(1), 19–22.

Astuti, N. L. S., & Setiyarini, S. (2022). Analisis Asuhan Keperawatan pada

Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik di ICU RSUP Dr. Sardjito dengan

Pendekatan NANDA NOC NIC: Studi Kasus. Jurnal Keperawatan Klinis

Dan Komunitas, 6(2), 103–111. https://doi.org/10.22146/jkkk.74962

Budianto, Y. (2017). Hubungan Diabetes Mellitus Dengan Kejadian Gagal Ginjal

Kronik Di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. H. Ibnu Sutowo Baturaja

Kabupaten Ogan Komering Ulu. Journal Cendikia Medika, 2(2), 88–93.

Cahyanti, P. E., Wira, P., Putra, K., Arya, G., & Arisudhana, B. (2021).

Pengalaman hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di

RSD Mangusada. 10(1), 48–54.

Damanik, V. A. (2020). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur

Padapada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Keperawatan

Priority, 3(1), 47–57.

Dame, A. M., Rayasari, F., Besral, Irawati, D., & Kurniasih, D. N. (2022). Faktor

yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan Pasien Penyakit Gagal Ginjal

Kronik yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Keperawatan, 14(S3), 831–

844.

Elysabeth, D., Libranty, G., & Natalia, Si. (2017). Hubungan Tingkat Pendidikan

Perawat dengan Kompetensi APlikasi Evidence-Based Practice. Jurnal

Skolastik Keperawatan, 1(1), 14–20.


83

Gliselda, V. K. (2021). Diagnosis dan Manajemen Penyakit Ginjal Kronis (PGK).

Jurnal Medika Hutama, 2(4), 1135–1142.

Hadrianti, D., Yarlitasari, D., & Ruslinawati. (2018). Pengalaman menjalani

hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik di RS Banjarmasin. 2-Trik:

Tunas-Tunas Riset Kesehatan, 8(2), 82–89. Retrieved from

http://2trik.jurnalelektronik.com/index.php/2trik/article/view/224

Harmilah. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem

Perkemihan. Yogyakarta: PT Pustaka Baru Press.

Herdman, & Kamitsuru. (2018). Nursing Daignosis : Definition and classification

(11thed). Thieme.

Hutagalung. M. Siregar. (2021). Diabetes, Gangguan Fungsi Ginjal Serta Kaitan

Antara Stroke dengan Angka Kejadian Epilepsi. Bandung: Nusamedia.

Hutagol, E. V. (2017). Peningkatan Kualitas Hidup Pada Penderita Gagal Ginjal

Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisa Melalui Psychological

Intervention di Unit Hemodialisa RS Royal Prima Medan Tahun 2016.

Jurnal Jumantik, 2(1), 42–59.

https://doi.org/10.1080/13507486.2015.1047603

Irene, I., Yemina, L., & Pangaribuan, S. M. (2022). Kualitas Hidup Pasien dengan

Penyakit Ginjal Kronis dengan Terapi Hemodialisa di RS PGI Cikini. Jurnal

Keperawatan Cikini, 3(1), 1–6. https://doi.org/10.55644/jkc.v3i1.72

Kalengkongan, D. J., Makahaghi, Y. B., & Tinungki, Y. L. (2018). Faktor-Faktor

Risiko Yang Berhubungan Dengan Chronik Kidney Disease (CKD)

Penderita Yang Dirawat Di Rumah Sakit Daerah Liunkendage Tahuna.


84

Jurnal Ilmiah Sesebanua, 2(2), 100–115. Retrieved from http://www.e-

journal.polnustar.ac.id/jis/article/view/183

Kamil, I., Agustina, R., & Wahid, A. (2018). Gambaran tingkat kecemasan pasien

gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Ulin Banjarmasin.

Dinamika Kesehatan, 2(9), 366–377.

Koerniawan, D., Daeli, N. E., & Srimiyati, S. (2020). Aplikasi Standar Proses

Keperawatan: Diagnosis, Outcome, dan Intervensi pada Asuhan

Keperawatan. Jurnal Keperawatan Silampari, 3(2), 739–751.

https://doi.org/10.31539/jks.v3i2.1198

Kowalak, Welsh, & Mayer. (2017). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2019). Buku Ajar Patologi Dasar.

Singapore: Elsevier.

