Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ginjal merupakan suatu organ yang memiliki fungsi dalam mengontrol


keseimbangan asam – basa, mengatur tekanan darah, mengontrol sekresi,
mengeluarkan sisa metabolisme racun dan kelebihan air[CITATION Chr18 \l
1033 ]. Ketika ginjal tidak menjalankan fungsinya maka akan terjadi
kerusakan pada ginjal. Ketika ginjal mengalami kerusakan akan
mengakibatkan suatu penyakit yang tidak menular namun berbahaya.
Penyakit tidak menular saat ini sudah menjadi persoalan dunia. Hal itu
terjadi karena dapat membuat seseorang mengalami kecacatan bahkan
kematian. Salah satu penyakit yang tidak menular yaitu gagal ginjal
kronik. Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan dimana fungsi ginjal
tidak dapat bekerja dengan baik, sehingga untuk menjaga homeostatis
tetap seimbang diperlukan dialysis (cuci darah) atau dengan transplantasi
ginjal [CITATION Par15 \l 1033 ].

Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) menetapkan hemodialisa


gagal ginjal kronik dilakukan setiap 2 – 3 kali seminggu dalam waktu 4 –
5 jam [CITATION Sof16 \l 1033 ]. Sampai sejauh ini, hemodialisa belum bisa
menyembuhkan secara total orang dengan gagal ginjal kronik namun dapat
mengurangi terjadinya kematian. Penyakit gagal ginjal kronik merupakan
penyakit degenerative yang berbahaya dan setiap tahun penyakit gagal
ginjal kronik akan terus bertambah.

Hasil data Riset Kesehatan Daerah (RISKESDAS) (2013) penderita gagal


ginjal kronik di Indonesia memiliki nilai prevalensi 0,2% yang mengalami
kematian sekitar 50 – 65%. Pada tahun 2018 Riskesdas menyatakan

Universitas Faletehan
2

penyakit gagal ginjal naik signifikan menjadi 3,8%. Prevalensi penyakit


gagal ginjal kronik tertinggi terdapat di Kalimantan Utara dengan jumlah
6,4%. Daerah Banten jumlah prevalensi sebesar 2.0%. Pada karakteristik
usia, prevalensi tertinggi terdapat pada usia 65 – 74 tahun dengan hasil
8,23% dimana terjadinya peningkatan yang signifikan diusia 24 tahun
keatas.

Gagal ginjal kronik saat ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya
penyakit degenerative. Data RISKESDAS menyebutkan penyebab
tersering terjadinya gagal ginjal kronik yaitu diabetes mealitus dengan
jumlah rata – rata 52%, disusul dengan hipertensi dengan jumlah rata –
rata 30 %. Penyebab lain yang mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
kronik yaitu infeksi terutama infeksi pada saluran kemih, radang ginjal
serta trauma dibagian abdomen sampai genitalia [CITATION Ast17 \l 1033 ].
Penyebab lainnya terjadi karena gaya hidup. Gaya hidup dijaman modern
saat ini sudah semakin buruk sehingga orang dewasa bahkan usia yang
masih muda pun beresiko terjadinya penyakit gagal ginjal kronik. Gaya
hidup yang buruk terdiri dari mengonsumsi makanan cepat saji, stres,
berlebihan dalam duduk dan kurangnya pergerakkan pada saat duduk,
mengonsumsi kafein secara berlebihan, dan kurangnya mengonsumsi air
putih [CITATION Edr16 \l 1033 ]

Gagal ginjal kronik yang tidak diatasi dengan baik akan menimbulkan
dampak atau komplikasi. Dampak yang timbul pada orang dengan gagal
ginjal kronik berupa dampak biologis, psikologis, sosial, spiritual dan
ekonomi. Dampak biologis yang terjadi jika tidak melakukan pengontrolan
rutin yaitu hipervolemia atau kelebihan volume cairan, terjadinya edema,
hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri dari jantung [CITATION Chr18 \l 1033 ].
Selain itu dampak yang terjadi pada penderita bisa terkena penurunan
fungsi fisik seperti kram otot, gatal didaerah tubuh dan anemia [CITATION
Sad19 \l 1033 ].

Universitas Faletehan
3

Dampak lain yang terkena selain biologis yaitu dampak psikologis. Pasien
gagal ginjal kronik sering mengalami stress dikarenakan harus melakukan
diet cairan, diet pola makan, gangguan tidur, dan ketidakjelasan terhadap
kehidupannya dimasa depan. Dampak lain yang terjadi yaitu kehidupan
sosial. Dampak sosial yang terjadi biasanya mengalami kurangnya
aktivitas rekreasi, turunnya kehidupan sosial dikarenakan lamanya faktor
dialisis, terbatasnya waktu dan tempat kerja. Dampak dari gagal ginjal
kronik pun terjadi diekonomi. Dampak ekonomi terjadi karena biaya
hemodialisa yang tidak sedikit sedangkan orang dengan gagal ginjal
kronik tidak bisa lepas dari hemodialisa [CITATION Edr16 \l 1033 ]. Dampak
spiritual juga akan mengalami penurunan seperti keputus asaan pada
kesembuhannya dan terjadinya perubahan pada pola ibadahnya [CITATION
Ris19 \l 1033 ]. Sehingga kualitas hidup dapat mengalami penurunan
dikarenakan dampak yang terjadi pada orang dengan gagal ginjal kronik

Dalam meningkatkan kesehatan yang efektif, diperlukan pertanggung


jawaban pada dirinya sendiri dan mengatur dirinya sendiri untuk
menghadapi penyakitnya. Salah satu cara yaitu dengan tekhnik self
management. Self management merupakan suatu konsep yang merubah
seseorang untuk beradaptasi dengan keadaanya sehingga dapat mengubah
kebiasaan individu tersebut. Tujuan dari self management yaitu untuk
mengubah suatu kebiasaan yang dilakukan seseorang yang dapat
memengaruhi kesehatannya dan belajar untuk beradaptasi dengan sesuatu
yang baru untuk menjaga kesehatannya [CITATION Edr16 \l 1033 ]. Self
management yang dapat dilakukan perawat pada pasien bisa dengan
pembatasan cairan, pengaturan diet, pengobatan dan perawatan akses
vaskular [CITATION Sad19 \l 1033 ]. Program self management memiliki
efek merubah perilaku progresivitas dan kematian pada penyakit gagal
ginjal kronik tahap akhir [CITATION Chr18 \l 1033 ].

Self management memiliki faktor yang berkaitan dengan faktor demografi


yaitu usia, jenis kelamin, Pendidikan dan pekerjaan. Menurut penelitian

Universitas Faletehan
4

Crisyen (2018) yang mengatakan sebagian besar self management akan


lebih baik pada rentang usia 46 – 55 tahun, terutama yang berjenis kelamin
laki – laki dan berpendidikan tinggi. Hal tersebut terjadi karena semakin
bertambah umur maka self management semakin baik karena orang
dengan usia tua lebih mengontrol dirinya sendiri menjadi lebih baik untuk
mendapatkan kualitas hidup yang sejahtera dimasa tua dibandingkan
dengan orang usia muda yang masih berpikir hidupnya masih panjang.
Selain itu self management pada pria lebih buruk dibandingkan
perempuan. Hal itu terjadi karena laki – laki tidak bisa mengontrol dirinya
sedangkan perempuan lebih mengikuti saran yang baik dari dokter atau
orang yang dianggap benar guna menjaga dirinya sendiri. Self
management juga dipengaruhi oleh Pendidikan karena Pendidikan yang
tinggi lebih memahami dan mengatur dirinya sendiri dalam membatasi
cairan dan pola makan. Penelitian tersebut berbanding terbalik dengan
penelitian Tina (2013) yang mengatakan tidak ada kaitan self management
dengan faktor demografi. Hal ini dikarenakan kecemasan dan nilai – nilai
yang dianut orang dengan gagal ginjal kronik menjadi faktor dari
meningkat atau menurunnya self management. Cemas yang berlebihan
dapat memperburuk kondisi fisik dan psikososialnya yang mengakibatkan
seseorang tidak bisa mengarahkan, mengatur dan mengontrol dirinya
sendiri.

