Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Keperawatan Silampari

Volume 2, Nomor 1, Desember 2018


e-ISSN : 2581-1975
p-ISSN : 2597-7482
DOI: https://doi.org/10.31539/jks.v2i1.320

STATUS NUTRISI PASIEN HEMODIALISA


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

Yusnaini Siagian
Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKES Hang Tuah Tanjung Pinang
nersyusie81@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui asupan nutrisi pasien hemodialisa di
Rumah Sakit Umum Daerah DR. Pirngadi Medan. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menemukan
karakteristik responden mayoritas berusia 45-54 tahun yaitu sebanyak 37 orang (40,2%),
berjenis kelamin laki-laki yaitu 48 orang (52,2%), pendidikan terakhir terbanyak SMA
yaitu 42 orang (45,7%) dan sudah tidak bekerja lagi sebanyak 73 orang (79,3%).
Mayoritas responden dengan status menikah yaitu 70 orang (76,1%), mayoritas
responden sudah menjalani hemodialisa > 3 tahun yaitu 48 orang (52,2%) dan mayoritas
penyakit penyebab responden menjalani hemodialisa adalah hipertensi yaitu 52 orang
(56,5%). Asupan nutrisi responden kurang lebih banyak dari asupan nutrisi yang baik
yaitu 64 orang (69,6%). Simpulan, pasien hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah
DR. Pirngadi Medan mengalami gangguan status nutrisi sehingga membuat mereka
berisiko mengalami komplikasi akibat kekurangan nutrisi yang dapat menurunkan
kualitas hidupnya.

Kata Kunci : Hemodialisa, Pasien, Status Nutrisi

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the nutritional intake of hemodialysis
patients at the Regional General Hospital of DR. Pirngadi Medan. This research is a
quantitative study using descriptive methods. The results of this study found the
characteristics of the majority of respondents aged 45-54 years as many as 37 people
(40.2%), male sex that is 48 people (52.2%), the highest education level was 42 people
(45.7%) ) and no longer work as many as 73 people (79.3%). The majority of
respondents with married status are 70 people (76.1%), the majority of respondents
have undergone hemodialysis> 3 years which is 48 people (52.2%) and the majority of
illnesses that cause respondents to undergo hemodialysis are hypertension namely 52
people (56.5%) . The nutritional intake of respondents more or less than good
nutritional intake of 64 people (69.6%). Conclusions, hemodialysis patients at the
Regional General Hospital Dr. Pirngadi Medan experiences nutritional status
disturbances, making them at risk of complications due to nutritional deficiencies that
can reduce their quality of life.

