Anda di halaman 1dari 77

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Anak usia remaja merupakan periode anak yang sedang mengalami

masa peralihan. Menurut WHO (2019), batasan usia remaja adalah 10-19

tahun, tapi juga ada istilah “anak muda” dengan rentang usia 15-24 tahun.

Remaja juga dapat dibagi menjadi early (10-14 tahun), middle (15-17

tahun), dan late (18-19 tahun). Keadan emosi dan psikis anak usia remaja

mengalami masa pekembangan dan menyebabkan anak usia remaja lebih

sensitif, emosian dan menangis. Pada usia ini anak berada dalam masa

puncak pertumbuhan yang optimal dan sedang mencari jati diri sehinga

mereka senang berkmpul dan bersosialisasi dengan teman-temannya.

Aktivitas yang aktif, asupan gizi yang kurang, dan faktor lainnya dapat

menyebabkan remaja menjadi sakit. Kartinawati (2011) menyebutkan

bahwa pada saat remaja sakit akan mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan fisik, psikologis, dan spiritual remaja, apalagi bila remaja

sampai harus mengalami hospitalisasi.

Hospitalisasi merupakan keadaan dimana orang sakit berada pada

lingkungan rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan dalam perawatan

atau pengobatan sehingga dapat mengatasi atau meringankan penyakitnya.

Pada umumnya hospitalisasi dapat menimbulkan ketegangan dan ketakutan

serta dapat menimbulkan gangguan emosi atau tingkah laku yang

1
2

mempengaruhi kesembuhan dan perjalanan penyakit khususnya anak dan

remaja selama dirawat di rumah sakit (Wulandari, 2016). Remaja yang

sakit dan harus dirawat dirumah sakit akan mengalami masa sulit karena

tidak dapat melakukan kebiasaan seperti biasanya. Lingkungan, orang-orang

asing, perawatan dan berbagai prosedur yang dijalani oleh remaja

merupakan sumber utama stresor, kecewa dan cemas, terutama untuk anak

yang pertama kali dirawat di rumah sakit (Elfira, 2011).

Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2018

bahwa 3%-10% pasien remaja yang di rawat di Amerika Serikat mengalami

stress selama hospitalisasi. Sekitar 3%-7% dari remaja yang di rawat di

Jerman juga mengalami hal yang serupa, 5%-10% remaja yang di

hospitalisasi di Kanada dan Selandia Baru juga mengalami tanda stress

selama di hospitalisasi (WHO, 2018) Prevalensi kecemasan anak saat

menjalani hospitalisasi mencapai 75% (Fradianto, 2014)

Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2011

didapatkan data rata-rata anak usia remaja yang menjalani rawat inap di

rumah sakit di seluruh Indonesia adalah 2,8% dari total jumlah anak 82.666

orang. Angka kesakitan anak usia remaja di Indonesia 2,1 juta atau sekitar

8%. Anak usia remaja yang mengalami hospitalisasi membutuhkan

perawatan yang spesial dibanding pasien lain, selain itu waktu yang

dibutuhkan untuk merawat penderita remaja 20%- 45% melebihi waktu

untuk merawat orang dewasa.


3

Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang

secara subyektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.

Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan

terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dapat dihubungkan dengan

perasaan tidak menentu dan tidak berdaya. Reaksi tersebut bersifat

individual dan sangat bergantung pada tahap usia perkembangan anak,

pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem dukungan yang tersedia, dan

kemampuan koping yang dimiliknya (Cahningsih, 2016).

Kecemasan terbesar pada anak usia remaja selama menjalani

hospitalisasi adalah kecemasan terjadinya perlukaan pada bagian tubuhnya.

Semua prosedur atau tindakan keperawatan baik yang menimbulkan nyeri

maupun tidak dapat menyebabkan kecemasan anak. Hal ini disebabkan

karena keterbatasan pemahaman anak mengenai tubuh (Apriany, 2013).

Dampak hospitalisasi pada remaja berbeda-beda tergantung oleh

perkembangaan usia, pengalaman sakit dan dirawat di rumah sakit, support

system, serta keterampilan koping dalam menangani stress. Berdasarkan

hasil penelitian Utami (2014) yang berjudul “Dampak hospitalisasi terhadap

perkembangan remajak” diketahui bahwa anak yang dihospitalisasi pada

usia remaja antara lain ketakutan terhadap rasa nyeri atau cedera yang

ditampilkan dengan perilaku agresif seperti meringis, menangis, ketakutan

dan kecemasan.

Menurut Rahmah (2016), anak usia remaja (12-18 tahun)

mempersepsikan perawatan menyebabkan perasaan cemas karena berpisah


4

dengan teman sebaya. Kecemasan dan rasa takut dapat juga disebabkan

karena pengalaman secara dini seperti perawatan telah dilakukan sejak awal

kanak-kanak.

Salah satu tindakan keperawatan yang dapat membuat kecemasan

pada anak usia remaja ketika menalami hospitalisasi adala pada saat

pengambilan darah vena. Tindaka pengambilan darah melalui vena

merupakan cara pengambilan darah dengan menusuk area pembuluh darah

vena dengan menggunakan spuit.

Kecemasan yang dialami oleh anak dapat mempengaruhi proses

penyembuhan pada anak yang mengalami hospitalisasi. Upaya untuk

mengatasi kecemasan pada anak antara lain dengan menerapkan pelayanan

atraumatic care (Wong, 2012). Pelayanan atraumatic care merupakan

bentuk perawatan terapeutik tatanan pelayanan kesehatan anak melalui

penggunaan tindakan yang mengurangi distres fisik maupun distres

psikologis yang dialami anak maupun orang tua. Atraumatic care bertujuan

untuk mengurangi dampak trauma saat menjalani perawatan baik psikologi

maupun fisik baik pada anak maupun keluarga (Nursalam, 2013 ).

Penerapan pelayanan atraumatic care antara lain yang pertama

melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif dalam perawatan

anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama

24 jam. Jika tidak mungkin, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak

setiap saat dengan maksud untuk mempertahankan kontak antara mereka.

Yang kedua melakukan modifikasi lingkungan rumah sakit, agar anak tetap
5

merasa nyaman dan tidak asing dengan lingkungan baru. Upaya yang ketiga

adalah peran dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter, perawat), dimana

diharapkan petugas kesehatan khususnya perawat harus menghargai sikap

anak karena selain orang tua perawat adalah orang yang paling dekat dengan

anak selama perawatan di rumah sakit (Cahningsih, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Lory Huff (2010), menyatakan bahwa

“implementasi atraumatic care pada anak yang dirawat di rumah sakit dapat

menurunkan trauma pada anak dan orang tua akibat prosedur invasif. Alasan

tersebut membuat perawat dituntut untuk memberikan pelayanan perawatan

yang berkualitas kepada anak maupun orang tua dengan pelaksanaan

atraumatic care sehingga dapat meminimalkan kecemasan pada anak saat

hospitalisasi”.

Penatalaksanaan atraumatic care diantaranya yaitu penggunaan teknik

farmakologi dan nonfarmakologi. Salah satu teknik nonfarmakologi yang

dapat digunakan dalam menghadapi kecemasan pada anak mendapat

tindakan pengambilan darah vena adala dengan memberi terapimengunyah

permen gummy (yupi).

Permen gumm atau permen jelly merupakan salah satu produk pangan

yang disukai semua orang dari kalangan anak-anak hingga dewasa. Permen

gmmy memiliki tekstur lunak yang diproses dengan penambahan komponen

hidrokoloid seperti agar, gum, pektin, pati, karagenan, gelatin, dan lain lain

yang digunakan untuk memodifikasi tekstur sehingga menghasilkan produk

yang kenyal (Suryani, 2012). Menurut penelitian Wijana (2012 ), mengenai


6

pembuatan permen gumy dari buah nanas subgrade (kajian konsentrasi

karagenan dan gelatin) dengan formulasi penambahan karagenan 3,5 % dan

gelatin 14 % serta sari buah nanas sebanyak 150 mL diproleh kadar air

13,695%, asam 0,517%, gula 84,69%, kadar abu 0,71%, dan kekerasan

45,0g

Berdasarkan penelitian Andrew Scholey dan Lucy Wilkinson pada

tahun 2012 diketahui bahwa mengunyah permen seperti permen gummy

ternyata memberi pengaruh positif terhadap aktivitas kognitif. Selama ini

keberadaan permen gummy sebagai makanan sambilan mengundang

pendapat yang berbeda. Sebagian besar orang berpendapat bahwa kebiasaan

mengunyah permen karet merupakan kebiasaan yang buruk. Mengunyah

permen karet dianggap merugikan terutama untuk anak-anak yang biasa

atau senang mengonsumsi makanan yang manis seperti permen, cokelat, dan

permen karet. Sementara itu, hanya sebagian kecil orang yang mengetahui

manfaat mengunyah permen gummy bagi kesahatan misalnya mengunyah

permen karet dapat mengalihkan rasa sakit (Hashimoto, 2018).

Gambar 1. Contoh Permen Gummy


Sumber: Viva.co.id
7

Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang dilakukan peneliti pada

tanggal 8 April 2019 di RSUD. Dr.M.Yunus Bengkulu, diketahui pada 10

pasien, didapatkan bahwa 7 dari 10 anak usia remaja menunjukan reaksi

kecemasan. Menurut hasil wawancara dengan orang tua anak remaja yang

menjalani perawatan, anak terlhat cemas dan ketakutan saat akan dilakukan

tindakan keperawatan pengambilan darah vena.

Hasil observasi peneliti dan wawancara dengan perawat, diketahui

bahwa di RSUD. Dr.M.Yunus Bengkulu belum menerapkan pelayanan

atraumatic care seperti mengajak pasien untuk bermain, memberikan sesuatu

untuk mengalihkan rasa cemas akibat nyeri pada saat tindaka keperawatan.

Selain itu berdasarkan hasil survey pendahuluan data rekam medik dari pihak

rumah sakit diketahui jumlah anak yang mengalami hospitalisasi di rumah

sakit RSUD. Dr.M.Yunus Bengkulu pada tahun tahun 201 sebanyak 519 anak

dengan usia remaja 136 anak, tahun 2017 sebanyak 578 anak dengan remaja

terdapat 149 anak, pada 2018 sebanyak 613 anak dengan anak usia remaja

153 anak dan pada Januari - April 2019 jumlah anak yang mengalami

hospitalisasi sebanyak 56 anak.

Hasil observasi yang peneliti lakukan pada tanggal 08 April 2019

terhadap 2 orang anak yang mengalami hospitalisasi baru 2 hari dengan

tingkat kecemasan sedang, diketahui bahwa dengan diberikannya terapi

mengunah permen gummy terjadi perubahan terhadap anak menjadi lebih

ceria dan tenang


8

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka peneliti

tertarik untuk meneliti dengan judul “Pengaruh Mengunyah Permen Gummy

Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Remaja Pada Saat

Pengambilan Darah Vena Di RSUD dr.M.Yunus Kota Bengkulu”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka peneliti dapat

mengidentifikasi masalah pada penelitian ini adalah :

1. Banyaknya anak remaja yang mengalami kecemasan saat pengambila

darah vena.

2. Kurangnya tindakan perawat dalam menghadapi kecemasan pada remaja.

3. Belum diterapkannya penanganan nonfarmakologi dalam menangani

anak sakit.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan sebelumnya

maka peneliti membatasi masalah penelitian yaitu bagaimana upaya

menurunkan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak remaja di

RSUD dr. M,Yunus Kota Bengkulu. Pembatasan masalah ini diambil karena

masih tingginya tingkat kecemasan anak usia remaja akibat pengambilan

darah vena saat hospitalisasi.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “Seberapa efektif mengunyah permen gummy


9

dapat menurunkan tingkat kecemasan remaja saat pengambilan darah vena

di RSUD. Dr.M.Yunus Kota Bengkulu.?”

1.5 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum pada penelitian ini adalah diketahui efektif mengunyah

permen gummy dapat menurunkan tingkat kecemasan remaja saat

pengambilan darah vena di RSUD. Dr.M.Yunus Kota Bengkulu.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus pada penelitian ini adalah untuk :

a. Diketahui tingkat kecemasan sebelum dan sesudah dilakukan terapi

mengunyah permen gummy saat pengambilan darah vena di RSUD.

