Anda di halaman 1dari 51

PENGARUH EXPRESSIVE WRITING THERAPY TERHADAP PENURUNAN

TINGKAT STRES PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG


MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD UNDATA

SKRIPSI

MOH. REZA
201701115

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ginjal merupakan salah satu organ yang mempunyai banyak peranan
penting bagi tubuh manusia, selain peranan utamanya dalam produksi urin,
ginjal juga berfungsi dalam menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh,
pengaturan status asam-basa (pH darah), pembentukan sel darah merah,
pengaturan tekanan darah hingga pembentukan vitamin D aktif1.
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2013 penyakit
ginjal kronik merupakan masalah kesehatan dunia dengan peningkatan
insidensi dan prevalensi yang cukup tinggi, secara global lebih dari 500 juta
orang yang menderita penyakit ginjal dan sekitar 1,5 juta orang yang
menjalani hidupnya harus bergantung pada terapi hemodialisis2.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018
berdasarkan diagnosis dokter Indonesia prevalensi penyakit gagal ginjal
kronik pada orang usia lebih dari 15 tahun di Indonesia adalah 713.783 orang.
Pada tahun 2018, provinsi Sulawesi Tengah menempati urutan ke-lima
dengan kejadian penyakit ginjal kronik di Indonesia dengan angka prevalensi
0,52% atau 7.847 orang3. Berdasarkan data dari Unit Hemodialisa RSUD
Undata bahwa jumlah pasien yang baru menjalani hemodialisis selama tahun
2020 sebanyak 87 orang3.
Seseorang yang didiagnosa penyakit ginjal kronik harus rutin menjalani
terapi hemodialisis ini untuk mengganti fungsi sekresi dan eksresi ginjal yang
sudah rusak pada nefron yang merupakan penyusun utama ginjal dan
berperan penting dalam proses penyaringan darah. Namun seseorang yang
telah menjalani terapi hemodialisis akan mengakibatkan ketergantungan pada
mesin dialisis seumur hidup untuk mengganti fungsi ginjal, hal ini
mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan penderita penyakit
ginjal kronik baik secara fisiologi maupun psikologi. Sebagian besar
penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
mengalami gangguan psikologi salah satunya yaitu stres4.

1
2

Stres merupakan kondisi dimana homeostasis tubuh terancam oleh


dorongan intrinsik dan ekstrinsik5. Stres terjadi karena disebabkan oleh
stressor yang dirasakan seseorang dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman,
sehingga mampu menimbulkan perasaan cemas yang berlebihan, hingga
mengakibatkan terjadinya stres4.
Pasien penyakit ginjal kronik menjalani terapi hemodialisis 2-3 kali
setiap minggunya dan menghabiskan waktu 4-6 jam dalam satu kali
menjalani terapi hemodialisis, proses ini akan mengakibatkan timbulnya
perasaan tegang, cemas, stres serta depresi yang berbeda setiap orang dan
berdampak negatif pada kesehatan dan kualitas hidupnya4.
Menurut Harahap dan kawan-kawan (2015) ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi stres yaitu usia, lama terapi, pengalaman pengobatan,
dan adanya dukungan keluarga6. Adapun gejala stres menurut Psychology
Foundation of Australia (dalam Rahmawati, 2019) antara lain mudah mudah
gelisah, mudah tersinggung, mudah marah, perasaan bersalah, khawatir, dan
kesulitan tidur7.
Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviana dan kawan-kawan (2019)
tentang hubungan frekuensi hemodialisis dengan tingkat stres pada pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di rumah sakit Royal Prima
Medan didapatkan hasil yang bermakna dan terdapat hubungan antara tingkat
stres dengan frekuensi pasien yang telah menjalani hemodialisis8.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah stres
dengan cara terapi farmakologi maupun non farmakologi, salah satu terapi
non farmakologi yaitu psikoterapi. Psikoterapi atau biasa dikenal terapi
kejiwaan, psikoterapi kognitif dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan
fungsi kognitif seseorang, yaitu kemampuan berfikir secara rasional,
berkonsentrasi dan daya ingat salah satunya adalah expressive writing
therapy9.
Menurut Danarti, Sugiarto, & Sunarko (2018) expressive writing
therapy adalah salah satu intervensi berbentuk psikoterapi kognitif yang dapat
mengatasi masalah stres yang menggunakan kegiatan menulis sebagai media
untuk merefleksikan pikiran dan perasaan terdalam terhadap kejadian atau
3

pengalaman yang tidak menyenangkan. Expressive writing therapy dapat


diintegrasikan dengan pendekatan psikoterapi atau konseling lainnya, dan
dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Secara umum
expressive writing therapy bertjuan untuk menigkatkan pemahaman bagi diri
sendiri maupun orang lain, meningkatkan harga diri, mengekspresikan emosi
yang berlebihan, serta meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah
dan fungsi adaptif individu10.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Danarti dan kawan-kawan
(2018) tentang pengaruh expressive writing therapy terhadap penurunan
depresi, cemas, dan stres pada remaja didapatkan hasil perbedaan yang
bermakna antara skor rata-rata stres pada sampel setelah diberikan intervensi
expressive writing therapy9.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada tanggal 6 maret 2021 di
Unit Hemodialisa RSUD Undata pada 10 orang pasien yang menjalani terapi
hemodialisis, 7 responden mengatakan masih merasakan cemas, stres saat
menjalani terapi hemodialisis, perasaan yang mudah marah atau mudah
tersinggung, serta kesulitan tidur ketika malam hari, hal ini disebabkan karena
beberapa faktor yaitu antara lain mereka baru menjalani terapi hemodialisis
selama 1-2 tahun dan tidak adanya dukungan dari keluarga. Sedangkan 3
responden lainnya mengatakan sudah tidak merasakan perasaan cemas hingga
stres, hal ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain mereka sudah
lama menjalani hemodialisis secara rutin selama 3-4 tahun dan sudah berusia
lanjut, yang dimana pasien hemodialisa yang berusia lanjut lebih cenderung
menerima keadaan yang dialami, sehingga mereka sudah di tahap fase
penerimaan terhadap kondisi yang mereka jalani.
Berdasarkan masalah diatas maka, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh expressive writing therapy terhadap penurunan
tingkat stres pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
di RSUD Undata
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh expressive writing therapy
4

terhadap penurunan tingkat stres pada pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis di RSUD Undata?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk diidentifikasi
pengaruh expressive writing therapy terhadap penurunan tingkat stres
pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di
RSUD Undata.
2. Tujuan khusus
a. Diidentifikasi stres pada pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis sebelum diberikan expressive writing
therapy.
b. Diidentifikasi stres pada pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis setelah di berikan expressive writing
therapy.
c. Diketahui pengaruh expressive writing therapy terhadap
penurunan stres.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi referensi atau
sebagai sebagai bahan bacaan, guna menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan bagi mahasiswa.
2. Bagi masyarakat
Penelitian ini kiranya dapat menambah wawasan dan juga ilmu
pengetahuan tentang pengaruh expressive writing therapy terhadap
penurunan tingkat stres agar bisa diterapkan pada anggota keluarga
yang mengalami stres saat menjalani hemodialisis.
3. Bagi instansi tempat meneliti
Penelitian ini kiranya dapat menjadi bahan informasi dan masukan
bagi RSUD Undata tentang pengaruh expressve writing therapy
terhadap penurunan tingkat stres sehingga pasien yang menjalani
hemodialisis mampu mengatasi stres dengan baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Penyakit Ginjal Kronik


1. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan fungsi dan struktur ginjal
yang progresif dan terus menerus. Penyakit ginjal kronik terjadi pada
seseorang yang rentan, analgesik, nefropati, destruksi papila ginjal yang
terkait dengan penggunaan obat-obatan analgesik setiap hari dengan
jangka panjang sampai bertahun-tahun. Apapun sebabnya, terjadi
penurunan fungsi ginjal secara progresif dapat diketahui dengan adanya
penurunan Glomelurus Filter Rate yang progresif11.
Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan fungsi ginjal untuk
melakukan metabolisme serta mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan ditandai
adanya penumpukan sisa metabolik didalam darah12.
2. Klasifikasi
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar Laju
Filtrasi Glomelurus (LFG), yang dihituntg dengan mempergunakaqn
rumus Kockroft-Gault sebagai berikut.
Pada pria :
( 140−Umur ) × Berat Badan
LFG (ml /menit /1.73 m2)=
72× Kreatinin Plasma(mg/dl)
Pada wanita :
( 140−Umur ) × Berat Badan
LFG (ml /menit /1.73 m2)= ×0,85
72× Kreatinin Plasma ( mg/dl )

a. Stadium I
LFG ≥ 90 ml/menit/1.73m2, terjadi kerusakan ginjal dengan LFG
normal atau meningkat.
b. Stadium II
LFG = 60-89 ml/menit/1.73m2, terjadi penurunan ringan pada LFG.

5
6

c. Stadium III
LFG = 30-59 ml/menit/1.73m2, terjadi penurunan sedang pada LFG.
d. Stadium IV
LFG = 15-29 ml/menit/1.73m2, terjadi penurunan berat pada LFG
e. Stadium V
LFG < 15 ml/menit/1.73m2, penyakit ginjal tahap akhir terjadi ketika
tidak dapat membuang sisa metabolisme tubuh atau menjalankan
fungsi pengaturan dan memerlukan terapi pengganti ginjal untuk
mempertahankan hidup13.
3. Etiologi
Berdasarkan data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2018,
penyebab terjadinya penyakit ginjal kronik terbesar adalah hipertensi
(39%), nefropati diabetik (22%), glomeluronefritis kronik (5%)13.
4. Patofisiologi
Awal dari proses terjadinya penyakit ginjal kronik tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, namun dalam proses perkembangannya
kurang lebih sama. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan dua
adaptasi penting yang dilakukan oleh ginjal. Penurunan massa ginjal
mengakibatkan hipertofi struktural sehingga fungsional nefron yang
masih bertahan mempunyai peran sebagai kompensasi ginjal untuk
melakukan semua beban kerja ginjal, yang diperantara oleh molekul
vasoaktif seperti sitokinin dan grow factors. Hal ini mengakibatkan
peningkatan kecepatan filtrasi, yang disertai oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomelurus. Proses adaptasi ini cukup efektif
untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit, hingga
fungsi ginjal mengalami tingkatan fungsi yang sangat rendah. Sehingga
jika 75% massa nefron sudah rusak, maka laju filtrasi glomelurus ke
tubulus tidak dapat lagi dipertahankan14.
Beban kerja ginjal yang berlebihan ini pada akhirnya harus
ditanggung oleh glomelurus yang masih sehat. Situasi ini bisa
menyebabkan terjadinya nekrosis, menjadi kaku dan sklerosis. Zat-zat
7