Keywords: Hemodialysis, Patients, Nutrition Status

300
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

PENDAHULUAN
Ginjal merupakan organ tubuh yang sangat penting dalam sistem ekskresi dan
sekresi, apabila ginjal gagal melaksanakan fungsinya, maka akan terjadi kerusakan pada
pembulu ginjal sehingga ginjal tidak bisa mempertahakan keseimbangan cairan dan zat-
zat kimia di dalam tubuh. Zat kimia akan masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan
penyakit gagal ginjal (Yanti, Anggraini, 2016). Penyakit gagal ginjal adalah salah satu
penyakit yang tidak menular pada orang lain. Gagal ginjal merupakan suatu penyakit
sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius
dan ginjal yang dapat terjadi secara kronis. Gagal ginjal yang terjadi secara menahun
akan menyebabkan penyakit gagal ginjal kronik (Sandra, dkk 2012; Winaryanti, 2017).
Jumlah pasien yang dirawat karena menderita gagal ginjal kronik secara global
diperkirakan sebanyak 3.010.000 orang pada tahun 2012 (ESRD, 2012). Dan di
Amerika pada tahun 2012 jumlah pasien GGK sebanyak 114.814 orang dan sebanyak
102.277 pasien GGK yang menjalani hemodialisis (USRD, 2014). Indonesia termasuk
negara dengan tingkat penderita GGK yang cukup tinggi. Menurut Indonesia Renal
Registry (IRR) pada tahun 2011 di Indonesia terdapat 15.353 pasien yang baru
menjalani hemodialisis (HD) dan terjadi peningkatan sebanyak 4.268 pasien di tahun
2012. Secara keseluruhan terdapat terdapat 19.621 pasien yang baru menjalani HD.
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik berdasarkan yang pernah didiagnosis dokter di
Indonesia sebesar 0,2% (Kemenkes RI, 2013). Riset kesehatan Daerah Istimewa
Yogyakarta pada tahun 2013 menyebutkan bahwa prevalensi penyakit gagal ginjal
kronik di daerah kulon progo sebesar 0,3%.
Penyakit gagal ginjal kronis adalah penyakit yang disebabkan karena kerusakan
fungsi ginjal secaraterus menerus dan tidak dapat diubah, sehingga tubuh tidak mampu
mempertahankan metabolisme tubuh terutama menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit yang akhirnya pasien mengalami uremia (Smeltzer, Bare, 2010). Penyakit
gagal ginjal kronis merupakan kegagalan ginjal membuang racun dan produk sisa darah
yang mengakibatkan ditemukan protein dalam urin dan terjadi penurunan laju filtrasi
glomerulus yang dapat dialami diatas 3 bulan (Black, Hawks, 2009). Penderita gagal
ginjal kronik mengalami kerusakan ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali
sehingga tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal dalam
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat terjadinya
peningkatan ureum (Anggraini, 2015).
Penderita gagal ginjal kronis di dunia semakin meningkat, data dari Indonesian
Renal Registry tahun 2012 penderita gagal ginjal kronik cukup tinggi termasuk
Indonesia, dilaporkan jumlah pasien baru tahun 2007 sampai 2012 mencapai 19.621
orang dan pasien aktif 9.161 orang. Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD DR.
Pirngadi Medan pada bulan Januari 2015 tercatat sebanyak 156 pasien, bulan Februari
2015 sebanyak 157 pasien, bulan Mei 2015 sebanyak 153 pasien dan bulan Maret 2016
tercatat 136 pasien yang rutin menjalani hemodialisa.
Bagi penderita gagal ginjal kronis, cuci darah atau hemodialisa adalah terapi
pengganti ginjal yang banyak dipilih penderita gagal ginjal kronis tetapi tidak
menghilangkan penyakitnya. Banyak dari pasien hemodialisa dalam menjalani program
rejimen pengobatan yang komplek, mengalami kesulitan untuk mengelola cairan dan
pembatasan diet yang mengakibatkan tingginya resiko kematian serta peningkatan biaya
pelayanan kesehatan (Cristovao, 2015). Tindakan hemodialisa dilakukan untuk
mengeluarkan zat-zat toksin, cairan yang berlebihan dan zat gizi yang sebenarnya masih
dibutuhkan tubuh. Oleh karena itu penderita gagal ginjal kronis yang mengikuti terapi