Menurut penelitian Edriyano (2016) mengatakan bahwa self management


dengan kualitas hidup memiliki hubungan yang signifikan dikarenakan
self management dapat mengubah kebiasaan dalam mengubah kebiasaan
seseorang dalam mengatasi masalah agar kualitas hidupnya menjadi lebih
baik. Penelitian ini diperkuat dengan penelitian Sofiana (2016) yang
mengatakan ada pengaruh self care management terhadap kualitas hidup
orang dengan gagal ginjal kronik. Penelitian Sadaukur (2019) mengatakan
hal yang sama yaitu ada hubungan antara pengetahuan self care
management dengan kualitas hidup orang dengan gagal ginjal kronik. Pada
penelitian Mulhayati (2018) mengenai efektivitas management CKD

Universitas Faletehan
5

terhadap kenaikan kadar ureum, kreatinin, albumin pre Hemodialisa dan


kenaikan berat badan intedialitik diruang hemodialisa Rumah Sakir Dr.
Drajat Prawiranegara Serang tahun 2017, mengatakan bahwa self
management pre intervensi memiliki pengaruh terhadap kadar ureum,
kreatinin, albumin pre hemodialisa dan kenaikan berat badan intedialitik,
sedangkan self management pre control tidak ada pengaruh terhadap kadar
ureum, kreatinin, albumin pre hemodialisa dan kenaikan berat badan
intedialitik. Penelitian tersebut berbanding terbalik dengan penelitian Mei
(2016) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan
terhadap kualitas hidup fisik orang dengan gagal ginjal kronik dengan self
management.

Dari hasil wawancara dengan Ketua Ruangan pada tanggal 20 Maret 2020
di Instalasi Hemodialisa Rumah Sakit Dr. Drajat Prawiranegara Serang
didapatkan hasil jumlah perawat di Instalasi Hemodialisa sebanyak 13
orang. Ketetapan hemodialisa di Rumah sakit Drajat Prawiranegara Serang
sebanyak 2 kali dalam seminggu tergantung dengan kondisi pasien.
Jumlah pasien dibulan Maret sekitar 151 orang dengan jumlah pasien pada
tanggal 20 Maret 2020 sekitar 24 orang. Saat dikaji hanya 11 orang yang
bersedia diwawancarai sisanya 12 orang mengatakan pusing dan ingin
tidur, 1 orang kesadarannya menurun. Saat dikaji terkait manajemen cairan
dan diet makanan 2 orang mengatakan rutin untuk minum air putih sesuai
dengan anjuran dokter dalam membatasi cairan dan diet pola makan, 9
orang mengatakan sering melanggar pantangan yang sudah dianjurkan
dokter dengan mengonsumsi teh manis, minuman berasa, makan mie
instan dan makanan manis karena merasa bosan dengan anjuran dokter.
Saat dikaji terkait pengobatan 11 orang mengatakan rutin meminum obat
yang sudah diresepkan dokter dan rutin melakukan hemodialisa setiap 2
kali dalam seminggu.

Dari latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian


terkait gambaran self management pasien gagal ginjal kronik di instalasi

Universitas Faletehan
6

Hemodialisa Rumah Sakit Dr. Drajat Prawiranegara Serang. hal itu


dikarenakan peneliti ingin mengetahui apakah ada gambaran self
management pasien gagal ginjal kronik di instalasi hemodialisa Rumah
Sakit Dr. Drajat Prawiranegara Serang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang diatas bahwa, diambil sebuah rumusan


masalah yaitu apakah terdapat gambaran self management pasien gagal
ginjal kronis yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Dr. Drajat
Prawiranega Serang Banten.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum
Mendeskripsikan gambaran self management pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Dr. Drajat
Prawiranegara Serang Banten.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi mahasiswa
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk menambah
ilmu baru dan sebagai refrensi self management pada pasien yang
menjalani hemodialisa

2. Bagi RS Dr. Drajat Prawiranegara Serang


Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan mengevaluasi
kualitas hidup CKD serta data dasar untuk membuat rencana tentang

Universitas Faletehan
7

penyuluhan yang berkaitan dengan kualitas hidup pasien CKD yang


menjalani hemodialisa

3. Bagi peneliti selanjutnya


Hasil penelitian ini dijadikan sebagai wawasan dan ilmu baru dalam
memberikan informasi kepada pasien CKD, yang berkaitan dengan
kualitas hidup dengan terapi hemodialisa yang harus dilakukan oleh
pasien CKD, sehingga pasien CKD dapat melakukan terapi
hemodialisa dengan benar sesuai aturan yang berlaku.

E. Ruang Lingkup penelitian


Penelitian ini meneliti tentang gambaran self management pasien gagal
ginjal kronik di instalasi Hemodialisa Rumah Sakit Dr. Drajat
Prawiranegara. Populasi penelitian ini adalah pasien CKD yang menjalani
hemodialisa. Penelitian ini dilakukan 20 Maret 2020 dan dilakukan di
Rumah Sakit Dr. Drajat Prawiranegara Serang. Penelitian ini dilakukan
karena untuk mengetahui gambaran self management pasien gagal ginjal
kronik di Rumah Sakit Dr. Drajat Prawiranegara Serang. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan analitik kualitatif dengan menggunakan
tekhnik data primer wawancara.

Universitas Faletehan
8

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Self-Management

1. Definisi Manajemen
Manajemen adalah bekerja dengan dan melalui individu dan kelompok
untuk mencapai tujuan. Manajemen juga dapat diartikan sebagai ilmu
dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan
sumber – sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai
suatu tujuan [CITATION DrA16 \l 1033 ]. Manajemen merupakan proses,
yang dimaksud proses karena didalamnya terdapat kegiatan yang harus
dilakukan. Manajemen juga diartikan sebagai proses perencanaa,
pengorganisasian dan penggunaan sumber daya organisasi lain agar
mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan [CITATION Sem16 \l
1033 ]. Jadi, dapat disimpulkan management adalah suatu tindakan
yang dilakukan individu Bersama dengan individu lainnya yang telah
dirancang guna mencapai tujuan Bersama untuk mencapai sesuatu.

2. Definisi Self Management


Self management atau pengolaan diri merupakan suatu cara untuk
mengubah perilaku seseorang yang tujuannya untuk mengarahkan
sikap seseorang dengan suatu cara atau kombinasi tekhnik terapeutik.
Self management biasanya melibatkan pemantauan diri, sumber
kekuatan yang positif, bentuk perjanjian dengan diri sendiri,
menguasai dalam suatu rangsangan. Self management diartikan juga
sebagai suatu proses dimana seseorang mengarahkan dirinya sendiri

Universitas Faletehan
9

untuk menggubah perilaku baik dengan tekhnik satu strategi maupun


strategi gabungan. Untuk itu self management memerlukan kesadaran
atau keterampilan dalam megatur keadaan disekitarnya yang dapat
mempengaruhi perilaku.

Self management merupakan suatu usaha yang dilakukan seseorang


untuk melakukan perencanaan, memusatkan perhatian, dan evaluasi
terhadap kegiatan yang dilakukan. Di dalam self management sendiri
terdapat kekuata psikologis yang akan memberi arah pada seseorang
untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihannya serta
menetapkan cara yang efektif untuk mencapai suatu tujuan. Self
management sendiri melibatkan perilaku pengendali dan perilaku
terkendali. Perilaku pengendali biasanya melibatkan penerapan strategi
pengolahan diri dimana masa lalu seseorang dengan konsekuensi dari
perilaku target maupun perilaku alternative yang akan dimodifikasi.
Maksudnya yaitu self management akan terjadi saat seseorang
melibatkan satu perilaku dan mengendalikan perilaku lainnya untuk
menjaga dirinya sendiri dikemudian hari.

