PENDAHULUAN
Menurut world health organization (WHO) tahun 2018 menyatakan lebih dari 500
juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik dan sekitar 1,5 juta jiwa
diantaranya harus menjalani terapi hemodialisa semasa hidupnya. Angka kejadian
yang terus menerus mengalami peningkatan sebesar 8% setiap tahunnya menjadikan
gagal ginjal kronik menempati angka kematian tertinggi ke dua puluh di dunia
(Syailla, 2023). Prevalensi angka gagal ginjal kronik secara global terjadi kenaikan
lebih dari 10% dari populasi umum di seluruh dunia dengan jumlah penderita sebesar
843,6 juta jiwa (Kovesdy, 2022). Di kawasan Asia juga memperkirakan Jumlah
penderita gagal ginjal kronik mengalami kenaikan yaitu 434,3 juta orang dewasa
yang mengalami gagal ginjal kronik (Liyanage et al., 2022).
Menurut kementerian kesehatan (kemenkes) di indonesia penyakit ginjal kronik
menjadi penyebab kematian ke 10 dengan jumlah kematian lebih dari 42 ribu
pertahun. Berdasarkan data yang diperoleh terjadi peningkatan yang terus menerus
pada penderita GGK dari tahun 2018 sampai 2020. Data tersebut menunjukkan
1.602.059 penduduk Indonesia menderita gagal ginjal kronik dan angka ini akan
diperkirakan akan terus meningkat (Riskesdas, 2020).
Prevalensi kejadian gagal ginjal kronik di provinsi jawa tengah sebagai kasus baru
penyakit tidak menular yang menempati urutan ke Sembilan dengan presentasi 0,3%
(Dinkes Jawa Tengah, 2020). Di wilayah jawa tengah khususnya daerah kabupaten
tegal tepatnya di rumah sakit mitra siaga tegal data yang di dapatkan adalah tercatat
pada tahun 2021 sebanyak 5.212 pasien, tahun 2022 sebanyak 5.550 pasien dan tahun
2023 tercatat sampai bulan November sebanyak 5.232. Dari data yang telah tercatat
terdapat peningkatan penderita gagal ginjal kronik setiap tahunnya.
Ketidakefektifan penderita dalam menjaga berat badan karena tidak membatasi cairan
mengakibatkan peningkatan berat badan melebihi berat badan normal. IDWG
digunakan sebagai indikator berat badan kering untuk mengevaluasi cairan yang
masuk. Kegagalan yang mengakibatkan terapi hemodialisa tidak efektif berupa
kepatuhan penderita, kepatuhan bisa menjadi masalah yang sering dialami oleh
penderita hemodialisa yang akan berdampak terhadap perawatan serta pembatasan
makanan dan cairan. Terapi hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu atau bahkan satu
bulan sekali dengan lama durasi setiap kali hemodialisa 3-5 jam,yang artinya pasien
hemodialisa yang menjalani terapi akan mengalami penumpukan cairan dalam tubuh
pada waktu 2x terapi. Hemodialisa yang tidak terukur waktu untuk tingkat
kesembuhannya akan menurunkan semangat hidup pasien, hal itu bisa mempengaruhi
kepatuhan pasien (Ayu, 2019). Kemampuan penderita mempertahankan IDWG yang
normal dipengaruhi oleh kepatuhan pasien mempertahankan berat badan dalam
pembatasan cairan oleh karena itu pembatasan cairan menjadi salah satu faktor yang
dapat mempengaruhinya. Dampak terhadap tidak melakukan pembatasan cairan
berupa kenaikan berat badan ketika menjelang HD yang tidak terkontrol. (Andriati
dan Rohimi., 2016, dalam Bayhakki & Hasneli, 2017).
Karmiyati Novia, Diana Irawati, Iyar Siswandi (2021) dengan judul hubungan nilai
interdialitic weight gain (idwg) dan kepatuhan pembatasan diet terhadap terjadinya
restless legs syndrome (RLS) pada pasien yang menjalani hemodialisa. penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui nilai IDWG dan kepatuhan diet yang dilakukan pasien.
Metode yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan teknik secara total
sampling, dengan hasil penelitiannya bahwa nilai IDWG dan kepatuhan pembatasan
diet tidak patuh mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kejadian RLS pada pasien
yang menjalani hemodialisa.