toksis menumpuk dan perubahan yang potensial akan mengakibatkan


matinya semua organ penting pada ginjal14.
5. Manifestasi Klinik
a. Sistem hematopoietik
Tanda dan gejala yang muncul pada sistem hematopoietik
yaitu, trombositpenia, ekimosis, anemia menyebabkan cepat lelah,
ekimosis, potensi pendarahan, dan hemolisis14.
b. Sistem kardiovaskuler
Pada sistem kardiovaskuler tanda dan gejala yang muncul
sebagai berikut, enselopati hipertensif, dan retinopati, disritmia,
hipertensi, beban sirkulasi berlebihan, edema, gagal jantung
kongestif, takikardia, hipervolemia, dan perikarditis14.
c. Sistem respirasi
Tanda dan gejala pada sistem pernafasan atau respirasi antara
lain dipsnea, takipnea, pernafasan kusmaul, batuk disertai nyeri,
sputum yang lengket, suhu tubuh tinggi, pleural frictim rub, hiliar
pneumontitis, dan edema paru14.
d. Sistem gastrointestinal
Pada sistem gastrointestinal tanda dan gejala yang dapat
muncul antara lain mual muntah, distensi abdomen dan anoreksia
mengakibatkan nafas berbau amoniak, penurunan berat badan,
gastritis, enteritis, parotitis, stomatisis, rasa kecap logam, konstipasi,
diare, mulut kering, dan pendarahan gartointestinal14.
e. Sistem neurologi
Pada sistem neurologi manifestasi klinis yang muncul yaitu
perubahan tingkat kesadaran, penurunan ketajaman mental, kejang,
insomnia atau gangguan tidur,stupor, asteriksis, gelisah, bingung atau
konsentrasi buruk, dan koma14.
f. Sistem muskuloskeletal
Tanda dan gejala pada sistem muskuloskeletal yaitu nyeri
sendi, perubahan motorik, yang berlanjut pada paraplegia, rikets
ginjal, pertumbuhan lambat pada anak, dan osteodistrofi ginjal14.
8

g. Sistem dermatologi
Manifestasi klinis yang muncul pada sistem dermatologi antara
lain, ekismosis, pruritus, pigmentasi, pucat, lecet, kulit kering, memar,
kuku tipis, mudah patah, bergaris-garis merah dan bergerigi14.
h. Sistem urologi
Pada sistem urologi tanda dan gejala yang dapat muncul seperti
hiperumia atau haluaran urin berkurang,berat jenis urin menurun,
hipermagnesemia, proteinuria, azotemia, azotemia,
ketidakseimbangan kalium dan natrium, sel dalam urin dan fragmen14.
i. Sistem resproduksi
Tanda dan gejala yang muncul pada sistem reproduksi antara
lain disfungsi ereksi, libido menurun, interfilitas, amenorea, dan
lambatnya puberitas14.
6. Penatalaksanaan
Dalam pengobatan penyakit ginjal kronik ada dua tahap yaitu
penanganan konservatif dan terapi pengganti ginjal. Penanganan
konservatif meliputi menghambat perkembangan penyakit ginjal kronik,
kondisi pasien menjadi stabil, dan mengobati faktor-faktor reversible.
Sementara terapi pengganti ginjal dilakukan pada pasien yang menderita
penyakit ginjal kronik stadium V, berupa hemodialisis, dan transplantasi
ginjal15.
7. Komplikasi
Menurut Kowalak, Welsh dan Mayer (dalam Krisbyanto, 2019),
komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita penyakit ginjal kronik
meliputi :
a. Anemia
b. Neuropati perifer
c. Komplikasi kardiopulmoner
d. Komplikasi gastrointestinal
e. Disfungsi seksual
f. Defek skeletal
g. Parestesia
9

h. Disfungsi saraf motorik


i. Fraktura patologis11.
8. Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik
Untuk menentukan seseorang positif menderita penyakit ginjal
kronik atau tidak harus dilakukan diagnosis berdasarkan beberapa
pemeriksaan sebagai berikut11.
a. Pemeriksaan urine
Pemeriksaan urine bertujuan untuk mengetahui volume, warna,
sedimen, berat jenis, kadar kreatinin, dan kadar protein dalam urine.
b. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah ini meliputi BUN (Blood Urea
Nitrogen)/kreatinin, hitung darah lengkap, sel darah merah, natrium
serum, kalium, magnesium fosfat, protein, dan osmolaritas serum.
c. Pemeriksaan pielografi intravena
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui abnormalitas
pelvis ginjal dan ureter, serta pielografi retrograde. Pemeriksaan
dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible. Selain itu,
pemeriksaan ini juga untuk mengetahui arteriogram ginjal serta
mengkaji sirkulasi ginjal, mengidentifikasi, ekstravaskular, dan
adanya massa.
d. Sistouretrogram berkemih
Pemeriksaan ini menunjukkan ukuran kandung kemih, refpluks
ke dalam ureter, dan retensi.
e. Ultrasono ginjal
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan ukuran kandung kemih,
adanya massa, kista, dan obstruksi pada saluran kemih bagian atas.
f. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
10

g. Endoskopi ginjal nefroskopi


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal,
seperti ada atau tidaknya batu ginjal, hematuria, dan pengangkatan
tumor selektif.
h. EKG
Keadaan abnormal menunjukkan adanya ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel, dan tanda-tanda
perikarditis11.

B. Tinjauan Umum Tentang Hemodialisis


1. Definisi Hemodialisis
Hemodialisis atau yang biasa kita kenal dengan istilah cuci darah
adalah suatu tindakan medis yang bertujuan untuk membersikan sisa-sisa
metabolisme atau hasil metabolik yang tidak diperlukan oleh tubuh,
karena penurunan fungsi ginjal yang sudah tidak mampu lagi membuang
sisa-sisa metabolisme dalam tubuh4.
Hemodialisis merupakan suatu terapi pengganti fungsi ginjal yang
dilakukan dengan cara mengalirkan darah ke suatu tabung (dialiser) yang
mempunyai dua kompartemen yang terpisah16.
Hemodialisis merupakan proses yang menggunakan mesin ginjal
buatan (mesi dialisis) yang terdiri dari dua tabung, tabung satu berisi
darah dan tabung lain berisi cairan dialisis14.
Dapat disimpulkan bahwa hemodialisis merupakan suatu terapi
pengganti fungsi ginjal yang dilakukan dengan cara mengalirkan darah
dari tubuh pasien melalui mesin dialisis yang mempunyai dua
kompartemen, satu sisi berisi darah dan sisi yang lainnya berisi cairan
dialisis, dan didalam mesin dialisis terjadi disfusi dan ultrafiltrasi dan
kemudian darah kembali lagi ke tubuh14.
2. Tujuan Hemodialisis
Tujuan dari hemodialisis yaitu untuk meminimalisir bertumpuknya
sisa metabolisme dan cairan atau zat beracun dalam darah yang ada
diseluruh tubuh serta mencegah komplikasi lebih lanjut pada penderita
penyakit ginjal kronik14.
11

3. Prinsip dan Proses Hemodialisis


Ada 3 prinsip hemodialisis yaitu antara lain difusi, osmosis, serta
ultrafiltrasi :
a. Difusi
Difusi adalah bergeraknya partikel dari tempat yang
mempunyai konsentrasi tinggi ke tempat yang konsentrasinya lebih
rendah. Hal ini terjadi pada membran semipermeabel dalam tubuh
manusia. Difusi menyebabkan kreatinin, urea, dan asam urat dari
darah masuk ke dalam dialisat. Tetapi protein dan eritrosit tidak dapat
menembus membran semipermeabel karena molekulnya yang besar17.
b. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya partikel dari tempat yang
berkonsentrasi rendah ke tempat yang konsentrasinya yang lebih
tinggi17.
c. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi merupakan pergerakan cairan melalui membran
semipermeabel dari akibat tekanan gradient buatan (tekanan bias
positif/didorong dan negatif/ditarik)17.
4. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Hemodialisis
a. Usia
Semakin bertambahnya usia seseorang, akan mempunyai
pengalaman yang meningkatkan pengetahuan akan suatu objek.
Semakin tua umur seseorang maka akan meningkatkan juga
kemampuannya dalam mengambil keputusan, mengendalikan emosi,
berfikir rasional, toleran dan menjadi terbuka terhadap pandangan
orang lain termasuk juga keputusannya untuk menjalanii program
terapi yang berdampak positif untuk kesehatannya 11. Menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2009
klasifikasi umur dikategorikan sebagai berikut :
1) Balita = 0-5 tahun
2) Kanak-kanak = 5-11 tahun
3) Remaja awal = 12-16 tahun
12

4) Remaja akhir = 17-25 tahun


5) Dewasa awal = 26-35 tahun
6) Dewasa akhir = 36-45 tahun
7) Lansia awal = 46-55 tahun
8) Lansia akhir = 56-65 tahun
9) Manula = >65 tahun
b. Jenis Kelamin
Dalam pemenuhan pemenuhan nutrisi, jenis kelamin
perempuan sedikit kurang patuh. Pengaruh hormon estrogen dan
progesteron berubah setiap bulannya sehingga menyebabkan
kebutuhan hidrasi, didukung toleransi tubuh terhadap panas lebih
rendah dan perempuan mudah lemah11.
c. Pendidikan
Seseorang yang berpendidikan akan mudah untuk menerima
informasi sehingga semakin banyak juga pengetahuan yang
dimilikinya, sementara seseorang yang berpendidikan yang kurang
akan sulit menerima sikap orang lain terhadap nilai-nilai yang
diberikan11.
d. Pekerjaan
Keadaan sosial dan ekonomi seseorang mempengaruhi faktor
fisik, kesehatan, dan pendidikan. Apabila faktor-faktor tersebut baik,
maka akan mengurang beban fisiologis dan psikologis11.
e. Dukungan Keluarga
Kepatuhan terapi hemodialisis salah satunya adalah adanya
dukungan keluarga, dukungan keluarga sangat dibutuhkan agar dapat
mempertahankan status kesehatannya. Dengan adanya dukungan
keluarga mampu mempengaruhi seseorang untuk menjalani
hemodialisis secara rutin. Selain itu, saat berada dirumah pengaturan
makanan nutrisi akan diatur oleh pasien dan keluarganya11.
13