Self management sering disebut oleh psikolog yaitu regulasi diri (self
regulation) yang diartikan sebagai suatu proses dalam suatu organisasi
dimana berusaha keras mengontorol sikap individu itu sendiri dengan
maksud untuk menggapai tujuan utama seseorang. Aspek utama dari
regulasi diri yaitu mendapatkan umpan balik dari usaha seseorang
dalam mendapatkan tujuannya. Untuk mendapatkan tujuan yang
diharapkan, kita harus terbuka terhadap berita buruk yang akan muncul
dikemudian hari.

Self management merupakan serangkaian cara guna mengubah sikap,


perasaan, dan pola piker. Self management merupakan serangkaian
pendirian atau cara yang meliputi pemantauan diri (self monitoring),
reinforcement yang tepat (self reward), perjanjian dengan diri sendiri

Universitas Faletehan
10

(self contracting), penguasaan terhadap rangsangan (stimulus control),


dan memiliki keterkaitan antara tekhnik cognitive, behavior serta
affective. Jadi dari uraian pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
self management adalah suatu proses yang dilakukan seseorang dalam
mengatur dirinya sendiri yang berguna menjaga dirinya untuk tetap
pada pendiriannya [CITATION Ins16 \l 1033 ].

3. Aspek Self Management


Aspek self management menurut Suwanto 2016) yaitu :
a. Kesehatan
Kondisi fisik dan psikis dapat mempengaruhi seseorang dalam
mengarahkan aktifitas kehidupan. Kesehatan fisik menjadi modal
utama untuk melakukan aktifitas, sedangkan kesehatan psikis
menciptakan kondisi mental yang stabil. Kondisi kesehatan
individu yang baik akan menciptakan keseimbangan dalam diri
individu yang bersangkutan. Hal ini mempermudah individu dalam
melakukan manajemen diri.

b. Keterampilan atau Keahlian


Keterampilan yang dimiliki menggambarkan kualitas individu, ada
berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan.
Seberapa jauh kesadaran individu akan hal ini akan menentukan
seberapa jauh individu menyusun rencana untuk kehidupannya.

c. Aktivitas
Seberapa jauh individu mampu menyelesaikan aktivitas hidup
dengan baik, contoh kemampuan dalam membuat keputusan dan
mengambil inisiatif. Individu yang mampu mengembangkan
aktivitas hidup dengan baik adalah individu yang memiliki
kepekaan terhadap berbagai alternative dan cara pandang serta
memiliki imajinasi moral yang tinggi sehingga ketika mengambil

Universitas Faletehan
11

keputusan seseorang mempertimbangkan dua hal sekaligus yaitu


manfaat baginya dan orang lain.

d. Identitas
Seberapa jauh pengetahuan, pemahaman, dan penilaian individu
terhadap diri akan mempengaruhi cara individu itu bertindak.
Pengetahuan tentang identitas diri merupakan kunci manajemen
diri. Pemahaman dimulai dari tahap kesadaran individu akan
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Selanjutnya individu
menjadi kreatif dan dapat mengelola sesuatu yang baik dalam
situasi dan tantangan yang baru.

4. Tujuan Self Management


Menurut Suwanto (2016) tujuan dari self management yaitu sebagai
bentuk perkembangan sikap yang lebih adaptif dari konseling. Selain
itu tujuan dari self management yaitu membantu seseorang untuk
menyelesaikan masalahnya. Selain itu adapun 7 konsep dari self
management diantaranya yaitu :
a.) Proses mengubah perilaku dengan satu atau lebih strategi dengan
mengalah tingkah laku internal dan eksternal seseorang
b.) Penerimaan seseorang terhadap program perubahan perilaku
menjadi syarat yang mendasar untuk menumbuhkan motivasi
seseorang
c.) Partisipasi seseorang untuk menjadi agen perubahan menjadi hal
yang penting.
d.) Generalisa namun tetap mempertahankan nilai dengan mendorong
seseorang untuk bertanggung jawab menjalankan strategi dalam
kehidupan sehari – hari.
e.) Perubahan bisa dihadirkan dengan mengajarkan kepada seseorang
mengenai mengatasi sebuah masalah.
f.) Supaya individu tersebut dapat teliti, dapat menempatkan diri
dalam situasi yang menghambat tingkah laku yang akan mereka

Universitas Faletehan
12

hilangkan dan belajar mencegah timbulnya sikap atau masalah


yang tidak dikehendaki.
g.) Seseorang dapat mengelola pikiran, perasaan, dan sikap mereka
sehingga mendorong pada pengindraan pada sesuatu yang tidak
baik.
B. Gagal Ginjal Kronik

1. Definisi Gagal Ginjal Kronik


Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan
fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irrevisible. Dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal ginjal kronis
adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi renal
yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut. Hal ini
terjadi bila laju filtrasi glomerator kurang dari 50 ml/menit. Penyakit
gagal ginjal kronik dapat diartikan sebagai penyakit ginjal yang tidak
dapat pulih ditandai dengan penurunan fungsi ginjal progresif,
mengarah pada penyakit ginjal tahap akhir dan kematian [CITATION
JLa16 \l 1033 ].

Penyakit gagal ginjal kronik (PGK, Chronic Kidney Disease) adalah


suatu keadaan yang terjadi karena proses patologi yang bermacam –
macam serta keterikatan dengan kelainan fungsi ginjal serta penurunan
progresif laju filtrasi glomerulus (LFG). Istilah dari gagal ginjal kronik
berlaku pada perjalanan dari berkurangkangnya jumlah nefron yang
terus menerus dan biasanya terjadi pada PGK stadium 3 – 5. Penyakit
gagal ginjal kronik stadium akhir (end stage renal disease)
mencerminkan dari stadium PGK. Pada stadium ini terjadi
penumpukan toksin, cairan, dan elektorit yang seharusnya dikeluarkan
melalui ginjal namun tidak dapat keluar dengan baik sehingga
menyebabkan sindrom uremik. Sindrom ini menyebabkan kematian

Universitas Faletehan
13

kecuali jika toksik dikeluarkan melalui terapi sulih ginjal (renal


replacement therapy), dengan cara dialysis atau tranplantasi ginjal
[CITATION JLa16 \l 1033 ].

2. Penyebab Gagal Ginjal Kronik


Menurit Kemenkes (2017) penyebab terjadinya gagal ginjal kronik
antara lain sebagai berikut :
a.) Diabetes mealitus
b.) Hipertensi
c.) Glomerulonefritis kronik
d.) Nefritis intertsisial kronik
e.) Penyakit ginjal polikistik
f.) Obstruksi atau infeksi saluran kemih
g.) Obesitas
h.) Tidak diketahui penyebabnya.

3. Etiologi dan Epidemiologi Gagal Ginjal Kronik


Diperkirakan dari data survei populasi bahwa populasi paling sedikit
terjadi pada usia dewasa 6% di Amerika Serikat yang mengidap gagal
ginjal kronik stadium 1 dan 2. Sisanya mereka mengalami penyakit
gagal ginjal yang paling berat. Sebanyak 4,5% dari populasi Amerika
Serikat diperkirakan mengidap PGK stadium 3 dan 4. Kasus tersering
pada gagal ginjal kronik yaitu nefropati diabetikum, terutama
disebabkan oleh diabetes mealitus 2. Sedangkan pada usia lanjut
penyebab terjadinya penyakit gagal ginjal kronik adalah nefroti
hipertensif dikarenakan iskemia kronik pada ginjal akibat dari penyakit
renovaskuler yaitu terjadinya aliran bersamaan dipembuluh darah kecil
dan besar dan tanpa disadari oleh beberapa penderita.

