Anda di halaman 1dari 89

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan pola penyakit tanpa disadari telah memberi pengaruh

terhadap terjadinya transisi epidemiologi, dengan semakin meningkatnya

kasus-kasus penyakit tidak menular. Menurut WHO (World Health

Organization), pada tahun 2005 proporsi kesakitan dan kematian di dunia

yang disebabkan oleh penyakit tidak menular sebesar 47% kesakitan dan

54% kematian, dan diperkirakan pada tahun 2020 proporsi kesakitan ini akan

rneningkat menjadi 60% dan proporsi kematian menjadi 73%. Angka

penyakit tidak menular juga terus mengalami peningkatan. Salah satu

penyakit tidak menular yang juga mengalami peningkatan adalah Gagal

Ginjal Kronik (GGK) (Bustan, 2015)

Gagal ginjal kronik merupakan penurunan fungsi ginjal progresif yang

ireversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan

metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya uremia dan

azotemia (Bayhakki, 2012). The United States Renal Data System (USRDS)

mencatat bahwa jumlah pasien yang dirawat karena end stage renal disease

(ERDS) atau gagal ginjal kronis global diperkirakan 3.010.000 pada tahun

2012 dengan tingkat pertumbuhan 7% (ESRD, 2012).

Populasi penderita gagal ginjal di Indonesia dari tahun ke tahun

semakin meningkat. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh PT. Askes, pada

tahun 2009 jumlah pasien gagal ginjal kronik sebanyak 70.000 orang lalu
2

pada tahun 2010 jumlah pasien gagal ginjal kronik menurun manjadi 17.507

orang dan meningkat lagi pada tahun 2011 sekitar 5.000 orang menjadi

22.507 orang. Pada tahun 2011 ke 2012 terjadi peningkatan yakni 24.141

orang (Nawawi, 2013).

Prevalensi yang menjalani hemodialisis di Amerika Serikat terus

meningkat yaitu sekitar 320.000 orang kemudian pada tahun 2010 naik

menjadi 650.000 orang. Di Indonesia, jumlah pasien diperkirakan 60.000

orang dengan pertambahan 4400 pasien baru setiap tahunnya. Pada tahun

2000, jumlah pasien hemodialisis di Indonesia sekitar 3000 orang dan pada

tahun 2007 naik menjadi 10.000 orang (Kresnawan, 2007).

Prosedur pengobatan yang banyak digunakan pada pasien gagal ginjal

yaitu hemodialisa. Hemodialisa merupakan terapi yang digunakan untuk

menggantikan fungsi ginjal yang rusak, terapi ini bertujuan untuk mengambil

zat-zat nitrogen yang bersifat toksik dari darah dan mengeluarkan air yang

berlebih. Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali

seminggu dengan setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali

seminggu dengan setiap hemodialisa selama 4 jam (Iskandar, 2011).

Banyak permasalahan yang timbul akibat dari gagal ginjal kronik

dengan terapi hemodialisa, termasuk aspek fisik, psikologis, sosial dan

hubungan dengan keluarga. Semua ini akan dapat mempengaruhi tingkat

kualitas hidup pasien (Hatthalit, 2012).

Kondisi gangguan kejiwaan yang paling banyak ditemukan pada

pasien gagal ginjal adalah depresi atau stress dan keadaan tersebut lebih

banyak terjadi pada pasien perempuan. Prevalensi depresi berat pada populasi
3

umum adalah sekitar 1,1 - 15% pada laki-laki dan 1,8 - 23% pada wanita.

Namun pada pasien hemodialisa, prevalensinya sekitar 20 - 30%, bahkan

bisa mencapai 47% (Andri, 2015)

Kondisi psikologis pasien gagal ginjal menurut Tezel (2011), pasien

yang menjalani hemodialisa cenderung mengalami masalah dalam mengontrol

aktivitas kehidupan sehari-hari dan sosialnya, seperti kehilangan kebebasan,

pensiun dini, masalah finansial, gangguan dalam kehidupan keluarga,

perubahan citra diri, dan harga diri rendah.

Kondisi psikologis ini juga diperkuat oleh penelitian Gerogianni

(2014), yang menyatakan bahwa dampak psikologis dari tindakan

hemodialisa adalah depresi, penolakan penyakit, kecemasan, harga diri

rendah, isolasi sosial, persepsi negatif dari tubuh image/body image, takut

kecacatan dan kematian, kehilangan pekerjaan, kesulitan keuangan.

Pada pasien gagal ginjal perempuan yang menjalani terapi hemodialisa

mengalami depresi, rendah diri, merasa lemah yang berakibat pada

penurunan aktivitas seksualitas. Penurunan hormon progesteron, saraf,

tingkat energi akibat terapi hemodialisa mengakibatkan gairah seksualitas

pasien perempuan menurun. Pada pasien perempuan yang sudah menikah,

penurunan gairah seksualitas membuat pasien perempuan yang sudah

menikah seringkali menolak bila diajak hubungan seksual oleh suami.

Penolakan tersebut membuat rasa bersalah pasien perempuan terhadap

suaminya karena tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai isteri dengan

baik dan membuat perasaan depresi baru takut “ditinggalkan” oleh suaminya

menikah lagi (Siti, 2016)..


4

Permasalahan lain yang muncul pada pasien perempuan yang menjalani

terapi hemodialisa adalah peranannya sebagai seorang ibu bagi anak-

anaknya. Menurunnya energi, keadaan yang lemah membuat pasien kurang

maksimal dalam menjaga anak-anaknya dan tak jarang pasien menitipkankan

salah satu anaknya ke tetangga ketika pasien sedang menjalani rawat inap

atau terapi dirumah sakit (KCPDI, 2015).

Bengkulu memiliki 4 rumah sakit yang beroperasi yaitu Rumah Sakit

Rafflesia, DKT, Rumah Sakit Kota dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

Dr. M.Yunus Bengkulu . RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu ditetapkan sebagai

rumah sakit terbesar dan rumah sakit rujukan tertinggi di provinsi Bengkulu.

Hal ini berdasarkan Keputusan Direktur RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu

Nomor 821/11306/SK/UM.4 tanggal 2 Januari 2004 tentang uraian tugas

pejabat stuktural dan fungsional/instalasi di lingkungan RSUD Dr. M.Yunus

Bengkulu (Profil RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu, 2010)

Data laporan rekam medik RSUD M.Yunus diketahui bahwa jumlah

penderita gagal ginjal yang mengalami terapi setiap tahunnya mengalami

peningkatan. Pada tahun 2014 jumlah pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa sebanyak 260 orang dan 22% nya (90 orang) adalah

perempuan , tahun 2015 sebanyak 930 orang dan 11,7% nya (109 orang)

adalah perempuan, tahun 2016 berjumlah 1102 orang dan 31,1 % nya (343

orang) adalah perempuan, dan jumlah pasien GGK pada tahun 2017 mulai

periode Januari sampai Agustus berjumlah sebanyak 1.498 orang dan 42,3%

nya (644 orang) adalah perempuan (Rekam Medik M.Yunus, 2017).


5

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 22-23 September

2017 di Ruang Hemodialisa RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, dari hasil

wawancara pada pasien perempuan gagal ginjal kronik ditemukan 12 orang

pasien perempuan yang sedang menjalani terapi hemodialisa didapatkan 5

orang pasien perempuan harus menjalani terapi hemodialisa > 3 kali/minggu

mengatakan stres berat karena merasa sudah capek fisik maupun batin dan

stres memikirkan kondisi keuangan untuk biaya pengobatan dan kehidupan

lainnya, selain itu pasien merasa hubungan dengan suaminya menjauh

dikarenakan rasa lelah akibat penyakit yang diderita dan perasaan harga diri

rendah. Sedangkan 7 orang pasien lainnya rutin menjalankan hemodialisa

dengan frekuensi 2 kali/minggu mengatakan mengalami susah tidur karena

selalu memikirkan penyakitnya, badan terasa semakin lemah, serta merasa

bosan kerena harus rutin secara terus-menerus menjalankan terapi

hemodialisa, perasaan tidak berguna karena tidak bisa bekerja lagi, diet yang

dilakukan menyebabkan pola gaya hidup berubah, pasien merasa tidak bisa

lagi menikmati hidupnya.

Adanya permasalahan psikologis yang dialami oleh penderita

mengindikasikan bahwa situasi gagal ginjal kronik yang mengharuskan

penderita tergantung pada terapi hemodialisa, merupakan kondisi yang

menekan dan menimbulkan gejala-gejala stress. Berdasarkan fenomena

tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang analisis

pengalaman dan psikologis pada pasien perempuan dengan gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu pada

tahun 2017.
6

1.2 Rumusan Masalah, Identifikasi Masalah, dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas diketahui pasien perempuan

dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa mengalami stress

berat, maka rumusan masalah dan pertanyaan penelitian pada penelitian ini

adalah bagaimana pengalaman dan psikologis pada pasien perempuan dengan

gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD dr. M. Yunus

Bengkulu”.

1.3 Tujuan Penilitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman dan

kondisi psikologis pasien perempuan dengan gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2017.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak

rumah sakit dalam menentukan mekanisme koping yang efektif sehingga

meminimalkan dampak psikologis terutama stress pada pasien GGK.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi

peningkatan ilmu pengetahuan, terutama yang terkait dengan mekanisme

koping pasien hemodialisa.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi

petugas, khususnya tenaga keperawatan di ruang hemodialisa RSUD Dr.

M. Yunus Bengkulu untuk dapat memberikan pendamping dan


7

pembelajaran pada pasien dengan setiap tingkat stress berdasarkan tahap-

tahapan yang ada pada pasien sehingga pasien dapat menerima kondisi dan

keadaan penyakit yang sebenarnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat

dijadikan data dasar dalam pengembangan penelitian selanjutnya.

1.6 Keaslian Penelitian

Berdasarkan sepengetahuan peneliti, penelitian ini belum pernah

dilakukan oleh peneliti lain. Namun ada beberapa penelitian yang serupa

yaitu sebagai berikut :

Tabel 1. Keaslian Penelitian

N Judul dan Penulis Metode dan Hasil Persamaan Perbedaan


o
1 Riselligia, tahun - Metode Penelitian Peneliti terdahulu
2013 dengan Kuantitatif dengan terdahulu dan meneliti tentang
judul “Kecemasan metode crosssectional penelitian ini tingkat
dan Depresi pada - Hasil sama-sama kecemasasn dan
Pasien Gagal Sebagian besar pasien meneliti depresi,
Ginjal Kronis gagal ginjal kronis tentang gagal sedangakan
yang menjalani mengalami depresi ginjal kronis penelitian ini
Hemodialisa” dan kecemasan. meneliti tentang
perilaku
psikologis pasien.
Selain itu
perbedaan waktu
dan tempat serta
metode penelitian
2 Sandra, tahun - Metode : Penelitian Penelitian
2015 dengan Analisis deskriptif terdahulu terdahulu meneliti
judul “ Gambaran kuantitatif dan tingkat stress
Stress pada - Hasil penelitian ini pasien GGK
Pasien Gagal Hampir sebagian sama-sama sedangkan pada
Ginjal Terminal pasien mengalami meneliti penelitian ini
Yang Telah stress. tentang gagal meneliti dampak
Menjalani ginjal psikologi pasien
hemodialisa Di GGK
Rumah Sakit
Umum Daerah
Arifin Achmad
pekan Baru”
8

3 Befly, tahun 2015 - Metode Penelitian Penelitian


dengan judul “ Observasional terdahulu terdahulu meneliti
Hubungan Antara analitik dengan dan lama hemodialisa
Lamanya pendekatan potong penelitian ini dan tingkat
Menjalani lintang sama-sama kecemasan pasien
Hemodialisa - Hasil meneliti GGK sedangkan
Dengan Tingkat Tidak terdapat tentang gagal pada penelitian ini
Kecemasan Pada hubungan antara ginjal kronik meneliti dampak
Pasien Dengan lamanya menjalani psikologi pasien
Penyakit Ginjal hemodialisa dengan GGK
Kronik Di RSUP tingkat kecemasan
Prof Dr. R. D.
Kandou Manado
4 Muhammad jahri, - Metode Penelitian Penelitian
tahun 2015 Deskriptif dengan terdahulu terdahulu meneliti
dengan judul metode cross dan kualitas hidup
“Kualitas Hidup sectional penelitian ini pasien GGK
Pasien Gagal - Hasil sama-sama sedangkan pada
Ginjal Kronik Di Sebagian besar meneliti penelitian ini
Unit Hemodialisa pasien GGK yang tentang gagal meneliti dampak
Rumah Sakit menjalani ginjal psikologi pasien
PKU hemodialisa GGK
Muhammadiya memiliki kualitas
Yogyakarta hidup rendah
5 Andri, tahun 2013 - Metode Penelitian Penelitian
dengan judul” Studi kasus terdahulu terdahulu meneliti
Gangguan - Hasil dan pasien gagal ginjal
Psikiatrik Pada Gangguan psikiatrik penelitian ini secara umum
Pasien Penyakit yang sering dialami sama-sama sedangkan pada
Ginjal Kronik pasien GGK meneliti penelitian ini
sebagian besar tentang gagal meneliti psikologis
delirium, depresi, ginjal pada pasien GGK
kecemasan, dan perempuan
sindrom
disequilibrium
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Gagal Ginjal Kronik

2.1.1.1 Pengertian Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronik suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada

umumnya berakhir dengan gagal ginjal (Bambang, 2014). Kerusakan

ginjal setidaknya selama 3 bulan atau lebih, yang didefinisikan sebagai

abnormalitas stuktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan

Gromerular filtration rate (GFR) yaitu laju rata-rata penyaringan darah

yang terjadi di glomerulus yaitu sekitar 25% dari total curah jantung per

menit, ± 1,300 ml yang bermanifastasi sebagai kelainan patologis atau

kerusakan ginjal (Pernefri, 2011).

Penyakit gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir (end-

stage ginjal disease, ERDS) adalah istilah yang digunakan untuk

menjelaskan penurunan fungsi ginjal yang diakibatkan oleh proses

kerusakan ireversibel (Patricia, 2010). Gagal ginjal kronik menurut Corwin

(2009) yaitu destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus menerus.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik

merupakan penurunan fungsi ginjal perlahan yang mengakibatkan

kemampuan ginjal untuk mengeluarkan hasil-hasil metabolisme tubuh

terganggu

9
10

2.1.1.2 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Gambar 1
Anatomi Ginjal (Tortora, 2011)

Pada orang dewasa, ginjal panjangnya 12 sampai 13 cm, lebarnya 6

cm dan beratnya antara 120-150 gram. Sembilan puluh lima persen (95%)

orang dewasa memiliki jarak antar kutub ginjal antara 11-15 cm

(Toto, 2013).

Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada

dinding abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra

T12 hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena

besarnya lobus hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan

yang terdalam adalah kapsula renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah

adiposa, dan jaringan terluar adalah fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini

berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan memfiksasi ginjal (Tortora,

2011).
11

Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat

terang dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap.

Korteks ginjal mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap

nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari

beberapa massa-massa triangular disebut piramida ginjal dengan basis

menghadap korteks dan bagian apeks yang menonjol ke medial. Piramida

ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi yang kemudian

disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora, 2011).

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan

komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan

mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal

dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi

sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang

tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh

dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan Wilson, 2012).