C. Tinjauan Umum Tentang Stres


1. Definisi Stres
Stres dapat didefinisikan sebagai suatu reaksi fisik maupun psikis
terhadap tuntutan yang akan menimbulkan ketegangan dan mengganggu
stabilitas kehidupan juga mempengaruhi sistem hormonal pada tubuh18.
Stres juga dapat diartikan sebagai atribut modern karena stres sudah
menjadi hal yang tidak terelakkan dari kehidupan manusia baik itu di
lingkungan sekolah, kerja, keluarga, atau dimana saja. Stres tidak hanya
dirasakan oleh orang dewasa tetapi juga anak-anak, remaja hingga lanjut
usia. Artinya stres dapat terjadi pada siapapun dan dimanapun, yang
menjadi masalah ketika stres yang di alami seseorang dengan jumlah
yang banyak, dampaknya stres akan membahayakan kondisi fisik dan
mental19.
Stres merupakan respon tubuh terhadap stressor psikososial
(tekanan mental dan tekanan kehidupan) stres ini muncul secara
bergantian dari berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak
disukai berupa respon fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stres.
Hal ini mempertemukan antara individu dengan stimulus yang membuat
stres, proses ini merupakan suatu sistem20.
Stres merupakan respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap
kebutuhan tubuh yang terganggu, hal ini merupakan fenomena yang
biasa terjadi pada setiap orang dalam kehidupan sehari-hari dan tidak
dapat dihindari21.
Dapat disimpulkan bahwa stres adalah respon yang diberikan
seseorang pada setiap kejadian yang dialami dalam kehidupan seseorang
dan tidak dapat dihindari bahwa setiap orang pasti akan mengalami stres
di dalam kehidupannya sehari-hari.
2. Sumber Stres
Ada banyak sekali penyebab stres, dalam istilah penyebab stres
disebut dengan stressor. Stressor adalah situasi atau keadaan, objek atau
individu yang bisa menimbulkan stres. Secara umum, ada 3 bentuk
stressor, yaitu stressor fisik, sosial, dan psikologi22.
14

a. Stressor Fisik
Suhu (panas dan dingin), suara bising, polusi udara, keracunan obat
atau bahan kimia merupakan bentuk stressor fisiik22.
b. Stressor Sosial
1) Stressor yang terjadi dilingkungan pekerjaan, perubahan teknologi
yang cepat, pajak yang tinggi disebut stressor sosial, ekonomi dan
politik.
2) Rasa cemburu, kehilangan anggota keluarga, kehilangan peran
seks dalam keluarga, masalah keuangan atau perbedaan gaya
hidup dengan pasangan atau anggota keluarga yang lain.
3) Stressor yang dirasakan di jabatan dan karir yaitu seperti
persaingan dengan sesama teman, tidak terciptanya hubungan
yang baik dengan sejawat atau atasan, dan juga aturan kerja.
4) Hubungan sosial yang buruk kemudian harapan sosial yang terlalu
tinggi dan pelayanan yang buruk termasuk dalam stressor
interpersonal dan lingkungan22.
c. Stressor Psikologi
1) Frustasi
Frustasi merupakan keadaan dimana adanya keinginan dan
tujuan tidak tercapai karena adanya hambatan.
2) Ketidakpastian
Munculnya perasaan ragu atau perasaan tidak pasti
terhadap pekerjaan dan masa depannya. Atau timbulnya perasaan
seperti tertekan atau kebingungan juga perasaan bersalah dan
khawatir22.
3. Tahap Stres
Stres biasanya memiliki gejala-gejala yang kadang-kadang sulit
diketahui, dikarenakan tahap awal dari stres muncul dengan perlahan-
lahan namun jika gejala telah timbul secara terus menerus maka segala
kegiatan sehari-hari akan terganggu, sepeti terganggunya pekerjaan saat
dikantor atau pada saat berada dilingkungan sosialnya 23. Berikut adalah
tahapan-tahapan stres :
15

a. Stres Tahap I
Ini adalah tahapan stres yang masih ringan yang biasanya
timbulnya perasaan-perasaan seperti :
1) Dalam bekerja sangat terlalu bersemangat yang (over acting)
2) Penglihatan mampu melihat lebih jelas dibandingkan biasanya
3) Adanya perasaan bahwa mampu menyelesaikan semua pekerjaan
yang lebih dari biasanya sehingga tidak terasa semua cadangan
energi dihabiskan (all out) dan juga timbulnya perasaan gugup
yang berlebihan.
4) Merasa senang dengan pekerjaannya yaitu maka bertambah pula
semangatnya tetapi tanpa disadari cadangan energi semakin
menipis23.
b. Stres Tahap II
Pada tahap ini yang awalnya “menyenangkan” seperti pada
tahap I akan perlahan hilang, dikarenakan cadangan energi yang
tidak lagi cukup maka akan timbul keluhan-keluhan disebabkan oleh
tidak adanya waktu istirahat. Istirahat yang dimaksud yaitu seperti
istirahat tidur yang mampu mengembalikan cadangan energi yang
mengalami deficit. Pada tahap ini keluhan-keluhan yang sering
dikatakan yaitu :
1) Dipagi hari pada saat bangun tidur timbul perasaan letih.
2) Disiang hari setelah makan tubuh terasa mudah lelah,
3) Disore hari muncul perasaan ingin segera menyelesaikan
pekerjaan.
4) Perut dan lambung terasa tidak nyaman.
5) Jantung terasa berdebar-debar lebih dari biasanya.
6) Tegang dirasakan pada leher dan juga otot punggung.
7) Sulit merilekskan tubuh23.
c. Stres Tahap III
Setelah merasakan keluhan-keluhan yang timbul pada stres di
tahap II, pada tahap ini keluhan-keluhan tersebut akan terasa lebih
nyata seperti :
16

1) Munculnya penyakit lambung seperti gastritis dan sulit buang air


besar.
2) Otot-otot semakin terasa tegang.
3) Semakin merasa tidak tenang dan juga mudah emosi.
4) Kualitas tidur menurun (insomnia).
5) Badan semakin terasa lemas hingga ingin pingsan23.
d. Stres Tahap IV
Saat seseorang memeriksakan diri ke dokter sehubungan
dengan keluhan yang dirasakan pada stres tahap III, dokter
mengatakan bahwa tidak terjadi gangguan atau kelainan pada organ
tubuhnya. Jika kejadian ini terjadi maka seseorang tersebut akan
tetap memaksakan dirinya hingga lupa beristirahat maka timbul
gejala stres tahap IV :
1) Merasa tidak nyaman sepanjang hari.
2) Pekerjaan yang awalnya menyenangkan mulai terasa
membosankan.
3) Hilangnya kemampuan dalam merespon sesuatu.
4) Kegiatan sehari-hari tidak lagi mampu dilakukan.
5) Kualitas tidur yang semakin buruk dibarengi dengan mimpi-
mimpi buruk.
6) Terjadinya penurunan daya ingat.
7) Munculnya perasaan cemas takut namun tidak diketahui
sebabnya23.
e. Stres Tahap V
Jika keadaan ini terus terjadi, seseorang akan masuk pada stres
tahap V dan ditandai seperti hal hal berikut :
1) Tubuh dan mental semakin terasa lemah dan juga lelah.
2) Tidak lagi mampu menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang
mudah.
3) Pencernaan semakin mengalami gangguan.
4) Meningkatnya perasaan cemas dan takut disertai perasaan panik
serta kebingungan23.
17

f. Stres Tahap VI
Pada tahap ini seseorang mulai merasa takut dan panik akan
kematian. Sebagian orang yang berada pada tahap ini sering
dilarikan ke Unit Gawat Darurat hingga ke ICCU, namun tidak
ditemukn kelainan dan akhirnya dipulangkan. Gejala stres pada tahap
ini antara lain :
1) Jantung berdebar sangat kencang.
2) Terjadi gangguan pernafasan seperti sesak.
3) Terjadi tremor diseluruh tubuh, terasa dingin hingga berkeringat.
4) Kehilangan tenaga dalam melakukan hal-hal yang ringan.
5) Tidak sadarkan diri23.
4. Tingkat Stres
Seseorang memiliki cara yang berbeda-beda dalam menghadapi
stres, karena setiap orang mempunyai pengalaman masa lalu yang
berbeda, cara meyakini sesuatu, keadaan lingkungan dan dukungan
keluarga sehingga setiap orang mempunyai koping yang berbeda-beda19.
Ada beberapa tingakatan stres yaitu :
a. Stres Ringan
Stres ringan merupakan stres yang tanpa merusak aspek
fisiologi dari seseorang. Stres ringan biasanya dirasakan dan
dihadapi oleh setiap orang secara teratur seperti lupa, kebanyakan
tidur, kemacetan diperjalanan, dan dikritik oleh orang lain. Kondisi
ini pada umumnya berakhir dalam beberapa menit atau beberapa jam
dan biasanya tidak akan mengakibatkan timbulnya penyakit kecuali
di hadapi terus-menerus19.
b. Stres Sedang
Stres sedang adalah stres yang terjadi lebih lama dari beberapa
jam sampai beberapa hari seperti adanya perselisihan, pekerjaan
yang banyak, kesepakatan yang belum selesai, dan persoalan dalam
keluarga. Keadaan seperti ini bisa berpengaruh pada kondisi
kesehatan seseorang19.
18

c. Stres Berat
Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu
sampai bertahun-tahun yang dipicu oleh beberapa faktor seperti
hubungan didalam keluarga yang tidak harmonis, kesulitan kesulitan
ekonomi, dan menderita penyakit kronis19.
5. Manajemen Stres
Manajemen stres adalah upaya mengatur kondisi stres dengan
baik, bertujuan untuk mengatasi serta mencegah stres agar tidak sampai
ke tahap yang paling berat21. Manajemen stres yang dapat dilakukan
antara lain :
a. Mengatur Diet dan Nutrisi
Dalam mengatasi stres dengan cara mengatur diet dan nutrisi
mampu menjadi solusinya dalam menurunkan stres. Cara yang bisa
diterapkan yaitu dengan mengatur jadwal makan beserta porsinya
dan mengkonsumsi makanan yang bergizi baik dan memfariasikan
menu makananan juga dibutuhkan agar tidak bosan21.
b. Istrirahat dan Tidur
Istirahat dan tidur yang cukup juga bisa menjadi salah satu cara
dalam mengembalikan kebugaran tubuh yang mampu mengatasi
stres yang diakibatkan oleh kurangnya istirahat. Tidak hanya itu sel-
sel yang rusak juga dapat diperbaiki dengan cara istirahat dan tidur
yang cukup21.
c. Olahraga Teratur
Rutin berolahraga mampu memelihara kekebalan fisik maupun
mental dan daya tahan tubuh. Tidak harus olahraga yang berat,
melakukan hal-hal sederhana seperti berjalan di pagi hari setiap dua
minggu sekali. Untuk mengembalikan kebugaran tubuh setelah
berolahraga baiknya diamkan tubuh yang sedang berkeringat21.
d. Berhenti Merokok
Stres akan berkurang saat seseorang berhenti merokok, karena
status kesehatan dan kekebalan tubuh akan meningkat saat berhenti
merokok21.
19