Selain itu ada juga penyebab lain yaitu nefrosklerosis progresif akibat
penyakit vaskuler yang menyebabkan jantung coroner dan penyakit
serebrovaskuler. Kejadian gagal ginjal kronik pada usia lanjut yang

Universitas Faletehan
14

menyebabkan mortalitas yaitu penyakit vaskuler ateroklerosis


dijantung dan otak. Sehingga semakin banyak populasi yang
memperlihatkan komponen ginjal pada penyakit vaskuler.
Bagaimanapun perlu disadari sebagian besar orang yang mengidap
penyakit gagal ginjal stadium awal, khususnya yang disebabkan oleh
vaskuler akan meninggal akibat konsekuensi kardiovaskuler dan
serebrovaskuler sebelum mereka mencapai stadium akhir penyakit
gagal ginjal kronik.

4. Stadium Gagal Ginjal Kronik


Faktor – faktor yang meningkatkan risiko penyakit gagal ginjal kronik
perlu diidentifikasi, bahkan pada orang yang LFG normal. Faktor
resiko yang terjadi yaitu mencakup hipertensi, diabetes mealitus,
penyakit autoimun, usia lanjut, keturunan Afrika, riwayat penyakit
ginjal dalam keluarga, riwayat gagal ginjal akut, dan adanya
proteinuria, kelainan sedimen urin, atau kelainan structural saluran
kemih. Untuk menentukan stadium gagal ginjal kronik, LFG perlu
diteliti dengan baik.berikut adalah klasifikasi dari gagal ginjal kronik

Tabel 2.1
Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik


Stadium LFG mL/menit per 1,73 m²
0 >90ª
1 ≥90ᵇ
2 60 – 89
3 30 – 59
4 15 – 29
5 <15

5. Tanda dan Gejala Gagal Ginjal Kronik


Manifestasi klinik menurut Nian (2017) yaitu sebagai berikut :
a.) Gangguan kardiovaskulet

Universitas Faletehan
15

Hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas akibat dari pericarditis, efusi
perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan
irama jantung dan edema.
b.) Gangguan pulmonal
Nafas dangkal, batuk dengan sputum kental dan riak.
c.) Gangguan musculoskeletal
Resiles leg syndrome (pegal pada kaki sehingga selalu digerakkan),
burning feet syndrome (rasa kesemutan dan terbakar terutama
ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot –
otot ekstremitas).
d.) Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan
metabolism protein dalam usus, pendarahan saluran cerna
gastrointestinal, ulserasi dan pendarahan mulut, nafas bau
ammonia.
e.) Gangguan integument
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan
akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis
dan rapuh.
f.) Gangguan endokrin
Gangguan genitalia : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore, gangguan metabolik glukosa, gangguan
metabolik lemak dan vitamin D.
g.) Gangguan cairan dan elektrolit dan keseimbangan asam basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan
natrium dan dehidrasi, asidosis, hyperkalemia, hipomagnesimia,
dan hipokalsemia.
h.) Sistem hematologi
Anemia yang disebabkan kurangnya produksi eritopoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang. Hemolysis
akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia

Universitas Faletehan
16

toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi thrombosis dan


trombositopenia.

Sedangkan menurut Larry (2016) pada stadium 1 dan 2 penyakit gagal


ginjal kronik biasanya tidak memperlihatkan gejala apapun yang
berkaitan dengan penurunan LFG. Namun, mungkin terdapat gejala
yang ditimbulkan oleh penyakit ginjal yang mendasari itu sendiri.
Misalnya edema pada pasien dengan sindrom nefrotik atau tanda –
tanda hipertensi akkibat penyakit parenkim ginjal pada pasien dengan
penyakit ginjal polkistik, beberapa bentuk glomerulonephritis, dan
banyak penyakit parenkim atau vaskuler ginjal lainnya bahkan dengan
LFG yang masih normal. Jika penurunan LFG berlanjut hingga
stadium 3 dan 4 maka gejala klinis dan laboratorium penyakit gagal
ginjal menjadi lebih nyata. Hampir semua sistem organ terkena, tetapi
hambatan yang paling jelas adalah anemia dan mudah lelah, penurunan
nafsu makan disertai dengan malnutrisi progresif, kelainan hormon
pengatur mineral, kalsium dan fosfor, serta kelainan dalam homeostatis
natrium, kalium, air dam asam – basa. Jika pasien berkembang
menjadi gagal ginjal kronik stadium 5. Maka terjadi akumulasi toksin
sehingga pasien biasanya mengalami gangguan berat dalam aktivitas
sehari – hari, kenyamanan, status gizi, serta homeostatis air dan
elektrolit yang kemudian berakhir dengan sindrom uremik.

6. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik


Patofisiologi penyakit gagal ginjal mencakup mekanisme kerusakan
yang luas yaitu, mekanisme pemicu yang spesifik untuk etiologi yang
mendasari (misalnya kompleks imun dan mediator inflamasi pada jenis
– jenis tertentu seperti glomerulonephritis atau pajanan terhadap toksin
pada penyakit tertentu yang mengenai tubulus dan interstisium),
serangkaian mekanisme progresif yang melibatkan hiperfiltrasi dan
hipertrofi nefron yang masih hidup, yang merupakan konsekuensinya
umum setelah berkurangnya massa ginjal dalam jangka Panjang,

Universitas Faletehan
17

apapun etiologi yang mendasarinya. Respons terhadap jumlah nefron


ini diperatarai oleh hormon vasoaktif, sitokin dan faktor pertumbuhan.
Akhirnya berbagai adaptasi jangka pendek berupa hiperfiltrasi dan
hipertropi ini menjadi maladaptive karena peningkatan tekanan dan
aliiran mempermudah terjadinya sklerosis dan lenyapnya nefron yang
tersisa. Meningkatnya aktivitas intrarenal sumbu renin – angiotensin
tampaknyanya ikut berperan baik dalam maladaptive tahap berikutnya,
yang terakhir berkaitan dengan stimulus transforming growth factor ᵦ
(TGF - ᵦ). Proses ini menjelaskan mengapa berkurangnya massa ginjal
akibat satu cedera yang mengakibatkan penurunan progresif fungsi
ginjal bertahun – tahun kemudian.

7. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik


Komplikasi gagal ginjal kronik yang memerlukan pendekatan
kolaborasi dalam perawatan yaitu :
a. Hyperkalemia, akibat penurunan ekskresi, katabolisme, asupat diet
berlebih
b. Perikarditis, efusi perikardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah berlebihan dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin – angiotension – abdomen.
d. Anemia akibat penurunan eritropoenin, penurunan rentang usia sel
darah merah, pendarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin,
dan kehilangan darah selama hemodialisis.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metastasik akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang
abnormal, dan peningkatan kadar alumunium.

Komplikasi dapat dicegah dengan pemberian obat antihipertensif,


eritopotein, suplemen besi, agen pengikat fosfat dan suplemen
kalsium. Selain itu pola makan pasien harus dijaga. Berikut ini pola
makan yang harus dijaga pasien gagal ginjal diantaranya yaitu :

Universitas Faletehan
18

a. Asupan kalori harus ditentukan pada tingkat yang bisa mencegah


pemecahan protein untuk memenuhi kebutuhan energi. Jika energi
dari makanan yang dikonsumsi tidak cukup, tubuh cenderung akan
menggunakan simpanan protein dalam otot untuk menghasilkan
energi.
b. Asupan kalori dianjurkan sebesar 30 – 35 kal/kg BB/hari.
c. Pembatasan protein dilakukan berdasarkan berat badan, derajat
insufisiensi renal, dan tipe dialysis yang akan dijalani. Ketimbang
protein nabati yang nilai biologisnya lebih rendah, maka
penggunaan sumber protein hewani dengan nilai biologis yang
tinggi seperti telur, daging, ikan, dan ayam.
d. Kenaikan kadar serum magnesium, kalium dan fosfat umumnya
terjadi. Jika hal ini terjadi, bahan makanan yang kaya akan
elektrolit tersebut perlu dihindari seperti pisang, kacang hijau, air
kelapa muda karena makanan tersebut banyak mengandung
kalium.
e. Pasien gagal ginjal yang mendapat terapi antacid tidak boleh
menggunakan antacid yang mengandung magnesium.
f. Pembatasan garam sampai 3 gram/hari.
g. Asupan fosfor dari makanan akan menurun dengan diet rendah
protein sehingga cukup efetif untuk mengendalikan keadaan
hiperfosfatemia. Pemberian suplemen asupan kalsium karbonat
dapat dilakukan dokter bila dirasakan perlu untuk membantu
mengurangi asupan fosfor namun menambah asupan kalsium.
h. Suplemen vitamin D₃ asam folat B₆ (untuk pembentukan sel darah
merah) dapat diresepkan oleh dokter. Pemberian vitamin A tidak
dianjurkan pada penyakit gagal ginjal stadium terminal karena
toksisitas yang dilaporkan. Sementara itu, suplemen vitamin C
tidak boleh lebih dari 100 mg karena kendati penting untuk
penyerapan zat besi (mencegah anemia), pembentukan kolagen dan
antibodi, vitamin C juga akan membantu pembentukan oksalat.

