Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan bagian terpenting pada manusia agar dapat melakukan
aktivitas dan bertahan hidup. Kesehatan sangat berpengaruh pada masyarakat untuk
terhindar dari penyakit. Saat ini, munculnya penyakit-penyakit baru yang belum
ditemukan penanggulangannya, pengobatan bahkan penyebabnya maupun penyakit
kronis yang telah lama merupakan tantangan di bidang kesehatan, salah satunya
penyakit gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit yang mencemaskan
dan penyebab terpenting dari kematian serta kecacatan di banyak negara diseluruh
dunia. Gagal ginjal kronik, yaitu ginjal secara progresif kehilangan fungsi nefronnya
satu persatu yang secara bertahap menurunkan keseluruhan fungsi ginjal.1,2
Pada tahun 2004, lebih dari 20 juta orang dewasa di Amerika Serikat
diperkirakan mengidap penyakit ginjal kronik.1 Hasil data dari RISKESDAS tahun
2013 sampai 2018 menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap penyakit gagal
ginjal kronik di Indonesia yaitu 0,2% menjadi 0,38%, sedangkan prevalensi penyakit
ginjal kronik di daerah Jambi yaitu 0,2% menjadi 0,3%. 3 Berdasarkan wawancara
yang diperoleh dari data RISKESDAS 2013 yaitu hasil diagnosis dokter jumlah
penyakit gagal ginjal kronik meningkat seiring dengan bertambahnya usia, pada
kelompok usia 35-44 tahun (0,3%), diikuti usia 45-54 tahun (0,4%), dan usia 55-74
tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok usia ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-
laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada
masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%).4
Glomerulonefritis merupakan fakor pencetus paling sering yang menyebabkan
penyakit ginjal stadium akhir dengan jumlah kasus 46,39%. Diabetes melitus dengan
18,65% kasus, obstruksi dan infeksi 12,85% serta hipertensi 8,46% kasus yang
diketahui sebagai penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir.2 Apabila fungsi
2

ginjal untuk membuang zat-zat sisa metabolik yang beracun dan kelebihan cairan dari
tubuh sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak mampu lagi menjaga
kelangsungan hidup penderita gagal ginjal, maka harus dilakukan terapi pengganti
ginjal, terapi pengganti tersbut berupa hemodialisa, dialisa (cuci darah) atau
transplantasi ginjal. Dialisis adalah tindakan mdis pemberian terapi pengganti fungsi
ginjal sebagai bagian dari pengobatan pasien gagal ginjal dalam upaya
mempertahankan kualitas hidup yang optimal yang terdiri dari dialisis peritoneal dan
hemodialisa.2,5
Hemodialisa adalah terapi pengganti fungsi ginjal yang menggunakan alat
khusus dengan tujuan mengeluarkan toksis uremik dan mengatur cairan elektrolit
tubuh.4 Pada proses ini darah dipompa keluar tubuh, masuk dalam mesin dialiser. Di
dalam mesin dialiser, darah dibersihkan dari zat racun melalui proses difusi dan ultra
filtrasi oleh dialisat (satuan cairan khusus untuk dialisis), lalu setelah darah selesai
dibersihkan, darah kembalikan dalam tubuh.6
Tindakan hemodialisa merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya
memperpanjang usia penderita gagal ginjal kronik namun, tidak dapat
menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien hanya saja hemodialisa
dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien gagal ginjal kronik. Pasien yang
mengalami gagal ginjal kronik akan menjalani hemodialisa jangka panjang dengan
waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap
hemdialisa dilakukan 2-5 jam di rumah sakit dengan frekuensi 2 kali seminggu.
Hemodialisa idealnya dilakukan 10-15 jam/minggu dengan QB (quick blood) 200-
300 mL/menit.7
Selama tindakan hemodialisa terdapat beberapa komplikasi yang sering terjadi
diantaranya adalah hipotensi, mual dan muntah, demam disertai menggigil, nyeri
dada, gatal-gatal, sindrom ketidakseimbangan dialisis, hipoksemia dan kram otot,
komplikasi tersebut dapat menimbulkan stressor fisiologis pada pasien.2 Selain
mendapatkan stressor fisiologis, pasien yang menjalani terapi hemodialisis juga
mengalami stressor psikologis yang diantaranya adalah pembatasan cairan,
3