Sherwood (2011) menyatakan bahwa ginjal memiliki fungsi yaitu:

1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.

2. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan

dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.

3. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.

4. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.

5. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan

Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal

kemudian akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang
12

diambil dari darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan

dan dialirkan ke ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu

di kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan

keadaan memungkinkan, maka urin yang ditampung dikandung kemih

akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2011).

Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin,

yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan

filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler

glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali

protein, di filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat

glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya

zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak

difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian

akan dieksresi (Sherwood, 2011).

2.1.1.3 Etiologi

Padila (2012) menyatakan bahwa penyebab gagal ginjal kronik

adalah penyakit sistemik seperti : diabetus mellitus, glumerulonefritis

kronis, pielonefritis, hipertensi tak terkontrol, obstruksi saluran kemih,

penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler, lesi herediter, agen toksis

(timah, kadmuim, dan merkuri).

2.1.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai pada fase awal gangguan,

keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa

masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai
13

fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal,manifestasi klinis gagal ginjal

kronik dikarenakan nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi

nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi,

reabsorpsi, dan sekresi, serta mengalami hipertrofi (Arif, 2011).

Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka

nefronyang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-

nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus

kematian berkaitan dengan tuntutan nefron-nefron yang ada untuk

meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron-

nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan

berkurang. Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan

beban cairan sehingga menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan

memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar terjadi peningkatan

filtrasi protein-protein plasma. Kondisi akan bertambah buruk dengan

semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respon dari kerusakan

nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan

manifestasi penumpukan metabolit-metabolit yang seharusnya di

keluarkan dari sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang

memberikan banyak manifestasi pada setiap organ tubuh.(Arif, 2011)

2.1.1.5 Gejala

Gejala utama dari gagal ginjal kronik berupa keluhan rasa sakit di

daerah pinggang yang dapat disertai rasa mual, muntah, gatal-gatal di

kulit, lemas, lesu, cepat lelah, kurang cairan dalam tubuh, sembab di

daerah muka, perut dan kaki, nafsu makan menurun, frekuensi dalam
14

buang air dan jumlah urin berubah, libido menurun serta menstruasi yang

tidak teratur (Smeltzer, 2012).

Perubahan yang jelas sekali pada gagal ginjal kronik adalah

terjadinya perubahan pada Gromerular filtration rate (GFR), yang

merupakan indeks fungsi ginjal yang paling penting. Terjadinya penurunan

GFR berarti terjadinya penurunan fungsi dari ginjal, semakin rendah

Gromerular filtration rate (GFR) berarti semakin rendah fungsi ginjal

seseorang. Perubahan yang lainnya meliputi : gangguan keseimbangan

cairan dan elektrolit, anemia, gangguan hormon, perubahan kulit,

perubahan pada saluran cerna serta kelainan neuromuskuler (M. Arrayan,

2008).

2.1.1.6 Stadium Gagal Ginjal

Penyakit gagal ginjal didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan

ginjal dan kemampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya. Menurut The

Renal Association (2013) klasifikasi stadium CKD terbagi dalam 5

stadium sebagai berikut :

1. Stadium 1

Fungsi ginjal normal, tetapi temuan urin abnormalitas stuktur atau ciri

genetik menunjukkan adanya penyakit ginjal dengan GFR > 90

(ml/menit/1.73m2)

2. Staduim 2

Penurunan ringan fungsi ginjal, dan temuan lain (seperti pada stadium

1) menunjukkan adanya penyakit ginjal dengan kadar GFR 60-89

(ml/menit/1.73m2)
15

3. Stadiium 3

Penurunan sedang fungsi ginjal, GFR 30-59 (ml/menit/1.73m2)

4. Stadium 4

Penurunan fungsi ginjal berat, GFR 15-29 (ml/menit/1.73m2)

5. Stadium 5

Gagal ginjal, GFR < 15 (ml/menit/1.73m2)

Jadi responden pada penelitian ini adalah pasien yang mengalami

gangguan fungsi ginjal dengan GFR < 15 ml/menit/1.73m2 atau stadium 5

2.1.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang biasa digunakan dalam penanganan

gangguan ginjal adalah manajemen diet, dialisa dan obat-obatan (Padila,

2012).

1. Manajemen Diet

Tujuan diet untuk pasien penderita gagal ginjal kronik adalah

mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan

memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan kerja

ginjal., mencegah dan menurunkan kadar ureum yang tinggi, mengatur

keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah atau mengurangi

progresivitas gagal ginjal, dengan memperlambat penurunan laju filtrasi

glomerulus. ·

Adapun syarat diet bagi penderita gagal ginjal kronik adalah

energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB, protein rendah, yaitu 0,6 – 1,5

g/kgBB. Sebagian harus bernilai biologik tinggi, lemak cukup, yaitu

20–30 % dari kebutuhan energi total. Diutamakan lemak tidak jenuh


16

ganda, karbohidrat cukup yaitu kebutuhan energi total dikurangi jumlah

energi yang diperoleh dari protein dan lemak, natrium dibatasi apabila

ada hipertensi, edema, asites, oliguria, atau anuria. Banyaknya natrium

yang diberikan antara 1 – 3 g, kalium dibatasi (40 – 70 mEq) apabila

ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5 mEq), oliguria, atau anuria,

cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah pengeluaran

cairan melalui keringat dan pernafasan (± 500 ml), vitamin cukup, bila

perlu diberikan tambahan suplemen asam folat, vitamin B6, C, dan D.

Bahan makanan yang dianjurkan bagi pasien gagal ginjal

kronik adalah sumber karbohidrat, sumber protein hewani, sumber

lemak. Bahan makanan yang dihindari pasien gagal ginjal kronik

dengan penatalaksanaan manajemen diet adalah sebagai berikut sumber

vitamin dan mineral seperti sayur dan buah tinggi kalium diantaranya

adalah bayam, gambas, daun singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda,

pisang, durian, dan nangka, makanan tinggi natrium seperti garam,

vetsin, penyedap rasa/kaldu kering, makanan yang diawetkan,

dikalengkan dan diasinkan.

2. Dialisis

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada

pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka

pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan

penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang

memerlukan terapi jangka panjang atau permanen (Suharyanto dan

Madjid, 2009).
17

Pasien hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup

agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang

20 penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisa. Asupan

protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan

protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70

meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan

tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan

untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah

urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi

40- 120 mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema.

Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya

mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka

selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang

besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).

3. Obat-obatan

Pada penderita gagal ginjal stadium kronik, biasanya dilakukan

beberapa tahapan pengobatan sebagai berikut obat pengontrol tekanan

darah seperti jenis angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau

angiotensin II receptor blocker untuk memperingan kerja ginjal, obat

penurun kadar kolesterol, obat anti anemia seperti suplemen hormon

eritropoetin dengan tambahan zat besi didalamnya, obat untuk

mengurangi pembengkakan seperti obat-obatan jenis diuretik yang

berfungsi membantu mengeluarkan cairan dan menjaganya tetap


18

seimbang dalam tubuh, obat untuk melindungi tulang seperti suplemen

kalsium dan vitamin D.

4. Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

CAPD merupakan singkatan dari Continous Ambulatory

Peritoneal Dialysis yang setiap suku katanya berasa dari bahasa

Inggris. Continous berarti proses dialysis tersebut berlangsung terus-

menerus, sedangkan ambulatory berarti penderita dapat beraktivitas

seperti biasa dengan metode ini. Peritoneal berasal dari kata

peritoneum, yakni selaput tipis di perut dimana selaput ini yang menjadi

tempat berlangsungnya dialysis, sementara dialisis adalah suatu istilah

medis untuk pembuangan semua produk tubuh yang tak berguna dari

darah (Cindy, 2016)

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) merupakan

bagian dari dialisis peritoneal, yakni suatu metode yang dikembangkan

untuk menghilangkan racun dan kelebihan air dari tubuh manusia.

Metode-metode semacam ini timbul karena adanya kerusakan pada

ginjal dimana ginjal tidak mampu berfungsi seperti normal oleh karena

itu perlu dicari pengganti ginjal. Dalam metode ini, penggantinya

adalah organ tubuh manusia yang disebut. peritoneum (bandingkan

dengan hemodialisa yang memakai mesin). Peritoneum itu sendiri

merupakan selaput tipis yang terletak pada perut manusia,

menyelubungi organ-organ tubuh yang terletak dalam perut (Cindy,

2016)
19

Cindy (2016) menyatakan bahwa prinsip kerja Continous

Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) sebagai berikut :

a. Langkah awal dalam melakukan prosedur CAPD adalah membuang

produk sampah tubuh ke dalam kantong untuk produk tersebut

b. Cairan dialisa (dikenal dengan istilah diasilat) dimasukkan melalui

sebuah kateter (selang kecil) yang menembus dinding perut sampai

ke dalam rongga perut.

c. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu kurang lebih 5-6 jam

sehingga limbah metabolik dari aliran darah secara perlahan masuk

ke dalam cairan tersebut.

d. Setelah itu, cairan tersebut dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan

cairan dialisat yang baru. Peritoneum dipilih sebagai tempat dialysis

dikarenakan tempatnya yang mudah dijangkau dari luar dan

peritoneum memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan

pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring

melalui peritoneum ke dalam rongga perut yang sudah berisi cairan

dialisat tersebut.

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dapat

dilakukan sendiri di rumah, biasanya 4 kali perhari. Namun untuk

masing-masing individu, jumlah prosedur CAPD yang perlu dilakukan

dalam sehari bisa bervariasi, sesuai kebutuhan masing-masing individu.

Setiap kalinya hanya membutuhkan waktu 30 menit dan prosedurnya

sangat sederhana dan tidak menimbulkan rasa sakit. Yang perlu

diketahui, sebagai awal CAPD, perlu dilakukan operasi kecil untuk


20

memasukan sebuah kateter ke dalam abdomen. Kateter ini yang akan

berfungsi sebagai saluran yang menghubungkan peritoneum dengan

dunia luar (Cindy, 2016).

Setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah satu

kelebihan dari CAPD adalah sifatnya yang praktis dan efisien.

Penderita tidak perlu datang ke rumah sakit untuk melakukan cuci

darah. Dengan teknik CAPD, penderita sendiri yang akan melakukan

cuci darah setelah diajarkan. Sementara penderita yang memilih metode

hemodialisa harus rutin mendatangi tempat-tempat hemodialisa selama

2-3 kali seminggu, tergantung kebutuhan masing-masing. Selain itu,

proses CAPD pun membutuhkan waktu yang lebih singkat (Cindy,

2016).

Adapun kekurangan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD) dapat diikuti beberapa komplikasi, bahkan kegagalan.

Umumnya kegagalan CAPD disebabkan karena peritonitis (radang pada

peritoneum). Tetapi hal ini jarang terjadi bila telah dilakukan prosedur

yang baik. Di sisi lain, komplikasi yang berhubungan dengan CAPD

secara umum dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu mekanik, medis,

dan infeksi. Sebagian besar komplikasi CAPD adalah karena faktor

mekanik, seperti malposisi kateter. Dilaporkan juga adanya komplikasi

hernia yang timbul setelah CAPD.

5. Tranplantasi Ginjal

Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi pilihan bagi mayoritas

pasien dengan penyakit renal tahap akhir hampir di seluruh dunia.


21

Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik

dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas

hidup. Salah satu diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran

jasmani yang lebih baik.

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi

dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal yaitu cangkok

ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal

ginjal, sedangkan hemodialisa hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal

alamiah, kualitas hidup normal kembali, masa hidup (survival rate)

lebih lama, komplikasi, biaya lebih murah dan dapat dibatasi

2.1.2 Konsep Hemodialisa

2.1.2.1 Pengertian Hemodialisa

Ilham (2010) menyatakan bahwa hemodialisa berasal dari kata

hemo yang berarti darah, dan dialisa yang berarti pemisahan atau filtrasi.

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam

keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek

(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit

ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang

memerlukan terapi jangka panjang atau permanen (Suharyanto dan

Madjid, 2009). Hemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir

gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis

waktu singkat (Nursalam, 2006).

Hemodialisa adalah tindakan “pengobatan” dengan tujuan

mengeluarkan sisa metabolisme atau elektrolit darah serta cairan tubuh


22

melalui proses pertukaran antara bahan yang ada dalam dialisat dengan

bahan yang ada dalam darah melewati membran semipermeabel secara

difusi atau ultrafiltrasi. Di Indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali

seminggu dengan setiap hemodialisa selama 5 jam. Disenter dialisis lain

ada juga dialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama hemodialisa

selama 5 jam (Nasiri, 2012).

2.1.2.2 Tujuan Hemodialisa

Sidabutar (2010) menyatakan bahwa sebagai terapi pengganti,

kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan :

a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan

asam urat.

b. Membuang kelebihan air.

c. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.

d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

e. Memperbaiki status kesehatan penderita.

Sidabutar (2010) menyatakan bahwa hemodilisa dilakukan dengan

tujuan mencegah kematian, namun demikian hemodialisa tidak

menyembuhkan atau memulihkan penyakit gagal ginjal kronik dan tidak

mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang

dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal kronik serta terapi

terhadap kualitas hidup. Namun demikian ada tiga tujuan dilakukannya

hemodialisa pada pasien gagal ginjal kronik yaitu :

a. Menunggu fungsi ginjal pulih dengan pengobatan atau operasi.


23

b. Hemodialisa reguler / seumur hidup karena fungsi ginjal tidak dapat

pulih lagi.

c. Menunggu cangkok ginjal.

2.1.2.3 Prinsip Dasar Hemodialisa

Brunner and Suddart (2011) menyebutkan bahwa prinsip dasar

hemodialisa terdiri dari :

a. Difusi

Toksik dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses

difusi, yaitu dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi

tinggi ke cairan dialisat yang mempunyai konsentrasi yang lebih

rendah. Kadar elektrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur

rendaman dialisat (dialysate bath) secara tepat.

b. Osmosis

Air yang berlebihan dikeluarkan dari tubuh melalui proses

osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan

gradien tekanan ; dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan

tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah

(cairan dialisat).

c. Ultrafiltrasi

Air yang bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi

ke tekanan yang lebih rendah dapat ditingkatkan melalui penambahan

tekanan negetif yang dkenal dengan ultrafiltrasi pada mesin dialisis.

Karena pasien tidak dapat mengeksresikan air, kekuatan ini diperlikan


24

untuk memerlukan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan

cairan).

2.1.2.4 Proses Hemodialisa

Hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu

tabung ginjal buatan (dializer) yang terdiri dari dua kompartemen.

Kompartemen tersebut terdiri dari kompartemen darah dan kompartemen

dialisat yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan. Kompartemen

dialisat dialiri oleh cairan dialisat yang berisi larutan dengan komposisi

elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme

nitrogen. Darah pasien dipompa dan dialirkan menuju kompartemen darah.

