BAB I
PENDAHULUAN
ginjal untuk membuang zat-zat sisa metabolik yang beracun dan kelebihan cairan dari
tubuh sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak mampu lagi menjaga
kelangsungan hidup penderita gagal ginjal, maka harus dilakukan terapi pengganti
ginjal, terapi pengganti tersbut berupa hemodialisa, dialisa (cuci darah) atau
transplantasi ginjal. Dialisis adalah tindakan mdis pemberian terapi pengganti fungsi
ginjal sebagai bagian dari pengobatan pasien gagal ginjal dalam upaya
mempertahankan kualitas hidup yang optimal yang terdiri dari dialisis peritoneal dan
hemodialisa.2,5
Hemodialisa adalah terapi pengganti fungsi ginjal yang menggunakan alat
khusus dengan tujuan mengeluarkan toksis uremik dan mengatur cairan elektrolit
tubuh.4 Pada proses ini darah dipompa keluar tubuh, masuk dalam mesin dialiser. Di
dalam mesin dialiser, darah dibersihkan dari zat racun melalui proses difusi dan ultra
filtrasi oleh dialisat (satuan cairan khusus untuk dialisis), lalu setelah darah selesai
dibersihkan, darah kembalikan dalam tubuh.6
Tindakan hemodialisa merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya
memperpanjang usia penderita gagal ginjal kronik namun, tidak dapat
menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien hanya saja hemodialisa
dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien gagal ginjal kronik. Pasien yang
mengalami gagal ginjal kronik akan menjalani hemodialisa jangka panjang dengan
waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap
hemdialisa dilakukan 2-5 jam di rumah sakit dengan frekuensi 2 kali seminggu.
Hemodialisa idealnya dilakukan 10-15 jam/minggu dengan QB (quick blood) 200-
300 mL/menit.7
Selama tindakan hemodialisa terdapat beberapa komplikasi yang sering terjadi
diantaranya adalah hipotensi, mual dan muntah, demam disertai menggigil, nyeri
dada, gatal-gatal, sindrom ketidakseimbangan dialisis, hipoksemia dan kram otot,
komplikasi tersebut dapat menimbulkan stressor fisiologis pada pasien.2 Selain
mendapatkan stressor fisiologis, pasien yang menjalani terapi hemodialisis juga
mengalami stressor psikologis yang diantaranya adalah pembatasan cairan,
3
masalah yang dialami, dan mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang
dihadapi. Mekanisme koping maladaptif bersifat destruktif menghindari kecemasan
tanpa menyelasaikan konflik. Mekanisme koping maladaptif meliputi menggunakan
alkohol, obat-obatan, melamun dan fantasi serta beralih pada aktivitas lain agar dapat
melupakan masalah.12
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Raden Mattaher Provinsi
Jambi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa didapatkan data
wawancara dari 3 pasien yaitu 2 pasien mempu mengatasi masalah pada penyakitnya
dengan cara yang baik dengan mekanisme koping adaptif, sedangkan 1 pasien
mengatakan kurang mampu mengatasi masalah dan pasien sendiri mengatakan tidak
dapat menahan emosi.
Koping merupakan suatu proses kognitif dan tingkah laku bertujuan untuk
mengurangi perasaan tertekan yang muncul ketika mengahadapi situasi stress.
Berdasarkan hasil penelitian Aldi (2018) yang berjudul mekanisme koping terhadap
kualitas hidup pasien hemodialisis di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang,
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara mekanisme koping dengan kualitas
hidup pasien hemodialisis (p value 0,041 < 0,05) dengan korelasi hubungan yang
lemah (r = 0,299).13
Data dari rekam medik RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi pada tahun 2016
pasien yang mengalami gagal ginjal kronik berjumlah 439 orang, sedangkan pada
tahun 2017 pasien berjumlah 371 orang. Pada tahun 2018 setiap bulannya terjadi
peningkatan jumlah pasien yang menderita gagal ginjal kronik. Data tersebut
termasuk pasien yang tidak menjalani hemodialisa dan menjalani hemodialisa. Data
di ruang hemodialisa RSUD Raden Mattaher tahun 2016, pasien gagal ginjal kronik
yang menajalni hemodialisa berjumlah 131 orang. Pada tahun berikutnya terjadi
penurunan jumlah pasien yang menjalani hemodialisa, yaitu tahun 2017 berjumlah
119 orang sedangkan pada tahun 2018 pasien berjumlah 78 orang.
Berdasarkan masalah tersebut, peneliti merasa perlunya dilakukan penelitian
dengan judul “Hubungan Mekanisme Koping Dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal
5
Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodalisis Di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Matthaer Jambi”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka
pertanyaan penelitiannya adalah : “Apakah terdapat hubungan mekanisme koping
dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di
RSUD Raden Mattaher Jambi”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan mekanisme koping dengan kualitas hidup pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Raden Mattaher Jambi.