301
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

hemodialisa mudah mengalami malnutrisi. Malnutrisi merupakan kondisi yang dapat


mengakibatkan morbiditas dan mortalitas pada penderita gagal ginjal kronis yang
mengikuti hemodialisa selain kelebihan cairan. Sejalan dengan penelitian Al Saedy, A. J.
H., & Al Kahichy, H. R. A. (2011) menyatakan pasien hemodialisa sering gagal
mengikuti diet dan mengelola cairan sehingga mengurangi efektivitas perawatan dan
menyebabkan perkembangan penyakit tidak terduga dan kemungkinan besar terjadi
komplikasi.
Asupan cairan yang berlebihan pada pasien gagal ginjal kronis yang mengikuti
hemodialisa bisa terjadi selain asupan cairan yang tidak terkontrol dapat juga dari
makanan yang tinggi kadar air, oleh karena itu keseluruhan diet pasien yang menjalani
hemodialisa harus dikontrol (Welch, Perkins, Johnson, & Kraus, 2006). Dari studi
pendahuluan yang dilakukan Handayani tahun 2011 di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) DR. Pirngadi Medan ditemukan 15% pasien hemodialisa datang menjalani
hemodialisa lebih awal dari jadwal yang ada, 20% pasien datang dengan kondisi sesak,
30% pasien dengan keadaan kekurangan gizi, 40% pasien menderita asupan cairan
tidak terkontrol, 50% mengalami penambahan berat badan interdialisis yang berlebihan.
Sedangkan hasil penelitian Situmorang (2010) di RSUD DR. Pirngadi Medan
didapatkan data pola, jenis, jumlah dan frekuensi makan pasien yang menjalani
hemodialisa kurang baik sehingga asupan energi, kalium, natrium dan proteinnya secara
umum kurang baik. Pemasukan cairan juga mayoritas berlebihan.
Penelitian Azar et al, 2007 di Kairo melaporkan bahwa 20-60% pasien yang
menjalani hemodialisa menderita malnutrisi. Sejalan dengan penelitian Al Makarem,
2004 di rumah sakit Riyadh Al Kharj tahun 2004 menyatakan terdapat 45% pasien yang
memiliki BMI <23,6 yang beresiko meningkatkan angka kematian. Bahkan menurut
Locatelli et al, (2002) konsensus Eropa juga mengatakan ada hubungan yang erat antara
malnutrisi dengan kormobiditas dan inflamasi pada pasien dialisa. Komplikasi
malnutrisi tersering pada pasien hemodialisis adalah malnutrisi energi protein (Galland
et al, 2001).
Diprediksi ada 50%-70% penderita dialisa mengalami tanda dan gejala malnutrisi.
Hal ini dibuktikan status nutrisi yang buruk pada saat penderita mulai memerlukan
tindakan dialysis yang dapat memicu meningkatnya kejadian mortalitas pada masa
dialisis. Tujuan dari pengaturan asupan makanan pada pasien hemodialisa adalah untuk
meningkatkan dan mempertahankan keadaan nutrisi tetap baik dengan selalu menjaga
asupan cairan dan elektrolit tetap seimbang serta meminimalkan terjadinya uremia.
Penderita hemodialisa dengan asupan protein yang kurang akan beresiko terjadinya
malnutrisi dan memiliki angka kesakitan dan kematian yang tinggi, hal ini yang akan
membutuhkan perhatian, edukasi serta bimbingan dilakukan secara berkelanjutan,
berkesinambungan dari dokter, perawat serta ahli gizi yang merawat (Al Saedy, A. J. H.,
& Al Kahichy, H. R. A, 2011).
Menurut Aness (2011) pasien hemodialisa selain mengalami gangguan fisik juga
mengalami perubahan konsep diri, psikososial, keuangan dan mengalami perubahan
peran dalam keluarga. Stres psikologis dan fisiologis utama yang dialami oleh pasien
dialisis adalah nyeri, pembatasan cairan dan nutrisi, gatal, ketidaknyamanan,
keterbatasan dalam aktivitas fisik, kelelahan, kelemahan, biaya perawatan, perasaan
tidak mampu dan suasana hati yang negatif (Welch, Austin, 2001). Bahkan hasil
penelitian Christos (2012) melaporkan hampir semua partisipan yang mengatakan
berhenti bekerja karena merasa terlalu lelah dan lemah sehingga tidak mampu untuk
bekerja dengan baik yang akhirnya berdampak terhadap biaya kehidupan sehari-hari.

302
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

Pembatasan asupan cairan serta makanan pada pasien hemodialisa sering


menghilangkan semangat hidup pasien serta keluarganya sehingga dapat mempengaruhi
pada kehidupan sosial, fisik, psikologis, ekonomi, lingkungan dan spiritual pasien.
Pasien hemodialisa memerlukan perawatan secara terus menerus. Perawatan dalam
kehidupan sehari-hari adalah tanggung jawab klien. Menurut Orem (1995) Pasien
dialisa mempunyai kemampuan alami dalam perawatan diri (self care) sehari-hari, dan
perawat harus memfokuskan pada kemampuan yang dimiliki tersebut (Simmons, 2009).
Agar pasien mampu melakukan perawatan diri sehari-hari khususnya dalam mengatur
nutrisi yang sesuai dengan kondisi pasien, perawat harus menjelaskan dan mengajarkan
pada pasien tentang nutrisi yang tepat dan sesuai dengan pasien yang menjalani
hemodialisa. Untuk mengevaluasi hal tersebut perawat melakukan pemeriksaan status
nutrisinya secara berkesinambungan selama pasien menjalani terapi hemodialisa dan
mengukur kualitas hidup pasien tersebut.

METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan
metode deskriptif dengan tujuan penelitian untuk melihat status nutrisi responden yang
menjalani hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. Data diambil pada penelitian
yaitu meliputi data demografi dan status nutrisi pasien hemodialisa. Adapun prosedur
penelitian yang dilakukan meliputi dua tahapan yakni tahap pertama prosedur
administratif yaitu mengajukan surat permohonan ijin pengambilan data ke Rumah
Sakit tempat penelitian akan dilakukan. Selanjutnya, peneliti mengajukan surat lulus uji
etik (ethical clearance) kepada lembaga etik kesehatan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara Medan. Setelah surat permohonan ijin pengambilan data
dan lulus uji etik dikeluarkan, peneliti memasukkan surat permohonan ijin untuk
mengambil data penelitian kepada Direktur RSUD DR. Pirngadi Medan. Setelah surat
ijin penelitian dikeluarkan, selanjutnya peneliti meminta ijin kepada kepala ruangan unit
hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan serta menjelaskan tujuan dan membuat
kontrak kerja terhadap lamanya penelitian dilakukan.
Tahap kedua adalah prosedur pelaksanaan penelitian yaitu dimulai dari
mengidentifikasi seluruh populasi kemudian responden ditentukan sesuai kriteria
inklusi. Responden yang terpilih diberikan penjelasan tentang tujuan penelitian dan
menandatangani informed consent. Selanjutnya pada hari pertama penelitian peneliti
melakukan pendekatan dengan mengikuti jadwal hemodialisa pertama responden dalam
minggu tersebut yaitu hari senin, selasa, rabu kemudian peneliti melakukan wawancara
untuk mengisi kuesioner data demografi dan data status nutrisi responden 24 jam
terakhir. Pada jadwal hemodialisa berikutnya (disesuaikan dengan jadwal responden
yaitu kamis, jum’at, sabtu) peneliti kembali melakukan wawancara untuk mengisi data
status nutrisi selama 24 jam terakhir.
Purposive sampling merupakan tehnik pengambilan sampel yang dipilih untuk
penelitian ini. Dengan tehnik ini berarti sampel atau responden yang dipilih berdasarkan
pertimbangan peneliti sendiri yang diambil dari total populasi yang ada.
Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria inklusi yaitu : 1) bersedia menjadi
responden, 2) berusia 18 tahun, 3) menjalani hemodialisa secara rutin 2 kali dalam
seminggu, 4) kesadaran compos mentis, 5) sudah menjalani hemodialisa lebih dari 3
bulan, 6) mampu berbicara dengan baik, 7) mampu berbahasa Indonesia, 8) pasien yang
tidak mengalami gangguan kognitif.