e. Tidak mengkonsumsi Minuman Keras


Menghindari minuman keras mampu membuat seseorang
terhindar dari berbagai penyakit yang dimana hal tersebut yang dapat
memicu timbulnya stres21.
f. Mengatur Berat Badan
Faktor penyebab stres lainnya yaitu kekurangan atau kelebihan
berat badan yang dimana kekebalan dan ketahanan tubuh terhadap
stres akan berkurang21.
6. Pengukuran Tingkat Stres
Tingkatan stres dapat diukur dengan menggunakan kuesioner
Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) yang terdiri dari 42
pertanyaan, mencakup 3 subvariabel yaitu tingkat depresi, kecemasan,
dan stres. Kuesioner ini pada variabel stres ada 14 pertanyaan dan
membagi tingkatan menjadi normal, ringan, sedang, berat dan sangat
berat untuk masing-masing variabel. Interpretasi jumlah skor DASS 42
menurut Psychology Foundation Of Australia (2018) dan Lovibond
(1995) memiliki makna yaitu 0-14 (normal), 15-18 (ringan), 19-25
(sedang), 26-33 (berat), >34 (sangat berat). Menurut Rabiatul (2018)
menyimpulkan bahwa nilai realibilitas kuesioner DASS 42 ini adalah
0,874 yang diolah berdasarkan penilaian Cronbach’ Alpha. Adapun
alternatif jawaban yang digunakan dan skala penilaiannya adalah sebagai
berikut :
a. Tidak pernah, diberi nilai (0)
b. Kadang-kadang, diberi nilai (1)
c. Cukup sering, diberi nilai (2)
d. Sangat sering, diberi nilai (3).

D. Tinjauan Umum tentang Expressive Writing Therapy


1. Definisi Expressive Writing Therapy
Expressive writing therapy adalah salah satu psikoterapi dengan
cara menuliskan pengalaman yang tidak menyenangkan atau kejadian
traumatis dari sudut pandang yang berbeda untuk mendapatkan
kesadaran baru dan cara penyelesaian dari trauma tersebut. Expressive
20

writing therapy merupakan salah satu kegiatan sederhana untuk


menuliskan perasaan terdalam mengenai suatu peristiwa yang
membekas, emosional, maupun traumatis dalam hidup. Melalui menulis
seseorang diberikan kesempatan untuk bisa menuliskan hal yang bersifat
pribadi dan mendalam tentang hal kurang menyenangkan atau
membekas dikehidupan24.
2. Efek dari Expressive Writing Therapy
Menurut Pennerbaker & Smyth, efek dari expressive writing
therapy terbagi menjadi dua yaitu efek secara biologis dan efek secara
psikologis24.
a. Efek Secara Biologis
1) The Immune System. Sistem kekebalan tubuh bekerja dengan
baik atau tidak tergantung dengan stres yang dialami. Tidak
ditemukan secara jelas bagaimana expressive writing therapy
terkadap kesehatan jangka panjang, namun setelah dipahami
bahwa expressive writing therapy dapat meningkatkan
pengaturan emosi, dan dapat memainkan peran kunci dalam otak
dan fisiologi imun.
2) Medical Markers of Health. Para peneliti menemukan hubungan
penyakit kronis dengan expressive writing therapy. Pasien asma
dan pasien rheumatoid arthritis menunjukan perbaikan fungsi
paru dan mobilitas sendi. Jumlah sel darah putih yang lebih
tinggi di tunjukan pada pasien AIDS. Pasien kanker menjujukan
manfaat yang signifikan dalam kesehatan fisik, pengurangan rasa
sakit secara keseluruhan, tidur yang lebih baik, dan aktivitas di
siang hari yang lebih baik.
3) Physiocological Indikator of Stress. Pasien yang melakukan
expressive writing therapy terdapat penurunan tanda tanda stres
yang terjadi secara fisiologis, seperti tekanan darah, dan detak
jantung24.
21

b. Efek Secara Psikologis


1) Mood Changes Immediately After Writing. Ketika setelah
melakukan expressive writing therapy terkait dengan hal yang
berkaitan dengan kejadian traumatis ataupun yang hal yang
menekan, umumnya orang akan merasa lebih buruk atau bahkan
sampai menangis. Efek seperti ini sangat umum terjadi dan
bertahan dalam jangka pendek seperti satu jam atau dua jam.
2) Long-Term Mood Changes. Setelah melakukan expressive
writing therapy mungkin anda akan merasa sedih dalam jangka
waktu yang singkat terkait apa yang dituliskan, tetapi setelah itu
akan ada dampak positif yang bertahan dalam waktu yang lama.
Selain itu, setelah melakukan expressive writing therapy akan
ada perasaan mersa bahagia dan dapat meningkatkan fungsi
kognitif, serta gejala-gejala seperti melamun, cemas, stres, dan
depresi akan cenderung turun dalam beberapa minggu setelah
melakukan expressive writing therapy24.
3. Manfaat Expressive Writing Therapy
Menurut Pennerbaker & Chung (dalam Rahmawati, 2014)
expressive writing therapy tidak hanya aktivitas menulis yang sekedar
menulis, tetapi juga memiliki manfaat yang dapat dirasakan langsung.
Adapun manfaat dari expressive writing therapy yaitu :
a. Merubah sikap dan perilaku, meningkatkan memori, meningkatkan
kreativitas, meningkatkan motivasi, dan berbagai hubungan antara
kesehatan dan perilaku.
b. Membantu mengurangi pemakaian obat-obatan yang mengandung
kimia.
c. Mengurangi intensitas untuk pergi ke dokter atau tempat terapi
lainnya.
d. Hubungan sosial dengan masyarakat semakin baik24.

Menurut Pennerbaker & Chung (dalam Muhtadini, 2018)


expressive writing therapy dapat membantu individu mengurangi hal-hal
menekan dan timbulnya stressor, karena dengan menuliskan hal yang
22

dirasakan mampu membuat respon biologis dan psikologis menjadi


saling berhubungan, sehingga dapat menjadi rileks. Selain itu
menuliskan hal yang emosional dapat meningkatkan kesehatan mental
dan fisik secara lebih baik. Dapat disimpulkan bahwa dengan
menuliskan hal-hal yang membebani sama dengan meluapkan beragam
emosi negatif, ketakutan, kecemasan, serta stres yang ada dalam diri,
sehingga expressive writing therapy menjadi merupakan salah satu
sarana untuk mengurangi stres25.

4. Hambatan Pelaksanaan Expressive Writing Therapy


a. Dalam proses menulis klien biasanya merasakan kesedihan hingga
meneteskan air mata atau menangis
b. Tidak semua klien jujur dalam menuliskan apa yang sebenarnya
yang dirasakan
c. Tidak semua klien dapat menulis secara runtut, baik, dan mudah
dimengerti
d. Responden dalam penelitian yaitu pasien yang melakukan
hemodialisis sehingga salah satu hambatannya yaitu tangan yang
digunakan untuk menulis terpasang alat cimino sehingga adanya
keterbatasan dalam menulis atau bermobilisasi29.
5. Prosedur Pelaksanaan Expressive Writing Therapy
Menurut Pennerbaker & Evans (dalam Yuli Sundari, 2020)
pelaksanaan expressive writing therapy ssebagai berikut :
a. Waktu : Menulis selama minimal 6-30 menit pertahap selama 3 sesi
pertemuan
b. Tujuan : Untuk meningkatkan kesehatan psikologis.
c. Alat : Buku catatan & alat tulis.
d. Lingkungan :Pastikan lingkungan nyaman dan tenang agar klien
mampu berkonsentrasi.
e. Tahap pertama (recognition/initial write) : pada tahap ini merupakan
tahap pertama sesi menulis. Tahap ini bertujuan untuk membuka
imajinasi, memfokuskan pikiran, menghilangkan rasa takut yang
mungkin dialami klien, serta mengevaluasi perasaan dan konsentrasi
23

klien. Instruksikan klien untuk duduk tenang dan rileks, serta


memfokuskan pikiran. Kemudian instruksikan klien menuliskan
frasa kata-kata apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa
memperhatikan ejaan, susunan kalimat atau tata bahasa. Waktu
dalam tahap ini selama 6 menit.
f. Tahap kedua (examination/writing exercise) : ditahap ini topik
tulisan diperluas menjadi kejadian atau pengalaman emosional yang
lebih umum dan spesifik yang dialami oleh klien, seperti saat
didiagnosa mengalami penyakit kronis. Selain topik tulisan berupa
peristiwa emosional, kejadian dimasa lalu, masa sekarang, maupun
kejadian yang dimasa mendatang. Instruksikan klien untuk
mendeskripsikan pikiran dan perasaan terhadap peristiwa atau
pengalaman tersebut sedetail mungkin dan beri klien waktu 10-30
menit untuk menulis.
g. Tahap ketiga (juxtaposition/feedback) : tahap ini klien menuliskan
topik yang hampir sama seperti tahap kedua namun dengan sudut
pandang yang berbeda seperti dari teman, saudara, dan keluarga.
Sehingga klien dapat merasakan bagaimana sudut pandang yang
berbeda dapat membentuk kembali hidupnya. Tahap ini juga
merupakan tahap refleksi yang membuat klien memperoleh
kesadaran baru, perilaku, sikap yang baru terhadap sesuatu. Tulisan
yang sudah dibuat dapat dibaca, dikembangkan, dan didiskusikan
dengan keluarga atau orang lain yang dipercaya. Kemudian tanyakan
perasaan klien setelah menulis.
h. Tahap keempat (aplication to the self) : tahap yang terakhir ini klien
didorong untuk mengaplikasikan pengetauhan baru atau kesadaran
baru, menghilangkan pikiran dan perasaan yang negatif, berpikir
positif kedepan, dan mampu diaplikasikan dikehidupan sehari-hari24.
E. Pengaruh Expressive Writing Therapy Terhadap Stres
Stres disebabkan oleh kejadian nyata yang sedang kita alami, kita rasa
atau peristiwa yang akan kita alami, yang membuat kita kehilangan
keseimbangan dan mengaktifkan sitem respon stres dalam tubuh kita7.
24