Selanjutnya, akan terjadi perbedaan konsentrasi antara cairan dialisis dan

darah karena adanya perpindahan zat terlarut dari konsentrasi tinggi ke

konsentrasi rendah (Sudoyo, 2009)

Pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter

setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan

dialisat dapat berdifusi ke dalam darah. Untuk itu, diperlukan reverse

osmosis. Air akan melewati pori-pori membran semi-permeabel sehingga

dapat menahan zat dengan berat molekul ringan. Terdapat dua jenis cairan

dialisat, yaitu asetat dan bikarbonat. Cairan asetat bersifat asam dan dapat

mengurangi kemampuan tubuh untuk vasokonstriksi yang diperlukan

tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi setelah

hemodialisa. Sementara cairan bikarbonat bersifat basa, sehingga dapat

menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien GGK. Cairan

bikarbonat juga tidak menyebabkan vasokonstriksi (Sudoyo, 2009).


25

2.1.2.5 Frekuensi Hemodialisa

Frekuensi cuci darah sangat bergantung pada kondisi pasien. Ada

yang harus menjalaninya setiap tiga hari sekali, ada yang lima hari sekali,

dan ada pula yang lebih dari tiga hari sekali dan sebagainya (Susanto,

2007). Sedangkan menurut Yanto (2010) hemodialisa memerlukan waktu

3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Menurut Pernefri (2012) waktu

atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap

hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu

idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu. Menurut (Nasiri, 2012), frekuensi

hemodialisa berpedoman pada nilai kreatinin pasien biasanya dibagi

menjadi 2 dan 3 kali seminggu antara 10-15 jam / minggu.

2.1.2.6 Lama Menjalani Terapi Hemodialisa

Roesli (2009) mengatakan bahwa hemodialisa bagi penderita gagal

ginjal kronik merupakan salah satunya cara untuk dapat bertahan hidup.

Pengobatan lain seperti pencangkokan transplantasi ginjal masih terbatas

karena kendala yang harus dihadapi, diantaranya ketersediaan donor ginjal,

tehnik operasi dan juga biaya perawatan pada waktu pasca operasi. Hampir

semua kasus gagal ginjal kronik di bawa ke ruang haemodialisa untuk

mendapatkan tindakan pengobatan. Bagi penderita gagal ginjal kronik

diadakan hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian

haemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit penyakit

ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik atau

endokrin yang dilaksanakan ginjal namun hanya sebatas upaya untuk


26

mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala

uremia (Lubis, 2012).

Hemodialisa adalah suatu alternatif terapi bagi penderita gagal ginjal

kronik yang membutuhkan biaya besar. Tidak cukup 1-2 bulan saja tetapi

butuh waktu yang lebih lama bahkan sampai seumur hidup. Lama suatu

terapi sangat berpengaruh terhadap keadaan fisiologis maupun psikologis.

Secara psikologis seorang penderita gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa lebih dari dua tahun berbeda dengan seorang penderita gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa kurang dari dua tahun, hal ini

disebabkan butuh waktu yang lama untuk menyesuaikan diri terhadap

terapi hemodialisa yang harus dilakukan secara rutin seumur hidup

(Suharjo ,2010).

Bagi penderita gagal ginjal kronik lama menjalani terapi hemodialisa

sangat berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan.

Seorang pasien hemodialisa yang menjalani terapi 1-2 tahun lebih lama,

mampu mengendalikan diri terhadap setiap masalah yang timbul akibat

terapi dibanding dengan pasien yang baru menjalani terapi. Sehingga

pasien yang baru menjalani terapi membuat mereka menghadapi atau

mengalami ketegangan, kecemasan, stress serta depresi yang dapat

mengakibatkan perubahan secara fisiologi maupun secara psikologi yang

akan berdampak negatif kesehatan (Nasiri, 2012).


27

2.1.2.7 Keuntungan dan Kelemahan Hemodialisa

Keuntungan yang dapat diperoleh dari hemodialisa adalah :

a. Produk sisa nitrogen molekul kecil cepat dibersihkan.

b. Resiko kesalahan tehnik kecil dan waktu dialisat cepat.

c. Adekusi dialisis dapat ditetapkan segera, underdialisis segera bisa

dikoreksi (Brunner and Suddart, 2011)

Dalam melaksanakan hemodialisa, tidak menutup kemungkinan

untuk terjadinya komplikasi dalam melakukan tindakan tersebut.

Komplikasi yang sering terjadi adalah tekanan darah rendah yang bisa

mengarah kepada anemia, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit di

dada, sakit di punggung, gatal-gatal, demam, kedinginan, gangguan pada

jumlah kalsium dan fosfor dalam tulang, gangguan bicara, kontraksi otot

mendadak, kejang, gangguan gizi dan masalah psikologis (Brunner and

Suddart, 2011).

Selain itu kelemahan lain yang terjadi adalah kemungkinan

terkontaminasinya alat dengan kuman saat membersihkan alat dialisa

sehingga terjadi penurunan kemampuan alat untuk membersihkan racun

dari tubuh, sehingga mengakibatkan penurunan ultrafiltrasi alat dialisa

(Nasiri, 2012).

2.1.3 Psikologis

2.1.3.1 Pengertian Psikologi

Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang terus berkembang dan

dipelajari adalah psikologi. Psikologi berasal dari kata Yunani yaitu

“psyche” yang artinya jiwa, dan “logos” yang artinya adalah ilmu
28

pengetahuan. Jadi secara etimologi, psikologi adalah ilmu yang membahas

segala sesuatu tentang jiwa, baik gejalanya, proses terjadinya, maupun

latar belakang kejadian tersebut (Zulfan Saam, 2013).

Berdasarkan pengertian psikologi yang telah didefinisikan diatas,

dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu yang yang mempelajari

kejiwaan seseorang.

2.1.3.2 Psikologis

Psikologis seseorang adalah suatu hal yang berkaitan dengan

bagaimana kondisi jiwa, pikiran bekerja dan berpikir, dan perasaan yang

mempengaruhi perilaku (Huppert, 2009). Hal ini merupakan kombinasi

dari perasaan yang baik dan berfungsi secara efektif. Orang-orang dengan

kejiwaan psikologis yang baik memiliki perasaan senang, mampu,

mendapat dukungan dan puas dengan kehidupannya.

Selain itu, Huppert (2009) juga memasukkan kesehatan fisik yang

lebih baik dimediasi oleh pola aktivasi otak, efek neurokimia dan faktor

genetik. Ryan & Deci (2011) mengidentifikasikan dua pendekatan pokok

untuk memahami psikologis. Pertama, psikologis yang baik difokuskan

pada kebahagiaan, dengan memberi batasan dengan batas-batas

pencapaian kebahagiaan dan mencegah dari kesakitan. Fokus yang kedua

kejiwaan psikologis yang baik adalah batasan menjadi orang fungsional

secara keseluruhan atau utuh, termasuk cara berfikir yang baik dan fisik

yang sehat.

Ryff (2009) mendefinisikan kejiwaan psikologis yang baik sebagai

sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri
29

sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur

tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang

kompatibel dengan kebutuhannya, serta berusaha mengeksplorasi dan

mengembangkan diri

Menurut Diener (2008), kejiwaan psikologis merupakan perasaan

subjektif dan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri. Kesejahteraan

psikologis dapat menjadi gambaran mengenai level tertinggi dari fungsi

individu sebagai manusia dan apa yang diidam-idamkannya sebagai

mahluk yang memiliki tujuan dan akan berjuang untuk hidupnya.

Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan

bahwa kejiwaan psikologis yang baik adalah suatu keadaan dimana ibu

bekerja mampu menerima keadaan dirinya, membentuk hubungan yang

hangat dengan orang lain, mampu mengontrol lingkungan, memiliki

kemandirian, tujuan hidup dan mampu mengembangkan diri.

2.1.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psikologis

Faktor yang mempengaruhi psikologis seseorang antara lain:

1. Faktor Demografis

Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psikologis

antara lain sebagai berikut:

a. Usia

Ryff dan Keyes (2009) mengemukakan bahwa perbedaan usia

mempengaruhi perbedaan dimensi-dimensi psikologis. Dalam

penelitiannya ditemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan

dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia,


30

terutama dari dewasa muda hingga madya. Dimensi hubungan positif

dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring

bertambahnya usia.

b. Jenis kelamin

Sejak kecil stereotipe gender telah tertanam dalam diri, anak

laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri,

sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan

tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia,

2008). Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotipe ini

akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut dewasa.

Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap

perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk

membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Selain

itu dijelaskan juga bahwa perempuan lebih memiliki integritas sosial

dan memiliki skor yang tinggi pada hubungan positif dengan orang

lain daripada laki-laki (Hidalgo, 2010).

c. Status Sosial Ekonomi

Ryff dan Keyes (2009) juga menemukan bahwa perbedaan

kelas sosial juga mempengaruhi kejiwaan psikologis seorang

individu. Bahwa pendidikan tinggi dan status pekerjaan

meningkatkan kejiwaan psikologis yang baik, terutama pada dimensi

penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup. Individu yang menempati

kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif

terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa
31

keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada

di kelas sosial yang lebih rendah.

d. Budaya

Budaya dan masyarakat terkait dengan norma, nilai dan

kebiasaan yang berada dalam masyarakat. Budaya individualistik

dan kolektivistik memberikan perbedaan dalam psikologis

seseorang.

2. Dukungan Sosial

Dukungan sosial sendiri diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian,

penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang

individu yang didapat dari orang lain atau kelompok. Dukungan ini

berasal dari berbagai sumber diantaranya pasangan, keluarga, teman,

rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial (Taylor, 2009).

3. Kesehatan Fisik

Ryan dan Frederick (2007) menemukan bahwa vitalitas subjektif

tidak hanya berkorelasi dengan faktor psikologis tetapi berkaitan juga

dengan gejala fisik. Simptom fisik memprediksi penurunan energi dan

kehidupan individu sehari-hari.

4. Pemberian Arti Terhadap Hidup

Kejiwaan psikologis seseorang berkaitan erat dengan pemberian

arti terhadap pengalaman hidup sehari-hari yang dianggap penting.

Menurut Ryff (2009), pemberian arti terhadap pengalaman hidup

memberi kontribusi yang sangat besar terhadap pencapaian

kesejahteraan psikologis.
32

5. Religiusitas

Agama dan spiritualitas sangat penting bagi kejiwaan psikologis

individu. Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup

manusia kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas

yang tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif

sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2010)

2.1.3.4 Psikologis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani

Hemodialisa

Gagal ginjal merupakan penyakit yang paling berbahaya dan paling

sulit disembuhkan dari penyakit ginjal lainnya. Gagal ginjal kronis

merupakan sebuah kondisi dimana ginjal yang terdapat dalam diri manusia

tidak lagi mampu menjalankan fungsinya untuk menyaring racun dan zat

kotor lain yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dikonsumsi.

Orang yang terkena gagal ginjal kronis biasanya terlebih dahulu memiliki

komplikasi penyakit seperti hipertensi dan diabetes mellitus.

Hemodialisa merupakan metode perawatan umum untuk pasien

gagal ginjal kronik. Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa,

membutuhkan waktu 12-15 jam untuk dialisa setiap minggunya, atau

paling sedikit 3-4 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan berlangsung terus-

menerus sepanjang hidupnya (Smeltzer, 2008). Dengan demikian, keadaan

ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya serta penyesuaian diri

terhadap kondisi sakit akan berdampak terjadinya perubahan dalam

kehidupan pasien.
33

Prosedur hemodialisa sangat bermanfaat bagi pasien penyakit gagal

ginjal tahap akhir, namun bukan berarti tidak beresiko dan tidak

mempunyai efek samping (Maris, 2013). Beberapa pasien yang telah di

diagnosa menderita penyakit ginjal tahap akhir berada pada frekuensi 2-3

kali menjalani terapi hemodialisa setiap minggunya yang menghabiskan

waktu beberapa jam untuk terapi, akan membuat mereka menghadapi atau

mengalami ketegangan, kecemasan, stress serta depresi yang berbeda-beda

pada tingkatannya pada setiap individu yang dapat mengakibatkan

perubahan secara fisiologi maupun secara psikologi yang akan berdampak

negatif terhadap kualitas hidup dan kesehatannya (Lila, 2012).

Aspek psikologis pada penderita gagal ginjal kronik yang sering

dialami adalah perasaan mudah sensitif, bingung, menderita, cepat stress

(Hadibroto, 2010). Sedangkan menurut Smeltzer (2008) aspek psikologis

yang sering dialami pasien gagal ginjal kronik adalah pasien biasanya

menghadapi masalah keuangan, kesulitan dalam mempertahankan

pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, khawatir

terhadap perkawinan dan ketakutan terhadap kematian.

Nuriyanto (2010), mengatakan dengan semakin seringnnya pasien

rutin menjalani terapi hemodialisa terkadang membuat pasien bosan

karena harus menjalani hemodialisa secara terus menerus, belum lagi jarak

rumah atau lamanya waktu tempuh waktu tempuh ke tempat pelayanan

kesehatan, Status kesehatan, ekonomi serta proses dari hemodialisa itu

sendiri dapat mempengaruhi perubahan dalam kehidupan penderita. Hal

ini jelas menunjukan adanya keadaan stress yang akan memperburuk


34

kondisi kesehatan penderita dan akan menurunkan kualitas hidupnya.

Walaupun pasien bisa bertahan hidup dengan bantuan mesin hemodialisa,

namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari

penyakit dan terapi hemodialisa.

2.1.3.5 Indikator Psikologis Pasien Gagal Ginjal Kronik

Pada pasien gagal ginjal kronik, terapi hemodialisa pada pada enam

bulan sampai satu tahun pertama terapi, pasien merasa ketidak-nyamanan

dan ketidak-bebasan. Penolakan terhadap kondisi yang dialami tersebut

biasanya menghasilkan konflik dalam diri pasien. Menurut Andri (2015)

menyatakan ada beberapa gangguan psikologis yang muncul pada pasien

gagal ginjal, diantaranya adalah :

1. Delirium adalah kondisi medis yang ditandai dengan kesulitan

konsentrasi dan gangguan kecerdasan sampai kebingungan yang

disertai dengan kelesuan. Delirium pada kondisi gagal ginjal dikaitkan

dengan kegagalan ginjal dalam mengeluarkan metabolit beracun dari

dalam tubuh lewat saluran kemih.

2. Depresi adalah kondisi gangguan kejiwaan yang paling banyak

ditemukan pada pasien gagal ginjal. Prevalensi depresi berat pada

populasi umum adalah sekitar 1,1 - 15% pada laki-laki dan 1,8 - 23%

pada wanita. Namun pada pasien hemodialisa, prevalensinya sekitar 20-

30%, bahkan bisa mencapai 47%. Kondisi gagal ginjal yang biasanya

dibarengi dengan hemodialisa adalah kondisi yang sangat tidak

nyaman.
35

3. Sindrom Disequilibrium, gangguan ini cukup sering terjadi pada pasien

hemodialisa dan biasanya terjadi 3 - 4 jam setelah hemodialisa, namun

bisa juga terjadi 8 - 48 jam setelahnya. Kondisi ini muncul karena

terjadi ketidakseimbangan osmotik dan perubahan pH darah yang cepat

sehingga memicu gejala seperti sakit kepala, mual, kram otot,

iritabilitas, agitasi, mengantuk dan terkadang kejang.

Sedangkan menurut Kubler Ross (1969) terdapat 5 fase kehilangan :

1. Denial ( Mengingkari )

Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok,

tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi,

dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu

tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit

terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih,

lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,

menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas

cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.