303
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

Sedangkan kriteria eksklusinya adalah: 1) mengalami gangguan kesadaran atau


komplikasi selama penelitian, 2) usia pasien kurang dari 18 tahun dan lebih dari 60
tahun, 3) pasien yang selama penelitian pindah Rumah Sakit.
Penentuan banyak responden dalam penelitian ditentukan berdasarkan rumus
analitik korelatif (Lameshow, 1997). Besar sampel minimal yang dibutuhkan dengan
kesalahan tipe I sebesar 5%, kesalahan tipe II 10% sehingga di dapatkan banyak
responden 92 orang.
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua bagian yaitu
kuesioner data demografi dan lembar food recall 24 jam. Menurut Wahlqvist (2011)
recall 24 jam dilakukan dengan mewawancarai responden tentang makanan yang
dimakan 24 jam terakhir dan berapa banyaknya dalam ukuran rumah tangga, kemudian
energi yang terkandung dalam makanan dan energi yang diasupnya dihitung. Sebaiknya
recall 24 jam ini tidak dilakukan hanya 1 kali karena akan menghasilkan data yang
kurang mewakili untuk menggambarkan kebiasaan makan individu tetapi dilakukan
berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut.
Hasil dari food recall 24 jam akan di analisis menggunakan program nutrisurvey.
Nutrisurvey adalah program yang dapat mengidentifikasi kandungan zat gizi yang ada
dalam makanan, menentukan kebutuhan zat gizi berdasarkan umur, jenis kelamin dan
aktifitas fisik. Selain itu program ini juga dapat membantu menentuan status gizi secara
individual berdasarkan umur, berat badan, dan tinggi badan.
Keunggulan dari nutrisurvey adalah program ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi zat gizi yang terdapat dalam makanan dan/atau resep makanan, dapat
menentukan kebutuhan zat gizi individu berdasarkan umur, jenis kelamin dan aktivitas
fisik serta dapat menyusun kuesioner survei gizi.
Analisa statistik untuk satu variabel (univariat) menggunakan jenis statistik
deskriptif merupakan analisa data yang digunakan dalam penelitian.

HASIL PENELITIAN

Tabel. 1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Unit Hemodialisa (n=92)

No Karakteristik Responden f %
1 Usia
18-24 tahun 2 2,2
25-34 tahun 9 9,8
35-44 tahun 14 15,2
45-54 tahun 37 40,2
55-64 tahun 26 28,3
65-74 tahun 4 4,3
2 Jenis Kelamin
Pria 48 52,2
Wanita 44 47,8
3 Pendidikan
Tidak sekolah 1 1,1
SD 13 14,1
SMP 13 14,1
SMA 42 45,7
Diploma 6 6,5
S1/Sarjana 17 18,5

304
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

4 Pekerjaan
Tidak bekerja 73 79,3
Bekerja 19 20,7
5 Status pernikahan
Belum menikah 8 8,7
Menikah 70 76,1
Janda 11 12,0
Duda 3 3,3
6 Lama Menjalani Hemodialisa
3 bulan- 1 tahun 11 12,0
> 1 tahun- 3 tahun 33 35,9
> 3 tahun 48 52,2
5 Penyakit penyebab Hemodialisa
Hipertensi nefropati 52 56,5
Diabetik nefropati 22 23,9
Glomerulonefritis cronik 5 5,4
Penyakit ginjal obstruksi infeksi 13 14,1

Berdasarkan frekuensi dan presentase usia dari 92 responden, didapatkan usia


responden 18-24 tahun ada 2 responden (2,2%), umur 25-34 tahun ada 9 responden
(9%), umur 35-44 tahun ada 14 responden (15,2%), umur 45-54 tahun ada 37 responden
(40,2%), umur 55-64 tahun ada 26 responden (28,3%) dan umur 65-74 tahun ada 4
responden (4,3%).
Berdasarkan hasil penelitian maka frekuensi dan presentase jenis kelamin dari 92
responden, diperoleh jenis kelamin responden pria ada 48 responden (52,2%) dan
wanita ada 44 responden (47,8%).
Berdasarkan hasil penelitian maka frekuensi dan presentase pendidikan terakhir
dari 92 responden, diperoleh data responden tidak sekolah sebanyak 1 orang (1,1%), SD
sebanyak 13 orang (14,1%), SMP sebanyak 13 orang (14,1%), SMA sebanyak 42 orang
(45,7%), Diploma sebanyak 6 orang (6,5%) dan Sarjana sebanyak 17 orang (18,5%).
Berdasarkan hasil penelitian maka frekuensi dan presentase pekerjaan dari 92
responden, diperoleh data mayoritas responden sudah tidak mampu bekerja lagiada 73
responden (79,3%) dan ada 19 responden (20,7%) yang masih bekerja.
Berdasarkan hasil penelitian maka frekuensi dan presentase status pernikahan dari
92 responden, didapatkankan data mayoritas responden sudah menikah sebanyak 70
orang (76,1%), belum menikah sebanyak 8 orang (8,7%), dan janda/duda sebanyak 14
orang (15,2%).
Berdasarkan hasil penelitian maka frekuensi dan presentase lama menjalani
hemodialisa dari 92 responden, didapatkan data sebagian besar responden sudah
menjalani hemodialisa selama > 3 tahun sebanyak 48 orang (52,2%), lebih dari 1-3
tahun sebanyak 33 orang (35,9%) dan kurang dari 1 tahun sebanyak 11 orang (12,0%).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, frekuensi dan presentase penyakit
penyebab responden menjalani hemodialisa sebagian besar adalah hipertensi nefropati
sebanyak 52 orang (56,5%), diabetes nefropati sebanyak 22 orang (23,9%),
glomerulonefritis cronik sebanyak 5 orang (5,4%) dan penyakit ginjal obstruksi infeksi
sebanyak 13 orang (14,01%).