Universitas Faletehan
19

8. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik


Tujuan utama penatalaksanaan pasien gagal ginjal kronik adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa dan homeostatis tubuh
selama mungkin, serta mencegah atau mengobati komplikasi. Terapi
konservatif tidak dapat mengobati penyakit gagal ginjal kronik namun
dapat memperlambat progress dari penyakit ini karena yang
dibutuhkan adalah terapi pengganti ginjal dengan dialysis atau
transplantasi ginjal. Lima sasaran dalam manajemen gagal ginjal
kronik meliputi :
a. Memelihara fungsi ginjal dan menunda dialysis dengan cara
mengontrol proses penyakit melalui control tekanan darah (diet,
control berat badan dan obat – obatan), dan mengurangi intake
protein (pembatasan protein, menjaga intake protein sehari – hari
dengan intake biologic tinggi <50 gr), dan katabolisme
(menyediakan kalori non protein yang adekuat untuk mencegah
atau mengurangi katabolisme).
b. Mengurangi manifestasi ekstra renal seperti pruritus, neuroligik,
perubahan hematologi, penyakit kardiovaskuler.
c. Meningkatkan kimiawi tubuh dengan dialysis, diet, dan obat –
obatan.
d. Mempromosikan kualitas hidup pasien dan anggota keluarga.

Terapi hemodialisa merupakan prosedur penyelamatan jiwa yang


mahal dan tidak asing lagi bagi gagal ginjal kronik karena paling
sering dijalani. Terapi ini merupakan suatu tekhnologi tinggi dalam
terapi pengganti ginjal untuk mengeluarkan zat – zat sisa metabolisme
dan zat - zat toksik dalam tubuh melalui membrane semi permiabel
sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada dialyzer melalui proses
difusi, osmosis, atau ultrafiltrate. Terapi gagal ginjal kronik secara
lebih lanjut dapat dilihat dari patofisiologi gagal ginjal kronik.

Universitas Faletehan
20

Indikasi dilakukan dialysis ada dua yakni indikasi klinis dan indikasi
biokimiawi. Yang termasuk dalam indikasi klinis yaitu sindrom
uremik berat (muntah hebat, kejang, dan kesadaran menurun),
overhidrasi yang tidak bisa diatasi dengan obat diuretic, dan edema
paru akut yang tidak bisa diatasi dengan cara lain. Sedangkan indikasi
biokimiawi meliputi ureum plasma lebih atau sama dengan 150 mg%,
kreatinin sama atau lebih dari 10mg%, dan bikarbonat plasma kurang
atau sama dengan 12 meq/L.

Masalah yang sering muncul saat pasien menjalani hemodialisa adalah


instabilitas kardiovaskuler selama dialysis dan sulitnya mendapatkan
akses vaskuler. Terdapat lima cara akses sirkulasi darah pasien untuk
hemodialisa yakni fistula arteriovena, graft arteriovena, shunt (pirai
arteriovena) eksternal, kateterisasi vena femoralis, kateterisasi vena
subklavia [ CITATION JLa16 \l 1033 ].

C. Hemodialisa

1. Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa merupakan salah satu therapy yang dilakukan oleh
penderita gagal ginjal kronik. Hemodialisa mengandalkan prinsip
difusi zat terlarut menembus membrane semipermeable. Pindahnya
suatu zat sisa metabolic berlangsung mengikuti penurunan kemiringan
konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisat. Laju transport difusi
meningkat sebagai respons terhadap beberapa faktor, termasuk besar
kemiringan konsentrasi, luas permukaan membrane, dan koefisien
transfer massa membrane. Yang terakhir ini adalah fungsi porositas
dan ketebalan membrane, ukuran molekul zat pelarut, dan kondisi
aliran di kedua sisi membrane. Menurut hokum difusi, semakin besar

Universitas Faletehan
21

molekul, semakin lambat laju pemindahan menembus membrane


[CITATION JLa16 \l 1033 ].

2. Dialyzer
Terdapat tiga komponen pada hemodialisa : dialyzer, komposisi dan
penyaluran dialisat dan sistem penyaluran darah. Dialyzer terdiri dari
suatu alat plastic dengan tujuan tempat untuk mengalirkan darah dan
mendialisis komartemen dengan kecepatan aliran yang sangat tinggi.
Luas permukaan membrane dialysis modern pada pasien dewasa
biasanya berada dalam kisaran 1,5 – 2,0 m². Dialyzer serat berongga
(hollow Fiber dialyzer) ini terdiri serat saluran kapiler yang dilewati
oleh darah sementara dialisat mengalir disebelah luar dari serat.

Secara umum, terdapat empat kategori membrane dialysis yaitu :


selulosa, substituted cellulosa, selulosintetik, dan sintetik. Dalam tiga
dekade terakhir, terjadi pergeseran bertahap dari membrane yang
terbuat dari selulosa ke membrane sintetik, karena yang terakhir lebih
“biocompatible”. Bioincomtability (ketidakcocokan hayati) yang
umumnya didefinisikan sebagai kemampuan mmembran untuk
mengaktifkan komplemen. Membrane selulosa bersifat
bioncompatible karena adanya hidroksil bebas dipermukaan
membrane. Sebaliknya, pada substituted cellulose membrane atau
membrane selulosintetik hidroksil terikat secara kimiawi di asetat atau
amino tersier sehingga pengaktivan komplemen menjadi lebih terbatas.
Contoh dari membran sintetik yaitu membran polisulfon,
polimetilmetakrilat dan poliakrilonitril. Membran tersebut bahkan
lebih biocompatible karena tidak ada hidroksil. Membran polisulfon
saat ini digunakan oleh >60% orang dengan terapi dyalisis di Amerika
Serikat.

Pada pasien yang menjalani terapi dialysis rumah di Amerika serikat


sering menggunakan hemodialyzer yang telah diproses dan dipakai

Universitas Faletehan
22

ulang. Namun, karena biaya pembuatan dyalizer sekali pakai telah


menurun, sehingga makin banyak yang menggunakan dialysis rawat
jalan dan tidak lagi memproses ulang dialyzer. Hanya sebagian rumah
sakit yang masih menerapkan pemakaian ulang dialyzer. Sedangkan di
negara berkembang selang darah juga masih sering digunakan
kembali.

Prosedur pemakaian ulang dapat dilakukan secara otomatis atau


manual. Proses ini berupa pembilasan berulang pada kompartemen
darah dan dialisat dengan air, selain itu membersihkannya dengan
menggunakan bahan kimiawi serta reserve ultrafiltration. Dari
kompartemen dialisat ke kompartemen darah, guna menguji potensial
dialyzer. Yang terakhir, desinfektan dialyzer. Bahan – bahan yang
digunakan untuk proses pengulangan mencakup formaldehida, asam
parasetat – hydrogen peroksida, glutaraldehida, dan pemutih [CITATION
JLa16 \l 1033 ].