1.3.1 Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui gambaran mekanisme koping pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Raden Mattaher Jambi.
2) Untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis di RSUD Raden Mattaher Jambi.
3) Untuk megetahui gambaran karakteristik responden pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis di RSUD Raden Mattaher.
4) Untuk mengetahui hubungan antara mekanisme koping dengan kualitas hidup
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Raden
Mattaher Jambi.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan acuan dan masukkan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit terutama di ruang hemodialisa
RSUD Raden Mattaher Jambi.
1.4.2 Bagi Keperawatan
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Ginjal Kronik
2.1.1 Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal (kidney failure) adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara
akut (kekambuhan) maupun kronis (menahun). Gagal ginjal kronis (chronic kidney
failure) merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevalensi dan
insidensi gagal ginjal yang meningkat dengan prognosis yang buruk dan biaya yang
tinggi.4,5
Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa
bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 60mL/min/1,73
m2 selama minimal 3 bulan.14 Gagal ginjal kronis termasuk silent killer, yaitu
penyakit mematikan yang tidak menunjukkan gejala peringatan sebelumnya,
sebagaimana umumnya yang terjadi pada penyakit berbahaya lainnya. 5 Gagal ginjal
kronik, yaitu ginjal secara progresif kehilangan fungsi nefronnya satu persatu yang
secara bertahap menurunkan keseluruhan fungsi ginjal.1
2.1.2 Etiologi Gagal Ginjal Kronik
Penyebab gagal ginjal pasien hemodialisis baru dari data tahun 2015
diadapatkan sebagai berikut, E1 (Glumerulopati Primer/GNC) 8%, E2 (Nefropati
Diabetika) 22%, E3 (Nefropati Lupus/SLE) 1%, E4 (Penyakit Ginjal Hipertensi)
44%, E5 (Ginjal Polikistik) 1%, E6 (Nefropati Asam urat) 1%, E7 (Nefropati
obstruksi) 5%, E8 (Pielonefritis kronik/PNC) 7%, dan E9 (Lain-lain) 8%, E10 (Tidak
8
Diketahui) 3%.(Data diatas diambil dari 249 Unit). Prosentasi etiologi ini sering
menjadi pertanyaan karena hipertensi masih menjadi penyebab utama di Indonesia.15
nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang diseut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein
akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah lainnya, asupan
protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan
menigkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Beberapa obat
antihipertensi, terutama penghambat Ensim Konverting Angiotensin (ACE
inhibitor) dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal.
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Suplemen besi dan folat atau transfusi sel darah merah untuk
mengatasi anemia. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin
≤10 g% atau hematokrit ≤30%, meliputi evaluasi terhadap status besi,
kapasitas ikat besi total, mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit.
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Osteodistrofi
renal, dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian
hormon kalsitrol. Kalsium karbonat (Caltrate) atau kalsium asetat (Phos-Lo)
untuk mengatasi osteodistrofi renal dengan pengikatan fosfat dan
suplemnetasi kalsium. Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan
asupan fosfat dan pemberian pengikat fosfat. Pembatasan cairan dan elektrolit,
tujuannya untuk mencegah edema dan komplikasi kardiovaskular. Obat-obat
golongan loop diuretics,seperti furosemide (Lasix), untuk mempertahankan
keseimbangan cairan.
5. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5 yaitu pada LFG <15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut berupa
hemodialisis yang merupakan tindakan untuk membuang sampah
metabolisme yang tak bisa dikeluarkan oleh tubuh, seperti adanya ureum di
dalam darah, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
13
2.2 Hemodialisa
2.2.1 Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien
melewati membran semipermeable (dialyzer) kedalam dialist.7 cara yang umum
dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indnesia adalah dengan menggunakan
mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah dipompa
keluar tuuh, masuk kedalam mesin diliser untuk dibersihakan melalui proses difusi
dan ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus dialysis), kemuadian dialirkan kembali
ke dalam tubuh.5
2.2.2 Tujuan Hemodialisa
Tujuan dari terapi hemodialisa antara lain7,20:
1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi eksresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh , seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolism
yang lain
2. Mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah. Aliran darah yang
penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialirkan dari tubuh pasien ke
dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan dikembalikan lagi ke tubuh
pasien.
3. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat
4. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal
5. Menggantikan fungsi ginjal sambal menunggu program pengobatan yang
lain.
2.2.3 Indikasi
Pengobatan dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi melakukan
aktivitas, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya.
Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum >6 mg/100 ml
14
pada pria, 4 mg/100 ml pada wanita dan glomerulo filtration rate (GFR) <4 ml/menit.