Dr.M.Yunus Bengkulu.

b. Diketahui efektifitas mengunyah permen gummy dalam menurunkan

tingkat kecemasan remaja saat pengambilan darah vena di RSUD.

Dr.M.Yunus Bengkulu.

1.6 Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan masukan bagi perawat dalam meningkatkan pelayanan rumah sakit

terutama dalam menghadapi pasien remaja.


10

2. Praktis

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi

peneliti. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi

penelitian selanjutnya.

b. Bagi Institusi (Rumah Sakit)

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam

membuat program peningkatan mutu pelayanan rumah sakit.

c. Bagi Orang Tua

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi orang tua

dalam menghadapi kecemasan pada anak saat hospitalisasi.

1.7 Keaslian Penelitian

Berdasarkan kepustakaan yang penulis telusuri belum ada yang

melakukan penelitian ini, adapun penelitian serupa yang pernah dilakukan

adalah:

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian


No Judul dan Penulis Metode dan Hasil Persamaan Perbedaan

1 Veronika Subagio Metode Penelitian Peneliti


engan (2015), terdahulu dan terdahulu
Pengaruh Deskriptif dengan penelitian ini meneliti
Mengunya pendekatan quasi sama-sama tentang
Permen Karet eksperiment meneliti mengunyah
Terhadp ingkat tentang permen karet,
Kecemasan Hasil mengunyah sedangkan
Menghadapi permen penelitian ini
Ujian Ada pengaruh mengunyah
yang signifikan permen
mengunyah
11

permen karet gummy


terhadap tngkat
kecemasan

2 Rupdi Metode Penelitian Peneliti


Lumbansiantar, terdahulu dan terdahulu
2012 dengan Deskriptif dengan penelitian ini meneliti
judul “Pengaruh pendekatan quasi sama-sama tentang
story telling eksperiment dengan meneliti penurunan
terhadap tingkat one group pretest- tentang kecemasan
kecemasan akibat posttest kecemasan dengan story
hospitalisasi pada telling,
anak usia pra Hasil sedangkan
sekolah di RSUD penelitian ini
bekasi 2012” Ada pengaruh yang mengunyah
signifikan anatar permen
pemberian story gummy
telling dengan
tingkat kecemasan
akibat hospitalisasi
pada anak usia
prasekolah

3 Novianti ka Deskriptif dengan Penelitian Peneliti


Pratiwi Pengaruh pendekatan quasi terdahulu dan terdahulu
Terapi Touch and eksperiment penelitian ini meneliti
Talk Terhadap dengan pretest- sama-sama tentang
Kecemasn posttest control meneliti penurunan
AnakUSia group tentang kecemasan
Praseolah Yang kecemasan dengan touch
Mengalami Hasil and talk,
Tindakn Invasif sedangkan
Di RSUD dr. Ada pengaruh penelitian ini
Moewardi yang signifikan mengunyah
Surakata antara pemberian permen
touch and talk gummy
kecemasan anak
usia prasekolah
akibat
hospitalisasi

4 Rika Sarfika, dkk. Deskriptif dengan Penelitian Peneliti


2015, dengan pendekatan quasi terdahulu dan terdahulu
judul “ Pengaruh eksperimental penelitian ini meneliti
12

teknik distraksi dengan he sama-sama tentang


Menonton posttest one meneliti penurunan
Animasi Kartun control group tentang kecemasan
terhadap skala design kecemasan dengan
nyeri anak usia menonton
prasekolah saat Hasil penelitian kartun,
pemasangan menunjukkan sedangkan
infuse di instalasi adanya perbedaan penelitian ini
rawat inap anak skala nyeri antara mengunyah
RSUP Dr. kelompok permen
M.Djamil Padang eksperimen yang gummy
diberi perlakuan
distraksi
menonton

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja

2.1.1. Definisi Remaja

Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari

bahasa Latin adolescare yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai

kematangan”. Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa

puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang

kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu

mengadakan reproduksi (Asrori, 2016).

Menurut Rice (2014), masa remaja adalah masa peralihan, ketika

individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang memiliki

kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting menyebabkan remaja

melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah, pertama, hal yang

bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan, dan kedua adalah hal
13

yang bersifat internal, yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang

membuat remaja relative lebih bergejolak dibandingkan dengan masa

perkembangan lainnya (storm and stress period).

Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan

fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun, adalah

suatu periode masa pematangan organ reproduksi manusia, dan sering

disebut masa pubertas. Masa remaja adalah periode peralihan dari masa

anak ke masa dewasa (Widyastuti,2009).


12
Berdasarkan dari beberapa pendapat para ahli yang telah diuraikan di

atas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah seseorang yang

memasuki masa transisi atau masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa

yang ditandai dengan proses pematangan organ reproduksi.

2.1.2 Batasan Usia Remaja

Berdasarkan tahapan perkembangan individu dari masa bayi hingga

masa tua akhir menurut Erickson, masa remaja dibagi menjadi tiga tahapan

yakni masa 13 remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja

akhir. Adapun kriteria usia masa remaja awal pada perempuan yaitu 13-15

tahun dan pada laki-laki yaitu 15-17 tahun. Kriteria usia masa remaja

pertengahan pada perempuan yaitu 15-18 tahun dan pada laki-laki yaitu 17-

19 tahun. Sedangkan kriteria masa remaja akhir pada perempuan yaitu 18-

21 tahun dan pada laki-laki 19-21 tahun (Thalib, 2010).

Menurut Papalia & Olds (dalam Jahja, 2012), masa remaja adalah masa

transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada


14

umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir

belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Menurut Jahja (2012) menambahkan, karena laki-laki lebih lambat

matang daripada anak perempuan, maka laki-laki mengalami periode awal

masa remaja yang lebih singkat, meskipun pada usia 18 tahun ia telah

dianggap dewasa, seperti halnya anak perempuan. Akibatnya, seringkali

laki-laki tampak kurang untuk usianya dibandingkan dengan perempuan.

Namun adanya status yang lebih matang, sangat berbeda dengan perilaku

remaja yang lebih muda.

Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21

tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang

usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun

sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun

sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir (Ansori, 2016).

2.1.3 Perkembangan Emosi dan Psikis Masa Remaja

Menurut Ansrori (2016), status masa remaja agak kabur baik bagi

dirinya maupun bagi lingkungannya karena berada pada masa peralihan

antara masa anak-anak dan masa dewasa. Masa remaja biasanya memiliki

energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri

belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak

tenang, dan khawatir kesepian.

Perkembangan emosi seseorang pada umumnya tampak jelas pada

perubahan tingkah lakunya. Perkembangan emosi remaja juga demikian


15

halnya. Kualitas atau fluktuasi gejala yang tampak dalam tingkah laku itu

sangat tergantung pada tingkat fluktuasi emosi yang ada pada individu

tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita lihat beberapa tingkah

laku emosional, misalnya agresif, rasa takut yang berlebihan, sikap apatis,

dan tingkah laku menyakiti diri, seperti melukai diri sendiri dan memukul-

mukul kepala sendiri (Ansori, 2016 ).

Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan kejiwaan pada remaja

diantaranaya adalah perubahan emosi yang meliputi sensitif atau peka

misalnya mudah menangis, cemas, frustasi, dan sebaliknya bisa tertawa

tanpa alasan yang jelas. Utamanya sering terjadi pada remaja putri, lebih-

lebih sebelum menstruasi. Mudah bereaksi bahkan agresif terhadap

gangguan atau rangsangan luar yang mempengaruhinya. Itulah sebabnya

mudah terjadi perkelahian. Suka mencari perhatian dan bertindak tanpa

berpikir terlebih dahulu. Ada kecenderungan tidak patuh pada orang tua,

dan lebih senang pergi bersama dengan temannya daripada tinggal di rumah

(Widyastuti, 2009).

2.2 Pengambilan Darah Vena

2.2.1 Pengertian Darah

Darah adalah jaringan cair yang terdiri dari dua bagian yaitu plasma

darah dan sel darah. sel darah terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit,

dan trombosit. Volume darah secara keseluruhan yaitu satu per dua belas

berat badan atau kira-kira lima liter. Sekitar 55% adalah plasma darah,

sedangkan sisanya 45 terdiri dari sel darah (Made, 2015)


16

Darah terdiri dari 2 komponen yaitu plasma darah dan butir-butir

darah. Plasma darah adalah bagian cair darah yang sebagian besar terdiri

atas air, elektrolit dan protein darah. Butir-butir darah (Blood corpuscles)

terdiri atas 3 elemen yaitu eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah

putih), dan trombosit (butir pembeku/platelet). (Handayani, 2008).

Darah merupakan kumpulan dari cairan, sel-sel dan partikel yang

menyerupai sel, yang mengalir dalam arteri, kapiler, dan vena yang

mengirimkan oksigen dan zat-zat gizi ke jaringan dan membawa

karbondioksida dan hasil darah lainnya (Kusumawardhani, 2010).

2.2.2 Darah Vena

Vena dimulai dari pembuluh darah kecil yang terbentuk dari

penyatuan kapiler yang berperan mengahantarkan darah ke jantung. Vena

kecil-kecil bersatu menjadi vena lebih besar dan membentuk batang vena,

yang makin mendekati jantung makin besar ukurannya. Vena lebih banyak

jumlahnya daripada arteri dan ukurannyapun lebih besar (Pearce, 2009).

Dinding vena terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan terluar terdiri atas

jaringan fibrus disebut tunika adventisia, lapisan tengah berotot lebih tipis,

kurang kuat, lebih mudah kempes, dan kurang elastis daripada arteri, lapisan
17

dalam anggota gerak berjalan melewati gaya berat. Vena mempunyai katup

yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat mengalir ke jantung tanpa

jatuh kembali kearah sebaliknya. Lokasi pengambilan dara vena orang

dewasa dipakai salah satu vena dalam foss cubiti dan bayi pada vena

jugularis superficialis atau sinus sagitalis superior (Soebrata, 2009).

2.2.3 Pengambilan Darah Vena

Pengambilan darah vena adalah cara pengambilan darah dengan

menusuk area pembuluh darah vena dengan menggunakan spuit.

Pengambilan darah vena yaitu suatu pengambilan darah vena yang diambil

dari vena dalam fossa cubiti, vena saphena magna / vena supervisial lain

yang cukup besar untuk mendapatkan sampel darah yang baik dan

representative dengan menggunakan spuit atau vacutainer

(Kusumawardhani, 2010).

1. Dengan Syringe

Pengambilan darah vena secara manual dengan alat suntik (syringe)

merupakan cara yang masih lazim dilakukan di berbagai laboratorium

klinik dan tempat-tempat pelayanan kesehatan. Alat suntik ini adalah

sebuah pompa piston sederhana yang terdiri dari sebuah sebuah tabung

silinder, pendorong, dan jarum. Berbagai ukuran jarum yang sering

dipergunakan mulai dari ukuran terbesar sampai dengan terkecil adalah :

21G, 22G, 23G, 24G dan 25G. Pengambilan darah dengan suntikan ini

baik dilakukan pada pasien usia lanjut dan pasien dengan vena yang tidak

dapat diandalkan (rapuh atau kecil).


18

2. Dengan Tabung Vakum 1

Tabung vakum pertama kali dipasarkan oleh perusahaan asing AS

BD (BectonDickinson) di bawah nama dagang Vacutainer. Jenis tabung

ini berupa tabung reaksi yang hampa udara, terbuat dari kaca atau plastik.

Ketika tabung dilekatkan pada jarum, darah akan otomatis mengalir

masuk ke dalam tabung dan berhenti mengalir ketika sejumlah volume

tertentu telah tercapai.

Jarum yang digunakan terdiri dari dua buah jarum yang

dihubungkan oleh sambungan berulir.Jarum pada sisi anterior digunakan

untuk menusuk vena dan jarum pada sisi posterior ditancapkan pada

tabung. Jarum posterior diselubungi oleh bahan dari karet sehingga dapat

mencegah darah dari pasien mengalir keluar. Sambungan berulir

berfungsi untuk melekatkan jarum pada sebuah holder dan memudahkan

pada saat mendorong tabung menancap pada jarum posterior.