2. Anger ( Marah )

Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan

terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat

yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya,

orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia

menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan

menuduh dokter dan perawat yang tidak becus. Respon fisik yang
36

sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah,

susah tidur, tangan mengepal.

3. Bergaining ( Tawar Menawar )

Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya

secara sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan

memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan

kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa ditunda maka saya akan sering

berdoa”. Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka

pernyataannya sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan

anak saya”

4. Depression ( Bersedih yang mendalam)

Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain

menarik diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai

pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang

menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang

sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih,

dorongan libido menurun.

5. Acceptance (Menerima)

Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan.

Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai

berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan

yang dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai

dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru.

Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya


37

betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis

juga”, atau “apa yang dapat saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.

2.2 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian adalah : sebuah ekspresi keingintahuan peneliti

akan sebuah informasi yang dituangkan dalam sebuah kalimat tanya.

(Wikipedia, 2017)

Pada penelitian inidapat dirumuskan pertanyaan penelitian dengan

aspek-aspek sebagai berikut :

1. Gagal ginjal kronik, meliputi pengertian, penyebab, patofisiologi,

komplikasi awal, tanda dan gejala, stadium gagal ginjal kronik,

penatalaksanaan.

2. Hemodialisa, meliputi pengertian, tujuan, prinsip kerja hemodialisa, proses

hemodialisa, frekuensi hemodialisa, lama menjalani hemodialisa,

keuntungan dan kerugian hemodialisa.

3. Psikologis, meliputi pengertian psikologis, kondisi psikologis pada pasien

perempuan dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.


38

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan

deskriptif. Metode penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang

mengungkapkan situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara

benar, data dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan dan analisa

data yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah (Satori, 2013).

Pendekatan deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan

tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan

secara objektif (Notoatmojo, 2012). Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat

respon psikologis pasien gagal ginjal yang mengalami hemodialisa di RSUD dr.

M.Yunus Provinsi Bengkulu.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Ruangan Hemodialisa RSUD dr. M.

Yunus Provinsi Bengkulu.

3.3 Sumber Informasi

Sumber informasi (informan) dalam penelitian ini adalah para pasien gagal

perempuan dengan gagal ginjal kronik yang mengalami hemodialisa di ruangan

hemodialisa RSUD dr. M.Yuns Provinsi Bengkulu sebanyak 5 orang.

Metode pemilihan informan pada penelitian ini menggunakan teknik

“purposive sampling”, yaitu teknik pengambilan sampel secara acak dengan

38
39

mempertimbangankan kriteria yang ditetapkan dalam penelitian ini. Adapun

kriteria informan pada penelitian ini adalah :

1. Pasien perempuan dengan gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di

RSUD Dr. M. Yunus Provinsi Bengkulu

2. Sudah menjalani hemodialisa > 3 kali

3. Perempuan yang sudah menikah

4. Bersedia menjadi repsonden.

5. Berdomisili di daerah kota Bengkulu

3.4 Definisi Istilah

Definisi istilah adalah penjelasan tentang setiap variabel yang ada didalam

kerangka pikir yang perlu diamati dalam penelitian sehingga memiliki garis batas

yang jelas.

Pada penelitian ini definisi istilah digunakan untuk menjelaskan:

1. Pasien perempuan dengan gagal ginjal kronik adalah perempuan yang tidak

mampu mengatasi masalah kesehatan ketika berinteraksi dengan lingkungan

(King, 2009)

2. Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang diakibatkan oleh

kerusakan ireversibel (Patricia, 2010).

3. Penyebab gagal ginjal kronik adalah penyakit sistemik seperti diabetes

mellitus, glumerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi tak terkontrol,

obstruksi saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler, lesi

herediter, agen toksis (timah, kadmuim, dan merkuri) (Padila, 2012).


40

4. Patofisiologi gagal ginjal kronik adalah Patofisiologi gagal ginjal kronik

dimulai pada fase awal gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam,

serta penimbunan zat-zat sisa (Arif, 2010)

5. Gejala gagal ginjal kronik adalah terjadinya perubahan pada Gromerular

filtration rate (GFR) (M.Arrayan, 2008).

6. Stadium gagal ginjal kronik adalah perjalanan terjadinya gagal ginjal

progresif menjadi gagal ginjal kronik (The Renal Association, 2013).

7. Penatalaksanaan gagal ginjal kronik adalah teknik penanganan gagal ginjal

kronik (Padila, 2012)

8. Hemodialisa adalah tindakan pengobatan bagi pasien dengan tahap akhir

gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu

singkat (Nursalam, 2006).

9. Tujuan hemodialisa adalah manfaat yang ingin dicapai dari kegiatan

hemodialisa yaitu mencegah kematian (Sidabutar, 2010).

10. Prinsip dasar hemodialisa adalah difusi, osmosis, ultrafiltrasi (Bunner and

Suddart, 2011)

11. Proses hemodialisa adalah hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah

ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dializer) yang terdiri dari dua

kompartemen (Sudoyo, 2009).

12. Frekuensi hemodialisa adalah terapi hemodialisa yang harus dijalani pasien

gagal ginjal kronik, ada yang menjalani tiga kali sehari, ada yang lima hari

sekali (Susanto, 2007)

13. Lama menjalani hemodialisa adalah panjangnyanya waktu yang harus dialami

pasien gagal ginjal kronik dalam menjalani hemodialisa (Nasiri, 2012)


41

14. Keuntungan dan kelemahan hemodialisa adalah efek samping dari proses

hemodialisa yang dijalani pasien gagal ginjal kronik (Brunnerand Suddart,

2011)

15. Psikologis pasien perempuan gagal ginjal kronik yang menjalani tindakan

hemodialisa adalah cerminan jiwa dari pasien gagal ginjal kronik yang

dimanifestasikan dalam perilaku berupa penerimaan ataupun penolakan

terhadap kondisi yang dialami dalam tindakan hemodialisa. (Andri, 2012).

16. Kejiwaan psikologis pasien gagal ginjal kronik adalah perasaan hidup yang

berjalan dengan baik dan berfungsi secara efektif, puas dengan kehidupannya

(Huppert, 2009)

17. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) adalah institusi pelayanan kesehatan

yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna

atau menyeluruh yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan

rawat darurat (Kemenkes, 2011).

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti hanya menggunakan data primer. Data primer

yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dengan melakukan wawancara

kepada informan tentang psikologis pasien akibat hemodialisa.

Metode yang peneliti gunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini

adalah teknik wawancara mendalam yaitu tehnik pengumpulan data dengan cara

mengajukan beberapa pertanyaan psikologis secara langsung pada pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD dr. M. Yunus Kota bengkulu

yang dijadikan informan penelitian.


42

3.6 Rencana Pengujian Keabsahan Data

Teknik keabsahan data dalam penelitian ini menggunkan triangulasi sumber

dan triangulasi teknik (Satori, 2013) :

1. Triangulasi Sumber

Yaitu untuk mengecek kebenaran data dari keberagaman sumber,

dalam penelitian ini peneliti membandingkan antara hasil pengamatan

dengan hasil wawancara dan pendapat pribadi.

2. Triangulasi waktu

Yaitu penelitian melakukan observasi lebih dari satu kali agar hasil

diperoleh memuaskan hal ini dilakukan apabila ada perubahan pada proses

kerja dan perilaku manusia.

3. Triangulasi teknik

Yaitu mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang

berbeda, misalnya data diperoleh dengan wawancara kemudian dicek

dengan dokumentasi dan observasi.

3.7 Pengolahan dan Penyajian Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dari konsep Miles dan

Huberamn, proses analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung

terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Adapun tahap

analisis data yaitu (Sugiono, 2011) :

1. Data reduction (Reduksi Data)

Reduksi data yaitu data primer dan skunder yang diperoleh dari lapangan

jumlahnya cukup banyak untuk itu perlu dipilih mana yang penting,
43

kemudian dirangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada

hal-hal yang penting kemudian dicari tema dan polanya.

2. Data Display (Penyajian Data)

Data display (penyajian data) yaitu didalam penelitian kualitatif penyajian

data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar

kategori dan yang paling sering adalah dengan teks yang bersifat naratif.

3. Conclusion Drawing/Vertification (Kesimpulan)

Langkah terakhir dalam penelitian ini adalah penarikan kesimpulan dan

verifikasi. Kesimpulan Dalam penelitian kualitatif merupakan temuan

baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi

atau gambaran objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap

sehingga setelah diteliti menjadi jelas.


44

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 GambaraUmum Tempat Penelitian

4.1.1 Letak RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu

RSUD DR. M. Yunus Bengkulu merupakan salah satu rumah sakit

rujukan pertama yang ada di Provinsi Bengkulu dan beralamat di

Jl.Bhayangkara Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Gading Cempaka Kota

Bengkulu Telp.(0736)52004,52005,52006. RSUD DR. M. Yunus memiliki

luas tanah 200.00 m2 dengan luas bangunan yaitu 16.798 m2

4.1.2 Sejarah RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu

Sejarah berdirinya Rumah Sakit Umum Bengkulu dimulai dengan

kondisi dan fungsi yang masih sederhana berupa rumah sakit pembantu

yang didirikan pada tahun 1922 yang berlokasi di jl. Ahmad Yani samping

Kantor Pos dan Giro lama (depan Tugu Thomas Par Pasar Baru Koto),

dengan pimpinan Dr. Hockzan. Pada tahun 1925 RSU Bengkulu

dipindahkan lokasinya secara tersendiri dengan kondisi bangunan semi

permanen didaerah Anggut Bawah sekarang Jalan Sukarno Hatta dimana

saat ini lokasi tersebut dibangun Mesjid Akbar At-Taqwa. Pada tahun 1925

ini Indonesia masih dibawah penjajahan Belanda sehingga tidak

mengherankan jika yang menjadi kepala rumah sakit pada saat itu adalah

seorang dokter Belanda yang bernama Dr.Brimkop. Dalam menjalankan

tugasnya dibantu seorang dokter Indonesia yang bernama Dr. Asikin serta

beberapa tenaga pembantu lainnya yaitu 4 orang perawat/zeeken opasser

44
45

(Indonesia), 1 orang tenaga administrasi (Indonesia) dan 2 orang pembantu

(Indonesia).

Status Bengkulu saat itu adalah Ibukota Keresidenan, setelah

Indonesia merdeka terjadi perkembangan dan pemekaran daerah wilayah

dimana bengkulu yang tadinya status keresidenan menjadi Daerah Tingkat

II Kabupaten Bengkulu Utara/ Kotamadia Bengkulu dengan Ibukota berada

di Kotamadia Bengkulu. Pemekaran terus berlanjut, sampailah pada tahun

1968 (18 Nopember 1968) status Bengkulu ditingkatkan yaitu dari Daerah

Tingkat II menjadi Daerah Tingkat I yang meliputi wilayah: Kotamadia

Bengkulu, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, dan

Kabupaten Bengkulu Selatan.

Pada tahun 1978 RSUD Bengkulu pindah kelokasi jalan Indra Giri

Padang Harapan yang diresmikan oleh Menteri Kesehatan RI Prof. GA.

Siwabessy pada tanggal 7 Maret 1978. Berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Kesehatan Nomor 51/Menkes/SK/II/1978 tahun 1978, RSU

Provinsi Dati I Bengkulu ditetapkan menjadi rumah sakit dengan klarifikasi

Kelas C. Melihat dari perkembangan pelayanan dari tahun ke tahun terus

meningkat sedangkan sarana dan prasarana penunjang penunjang sudah

tidak seimbang, maka pihak penyelenggara Rumah Sakit bersama instansi

terkait kembali memperjuangkan status rumah sakit dan pembangunan

rumah sakit baru.

Usaha ini kemudian mendapat persetujuan pemerintah pusat dan

daerah yang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nomor :

1065/MENKES/SK/XI/1992, tanggal 20 November 1992 dan Surat


46

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bengkulu Nomor 15 tahun

1993 tentang penetapan Status Rumah Sakit Umum Provinsi Bengkulu

menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat I Type B Non Pendidikan.

Dengan perubahan status Rumah Sakit secara otomatis pula terjadi

perubahan struktur organisasi dimana RSU Type B Non Pendidikan sejajar

dengan Dinas Instansi di daerah Eselon II B. Dengan adanya beberapa

prestasi Rumah Sakit Umum Bengkulu maka atas kepercayaan Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala

Daerah Tk.I Bengkulu Nomor 145 tahun 1993 Rumah Sakit Umum

Bengkulu ditetapkan sebagai Rumah Sakit Daerah Uji Coba Swadana, dan

ini dilaksanakan setahun lebih, kemudian berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Dalam Negeri Nomor 445.28366 Tahun 1994,

menyatakan/menetapkan Rumah Sakit Umum Provinsi Daerah Tingkat I

Bengkulu menjadi Rumah Sakit Unit Swadana Daerah Penuh.

Pembangunan gedung Rumah Sakit Umum Propinsi Daerah Tingkat I

Bengkulu yang baru berlokasi di Desa Sidomulyo Kecamatan Selebar

Kotamadia Bengkulu dan sudah beroperasi sejak tahun 1996 dimana dalam

kegiatannya melaksanakan fungsi pelayanan pengobatan dan perawatan juga

tidak ketinggalan berperan serta dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi

dalam gerak pembangunan yang terus bergulir. Dengan sejumlah prestasi

dan penghargaan yang pernah diraih Rumah Sakit Umum Propinsi Daerah

Tingkat I Bengkulu, akhirnya Pada tanggal 25 November 1997 Rumah Sakit

Umum Daerah Propinsi Bengkulu diesmikan oleh Menteri Kesehatan Prof.

Dr. Sujudi dengan nama RSUD Dr. M Yunus Bengkulu.


47

Selanjutnya pada tanggal 2 januari 2004 berdasarkan SK Direktur

RSUD DR. M. Yunus Bengkulu No: 821/11306/SK/UM.14 tentang uraian

tugas dilingkungan RSUD dijabarkan seluruh uraian tugas pejabat struktural

dan fungsional/instalasi RSUD DR. M Yunus Bengkulu sebagai rumah sakit

rujukan tertinggi di Provinsi Bengkulu menyelenggarakan upaya kesehatan

diwajibkan harus memperhatikan dasar-dasar pembangunan kesehatan

sebagai integral dalam mendukung pembangunan kesehatan menuju

indonesia sehat 2014 yaitu prikemanusiaan, pemberdayaan, kemandirian,

adil dan merata serta pengutamaan dan manfaat.

Melihat perkembangan yang ditunjukkan RSUD DR. M. Yunus

Bengkulu, maka pada Tanggal 15 Desember 2006 berdasarkan SK Menteri

Kesehatan No: 1413/MENKES/SK/XII/2006, klarifikasi kelas B non

pendidikan RSUD DR. M. Yunus Bengkulu dinaikkan menjadi rumah sakit

dengan klariikasi kelas B pendidikan dan merupakan rumah sakit rujukan

tetinggi di provinsi Bengkulu. Selanjutnya tanggal 29 Desember 2009

berdasarkan SK Gubernur No: 320XXVII, RSUD DR. M. Yunus Bengkulu

ditetapkan menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)

4.1.3 Visi, Misi dan Tujuan

Sebagai instansi yang memberikan pelayanan kesehatan yang baik

bagi masyarakat, RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu mempunyai visi,misi dan

tujuan yang akan dicapai oleh organisasi tersebut :

1. Visi

RSUD Dr.M.Yunus merupakan Rumah Sakit Umum rujukan

tertinggi di Provinsi Bengkulu yang mempunyai andil dan peranan dalam


48

peningkatan kesehatan masyarakat propinsi Bengkulu, guna untuk

membantu penyembuhan para penderita penyakit yang datang berobat ke

rumah sakit. Upaya tersebut meliputi promotif, preventif, kuratif dan

rehabilitatif dengan visi : “ Menjadi pusat Rujukan Medis terbaik melalui

pelayanan prima dan Pusat Pendidikan terbaik di provinsi Bengkulu”.