Penderita tidak diperbolehkan berbaring terus- menerus atau sakit berat sampai
kegiatan sehari-hari tidak bisa dikerjakan lagi. Secara ideal semua pasien dengan laju
filtrasi glomerulus (LFG) <15 mL/menit, LFG <10 mL/menit dengan gejala uremia/
malnutrisi dan LFG <5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis.
Selain indikasi tersebut disebutkan adanya indikasi khusus yaitu terdapat komplikasi
akut seperti oedema paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropati
diabetik. Hemodialisa dimulai ketika bersihan kreatini menurun dibawah 10
mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatini serum 8-10 mg/dL. Pasien yang
terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga
dianjurkan dilakukan hemodialisa. Pasien yang mengalami gejala-gejala uremia
dengan penurunan kesadaran sangat disarankan untuk melakukan hemodialisis.
Indikasi khusus adalah peikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik dan asidosis yang tidak dapat diatasi.7,15
2.2.4 Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk pasien hemodialisa, namun
kontraindikasi relatifnya antara lain akses vaskular yang sulit, hemodinamik dan
koagulasi yang tidak stabil, malignansi (kecuali multiple myeloma) penyakit
alzheimer, multi-infarct dementia, hepatorenal syndrome, sirosis dengan ensefalopati,
hipotensi yang tidak responsif pada pengobatan, dan sakit jiwa. 15 Kontraindikasi lain
dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit
stadium terminal, dan sindrom otak organic. Tidak didaptkan akses vascular pada
hemodialisa, instabilitas hemodinamik dan koagulasi.7
2.2.5 Cara Kerja Hemodialisa
Mesin hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat),
mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membrane semipermeabel dan
memantau fungsinya termasuk dialisat serta perjalanan darah dari mesin dialyzer.
Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk menarik limbah-limbah tubuh dari
darah. Sementara sebagai buffer umumnya digunakan bikarbonat, karena memiliki
15
risiko lebih kecil untuk menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan buffer natrium.
Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan
pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan
larutan.dalam proses hemodialisa diperlukan mesin hemodialisa dan saringan sebagai
ginjal tiruan yang disebut dializer, yang diguakan untuk menyaring dan
membersihkan darah dari ureum, kreatinin, dan zat-zat sisa metabolism yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskular
sebagai tempat suplai dari sarah yang akan masuk kedalam mesin hemodialisa. Mesin
ginjal buatan atau hemodilisa terdiri dari membran semipermeable yang dibagi
menjadi dua bagian yaitu bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Dialiser
merupakan sebuah capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus
yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini,
dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Selama hemodialisa darah dikeluarkan
dari tubuh melalui sebuah kateter yang masuk kedalam sebuah mesin yang
dihubungkan dengan sebuah membrane semipermeable (dialyzer) yang terdiri dari
dua ruangan. Ruangan pertama dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan
dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi.7,21
Ada tiga prinsip yang mendasari cara kerja hemodialisa, yaitu; a) Proses difusi
adalah proses berpindahnya zat terlarut ke dialisat karena adanya perbedaan kadar di
dalam darah. b) Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga
kimiawi yaitu perbedaan osmosilitas dan dialisat. c) Proses ultrafiltrasi adalah proses
berpindahnya zat terlarut dan air karena perbedaan hidrostatik di dalam darah dan
dialisat. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodialyzer modern dilengakpi
dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter. Waktu atau
lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemdialisa
dilakukan 4-5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan
10-15 jam/meninggu dengan QB 200-300 mL/menit.7,22
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC, Hall JE. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed.
Jakarta; 2007.
2. Suwitra K. Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo aru w.,
K marcellus simadibrata, Setyahadi B, Syam ari fahrial, editors. Penyakit Ginjal
Kronik. 6th ed. Jakarta; 2014. p. 2161.
3. RISKESDAS. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI [Internet]. 2018 [cited 2019 Jan 29]. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/materi_rakorpop_2018/
Hasil Riskesdas 2018.pdf
4. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyakit Ginjal Kronis [Internet].
infoDATIN. Jakarta; 2017 [cited 2019 Jan 14]. Available from:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/
infodatin ginjal 2017.pdf
5. Alam S, Hadibroto I. Gagal Ginjal. Jakarta; 2007. 55 p.
6. J C. Gagal Ginjal Tips Cerdas Mengenali & Mencegah Gagal Ginjal. Yogyakarta:
DAFA Publishing; 2010.
7. Nuari NA, Widayanti D. Gangguan Pada Sistem Perkemihan & Penatalaksanaan
Keperawatan. 1st ed. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hemodialisa.
Yogyakara; 2017.
8. WHO. Management of substance abuse: WHO Quality of Life-BREF
(WHOQOL-BREF). [Internet]. World Health Organization. 2016 [cited 2019 Jan
16]. Available from: http://www/who.int
9. Dewi SP. Hubungan Lamanya Hemodialisa dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal
Ginjal di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2015;1–11.
10. Smeltzer SC, Bare BG. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah Brunner &
20