Keuntungan menggunakan metode pengambilan ini adalah, tak

perlu membagibagi sampel darah ke dalam beberapa tabung.Cukup sekali

penusukan, dapat digunakan untuk beberapa tabung secara bergantian

sesuai dengan jenis tes yang diperlukan. Untuk keperluan tes biakan

kuman, cara ini juga lebih bagus karena darah pasien langsung dapat

mengalir masuk ke dalam tabung yang berisi media biakan kuman. Jadi,

kemungkinan kontaminasi selama pemindahan sampel pada pengambilan

dengan cara manual dapat dihindari.


19

Kekurangannya sulitnya pengambilan pada orang tua, anak kecil,

bayi, atau jika vena tidak bisa diandalkan (kecil, rapuh), atau jika pasien

gemuk. Untuk mengatasi hal ini mungkin bisa digunakan jarum bersayap

(winged needle).

Jarum bersayap atau sering juga dinamakan jarum “kupu-kupu”

hampir sama dengan jarum vakutainer seperti yang disebutkan di atas.

Perbedaannya adalah, antara jarum anterior dan posterior terdapat dua

buah sayap plastik pada pangkal jarum anterior dan selang yang

menghubungkan jarum anterior dan posterior. Jika penusukan tepat

mengenai vena, darah akan kelihatan masuk pada selang (flash).

Menurut Gandasoebrata, (2010), cara pengambilan darah vena

adalah sebagai berikut :

1. Menyediakan semua alat yang diperlukan dan pastikan semua

peralatan tetap dalam keadaan steril.

2. Membersihkan lokasi pengambilan sampel dengan alkohol 70% dan

biarkan menjadi kering kembali.

3. Memilih vena dalam fossa cubiti, ikatan pembendung dipasang pada

lengan atas dan pasien diminta untuk mengepal dan membuka tangan

berkali-kali agar vena terlihat jelas.

4. Menusuk kulit dengan jarum dan semprit dalam tangan kanan sampai

ujung jarum masuk kedalam lumen vena.

5. Melepaskan pembendung dan perlahan-lahan tarik pengisap semprit

sampai jumlah darah yang dibutuhkan.


20

6. Meletakkan kapas kering di atas jarum dan mencabut semprit

7. Menekan bekas tusukan dengan kapas kering tersebut beberapa menit.

8. Memasukkan darah ke dalam tabung melalui dinding tabung

2.3 Kecemasan

2.3.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang

secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.

Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan

terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan

tidak menentu dan tidak berdaya (Suliswati, 2012).

Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada

waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal

terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa

muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai

gangguan emosi (Savitri, 2011)

Kecemasan atau anxietas adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas

penyebabnya. Kecemasan merupakan kekuatan yang besar dalam

menggerakkan tingkah laku, baik tingkah laku normal maupun tingkah laku

yang menyimpang, yang terganggu kedua-duanya merupakan pernyataan,


21

penampilan, penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan itu (Singgih,

2010).

Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan

mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan

mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak

menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan

menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman,

2010).

Berdasarkan pendapat dari beberapa para ahli, dapat disimpulkan

bahwa kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang

sangat mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya

ketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk

akan terjadi.

2.3.2 Anatomi Fisiologi Kecemasan

Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls

saraf ke susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan pemberi

tanggapan rangsangan (Feriyawati, 2016). Sistem atau susunan saraf

merupakan salah satu bagian terkecil dari organ dalam tubuh, tetapi

merupakan bagian yang paling kompleks. Susunan saraf manusia

mempunyai arus informasi yang cepat dengan kecepatan pemrosesan yang

tinggi dan tergantung pada aktivitas listrik (impuls saraf) (Bahrudin, 2013).
22

Gambar 1. Anatomi Syaraf Otonom dan Sistem Limbik

Alur informasi pada sistem saraf dapat dipecah secara skematis

menjadi tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau internal yang mengenai

organ-organ sensorik akan menginduksi pembentukan impuls yang berjalan

ke arah susunan saraf pusat (SSP) (impuls afferent), terjadi proses

pengolahan yang komplek pada SSP (proses pengolahan informasi) dan

sebagai hasil pengolahan, SSP membentuk impuls yang berjalan ke arah

perifer (impuls efferent) dan mempengaruhi respons motorik terhadap

stimulus (Bahrudin,2013).

Teori fisiologis penyebab kecemasan menurut Guyton (2017) Stress

fisik atau emosional mengaktivasi amygdala yang merupakan bagian dari

sistem limbik yang berhubungan dengan komponen emosional dari otak.

Respon emosional yang timbul ditahan oleh input dari pusat yang lebih

tinggi di forebrain. Respon neurologis dari amygdala ditransmisikan dan

menstimulasi respon hormonal dari hipotalamus. Hipotalamus akan

melepaskan hormon CRF (corticotropin-releasing factor) yang


23

menstimulasi hipofisis untuk melepaskan hormon lain yaitu ACTH

(adrenocorticotropic hormone) ke dalam darah. ACTH sebagai gantinya

menstimulasi kelenjar adrenal untuk menghasilkan kortisol, suatu kelenjar

kecil yang berada di atas ginjal. Semakin berat stress, kelenjar adrenal akan

menghasilkan kortisol semakin banyak dan menekan sistem imun.

Menurut Ganong (2018), reaksi takut dapat terjadi malalui

perangsangan hipotalamus dan nuclei amigdaloid. Sebaliknya amigdala

dirusak, reaksi takut beserta manisfestasi otonom dan endokrinnya tidak

terjadi pada keadaan-keadaan normalnya menimbulkan reaksi dan

manisfestasi tersebut, terdapat banyak bukti bahwa nuclei amigdaloid

bekerja menekan memori-memori yang memutuskan rasa takut masuknya

sensorik aferent yang memicu respon takut terkondisi berjalan langsung

dengan peningkatan aliran darah bilateral ke berbagai bagian ujung anterior

kedua sisi lobus temporalis. Sistem saraf otonom yang mengendalikan

berbagai otot dan kelenjar tubuh. Pada saat pikiran dijangkiti rasa takut,

sistem saraf otonom menyebabkan tubuh bereaksi secara mendalam, jantung

berdetak lebih keras, nadi dan nafas bergerak meningkat, biji mata

membesar, proses pencernaan dan yang berhubungan dengan usus berhenti,

pembuluh darah mengerut, tekanan darah meningkat, kelenjar adrenal

melepas adrenalin ke dalam darah. Akhirnya, darah di alirkan ke seluruh

tubuh sehingga menjadi tegang dan selanjunya mengakibatkan tidak bisa

tidur.

2.3.3 Patofisiologi Kecemasan


24

Kecemasan adalah suatu keadaan yang menggoncangkan karena

adanya ancaman terhadap kesehatan. Individu-individu yang tergolong

normal kadang kala mengalami kecemasan yang menampak, sehingga dapat

disaksikan pada penampilan yang berupa gejala-gejala fisik maupun mental.

Gejala tersebut lebih jelas pada individu yang mengalami gangguan mental.

Lebih jelas lagi bagi individu yang mengidap penyakit mental yang parah.

Gejala-gejala yang bersifat fisik diantaranya adalah : jari tangan

dingin, detak jantung makin cepat, berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu

makan berkurang, tidur tidak nyenyak, dada sesak.Gejala yang bersifat

mental adalah : ketakutan merasa akan ditimpa bahaya, tidak dapat

memusatkan perhatian, tidak tenteram, ingin lari dari kenyataan (Sundari,

2014).

Kecemasan juga memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan

takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dantidak

menyenangkan. Gejala-gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda pada

masing-masing orang. Takut dan cemas merupakan dua emosi yang

berfungsi sebagai tanda akan adanya suatu bahaya. Rasa takut muncul jika

terdapat ancaman yang jelas atau nyata, berasal dari lingkungan, dan tidak

menimbulkan konflik bagi individu. Sedangkan kecemasan muncul jika

bahaya berasal dari dalam diri, tidak jelas, atau menyebabkan konflik bagi

individu (Kaplan et.al, 2017).

Kecemasan berasal dari perasaan tidak sadar yang berada didalam

kepribadian sendiri, dan tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau
25

keadaan yang benar-benar ada. Menurut Rochman (2010) mengemukakan

beberapa gejala-gejala dari kecemasan antara lain :

1. Ada saja hal-hal yang sangat mencemaskan hati, hampir setiap kejadian

menimbulkan rasa takut dan cemas. Kecemasan tersebut merupakan

bentuk ketidakberanian terhadap hal-hal yang tidak jelas.

2. Adanya emosi-emosi yang kuat dan sangat tidak stabil. Suka marah dan

sering dalam keadaan exited (heboh) yang memuncak, sangat irritable,

akan tetapi sering juga dihinggapi depresi.

3. Diikuti oleh bermacam-macam fantasi, delusi, ilusi, dan delusion of

persecution (delusi yang dikejar-kejar).

4. Sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah,

banyak berkeringat, gemetar, dan seringkali menderita diare.

5. Muncul ketegangan dan ketakutan yang kronis yang menyebabkan

tekanan jantung menjadi sangat cepat atau tekanan darah tinggi.

Menurut Nevid et.al (2011) mengklasifikasikan gejala-gejala

kecemasan dalam tiga jenis gejala, diantaranya yaitu :

1. Gejala fisik dari kecemasan yaitu : kegelisahan, anggota tubuh bergetar,

banyak berkeringat, sulit bernafas, jantung berdetak kencang, merasa

lemas, panas dingin, mudah marah atau tersinggung.

2. Gejala behavioral dari kecemasan yaitu : berperilaku menghindar,

terguncang, melekat dan dependen

3. Gejala kognitif dari kecemasan yaitu : khawatir tentang sesuatu, perasaan

terganggu akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan,


26

keyakinan bahwa sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi,

ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, pikiran terasa

bercampur aduk atau kebingungan, sulit berkonsentrasi

2.3.4 Faktor-faktor yang Menjadikan Kecemasan

Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian

besar tergantunga pada seluruh pengalaman hidup seseorang. Peristiwa-

peristiwa atau situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan

kecemasan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan pada

remaja menurut Perry dan Potter (2019) antara lain:

1. Faktor predisposisi atau stressor predisposisi

Stresor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan

yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan, ketegangan dalam

kehidupan tersebut dapat berupa :

a. Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan

berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis

perkembangan atau situasional.

b. Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan

dengan baik, konflik antara id dan super ego atau antara keinginan dan

kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.

c. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu

berpikir secara realitas sehingga menimbulkan kecemasan.

d. Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil

keputusan yang berdampak terhadap ego.


27

e. Gangguan fisik merupakan ancaman terhadap integritas fisik yang

dapat mempengaruhi konsep diri individu.

f. Pola mekanisme koping keluarga.

g. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga.

h. Medikasi yaitu : pengobatan yang mengandung benzodizepin.

2. Faktor presipitasi atau stressor presipitasi

Stressor presipitasi ini berasal dari sumber internal dan eksternal

yaitu :

a. Ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan fisiologis

atau menurunnya kemampuan untuk melaksanakan kehidupan sehari-

hari.

b. Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga

diri dan interaksi fungsi sosial.

3. Prilaku

Secara langsung kecemasan dapat diekskpresikan melalui respons

fisiologis dan psikologis dan secara tidak langsung melalui

pengembangan mekanisme koping sebagai pertahanan melawan

kecemasan.

4. Sumber dan mekanisme koping


28

Mekanisme koping untuk mengatasi kecemasan sedang, berat dan

panik membutuhkan banyak energi. Mekanisme koping yang dapat

dilakukan ada 2 jenis, yaitu :

a. Reaksi yang berorientasi pada tugas (Task Oriented Reaction) adalah

pemecahan masalah secara sadar yang digunakan untuk

menanggulangi ancaman stressor yang ada secara realitas.

b. Mekanisme pertahanan ego digunakan untuk melindungi diri sendiri

dan dilakukan secara tidak sadar untuk mempertahankan

keseimbangan

2.3.5 Tingkat kecemasan

Menurut Struart (2019) tingkat kecemasan dibagi menjadi 4, yaitu:

1. Kecemasan ringan (mild anxiety)

Kecemasan ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari

seseorang kelihatan waspada ketika terdapat permasalahan. Pada

kategori ini seseorang dapat menyelesaikan masalah secara efektif dan

cenderung untuk belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta

kreativitas

2. Kecemasan sedang (moderat anxiety)

Kecemasan sedang lebih membuat remaja memusatkan pada hal

yang penting dang mengesampingkan yang lain, sehingga membuat

anak lebih selektif dan dan terarah.