2. Misi

a. Memberi pelayanan cepat, tepat, ramah dan terjangkau bagi semua

masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial

b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai tenaga

profesional dalam memberikan pelayanan.

c. Memenuhi kebutuhan sarana dan fasilitas Rumah Sakit untuk

menunjang kualitas pelayanan.

d. Meningkatkan kesejahteraan karyawan sebagai motivasi kerja dalam

memberikan pelayanan prima

e. Meningkatkan disiplin anggaran dalam rangka menunjang efisiensi

pengeluaran

f. Menunjang tercapainya pendidikan profesi kedokteran melalui

pendidikan, penelitian dan pelayanan serta pengabdian masyarakat.

3. Tujuan

a. Tujuan Umum

Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk

hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat

kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur

kesejahteraan umum dari Tujuan nasional. Untuk itu RSUD.


49

Dr.M.Yunus Bengkulu sebagai pusat rujukan tertinggi di propinsi

Bengkulu diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan

paripurna bagi masyarakat melalui upaya promotif, preventif, kuratif

dan rehabilitatif dengan mutu terbaik dan biaya yang terjangkau.

b. Tujuan Khusus

1) Meningkatkan manajemen profesional dalam rangka mewujudkan

pelayanan prima.

2) Meningkatkan jaringan pemasaran untuk meningkatkan pendapatan

rumah sakit.

3) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam menanggulangi

sebagian biaya pelayanan kesehatan di rumah sakit.

4) Mengembangkan rumah sakit sebagai pusat penelitian dan

pendidikan di bidang kesehatan.

5) Melengkapi sarana dan prasarana rumah sakit dengan standar.

6) Meningkatkan akuntabilitas rumah sakit. (Profil

RSUD.Dr.M.Yunus Bengkulu, 2010)

4.2 Gambaran Karakteristik Informan

Pada penelitian ini, saya memperoleh informan sebanyak 5 orang yang

terdiri dari ibu-ibu dengan gagal ginjal kroni yang menjalani hemodialisa di

RSUD. Dr.M.Yunus Bengkulu. Karakteristik responden dapat dilihat pada

tabel dibawah ini.


50

Tabel 2
Karakteristik Responden

Jml
No Informan Inisial Umur Pendidikan Agama Pekerjaan
Anak

1 Informan 1 Ny. R 34 Thn SMA Islam IRT 3

2 Informan 2 Ny. M 47 Thn SMP Islam IRT 2

3 Informan 3 Ny. H 50 Thn S.1 Islam PNS 2

4 Informan 4 Ny. S 52 Thn SMP Islam IRT 3

5 Informan 5 Ny. J 60 Thn SD Islam IRT 3

Sumber : Data primer yang diolah, 2017

Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa tingkat pendidikan

informan bervariasi mulai dari hanya tamatan SD sampai Sarjana. Pekerjaan

informan sebagian besar ibu rumah tangga dan satu informan yang bekerja

di Kantor Walikota. Agama yang dianut oleh ke lima informan adala agama

Islam.

1. Informan 1

Informan 1 adalah Ny. R yang berumur 34 tahun, beragama Islam dengan

pendidikan terakhir adalah SMA, pekerjaan ibu rumah tangga,

mempunyai 3 orang anak tapi 1 orang anak meninggal ketika berusia 6

bulan. Ny. R telah menjalani hemodialisa sejak 1 tahun yang lalu.

2. Informan 2

Informan 2 adalah Ny. M yang berumur 47 tahun, beragama Islam

dengan pendidikan terakhir adalah SMP, pekerjaan ibu rumah tangga,

mempunyai 2 orang anak dan telah menjalani hemodialisa sejak 6 tahun

yang lalu
51

3. Informan 3

Informan 3 adalah Ny. H yang berumur 50 tahun, beragama Islam

dengan pendidikan terakhir adalah S.1, bekerja di PEMDA Kota

Bengkulu, mempunyai 2 orang anak. Ny. H telah menjalani hemodialisa

sejak 2 tahun yang lalu

4. Informan 4

Informan 4 adalah Ny. S yang berumur 52 tahun, beragama Islam dengan

pendidikan terakhir adalah SMP, pekerjaan ibu rumah tangga,

mempunyai 3 orang anak dan telah menjalani hemodialisa sejak 2,5

tahun yang lalu

5. Informan 5

Informan 5 adalah Ny. J yang berumur 60 tahun, beragama Islam dengan

pendidikan terakhir adalah SD, pekerjaan ibu rumah tangga, mempunyai

3 orang anak. Ny. J telah menjalani hemodialisa sejak 3 tahun yang lalu

4.3 Hasil Penelitian

Hasil wawancara dengan ke 5 informan yang menjalani hemodialisa

menghasilkan 3 tema yang menjelaskan permasalahan penelitian tersebut.

Tema yang diperoleh tentang pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M.Yunus Provinsi

Bengkulu adalah sebagai berikut.

1. Aspek Pengetahuan

Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan

etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang

progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Hasil


52

penelitian menunjukkan penyebab gagal ginjal kronik adalah diabetus

mellitus, glumerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi tak terkontrol.

Gejala utama dari gagal ginjal kronik berupa keluhan rasa sakit di

daerah pinggang yang dapat disertai rasa mual, muntah, gatal-gatal di

kulit, lemas, lesu, cepat lelah, kurang cairan dalam tubuh, sembab di

daerah muka, perut dan kaki, nafsu makan menurun, frekuensi dalam

buang air dan jumlah urin berubah, libido menurun serta menstruasi yang

tidak teratur. Perubahan lainnya yang dialami meliputi gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, gangguan hormon,

perubahan kulit, perubahan pada saluran cerna.

Penyakit gagal ginjal terdiri dari 5 stadium, namun pada penelitian

ini informan tidak mengetahui stadium-stadium yang ada pada penyakit

gagal ginjal kronik. Penatalaksanaan gagal ginjal kronik terdiri dari

manajemen diet. Terapi manajemen diet, obat-obatan, Continous

Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan hemodialisa.

Hemodialisa adalah tindakan pengobatan dengan tujuan

mengeluarkan sisa metabolisme atau elektrolit darah serta cairan tubuh

melalui proses pertukaran antara bahan yang ada dalam dialisat dengan

bahan yang ada dalam darah melewati membran semipermeabel secara

difusi atau ultrafiltrasi. Hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu dengan

setiap hemodialisa selama 5 jam.

Dalam menjalani hemodialisa, informan memproleh manfaat yang

begitu besar bagi informan seperti nafsu makan sudah meningkat, badan

kembali bugar. Namun dalam melaksanakan hemodialisa, juga tidak


53

menutup kemungkinan untuk terjadinya komplikasi dalam melakukan

tindakan tersebut. Komplikasi yang sering terjadi adalah tekanan darah

rendah yang bisa mengarah kepada anemia, kram otot, mual, muntah,

sakit kepala, sakit di dada, sakit di punggung

2. Aspek Penanganan

Penatalaksanaan yang biasa digunakan dalam penanganan gangguan

ginjal kronik adalah manajemen diet, dialisa dan obat-obatan. Prinsip kerja

hemodialisa terdiri dari beberapa tahapan yaitu difusi dimana toksik dan

zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi, yaitu dengan

cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke cairan

dialisat yang mempunyai konsentrasi yang lebih rendah. Kadar elektrolit

darah dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat (dialysate

bath) secara tepat. Tahap kedua yaitu osmosis, air yang berlebihan

dikeluarkan dari tubuh melalui proses osmosis. Setelah proses osmosis,

selanjutnya dilakukan ultrafiltrasi dimana air yang bergerak dari daerah

dengan tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih rendah dapat

ditingkatkan melalui penambahan tekanan negetif yang dkenal dengan

ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena pasien tidak dapat mengeksresikan

air, kekuatan ini diperlikan untuk memerlukan cairan hingga tercapai

isovolemia (keseimbangan cairan).

Berdasarkan hasil wawancara dengan ke lima (5) informan, dalam

menjalani proses hemodialisa sebelumnya barat bdan dan tekanan darah

informan diukur kemudian dilakukan hemodialisa selama kurang lebih 5


54

jam. Setelah proses hemodialisa selesai, berat badan dan tekanan darah

tinggi informan diukur kembali.

3. Aspek Psikologis

Penyakit gagal ginjal kronik yang dialami informan yang menjalani

hemodialisa memberikan dampak psikologis. Psikologis merupakan suatu

hal yang berkaitan dengan bagaimana kondisi jiwa, pikiran bekerja dan

berpikir, dan perasaan yang mempengaruhi perilaku.

Psikologis yang sering terjadi pada penderita gagal ginjal adalah

depresi, stress dan penurunan penerimaan atas diri pribadi. Pada penelitian

ini diketahui bahwa informan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari

tidak mengalami dampak psikologis yang bersifat negatif secara

permanen. Perasaan sedih, stress dan depresi hanya dirasakan ketika

pertama kali mengetahui penyakit yang dialaminya. Dan untuk selanjutnya

berkat dukungan keluarga dan perhatian dari suami membuat rasa percaya

diri informan tumbuh kembali.

Dengan tema yang sudah saya peroleh dan saya susun, maka saya juga

sudah melakukan penelitian terhadap ke lima (5) informan. Dengan

demikian saya embuat sebuah kerangka tema sebagai berikut :


55

KERANGKA TEMA

JAWABAN SUB TEMA TEMA

Fungsi ginjal yang


Pengertian
tidak berfungsi lagi

Diabetes Mellitus
Hipertensi Penyebab
Obat-obatan
(Agen Toksik)

Darah Tinggi
Riwayat
Kencing Manis Penyakit
Batu empedu Sebelumnya

Aspek Gagal
Sakit Pinggang Ginjal Kronik

Lemas, Lesu

Muntah dan Mual Gejala

Sesak

Bengkak

Tidak Nafsu Makan

Stadium Gagal
Tidak Mengetahui
Ginjal Kronik

Cuci Darah Cara Mengatasi


Gagal Ginjal
Minum Dibatasi Kronik

Gambar 3
Tema Gagal Ginjal Kronik
56

KERANGKA TEMA

JAWABAN SUB TEMA TEMA

Cuci Darah untuk


membuang racun Pengertian
dalam tubuh

Cairan Menumpuk

Racun tambah banyak Alasan

Biar tidak bengkak

Tidak Mengetahui Prinsip Kerja


Hemodiaisa

Ukur tensi dan


timbang Berat Badan Aspek
Sebelum Tindakan Hemodialisa
Hemodialisa
kemudian diberi Tindakan
tindakan hemodialiasa Hemodialisa
sesudahnya ditimbang
lagi berat badan dan
tensiya

2x seminggu, Senin
siang dan Kamis pagi Frekeunsi

1 Tahun

2 Tahun
Lama menjalani
3 Tahun hemodialisa

5 Tahun

6 Tahun
57

Lanjutan.....

Nafsu makan
membaik

Bisa beraktivitas
kembali
Manfaat
Hemodialisa
Badan terasa segar

Tidak sesak lagi


Nafsu makan
membaik

Tidak ada
Kelemahan
Hemodialisa
Sedikit Pusing

Gambar 4
Tema Hemodialisa
58

KERANGKA TEMA

JAWABAN SUB TEMA TEMA

Sedih

Menangis Perasaan Saat Di


Sedih
Diagnosa Gagal
Kaget Ginjal Kronik
Putus Asa

Takut
Perasaan Saat
Cemas Menjalani
Hemodialisa
Pasrah

Sedih

Putus Asa
Penerimaan Diri
Aspek
Tidak Berdaya Terhadap Gagal
Psikologis
Ginjal Kronik
Daya Tarik Diri
Berkurang

Masih Seperti Biasa


Peran Sebagai
Istri
Tidak Ada Masalah

Menjalani peran ibu


seperti biasa
Peran Sebagaibu
Anak-anak sudah
besar, mereka yang
mengurus saya

Ada perasaan daya


tarik berkurang Perasaaan di
Hadapan Suami
Percaya Diri
59

Lanjutan.....

Tidak ada perubahan

Pengertian Perubahan
Tingkah Laku
Perhatian Suami
Tambah Sayang

Tidak pernah menolak

Aktivitas seksual Perubahan


Aspek
seperti biasa Tingkah Laku
Psikologis
Suami

Sudah kewajiban istri

Ada perasaan takut


Perasaan takut
ditinggal suami
Percaya diri aja

Gambar 5
Tema Psikologis
60

4.3.1 Persepsi Informan Tentang Gagal Ginjal Kronik

4.3.1.1 Pengertian Gagal Ginjal Kronik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ke lima informan dalam

penelitian ini yaitu pasien perempuan gagal ginjal kronik yang menjalani

terapi hemodialisa di RSUD. Dr. M.Yunus Kota Bengkulu memahami

tentang penyakit yang dideritanya. Hal ini terlihat dari kutipan wawancara

mendalam berikut ini :

Ny. R “Hmmm.. menurut saya, gagal ginjal kronik itu adalah ginjal yang rusak
dan harus di cuci darah”

Ny. M “Ga tau mbak... yang saya tau gagal ginjal itu penyakit yang mematikan
mbak.
Kenapa bisa mematikan bu ? “Ya karena ginjalnya rusak, ga berfungsi
lagi”

Ny. H “Setahu saya, gagal ginjal itu ginjalnya sudah rusak tidak berfungsi
lagi”

Ny. S “Gagal ginjal itu ya ginjalnya sudah rusak”

Ny.J “Gagal ginjal itu ginjal yang sudah rusak”

4.3.1.2 Penyebab Gagal Ginjal Kronik

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa penyakit gagal ginjal

kronik yang dialami informan disebabkan oleh diabetes mellitus dan

hipertensi tak terkontrol, kencing manis dan minum obat-obatan. Hal ini

dapat dilihat dari hasil kutipan wawancara berikut ini.

