Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Chronic Kindsey Disease (CKD) merupakan salah satu penyakit

menakutkan dikarenakan CKD belum ada obat untuk penyembuhannya, angka

kejadian CKD dari tahun ke tahun semakin meningkat, penderitanya bisa siapa

saja baik pria maupun wanita, tua maupun muda bukan jadi ukuran klien yang

CKD (Musa dkk, 2015). CKD adalah suatu proses patofisiologis dengan

etiologi beragam yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif

dan pada umumnya berakhir dengan kematian jika tidak ditangani dengan

segera. Penyakit gagal ginjal kronik memiliki lima stadium dan yang paling

berat adalah stadium 5 atau disebut juga penyakit ginjal tahap akhir

(PGTA)/End Stage Renal Disease (ESRD). Pada derajat ini (stadium akhir)

penderita memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau

transplantasi ginjal (Muttaqin & Kumala, 2016).

Menurut World Health Organization (WHO), penyakit gagal ginjal

kronis berkontribusi pada beban penyakit dunia dengan angka kematian

sebesar 850.000 jiwa per tahun. Hasil penelitian Global Burden of Disease,

penyakit gagal ginjal kronis merupakan penyebab kematian peringkat ke-18 di

dunia. Lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia saat ini menerima pengobatan

dengan dialisis untuk bertahan hidup. Diseratus dua belas Negara, banyak

yang tidak mampu membayar pengobatan sehingga mengalami kematian lebih

1
dari 1 juta orang per tahun. Di Australia, pengobatan untuk kasus gagal ginjal

tahun 2020 mengalamipeningkatan (WHO, 2018).

Data menurut Indonesia Renal Registry (IRR, 2017) mencatat,

sebanyak 30.554 pasien aktif penyakit Chronic Kindsey Disease (CKD) yang

menjalani dialysis pada tahun 2015. Kematian pada pasien yang menjalani

hemodialisis tercatat sebanyak 1.243 orang pada tahun 2015. Data dari Riset

Kesehatan Dasar menunjukan prevalansi pada pasien CKD di Indonesia pada

tahun 2018 sebesar 3,8% dengan prevelensi tertingi pada provinsi Kalimantan

Utara sebanyak 6,4%,dan yang paling rendah provinsi Sulawesi Barat

sebanyak 1,8% (Risekesdas, 2018).

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

penyebab yang beragam, mengakibatkan penuruan fungsi ginjal yang

progresif dan biasanya berakhir dengan gagal ginjal. GGK dapat

menyebabkan gangguan pada organ tubuh. Hal ini terjadi karena toksin yang

seharusnya dikeluarkan oleh ginjal tidak dapat dikeluarkan karena keadaan

ginjal yang mengalami gangguan. Salah satu hal yang terjadi karena rusaknya

ginjal adalah peningkatan kadar ureum dalam tubuh yang dapat merusak

semua sel termasuk sel neuron. Kasus penyakit ginjal kronik saat ini

meningkat dengan cepat terutama di negara-negara berkembang. GGK telah

menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia, karena selain merupakan

faktor resiko terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah, meningkatkan

angka kesakitan dan kematian dari penyakit bukan infeksi. Gagal Ginjal

2
Kronik juga akan menambah beban sosial dan ekonomi baik bagi penderita

dan keluarga (Manus, Moeis, & Mandang, 2015).

Insidens penyakit gagal ginjal kronik (GGK) semakin meningkat dan

menimbulkan beban medis, sosial, dan ekonomi bagi pasien maupun keluarga.

Penyakit ini banyak diderita orang tua yang berisiko menyebabkan penyakit

kardiovaskuler, stroke, serangan jantung, hingga gangguan fungsi kognitif.