pembatasan konsumsi makanan, gangguan tidur, ketidakjelasan tentang masa depan,


pembatasan aktivitas rekreasi, penurunan kehidupan sosial, pembatasan waktu dan
tempat bekerja, lamanya proses hemodialisa serta faktor ekonomi. Hal ini diperparah
dengan adanya penyakit serta ketergantungan secara terus menerus pada alat
hemodialisa dan tenaga kesehatan sehingga memberikan pengaruh negatif terhadap
kualitas hidup pasien.7
Menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL), kualitas
hidup adalah persepsi individu dalam kemampuan, keterbatasan, gejala serta sifat
psikososial hidupnya dalam konteks budaya dan sistem nilai untuk menjalankan
peran dan fungsinya.8 Pasien yang menjalani hemodialisis kualitas hidupnya lebih
rendah dibandingkan orang yang tidak menjalani hemodialisis. Pasien hemodialisis
menghadapi perubahan yang signifikan karena mereka harus beradaptasi terhadap
dampak dari terapi hemodialisis, perubahan peran di dalam keluarga, perubahan gaya
hidup, dan aktivitas yang harus mereka lakukan terkait dengan terapi hemodialisis 7.
Penelitian Sufiana (2015) menyebutkan, mayoritas responden memiliki kualitas hidup
sedang, yaitu sebanyak 45 orang (75%), sedangkan 15 orang responden (25%)
memiliki kualitas hidup yang baik. Tidak ada satu pun responden yang mempunyai
kualitas hidup yang kurang. Terbukti bahwa hemodialisa merupakan terapi untuk
memaksimalkan kualitas hidup pasien.9
Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang melaksanakan Hemodialisa tentunya
mempunyai berbagai tanggapan atau reaksi (koping).10 Penyesuaian diri dalam
menghadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah mekanisme
koping. Mekanisme koping merupakan usaha yang digunakan seseorang untuk
mempertahankan rasa kendali terhadap situasi yang mengurangi rasa nyaman, dan
menghadapi situasi yang menimbulkan stress.11 Terdapat dua jenis mekanisme koping
yaitu mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme
koping adaptif bersifat konstruktif terjadi ketika kecemasan diperlakukan sebagai
sinyal peringatan dan individu menerima sebagai tantangan untuk menyelesaikan
masalah. Mekanisme koping adaptif meliputi berbicara dengan orang lain mengenai
4

masalah yang dialami, dan mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang
dihadapi. Mekanisme koping maladaptif bersifat destruktif menghindari kecemasan
tanpa menyelasaikan konflik. Mekanisme koping maladaptif meliputi menggunakan
alkohol, obat-obatan, melamun dan fantasi serta beralih pada aktivitas lain agar dapat
melupakan masalah.12
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Raden Mattaher Provinsi
Jambi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa didapatkan data
wawancara dari 3 pasien yaitu 2 pasien mempu mengatasi masalah pada penyakitnya
dengan cara yang baik dengan mekanisme koping adaptif, sedangkan 1 pasien
mengatakan kurang mampu mengatasi masalah dan pasien sendiri mengatakan tidak
dapat menahan emosi.
Koping merupakan suatu proses kognitif dan tingkah laku bertujuan untuk
mengurangi perasaan tertekan yang muncul ketika mengahadapi situasi stress.
Berdasarkan hasil penelitian Aldi (2018) yang berjudul mekanisme koping terhadap
kualitas hidup pasien hemodialisis di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang,
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara mekanisme koping dengan kualitas
hidup pasien hemodialisis (p value 0,041 < 0,05) dengan korelasi hubungan yang
lemah (r = 0,299).13
Data dari rekam medik RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi pada tahun 2016
pasien yang mengalami gagal ginjal kronik berjumlah 439 orang, sedangkan pada
tahun 2017 pasien berjumlah 371 orang. Pada tahun 2018 setiap bulannya terjadi
peningkatan jumlah pasien yang menderita gagal ginjal kronik. Data tersebut
termasuk pasien yang tidak menjalani hemodialisa dan menjalani hemodialisa. Data
di ruang hemodialisa RSUD Raden Mattaher tahun 2016, pasien gagal ginjal kronik
yang menajalni hemodialisa berjumlah 131 orang. Pada tahun berikutnya terjadi
penurunan jumlah pasien yang menjalani hemodialisa, yaitu tahun 2017 berjumlah
119 orang sedangkan pada tahun 2018 pasien berjumlah 78 orang.
Berdasarkan masalah tersebut, peneliti merasa perlunya dilakukan penelitian
dengan judul “Hubungan Mekanisme Koping Dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal
5

Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodalisis Di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Matthaer Jambi”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka
pertanyaan penelitiannya adalah : “Apakah terdapat hubungan mekanisme koping
dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di
RSUD Raden Mattaher Jambi”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan mekanisme koping dengan kualitas hidup pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Raden Mattaher Jambi.
1.3.1 Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui gambaran mekanisme koping pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Raden Mattaher Jambi.
2) Untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis di RSUD Raden Mattaher Jambi.
3) Untuk megetahui gambaran karakteristik responden pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis di RSUD Raden Mattaher.
4) Untuk mengetahui hubungan antara mekanisme koping dengan kualitas hidup
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Raden
Mattaher Jambi.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan acuan dan masukkan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit terutama di ruang hemodialisa
RSUD Raden Mattaher Jambi.
1.4.2 Bagi Keperawatan
6

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi


perkembangan ilmu keperawatan tentang hubugan mekanisme koping dengan
kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
1.4.3 Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam
bidang penelitian serta dapat menjadi salah satu bahan bagi pembelajaran, khususnya
dalam lingkup terapi hemodialisis.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Ginjal Kronik
2.1.1 Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal (kidney failure) adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara
akut (kekambuhan) maupun kronis (menahun). Gagal ginjal kronis (chronic kidney
failure) merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevalensi dan
insidensi gagal ginjal yang meningkat dengan prognosis yang buruk dan biaya yang
tinggi.4,5
Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa
bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 60mL/min/1,73
m2 selama minimal 3 bulan.14 Gagal ginjal kronis termasuk silent killer, yaitu
penyakit mematikan yang tidak menunjukkan gejala peringatan sebelumnya,
sebagaimana umumnya yang terjadi pada penyakit berbahaya lainnya. 5 Gagal ginjal
kronik, yaitu ginjal secara progresif kehilangan fungsi nefronnya satu persatu yang
secara bertahap menurunkan keseluruhan fungsi ginjal.1
2.1.2 Etiologi Gagal Ginjal Kronik
Penyebab gagal ginjal pasien hemodialisis baru dari data tahun 2015
diadapatkan sebagai berikut, E1 (Glumerulopati Primer/GNC) 8%, E2 (Nefropati
Diabetika) 22%, E3 (Nefropati Lupus/SLE) 1%, E4 (Penyakit Ginjal Hipertensi)
44%, E5 (Ginjal Polikistik) 1%, E6 (Nefropati Asam urat) 1%, E7 (Nefropati
obstruksi) 5%, E8 (Pielonefritis kronik/PNC) 7%, dan E9 (Lain-lain) 8%, E10 (Tidak
8

Diketahui) 3%.(Data diatas diambil dari 249 Unit). Prosentasi etiologi ini sering
menjadi pertanyaan karena hipertensi masih menjadi penyebab utama di Indonesia.15