305
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

Tabel. 2
Distribusi Frekuensi Status Nutrisi Pasien Hemodialisa (n=92)

Status Nutrisi F %
Baik 28 30,4
Kurang 64 69,6

Status nutrisi responden di RSUD DR. Pirngadi Medan hanya sebagian kecil yang
mempunyai status nutrisi baik yaitu 28 orang (30,3%) dan mayoritas status nutrisi
kurang yaitu 64 orang (69,6%).

PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan gambaran umum status nutrisi responden
mayoritas kurang. Responden dalam penelitian ini mayoritas memiliki asupan gizi yang
tidak adekut/tidak mencukupi. Sesuai dengan penelitian Sulistyowati (2009) terhadap 26
pasien hemodialisa di RSUP Dr. Kariadi Semarang diperoleh hasil sebanyak 69,2 %
pasien beresiko mengalami gizi kurang. Bertolakbelakang dengan hasil penelitian
Wulandari (2015) yang menyatakan bahwa status gizi pada pasien hemodialisis di RS
PKU Muhammadiyah Unit II terbanyak dalam kategori baik sebanyak 52,2%.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Syaiful (2014) yang menunjukkan sebagian
besar penderita penyakit GGK yang menjalani hemodialisa di RS. DR. M. Djamil
Padang memiliki status gizi kurang. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
Kusumastuti (2015) menunjukan bahwa status gizi pasien GGK yang menjalani
hemodialisis di RSUD DR. Moewardi sebagian besar tidak baik. Penyebab gizi kurang
pada pasien yang menderita penyakit ginjal yang menjalani hemodialisa sebenarnya
sangat multifaktorial, diantaranya asupan makan yang kurang, hilangnya zat makanan
ke dalam cairan dialisat, inflamasi kronik, meningkatnya katabolisme, dan stimulus
katabolik dari pasien hemodialisa itu sendiri. Faktor yang menyebabkan rendahnya
asupan energi dan protein pada pasien PGK-HD adalah faktor sosial ekonomi (depresi,
stress, kurangnya pengetahuan, dan kemiskinan) atau karakteristik dari pasien itu sendiri
(Susetyowati, 2002).
Michael (1993) dalam Utama (2010) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap terjadinya kurang gizi pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi pengganti hemodialisis adalah; Asupan zat gizi kurang dan peningkatan
kehilangan zat gizi. Akibat kekurangan zat gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh
digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Apabila keadaan ini berlangsung lama, maka
simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemrosotan jaringan. Pada saat ini
orang sudah dapat diakatakan malnutrisi, walaupun baru hanya ditandai dengan
penurunan berat badan dan petumbuhan terhambat (Supariasa, 2014). Peningkatan
kehilangan zat gizi akan menyebabkan muculnya perubahan biokimia dan rendahnya
zat-zat gizi dalam darah, berupa : rendahnya tingkat hemoglobin, serum vitamin A dan
karoten. Dapat pula terjadi meningkatnya beberapa hasil metabolisme seperti asam
laktat dan piruvat pada kekurangan tiamin. Apabila keadaan itu berlangsung lama, maka
akan terjadi perubahan fungsi tubuh seperti tanda-tanda syaraf yaitu kelemahan, pusing
kelelahan, nafas pendek, dan lain-lain. Kebanyakan penderita malnutrisi sampai tahap
ini (Supariasa, 2014).
Rayner, Imai (2010) mengemukakan pasien hemodialisa rentan terhadap
kekurangan gizi disebabkan oleh katabolisme protein, nafsu makan kurang dan
ketidakdisiplinan menjalankan diet selain infeksi dan komorbid. Sesuai dengan hasil