Ny. R “Ibu tu orangnya ga tahan sakit, jadi kalau sakit dikit langsung minum
obat, sakit kepala, sakit waktu menstruasi pasti ibu langsung minum obat.
Kayak obat penahan rasa sakit itu, biasanya ibu minum bodrek, antalgin.
Jadi menurut ibu gagal ginjal ibu disebabkan karna obat-obatan?
Iya..tapi ibu juga ada darah tinggi karno ibu pasang implant tulah. Kata
dokter bisa nyebabkan gagal ginjal jugo”
61

Ny. M “Ya karna kencing manis mbak, diabetes itu sudah lama saya kena
diabetes”

Ny. H “Obat-obatan, dulu saya salah di diagnosis sama dokter. Awalnya saya
di diagnosis batu empedu, say abaca-baca di internet ada diet apel untuk
batu empedu, jadi saya coba. saya menjalani diet apel sama minyak
zaitun dicampur garam inggris. Tapi memang benar saya periksa lagi
batunya sudah mengecil, saya lanjutkan diet apelnya itu. Waktu itu saya
baca di garam inggris tidak boleh di gunakan oleh penderita gagal
ginjal. Ya dokter kan gak bilang saya kena ginjal, ya saya pikir aman-
aman saja. Sampai akhirnya sakit saya semakin parah, tapi batu
empedunya sudah sangat mengecil. Kalo kata dokter,saya maag kronik
sama tipes. Sampai saya jenuh berobat tapi tidak ada peubahan.
Akhirnya saya dan suami memutuskan untuk berobat ke Jakarta. Nah
dokter Jakarta langsung mengetahui kalo saya itu kena gagal ginjal dan
harus segera di cuci darah. Kata dokter di Jakarta penyebab gagal ginjal
saya karna ginjal saya sudah keracunan obat”

Ny. S “Karna darah tinggi ibu mbak, sudah lama”

Ny.J Kata dokter karna darah tinggi sama kencing manis itulah

4.3.1.3 Riwayat Penyakit Sebelum Gagal Ginjal Kronik

Riwayat penyakit merupakan beberapa penyakit yang pernah diderita

sebelum mengalami gagal ginjal kronik. Dari hasil wawancara diketahui

bahwa pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa memiliki

riwayat penyakit sebelumnya seperti hipertensi, diabetes, kencing manis.

Hal ini dapat dilihat dari hasil kutipan wawancara berikut ini.

Ny. R “Ya....ibu kena darah tinggi kareno ibu pasang implan”

Ny. M “Saya sudah lama kena kencing manis itu mbak”

Ny. H “Ya itulah dulu saya kena batu empedu...sama darah tinggi sih”

Ny. S “Iya, ibu kena darah tinggi mbak”


Ny.J “Sudah komplikasi ada jantung, kencing manis sama darah tinggi”
62

4.3.1.4 Gejala Gagal Ginjal Kronik

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa gejala yang

dialami pasien sebagian besar adalah pusing, mual-mual, badan terasa

lemas dan lesu namun ada juga yang merasa sakit perut bawah sampai ke

belakang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan hasil wawancara berikut ini.

Ny. R “Sakit pinggang, kulit kering, sesak, kurus tinggal tulang, seperti orang
gizi buruk itu lho.”

Ny. M “Sakit pinggang, bengkak, sering sakit perut bawah sampe ke belakang.”

Ny. H “Sakit pinggang, lemas, BAB hitam, Hb sering turun sampai 5,4”

Ny. S “Sakit pinggang, mual kadang sampe muntah, badan ibu tu lemas.

Ny.J “Suka sakit pinggang, lemas, bengkak sama sesak”

4.3.1.5 Pengetahuan Terhadap Stadium-stadium Gagal Ginjal Kronik

Sebelum memasuki tahap gagal ginjal kronik, terdapat beberapa

stadium-stadium yang dilalui oleh pasien, namun terkadang mereka tidak

sadari. Pasien tiba-tiba langsung di vonis mengalami gagal ginjal kronik.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui sebagian besar responden tidak

mengetahui stadium-stadium gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat dari kutipan

hasil wawancara yang dilakukan berikut ini.

Ny. R “Nah... ga tau ibu berapa stadium gagal ginjal”

Ny. M “Ga tau saya mbak, tau nya saya kena gagal ginjal kronik pas diperiksa
dirumah sakit dan terus langsung cuci darah”

Ny. H “Saya tidak tau..karna dari awal aja dokter sudah salah diagnosis”
Ny. S “Ga tau saya mbak.”

Ny.J “Wah saya ga tau soal itu”


63

4.3.1.6 Cara Mengatasi Gagal Ginjal Kronik

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik terdiri dari manajemen diet,

obat-obatan, CAPD dan hemodialisa. Berdasarkan hasil wawancara

diketahui bahwa secara keseluruhan informan menjawab bahwa dalam

mengatasi gagal ginjal kronik adalah dengan cara cuci darah (hemodialisa)

dan membatasi minum yang berlebihan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan

hasil wawancara berikut ini.

Ny. R “Ya cuci darah itu lah lagi obatnya dan nggak boleh banyak minum”

Ny. M “Ya cuci darah, minum ga boleh banyak dan ga boleh banyak pikiran”

Ny. H “Cuci darah .. minum dibatasi”


Ny. S “Cuci darah sama minumnya dibatasi”

Ny.J “Cuci darah.....ga boleh minum banyak”

4.3.2 Hemodialisa

4.3.2.1 Pengertian Hemodialisa

Pada penelitian ini, peneliti juga melakukan wawancara terhadap

informan mengenai hemodialisa. Hal ini bertujuan untuk mengetahui

seberapa besar pengetahuan informan terhadap hemodialisa yang akhirnya

berimplikasi pada psikologis informan yaitu pasien perempuan dengan

gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.

Hemodialisa merupakan salah satu teknik pengobatan gagal ginjal

kronik dengan cara membuang sisa metabolisme yang dapat menjadi racun

bagi tubuh dan membuang cairan yang berlebih. Berdasarkan hasil

penelitian diketahui bahwa informan mengartikan hemodialisa adalah cuci


64

darah yang berfungsi membuang atau mengeluarkan racun dalam tubuh.

Hal ini dapat dilihat dai kutipan hasil wawancara berikut ini.

Ny. R “Ya... cuci darah untuk membuang racun dalam tubuh”

Ny. M “Hemodialisa menurut saya ... Ya ..Cuci darah untuk mengeluarkan


racun sama cairan dalam tubuh saya mbak.”

Ny. H “Cuci darah untuk menggantikan fungsi ginjal saya yang sudah rusak,
untuk buang cairan dalam tubuh.”

Ny. S “Cuci darah ya untuk buang racun sama cairan dalam tubuh”

Ny.J “Cuci darah itu ya untuk buang cairan sama racun-racun ditubuh saya.”

4.3.2.2 Alasan Informan Harus Menjalani Hemodialisa

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa, pengobatan

hemodialisa berarti sangat penting bagi pasien gagal ginjal kronik. Hal ini

dapat dilihat dari hasil wawancara berikut ini.

Ny. R “Kalau tidak dilakukan cuci darah, nanti racunnya tambah banyak....
cairan menumpuk”

Ny. M “Ya kalau nggak cuci darah, nanti badan saya meledak mbak karena
sudah bengkak semua”

Ny. H “Ya harus, kalau tidak badan saya bengkak terutama kaki saya. Tapi
saya masih bersyukur uma kaki saya saja yang bengkak, kadang orang tu
numpuk di perut cairannya jantung paru sampai terendam semua.”

Ny. S “Ya untuk ngeluarkan cairan dalam tubuh ibu biar ga bengkak.”

Ny.J “Ya harus cuci darah, kalau ga nanti racunnya tambah banyak. Saya ga
bisa nafas lagi karna sesak.”

4.3.2.3 Prinsip Kerja Hemodialisa

Prinsip kerja hemodialisa adalah mengeluarkan sebagian besar cairan

tubuh yang berlebihan didalam darah dengan proses dialisis. Berdasarkan

hasi wawancara diketahui bahwa sebagian besar informan tidak


65

mengetahui bagainya cara kerja hemodialisa. Hal ini dapat dilihat dari

kutipan wawancara berkut ini.

Ny. R “Ngak tau ibu..”

Ny. M “Ngak tau mbak..”

Ny. H “Saya ga tau tentang prinsip kerja hemodialisa..”

Ny. S “Wah saya nggak tau mbak”

Ny.J “Saya nggak tau..”

4.3.2.4 Pengetahuan Informan Terhadap Proses Hemodialisa

Pada penelitian ini diketahui bahwa dalam menjalani proses hemodialisa,

pasien mengetahui bagaimana proses berlangsungnya hemodialisa. Hal ini

dapat dilihat dari kutipan hasil wawancara berikut ini.

Ny. R “Datang...timbang berat badan basah melakukan tensi darah..kemudian


nunggu sekitar 15 menit. Setelah mesin steril, trus ditusuk di
sambung...udah ditunggu sampai 4,5 sampai 5 jam, sudah tu ditimbang
berat badan kering dan di tensi lagi”

Ny. M “Datang tensi dulu, trus timbang berat badan, ditusuk jarum... nunggu
sampai 5 jam...kalau sudah selesai ditimbang lagi dan ditensi lagi”

Ny. H “Datang, timbang berat badan sebelum lalu tensi darah... selanjutnya
jarum ditusuk dan disambungkan ke mesin hemodialisanya. selama 5
jam, kalau sudah selesai berat badan ditimbang lagi dan di tensi lagi”

Ny. S “Saya datang kerumah sakit kemudian berat badan dan tensi saya
diukur....terus cuci darah selama 5 jam.. setelah itu berat badan dan tensi
saya ditimbang lagi.”

Ny.J “Saya datang kerumah sakit kemudian timbang berat badan dan tensi
saya diukur....selanjutnya baru cuci darah selama 5 jam.. setelah itu
berat badan dan tensi saya ditimbang lagi.
66

4.3.2.5 Frekuensi Hemodialisa

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pasien gagal ginjal

yang saya jadikan informan menjalani terapi hemodialisa sebanyak 2 kali

seminggu dengan jadwal Senin siang dan Kamis pagi. Hal ini dapat dilihat

dari kutipan hasil wawancara berikut ini

Ny. R “2 kali seminggu ... hari senin siang dan kamis pagi”

Ny. M “2 kali mbak...sening siang dan kamis pagi”

Ny. H “2 kali seminggu, senin siang sama kamis pagi”

Ny. S “2 kali seminggu..senin siang dan kamis pagi mbak”


Ny.J “2 kali seminggu, senin siang dan kamis pagi”

4.3.2.6 Lama Informan Menjalani Hemodialisa

Pada penelitian ini diketahui lama informan menjalani hemodialisa

dalam jangka waktu bervariasi, ada yang baru 1 tahun dan ada yang sudah

5 tahun, namun rata-rata 2-3 tahun. Hal ini dapat dilihat dari hasil

wawancara berikut ini.

Ny. R “1 tahun”

Ny. M “Sudah 6 tahun”

Ny. H “Bulan April nanti sudah 2 tahun”

Ny. S “sudah lebih 2,5 tahun, hampir 3 tahunan”

Ny.J “Udah 5 tahunan lah”


67

4.3.2.7 Manfaat Hemodialisa

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengobatan

hemodialisa memberikan manfaat yang banyak terhadap kehidupan pasien

gagal ginjal kronik. Hal ini dapat terlihat dari hasil kutipan wawancara

berikut ini.

Ny. R “Iya...kalau dulu badan sering merasa lemas, dak nafsu makan...tapi kini
sudah nafsu makan ..bisa beraktivitas lagi”

Ny. M “Wah..banyak banget mbak, sudah ada nafsu makan, bisa berjalan, bisa
menikmati hidup meski nggak kayak dulu”

Ny. H “Banyak banget ya...semenjak cuci darah, saya sudah mulai nafsu
makan, badan terasa lebih segar...sudah bisa beraktivitas lagi”

Ny. S “Banyak yah....dulu badan ibu lemas, nggak nafsu makan...kalo sekarang
sudah lebih segar, makan sudah mau”

Ny.J “Ya sudah enggak sesak lagi, mendingan lah”

4.3.2.8 Kelemahan Terapi Hemodialisa

Terapi hemodialisa memberikan banyak manfaat pada pasien gagal

ginjal kronik, tidak ditemui kelemahan dari terapi hemodilisa namun dari

hasil wawancara terdapat indikasi pusing dan mual sedikit yang dialami

responden ketika selesai menjalani hemodialisa. Hal ini dapat dilihat dari

kutipan wawancara berikut ini.

Ny. R “Ga ada....paling sakit kepala, mual..tapi tidak lama, kalo dibawa
istirahat, tidur...sakitnya hilang”

Ny. M “Nggak ada mbak....paling cuma pusing tapi ga lama kok”

Ny. H “Nggak ada...paling kalau sesudah cuci darah, suka pusing-pusing


sedikit”

Ny. S “Cuma pusing-pusing”


68

Ny. J “Pusing-pusing ....sama mual”

4.3.3 Psikologis Pasien Gagal Ginjal Kronik

4.3.3.1 Perasaan Ketika Menderita Gagal Ginjal Kronik

Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa psikologis informan

sebagian besar dalam kondisi baik. Hanya sekali-kali pasien merasakan

mengalami kesedihan dan perasaan tidak berharga. Hal ini dapat dilihat

dari hasil wawancara mendalam yang peneliti lakukan kepada informan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perasaan responden

ketika menderita gagal ginjal adalah sedih, campur aduk, merasakan

ketidak adilan dalam hidup. Responden memikirkan bagaimana

kehidupannya selanjutnya, seperti apa proses hemodialisa dan banyak lagi

yang menjadi bahan pikiran responden. Hal ini dapat dilihat dari kutipan

hasil wawancara berikut.

Ny. R “Campur aduk, ibu mikirnya penyakit ini berat sekali..kenapa ga sama
dengan orang lain”

Ny. M “Cuma nangis aja....sedih banget saya mikir kalo nasib saya eperti ibu
saya yang meninggal karena gagal ginjal kronik”

Ny. H “Wah..bagai tersambar petir yah, perasaan nggak karuan....udah dekat


sama kematian yang ada di pikiran saya”

Ny. S “Ibu cuma bisa terdiam ga percaya dan menangis...kenapa harus terjadi
pada saya”

Ny. J “Sedih....perasaan langsung ngdrop”


69

4.3.3.2 Perasaan Pasien Ketika Menjalani Hemodialisa

Hasil penelitian diketahui bagaimana perasaan responden ketika

hendak menjalani hemodialisa. Hal ini dapat dilihat dari kutipan

wawancara berikut ini.

Ny. R “Takut, cemas juga....tapi sekarang di ambil hikmahnya saja....anggap


saja jalan-jalan kerumah sakit...”

Ny. M “Pasrah saja.....mau seperti apa pengobatannya yang penting saya


sehat ..bisa kumpul sama anak dan keluarga”

Ny. H “Takut...ya pasrah aja yang penting sehat”

Ny. S “takut ....ya cemas..campur aduk lah mbak”

Ny. J “Cemas....takut ya...pasrah aja”

4.3.3.3 Perasaan Terhadap Perubahan Fisik

Penyakit gagal ginjal kronik memberikan dampak fisik yang dapat

membuat seoarang pasien menjadi sedih rendah diri. Ini disebabkan

penyakit gagal ginjal yang menjalani hemodialisa memberikan perubahan

fisik pada pasiennya seperti kulit kering, badan menjadi kurus, mudah

capek dan lesu. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut.

Ny. R “Sedih sih, tapi mau dibilang apa lagi....yang penting sehat..mau berubah
menjadi jelek biarlah....”

Ny. M “Waktu baru-baru cuci darah... ya sedih, apalagi semenjak saya jatuh
saya jadi susah untuk jalan...Yang penting masih dikasih umur panjang”

Ny. H “Ya sedih...perubahan fisiknya kulit saya menjadi kering...tenaga


berkurang....tapi saya bersyukur masih sehat dan dikasih umur
panjang...Alhamdulillah”

Ny. S “Sedih ya ada, ...tapi bagaimana lagi, ..yang penting bisa sehat saja sudah
bersyukur”

Ny. J “Sedih ya..kuat-kuatin ajamasih dikasih umur sampai


sekarang...Alhamdulillah”
70

4.3.3.4 Perasaa Putus Asa dan Tak Berdaya Yang timbul Pada Diri Pasien

Gagal Ginjal Kronik

Pada penelitian ini, diketahui juga perasaan yang dirasakan

responden. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan wawancara berikut

ini.