Stres terjadi karena disebabkan oleh stressor yang dirasakan seseorang


dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman yang dapat mengakibatkan tibulnya
perasaan cemas hingga stres. Stres pada pasien penyakit ginjal kronik dapat
dicetus oleh lama saat menjalani hemodialisis, harus mendatangi instalasi
hemodialisis dua sampai tiga kali dalam seminggu, herus menjalani
hemodialisis seumur hidup, dan belum lagi harus mengahadapi masalah
komplikasi dari penyakit ginjal kronik itu sendiri seperti hipertensi, anemia,
gangguan sistem pembuluh darah, jantung, gangguan kesuburan baik pria
maupun wanita, gangguan kulit serta tulang dan masih banyak lagi masalah
yang disebabkan oleh penyakit ginjal kronik sehingga mengakibatkan
timbulnhya perasaan cemas hingga stres menghadapi kenyataan yang harus
mereka jalani4.
Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah
stres, salah satunya dengan cara melakukan psikoterapi atau biasa disebut
dengan terapi kejiwaan, psikoterapi kognitif dilakukan dengan maksud untuk
memulihkan fungsi kognitif seseorang, yaitu kemampuan berkonsentrasi,
berfikir secara rasional, serta daya ingat9.
Expressive writing therapy adalah salah satu terapi berbentuk
psikoterapi kognitif yang dapat mengatasi masalah cemas, stres, serta depresi,
karena terapi ini adalah terapi yang bertujuan untuk melakukan refleksi
pikiran dan perasaan terdalam terhadap kejadian yang menimbulkan trauma
atau peristiwa yang tidak menyenangkan9.
Expressive writing therapy juga dapat digunakan sebagai terapi utama
dan dapat juga di integrasikan dengan pendekatan psikoterapi serta dapat
dilakukan secara individual atau kelompok. Refleksi ini memfasilitasi
individu untuk merubah kognitifnya, mengatur emosi menjadi lebih baik,
menjadi sarana terhadap emosi yang berlebihan, memperoleh energi baru,
mengarahkan perhatian, meredakan tekanan emosional serta memberi
kesempatan untuk fokus pada tujuan dan perilakunya10.
25

F. Kerangaka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Penurunan Tingkat Stres


Expressive Writing Therapy Pasien gagal Ginjal Kronik

Keterangan :

: Variabel

: Diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

G. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
Ha = Ada pengaruh expressive writing therapy terhadap penurunan
tingkat stres pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
di RSUD Undata.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dan penelitian ini
menggunakan desain penelitian Pre-experimen, dengan pendekatan one grup
pre test and post test design, yaitu rancangan penelitian yang menggunakan
satu kelompok subjek dengan cara melakukan pengukuran sebelum dan
setelah perlakuan. Efektivitas perlakuan ini dinilai dengan cara
membandingkan nilai post test dengan pre test.

Pre test Post test

01 X 02

(Sumber : Dharma, 2011)

Gambar 3.1 Desain Penelitian

Keterangan :

01 : Pengukuran menggunakan kuesioner stres sebelum melakukan


expressive writing therapy.

02 : Pengukuran menggunakan kuesioner stres setelah melakukan


expressive writing therapy.

X : Pemberian expressive writing therapy dilakukan 1-2 minggu pada


bulan mei 2021.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di RSUD Undata Kota Palu.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 14-23 Juni tahun
2021.

26
27

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Seluruh objek yang akan diteliti disebut sebagai populasi26. Dalam
penelitian ini adalah pasien penyakit ginjal kronik yang baru menjalani
terapi hemodialisis sebanyak 87 orang.
2. Sampel
Populasi yang benar-benar mampu mewakili dan menggambarkan
keadaan sebenarnya adalah sampel26. Menurut Sugiyono (2018) Besar
sampel minimal pada kelompok eksperimen 10-20 orang27. Pada
penelitian ini sampel yang digunakan adalah 10 orang.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dalam penelitian
ini menggunakan puposive sampling. Purposive sampling adalah
pengambilan anggota sampel dengan pertimbangan tertentu27.
Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
a. Merupakan pasien penyakit ginjal kronik yang baru menjalani
hemodialisis ≤ 12 bulan.
b. Pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis 2-3 kali
dalam seminggu.
c. Pasien penyakit ginjal kronik yang bersedia menjadi responden
dengan menandatangani informed consent.

Adapun kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah :

a. Pasien penyakit ginjal kronik yang mengalami penyakit komplikasi


lain.
b. Pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dengan
adanya pemberian transfusi.
c. Pasien penyakit ginjal kronik yang tidak mampu menulis

D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen (variabel bebas)
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau
nilainya menentukan variabel lain26. Variabel independen dalam
penelitian ini yaitu Expressive Writing Therapy.
28

2. Variabel Dependen (variabel terikat)


Variabel dependen adalah variabel yang nilainya dipengaruhi serta
ditentukan oleh variabel lain26. Variabel dependen pada penelitian ini
yaitu Tingkat Stres.
E. Definisi Operasional
1. Tingkat Stres
Definisi :
Stres yang diakibatkan oleh perubahan kehidupan pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, dan
mengalami ketergantungan terhadap mesin dialisis, lama
waktu menjalani hemodialisis 4-5 jam, serta timbulnya
masalah komplikasi.
Alat ukur : Depression Anxiety Stress Scale (DASS 42)
Skala : Ordinal
Cara Ukur : Lembaran Kuesioner
Hasil Ukur :
Stres ringan, jika skor nilainya : 15-18
Stres sedang, jika skor nilainya : 19-25
Stres berat, jika skor nilainya : 26-33
2. Expressive Writing Therapy
Definisi : Expressive writing therapy merupakan terapi
perefleksian pikiran dan perasaan terdalam terhadap
peristiwa yang tidak menyenangkan dalam bentuk
tulisan. Refleksi ini memfasilitasi individu untuk
merubah kognitifnya, mengatur emosi, menjadi sarana
terhadap emosi yang belebihan dan memperoleh energi
baru.

Alat ukur : Buku catatan dan alat tulis


Cara ukur : Standar Operasional Prosedur (SOP) expressive writing
therapy

F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data dalam penelitian27. Instrumen yang digunakan adalah
29

kuesioner, standar operasional prosedur (SOP) expressive writing therapy,


dan alat tulis.
1. Stres
Kuesioner merupakan pertanyaan-pertanyaan yang mengatur
variabel hingga memiliki makna dalam pengujian hipotesis penelitian.
Peneliti menggunakan kuesioner Depression Anxiety Stress Scale (DASS
42) yang disusun oleh Livibond (1995). Interpretasi jumlah skor DASS
42 menurut Psychology Foundation Of Australia (2018) dan Livibond
(1995) memiliki makna yaitu ; 0-14 (normal), 15-18 (ringan), 19-25
(sedang), 26-33 (berat), dan >34 (sangat berat). Instrumen ini
menggunakan skala Likert dengan penilaian :
a. Tidak pernah, skor nilai (0)
b. Kadang-kadang, skor nilai (1)
c. Cukup sering, skor nilai (2)
d. Sering sekali, skor nilai (3)

Kuesioner DASS 42 terdapat 42 pertanyaan yang terdiri dari 3


skala yaitu, skala depresi, skala kecemasan, dan skala stres. Adapun skala
stres terdiri dari 14 pertanyaan yaitu pertanyaan pada nomor 1, 6, 8, 11,
12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39.

2. Expressive Writing Therapy


Menurut Pennerbaker & Evans (dalam Sundari, 2020) prosedur
pelaksanaan expressive writing therapy terdapat 4 tahap dan dilakukan 3
sesi pertemuan dengan topik yang bersifat pribadi dan penting, dan waktu
pada masing-masing tahap 6-30 menit. Adapun prosedur pelaksanaan
expressive writing therapy sebagai berikut :
a. Tahap pertama (recognition/initial write) : Instruksikan klien untuk
duduk tenang dan rileks, serta memfokuskan pikiran. Kemudian
instruksikan klien menuliskan kata-kata atau frasa apa saja yang
muncul dalam pikirannya tanpa memperhatikan ejaan, susunan
kalimat atau tata bahasa. Waktu dalam tahap ini selama 6 menit.
30

b. TahapTahap kedua (examination/writing exercise) : ditahap ini topik


tulisan diperluas menjadi yang lebih umum dan spesifik. Topik tulisan
berupa peristiwa emosional, kejadian dimasa lalu, masa sekarang,
maupun kejadian yang dimasa mendatang. Instruksikan klien untuk
mendeskripsikan pikiran dan perasaan terhadap peristiwa atau
pengalaman tersebut
c. Tahap ketiga (juxtaposition/feedback), responden menuliskan topik
yang sama dengan sudut pandang yang berbeda dan bagaimana dapat
membentuk kembali hidupnya. Tahap ini juga membuat klien
memperoleh kesadaran baru, perilaku, sikap yang baru terhadap
sesuatu. Tulisan dapat dibaca, dikembangkan, dan didiskusikan
dengan keluarga atau orang lain yang dipercaya. Kemudian tanyakan
perasaan klien setelah menulis
d. Tahap keempat (aplication to the self), pada tahap yang terakhir ini
klien didorong untuk mengaplikasikan pengetauhan baru atau
kesadaran baru, menghilangkan pikiran dan perasaan yang negatif,
berpikir positif kedepan, dan mampu diaplikasikan dikehidupan
sehari-hari.
G. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data yang diperlukan adalah data primer dan data
sekunder. Data sekunder dari penelitian ini diperoleh dari Unit Hemodialisis
RSUD Undata Palu. Data yang diperoleh langsung dari sumber data disebut
data primer, responden yang dijadikan sampel dalam penelitian akan diminta
untuk mengisi kuesioner secara langsung untuk memenuhi data primer.
Langkah-langkah berikut adalah teknik pengumpulan data26 :
1. Editting dilakukan untuk memeriksa adanya kesalahan atau kurangnya
data yang di isi oleh responden.
2. Coding adalah kegiatan mengklasifikasi data dengan cara memberi kode
untuk memudahkan peneliti pada saat melakukan entri data.
3. Tabulating adalah penyusunan data yang berdasarkan variabel yang
diteliti.
31

4. Entri adalah proses pemasukan data kedalam program komputer untuk


selanjutnya di analisa
5. Cleaning yaitu membersihkan data dengan melihat variabel yang telah
digunakan apakah data-datanya sudah benar atau belum
6. Describing yaitu menggambarkan atau menjelaskan dat yang sudah
dikumpulkan.
H. Analisa Data
Data yang diperoleh akan diolah dengan program pada komputer
demudian dianalisa sebagai bahan pertimbangan pengambilan kesimpulan
dan keputusan28. Analisa data yang digunakan dalam penelitian tersebut
meliputi :
1. Analisa Univariat
Analisis Univariat adalah analisis yang dilakukan dalam
menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian. Tujuan analisis univariat
yaitu menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel
penelitian27.
Dengan rumus :

f
P= x 100 %
n

Keterangan : P = Presentase
f = Jumlah jawaban benar
n = Jumlah

2. Analisis Bivariat
Analisis Bivariat adalah analisis secara simultan dari dua variabel.
Hal ini biasanya dilakukan untuk melihat apakah satu variabel terkait
dengan variabel lain28. Dalam penelitian ini analisa bivariat dilakukan
untuk mengetahui pengaruh expressive writing therapy terhadap
penurunan tingkat stres pada pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis di RSUD Undata. Sebelum dilakukan uji statistik
terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data yang bertujuan untuk
32

mengetahui data berdistribusi normal atau tidak. Adapun jika data


berdistribusi normal, maka digunakan statistik uji Paired Sampel t-Test
(uji-t berpasangan), dan data yang berdistribusi tidak normal dapat
menggunakan uji nonparametic Wilcoxon.