3. Kecemasan berat (severe anxiety)


29

Kecemasan berat berakibat remaja cenderung memusatkan

perhatian pada sesuatu yang lebih rinci dan spesifik serta tidak dapat

berfikir tentang hal lain. Semua perilakunya ditunjukkan untuk

mengurangi ketegangan yang dirasakan. Remaja memerlukan banyak

pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

4. Panik

Rasa panik pada remaja berhubungan dengan ketakutan karena

kehilangan kendali, remaja akan merasa panik dan tidak mampu

melakukan sesuatu walaupun sudah diarahkan.panik menyebabkan

peningkatan aktivasi motorik, menurunkan kemampuan untuk

bersosialisasi dengan orang lain, penyimpangan persepsi, dan

kehilangan pemikiran yang rasional. Jika rasa panil ini dibiarkan akan

mengakibatkan kelelahan bahkan kematian.

2.3.6 Pengukuran Tingkat Kecemasan

Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan

menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating

Scale). Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan

pada munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan.

Menurut skala HARS terdapat 14 syptoms yang nampak pada individu yang

mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor

antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe).

Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang

diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar


30

dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic. Skala

HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi

untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic yaitu

0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan

dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan

reliable (Allesi, 2014)

Skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) dalam penilaian

kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi:

1. Perasaan cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

2. Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan

lesu.

3. Ketakutan: takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal

sendiri dan takut pada binatang besar.

4. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur

tidak pulas dan mimpi buruk.

5. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit

konsentrasi.

6. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada

hobi, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.

7. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara

tidak stabil dan kedutan otot.


31

8. Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka

merah dan pucat serta merasa lemah.

9. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras

dan detak jantung hilang sekejap

10. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering

menarik napas panjang dan merasa napas pendek.

11. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun,

mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan

panas di perut.

12. Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing,

aminorea, ereksi lemah atau impotensi.

13. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu

roma berdiri, pusing atau sakit kepala.

14. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan

dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek

dan cepat

Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan

kategori: 0 = tidak ada, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat, 4 = sangat berat.

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan

item 1- 14 dengan hasil:

< 14 = tidak ada kecemasan.

14 – 20 = kecemasan ringan.

21 – 27 = kecemasan sedang
32

28 – 41 = kecemasan berat

42– 56 = kecemasan berat sekali

2.4 Permen Gummy (Jelly)

Permen secara umum adalah produk yang dibuat dengan mendidihkan

campuran gula dan bahan tambahan yang dapat mempertahankan bentuk

dalam waktu yang lama bersama bahan pewarna dan pemberi rasa yang

kemudian dicetak menurut bentuk yang diinginkan. Seni dalam membuat

permen terletak pada nilai daya tahan permen dengan kadar air minimal dan

sedikit cenderung untuk mengkristal. (Kurniawan, 2012)

Menurut tingkat kekerasan permen, dikelompokkan menjadi 2 (dua)

kelompok besar yaitu permen keras dan permen lunak. Permen keras tidak

akan berubah bentuk bila ditekan bahkan akan patah bila dipaksakan.

Permen lunak adalah permen yang mudah berubah dengan hanya memberi

tekanan sedikit, misalnya permen jelly dan permen karet (Kurniawan, 2012)

Permen atau kembang gula lunak adalah jenis makanan selingan yang

berbentuk padat, dibuat dari gula atau campuran gula dengan pemanis,

diberi atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan

pangan yang diijinkan. Permen lunak memiliki tekstur yang relatif lunak

jika dikunyah. Permen lunak dikategorikan menjadi permen lunak bukan

jelly dan permen lunak jelly.

Permen jelly merupakan permen yang terbuat dari campuran bahan

pembentuk gel, sari buah-buahan atau dengan penambahan essens untuk

menghasilkan berbagai macam rasa, dengan bentuk fisik jernih transparan


33

serta mempunyai tekstur kenyal. Kekenyalan gel merupakan sifat fisik

penting yang harus dimiliki oleh suatu bahan yang dapat membentuk gel

(Atmaka, Nurhartadi, dan Karim, 2013).

Permen jelly adalah permen bertekstur lunak yang diproses dengan

penambahan komponen hidrokoloid seperti agar, gum, pektin, pati,

karagenan, gelatin dan lain-lain yang digunakan untuk modifikasi tekstur

sehingga menghasilkan produk yang kenyal (Badan Standarisasi Nasional,

2008).

Permen jelly merupakan permen yang terbuat dari campuran sari

buahbuahan, bahan pembentuk gel atau dengan penambahan agensia

flavoring untuk menghasilkan berbagai macam rasa dengan bentuk fisik

jernih dan transparan (Atmaka et al., 2013)

2.5 Penatalaksanaan Kecemasan

2.5.1 Penatalaksanaan Secara Farmakologi

Obat-obatan yang biasanya diberikan pada penderita kecemasan

adalah benzodiazepine (Fracchione, 2004). Dan yang lazim digunakan

adalah Derivat diazepam, Alprazolam, Propanolol, dan Amitriptilin.

1. Diazepam

Diazepam adalah obat penenang di kelas benzodiazepin dan

diperkenalkan pada tahun 1963. Diazepam termasuk dalam golongan

psikotropika, nama dagangnya antara lain Valium. Indikasinya sebagai

obat anti-ansietas, sedatif-hipnotic, dan obat anti-kejang.


34

Efek sampingnya antara lain : menimbulkan rasa kantuk,

berkurangnya daya konsentrasi dan waktu reaksi. Diazepam

mempunyai waktu paruh yang panjang (24 s/d 200 jam).

2. Alprazolam

Alprazolam adalah sekelompok obat yang disebut

benzodiazepines yang bekerja memperlambat pergerakan zat kimia otak

yang menjadi tidak seimbang. Akibat ketidakseimbangan ini adalah

gangguan kecemasan

Efek samping yaitu :Gatal dengan bintik merah, sulit bernapas,

pembengkakan pada wajah, bibir, lidah atau tenggorokan. Hentikan

penggunaan alprazolam dan hubungi dokter anda jika anda memiliki

efek samping serius berikut:Tidak memiliki rasa takut, Depresi, ingin

menyakiti diri sendiri atau bunuh diri, hiperaktif, mudah marah,

berhalusinasi, Kepala terasa ringan, pingsan, Kejang, Kulit dan mata

menguning. Efek samping lain adalah: mengantuk, pusing, mudah

marah, Amnesia atau pelupa, sulit berkonsentrasi, Sulit tidur, Otot

lemah, hilang keseimbangan atau kordinasi, bicara ngawur, Pandangan

kabur, mual, muntah, konstipasi, perubahan berat badan atau nafsu

makan, Mulut kering atau basah, berkeringat banyak, hilang minat pada

aktifitas seksual.

3. Propanol

Propanolol adalah tipe beta-blocker non-selektif yang umumnya

digunakan dalam pengobatan tekanan darah tinggi. Obat ini adalah


35

beta-blocker pertama yang sukses dikembangkan. Indikasi: Digunakan

untuk mengobati atau mencegah gangguan yang meliputi

migrain,arrhythmias, angina pectoris, hipertensi, menopause, dan

gangguan kecemasan.

Efek sampingnya adalah : Efek CNS (kelelahan, depresi, pusing,

kebingungan, gangguan tidur), Efek CV (gagal jantung, sumbatan

jantung, kedinginan, impotensi pada laki-laki), Efek berturut-turut

(bronchospasma pada pasien yang rentan & obatobatan dengan beta1

harus digunakan secara selektif pada pasien ini), Efek GI (N/V, diare,

konstipasi), Efek metabolik (bisa memproduksi hiper atau

hipoglikemia, perubahan dalam serum kolesterol & trigliserid.

4. Amitriptilin

Amitriptilin merupakan antidepresi trisiklik. Amitriptilin bekerja

dengan menghambat pengambilan kembali neurotransmiter di otak.

Amitriptilin mempunyai 2 gugus metil, termasuk amin tersier sehingga

lebih resposif terhadap depresi akibat kekuranganserotonin. Senyawa

ini juga mempunyai aktivitas sedatif dan antikolinergik yang cukup

kuat. Dengan indikasi gejala-gejala utama depresi terutama bila

berkaitan dengan kecemasan, tegang, atau kegelisahan. Depresi

neurotik.

Efek sampingnya adalah efek antikolinergik seperti mulut kering,

retensi urinaria, konstipasi, palpitasi, takikardi, gingivitis, Berat badan

turun atau bertambah., Tinitus (telinga berdenging), mengantuk, cemas,


36

insomnia. , hipotensi, pusing, gangguan kulit, bingung, aritmia, mania.,

gangguan pencernaan., efek endokrin seperti perubahan libido,

impotensi, gynecomastia, galactorrhea.

2.5.2 Non Farmakologi

1. Distraksi

Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan

dengan cara mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien

akan lupa terhadap cemas yang dialami. Stimulus sensori yang

menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin yang bisa

menghambat stimulus cemas yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli

cemas yang ditransmisikan ke otak (Potter & Perry, 2005).

Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan memberikan

dukungan spiritual (membacakan doa sesuai agama dan keyakinannya),

sehingga dapat menurunkan hormon-hormon stressor, mengaktifkan

hormon endorphin alami, meningkatkan perasaan rileks, dan

mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki

sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta

memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktivitas

gelombang otak. Laju pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat

tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi,

pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih baik.

2. Relaksasi
37

Relaksasi adalah salah satu teknik dalam terapi perlakuan untuk

mengurangi ketegangan dan kecemasan. Relaksasi merupakan suatu

terapi agar individu menjadi lebih rileks dengan menegangkan otot-otot

tertentu dan kemudian relaksasi. Terapi relaksasi yang dilakukan dapat

berupa relaksasi, meditasi, relaksasi imajinasi dan visualisasi serta

relaksasi progresif (Isaacs, 2015)

3. Humor

Kemampuan untuk menyerap hal-hal lucu dan tertawa

melenyapkan stress. Hipotesis fisiologis menyatakan bahwa tertawa

melepaskan endorfin ke dalam sirkulasi dan perasaan stress dilenyapkan

(Potter & Perry, 2015)

4. Terapi Spiritual

Aktivitas spiritual dapat juga mempunyai efek positif dalam

menurunkan stress. Praktek seperti berdoa, meditasi tau membaca

bahan bacaan keagamaan dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi

terhadap gangguan stressor yang dialami (Potter & Perry, 2015)

5. Aromaterapi

Aromaterapi adalah terapi yang menggunakan minyak esensial

yang dinilai dapat membantu mengurangi bahkan mengatasi gangguan

psikologis dan gangguan rasa nyaman seperti cemas, depresi, nyeri dan

sebagainya (Watt dkk, 2018)

2.6 Efektifitas Mengunyah Permen Gumy Terhadap Kecemasan


38

Anak merupakan individu yang masih sangat membutuhkan

perlindungan dan tanggung jawab dari orang tua, orang tua bertanggung

jawab untuk menjaga dan mengupayakan anak dalam kondisi sehat yang

optimal karena masa depan bangsa bergantung pada anak. Kartinawati

(2011) menyebutkan bahwa pada saat anak sakit akan mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan fisik, psikologis, dan spiritual anak,

apalagi bila anak sampai harus mengalami hospitalisasi.

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit

dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk

beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru sehingga kondisi tersebut

menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap anak maupun orang tua dan

keluarga. Salah satu dampak dari hospitalisasi adalah anak akan mengalmi

kecemasan. Selain itu tindakan keperawatan yang diberikan juga dapat

meninmbulkan kecemasan seperti tindakan pengambilan darah vena (Wong,

2012).

Kecemasan yang dialami oleh anak dapat mempengaruhi proses

penyembuhan pada anak yang mengalami hospitalisasi, melihat dari

tingginya jumlah anak yang mengalami hospitalisasi dan mengalami

kecemasan pada saat di hospitalisasi peran perawat dan orang tua sangat

dibutuhkan untuk membantu anak dalam menurunkan kecemasan pada

anak. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan kecemasan

tersebut adalah dengan menggunakan terapi mengunyah permen gummy

(jelly) sehingga anak dapat bersikap kooperatif (Wong, 2012).