Gambar 2.1 Penyebab gagal ginjal kronik di Indonesia tahun 2015


Sumber: Indonesian Renal Registry 2015
2.1.3 Patofisiologi
Proses penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terajdi kurang
lebih sama. Penyebab gagal ginjal kronik seperti ganggan pembuluh darah,
glomerulus, tubulus, interstisium ginjal, dan traktus urinarius bawah yang pada
akhirnya meenghasilkan penurunan jumlah nefron fungsional. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan penurunan fungsional nefron yang
masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factors. Jumlah nefron fungsional yang menurun 20-25%
dari jumlah normal. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penuruan fungsi nefron yang masih progresif. Adanya peningktan aktivitas
aksis renin-angiotensin-aldosteron internal, ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang
9

aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian dipernatarai oleh growth factor seperti


transforming growth factor β (TGF- β). Beberpa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progesitifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sclerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial.1,2
Pada stadium awal gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal,
pada keadaan basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kratinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%,
pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, terjadi kegagalan
untuk mengkonsentrasikan urin menyebabkan nokturia, fatigue, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan.2
Tanda dan gejala uremia yang terlihat seperti, anemia, peningkatan tekanan
darah, nyeri tulang serta otot dan fraktur yang disebakan oleh gangguan metabolisme
fosfor dan kalium, pruritus dan lain sebagainya. Pasien mudah mengalami infeksi
saluran kemih, infeksi saluran nafas dan infeksi saluran cerna. Setelah itu terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipovolemia atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain kalium dan natrium. Pada LFG dibawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dalisis (cuci darah)
atau transpalntasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal.2,16
2.1.4 Manifestasi Klinis
Pada derajat awal, yaitu stadium 1-3 gagal ginjal kronik, belum menimbulkan
tanda dan gejala, bahkan hingga laju filtrasi glomerulus sebesar 60% (GFR ≥ 30
mL/menit/1,73 m2) pasien masih asimtomatik namun sudah terjadi peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Kelainan secara klinis dan laboratorium baru terlihat
dengan jelas pada derajat 4 dan 5. Saat laju filtrasi glomerulus sebesar 30% (GFR <
10

30 mL/menit/1,73 m2), keluhan seperti poliuria, hematuria, edema, badan lemah,


mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien.
Pasien mulai merasakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju filtrasi
glomelurus kurang dari 30%.4,17
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Hasil pemeriksaan darah yang membantu menegakkan diagnosis gagal ginjal
kronis meliputi16,18:
1. Penurunan pH darah arteri <7,35 dan kadar bikaronat <22mEq/L; kadar
hemoglobin dan nilai hematokrit yang rendah.
2. Pemendekkan usia sel darah merah, trombositopenia ringan, defek trombosit
3. Kenaikan kadar ureum, kreatinin, natrium, dan kalium
4. Peningkatan sekresi aldosterone yang berhubungan dengan peningkatan
produksi renin
5. Hiperglikemia (tanda kerusakan metabbolisme karbohidrat)
6. Hipertrigliserida dan kadar high-density lipoprotein yang rendah.
7. Hasil urinalisis yang membantu menegakan diagnosis meliputi: berat jenis
yang tetap pada nilai 1,010
8. Urinalisis memperlihatkan proteinuria, glucosuria, sel darah merah, leukosit,
silinder atau kristal yang bergantung pada penyebab.
9. Penurunan ukuran ginjal pada rontgen BNO, urografi ekskretori,
neefrotomografi, CT scan renal, atau arteriografi renal
10. Biopsi renal, untuk menegtahui penyakit yang melatari.
2.1.6 Penatalaksanaan Gagal ginjal Kronik
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi2,16,19:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonorafi, biopsi dan
11

pemeriksaan hispatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap


terapi spesifik.
Drajat LFG Rencana tatalaksana
(mlmnt/1,73m2)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan fungsi
ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler
2 60-89 Menghambat pemburaukan fungi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persipan unruk terapi pengganti ginjal
5 <15 Terapi penggati ginjal
Tabel 2.1 Tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan drajatnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurun LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Faktor-faktor komorbid ini antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfentilasi glomerulus. Cara mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah
pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein dimulai pada LFG ≤
60ml/menit. Protein diberikan 0,6-0,8/kg.bb/hari, yang 0,35-0,50 gr
diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi jumlah kalori yang
diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari, diutuhkan pemantauan yang teratur terhadap
status nutrisi pasien. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada
pasien penyakit ginjal kronik akan menyebabkan penimbunan substansi
12

nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang diseut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein
akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah lainnya, asupan
protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan
menigkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Beberapa obat
antihipertensi, terutama penghambat Ensim Konverting Angiotensin (ACE
inhibitor) dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal.
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Suplemen besi dan folat atau transfusi sel darah merah untuk
mengatasi anemia. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin
≤10 g% atau hematokrit ≤30%, meliputi evaluasi terhadap status besi,
kapasitas ikat besi total, mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit.
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Osteodistrofi
renal, dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian
hormon kalsitrol. Kalsium karbonat (Caltrate) atau kalsium asetat (Phos-Lo)
untuk mengatasi osteodistrofi renal dengan pengikatan fosfat dan
suplemnetasi kalsium. Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan
asupan fosfat dan pemberian pengikat fosfat. Pembatasan cairan dan elektrolit,
tujuannya untuk mencegah edema dan komplikasi kardiovaskular. Obat-obat
golongan loop diuretics,seperti furosemide (Lasix), untuk mempertahankan
keseimbangan cairan.
5. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5 yaitu pada LFG <15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut berupa
hemodialisis yang merupakan tindakan untuk membuang sampah
metabolisme yang tak bisa dikeluarkan oleh tubuh, seperti adanya ureum di
dalam darah, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
13

2.2 Hemodialisa
2.2.1 Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien
melewati membran semipermeable (dialyzer) kedalam dialist.7 cara yang umum
dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indnesia adalah dengan menggunakan
mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah dipompa
keluar tuuh, masuk kedalam mesin diliser untuk dibersihakan melalui proses difusi
dan ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus dialysis), kemuadian dialirkan kembali
ke dalam tubuh.5
2.2.2 Tujuan Hemodialisa
Tujuan dari terapi hemodialisa antara lain7,20:
1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi eksresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh , seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolism
yang lain
2. Mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah. Aliran darah yang
penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialirkan dari tubuh pasien ke
dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan dikembalikan lagi ke tubuh
pasien.
3. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat
4. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal
5. Menggantikan fungsi ginjal sambal menunggu program pengobatan yang
lain.
2.2.3 Indikasi
Pengobatan dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi melakukan
aktivitas, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya.
Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum >6 mg/100 ml
14

pada pria, 4 mg/100 ml pada wanita dan glomerulo filtration rate (GFR) <4 ml/menit.
Penderita tidak diperbolehkan berbaring terus- menerus atau sakit berat sampai
kegiatan sehari-hari tidak bisa dikerjakan lagi. Secara ideal semua pasien dengan laju
filtrasi glomerulus (LFG) <15 mL/menit, LFG <10 mL/menit dengan gejala uremia/
malnutrisi dan LFG <5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis.
Selain indikasi tersebut disebutkan adanya indikasi khusus yaitu terdapat komplikasi
akut seperti oedema paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropati
diabetik. Hemodialisa dimulai ketika bersihan kreatini menurun dibawah 10
mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatini serum 8-10 mg/dL. Pasien yang
terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga
dianjurkan dilakukan hemodialisa. Pasien yang mengalami gejala-gejala uremia
dengan penurunan kesadaran sangat disarankan untuk melakukan hemodialisis.
Indikasi khusus adalah peikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik dan asidosis yang tidak dapat diatasi.7,15
2.2.4 Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk pasien hemodialisa, namun
kontraindikasi relatifnya antara lain akses vaskular yang sulit, hemodinamik dan
koagulasi yang tidak stabil, malignansi (kecuali multiple myeloma) penyakit
alzheimer, multi-infarct dementia, hepatorenal syndrome, sirosis dengan ensefalopati,
hipotensi yang tidak responsif pada pengobatan, dan sakit jiwa. 15 Kontraindikasi lain
dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit
stadium terminal, dan sindrom otak organic. Tidak didaptkan akses vascular pada
hemodialisa, instabilitas hemodinamik dan koagulasi.7
2.2.5 Cara Kerja Hemodialisa
Mesin hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat),
mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membrane semipermeabel dan
memantau fungsinya termasuk dialisat serta perjalanan darah dari mesin dialyzer.
Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk menarik limbah-limbah tubuh dari
darah. Sementara sebagai buffer umumnya digunakan bikarbonat, karena memiliki
15