Untuk mengatasi dan mencegah berlanjutnya morbiditas yang ditimbulkan,

ada beberapa tatalaksana, antara lain hemodialisa (HD) disertai pengontrolan

penyebab GGK dan faktor risiko kardiovaskuler. Hemodialisa cukup aman

dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, namun komplikasi yang

ditimbulkan dapat bermacam–macam seiring dengan lama dan berulangnya

pasien menjalani hemodialisa. Salah satu komplikasinya adalah gangguan

fungsi kognitif. Gangguan ini dipengaruhi oleh banyak faktor risiko. Faktor

risiko utama antara lain lamanya menjalani HD (Stuart & Gail, 2016).

Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang dilakukan

dengan mengalirkan darah ke dalam tabung ginjal buatan yang bertujuan

untuk mengeliminasi sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan

keseimbangan elektrolit antara kompartemen dialisat melalui membrane

semipermeable. Hemodialisis perlu dilakukan untuk mengganti fungsi

ekskresi ginjal sehingga tidak terjadi gejala uremia yang lebih berat (Manus et

al., 2015).

Tujuan utama hemodialisis menghilangkan gejala yaitu mengendalikan

uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada

3
pasien penyakit ginjal kronik. Dosis hemodialisis yang diberikan umumnya 2

kali dalam seminggu dengan setiap hemodialisis 5 jam atau sebanyak 3 kali

seminggu dengan setiap hemodialisis selama 4 jam. Lamanya hemodialisis

berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi hemodialisis, sehingga lama

hemodialisis juga dipengaruhi oleh tingkat uremia akibat progresivitas

perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor komorbiditasnya, serta

kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat (Rahman, Kaunang, &

Elim, 2016).

Dampak yang dialami pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis

adalah penurunan perfusi serebral dan penurunan kecepatan aliran darah

sehingga terjadi penurunan metabolism oksigen ke otak, edema serebral, dan

penurunan tekanan darah intraserebral yang menyebabkan penurunan fungsi

kognitif. Gangguan kognitif yang dapat terjadi seperti penurunan pada atensi

(kesadaran dan konsentrasi), daya ingat dan penyimpanan informasi,

gangguan bahasa seperti afasia sensorik dan motorik, visuospasial (tidak dapat

mengenal arah), gangguan fungsi eksekutif seperti penurunan kalkulasi atau

kemampuan menghitung, pengambilan keputusan dan berpikir abstrak (Radic

et al, 2019).

Semakin lama proses hemodialisis, maka semakin lama darah berada

diluar tubuh, sehingga makin banyak antikoagulan yang dibutuhkan, dengan

konsekuensi sering timbulnya efek samping. Proses hemodialisis yang lama

umumnya akan menimbulkan stres fisik, pasien akan merasakan kelelahan,

sakit kepala, dan berkeringat dingin akibat tekanan darah yang turun. Pasien

4
dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodilisis tiga kali seminggu

menderita gangguan kognitif sedang hingga berat. Hal ini mungkin

dipengaruhi oleh sisa bersihan ureum, efek samping frekuensi hemodialisis

tiga kali seminggu, atau kondisi lain yang dapat mempengaruhi fungsi

kognitif, seperti depresi, penyakit serebrovaskular, atau penggunaan obat

tertentu. Pasien penyakit ginjal kronik akan mengalami gangguan fungsi

kognitif seiring dengan bertambah parahnya kerusakan ginjal. Banyak pasien

hemodialisis mengalami gangguan fungsi memori, gangguan motorik, dan

gangguan perhatian. Penurunan fungsi kognitif pun akan terus mengalami

peningkatan seiring bertambahnya usia dan dipengaruhi pula oleh faktor

resiko penyakit kardiovaskular (Hailpern, et al, 2017).

Hal ini didukung oleh penelitian Imelda Herman (2016) dengan

penelitian analitik desain cross sectional dengan sampel sebanyak 74 orang

yang diambil dengan cara consecutive sampling. Penelitian melakukan

wawancara dan menggunakan kuisioner Mini Mental State Examination. Data

yang diperoleh dianalisis dengan uji spearman. Hasil penelitian didapatkan

periode lama hemodialisis pada pasien yang menjalani hemodialisis <6 bulan

sebanyak 27%, 6-12 bulan sebanyak 47,3%, dan >12 bulan sebanyak 25,7%.