Mait, G., Nurmansyah, M., & Bidjuni, H. (2021). Gambaran Adaptasi Fisiologis

Dan Psikologis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang Menjalani

Hemodialisis Di Kota Manado. Jurnal Keperawatan, 9(2), 1–6.

https://doi.org/10.35790/jkp.v9i2.36775

Marisa, Y. T., & Harun, H. (2021). Penyakit Ginjal Polikistik disertai Anemia

Hemolitik Autoimun. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 10(1), 102–

111. https://doi.org/10.30742/jikw.v10i1.788

Natashia, D., Irawati, D., & Hidayat, F. (2020). Fatigue Dan Kualitas Hidup Pada

Pasien Gagal Ginjal Kronis Dengan Terapi Hemodialisa. Jurnal

Keperawatan Muhammadiyah, 5(2), 209–218.

https://doi.org/10.30651/jkm.v5i2.6540
85

Nurbadriyah, W. D. (2021). Asuhan Keperawatan Penyakit Ginjal Kronis dengan

Pendekatan 3S (SDKI,SLKI,SIKI). Malang: Literasi Nusantara.

Nurjanah, D. A., & Yuniartika, W. (2020). Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada

Pasien Gagal Ginjal. Seminar Nasional Keperawatan Universitas

Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP), 11617(12261), 62–71. Retrieved

from https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12261

Nurlina. (2018). Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Ny.Y dengan Gagal

Ginjal Kronik (GGK) dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan dan Elektrolit di

Ruang Hemodialisa RSUD Labuang Baji Makassar. Jurnal Media

Keperawatan: Politeknik Kesehatan Makassar, 9(2), 151–159.

Nursing, A. A. of. (2016). Transforming health policy and practice through

nursing knowledge: Strategic goals 2014–2017.

Nurudin, A., & Sulistyaningsih, D. R. (2018). Hubungan antara lama menjalani

terapi hemodialisis dengan kepatuhan asupan cairan pada pasien penyakit

gagal ginjal kronik. Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal Bedah, 1(1), 1–7.

https://doi.org/10.32584/jikmb.v1i1.74

Pandie, N., & As, M. (2022). Pengaruh Pemberian Teknik Relaksasi Napas Dalam

Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang

Menjalani Hemodialisa : Sebuah Kajian Literatur. Journal Of Health Science

Community, 3(1), 66–72.

Pramono, C., Hamranani, S. S. T., & Sanjaya, M. Y. (2019). Pengaruh Teknik

Relaksasi Otot Progresif terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Hemodialisa di

RSUD Wonosari. Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal Bedah, 2(2), 22–32.


86

https://doi.org/10.32584/jikmb.v2i2.248

Purnami, N. W., Rahayu, V. M. . S. P., Dira, I. K., & Daryaswanti, P. I. (2022).

Gambaran Upaya Mengatasi Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

Yang Menjalani Hemodialisa. Jurnal Kesehatan Medika Udayana, 5(1), 49–

59. https://doi.org/10.47859/jmu.v5i1.151

Puspitaningrum, E. M., Kebidanan, A., Mitra, J., & Kematian, A. (2018).

Hubungan frekuensi hemodialisis dengan tingkat stress pada pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Jurnal Kesehatan, 1(2), 139–153.

Puspitasari, D., Marsudarinah, & Hermawati. (2021). Pengaruh Relaksasi Napas

Dalam terhadap Penurunan kecemasan Pasien hemodialisis di Klinik PMI

Surakarya. Aisyiyah Surakarta Journal of Nursing, 2(1), 1–5.

Putri, F. A.-Z., Sudayasa, P., & Eddy, N. (2021). Hubungan Tingkat Kecemasan

dengan Kualitas Tidur pada Pasien Gangguan Kecemasan (Ansietas). Jurnal

Ilmiah Obsgin, 13(4), 145–152.

Rahayu, R., Munawaroh, S., & Mashudi, S. (2019). Respon Stres Pasien Gagal

Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Di Ruang Hemodialisa RSUD

Dr.Hardjono Ponorogo. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ruang, D., Rsud, H., &

Ponorogo, 3(1), 1–10. Retrieved from http://studentjournal.umpo.ac.id/

Rahmawati, F. (2018). Aspek Laboratorium Gagal Ginjal Kronik. Jurnal Ilmiah

Kedokteran Wijaya Kusuma, 6(1), 14–22.

https://doi.org/10.30742/jikw.v6i1.323

Rahmawati, Hassanudin, F., & Mokodompit, N. A. (2019). Latihan Rom Pada

Pasien Gagal Ginjal Kronik dalam pemenuhan Kebutuhan Aktifitas. Jurnal


87

Media Keperawatan, 10(2), 50–54.