risiko lebih kecil untuk menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan buffer natrium.
Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan
pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan
larutan.dalam proses hemodialisa diperlukan mesin hemodialisa dan saringan sebagai
ginjal tiruan yang disebut dializer, yang diguakan untuk menyaring dan
membersihkan darah dari ureum, kreatinin, dan zat-zat sisa metabolism yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskular
sebagai tempat suplai dari sarah yang akan masuk kedalam mesin hemodialisa. Mesin
ginjal buatan atau hemodilisa terdiri dari membran semipermeable yang dibagi
menjadi dua bagian yaitu bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Dialiser
merupakan sebuah capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus
yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini,
dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Selama hemodialisa darah dikeluarkan
dari tubuh melalui sebuah kateter yang masuk kedalam sebuah mesin yang
dihubungkan dengan sebuah membrane semipermeable (dialyzer) yang terdiri dari
dua ruangan. Ruangan pertama dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan
dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi.7,21
Ada tiga prinsip yang mendasari cara kerja hemodialisa, yaitu; a) Proses difusi
adalah proses berpindahnya zat terlarut ke dialisat karena adanya perbedaan kadar di
dalam darah. b) Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga
kimiawi yaitu perbedaan osmosilitas dan dialisat. c) Proses ultrafiltrasi adalah proses
berpindahnya zat terlarut dan air karena perbedaan hidrostatik di dalam darah dan
dialisat. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodialyzer modern dilengakpi
dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter. Waktu atau
lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemdialisa
dilakukan 4-5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan
10-15 jam/meninggu dengan QB 200-300 mL/menit.7,22
16

2.3 Kualitas Hidup


2.3.1 Pengertian Kualitas Hidup
Kualitas hidup menurut World Health Organozation Quality of Life
(WHOQOL) didefinisikan sebagai pandangan seseorang mengenai posisi individu
dalam hidup mengenai konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hidup dan
hubungannya dengan tujuan, harapan, kekhawatiran standar yang ditetapkan dan
perhatian seseorang.8
Kualitas hidup seseorang tidak dapat didefiisikan dengan pasti, hanya orabg
tersebut yang dapat mendefinisikannya karena kualitas hidup seseorang berbeda-beda
dan bersifat subjektif. Kualitas hidup menunjukkan sejauh mana penilaian individu
terhadap kepuasan dan kebermaknaan kehidupan mereka.23
2.3.2 Fakto-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal
Kronik
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup dibagi menjadi dua
bagian yaitu bagian pertama adalah sosio demografi meliputi: a) jenis kelamin, laki-
laki memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibanding perempuan b) usia, pada
umumya kualitas hidup menurun dengan meningkatnya usia, c) suku/etnik d)
pendidikan, pasien yang memiliki pendidikan lebih tinggi mempunyai pengetahuan
yang lebih luas juga memungkinkan pasien dapat mengontrol dirinya dalam
mengatasi masalah e) pekerjaan, adanya perbedaan kualitas hidup anara pelajar,
penduduk yang bekerja dan tidak berkerja, dan f) status perkawinan, individu yang
menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu yang tidak
menikah, bercerai, ataupun janda/duda. Bagian kedua adalah medik berupa lama
menjalani hemodialisa, stadium penyakit, dan terapi yang dijalani.24 Faktor-faktor lain
yang yaitu karakteristik pasien, jenis terapi hemodialisis yang dijalani, depresi,
dukungan keluarga, status kesehatan (Anemia), penyakit lain yang diderita, dan
malnutrisi.25
17