Fungsi kognitif normal 62,2%, gangguan kognitif ringan 33,8%, dan sedang

4%. Hubungan antara lama hemodialisis dan fungsi kognitif didapatkan

p=0,001 yang berarti terdapat korelasi antara kedua variabel yang diuji. Nilai

kekuatan korelasi 0,371 (r=0,371) yang berarti kekuatan korelasi tersebut

memiliki korelasi lemah dan arah korelasinya positif. Penelitian lain yang

5
sejalan oleh Cut Nadhira (2016) dengan hasil uji chi square didapatkan p-

value 0,028 dengan pasien yang menjalani hemodialisa > 12 bulan, mengalami

penuruanan fungsi kognitif dibandingkan dengan pasien yang menjalani

hemodialisa > 3 bulan-11 bulan yang terlihat dari skor MMSE.

Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang lama menjalani hemodialisa

memiliki toleransi latihan fisik dan kapasitas fungsional yang buruk terhadap

aktivitas sehari-hari dibandingkan dengan individu normal. Perbedaan ini

dikarenakan oleh sindrom uremik yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik

menimbulkan berbagai gejala berupa fatique (kelelahan), nyeri pada

ekstremitas bawah, anemia, dan kelemahan otot general. Inaktivitas fisik pada

pasien hemodialisis kronik disebabkan oleh fatique karena akumulasi sampah

metabolik, konsumsi energi yang abnormal, dan kehilangan nafsu makan.

Dampak dari fatique pada pasien hemodialisis kronik adalah penurunan fungsi

fisik, kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari hari, dan kualitas hidup

yang lebih buruk. Peningkatan aktivitas fisik berdampak baik terhadap

kualitas hidup pasien hemodialisis termasuk fungsi kognitifnya (Kosmadakis

et al, 2015).

Hal ini didukung oleh penelitian Clarissa Hasana (2017) dengan

penelitian menggunakan metode cross sectional terhadap 95 responden,

didapatkan prevalensi gangguan fungsi kognitif sebesar 77.9% dan pasien

dengan level aktivitas yang ringan sebesar 72.6%. Berdasarkan analisis

bivariat didapatkan variabel – variabel yang berhubungan dengan fungsi

kognitif, yaitu aktivitas fisik (p = 0,004) dan usia (p = 0,05). Analisis

6
multivariat menunjukkan fungsi kognitif dipengaruhi oleh aktivitas fisik

dengan RP = 4.33 (CI : 1.594 –12.082).

Penelitian lain yang sejalan oleh Try Vany (2015) hasil uji chi square

antara aktivitas fisik dengan fungsi kognitif tersebut menunjukkan bahwa

sebanyak 43 responden dengan fungsi kognitif terganggu memiliki aktivitas

fisik kurang dan 11 responden dengan fungsi kognitif terganggu memiliki

aktivitas baik . Responden dengan fungsi kognitif yang tidak terganggu

dengan aktivitas fisik kurang berjumlah 1 dan responden dengan fungsi

kognitif yang tidak terganggu dengan aktivitas fisik baik berjumlah 28

responden. Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa nilai p = 0,000

dengan tingkat kesalahan (α) 0,05 atau dengan perkataan lain nilai p <0,05,

sehingga Ho ditolak dan dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara

aktivitas fisik dengan fungsi kognitif.

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Haulussy Ambon merupakan

rumah sakit rujukan di Provinsi Maluku dan satu-satunya rumah sakit di

Maluku yang memiliki unit hemodialisa. Menurut data register pada unit

hemodialisa di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, jumlah pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani terapi hemodialisa dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan. Terhitung 5 tahun terakhir (2014-2018), pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani terapi hemodialisa berjumlah 356 pasien. Pada bulan

Januari sampai Desember 2019 sebanyak 95 orang. Pasien gagal ginjal kronik

menjalani terapi hemodialisa 2 kali seminggu.