39

Mengunyah permen atau mastikasi menurut kamus Kedokteran

Dorland edisi 29 Tahun 2012 adalah proses pengunyahan makanan sebagai

persiapan untuk menelan dan mencerna. Mengunyah (mastikasi) adalah

suatu proses penghancuran makanan yang melibatkan organ-organ didalam

rongga mulut dan saliva sehingga mengubah ukuran dan konsistensi

makanan. Organ yang membantu proses mastikasi ini antara lain gigi geligi,

otot-otot mastikasi, rahang, dan persyarafan (Setya, 2018)

Berdasarkan hasil penelitian Akiyo (2011), menyatakan bahwa efek

mengunyah yang memiliki efek terhadap kecemasan. Efek ini akan

memiliki pengaruh bila mengunyah dilakukan seama 5 menit sebanyak 2

kali selma minimal 2 minggu. Hal ini membuktikan bahwa mengunyah

dapat mengurangi kecemasan misanya dalam kondisi stress akut.

Mengunyah permen dapat menurunkan kadar kortisol pada saliva sehingga

mereduksi tingkat kecemasan. Masih terjadi kontradiksi mengenai rasa

permen gummy apakah berpengaruh dalam mereduksi stress tersebut. Hasil

penelitian ini juga diperkuat dengan penelitian Andrew (2011), yang

menyatakan bahwa rasa (buah dan mint) dan jenis permen gummy tidak

memiliki pengaruh terhadap suasana hati.

Pada proses mengunyah berperan saraf trigeminus yaitu saraf yang

berperan dalam mengurumkan sensani dari kulit bagian anterior kepala,

rongga mulut dan hidung, gigi dan meninges (lapisan otak). Saraf

trigeminus memiliki tiga divisi (mata/oftalmik, rahang atas/maksilaris dan

rahang bawah/mandibula) yang selanjutnya diperlukan sebagai saraf-saraf


40

terpisah. Pada divisi mandibula terdapat juga serabut saraf-saraf motorik

yang mensarafi otott-otot yang digunakan dalam mengunyah. Saraf

trigeminus merupakan saraf campuran dimana sebagian besar merupakan

serat saraf sensoris wajah, dan sebagian yang lain merupakan serat saraf

motoris dari otot mastikasi.

2.2 Kerangka Teori

Faktor-faktor yang
berhubungan dengan
kecemasan pada anak
1. Jenis kelamin
Anak masuk Rumah Sakit
2. Umur
3. Lama hari rawat
4. Lingkungan
rumah sakit Kecemasan akibat
hospitalisasi

Faktor-faktor
pencetuskecemasan Upaya untuk mengatasi kecemasan pada anak :
pada anak 1. Melibatkan orang tua dalam perawatan
1. Perpisahan 2. Modifikasi lingkungan rumah sakit
2. Kehilangan 3. Peran dari petugas kesehatan
kontrol (dokter/perawat)
5. Rasa sakit atau 4. Terapi mengunyah permen gummy
nyeri pada
tubuh
41

Bagan 2.3 Kerangka Berpikir

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

2.3 Kerangka konsep

Pre test Terapi mengunyah Post test


permen gumy

Bagan 2.2. Kerangka Konsep

2.4 Hipotesis Penelitian

Ho : Tidak ada pengaruh terapi mengunah permen gumy terhadap

penurnan tingkat kecemasan saat pengambilan darag vena pada

remaja di RSUD dr.M.Yunus Kota Bengkulu.

Ha : Ada pengaruh terapi mengunah permen gumy terhadap penurnan

tingkat kecemasan saat pengambilan darag vena pada remaja di

RSUD dr.M.Yunus Kota Bengkulu


42

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancang Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semua (quasi

experiment), Penelitian eksperimen semu dilakukan untuk mengetahui pengaruh

suatu perlakuan terhadap karakteristik subjek yang diteliti. Pada penelitian

eksperimen semu tidak memungkinkan untuk mengontrol semua variabel

relevan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas mengunyah

permen gummy terhadap penurunan kecemasan. Desain eksperimen yang


43

digunakan adalah one group before after atau pre post test group design.

Rancangan ini terdiri dari satu kelompok eksperimen dalam tiap intervensi yang

diberi perlakuan berupa penerapan model (Sugiyono, 2013). Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada bagan 3.1 berikut :

O1 (Pre test) X1 O2(Post Test)

Bagan 3.1 Rancangan Penelitian

Keterangan

O1 = Pre test (tingkat kecemasan remaja sebelum diberi terapi mengunyah


permen gummy)
X1 = Treatment atau perlakuan (Diberi teknik terapi mengunyah permen
gummy)
O2 = Post test (tingkat kecemasan remaja sesudah diberi terapi terapi
mengunyah permen gummy)

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian 43

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan 08 April 2021 sampai dengan 18

April 2021 di RSUD dr.M.Yunus Kota Bengkulu.

3.3 Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi adalah jumlah seluruh obyek yang diteliti (Arikunto, 2010).

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh remaja yang dirawat di rumah

sakit pada periode penelitian kurang lebih sebanyak 50 orang.

2. Sampel
44

Untuk penelitian eksperimen yang sederhana yaitu menggunakan

kelompok eksperiment maka jumlah anggota sampel antara 10-20

(Sugiono, 2013). Pada penelitian ini, sampel yang diambil sebanyak 19

orang dan jumlah tersebut dianggap sudah mewakili populasi.

Kriteria inklusi :

a. Anak remaja berumur 14-19 tahun.

b. Tidak dalam keadaan kritis

c. Minimal mengalamin perawatan 1-3 hari

d. Orang tua dan remaja bersedia menjadi responden.

e. Remaja mengalami kecemasan

Kriteria Eksklusi :

a. Remaja keterbelakangan mental

b. Remaja yang mengalami gangguan menelan

c. Tidak bersedia menjadi responden

d. Remaja yang tidak bisa dengan alat kesehatan

3.4 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Alat ukur
Operasiona Cara ukur Hasil ukur Skala
ukur

Independen

1.
Mengunyah Kegiatan Mengunyah Pemen -
perme mengunyah permen gummy
gummy permen gummy gumy
45

selama
10-15
detik

Dependen

0-7=tidak ada
3 Dependen : Respon Kuisioner Check list kecemasan Rasio
Kecemasan kecemasan HARS
yang 8-15=kecemasan
ditunjukkan ringan
remaja saat
pengambilan 16-23=kecemasan
darah vena. sedang

24-31=kecemasan
berat

32-40=kecemasan
berat sekali

(Hawari, 2011)

3.5 Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan data

Ada beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung

dilapangan dengan menggunakan kuisioner untuk tingkat kecemasan,

sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait yang ada

hubungannya dalam penelitian ini. Untuk lebih jelasnya metode yang

penulis gunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah :

a. Observasi (Pengamatan) .
46

Metode ini dilakukan untuk mendapatkan data primer yang

dilaksanakan pada awal penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan

gambaran tentang keadaan permasalahan yang akan diteliti, yang

kemudian dijadikan petunjuk dan arah dalam pelaksanaan penelitian.

Pada penelitian ini, peneliti melakukan eksperiment terhadap

anak-anak usia remaja yang sedang mengalami hospitalisasi di RSUD

dr.M.Yunus Kota Bengkulu dimana sebelumnya peneliti mengukur

tingkat kecemasan responden sebelum diberi terapi (pre test)

Selanjutnya peneliti memberikan terapi mengunah permen gummy pada

kelompok pertama sebanyak 2 kali perlakuan masing-masing. Setelah

peneliti melakukan eksperiment dengan pemberian terapi pada anak

usia remaja, kemudian peneliti melakukan pengukuran tingkat

kecemasan (post test).

b. Kuisioner (Daftar Pertanyaan)

Metode ini dilakukan untuk mendapatkan data primer secara

langsung dari responden. Kuisioner untuk mengukur tingkat kecemasan

pada anak usia remaja.

Pada penelitian ini, pemberian skor pada masing-masing

pertanyaan pada kuisioner HARS adalah sebagai berikut :

1 = Bila tidak pernah sama sekali

2 = Kadang-kadang bila anak mengalami kejadian 1-2 kali

3 = Sering, bila anak mengalami kejadian 3-4 kali


47

4 = Sangat sering, bila anak mengalami kejadian > 4 kali

2. Pengolahan data

1) Editing

Dilakukan untuk memeriksa ulang kelengkapan data yang

terkumpul apakah telah sesuai dengan yang diharapkan.

2) Coding

Coding merupakan pemberian kode terhadap data atau

mengubah keterangan dalam bentuk angka dengan tujuan untuk

mempermudah dalam analisa data.

3) Entry

Setelah dilakukan coding kemudian data tersebut dimasukkan

kedalam master tabel menurut sifat – sifat yang dimiliki sesuai

tujuan peneitian dengan menggunakan komputerisasi dengan

program SPSS.

4) Cleaning

Mengecek kembali data yang sudah diproses apakah ada

kesalahan atau tidak pada masing – masing variabel yang sudah

diproses sehingga dapat diperbaiki dan dimulai.

3.6 Analisis Data

1. Analisis Univariat

Untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi frekuensi dan

karakteristik masing-masing variabel. Data yang diperoleh dianalisis


48

menggunakan uji statistik dengan aplikasi program SPSS 16 yang

kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel dan analisa secara deskriptif

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kedua

variabel. Metode statistik yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini

adalah Uji Wilcoxon yang bertujuan untuk mengetahui persentase

pengaruh pemberian mengunyah permen gummy terhadap penuruna

tingkat kecemasan akibat pengambilan darah vena di RSUD d.M.Yunus

Bengkulu

Dasar pengambilan keputusan dalam uji wilcoxon adalah sebagai

berikut:

a. Jika nilai Asymp.Sig. (2-taled) lebih kecil dari < 0,05, maka Ha

diterima artinya ada pengaruh terapi mengunyah permen gummy (yupi)

terhadap penurunan tingkat kecemasan saat pengambilan darah vena

pada remaja di RSUD dr.M.Yunus Bengkulu

b. Jika nilai Asymp.Sig. (2-taled) lebih kecil dari > 0,05, maka Ha ditolak

artinya tidak ada pengaruh terapi mengunyah permen gummy (yupi)

terhadap penurunan tingkat kecemasan saat pengambilan darah vena

pada remaja di RSUD dr.M.Yunus Bengkulu.


49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Umum Daerah Penelitian

4.1.1 Sejarah RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M.Yunus Bengkulu berdiri tahun

1922, pada awalnya berdiri di Jl. A.Yani (Kampung Cina) sekarang

ditempati kantor pos Bengkulu. Pada tahun 1925 pindah ke Anggut Atas di

Jl. Soekarno Hatta. Pada tahun 1977 Rumah Sakit pindah ke Padang

Harapan sampai tahun 1995 (Profil RSUD Dr.M.Yunus Bengkulu, 2010).

Pada tanggal 7 Maret 1978, Rumah Sakit Daerah Bengkulu

diresmikan pemakaiannya oleh Menteri Kesehatan Prof. G.A.Siswabessy

dan tanggal tersebut dijadikan sebagai hari jadi Rumah Sakit dengan

klasifikasi C . Pada tanggal 15 Desember 2006 berdasarkan Surat Keputusan

menteri Kesehatan RI Nomor 1413/MENKES/SK/XII/2006 berubah

menjadi klasifikasi B.

Berdasarkan Keputusan Direktur RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu

Nomor 821/11306/SK/UM.4 tanggal 2 Januari 2004 tentang uraian tugas

pejabat stuktural dan fungsional/instalasi di lingkungan RSUD Dr. M.Yunus

Bengkulu. RSUD Dr.M.Yunus Bengkulu sebagai rumah sakit rujukan

tertinggi di provinsi Bengkulu (Profil RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu, 2010)

48
50

4.1.2 Visi, Misi dan Tujuan

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai instansi yang memberikan

pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat, RSUD Dr. M.Yunus

Bengkulu mempunyai visi,misi dan tujuan yang akan dicapai oleh

organisasi tersebut :

1. Visi

RSUD Dr.M.Yunus merupakan Rumah Sakit Umum rujukan

tertinggi di Provinsi Bengkulu yang mempunyai andil dan peranan dalam

peningkatan kesehatan masyarakat propinsi Bengkulu, guna untuk

membantu penyembuhan para penderita penyakit yang datang berobat ke

rumah sakit. Upaya tersebut meliputi promotif, preventif, kuratif dan

rehabilitatif dengan visi : “ Menjadi pusat Rujukan Medis terbaik melalui

pelayanan prima dan Pusat Pendidikan terbaik di provinsi Bengkulu”.