306
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

penelitian beberapa responden mengatakan mengalami penurunan nafsu makan


sehingga frekuensi makannya tidak teratur. Selain itu kendala yang dihadapi responden
dalam pemenuhan nutrisi antara lain gangguan pencernaaan dan perubahan selera
makan. Salah satu faktor gizi kurang yaitu nafsu makan kurang, berimplikasi pada
rendahnya konsumsi makanan dimana pasien justru membutuhkan asupan energi
terutama protein yang cukup untuk mengatasi kekurangan zat gizi akibat proses
hemodialisa.
Hasil penelitian khairunnisa (2012) menyatakan berkurangnya nafsu makan pada
pasien hemodialisa kemungkinan disebabkan kurangnya kemampuan pasien beradaptasi
dengan penyakitnya. Adaptasi ini bisa bentuk penerimaan terhadap penyakit, kepatuhan
dalam menjalankan diet dan kemampuan pasien dalam menghadapi masalah terkait
penyakitnya. Sesuai dengan hasil penelitian Harahap (2015) menyatakan pembatasan
asupan nutrisi pada pasien gagal ginjal kronis yang tidak patuh sebanyak 67,7%.
Tingkat kepatuhan juga berhubungan dengan tingkat stress, sebagian besar responden
mengalami stress rendah sebanyak 55,2% dan stress berat sebanyak 44,8%.
Menurut Galland et al, (2001) komplikasi malnutrisi tersering pada pasien
hemodialisaadalah malnutrisi energi protein dan Stenvinkel P (2000) mengatakan pasien
hemodialisa juga mengalami penurunan berat badan, kehilangan simpanan energi
termasuk jaringan lemak dan protein tubuh juga albumin serum, transferin dan protein
viseral lainnya.
Gambaran keadaan gizi klien gagal ginjal kronis di unit Hemodialisis RSCM pada
tahun 1999 dari 73 pasien dijumpai keadaan gizi kurang berkisar 34–49 %, sedangkan
pada pasien peritonial dialisis pada tahun 1996, gizi kurang di RSCM dijumpai 31 %
dari 16 pasien. Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan Sulistyowati (2009)
terhadap 26 pasien hemodialisa di RSUP Dr. Kariadi Semarang diperoleh hasil
sebanyak 69,2 % pasien beresiko mengalami gizi kurang. Malaise dan fatique
merupakan keluhan yang banyak dialami pasien hemodialias yang diakibatkan dari
status nutrisi yang buruk. Selain itu pasien juga memiliki rehabilitasi jelek,
penyembuhan luka terganggu, kepekaan terhadap infeksi meningkat dan angka rawat
inap dan kematian juga meningkat.
Mayoritas responden dalam penelitian ini mengatakan makan dalam porsi dan
frekuensi makan yang baik dalam sehari tetapi belum sesuai dengan diet yang benar,
karena responden mengungkapkan menu sehari-hari yang dihidangkan lebih sering
protein baik protein hewani maupun protein nabati yang belum mengacu ke diet yang
benar. Agar dapat memenuhi kebutuhan diet tertentu keluarga terutama pasien harus
mampu melakukan perubahan mulai dari kebiasaan makan sampai pola perilakunya.
Makanan kesukaan juga harus pasien batasi bahkan harus dihindarkan untuk mencegah
terjadinya hiperkalemia dan hiperfosfatemia, tetapi akibat pembatasan asupan nutrisi
yang berlebihan seringkali pasien mengalami malnutrisi padahal ada zat gizi yang
seharusnya dipenuhi untuk meningkatkan status kesehatannya. Kondisi ini yang
membutuhkan edukasi yang berkesinambungan dari perawat atau tenaga kesehatan
terutama dalam pengaturan pola makan sebelum dan setelah menjalani hemodialisa.
Penatalaksanaan diet diperlukan penderita gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisa untuk memberikan asupan zat gizi yang cukup sekaligus memelihara sisa
fungsi ginjal agar kondisinya tidak semakin buruk dan mempertahankan homeostasis
selama mungkin. Pemberian diet yang tepat bagi pasien hemodialisis sangat diperlukan
sebagaimana tujuan dari diet gagal ginjal dengan hemodialisis itu sendiri (Instalasi Gizi
RSCM & Asosiasi Dietisien Indonesia, 2008). Status nutrisi dapat terlihat dari asupan