3. Sistem Penyaluran Darah


Sistem peyaluran darah terdiri dari sirkuit ekstrakorporeal di dalam
mesin dan akses dialysis. Mesin dialysis terdiri dari pompa darah,
sistem penyaluran larutan dialysis, dan berbagai monitor pengamanan.
Pompa darah mengalirkan darah dari tempat akses, melintasi dialyzer,
dan kembali kepasien. Kecepatan aliran darah dapat berkisar dari 250 –
500 mL/menit, tergantung jenis dan integritas akses vaskuler. Tekanan
hidrostatik negative disisi dialisat dapat dimanipulasi untuk
memperoleh ultrafiltrasi atau pengeluaran cairan sesuai keinginan.
a. Akses Dialisis
Akses dialisa untuk melakukan hemodialisa terdiri dari fistula,
tandur (graft) atau kateter. Fistula alami yang terbentuk oleh
anastomosis suatu arteri ke vena yang menyebabkan arterialisasi
vena. Hal untuk mengakses sirkulasi. Meskipun memiliki angka
kepatenan jangka Panjang paling tinggi diantar semua akses

Universitas Faletehan
23

dialysis, namun fistula dibuat hanya pada sebagian kecil pasien di


Amerika Serikat.

Tandur dan kateter cenderung digunakan pada pasien dengan vena


berkapiler kecil atau pasein yang venanya telah rusak akibat fungsi
vena berulang, atau setelah rawat inap berkepanjangan. Kesulitan
pada tandur arteriovenal adalah thrombosis tandur dan kegagalan
tandur, terutama pada hyperplasia intima di anastomosis antara
tandur dan vena resipen. Jika terjadi kegagalan tandur maka dapat
dilakukan angiosplasti dibawah tuntunan kateter untuk
memperlebar stenosis, pemantauan tekanan vena saat dialysis dan
aliran akses, meskipun tidak dilakukan secara rutin, angioplasty
dapat membantu mengenali decara dini akses vaskuler yang akan
gagal. Selain meningkatnya angka kegagalan akses, tandur dan
kateter berkaitan dengan angka infeksi yang jauh lebih tinggi
daripada fistula.

Kateter intravena caliber besar sering digunakan pada pasien


dengan penyakit gagal ginjal kronik maupun akut. Untuk pasien
yang menjalani hemodialisa rumahan, sering menggunakan kateter
yang ditanam. Jika tandur dan fistula arteriovenal gagal atau tidak
memungkinkan karena pertimbangan maka dilakukan kateter
intravena. Kateter ini dimasukkan diterowongan dibawah kulit. Hal
itu dilakukan untuk mengurangi translokasi bakteri dari bawah
kulit sehingga angka kejadian infeksi lebih rendah daripada kateter
temporer. Sebagian kateter intravena dipasang di vena jugularis
intravena, vena jugularis eksternal, femoralis, dan dapat juga
dilakukan di subklavia walaupun banyak dokter menghindari
pemasangan didaerah tersebut. Walaupun kecepatan aliran pada
vena subklavia sangat baik, tidak jarang terjadi hambatan berupa
stenosis subklavia yang dapat menghambat akses vaskuler secara
permanen.

Universitas Faletehan
24

b. Tujuan Dialisis
Prosedut hemodialisa bertujuan untuk mengeluarkan zat – zat
terlarut dengan berat molekul rendah ataupun tinggi. Maksudnya
yaitu mengeluarkan sisa metabolism yang sudah tidak terpakai
lagi. Prosedur ini terdiri dari pemompaan darah berheparin melalui
dialyzer dengan kecepatan aliran 300 – 500 mL/menit, sementara
dialisat mengalir dalam arah yang berlawanan dengan kecepatan
500 – 800 mL/menit. Efisiensi dialysis ditentukan oleh aliran darah
dan dialisat melalui dialyzer serta karakteristik dialyzer.

c. Hambatan Selama Dialisis


Hipotensi adalah hambatan akut yang tersering pada hemodialisa
terutama pada pengidap diabetes. Banyak faktor yang
menyebabkan risiko hipotensi diantaranya ultrafiltrasi yang
berlebihan dengan pengisian vascular yang kurang memadai,
gangguan respons vasoaktif atau autonomy, pergeseran osmolar,
pemberian berlebihan obat antihipertensi, dan berkurangnya
cadangan jantung. Pasien dengan tandur dan fistula arteriovenal
dapat mengalami gagal jantung high – output akibat pengalihan
darah melalui akses dialysis. Karena efek vasodilatasi dan
kardiopresif oleh asetat, maka pemakaiannya sebagai penyangga
dalam dialisat dahulu sering menjadi penyebab hipotensi. Sejak
diperkenalkannya dialisat yang mengandung bikarbonat, hipotensi
akibat dialysis sudah semakin jarang terjadi. Penatalaksaan
hipotensi selama dialysis adalah penghentian ultrafiltrasi, dengan
pemberian 100 – 250 mL salin isotonic atau 10 mL salin hipertonik
23% jenuh, dan pemberian albumin rendah garam.

Keram otot selama dialysis adalah hambatan yang sering dijumpai


selama dialysis. Etiologi keram terkait dilaisis ini masih belum
jelas. Perubahan pada perfusi otot akibat pengeluaran volume yang

Universitas Faletehan
25

terlalu agresif, terutama dibawah perkiraan, dan pemakaian dialisat


yang rendah natrium, diperkirakan menjadi pemicu keram pada
dialysis. Cara dalam mencegah terjadinya keram otot antara lain
adalah mengurangi pengeluaran volume selama dialysis,
menentukan ultrafiltrasi, dan pemakaian natrium yang lebih tinggi
dalam dialisat atau sodium modeling.

Reaksi anafilaktoid terhadap dialyzer, terutama pada pemakaian


pertama sering terjadi pada pasien yang melakukan dialisa. Reaksi
ini terbagi menjadi dua yaitu tipe A dan tipe B. reaksi tipe A
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh IgE
terhadap etilen yang digunakan dalam sterilisasi dialyzer baru.
Reaksi ini terjadi segera setelah terapi dimulai dan dapat terjadi
anafilaksi sempurna jika terapi tidak dihentikan. Sedangkan tipe B
mengakibatkan reaksi yang komplek seperti nyeri dada dan
punggung non spesifikasi yang tampaknya terjadi karena
pengaktivan komplemen dan pembebasan sitokin. Gejala biasanya
muncul beberapa menit setelah dialysis dan umumnya mereda
seiring dengan waktu.

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian


pada pasien dengan gagal ginjal stadium akhir. Angka kematian
kardiovaskuler lebih tinggi pada pasien hemodialisa dibandigkan
dengan transplantasi ginjal, meskipun angka kedua tersebut masih
tinggi. Penyebab yang mendasari penyakit kardiovaskuler belum
diketahui secara jelas, namun kemungkinan berkaitan dengan
faktor diabetes mealitus, peradangan kronik, perubahan massif
volume ekstrasel, terapi hipertensi yang kurang adekuat,
dyslipidemia, anemis, kalsifikasi vaskular distrofik,
hiperhomosisteminemia, dan kemungkinan karena perubahan pada
dinamika kardiovaskuler selama dialysis.

Universitas Faletehan
26

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS


PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan


bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara
logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah. Kerangka
konsep memuat teori, dalil, atau konsep – konsep yang akan dijadikan
dasar dan pijakan untuk melakukan penelitian [CITATION LUS15 \l 1033 ] .
Variable dalam penelitian ini ada satu variabel (variabel tunggal). Variabel
tunggal adalah variabel yang berdiri sendiri, tidak ada variabel yang lain
yang menyertainya. Variabel pada penelitian ini adalah gambaran self
management pasien gagal ginjal kronik Rumah Sakit Dr. Drajat
Prawiranegara Serang.

Universitas Faletehan
27

Menurut Notoadmodjo (2014) kerangka konsep penelitian merupakan


kerangka hubungan antara konsep – konsep yang diamati atau diukur
melalui penelitian yang akan dilakukan. Sedangkan variable penelitian
adalah suatu simbol/lambing yang menunjukan nilai dari konsep.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran self management
pasien Gagal Ginjal Kronik Rumah Sakit Dr. Drajat Prawiranegara
Serang.