Tabel 3.1 Test of Normality

Kelompok Shapiro-Wilk
Responden Statistik df Sig.
PRETEST 0,920 10 0,358
POSTEST 0,932 10 0,469
Sumber : Data primer 2021

Pada tabel 3.1 menunjukkan hasil uji normalitas data dengan


Shapiro-Wilk adalah sebagai berikut : tingkat stres responden sebelum
melakukan expressive writing therapy memiliki nilai probabilitas (Sig.)
dengan jumlah 0,358 dan tingkat stres responden setelah melakukan
expressive writing therapy memiliki nilai probabilitas (Sig.) dengan
jumlah 0,469. Mengacu pada ketentuan bahwa jika nilai Sig > 0,05 data
berdistribusi normal, dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa data
berdistribusi normal, maka uji sttistik yang digunakan adalah uji paired
sample t-test.

Rumus uji Paired sampel t-test (uji-t berpasangan) sebagai berikut.


Rumus uji T-Test :

x 1−x 2
s 1 ( 2) s 2( 2) 2 r ( s 1) ( s 2)
t=
√ nl
+
n2

√ n 1√ n 1

Keterangan :
x1 = Rata-rata sampel 1
x2 = Rata-rata sampel 2
s1 = Simpangan baku sampel 1
s2 = Simpangan baku sampel 2
s1 (2) = Variasi sampel 1
33

s2 (2) = Variasi sampel 2


2 = Korelasi antar dua sampel

I. Alur Penelitian

Pengambilan Data
Pra Penelitian Awal
Lokasi Penelitian
RSUD Undata Palu
Penyusunan
Proposal Penelitian

1. Mengidentifikasi stres pasien


penyakit ginjal kronik sebelum
Seminar Proposal diberi expressive writing therapy
2. Mengidentifikasi stres pasien
penyakit ginjal kronik setelah diberi
expressive writing therapy
Penelitian 3. Menganalisis pengaruh expressive
writing therapy.

1. Tahap I
Analisa Data
Pengisian kuesioner (pre test) pada
pasien penyakit ginjal kronik.
2. Tahap II
Penyusunan Hasil Pemberian expressive writing
Penelitian therapy.
3. Tahap III
Pengisian kuesioner (post test) pada
pasien penyakit ginjal kronik
Ujian Hasil

Gambar 3.2 Alur Penelitian


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata, terletak di Jalan RE.
Martadinata, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.
Memiliki luas bangunan gedung 14.890,33 M2 dan luas tanah 53.125 M2.
RSUD Undata memiliki 12 jenis pelayanan yang terdiri dari pelayanan
Gawat Darurat, Rawat Jalan, Rawat Inap, Bedah, Persalinan dan Perinatologi,
Intensif Care, Penunjang Medik, Administrasi Manajemen, Pengendalian
Infeksi, Hemodialisa, dan pelayanan Keamanan (security), serta memiliki
jabatan tenaga medis berjumlah 66 orang, jabatan keperawatan berjumlah
437 orang, jabatan non keperawatan berjumlah 149 orang, dan jabatan tenaga
non medik berjumlah 170 orang.
B. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
a. Usia
Karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat pada
tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia

Usia Frekuensi (f) Persentase (%)


No
1. 36-45 Tahun 3 30.0
2. 46-55 Tahun 3 30.0
3. 56-65 Tahun 4 40.0
Tota
10 100
l
Sumber : Data Primer 2021
Klasifikasi usia : Depkes RI
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 10 responden,
sebagian besar responden yang menjalani hemodialisis yaitu pada
rentang usia 56-65 tahun berjumlah 4 responden (40%), dan sebagian
kecil responden yang menjalani hemodialisis pada rentang usia 46-55

34
35

tahun dan rentang usia 56-65 tahun yang masing-masing berjumlah 3


responden (30%)

b. Jenis Kelamin
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat
pada tabel 4.2 sebagai berikut.
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin

No Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%)


1. Laki-laki 5 50.0
2. Perempuan 5 50.0
Total 10 100
Sumber : Data Primer 2021

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan bahwa dari 10 responden,


jenis kelamin Laki-laki yang menjalani hemodialisis berjumlah 5
responden (50%), dan jenis kelamin Perempuan yang menjalani
hemodialisis berjumlah 5 responden (50%).
c. Pendidikan
Karakteristik responden berdasarkan pendidikan dapat dilihat
pada tabel 4.3 sebagai berikut.
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan

No. Pendidikan Frekuensi (f) Persentase (%)


1 SD 1 10.0
2 SMP 1 10.0
3 SMA 3 30.0
4 S1 5 50.0
Total 10 100
Sumber : Data primer 2021
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 10 responden,
sebagian besar responden yang menjalani hemodialisis yaitu
berpendidikan S1 berjumlah 5 responden (50%), dan sebagian kecil
responden yang menjalani hemodialisis yaitu berpendidikan SMP dan
pendidikan SD yang masing-masing berjumlah 1 responden (10%).
d. Pekerjaan
36

Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat


pada tabel 4.4 sebagai berikut.

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan

No. Pekerjaan Frekuensi (f) Persentase (%)


1. IRT 2 20.0
2. Petani 1 10.0
3. Wiraswasta 1 10.0
4. ASN/Pensiun 6 60.0
Total 10 100
Sumber : Data primer 2021
Berdasarkan tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa dari 10
responden, sebagian besar responden yang menjalani hemodialisis
bekerja sebagai ASN/Pensiun berjumlah 6 responden (60%), dan
sebagian kecil responden yang menjalani hemodialisis bekerja
sebagai Petani dan Wiraswasta yang masing-masing berjumlah 1
responden (10%).
e. Lama HD
Karakteristik responden berdasarkan lama HD (Hemodialisis)
dapat dilihat pada tabel 4.5 sebagai berikut.
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan lama HD

No. Lama HD Frekuensi (f) Persentase (%)


1. 3 Bulan 1 10.0
2. 4 Bulan 1 10.0
3. 8 Bulan 2 20.0
4. 9 Bulan 1 10.0
5. 10 Bulan 1 10.0
6. 11 Bulan 1 10.0
7. 12 Bulan 3 30.0
Tota
10 100
l
Sumber : Data primer 2021
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa dari 10 responden,
sebagian besar responden yang menjalani hemodialisis yaitu dengan
lama HD 12 bulan berjumlah 3 orang (30%), dan sebagian kecil
responden yang menjalani hemodialisis yaitu dengan lama HD 3
37

bulan, 4 bulan, 9 bulan, 10 bulan, 11 bulan, yang masing-masing


berjumlah 1 responden (10%).

2. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan terhadap variabel
penelitan dengan mendeskripsikan hasil penelitian dalam bentuk
distribusi frekuensi. Hasil analisis univariat dalam penelitan ini adalah
sebagai berikut.
a. Distribusi Frekuensi Tingkat Stres Responden Sebelum Melakukan
Expressive Writing Therapy
Distribusi tingkat stres pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis di RSUD Undata sebelum melakukan
expressive writing therapy dapat dilihat pada tabel 4.6
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi tingkat stres sebelum melakukan
expressive writing therapy

No. Tingkat Stres Frekuensi (f) Persentase (%)


1. Normal 0 0
2. Ringan 3 30.0
3. Sedang 4 40.0
4. Berat 3 30.0
Tota
10 100
l
Sumber : Data primer 2021
Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari 10 responden
yang menjalani hemodialisis sebelum melakukan expressive writing
therapy, sebagian besar responden mengalami stres sedang berjumlah
4 responden (40%), dan sebagian kecil responden mengalami stres
ringan dan mengalami stres berat yang masing-masing berjumlah 3
orang (30%).

b. Distribusi Frekuensi Tingkat Stres Responden Setelah Melakukan


Expressive Writing Therapy
38

Distribusi tingkat stres pasien penyakit ginjal kronik yang


menjalani hemodialisis di RSUD Undata setelah melakukan
expressive writing therapy dapat dilihat pada tabel 4.7

Tabel 4.7 Distribusi frekuensi tingkat stres setelah melakukan


expressive writing therapy

No. Tingkat Stres Frekuensi (f) Persentase (%)


1. Normal 5 50,0
2. Ringan 3 30.0
3. Sedang 2 20.0
4. Berat 0 0
Tota
10 100
l
Sumber : Data primer 2021
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 10 responden
yang menjalani hemodialisis setelah melakukan expressive writing
therapy, sebagian besar responden mengalami penurunan tingkat stres
menjadi stres normal berjumlah 5 responden (50%), dan sebagian
kecil responden mengalami penurunan tingkat stres menjadi stres
sedang berjumlah 2 orang (20%).
3. Analisis Bivariat
a. Pengaruh expressive writing therapy terhadap penurunan tingkat stres
pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di
RSUD Undata.
Tabel 4.8 Pengaruh expressive writing therapy terhadap penurunan
tingkat stres pada pasien yang menjalani hemodialisis