Ny. R “Iya...kadang muncul perasaan tak berdaya...tak berguna...tapi ibu selalu


ingat, ibu harus sehat untuk anak-anak ibu yang masih membutuhkan ibu”

Ny. M “Dulu iya mbak....karena badan saya kurus sekali...dulu berat badan saya
65 kg...semenjak sakit menjadi 35 kg...Saya dulu ga berani keluar rumah,
malu...mudah tersinggung sama orang dan merasa ga ada harganya
mbak...Cuma berkurung diri di kamar...Sekarang badan saya sudah berisi
kembali...berat badan naik...saya jadi percaya diri lagi dan sudah mau
bergaul dengan orang-orang.”

Ny. H “Awalnya sih iya....tapi saya kan ikut forum diskusi pasien hemodialisa se-
Indonesia, jadi saya bisa berbagi pengalaman dengan sesama pasien
hemodialisa...Lagian saya melihat banyak yang lebih parah dari saya dan
mereka kuat... itu menjadi motivasi saya.”

Ny. S “Ya...terkadang perasaan itu muncul kalo saya lagi sendirian


dirumah....tapi semenjak anak saya yang perempuan sama cucu pindah
kerumah ibu, jadi perasaan itu hilang...apalagi kalo main sama cucu”

Ny. J “Kadang-kadang ....kalo lagi capek, dah jenuh....tapi kalau lihat anak-
anak dan cucu-cucu jadi timbul semangat baru untuk terus sehat.”

4.3.3.5 Peran Pasien Gagal Ginjal Kronik Sebagai Istri

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pasien walaupun

menderita gagal ginjal kronik namun perannya sebagai istri tidak

mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan hasil wawancara

berikut ini.

Ny. R “Masih seperti biasa.... tapi tidak seperti dulu lagi...sudah berkurang
karena tidak sehat lagi”

Ny. M “Masih seperti biasa....ga ada yang berubah”


71

Ny. H “Masih sama ...ga ada yang berubah”

Ny. S “Ga ada masalah...tapi ga ada kayak dulu..sekarang udah gampang


capek”

Ny. J “Masih , tapi sudah berkurang ga seperti dulu yah”

4.3.3.6 Peran Pasien Gagal Ginjal Kronik Sebagai Ibu Rumah Tangga Bagi

Anak-Anak

Pada penelitian ini sebagian besar pekerjaan informan hanya sebagai

ibu rumah tangga, hanya 1 orang informan yang bekerja sebagai PNS.

Dalam menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga, informan masih

menjalankan perannya dengan baik dan tidak mengalami perubahan. Hal

ini dapat dilihat dari kutipan hasil wawancara berikut.

Ny. R “Ga berubah...karena segala kebutuhan anak-anak ibu yang


ngurusnya...ayahnya kan kerja”

Ny. M “Kan anak-anak saya sudah besar, sudah berkeluarga semua....Semua


anak-anak saya yang ngurus saya semenjak sakit ini”

Ny. H “Seperti biasa ....kalau lagi tidak kerja, hari libur ya saya bersih-bersih
rumah...masak untuk keluarga”

Ny. S “Anak-anak mengerti keadaan saya...semenjak sakit ini anak-anak yang


mengurus saya..Alhamdulillah”

Ny. J “Anak-anak sudah besar...saya tidak terlalu direpotkan lagi dengan


mengurus anak-anak...malah sekarang anak-anak yang mengurus saya.”
72

4.3.3.7 Perubahan Tingkah Laku Suami atau Perubahan Hubungan Sebelum

dan Setelah Mengalami Gagal Ginjal Kronik

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui pandangan responden

terhadap perubahan tingkah laku suami atau perubahan hubungan sebelum

dan sesudah responden mengalami gagal ginjal kronik.

Ny. R “Iya...kini suami ibu lebih sayang, lebih perhatian dan lebih pengertian.”

Ny. M “Tetap nggak ada yang berubah...suami lebih sayang .”

Ny. H “Ga ada sich...suami saya lebih sayang semenjak saya sakit”

Ny. S “Tidak ada, hubungan kami baik-baik saja ...seperti biasa”

Ny. J “Tidak ada yang berubah...suami selalu sayang pada saya”

4.3.3.8 Perasaan Daya Tarik Berkurang Di Hadapan Suami

Hasil penelitian juga diketahui perasaan responden terhadap daya

tarik diri dihadapan suaminya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan hasil

wawancara berikut ini.

Ny. R “Iya...sekilas ada pikiran seperti itu...tapi percaya aja sama suami”

Ny. M “Ada...tapi saya percaya diri saja”

Ny. H “Ada sich perasaan seperti itu...tapi saya percaya sama suami saya”

Ny. S “Ya ada dulu...tapi ya percaya diri aja”

Ny. J “Ya....tapi suami sayang dan mendukung saya ...jadi perasaan ga ada
masalah”
73

4.3.3.9 Aktivitas Seksual Dengan Suami

Aktivitas seksual dalam sebuah rumah tangga sangatlah penting

untuk menjaga keharmonisan di dalam rumah tangga. Biasanya apabila

salah satu pasangan dalam rumah tangga mengalami sakit, aktivitas

seksual sering menjadi masalah. Namun tidak pada informan pada

penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa informan tetap

menjalani aktivitas seksualnya bersama suami dan tidak pernah melakukan

penolakan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan hasil wawancara berikut ini.

Ny. R “Tidak...Kan itu kewajiban seorang istri melayani suaminya”

Ny. M “Masih nggak ada perubahan...tidak pernah menolak karena sudah


kewajiban istri ke suaminya”

Ny. H “Enggak...masih seperti biasa...saya mikirnya itu memang kewajiban


istri ...jadi ya harus melayani suami”

Ny. S “Biasa saja...tapi sudah agak berkurang”

Ny. J “Saya tidak pernah menolak....tapi berhubung usia kami sudah memasuki
lanjut usia...memang sudah jarang sekali..”

4.3.3.10 Perasaan Takut Ditinggal Suami

Psikologis pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa

rentan terhadap depresi, stress dan penerimaan diri yang berkurang. Ini

disebabkan penyakit gagal ginjal kronik membuat perubahan yang berarti

didalam hidupnya. Badan yang kurus, cepat merasa lelah, fisik menjadi

tidak menarik lagi membuat perasaan timbul takut ditinggal suami.

Berdasarkan hasil penelitian, ke lima informan pernah merasa ketakutan

ditinggal suami. Hal ini dapat dilihat dari kutipan hasil wawancara berikut

ini.
74

Ny. R “Terus terpikir, takut tapi jangan sampailah...percaya aja sama suami”

Ny. M “Ya ada terpikir mbak....tapi saya percaya suami saya tidak akan
meninggalkan saya”

Ny. H “Pernah ya....selalu terpikir sebenarnya...tapi suami saya sayang sama


saya...jadi nggak mungkinlah ninggalin saya”

Ny. S “Terpikir ya pernah ada...tapi ibu tau sifat suami ibu...ga mungkinlah”

Ny. J “Ada...tapi ga mungkinlah, suami saya bukan tipe yang suka macam-
macam...”
75

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Gagal Ginjal Kronik

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa umur pasien yang

menjalani terapi hemodialisa > 30 tahun. Peningkatan umur akan

menyebabkan perubahan struktur fisik dan fungsional tubuh. Umur yang

semakin meningkat menyebabkan terjadinya penurunan dari fungsi-fungsi

organ tubuh.

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Guyton (2012)

mengatakan seiring bertambahnya usia juga akan diikuti oleh penurunan

fungsi ginjal. Hal tersebut terjadi terutama karena pada usia lebih dari 40

tahun akan terjadi proses hilangnya beberapa nefron. Perkiraan penurunan

fungsi ginjal berdasarkan pertambahan umur tiap dekade adalah sekitar 10

ml/menit/1,73 m2 . Berdasarkan perkiraan tersebut, jika telah mencapai usia

dekade keempat, dapat diperkirakan telah terjadi kerusakan ringan, yaitu

dengan nilai GFR 60–89 ml/menit/1,73 m2 , di mana artinya sama dengan

telah terjadi penurunan fungsi ginjal sekitar 10% dari kemampuan ginjal.

Semakin meningkatnya usia, dan ditambah dengan penyakit kronis seperti

tekanan darah tinggi (hipertensi) atau diabetes, ginjal cenderung akan

menjadi rusak dan tidak dapat dipulihkan kembali.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden mengetahui

dengan baik tentang penyakit gagal ginjal kronik. Responden mengetahui

pengertian gagal ginjal kronik, penyebabnya, tanda dan gejala dan

72
76

pengobatannya. Namun responden tidak tahu tingkatan stadium gagal ginjal

kronik. Hal ini dikarenakan ketika responden divonis dokter mengenai

penyakitnya sudah pada stadium gagal ginjal kronik.

Berdasarkan hasil penelitian, gagal ginjal kronik menurut responden

adalah penyakit yang mematikan diakibatkan ginjalnya rusak sehingga tidak

berfungsi lagi dengan baik. Seperti yang diketahui bahwa ginjal merupakan

organ yang diperlukan untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme. Fungsi

utama ginjal adalah mengeluarkan kotoran dari sistem saluran kemih. Selain

itu fungsi ginjal adalah untuk menyaring kotoran dari darah dan menyerap

banyak nutrisi penting ke aliran darah. Disisi lain fungsi ginjal yang

dilakukan di saluran (tubulus) adalah menyeimbangkan jumlah garam dan

air yang disimpan (Kementrian Kesehatan RI, 2011)

Hal ini senada dengan kesimpulan dari beberapa pengertian gagal

ginjal kronik menurut para ahli yaitu gagal ginjal kronik merupakan

penurunan fungsi ginjal perlahan yang mengakibatkan kemampuan ginjal

untuk mengeluarkan hasil-hasil metabolisme tubuh terganggu. Gagal ginjal

kronik merupakan penurunan fungsi ginjal progresif yang ireversibel ketika

ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan, dan

elektrolit yang menyebabkan terjadinya uremia dan azotemia (Bayhakki,

2012)

Pada penelitian ini diketahui penyakit gagal ginjal kronik yang

dialami responden disebabkan oleh pengaruh konsumsi obat yang

sembarangan, kencing manis, hipertensi dan diabetes. Hal ini


77

mengindikasikan bahwa sebelum terjadinya gagal ginjal kronik, responden

memiliki riwayat penyakit sebelumnya.

Tahap awal gejala penyakit ginjal pada tubuh seseorang adalah ketika

terdeteksi albumin dalam urine. Tahap microalbumin ditandai dengan

keluarnya 30 mg albumin dalam urin per hari. Semakin banyak protein yang

keluar bersama urine maka kondisi ginjal sudah berada pada tahap kronis.

Setiap penderita diabetes mellitus harus melakukan pemeriksaan kadar

microalbumin setiap tahun (Dharma, 2014).

Penyakit diabetes dengan komplikasi ginjal disebut nefropati diabetes.

Nefropati diabetes merupakan gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran

selaput penyaring darah (glomerulus). Kadar gula darah yang tinggi secara

perlahan akan merusak glomerulus. Ketika ginjal berfungsi dengan baik,

maka nefron berfungsi menjaga kondisi protein di dalam tubuh. Kadar gula

yang tinggi akan bereaksi dengan protein sehingga mengubah struktur dan

fungsi sel, termasuk membran basal glomerulus. Akibatnya, penghalang

protein menjadi rusak kemudian terjadi kebocoran protein ke urine. Salah

satu fungsi ginjal yaitu mengeluarkan kotoran melalui urine serta menjaga

kadar protein tubuh. Jika ginjal mengalami kerusakan, maka protein

dikeluarkan melalui urine dan cairan limbah mengendap di dalam tubuh

(Dharma, 2014).

Selain itu, hasil penelitian ini senada dengan pendapat Dharma (2014)

yang menyatakan bahwa hipertensi merupakan penyebab gagal ginjal nomor

dua setelah diabetes mellitus. Fungsi utama ginjal adalah sebagai sistem

penyaring untuk membuang kelebihan air dan limbah di dalam darah.


78

Fungsi penyaringan dijalankan olah jutaan pembuluh darah kecil di dalam

ginjal. Hipertensi pada dasarnya merusak pembuluh darah, tingginya

tekanan darah ini juga dapat membuat pembuluh darah dalam ginjal

tertekan. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat merusak pembuluh darah

dan nefron di dalam ginjal. Nefron yang rusak tidak akan dapat melakukan

tugasnya untuk menyaring limbah, natrium, serta kelebihan cairan dalam

darah. Kelebihan cairan dan natrium yang terdapat pada aliran darah akan

memberikan tekanan ekstra pada dinding pembuluh darah, sehingga

meningkatkan tekanan darah hingga taraf yang berlebih. Hipertensi dapat

berakibat pada kegagalan ginjal.

Hal ini senada dengan teori yang dikemukan oleh Padila (2012)

menyatakan bahwa penyebab gagal ginjal kronik adalah penyakit sistemik

seperti : diabetus mellitus, glumerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi

tak terkontrol, obstruksi saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, gangguan

vaskuler, lesi herediter, agen toksis (timah, kadmuim, dan merkuri).

Pada penelitian ini, responden menyatakan bahwa gejala yang

dirasakan sakit pinggang, kulit kering, sesak, lemas, mual dan muntah.

kurus tinggal tulang, seperti orang gizi buruk. Turunnya berat badan pasien

gagal ginjal kronik disebabkan penurunan nafsu makan. Pusing kepala yang

lebih sering terjadi semenjak gagal ginjal merupakan reaksi tubuh karena

terdapat banyak racun di dalam tubuh, yang tidak dapat diolah dengan baik,

karena penurunan fungsi ginjal semakin parah

Hasil penelitian ini juga diperkuat ole pernyataan Smeltzer (2012)

yang menyatakan bahwa gejala utama dari gagal ginjal kronik berupa
79

keluhan rasa sakit di daerah pinggang yang dapat disertai rasa mual,

muntah, gatal-gatal di kulit, lemas, lesu, cepat lelah, kurang cairan dalam

tubuh, sembab di daerah muka, perut dan kaki, nafsu makan menurun,

frekuensi dalam buang air dan jumlah urin berubah, libido menurun serta

menstruasi yang tidak teratur

Berdasarkan hasil penelitian, juga diketahui bahwa sebagian besar

responden atau informan tidak mengetahui stadium-stadium gagal ginjal.

Hal ini dikarenakan ketika responden dinyatakan menderita gagal ginjal,

responden sudah pada tahap akhir yaitu gagagl ginjal kronik. Selama ini,

sebelum responden diketahui mengalami gagal ginjal kronik, responden

tidak pernah mencari info mengenai penyakit gagal ginjal.