2.3.3 Penilaian Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik


Instrumen ini digunakan untuk menilai kemampuan fungsional,
ketidakmampuan dan kekhawatiran yang timbul akibat penyakit yang diderita.
Contoh instrumen umum adalah The Sickness Impact Profile (SIP), The Medical
Outcome Study (MOS), Kidney Disaase Quality Of Life (KDQOL), 36-Item Short-
Form Health Survey (SF-36) yang telah banyak digunakan dalam menilai kualitas
hidup pasien dengan penyakit kronik teramasuk gagal ginjal kronik.26
Model konsep kualitas hidup dari WHOQoL-Bref (The World Health
Organization Quality of Life – Bref) merupakan skala pengukuran untuk kualitas
hidup, dengan 26 pertanyaan, terdiri dari 5 poin. Instrumen ini terdiri dari dua item
pertanyaan yang terdiri dari empat domain, meliputi:27,28
1. Dimensi kesehatan fisik
2. Dimensi psikologis
3. Dimensi hubungan sosial
4. Dimensi lingkungan
2.4 Mekanisme Koping
2.4.1 Pengertian Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah setiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri dan mneghadapi perubahan pada keadaan untuk
dapat diterima.29
Manusia mampu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya, baik
lingkungan fisik, biologis, psikologis maupun sosial dan spiritual. Sebagai sistem
adaptif manusia akan menunjukkan respon adaptif atau maladaptif terhadap
perubahan lingkungan. Respon adaptif terjadi apabila manusia memiliki mekanisme
koping yang baik dalam menghadapi perubahan lingkungan, tetapi apabila
18

kemampuan merespon perubahan lingkungan rendah, maka manusia akan


menunjukan prilaku yang maladaptif. Manusia atau klien dapat diartikan sebagai
individu, keluarga ataupun masyarakat yang menerima asuhan keperawatan.30
2.4.2 Respon koping
Respon individu terhadap stres berdasarkan faktor predisposisi, sifat stresor,
persepsi terhadap situasi dan analisis sumber koping dan mekanisme koping. Respon
koping klien dievaluasi dalam suatu rentang yaitu adaptif atau maladaptive:31
1. Respon mekanisme koping adaptif Respon yang mendukung fungsi integrasi,
pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan, seperti berbicara dengan orang lain,
memecahkan masalah dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif,
tehnik relaksasi, latihan seimbang dan aktifitas konstriktif.
2. Respon mekanisme koping maladaptif Respon yang menghambat fungsi integrasi,
memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menghalangi
penguasaan terhadap lingkungan, seperti makan berlebihan atau bahkan tidak
makan, kerja berlebihan, menghindar, marah-marah, mudah tersinggung, dan
menyerang. Mekanisme koping yang maladaptif dapat memberi dampak yang
buruk bagi seseorang seperti isol asi diri, berdampak pada kesehatan diri, bahkan
terjadinya resiko bunuh diri.
19

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC, Hall JE. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed.
Jakarta; 2007.
2. Suwitra K. Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo aru w.,
K marcellus simadibrata, Setyahadi B, Syam ari fahrial, editors. Penyakit Ginjal
Kronik. 6th ed. Jakarta; 2014. p. 2161.
3. RISKESDAS. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI [Internet]. 2018 [cited 2019 Jan 29]. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/materi_rakorpop_2018/
Hasil Riskesdas 2018.pdf
4. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyakit Ginjal Kronis [Internet].
infoDATIN. Jakarta; 2017 [cited 2019 Jan 14]. Available from:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/
infodatin ginjal 2017.pdf
5. Alam S, Hadibroto I. Gagal Ginjal. Jakarta; 2007. 55 p.
6. J C. Gagal Ginjal Tips Cerdas Mengenali & Mencegah Gagal Ginjal. Yogyakarta:
DAFA Publishing; 2010.
7. Nuari NA, Widayanti D. Gangguan Pada Sistem Perkemihan & Penatalaksanaan
Keperawatan. 1st ed. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hemodialisa.
Yogyakara; 2017.
8. WHO. Management of substance abuse: WHO Quality of Life-BREF
(WHOQOL-BREF). [Internet]. World Health Organization. 2016 [cited 2019 Jan
16]. Available from: http://www/who.int
9. Dewi SP. Hubungan Lamanya Hemodialisa dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal
Ginjal di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2015;1–11.
10. Smeltzer SC, Bare BG. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah Brunner &
20