Tingkat
Mean SD SE P Value N
Stres
Sebelum 22,20 4,158 1,315
0,000 10
Sesudah 14,90 4,408 1,394
Sumber : Data Primer 2021
Pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa hasil test statistik uji
paired sample t-test (uji-t berpasangan) tingkat stres rata-rata sebelum
dilakukan expressive writing therapy adalah 22,20 dan standar deviasi
39

berjumlah 4,158. Sedangkan hasil tingkat stres rata-rata setelah


dilakukan expressive writing therapy adalah 14,90 dengan standar
deviasi berjumlah 4,408. Terlihat nilai dari perbedaan antara sebelum
dan sesudah dilakukan expressive writing therapy adalah 7,300
dengan standar deviasi 1,494. Hasil uji statistik didapatkan nilai p
Value yaitu 0,000 maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
sebelum dan sesudah dilakukan exprexxsive writing theray terhadap
penurunan tingkat stres pada pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis di RSUD Undata.
C. Pembahasan
1. Tingkat stres sebelum dilakukan expressive writing therapy pada pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Undata
Berdasarkan data hasil penelitian pada tabel 4.6 dengan jumlah
responden 10 orang sebelum dilakukan expressive writing therapy
didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden mengalami stres sedang
berjumlah 4 responden (40%), dan sebagian kecil mengalami ringan
berjumlah 3 responden (30%), serta responden yang mengalami stres
berat berjumlah 3 orang (30%)..
Peneliti berasumsi bahwa dari 10 responden sebelum dilakukan
expressive writing therapy bahwa penyebab stres yang dialami oleh
pasien penyakit ginjal yang menjalani hemodialisis di RSUD Undata
yaitu lama HD (hemodialisis), hal ini dikarenakan pasien yang baru
menjalani proses hemodialisis cenderung akan lebih mudah stres akibat
adanya perubahan pola hidup yang dialaminya, sedangkan pasien yang
sudah lama menderita penyakit ginjal kronik memiliki banyak
pengalaman dalam berbagai macam bentuk stressor, sehingga pasien
dapat mudah beradaptasi dengan kondisinya. Penyebab lainnya yaitu
tentang masalah usia, dimana semakin bertambah usia seseorang maka
seiring berjalannya waktu terjadi kemunduran fisik maupun psikologis
secara bertahap, sehingga kondisi tersebut dapat menimbulkan stres.
Faktor lainnya yaitu tingkatan pendididkan, tingkat pendidikan menjadi
faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan, seseorang yang
40

berpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi terhadap


keputusan terbaik dalam melakukan mekanisme koping untuk mengatasi
stres.
Menurut Stuart (2016) dengan lamanya proses hemodialisis dan
dilakukan rutin setiap minggunya mengakibatkan peran pasien dalam
kehidupan sehari-harinya terganggu, masalah tersebut menyebabkan
pasien stres. Stres adalah perasaan sedih yang dialami oleh semua orang
dan dapat mempengaruhi aktivitas, pola makan, tidur, konsentrasi, dan
bahkan mempunyai perasaan untuk bunuh diri34.
Penelitian ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan Ariyanti dan
Sudiyanto (2017) tentang Hubungan Antar Lama Menjalanii
Hemodialisis Dengan Mekanisme Koping Pasien Penyakit Ginjal Kronik
Yang Di Rimah Sakit Gatoel Mojokerto menyatakan bahwa pasien
penyakit ginjal kronik yang baru menjalani hemodialisis < 1 tahun belum
bisa menerima kondisi yang dialaminya dengan tahapan denial. Denial
menyatakan penolakan terhadap realitas atau menolak untuk menerima
kenyataan yang dihadapi, sehingga pasien yang menjalani hemodialisis
merasa sedih, marah, takut, kehilangan harapan dengan kejadian yang
terjadi pada dirinya. Pandangan negatif yang dirasakan pasien,
ketidakberdayaan keputusasaan, dan tidak adanya semangat, membuat
pasien melakukan mekanisme koping maladaptif yang merupakan
penyebab stres36.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan
Rahayu dan kawan-kawan (2019) tentang Respon Stres Pasien Gagal
Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa menyatakan bahwa
bertambahnya usia seseorang akan mempengaruhi perubahan fungsi
ginjal. Pada usia setelah 40 tahun akan terjadi penurunan laju filtrasi
glomelurus secara progresif hingga usia 70 tahun, usia 42-50 tahun sangat
rentan terhadap stres, pada usia tersebut seseorang yang mengalami
penyakit ginjal kronik akan merasakan perasaan putus asa, depresi, rasa
khawatir akan kelangsungan hidupnya dan kesehatannya sehingga
memicu terjadinya stres2.
41

Menurut Nonoatmojo (dalam Nurlinawati, 2019) menyatakan


bahwa tingkat pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi tingkat stres
yang tinggi pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis, hal ini disebabkan oleh pengetahuan dan dan mudah
menerima informasi yang diberikan. Pasien yang mempunyai pendidikan
yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai
rasa percaya diri, berpengalaman, mudah mengerti tentang apa yang
dianjurkan petugas kesehatan, sehingga dapat mengurangi tingkat stres
dan membantu dalam mengambil keputusan30.
Stres mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia.
Dalam aspek kognitif, stres menyebabkan gangguan pada fungsi kognitif
dengan menurunkan atau meningkatkan perhatian pada sesuatu. Dalam
aspek emosi, stres dapat menimbulkan rasa ketakutan yang merupakan
reaksi yang umum ketika individu merasa terancam, menimbulkan
perasaan sedih atau depresi serta memicu rasa marah terutama ketika
individu mengalami situasi yang membahayakan atau membuat frustasi.
Stres muncul ketika seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap suatu
peristiwa atau situasi. Keadaan sakit menyebabkan munculnya tuntutan
pada sistem biologis dan psikologis seseorang, dimana tingkat stres yang
akan muncul karena tuntutan ini tergantung pada umur dan jenis penyakit
yang dialami seseorang.

2. Tingkat stres setelah dilakukan expressive writing therapy pada pasien


penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Undata
Berdasarkan data hasil penelitian pada tabel 4.7 dengan jumlah
responden 10 orang setelah dilakukan expressive writing therapy
didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden mengalami penurunan
tingkat stres menjadi stres normal berjumlah 5 responden (50%), dan
sebagian kecil mengalami penurunan tingkat stres menjadi stres ringan
berjumlah 3 responden (30%), dan responden yang mengalami penurunan
tingkat stres menjadi stres sedang berjumlah 2 orang (20%).
Peneliti berasumsi bahwa dari 10 responden yang menjalani
hemodialisis mengalami penurunan tingkat stres, penurunan tingkat stres
42

tersebut disebabkan oleh expressive writing therapy. Pada proses


expressive writing therapy dilakukan sebanyak 4 tahap dengan durasi 15-
30 menit tiap tahapnya, terapi psikologis ini dilakukan dengan cara
menuliskan perasaan terdalam mengenai suatu peristiwa yang mendalam,
emosional, maupun traumatis dalam hidup, melalui menulis individu
diberikan kesempatan untuk bisa menuangkan hal yang bersifat personal
dan mendalam tentang hal yang menyedihkan atau membekas di
kehidupan, dengan melakukan expressive writing therapy pasien
penderita penyakit ginjal kronik dapat mengembangkan pemahaman yang
lebih rasional tentang pikiran, perasaan, dan melepaskan tekanan-
tekanan dalam dirinya sehingga mampu melakukan strategi coping
yang lebih baik. Selain itu dengan cara menulis dapat meningkatkan
kesehatan mental seperti stres dan mampu mengalihkan perhatian
seseorang yang berkaitan dengan pusat pikiran yang mengganggu atau
pikiran negatif, sehingga memperoleh pemikiran yang lebih baik dan
positif.
Menurut Pennerbaker & Smyth (2016) expressive writing therapy
mampu menurunkan tingkat stres hal ini dikarenakan saat individu
berhasil mengeluarkan emosi-emosi negatifnya yaitu perasaan sedih,
kecewa, dan perasaan duka ke dalam tulisan tangan, maka individu
tersebut dapat mulai merubah sikap, meningkatkan kretifitas,
meningkatkan memori, memperbaiki kinerja otak, dan kepuasan hidup
serta meningkatkan kekebalan tubuh agar terhindar dari psikosomatik35.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan
Respati (2019) tentang Pengaruh Expressive Writing Therapy Terhadap
Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi
Hemodialisa Di RSUD Tidar Kota Magelang menyatakan bahwa dengan
meluapkan ekspresi emosional dengan menulis berdasarkan pengalaman
traumatisnya dapat mengurangi stres fisiologis pada tubuh. Proses
menulis memungkinkan pasien penyakit ginjal kronik belajar mengatur
mekanisme koping mereks secara positif. Sehingga dengan menulis dapat
membantu seseorang yang mengalami stres untuk mengatur strategi
43

kopingnya terhadap peristiwa traumatis untuk menjadi lebih adaptif,


rasional, memahami diri sendiri, orang lain, serta lingkungan31.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Danarti dan
kawan-kawan (2018) tentang Pengaruh Expressive Writing Therapy
Terhadap Penurunan Depresi, Cemas, Dan Stres menjelaskan bahwa
proses berfikir merupakan aktivitas penghantaran rangsang oleh syaraf-
syaraf yaitu lobus frontalis otak besar, dengan cara menulis dapat
meningkatkan kinerja lobus frontalis otak, sehingga saat sesorang
menulis mampu mengalihkan pikiran-pikiran negatif serta hal-hal buruk
yang ingin seseorang lakukan akibat stres9.
Pada penelitian ini responden melakukan expressive writing
therapy pada kehidupan sehari hari berdasarkan tahapan selama 2
minggu. Berdasarkan hasil kontrol yang dilakukan secara langsung antara
peneliti dan responden pada saat jadwal hemodialisis, responden mersa
senang saat mengaplikasikan expressive writing therapy di kehidupan
sehari-hari, responden juga mampu merasakan perubahan dalam
mengendalikan stres dengan cara menjalani dan menerima apa yang
terjadi tanpa melakukan penilaian dan melibatkan masa lalu dan masa
depan dengan rasa penerimaan.