Skema 3.1
Keangka Konsep Penelitian

Variabel Tunggal

Self management pasien Faktor yang diteliti :


gagal ginjal kronis
1. manajemen cairan
2. manajemen diet
makanan
3. manajemen
vaskuler
4. manajemen
pengobatan

Universitas Faletehan
28

B. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan bagian yang mendefinisikan sebuah
konsep/variabel agar dapat diukur dengan cara melihat pada dimensi
(indikator) dari suatu konsep/variabel[ CITATION Jul12 \l 1033 ].

Tabel 3.1
Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
Variabel Independent
1 Self Suatu perilaku Wawancar Deskrip
Manageme yang a tif
nt pasien dilakukan
gagal ginjal pasien gagal
kronik ginjal dalam
menjaga
asupan cairan,
pola makan,
akses vascular,
dan

Universitas Faletehan
29

pengobatan
untuk
mempertahank
an
kehidupannya

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analisa kualitatif. Analisa


kualitatif merupakan suatu pendekatan yang sistematis dan subjektif yang
digunakan untuk menggambarkan pengalaman hidup dan memberikannya
sebuah makna. Tujuan utama pada Analisa kualitatif yaitu untuk
memahami fenomena atau gejala sosial dengan cara memberi paparan
berupa penggambaran terkait self management pada pasien gagal ginjal
kronik di Rumah Sakit Dr. Drajat Prawiranegara Serang. Penelitian ini
menggunakan Teknik data primer. Data primer merupakan data yang
diperoleh dari responden melalui kuisioner, kelompok fokus, dan panel,
atau juga data hasil wawancara peneliti dengan narasumber. Data primer
yang digunakan pada penelitian ini yaitu tekhnik wawancara langsung

Universitas Faletehan
30

dengan pasien. Wawancara merupakan proses untuk memperoleh


informasi dengan cara tanya jawab secara tatap muka antara peneliti
(sebagai pewawancara dengan atau tidak menggunakan pedoman
wawancara) dengan subyek yang diteliti.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di laksanakan di rumah pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Dr. Drajat
Prawiranegara Serang.

2. Waktu Penelitian
Proses penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan Juni
2020. Untuk pengolahan data hasil penelitian dilaksanakan pada bulan
Mei 2020

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi merupakan suatu wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek
atau subjek yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya[ CITATION San15 \l 1033 ]. Populasi pada penelitian ini
yaitu orang dengan gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Dr. Drajat
Prawiranegara Serang dengan jumlah 151 responden.

2. Sampel
a. Besar Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut, atau bagian kecil dari anggota populasi

Universitas Faletehan
31

yang diambil menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili


populasinya [ CITATION San15 \l 1033 ]. Pengambilan sampel yang
digunakan yaitu dengan cara non - probability sampling. Non -
probability sampling merupakan tekhnik pengambilan sampel yang
tidak memberikan peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau
anggota populasi untuk dipilih. Tekhnik yang digunakan yaitu
dengan snowball sampling. Snowball sampling yaitu tekhnik
penentuan sampel yang mula – mula jumlahnya kecil, kemudian
membesar begitupun sebaliknya. Snowball sampling biasa
digunakan pada desain analisa kualitatif. Sampel pada penelitian
ini berjumlah 6 orang responden pasien gagal ginjal kronik di
Rumah Sakit Dr. Drajat Prawiranegara Serang.

D. Tekhnik Pengumpulan Data

1. Alat Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data adalah subjek dari mana asal data penelitian ini
diperoleh. Pada penelitian ini adalah data primer yang didapatkan
melalui wawancara langsung dengan responden.
a. Data primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari responden melalui
kuisioner, kelompok focus, dan panel, atau juga data hasil
wawancara peneliti dengan narasumber. Data yang diperoleh dari
data primer ini harus diolah lagi. Sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data. Pada penelitian ini
dilakukan wawancara terkait self management pasien gagal ginjal
kronik di Rumah Sakit Dr. Drajat Prawiranegara Serang sebanyak
6 responden. Adapun jenis wawancara sebagai berikut.
1.) Wawancara mendalam (In – depth Interview)

Universitas Faletehan
32

Dimana peneliti terlibat langsung secara mendalam dengan


kehidupan subyek yang diteliti dan tanya jawab yang dilakukan
tanpa menggunakan pedoman yang disiapkan sebelumnya serta
dilakukan berkali – kali.
2.) Wawancara terarah (guided interview)
dimana peneliti menanyakan kepada subyek yang diteliti
berupa pertanyaan – pertanyaan yang menggunakan pedoman
yang disiapkan sebelumnya. Pewawancara terikat dengan
pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya sehingga suasana
menjadi kurang santai.

2. Cara Pengumpulan Data


Dalam penelitian kualitatif terdapat tahap – tahap penelitian kualitatif
yaitu seperti dijelaskan dibawah ini :
a. Tahap pra – lapangan
1.) Menyusun rancangan untuk wawancara dengan responden
2.) Memilih tempat untuk melakukan wawancara dengan
responden
3.) Mengurus perizinan baik dari pihak kampus, pihak rumah sakit,
maupun dari responden.
4.) Menjajagi dan menilai keadaan responden sebelum melakukan
wawancara.
5.) Memilih dan memanfaatkan informan yang memberi informasi
terkait responden.
6.) Menyiapkan Instrumen untuk melakukan wawancara.
7.) Menjaga persoalan etika dalam lapangan maupun dengan
responden.

b. Tahap Kerja (Lapangan)


1.) Memberi salam kepada responden dan memperkenalkan diri.
2.) Menjelaskan tujuan melakukan wawancara.
3.) Meminta persetujuan tanda tangan di informed consent.

Universitas Faletehan
33

4.) Meminta responden untuk menjawab sejujurnya terkait self


management.
5.) Memulai tanya jawab kepada responden.
6.) Setelah data terkumpul, ucapkan terimakasih atas
partisipasinya dan memberikan feedback yang baik serta
ucapkan salam.

c. Tahap Pengolahan Data


1.) Reduksi Data.
2.) Display Data.
3.) Mengambil kesimpulan dan verikfikasi.
4.) Kesimpulan akhir.

E. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data dengan


menggunakan cara – cara atau rumusan tertentu [ CITATION Syo13 \l 1033 ].
Tahap – tahap dalam pengolahan data sebagai berikut :
1. Reduksi data
Data yang diperoleh ditulis dalam bentuk laporan atau data yang
terperinci. Laporan yang disusun berdasarkan data yang diperoleh
diinduksi, dirangkum, dipilih hal – hal yang pokoknya, difokuskan
pada hal – hal yang penting. Data hasil mengikhtiarkan dan memilah –
milah berdasarkan satuan konsep, tema, dan kategori tertentu akan
memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan juga
mempermudah peneliti untuk mencari kembali data sebagai tambahan
atau data sebelumnya yang diperoleh jika diperlukan.

2. Penyajian data
Data yang diperoleh dikategorisasikan menurut pokok permasalahan
dan dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti untuk
melihat pola – pola hubungan atau data dengan data lainnya.

Universitas Faletehan
34

3. Penyimpulan dan Verifikasi


Kegiatan penyimpulan merupakan langkah lebih lanjut dari kegiatan
reduksi dan penyajian data. Data yang sudah direduksi dan disajikan
secara sistematis akan disimpulkan sementara. kesimpulan yang
diperoleh pada tahap awal biasanya kurang jelas. Tetapi pada tahap
selanjutnya akan semakin tegas dan memiliki dasar yang kuat.
Kesimpulan sementara perlu diverifikasi. Tekhnik yang dapat
digunakan untuk memverifikasi adalah triangulasi sumber data dan
metode, diskusi teman sejawat dan pengecekan anggota.

4. Kesimpulan Akhir
Kesimpulan akhir diperoleh berdasarkan kesimpulan sementara yang
telah diverifikasi. Kesimpulan ini diharapkan dapat diperoleh setelah
pengumpulan data selesai.