2. Misi

a. Memberi pelayanan cepat, tepat, ramah dan terjangkau bagi semua

masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial

b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai tenaga

profesional dalam memberikan pelayanan.

c. Memenuhi kebutuhan sarana dan fasilitas Rumah Sakit untuk

menunjang kualitas pelayanan.

d. Meningkatkan kesejahteraan karyawan sebagai motivasi kerja dalam

memberikan pelayanan prima


51

e. Meningkatkan disiplin anggaran dalam rangka menunjang efisiensi

pengeluaran

f. Menunjang tercapainya pendidikan profesi kedokteran melalui

pendidikan, penelitian dan pelayanan serta pengabdian masyarakat.

3. Tujuan

a. Tujuan Umum

Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan

untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan

derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur

kesejahteraan umum dari Tujuan nasional. Untuk itu RSUD.

Dr.M.Yunus Bengkulu sebagai pusat rujukan tertinggi di propinsi

Bengkulu diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan

paripurna bagi masyarakat melalui upaya promotif, preventif, kuratif

dan rehabilitatif dengan mutu terbaik dan biaya yang terjangkau.

b. Tujuan Khusus

1) Meningkatkan manajemen profesional dalam rangka mewujudkan

pelayanan prima.

2) Meningkatkan jaringan pemasaran untuk meningkatkan pendapatan

rumah sakit.

3) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam menanggulangi

sebagian biaya pelayanan kesehatan di rumah sakit.

4) Mengembangkan rumah sakit sebagai pusat penelitian dan

pendidikan di bidang kesehatan.


52

5) Melengkapi sarana dan prasarana rumah sakit dengan standar.

6) Meningkatkan akuntabilitas rumah sakit. (Profil

RSUD.Dr.M.Yunus Bengkulu, 2010)

4.2 Hasil

Persiapan penelitian ini dimulai dari pengambilan surat izin penelitian

dari pihak studi Universitas Muhammadiyah Bengkulu untuk di lanjutkan ke

KP2T untuk mendapatkan surat rekomendasi penelitian di RSUD

dr.M.Yunus Kota Bengkulu. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 08

April sampai dengan 18 April 2021 di RSUD dr.M.Yunus Kota Bengkulu.

Sampel dalam penelitian ini adalah remaja yang menjalani hospitalisasi di

RSUD dr.M.Yunus Kota Bengkulu pada bulan penelitian sebanyak 19 orang

dengan pertimbangan responden bersedia menjadi responden dan mengalami

kecemasan pada saat pengambilan darah vena. Data diperoleh dari observasi

tentang kecemasan pasien dan melakukan pengukuran tingkat kecemasan

yang kemudian diolah dengan melakukan editing, coding, processing dan

cleaning. Setelah melakukan olah data kemudian dilakukan analisa secara

analisis univariat dan bivariat menggunakan uji paired sample t-test dengan

bantuan program aplikasi komputer yaitu SPSS yang di tampilkan pada tabel

di bawah ini.

1. Uji Normalitas

Pada penelitian ini, uji normalitas bertujuan untuk mengetahui

apakah variabel-variabel dalam penelitian ini memiliki sebaran distribusi

yang normal atau tidak. Dalam penelitian ini pengujian normalitas


53

dilakukan dengan menggunakan Shapiro Wilk, hal ini dikarenakan data

atau sampel kurang dari 50. Pada penelitian ini data yang diperoleh

merupakan data hasil sebelum dan sesudah perlakuan sehingga uji

normalitas yang digunakan adalah uji Shapiro Wilk dimana data yang

dipakai dalam uji normalitas ini merupakan hasil dari residual nilai pretest

dan posttest. Suatu data dikatakan berdistribusi normal jika nilai

Asymp.Sig (2-tailed) lebih besar dari atau sama dengan 0,05 atau 5 %.

(Sugiyono, 2013) Berikut hasil uji normalitas data skor kecemasan pretest

dan postest.

Tabel 4.1
Hasil Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-
Smirnova Shapiro-Wilk
Statist Statist
Kelompok ic Df Sig. ic df Sig.
Tingkat Kelompok
.264 19 .001 .885 19 .026
Kecemasan Pretest
Kelompok
.277 19 .000 .799 19 .001
Posttest
a. Lilliefors Significance
Correction

Berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro Wilk pada Tabel 4.1 di

atas, diketahui bahwa nilai Asymp.Sig (2-tailed) sebesar 0,026 dan 0,001

< 0,05 yang berarti bahwa data variabel tidak berdistribusi normal

sehingga untuk uji hipotesis menggunakan uji wicoxon.


54

2. Analisis Univariat

a. Analisa Karakteristik Responden

1) Usia

Pada penelitian ini, responden terdiri dari 19 orang remaja yang

sedang dirawat di RSUD dr. M.Yunus Kota Bengkulu. Berdasarkan

hasil penelitian karakteristik pasien remaja menurut umur dapat

dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut :

Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur


No Frekuensi Persentase
Umur

1 14 4 21.1

2 15 5 26.3

3 16 3 15.8

4 17 4 21.1

5 18 2 10.5

6 19 1 5.3

19
Total 100

Sumber : Data primer yang diolah,2021

Berdasarkan tabel 4.2 diatas, diketahui bahwa hampir sebagian

besar remaja yang dirawat pada saat pengambilan darah vena

berumur 15 tahun (26,3%).


55

2) Jenis Kelamin

Karakteristik responden pada penelitian ini menurut jenis

kelamin dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini :

Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

1 Laki-laki 6 31,6
2 Perempuan 13 68,4

Total 19
100

Sumber : Data primer yang diolah,2021

Berdasarkan pada tabel 4.3 diketahui bahwa sebanyak 6 orang

responden (31,6%) berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 13 orang

responden (68,4%) berjenis kelamin perempuan.

b. Distribusi Rata-Rata Tingkat Kecemasan Saat Pengambilan Darah

Vena Sebelum Terapi Mengunyah Permen Gummy

Tingkat kecemasan pada penelitian ini menggunakan skala

HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) dengan kategori tingkat

kecemasan sebagai berikut:

0-7 = tidak ada kecemasan

8-15 = kecemasan ringan

16-23 = kecemasan sedang

24-31 = kecemasan berat

32-40 = kecemasan berat sekali


56

Tingkat kecemasan remaja pada saat pengambilan darah vena

sebelum dilakukan terapi mengunyah permen gummy dikategorikan

berat. Hal ini dapat dilihat dari nilai distribusi frekuensi tingkat

kecemasan sebagian besar berada pada kategori 24-31.

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Pada Saat Pengambilan
Darah Vena Sebelum Terapi Mengunyah Permen Gummy

Kategori Tingkat Frekuensi Persentase


No Kecemasan Skala

1 Sedang 16-23 6 31,6


2 Berat 24-31 13 68,4

19
Total 100

Sumber : Data primer yang diolah, 2021

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa sebagian besar (68,4%)

atau 13 orang remaja berada dalam kategori mengalami kecemasan

berat pada saat pengambilan darah vena.

c. Distribusi Rata-Rata Tingkat Kecemasan Saat Pengambilan Darah


Vena Sebelum Terapi Mengunyah Permen Gummy

Tingkat kecemasan remaja pada saat pengambilan darah vena

sesudah dilakukan terapi mengunyah permen gummy dikategorikan

ringan. Hal ini dapat dilihat dari nilai distribusi frekuensi tingkat

kecemasan sebagian besar berada pada kategori 16-23.

Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Pada Saat Pengambilan
Darah Vena Sesudah Terapi Mengunyah Permen Gummy
57

Kategori Tingkat Skala Frekuensi Persentase


No Kecemasan

8-15 10
1 Ringan 16-23 9 52,6
2 Sedang 47,4

19
Total 100

Sumber : Data primer yang diolah, 2021

Berdasarkan tabel 4.5 diatas diketahui bahwa sebagian besar

(52,6%) atau 10 orang remaja berada dalam kategori mengalami

kecemasan ringan pada saat pengambilan darah vena.

d. Distribusi Tingkat Kecemasan Pada Saat Pengambilan Darah


Vena Sebelum dan Sesudah Terapi Mengunyah Permen Gummy

Berdasarkan hasil perhitungan, dapat diperoleh nilai rata-rata

tingkat kecemasan sebelum dan sesudah terapi mengunyah permen

gumy pada remaja yang mengalami pengambilan darah vena

Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Pada Saat Pengambilan
Darah Vena Sebelum dan Sesudah Terapi Mengunyah
Permen Gummy
Kelompok Mean Standar Deviasi Standar Error
Pre Test 24,68 2,730 0,626
Post Test 13,68 3,465 0,795
SumSSumber : Data primer yang diolah, 2021

Berdasarkan tabel 4.6 diatas diketahui rata-rata tingkat kecemasan

sebelum diberi terapi mengunyah permen gummy adalah sebesar 24,68


58

dan setelah mendapatkan terapi mengunyah permen gummy, tingkat

kecemasan mengalami penurunan menjadi 13,68.

3. Analisis Bivariat

Analisa ini dilakukan untuk menganalisis sebab akibat antara variabel

independen dan dependen yaitu pengaruh terapi mengunyah permen

gummy dengan tingkat kecemasan remaja pada saat pengambilan darah

vena. Data dianalisis dengan uji wilcoxon dengan tingkat kepercayaan

95%.Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.7 dibawah ini

Tabel 4.7
Pengaruh Terapi Mengunyah Permen Gummy Terhadap Tingkat
Kecemasan Remaja Pada Saat Pengambilan Darah Vena
Test Statisticsb
SkorPosttest – SkorPretest
Z -3.874a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa nilai Asymp.Sig (2-tailed)

bernilai 0,000. Karena nilai 0,000 lebih kecil dari < 0,05 maka dapat

disimpulkan bahwa H1 diterima yang artinya terdapat pengaruh terapi

mengunyah permen gummy terhadap tingkat kecemasan remaja pada saat

pengambilan darah vena.


59

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Univariat

5.1.1 Karakteristik Responden

a. Usia
60

Responden dalam penelitian ini adalah remaja berusia 14-19 tahun

yang mengalami hospitalisasi di Rumah Sakit RSUD dr. M.Yunus Kota

Bengkulu. Berdasarkan data karakteristik didapatkan data bahwa

mayoritas usia remaja yang mengalami hospitalisasi adalah 15 tahun dan

tingkat kecemasan remaja pada saat pengambilan darah vena berbeda-

beda.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Eqlima (2011) yaitu

reaksi remaja terhadap sakit berbeda-beda sesuai dengan tingkat

perkembangan anak. Semakin muda usia anak maka akan semakin sukar

baginya untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman di rawat di rumah

sakit.

Menurut Stuart (2016) mengatakan usia seseorang yang mempunyai

lebih muda yang mengalami gangguan akibat kecemasan, usia berkaitan

erat dengan tingkat kedewasaan pasien yang menjalani pengobatan,

semakin tinggi umur seseorang, tingkat karakteristik seseorang akan lebih

matang dalam berfikir dan bertindak. Hasil penelitian karakteristik

berdasarkan usia pasien yang berada di dalam ruangan interne didapatkan

lebih dari separoh 61,9% responden berada pada usia remaja. Menurut
58
asumsi peneliti dari bertambahnya usia akan mengalami tingkat

kecemasan yang meningkat yang dipengaruhi oleh faktor biologis,

psikologis, dan sosial yang secara otomatis akan mempengaruhi tingkat

kecemasan yang tidak baik terutama pasien didalam ruang rawat dengan

kondisi terpasang infus.


61

Umur atau usia secara fisiologis pertumbuhan dan perkembangan

seseorang dapat digambarkan dengan pertambahan usia. Pertambahan usia

diharapkan terjadi pertambahan kemampuan motorik sesuai dengan

tumbuh kembangnya. Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan

tahun, dikatakan masa awal dewasa adalah 18 tahun sampai 40 tahun,

dewasa madya adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa lanjut > 60 tahun

(Nursalam, 2013).

Usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan pasien dalam

menjalani pengobatan, semakin tinggi umur seseorang, tingkat

karakteristik seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bertindak.

Usia atau umur adalah seseorang yang mempunyai usia lebih muda

mengalami gangguan akibat kecemasan dari pada seseorang yang lebih tua

(Stuart, 2016). Menurut asumsi peneliti semakin bertambahnya usia

seseorang terutama dalam keadaan dirawat dengan tangan terpasang infus

semakin terjadi kesulitan dalam memulai dan mempertahankan tidur dan

kualitas terhadap tidur semakin buruk, akan mengalami kesehatan yang

tidak seimbang serta akan berdampak pada psikologisnya seperti

mengalami kecemasan yang berat.

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 6 orang

responden (31,6%) berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 13 orang

responden (68,4%) berjenis kelamin perempuan. Hal ini menunjukkan


62

bahwa pasien yang mengalami hospitalisasi di RSUD dr.M.Yunus

Bengkulu sebagian besar adalah perempuan.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Rika Sarfika (2015) yang

menyatakan bahwa karakteristik berdasarkan jenis kelamin pasien yang

berada di dalam ruangan perawatan didapatkan lebih dari separoh 71,4%

responden berjenis kelamin perempuan. Menurut asumsi peneliti jenis

kelamin baik laki-laki maupun perempuan tidak menentukan kenyamanan

responden dalam perawatan di rumah sakit dengan kondisi terpasang infus,

karena setiap orang yang mengalami sakit dengan kondisi terpasang infus

pasti akan mengalami tidur yang kurang dan berbagai rasa cemas.

Jenis kelamin adalah identitas pribadi seseorang yang berkembang

sejak bayi, secara bertahap yang banyak dipengaruhi oleh pandangan dan

perlakuan masyarakat terhadap masing-masing jenisnya (Stuart, 2006).

Tingkat kecemasan dipengaruhi juga oleh jenis kelamin pasien dimana

Wanita lebih banyak mengalami stres dan kecemasan dibandingkan pria,

diperkirakan jumlah wanita yang mengalami stres dan kecemasan

mencapai 5% dari jumlah penduduk dengan perbandingan antara wanita

dan pria adalah 2 berbanding 1 (Hawari, 2013).

Jenis kelamin menentukan tingkat kecemasan dan kualitas tidur

dalam menghadapi masalah, misalnya masalah yang timbul akibat

tindakan pemasangan infus. Wanita lebih banyak mengalami stres dan

kecemasan dibandingkan pria, diperkirakan jumlah wanita yang

mengalami stres dan kecemasan mencapai 5% dari jumlah penduduk


63

dengan perbandingan antara wanita dan pria adalah 2 berbanding 1

(Hawari, 2013).

5.1.2 Tingkat Kecemasan Saat Pengambilan Darah Vena Sebelum Terapi

Mengunyah Permen Gummy

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden penelitian

sebelum dilakukan terapi mengunyah permen gummy pada saat

pemgambilan darah vena, mayoritas mengalami tingkat kecemasan sedang

dan berat yaitu sebanyak 6 orang remaja (31,6%) mengalami kecemasan

sedang dan sebanyak 13 orang remaja (68,4%) mengalami kecemasan

berat. Hal ini ditunjukkan oleh sikap ketakutan anak ketika dikunjungi

perawat atau dokter, selalu merasa gelisah, tegang dan rewel, selain itu

anak mengalami kesulitan tidur. Kecemasan yang dialami anak saat di

rawat di rumah sakit dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor

dari petugas kesehatan dan lingkungan baru.

Hasil penelitian ini senada penelitian Veronika Subagio (2015) yang

menyatakan bahwa sebagian besar pasien yang mengalami hospitalisasi

mengalami kecemasan terutama untuk pasien yang baru pertama kali

menjalaninya. Hal ini terbukti dari adanya responden yang merasa sulit

bernafas, bahkan perasaan subjek seperti orang tercekik dan setiap malam

subjek merasa tidak bisa tidur. Sehingga kepala menjadi pusing. Wajah

subjek pun terlihat sangat memerah, subjek selalu merasa takut akan

terjadi sesuatu yang buruk menimpanya sehingga tubuhnya terasa panas,

subjek juga merasa pencernaannya terganggu karena ia jarang makan. Hal


64

ini yang membuat tubuh subjek menjadi gemetaran, bahkan sampai

mengeluarkan keringat dingin. Subjek juga merasa tubuhnya terasa kebas,

Bahkan kaki subjek sering sekali mengalami kesemutan. Subjek semakin

merasa gelisah dan pikirannya menjadi kacau. Subjek sering terlihat

seperti orang yang ketakutan dan perasaan subjek seperti terombang-

ambing.

Hal ini senada dengan pendapat Bachri (2016) yang menyatakan

bahwa kecemasan dalam pengambilan darah vena dipengaruhi oleh

berbagai macam faktor. Komunikasi yang baik antara perawat dengan

pasien dapat membangun rasa kepercayaan serta menurunkan tingkat

kecemasan pasien terhadap prosedur pengambilan darah vena. Sebelum,

selama dan setelah perawatan pasien harus selalu memiliki kemungkinan

berkomunikasi dengan perawat .

Hasil penelitian ini juga senada dengan pendapat Hawari (2013)

yang menyatakan bahwa kecemasan adalah respon emosional terhadap

penilaian yang menggambarkan keadaan, kekhawatiran, gelisah, takut,

tidak tenteram di sertai berbagai keluha fisik. Seseorang akan mengalami

gangguan kecemasan manakala yang bersangkutan tidak mampu

mengatasi stressor psikososial yang dihadapinya.

5.1.3 Tingkat Kecemasan Saat Pengambilan Darah Vena Sesudah Terapi

Mengunyah Permen Gummy

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan

anak usia remaja yang mengalami pengambilan darah vena sesudah


65

diberikan terapi mengunyah permen gummy jumlah anak yang mengalami

kecemasan menjadi menurun tidak adalagi pasien remaja yang mengalami

kecemasan berat, hanya ada kecemasan ringan dan sedang yaitu sebanyak

10 orang remaja (52,6%) mengalami kecemasan ringan dan sebanyak 9

orang remaja (47,4%) mengalami kecemasan sedang. Pada penelitian ini,

meskipun masih ada anak yang mengalami kecemasan dalam kategori

sedang, namun reaksi-reaksi kecemasan yang ditunjukkan anak sudah

berkurang. Hal ini dapat terlihat setelah diberikan terapi permen gummy,

responden tidak lagi mengalami kecemasan pada petugas kesehatan, akan

tetapi masih takut ketika akan dilakukan tindakan. Rasa sakit yang

diakibatkan pada saat tindakan innjeksi pengambilan darah vena

menimbulkan trauma pada responden.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui mengunyah permen gummy

dapat menurunkan tingkat kecemasan. Hal ini senada dengan penelitian

Akiyo (2011) yang menyatakan bahwa kegiatan mengunyah dapat

memberikan pengaruh terhadap kecemasa. Efek ini akan memiliki

pengaruh bila mngunyah dilakukan selama 5 menit. Hal ini membuktikan

bahwa mengunyah dapat mengurangi kecemasan. Mengunyah permen

dapat menurunkan kadar kortisol pada saliva sehingga mereduksi tingkat

kecemasan.

Permen adalah sejenis gula-gula (confectionary) yang banyak

disukai oleh anak-anak hingga dewasa. Permen yang banyak beredar di

pasaran sangat beragam bentuk, jenis, maupun rasanya, antara lain permen
66

gummy. Permen gummy. Permen gummy memiliki tekstur yang

menyenangkan untuk dikunyah. Di pasaran, ada berbagai merek

permen gummy seperti dari Haribo, Yupi, dan Trolli. Rasanya pun

bervariasi, ada rasa buah yang klasik, super asam, cola, dan lainnya.

5.2 Bivariat

Berdasarkan hasil penelitian diketahui nilai Asymp.Sig (2-tailed)

bernilai 0,000. Karena nilai 0,000 lebih kecil dari < 0,05 maka dapat

disimpulkan bahwa Ha diterima yang artinya terdapat pengaruh terapi

mengunyah permen gummy terhadap tingkat kecemasan remaja pada saat

pengambilan darah vena. Hal ini artinya dengan mengunyah permen gummy,

maka perhatian remaja yang hendak dilakukan pengambilan darah vena dapat

teralihkan sejenak sehingga kecemasan menjadi menurun.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian hasil penelitian Devi Iloh

Y, dkk (2017) tentang hubungan dukungan orang tua dengan kecemasan pada

anak usia sekolah pada saat akan dilakukan pemasangan infus di RSUP Prof.

Dr. R. D. Kandou Manado dengan responden 45 orang mendapaktkan hasil

sebagian besar berada dalam tingkat kecemasan berat yang berjumlah 36

responden dengan presentase 80,0 % sedangkan tingkat kecemasan sedang

yakni 9 responden dengan presentase 20,0 %. Hasil penelitian tingkat

kecemasan responden yang berada didalam ruangan interne didapatkan lebih

dari separoh 52,4% yang mengalami kecemasan sedang. Menurut asumsi

peneliti pada pasien yang terpasang infus tentunya memiliki tingkat

kecemasan yang berdeda-beda dengan berbagai penyebab timbulnya cemas


67

yang dialami responden saat terpasang infus untuk pertama kali, dimana

responden mengatakan cemas saat terpasang infus, cemas karena infusnya

nanti akan berdarah dan lepas saat responden ingin miring kiri ataupun kanan

serta takut dan sangat cemas akan dipasang kembali dan bisa akan

menimbulkan kecemasan yang berat bahkan bisa panik

Berdasarkan hasil ukur tingkat kecemasan, maka kecemasan sebelum

diberikan terapi mengunyah permen gummy termasuk kategori kecemasan

sedang. Hal ini disebabkan responden menganggap bahwa pengambilan darah

vena merupakan tindakan yang menakutkan karena menggunakan peralatan

suntik apalagi pada pasien yang tidak mempunyai pengalaman terhadap hal-

hal yang akan dihadapi saat pengambilan darah vena. Keadaan ini

membutuhkan proses adaptasi dari pasien baik secara fisiologis maupun

secara psikologis.

Menurut hasil penelitian Veronika Subagio (2015) yang menyatakan

bahwa kecemasan dapat dikurangi dengan pengurangan ketegangan otot dan

energi yang dihasilkan melalui gerakan mengunyah. Proses ini adalah

langkah pertama dari pencernaan dan meningkatkan aliran saliva dan

menyebabkan kadar kortisol menurun. Hal ini akan diikuti dengan penurunan

kadar kecemasan. Hasil penelitian menunjukkan setelah mengunyah permen

karet 2 kali sehari dalam rentang 1 bulan pada kelompok perlakuan tingkat

kecemasan responden yang menurun bertambah dengan nilai p=0,020, hal ini

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh mengunyah permen karet terhadap

tingkat kecemasan pada mahasiswa tingkat awal (2014) ketika menghadapi


68

ujian. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa rasa permen karet tidak

memberi perbedaan efek pada suasana hati, namun dengan mengunyah

mengunyah permen karet akan mengurangi stres melalui pengurangan

ketegangan otot yang berlebihan melalui gerakan mengunyah. Secara

signifikan mengunyah permen karet akan menurunkan kadar kortisol

sehingga tingkat kecemasan menurun.

Kecemasan adalah respon emosi terhadap sesuatu keadaan yang tidak

menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan

sehari-hari tidak dapat diobservasi secara langsung serta merupakan suatu

keadaan emosi tanpa objek yang spesifik dan dapat memberikan motivasi

untuk mencapai sesuatu dalam usaha memelihara keseimbangan hidup

(Suliswati dkk, 2005). Dampak sakit dan hospitalisasi menyebabkan

perubahan peran, emosional dan perilaku pada seseorang. Selain itu, individu

mengalami keterbatasan melakukan aktivitas secara mandiri dan mengatur

sendiri kebutuhannya sehingga individu membutuhkan orang lain (Potter &

Perry, 2005). Reaksi yang terjadi apabila seseorang mengalami sakit atau

dirawat di rumah sakit ada beberapa hal yang terjadi pada perubahan

emosionalnya, antara lain penolakan, depresi dan kecemasan.