Rokawie, A. O. N., Sulastri, S., & Anita, A. (2017). Relaksasi Nafas Dalam

Menurunkan Kecemasan Pasien Pre Operasi Bedah Abdomen. Jurnal

Kesehatan, 8(2), 257–262. https://doi.org/10.26630/jk.v8i2.500

Sagita, T. C., & Andreas Arie Setiawan, H. (2018). Hubungan Derajat Keparahan

Gagal Ginjal Kronik Dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner. Jurnal

Kedokteran Diponegoro, 7(2), 472–484. Retrieved from

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico/article/viewFile/20689/19408

Sakitri, G., & Astuti, R. K. (2019). Efektifitas Teknik Relaksasi Progresif Untuk

Mengurangi Insomnia Pada Usia Lanjut. Avicenna : Journal of Health

Research, 2(2), 34–45. https://doi.org/10.36419/avicenna.v2i2.300

Salamah, N. A., Hasanah, U., & Dewi, N. R. (2022). Penerapan pursed lips

breathing terhadap fatigue pada pasien gagal ginjal kronik. Jurnal Cendikia

Muda, 2(4), 479–486.

Santoso, M. D. Y. (2018). Tinjauan Sistematik: Kecemasan Pasien Penyakit

Ginjal Kronik Dengan Tindakan Hemodialisis. Jurnal Kesehatan

Mesencephalon, 4(2), 99–105.

https://doi.org/10.36053/mesencephalon.v4i2.74

SDKI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan

Pengurus Pusat.

Siagian, K. N., & Damayanty, A. E. (2018). Artikel Penelitian Identifikasi

Penyebab Penyakit Ginjal Kronik pada Usia Dibawah 45 Tahun di Unit

Hemodialisis Rumah Sakit Ginjal Rasyida Medan Tahun 2015. Anatomica


88

Medical Journal, 1(3), 159–166.

SLKI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan pengurus

Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Sukandar, D., & Mustikasari. (2021). Studi Kasus: Ansietas Pada Pasien Gagal

Ginjal Kronis. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 4(3), 437–446. Retrieved

from https://akperyarsismd.e-journal.id/BNJ

Suyono, D. (2016). Keefektifan Teknik Relaksasi untuk Menurunkan Stres

Akademik Siswa SMA. Jurnal Pendidkan Humaniora, 4(2), 115–120.

Tandi, M., Mongan, A., & Manoppo, F. (2014). Hubungan Antara Derajat

Penyakit Ginjal Kronik Dengan Nilai Agregasi Trombosit Di Rsup Prof. Dr.

R. D. Kandou Manado. Jurnal E-Biomedik, 2(2), 509–513.

https://doi.org/10.35790/ebm.2.2.2014.5076

Teuku Yasir, Firly, F., & Wahyu, W. (2020). Prevalensi dan Outcome Pasien

CRRT di Intensive Care Unit RSUD dr. Zainal Abidin Banda Aceh. Journal

of Medical Science, 1(2), 100–108. https://doi.org/10.55572/jms.v1i2.23

Trianto, Semadi, N., & Widiana, G. R. (2017). Faktor Risiko Infeksi Kateter

Hemodialisis Double Lumen Non-Tunnelled. Jurnal Ilmiah Kedokteran,

4(6), 152–155.

Utami, S. (2016). Efektifitas relaksasi napas dalam dan distraksi dengan latihan 5

jari terhadap nyeri post laparatomi. Jurnal Keperawatan Jiwa, 4(1), 61–73.

Wahyuningsih, S., Nugroho, H., Suhartono, S., Hadisaputro, S., & Adi, M. S.

(2019). Faktor Risiko Kejadian Nefropati Diabetika pada Wanita. Jurnal

Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 4(1), 18–26.


89

https://doi.org/10.14710/jekk.v4i1.4426

WHO. (2018). Evidence informed policy making - Health Evidence Network

(HEN).

Yuniarti, W. (2021). Anemia Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik. Journal Health

And Science ; Gorontalo Journal Health & Science Community, 5(2), 341–

347.

Anda mungkin juga menyukai