7
Peneliti melakukan observasi dan wawancara singkat juga dengan 10

pasien hemodialisa. Terdapat pasien yang menjalani hemodialisa kurang dari 1

tahun, 1 tahun bahkan lebih dari 1 tahun dan juga terdapat pasien yang

menjalani hemodialisa lebih dari 5 tahun. Pasien mengatakan bahwa aktivitas

yang dilakukan pasien sangat terbatas tidak sama dengan aktivitas sebelum

menderita penyakit gagal ginjal. Pasien merasakan cepat lelah saat

beraktivitas. Pasien juga mengatakan bahwa pasien sering lupa jika sudah

minum air terlalu banyak sesuai dengan yang ditentukan oleh perawat yaitu

sebanyak 3 gelas sehari, pasien mengalami penurunan daya ingat, terkadang

pasien mengalami stress dengan penyakit yang diderita. Salah satu keluarga

pasien mengatakan bahwa pasien terkadang lambat dalam berpikir dan

melakukan aktivitas.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan salah satu perawat di

ruang hemodialisa, dikatakan bahwa setiap dilakukan terapi cuci darah,

perawat selalu memberikan edukasi baik untuk pasien maupun keluarga pasien

untuk melakukan aktivitas-aktivitas ringan, lebih meringkankan beban pikiran

pasien dengan sering mendengarkan musik, tidak dibebani dengan masalah-

masalah keluarga dan lebih patuh dalam menjalani hemodialisa sesuai dengan

anjuran yang ditetapkan 2 kali dalam seminggu dan sering bercerita dengan

pasien tentang hal-hal yang menyenangkan pasien sehingga pasien merasa

aman dan nyaman walaupun keadaan dan kondisi pasien yang harus menjalani

hemodialisa secara rutin. Karena jika pasien mengalami stress yang

berlebihan, tekanan darah pasien meningkat, akan menghambat pasien dalam

8
melakukan hemodialisa, sehingga perawat harus memberikan obat hipertensi

dan menunggu beberapa jam sampai tekanan darah pasien menurun untuk

melakukan proses hemodialisa.

Dengan demikian penulis tertarik untuk meneliti hubungan aktivitas

fisik dan lama menjalani hemodialisa dengan fungsi kognitif pasien Chronic

Kidney Disease di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “apakah ada hubungan aktivitas fisik dan lama menjalani

hemodialisa dengan fungsi kognitif pasien Chronic Kidney Disease di RSUD

Dr. M. Haulussy Ambon?”

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, terdapat tujuan umum dan tujuan khusus sebagai

berikut:

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan aktivitas fisik dan lama menjalani

hemodialisa dengan fungsi kognitif pasien Chronic Kidney Disease di

RSUD Dr. M. Haulussy Ambon.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pasien

Chronic Kidney Disease di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon.

9
b. Mengetahui hubungan lama menjalani hemodialisa dengan fungsi

kognitif pasien Chronic Kidney Disease di RSUD Dr. M. Haulussy

Ambon.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian, sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

bagi masyarakat yang masih sehat untuk tetap menjaga ginjalnya dan yang

sudah mengalami Chronic Kidney Disease (CKD) untuk tetap menjalani

terapi hemodialisa dengan baik.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Responden

Diharapkan dapat menjadi informasi yang bermanfaat tentang

hubungan aktivitas fisik dan lama menjalani hemodialisa terhadap

fungsi kognitif pasien Chronic Kidney Disease serta responden

mengetahui apa itu fungsi kognitif

b. Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menangani

pasien hemodialisa.

c. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam

proses asuhan keparwatan bagi pasien hemodialisa.

10
d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi untuk

melakukan penelitian sejenis dan lebih lanjut dalam bidang yang sama.

11

Anda mungkin juga menyukai