Hal ini senada dengan teori (Guyton, 2007) dalam teori fisiologi

kecemasan yang menyatakan bahwa stress fisik atau emosional mengaktivasi

amygdala yang merupakan bagian dari sistem limbik yang berhubungan

dengan komponen emosional dari otak. Respon emosional yang timbul

ditahan oleh input dari pusat yang lebih tinggi di forebrain. Respon
69

neurologis dari amygdala ditransmisikan dan menstimulasi respon hormonal

dari hipotalamus. Hipotalamus akan melepaskan hormon CRF (corticotropin-

releasing factor) yang menstimulasi hipofisis untuk melepaskan hormon lain

yaitu ACTH (adrenocorticotropic hormone) ke dalam darah. ACTH sebagai

gantinya menstimulasi kelenjar adrenal untuk menghasilkan kortisol, suatu

kelenjar kecil yang berada di atas ginjal. Semakin berat stress, kelenjar

adrenal akan menghasilkan kortisol semakin banyak dan menekan sistem

imun.

Menurut Ganong (2008) reaksi takut dapat terjadi malalui perangsangan

hipotalamus dan nuclei amigdaloid. Sebaliknya amigdala dirusak, reaksi takut

beserta manisfestasi otonom dan endokrinnya tidak terjadi pada keadaan-

keadaan normalnya menimbulkan reaksi dan manisfestasi tersebut, terdapat

banyak bukti bahwa nuclei amigdaloid bekerja menekan memori-memori

yang memutuskan rasa takut masuknya sensorik aferent yang memicu respon

takut terkondisi berjalan langsung dengan peningkatan aliran darah bilateral

ke berbagai bagian ujung anterior kedua sisi lobus temporalis. Sistem saraf

otonom yang mengendalikan berbagai otot dan kelenjar tubuh. Pada saat

pikiran dijangkiti rasa takut, sistem saraf otonom menyebabkan tubuh

bereaksi secara mendalam, jantung berdetak lebih keras, nadi dan nafas

bergerak meningkat, biji mata membesar, proses pencernaan dan yang

berhubungan dengan usus berhenti, pembuluh darah mengerut, tekanan darah

meningkat, kelenjar adrenal melepas adrenalin ke dalam darah. Akhirnya,


70

darah di alirkan ke seluruh tubuh sehingga menjadi tegang dan selanjunya

mengakibatkan tidak bisa tidur.


71

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian di RSUD dr.M.Yunus Bengkulu dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Tingkat kecemasan remaja saat pengambilan darah vena sebelum terapi

mengunyah permen gummy sebagian besar (68,4%) atau sebanyak 13 orang

dikategorikan berat. Tingkat kecemasan remaja saat pengambilan darah vena

sesudah terapi mengunyah permen gummy sebagian besar ( (52,6%) atau

sebanyak 10 orang dikategorikan ringan.

2. Terdapat terdapat pengaruh terapi mengunyah permen gummy terhadap

tingkat kecemasan remaja pada saat pengambilan darah vena dengan nilai

Asymp.Sig (2-tailed) bernilai 0,000. Karena nilai 0,000 lebih kecil dari < 0,05

maka dapat disimpulkan bahwa Ha diterima.

6.2 Saran

Berdasarkan simpulan penelitian yang telah diuraikan di atas, maka

peneliti mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Perawat dalam rangka menurunkan tingkat kecemasan remaja yang

mengalami pengambilan darah vena dapat menggunakan terapi

mengunyah permen gummy.

69
72

2. Untuk menyempurnakan hasil penelitian ini, disarankan bagi peneliti

selanjutnya yang ingin meneliti pengaruh permen gummy terhadap

kecemasan hendaknya dapat menambah variabel lain dalam penelitian .


73

DAFTAR PUSTAKA

Achjar, Komang Ayu Henny, I., I. Made Sukarja, and Ni Komang Ayu Marini
Permata Cahyanthi. (2021). Model ‘Aksi’ Untuk Mewujudkan Gerakan
Sehat Mental Dalam Mengatasi Kecemasan Remaja. Jurnal Keperawatan
13(1):81–90

Akiyo, (2011), Pengaruh Mengunyah Permen Karet Mengandung Sorbitol Dan


Xilitol Pada Ibu Hamil Terhadap Kecemasan. M.I. Kedokteran, FORIL.
Jakarta.

Allesi Norman, et.al, (2014), Update on Lithium Carbonate Therapy in Children


and Adolescent, Journal of the American Academy of Child & adolescent
Phychiatry, Vol 33 Issue 3. Diakses
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0890856709641691

Andrew PS, Martin W. ( 2011), Effects Of Chewing Gum On The Stress And Work
Of University Students [internet]. [cited 07 Maret 2021]. Alvailable from:
www.sciencedirect.com.

Apriany D. (2013). Hubungan antara hospitalisasi anak dengan tingkat


kecemasan orang tua. Jurnal Keperawatan Soedirman ; 8(2): 92-104.

Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Jakarta: PT. Rineka Cipta

Asrori, M & Ali, M., (2016). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: PT. Bumi Aksara

Bachri, S. C. (2016). Perbedaan Tingkat Kecemasan Pasien Berdasarkan Usia,


Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan Dan Pengalaman Pencabutan Gigi Di
RSGM FKG Universitas Jember. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 138-144

Cahningsih, N. D. (2016). Hemodialisa .Jogjakarta : Mitra Cendikia Press

Elfira E. (2011). Pengaruh Terapi Bermain Dengan Tehnik Bercerita Terhadap


Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Pra Sekolah Di Ruang
Perawatan Anak Di Rsup H. Adam Malik Medan. skripsi

Fradianto I. (2014). Pengaruh terapi bermain lilin terhadap penurunan tingkat


kecemasan pada anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi di
RSUD Dr. Soedarso Pontianak. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjung Pura Pontianak.

Ganong William F, (2008), Fisiologi Kedokteran, Jakarta, EGC.


74

Gunarsa, Singgih D. (2014). Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga,


Jakarta : PT. Gunung Mulia

Guyton and Hall. (2017), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 11. Jakarta:
EGC.

Handayani, Reska. (2008). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat


Kecemasan Menjelang Persalinan pada Ibu Primigravida Trimester III di
Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun 2012. Ners Jurnal
Keperawatan, Vol. 11, No. 1, Maret 2015, ISSN: 1907-686X

Hashimoto (2018), Pengaruh Penambahan Pektin dan Sukrosa terhadap Sifat


Kimia dan Sensori Selai Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.).
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian V
Polinela

Hockenberry, M, Wong, D.L, et al. (2012). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik.


Alih

Jahja, Yudrik. (2012). Psikologi Perkembangan. Edisi 2. Jakarta : Kencana


Prenada Media Group

James, S.R. & Ashwill, J.W. (2017). Nursing care of children : principles &
practice. Third edition. St. Louis : Saunders Elsevier.

Kaplan, H.L., Saddock, B.J. (2017). Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi ke 2.
Penerjemah : Husny Muttaqin.. Jakarta : EGC

Kartinawati. (2011). Pengaruh Terapi Bermain Dalam Menurunkan Kecemasan


Pada Anak Usia Prasekolah (3-5tahun) Yang Mengalami Hospitalisasi Di
Rumah Skit Umum Daerah Tugurejo Semarang. Tidak
Dipublikasikan.Semarang: Program Studi Lmu Keperawatan Telogorejo
Semarang. Semarang. Skripsi. diakses http://www.eprints.ums.ac.id pada
tanggal 03 Maret 2017.

Kusumawardhani. (2010). Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia

Lory. Huff et al. (2010). Atraumatic Care: Emla Cream and Application of Heat
to Facilitate Peripheral Venous Cannulation In Children . diakses
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21992091 pada tanggal 03 maret
2017

Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2016). Psikologi Abnormal. Jakarta:
Erlangga
75

Nursalam. (2013). Asuhan keperawatan bayi dan anak. Jakarta : Salemba medika

Pearce, Evelyn C. (2019). Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2019). Fundamental of Nursing (7th Edition). St.
Louise, Missouri: Mosby Elsevier.

Potter, P.A. & Perry, A.G. (2015). Buku Ajar Fundamental


Keperawatan.Jakarta:EGC.

Pratiwi YS. (2012). Penurunan Tingkat Kecemasan Anak Rawat Inap Dengan
Permainan Hospital Story Di RSUD Kraton Pekalongan. Jurnal Ilmiah
Kesehatan STIKES Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan; (online),
(http://journal.stikesmuh-pkj.ac.id, diakses 3 Maret 2017

Rahmah Siti, (2016), Hubungan Penerapan Atraumatic Care Dengan Stres Pada


Anak Yang Mengalami Hospitalisasi, Jurnal Ekonomika, Universitas
Almuslim Bireun, Aceh diakses
https://media.neliti.com/media/publications/104703-ID-none.pdf

Ratna Sari, Sa’diah, Ririn Halimatus., Hardiani,., & Rondhianto. (2012).


Pengaruh Terapi Bermain Origami terhadap Tingkat Kecemasan pada
Anak Prasekolah dengan Hospitalisasi di Ruang Aster RSD dr. Soebandi
Jember. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 2 nomer 3

Rika Safika., Yanti N., Winda R.(2015).Pengaruh Teknik Distraksi Menonton


Kartun Animasi Terhadap Skala Nyeri Anak Usia Prasekolah Saat
Pemasangan Infus di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP DR.M.Djamil
Padang

Rice. (2014). Stres and Health (2nd ed). California: Brooks/Cole Publishing
Company

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2011). Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2011.
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_
20 18/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf.

Rochman Kholil, Lur (2010). Kesehatan Mental. Purwokerto: Fajar Media Press

Savitri Ramaiah. (2010). Kecemasan Bagaimana Mengatasi Penyebabnya,


Jakarta: Pustaka Populer Obor
76

Setiawan dkk. (2014). Keperawatan anak & tumbuh kembang (pengkajian dan
pengukuran). Yogyakarta: Nuha Medika

Setyaadi. (2018). Konsep & Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Singgih D.G. (2010), Psikologi Perawatan. Jakarta: Gunung Mulia

Soebrata Ganda, (2012), Penuntun Laboratorium Klinis, Jakarta, Dian Rakyat.

Stuart & Sudeen.(2016). Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC

Stuart. (2011). Buku Saku Keperawatan Jiwa.Jakarta : EGC.

Suliswati DKK. (2012). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:


EGC

Sundari Siti, (2014). Kearah Memahami Kesehatan Mental, Yogyakarta, PPB


FIP, UNY.

Suryani, Patimah, I., & Nuraeni, A. (2012). Pengaruh Relaksasi Dzikir terhadap
Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 3(April 2015), 18–24

Thalib, S. B. (2010). Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif.


Jakarta: PT Kharisma Putra Utama

Unicef. (2013). United Nations Children’s


Fund.(online),(http://www.unicef.org/d prk/unicef-factsheet, diakses 18
Februari 2021).

Utami Yuli. (2014). Dampak Hospitalisasi terhadap Perkembangan Anak. Jurnal


Ilmiah WISYA. Vol. 2 No.2; (9-20). Available from: http://e-
journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-ilmiah/article/view/177

Veronika Subagio (2015) Pengaruh Mengunyah Permen Karet Terhadap Tingkat


Kecemasan Menghadapi Ujian., Karya Ilmiah Program Pendidikan
Sarjana Kedokteran Universitas Diponegoro, diakses
http://eprints.undip.ac.id/46273/1/VERONIKA_SUBAGIO_.pdf

WHO. (2015). Children's Health and the Environment. WHO Training Package
for the Health Sector. World Health Organization.

WHO, (2019). Health for the World’s Adolescents: A Second Chance in the
Second Decade. Geneva, World Health Organization Departemen of
Noncommunicable disease surveillance.
77

Wijaya, AL. (2018). Hubungan Kecemasan Pasien Anak Usia 6-13 Tahun
Terhadap Pencabutan Gigi Di Puskesmas Sumber Sari Jember. Skripsi.
Tidak Diterbitkan. Jember : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jembe

Wong, Donna L. (2012). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC

Wulandari, Fitri (2016) Analisa Diskriptif Tingkat Stress Pada Anak Usia 13-


16 Tahun Yang Mengalami Hospitalisasi di RSUD Dr. Koesnadi
Bondowoso. Undergraduate thesis, Universitas Muhammadiyah Jember.

Anda mungkin juga menyukai