F. Tekhnik Analisa Data

Setelah data dikumpulkan dari lapangan melalui kegiatan penelitian, maka


data yang dikumpulkan tersebut diproses dengan tekhnik pengolahan dan
Analisa data. Analisa data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur,
mengurutkan, mengelompokan, memberi kode atau tanda dan
mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan focus
atau masalah yang ingin dijawab. Analisa data berlangsung secara
Bersama – sama dengan proses pengumpulan data dengan alur dan
tahapan sebagai berikut :

1. Analisa Domain (Domain Analysis)


Analisa domain pada hakikatnya adalah upaya peneliti untuk
memperoleh gambaran umum tentang data untuk menjawab focus
penelitian. Caranya ialah dengan membaca naskah data secara umum
dan menyeluruh untuk memperoleh domain atau ranah apa saja yang

Universitas Faletehan
35

ada didalam data tersebut. Pada tahap ini peneliti belum perlu
membaca dan memahami data secara rinci dan detail karena targetnya
hanya untuk memperoleh domain atau ranah. Hasil Analisa ini masih
berupa pengetahuan tingkat “permukaan” tentang berbagai ranah
konseptual. Dari hasil pembacaan itu diperoleh hal – hal penting dari
kata frase atau bahkan kalimat untuk dibuat catatan pinggir.

2. Analisa Taksonomi (Taxonomy Analysis)


Pada tahap taksonomi peneliti berupaya memahami domain – domain
tertentu sesuai focus masalah atau sasaran penelitian. Masing – masing
domain mulai dipahami secara mendalam dan membaginya lagi
menjadi sub – domai, dan dari sub – domain itu dirinci lagi menjadi
bagian – bagian yang lebih khusus lagi hingga tidak ada lagi yang
tersisa alias habis (exhausted). Pada tahap Analisa ini peneliti dapat
mendalami domain dan sub – domain yang penting level konsultasi
dengan bahan – bahan pustaka untuk memperoleh pemahaman lebih
dalam.

3. Analisa Komponensial (Componential Analysis)


Pada tahap ini peneliti mencoba mengontrakan antar unsur dalam
ranah yang diperoleh. Unsur – unsur yang kontras dipilah – pilah dan
selanjutnya dibuat kategorisasi yang relevan. Kedalaman pemahaman
tercermin dalam kemampuan untuk mengelompokan dan merinci
anggota sesuatu ranah, juga memahami karakteristik tertentu yang
berasosiasi. Dengan mengetahui warga suatu ranah, memahami
kesamaan dan hubungan internah dan perbedaan antar warga dari suatu
ranah, dapat diperoleh pengertian menyeluruh dan mendalam serta
rinci mengenai pokok permasalahan.

4. Analisis Tema Kultural (Discovering Cultural Themes)


Analisis tema kultural adalah Analisa dengan memahami gejala –
gejala yang khas dari analisis sebelumnya. Analisis ini mencoba

Universitas Faletehan
36

mengumpulkan sekian banyak tema, fokus budaya, niali, dan simbol –


simbol budaya yang ada dalam setiap domain. Selain itu, Analisa ini
berusaha menemukan hubungan – hubungan yang terdapat pada
domain yang dianalisis, sehingga akan membentuk suatu kesehatan
yang holistik yang akhirnya menampakkan tema yang dominan dan
mana yang kurang dominan. pada tahap ini yang dilakukan pada
peneliti yaitu :
a. Membaca secara cermat keseluruhan catatan penting.
b. Memberikan kode pada topik – topik penting.
c. Menyusun tipologi
d. Membaca pustaka yang terkait dengan masalah dan konteks
penelitian.

Berdasarkan seluruh analisis, peneliti melakukan rekontruksi dalam


bentuk deskripsi, narasi dan argumentasi. Sekali lagi disini diperlukan
kepekaan, kecerdasan, kejelian, dan kepakaran peneliti untuk bisa
menarik kesimpulan secara umum sesuai aturan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, K. (2016). MANAJEMEN KEPERAWATAN DAN PROSPEKTIFNYA Teori,


Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Astuti. (2017). SELF MANAGEMENT TERHADAP PSYCHOSOCIAL


ADJUSTMENT PASIEN. Jurnal Keperawatan Soedirman (The
Soedirman Journal of Nursing) Volume 12, no 3.

Batlajery, S. (2016). PENERAPAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN PADA


APARATUR PEMERINTAHAN KAMPUNG TAMBAT KABUPATEN
MERAUKE. JURNAL ILMU EKONOMI & SOSIAL, VOL.VII, NO. 2.

Universitas Faletehan
37

Crisyen, D. (2018). SELF MANAGEMENT BEHAVIOUR PADA PASIEN


YANG MENJALANI HEMODIALISA. Jurnal Medika Karya Ilmiah
Kesehatan Vol 3, No.2.

Delwien, E. J. (2018). FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


KUALITAS HIDUP MASYARAKAT KARUBAGA DISTRICT SUB
DISTRICT TOLIKARA PROPINSI PAPUA. JURNAL NASIONAL ILMU
KESEHATAN (JNIK) Volume 1.

Edriyani, Y. B. (2016). SELF MANAGEMENT BERHUBUNGAN DENGAN


KUALITAS HIDUP PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS. Jurnal
Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan Hidup.

Fathnur, S. (2018). METODOLOGI PENELITIAN FARMASI KOMUNITAS DAN


EKSPERIMENTAL . Yogyakarta: Deepublish.

Hanief, N. Y. (2017). STATISTIK PENDIDIKAN. Yogyakarta: CV. BUDI


UTAMA.

Juliansyah, N. (2012). METODOLOGI PENELITIAN : Skripsi, Tesis, Disertasi &


Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana.

Larry, J. (2016). HARRISON Nefrologi dan Gangguan Asam - Basa. Jakarta:


EGC.

Novita, L. (2015). Buku Ajar Metodologi Penelitian Kebidanan. Yogyakarta: CV.


BUDI UTAMA.

Parta, S. (2015). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS


HIDUP. Jurnal Medikes,Volume 2, edisi 2.

Riski, H. R. (2019). RESPON STRES PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK


YANG MENJALANI HEMODIALISA Di Ruang Hemodialisa RSUD
Dr.Hardjono Ponorogo. JURNAL ILMIAH MAHASISWA UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PONOROGO HEALTH SCIENCES JOURNAL, VOL
3 NO 1.

Universitas Faletehan
38

Sadaukur, B. B. (2019). BOOKLET KONSELING TERHADAP


PENINGKATAN PENGETAHUAN SELF CARE MANAGEMENT
PADA PASIEN GAGAL. Holistik Jurnal Kesehatan, Volume 13, No.2.

Salim. (2019). PENELITIAN PENDIDIKAN : Metode, Penjelasan dan Jenis.


Jakarta: KENCANA.

Sandu. (2015). DASAR METODOLOGI PENELITIAN. Yogyakarta: Literasi


Media Publishing.

Sofiana, N. (2016). IMPLEMENTASI SELF CARE MODEL DALAM UPAYA


MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP PENDERITA GAGAL
GINJAL KRONIK. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, Volume 3 - Nomor 2.

Sujarweni, W. V. (2014). METODOLOGI PENELITIAN KEPERAWATAN.


Yogyakarta: GAVA MEDIA.

Suwanto, I. (2016.). KONSELING BEHAVIORAL DENGAN TEKNIK. Jurnal


Bimbingan Konseling Indonesia volume 1 nomor 1.

Syofian, S. (2013). METODE PENELITIAN KUANTITATIF DILENGKAPI


DENGAN PERBANDINGAN PERHITUNGAN MANUAL & SPSS. Jakarta:
KENCANA.

Victor, T. (2019). ANALISIS DATA STATISTIK PARAMETRIK APLIKASI SPSS


DAN STATCAL (Sebuah pengantar untuk kesehatan). Yayasan Kita
Menulis.

Universitas Faletehan

Anda mungkin juga menyukai