3. Pengaruh Expressive Writing Therapy Terhadap Penurunan Tingkat Stres


Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di
RSUD Undata
Berdasarkan hasil pengujian paired sample t-test pada 10
responden sebelum dan sesudah dilakukan expressive writing therapy
diperoleh hasil (p value = 0,000 < a = 0.05). Nilai p value lebih kecil
dari 0,05 maka dapat dikatakan secara statistik ada pengaruh expressive
writing therapy terhadap penurunan tingkat stres pada pasien yang
menjalani hemodialisis di RSUD Undata.
Peneliti berasumsi, bahwa stres yang dialami pasien penderita
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis mengalami
penurunan setelah melakukan expressive writing therapy selama 2
minggu. Terjadinya penurunan tingkat stres pada pasien penderita
44

penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis ini dikarenakan


pasien sudah mampu mengatasi stres dan melakukan mekanisme koping
yang baik. Pada hasil penelitian ini terdapat perbedaan skor yang
berbeda-beda pada masing-masing responden, hal ini disebabkan oleh
mekanisme koping dan pola pikir individu yang berbeda-beda, individu
yang selalu berpikir rasional mampu mengendalikan situasi dan
cenderung mengalami resiko stres yang kecil, sebaliknya individu yang
tidak dapat mengendalikan situasi semakin besar kemungkinan stres yang
dialami. Tidak hanya pola pikir namun ada juga kepribadian dan
kepercayaan seseorang. Kepribadian seorang individu atau pasien
penyakit ginjal kronik dapat menentukan tingkat toleransinya terhadap
stres, salah satu contoh tipe kepribadian adalah introvert dan extrovert,
seseorang yang mempunyai kepribadian introvert cenderung mudah stres
karena mempunyai sifat yang pemalu, tidak banyak bicara dan tertutup,
sedangkan seseorang yang mempunyai kepribadian extrovert tidak mudah
stres karena mempunyai sifat yang senang bersosialisasi dan terbuka.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Suprihatiningsinh
(2021) tentang Hubungan Mekanisme Koping Dan Dukungan Keluarga
Dengan Tingkat Stres Pada Pasien Hemodialisis menyatakan bahwa ada 2
faktor yang mempengaruhi mekanisme koping pada pasien penyakit
ginjal kronik yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah faktor yang berasal dari dalam diri meliputi umur, kepribadian,
intelegansi, pendidikan, nilai kepercayaan, dan budaya, sedangkan faktor
eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri meliputi dukungan
sosial, lingkungan, ekonomi, serta penyakit yang dialami32.
Menurut Dimitru (dalam Azizah 2016) menjelaskan bahwa
individu dengan orientasi kepribadian introvert yang mempunyai sifat
tingkat empati yang rendah, tidak suka bergaul, orientasi kerja yang
rendah, dan tingkat kemandirian yang rendah lebih rentan mengalami
stres dibandingkan dengan orientasi kepribadian ekstrovert yang mudah
bergaul dan terbuka33.
45

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Respati (2019)


menyatakan bahwa expressive writing therapy mampu mengurangi stres
fisiologis yang dialami seseorang, hal ini dikarenakan terapi yang
diberikan membantu individu mengembangkan pemahaman yang lebih
positif dan rasional tentang pikiran, perasaan, dan melepaskan tekanan-
tekanan dalam diri seseorang sehingga mampu mengembangkan strategi
koping yang lebih baik31. Oleh karena itu expressive writing therapy
menjadi pilihan yang tepat untuk media penyembuhan dan peningkatan
kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, hingga stres yang terus
menerus menganggu karena dari terapi ini dapat memberikan efek
terapiutik pada emosional seseorang serta memfasilitasi untuk melakukan
menuangkan rasa emosional.
Intervensi yang dilakukan perawat di unit hemodialisis RSUD
Undata dalam mengatasi stres pada pasien yang menjalani hemodialisis
salah satunya yaitu dengan cara komunikasi terapiutik terhadap pasien
sebelum menjalasi proses hemodialisis, dengan melakukan dan
menanyakan kondisi dan perasaan yang dirasakan pasien, serta
mendampingi pasien ketika pasien tidak didampingi oleh keluarga saat
melakukan hemodialisis. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
pengembangan ilmu dalam asuhan keperawatan, dan digunakan sebagai
terapi non farmakologi atau terapi psikologis untuk mengatasi stres,
kecemasan, hingga depresi yang terjadi pada setiap individu terutama
pada pasien yang menderita penyakit kronis.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Undata Kota
Palu mengenai Pengaruh Expressive Writing Therapy Terhadap Penurunan
Tingkat Stres Pada Pasien Penyekit Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisis Di RSUD Undata, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Tingkat stres pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
Di RSUD Undata sebelum diberikan expressive writing therapy dengan
presentase 30% mengalami stres berat, 40% mengalami stres sedang, dan
30% mengalami stres ringan.
2. Tingkat stres pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
Di RSUD Undata setelah diberikan expressive writing therapy mengalami
penurunan tingkat stres dengan presentase 20% mengalami stres sedang,
30% mengalami stres sringan, dan 50% kategori stres normal
3. Ada pengaruh expressive writing therapy terhadap penurunan tingkat
stres pada pasien penyekit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di
RSUD Undata

B. Saran
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam
mengembangkan ilmu tentang expressive writing therapy terhadap
keperawatan jiwa sebagai solusi terapi psikologis dalam penurunan stres.
2. Bagi Masyarakat
Disarankan bagi masyarakat agar dapat memberi dukungan
terhadap pemahaman expressive writing therapy agar dapat membantu
meminimalisir kejadian stres pada setiap individu maupun keluarga
3. Bagi Instansi Tempat Meneliti
Penelitian ini membuktikan bahwa expressive writing therapy
mampu menurunkan stres pada pasien penyakit ginjal kronik yang

46
47

menjalani hemodialisis Di RSUD Undata, oleh karena itu tekhnik


relaksasi ini dapat dijadikan intervensi nonfarmakologis dalam
menurunkan stres pada pasien.
48

DAFTAR PUSTAKA

1. Rohim, A. & Fransiska, S. S. Hubungan Frekuensi Hemodialisis Dengan


Tingkat Stres Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisis Di RSUD 45 Kuningan. (2019).

2. H, R. R., Munawaroh, S. & Mashudi, S. Respon Stres Pasien Gagal Ginjal


Kronik Yang Menjalani Hemodialisa. Heal. Sci. J. 3, 78 (2019).

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riset


Kesehatan Dasar 2018. Kementerian Kesehatan RI (2018).

4. Rahayu, F., Ramlis, R. & Fernando, T. Hubungan Frekuensi Hemodialisis


Dengan Tingkat Stres Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisis. J. Keperawatan Silampari 1, (2018).

5. Saputra, A. H. Hubungann Lama Menjalani Hemodialisis Dengan Stres


Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Di RSUP DR. M. Djamil Padang.
(Universitas Andalas, 2019).

6. Harahap, S. A. J., Yustina, I. & Ardinata, D. FAKTOR-FAKTOR YANG


BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN
HEMODIALISIS DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN. Idea Nurs. J. 6, 1–9
(2015).

7. Rahmawati, M. N., Rohaedi, S. & Sumartini, S. Tingkat Stres Dan


Indikator Stres Pada Remaja Yang Melakukan Pernikahan Dini. J.
Pendidik. Keperawatan Indones. 5, 25–33 (2019).

8. Oktaviana, N., Juwita, V., Donna, P., Helpin & Onangeego. Hubungan
Frekuensi Hemodialisis Dengan Tingkat Stres Pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di Rumah Sakit Royal Prima Medan
49

Tahun 2019. J. Ilm. PANNMED 13, 182–189 (2019).

9. Danarti, N. K., Sugiarto, A. & Sunarko. Pengaruh Expressive Writing


Therapy Terhadap Penurunan Depresi, Cemas, dan Stres. J. Ilmu
Keperawatan Jiwa 1, 48–61 (2018).

10. Saputri, R. O., Prabowo, A. & Wijayanti. Pengaruh Terapi Menulis


ekspresif Terhadap Penurunan Stress Pada Remaja. J. Diii Keperawatan Its
Pku (2019).

11. Krisbyanto, R., Donsu, J. D. T. & Mendri, N. K. Gambaran Kepatuhan Diet


Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Unit Hemodialisa Rsud Panembahan
Senopati Bantul. Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 8 (2019).

12. Hadrianti, D., Yarlitasari, D. & Ruslinawati. Pengalaman Menjalani


Hemodialisis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Rs Banjarmasin. 2-Trik
Tunas-Tunas Ris. Kesehat. 8, 82–89 (2018).

13. PERNEFRI. 11th Report Of Indonesian Renal Registry 2018. indonesia


https://www.indonesianrenalregistry.org/data/IRR 2018.pdf (2018).

14. Widyawati, R. Lama Waktu Menahan Rasa Haus Setelah Berkumur


Dengan Obat Kumur Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Di Rs
Roemani Muhammadiyah Semarang. vol. 52 (2017).

15. Haryanti, I. A. P. & Nisa, K. Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti


Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik. Majority 4, 49–
54 (2015).

16. Novitasari, A. C. D. D. Kepatuhan Pembatasan Asupan Cairan Terhadap


Lama Menjalani. J. Prodi Keperawatan Univ. Aisyiyah Yogyakarta 8, 104–
112 (2014).

17. Sunarianto, A. G., Wulandari, N. A. & Darmawan, A. Penurunan


Hemoglobin pada Penyakit Ginjal Kronik Setelah Hemodialisis di RSU
“KH” Batu. J. Ners dan Kebidanan (Journal Ners Midwifery) 6, 211–217
(2019).
50

18. Sunaryo. Psikologi Keperawatan. (EGC, 2013).

19. Yuninda, N. Pengaruh Teknik Mindfulness Terhadap Penurunan Stres Pada


Siswa Kelas X SMAN 7 Palu. (STIKes Widya Nusantara Palu, 2020).

20. WHO, W. H. O. Ohio State University school of public health. (Med J


Aust, 2013).

21. Rasmun. Stres Koping dan Adaptasi. (CV. Sagung Seto, 2014).

22. Priyoto. Konsep Manajemen Stres. (Nuha Medika, 2014).

23. Hawari. Manajemen Stres. (FKUI, 2011).

24. Sundari, Y. Pengaruh Expressive Writing Terhadap Stres Pada Mahasiswa


Perantauan Universitas Sumatera Utara. (Universitas Sumatera Utara,
2020).

25. Muhtahidi, R. L. Expressive Writing Untuk Menurunkan Stres Akademik


Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama (Smp) Full Day School.
(University of Muhammadiyah Malang.).

26. Nursalam. Proses dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu


Keperawatan. (Salemba Medika, 2011).

27. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R & D. (Alfabeta, 2016).

28. Dahlan. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan ; Deskriptif, Bivariat,


dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi Dengan Menggunakan SPSS.
(Salemba Medika, 2013).

29. Nurlinawati, N., Rudini, D. & Yuliana, Y. Hubungan Tingkat Kecemasan


Dengan Hemodinamik Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisa. J. Karya Abdi Masy. 3, 100–111 (2019).

Anda mungkin juga menyukai