Suddarth. Waluyo A, Kariasa, Julia, Kuncara Y, editors. 2007.


11. Videbeck, L S. Psychiatric-Mental Health Nursing. In: 5th ed. philadelpia:
Wolters Kluwel Health; 2012.
12. Azizah LM. Keperawatan Jiwa (Aplikasi Praktik). In Yogyakarta: Graha Ilmu;
2011.
13. Yunianto AT, Armiyati Y. Mekanisme Koping Terhadap Kualitas Hidup Pasien
Hemodialisis Di Rsud K.R.M.T Wongsonegoro Semarang. 2018;
14. KDIGO, CKD. KDIGO CPG for Evaluation & Management of CKD 2013.
Kidney Int Suppl [Internet]. 2013;3(1). Available from:
http://www.kdigo.org/clinical_practice_guidelines/pdf/CKD/KDIGO CKD-MBD
GL KI Suppl
113.pdf%5Cnhttp://www.nature.com/doifinder/10.1038/kisup.2012.73%5Cnhttp:/
/www.nature.com/doifinder/10.1038/kisup.2012.76
15. IRR. 8 th Report Of Indonesian Renal Registry 2015. 2015.
16. Kowalk, Whels, Mayer, editors. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2011.
17. Arora P. Chronic Kidney Disease. MedScape [Internet]. 2014; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview
18. Kowalk, Welsh, editors. Buku Pegangan Uji Diagnostik. 3rd ed. Jakarta: EGC;
2009.
19. Abbound H, Henrich WL. Stage IV Chronic Kidney Disease. N Engl J Med.
2010;1.:362.
20. Brunner, Suddarth. Keperawatan Medical Bedah. 8th ed. Jakarta: EGC; 2010.
21. Septiwi C. Hubungan Antara Adekuasi Hemodialisis dengan Kualitas Hidup
Pasien Hemodialisis di Unit Hemodialisis RS Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. [Tesis]. Universitas Indnesia; 2011.
22. Muttaqin A, Kumalasari. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
salemba medika; 2012. 266 p.
23. Sarafino EP, Smith TW. Health Psychology Biopsychosocial Interactions. 7th ed.
United States of America; 2011.
21

24. M. R, T. K, T. E. Hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan kualitas


hidup pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUP. Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado. J e-Clinic. 2016;4.
25. Susan Young. A Nephrology Nursing Perspective. Cannt J. 2009;19.
26. Hemodialysis. N Engl J Med. 2010;
27. Dewi Putri Mardyaningsih. Kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik
yang menjalai terapi hemodialisis di RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso
Kabupaten Wonogiri [Internet]. STIKES Kusuma Husada; 2014. Available from:
http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/12/01-gdl-dewiputrim-555-1-
dewi.pdf
28. WHO. The World Health Organization Quality of Life ( WHOQOL )-BREF.
2004.
29. Setyaningsih D. Mekanisme koping remaja dalam menghadapi sindrom
premenstruasi di SMA N 1 Sorakarja [Internet]. Muhammadyah Purwokerto;
2012. Available from: http://repository.ump.ac.id/6107/3/Dian Setyaningsih BAB
II.pdf
30. Nurhalimah. Keperawatan Jiwa. 2016.
31. W SG. Principles and practice of psychiatric nursing. 9th ed. Canada: Mosby, inc;

Anda mungkin juga menyukai