Menurut The Renal Association (2013) klasifikasi stadium CKD

terbagi dalam 5 stadium sebagai berikut : stadium 1, fungsi ginjal normal,

tetapi temuan urin abnormalitas stuktur atau ciri genetik menunjukkan

adanya penyakit ginjal dengan GFR > 90 (ml/menit/1.73m2) ; staduim 2,

penurunan ringan fungsi ginjal, dan temuan lain (seperti pada stadium 1)

menunjukkan adanya penyakit ginjal dengan kadar GFR 60-89

(ml/menit/1.73m2) ; stadium 3, penurunan sedang fungsi ginjal, GFR 30-59

(ml/menit/1.73m2) ; stadium 4, penurunan fungsi ginjal berat, GFR 15-29

(ml/menit/1.73m2) ; stadium 5, Gagal ginjal, GFR < 15 (ml/menit/1.73m2).

Dalam menentukan pilihan untuk memperpanjang usia harapan hidup

bukan hal yang mudah bagi individu yang menderita gagal ginjal kronik.

Pasien mempunyai banyak pertimbangan dalam memilih terapi sesuai

kemampuan yang dimilikinya. Apabila pasien memilih untuk tidak


80

menjalani transplantasi, maka seumur hidupnya akan bergantung pada alat

dialisa untuk menggantikan fungsi ginjalnya. Berdasarkan hasil penelitian

diketahui bahwa sebagian responden memilih menjalani cuci darah atau

hemodialisa.

5.2 Hemodialisa

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden pada

penelitian ini mengetahui secara garis besar hemodialisa. Menurut

responden hemodialisa merupakan suatu proses cuci darah untuk membuang

racun dalam tubuh serta cairan yang berlebih.

Hal ini senada dengan pendapat Suharyanto dan Madjid (2009).yang

menyatakan bahwa Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan

pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka

pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan

penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang

memerlukan terapi jangka panjang atau permanen.

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa, secara keseluruhan

responden menjalani terapi hemodialisa dalam proses pengobatannya. Hal

ini dilakukan untuk mengeluarkan racun sisa metabolisme dan cairan yang

berlebihan di dalam tubuh. Dengan tinggi nya jumlah cairan dalam tubuh,

menyebabkan tubuh responden menjadi bengkak. Sehingga responden

merasa wajib melakukan hemodialisa untuk menghindari pembengkakan

tubuh dan keadaan menjadi sehat.

Pada pasien GGK terdapat tiga pilihan untuk mengatasi masalah yang

ada yaitu; tidak diobati, dialisis kronis (dialisis peritoneal/ hemodialisa),


81

serta transplantasi. Pilihan tidak diobati pasti dipertimbangkan tetapi jarang

dipilih, kebanyakan orang memilih untuk mendapatkan pengobatan dengan

hemodialisa atau transplantasi dengan harapan dapat mempertahankan

hidupnya.

Hal ini senada dengan pendapat Suwitra (2011) yang menyatakan

bahwa terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium

5 yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa

hemodialisis, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan

transplantasi ginjal. Hemodialisis adalah suatu cara untuk mengeluarkan

produk sisa metabolisme melalui membran semipermeabel atau yang

disebut dialyzer. Sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran

darah manusia itu dapat berupa air, natrium, kalium, hidrogen, urea,

kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain.

Hal ini juga senada dengan teori Nasiri (2012) yang menyatakan

bahwa hemodialisa adalah tindakan “pengobatan” dengan tujuan

mengeluarkan sisa metabolisme atau elektrolit darah serta cairan tubuh

melalui proses pertukaran antara bahan yang ada dalam dialisat dengan

bahan yang ada dalam darah melewati membran semipermeabel secara

difusi atau ultrafiltrasi.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa informan tidak mengetahui

prinsip kerja hemodialisa namun responden mengetahui proses menjalani

hemodialisa. Menurut informan, proses hemodialisa yang sering dijalani

adalah sebagai beirkut pasien datang kerumah sakit kemudian timbang berat

badan basah dan ukur tensi darah. Selanjutnya jarum ditusuk dan
82

disambungkan ke mesin hemodialisanya selama 5 jam, kalau sudah selesai

berat badan ditimbang lagi dan di tensi lagi

Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di

dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah disaring kemudian

dialirkan kembali ke dalam tubuh. Rata – rata manusia mempunyai sekitar

5,6 s/d 6,8 liter darah, dan selama proses hemodialisa hanya sekitar 0,5 liter

yang berada di luar tubuh. Untuk proses hemodialisa dibutuhkan pintu

masuk atau akses agar darah dari tubuh dapat keluar dan disaring oleh

dialyzer kemudian kembali ke dalam tubuh. Sebelum melakukan proses

hemodialisa (HD), perawat akan memeriksa tanda – tanda vital pasien untuk

memastikan apakah pasien layak untuk menjalani hemodialisa. Selain itu

pasien melakukan timbang badan untuk menentukan jumlah cairan didalam

tubuh yang harus dibuang pada saat terapi. Langkah berikutnya adalah

menghubungkan pasien ke mesin cuci darah dengan memasang blod line

(selang darah) dan jarum ke akses vaskular pasien, yaitu akses untuk jalan

keluar darah ke dialyzer dan akses untuk jalan masuk darah ke dalam tubuh.

Setelah semua terpasang maka proses terapi hemodialisa dapat dimulai.

Pada proses hemodialisa, darah sebenarnya tidak mengalir melalui mesin

HD, melainkan hanya melalui selang darah dan dialyzer. Mesin HD sendiri

merupakan perpaduan dari komputer dan pompa, dimana mesin HD

mempunyai fungsi untuk mengatur dan memonitor aliran darah, tekanan

darah, dan memberikan informasi jumlah cairan yang dikeluarkan serta

informasi vital lainnya. Mesin HD juga mengatur cairan dialisat yang masuk

ke dialyzer, dimana cairan tersebut membantu mengumpulkan racun – racun


83

dari darah. Pompa yang ada dalam mesin HD berfungsi untuk mengalirkan

darah dari tubuh ke dialyzer dan mengembalikan kembali ke dalam tubuh

(Nursalam, 2006).

Hasil wawancara yang dilakukan pada responden pada penelitian ini

diketahui bahwa frekuensi hemodialisa dilakukan 2 (dua) kali dalam

seminggu pada hari Senin siang dan Kamis pagi selama kurang lebih 4,5 – 5

jam.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Di Indonesia

hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisa selama 5

jam. Disenter dialisis lain ada juga dialisis yang dilakukan 3 kali seminggu

dengan lama hemodialisa selama 5 jam (Nasiri, 2012)

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui responden merasakan banyak

manfaat yang diperoleh setelah menjalani hemodialisa. Menurut Ny. H

bahwa manfaat hemodialisa banyak sekali, menambah nafsu makan, sudah

bisa berjalan dan dapat menikmati hidup. Sedangkan kelemahan

hemodialisa hasil dari penelitian ini adalah tidak ada, hanya saja responden

sedikit merasa pusing-pusing ketika baru saja selesai hemodialisa dan itu

tidak berlangsung lama.

Menurut Suddart (2011), dalam melaksanakan hemodialisa, tidak

menutup kemungkinan untuk terjadinya komplikasi dalam melakukan

tindakan tersebut. Komplikasi yang sering terjadi adalah tekanan darah

rendah yang bisa mengarah kepada anemia, kram otot, mual, muntah, sakit

kepala, sakit di dada, sakit di punggung, gatal-gatal, demam, kedinginan,


84

gangguan pada jumlah kalsium dan fosfor dalam tulang, gangguan bicara,

kontraksi otot mendadak, kejang, gangguan gizi dan masalah psikologis

5.3 Dampak Psikologis Pada Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani

Hemodialisa

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, sebagian besar

responden merasa sedih, kaget dan rasa ingin menangi ketika pertama kali

mendengar divonis menderita gagal ginjal kronik. Hal ini wajar terjadi

secara manusia memiliki perasaan yang perlu untuk di ungkapakan dalam

suatu peristiwa seperti senanng, sedih, bahagia. Selain itu Gagal ginjal

merupakan salah satu penyakit kronis yang menimbulkan dampak pada

kondisi fisik dan psikologis penyandang tersebut.

Hal ini sejalan dengan pendapat Harvey (2007) yang menyatakan

bahwa aspek psikologis penting diperhatikan karena gagal ginjal kronik

merupakan penyakit yang kronis dan sering membuat pasien tidak ada

harapan. Pasien sering mengalami ketakutan, frustasi dan timbul perasaan

marah dalam dirinya.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar

responden tidak mengalami perubahan beban psikologis yang berarti baik

ketika hendak menjalani hemodialisa, perubahan fisik yang terjadi, perasaan

ketidak berdayaan, perasaan takut ditinggal suami, dan perasaan tidak

menarik lagi di hadapan suami.

Beban psikologis yang pernah responden rasakan pada hasil penelitian

hanya perasaan takut saat menjalani hemodialisa pertama kali serta pernah

merasa tidak percaya diri. Hal ini dikarenakan pada awal menjalani
85

hemodialisa, responden mengalami ditusuk berulang-ulang kali di tempat

yang sama dan harus menjalani operasi pemasangan cimino untuk

memudahkan proses hemodialisa selanjutnya. Kelima respponden mengaku

pernah merasa tidak percaya diri ketika melihat perubahan fisik yang terjadi

akibat sakit gagal ginjal kronik ini.

Selain itu beban psikologis yang pernah dialami responden

sehubungan perubahan fisik yang terjadi akibat gagal ginjal kronik dan

hemodialisa. Informan pernah merasakan kesedihan terhadap perubahan

fisik akibat hemodialisa. Badannya menjadi kurus hanya 35 Kg sehingga

membuat tidak percaya diri untuk keluar rumah, menjadi mudah

tersinggung.

Namun semua beban psikologis tersebut tidak sampai berlarut-larut.

Hal ini dikarenakan responden mendapatkan perhatian, kasih sayang dan

rasa pengertian dari keluarganya terutama suami dan anak-anaknya yang

membesarkan hati dan memberi semangat kepada responden.

Hubungan suami dan anak yang baik membuat responden merasa

mendapat perhatian dan kasih sayang. Perhatian dari keluarga dan orang-

orang terdekat membuat informan menunjukkan perilaku yang lebih mampu

menerima keadaan Selain itu dengan adanya pernikahan meningkatkan

motivasinya untuk bertahan dengan sakit gagal ginjal kronik dan dalam

menjalani rutinitas hemodialisa sebagai bentuk membalas kasih sayang dari

suaminya. Melalui pernikahan, informan merasa mendapat kasih sayang

dan perhatian yang membangkitkan rasa percaya diri informan


86

Terapi hemodialisa merupakan stressor bagi pasien gagal ginjal

kronik, menurut pernyataan Smeltzer (2012), sejalan dengan penelitian ini

bahwa pasien yang menjalani terapi hemodialisa biasanya menghadapi

masalah kesulitan dalam mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya,

seperti pekerjaan, perkawinan, dan keuangan.

Hasil penelitian ini senada dengan pendapat Smeltzer (2012) yang

menyatakan bahwa pasien biasanya menghadapi masalah keuangan,

kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang

menghilang serta impotensi, khawatir terhadap perkawinan dan ketakutan

terhadap kematian. Terjadinya stres karena stressor yang dirasakan dan

dipersepsikan individu, merupakan suatu ancaman yang dapat menimbulkan

kecemasan.

Penelitian ini juga sependapat dengan pernyataan Lubis (2006), bahwa

penyesuaian diri dalam hal perilaku berhubungan dengan aspek keterbatasan

dari penyakit dan perawatan. Peneliti berpendapat bahwa kemampuan

bersosialisasi dirasakan berat oleh pasien yang menjalani terapi hemodialisa,

dipengaruhi oleh aspek keterbatasan meliputi kapasitas fisik, yang dapat

mengganggu pekerjaan dan aktivitas pasien di masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran responden sebagai ibu dan

istri tidak mengalami perubahan yang berarti. Komunikasi yang baik di

dalam keluarga membuat responden tidak larut dalam kesedihannya dan

berusaha bangkit untuk dapat berperan dalam memnuhi kewajibannya

sebagai ibu bagi anak-anaknya dan sebagai istri untuk suaminya.


87

Peran keluarga merupakan dukungan verbal dan non verbal, bisa

berupa saran, bantuan langsung atau sikap yang diberikan oleh orang-orang

yang mempunyai kedekatan dengan subjek didalam lingkungan sosialnya.

Dukungan ini bisa berupa kehadiran yang memberi respon emosional dan

mempengaruhi tingkah laku penerima dukungan tersebut.

Hasil penelitian ini senada dengan pendapat Zurmelli (2015) yang

menyatakan bahwa dimensi peran dan perhatian keluarga yang diberikan

oleh anggota keluarga dapat berupa dukungan emosional, dukungan

penghargaan, dukungan informasi, dukungan instrumental, dan dukungan

jaringan sosial yang kesemuanya menjadi satu bentuk dukungan keluarga.

Peran keluarga adalah faktor penting bagi individu ketika menghadapi

masalah (kesehatan), dimana keluarga berperan dalam fungsi keperawatan

kesehatan anggota keluarganya untuk mencapai kesehatan yang optimum

(Ratna, 2011). Pasien memerlukan hubungan yang erat dengan seseorang

yang bisa dijadikan tempat untuk menumpahkan perasaannya pada saat-saat

stress dan kehilangan semangat selama menjalani terapi hemodialisa yang

cukup lama yang dapat diperoleh dari anggota keluarga, disamping itu dapat

membuat anggota keluarga menjadi lebih dekat satu sama lain (Smeltzer &

Bare, 2012).
88

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dengan judul “Analisis Psikologis Pada

Pasien Perempuan Dengan Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani

Hemodialisa Di RSUD. Dr. M.Yunus Bengkulu dapat disimpulkan :

1. Berdasarkan dari keseluruhan informasi yang diperoleh dari informan

diketahui secara keseluruhan informan memiliki pengetahuan yang cukup

baik terhadap gagal ginjal dan hemodialisa yang meliputi pengertian,

gejala, penyebab, proses dan pentingnya menjalani hemodialisa. Namun

pengetahuan informan kurang terhadap stadium gagal ginjal dan prinsip

kerja hemodialisa

2. Pada aspek penanganan, secara keseluruhan informan mengetahui proses

berlangsungnya hemodialisa. Dalam menjalani proses hemodialisa,

informan sebelumnya berat badan dan tensi darah informan ditimbang

terlebih dahulu kemudian baru dilakukan hemodialisa selama kurang

lebih 5 jam. Setelah selesai hemodialisa, berat badan dan tensi darah di

ukur kembali. menjalani dan memahami mengenai hemodialisa

3. Secara keseluruhan, psikologis responden cukup baik yang ditandai

dengan minimalnya tingkat stress dan depresi yang di alami dikarenakan

responden mendapat dukungan dari keluarga dan suami secara baik.

88
89

6.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan masukan

bagi peningkatan ilmu pengetahuan terkait dengan mekanisme koping

psikologis pasien gagal ginjal kronik

2. Hendaknya rumah sakit dapat menerapkan mekanisme koping yang

efektif dalam meminimalkan dampak psikologis terutama stress pada

pasien gagal ginjal kronik.

3. Diharapkan tenaga keperawatan di ruang hemodialisa dapat memberikan

pendamping dan pembelajaran pada pasien dalam menjalani hemodialisa

sehingga pasien meminimalisir dampak psikologis yang negatif terhadap

penyakit yang dideritanya.

Anda mungkin juga menyukai