307
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

makanan yang dimakan pasien hemodialisa selama 24 jam terakhir yang terdiri dari
kandungan gizi yaitu kalori, protein, kalium, natrium, posphor dan kalsium. Asupan
kalori (energi) yang adekuat bertujuan agar protein tidak dipecah menjadi sumber energi
(NKF-K/DOQI, 2000). Sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar
asupan kalori responden kurang dan asupan protein lebih.
Penelitian Al Saedy, A. J. H., and Al Kahichy, H. R. A. tahun (2011) menemukan ada
39,5% subjek penelitian memiliki asupan kurang dan cukup, sedangkan 21 % subjek
penelitian memiliki asupan protein lebih. Rata-rata asupan protein subyek penelitian
sebesar 59,7 gram per hari dengan asupan terendah sebesar 38,6 gram dan asupan
tertinggi sebesar 88 gram. Asupan protein dari hasil wawancara sebagian besar
dikonsumsi subjek penelitian adalah daging ayam dan ikan. Tempe dan tahu adalah
asupan protein yang hampir dikonsumsi setiap hari.
Membangun masa tulang, tubuh memerlukan keseimbangan fosfor dan kalsium.
Kadar fosfor dapat meningkat karena gagal ginjal kronis. Kondisi ini dapat
menyebabkan penurunan kadar kalsium. Untuk mempertahankan aliran darah tetap
stabil, asupan kalsium diperoleh dari tulang sehingga kalsium dalam tulang menjadi
berkurang. Hal ini yang menyebabkan tulang mudah retak atau patah. Jumlah fosfor
yang dibutuhkan sehari 800-1.200 mg, sedangkan kalsium 1.000 mg. Agar dapat
menyeimbangkan jumlah keduanya, sebaiknya perhatikan kandungannya dalam bahan
makanan. Dalam darah, nilai normal phosphor: 2,5 - 4,5 mg/dl, sedangkan kalsium 8,4
- 10,2 mg/dl.
Phosphor adalah mineral yang dibutuhkan tubuh untuk tulang. Jika phosphor
berlebih dalam tubuh tidak dapat dibuang bila ginjal tidak berfungsi baik. Kadar
kalsium di tulang dapat menurun karena phosphor yang tinggi yang akhirnyadilepaskan
ke darah, sehingga kadar kalsium dalam darah tinggi. Hal ini menyebabkan tulang
rapuh, gatal2, tulang nyeri dan mata merah pada pasien hemodialisa. Dalam penelitian
ini hanya sebagian kecil asupan protein responden kurang dikarenakan sebagian besar
responden mengonsumsi putih telur ayam kurang lebih 6 butir dalam sehari dan susu
nefrisol setiap hari meskipun rasa susu tersebut tidak enak menurut responden. Namun
mereka tetap berusaha mengonsumsinya demi terpenuhinya kebutuhan nutrisinya
terutama protein. Selain itu dari hasil wawancara tentang asupan makan menggunakan
form food recall 24 jam mayoritas protein yang di konumsi responden adalah daging
ayam, ikan dan ikan teri. Makanan yang mengandung protein yang hampir dikonsumsi
setiap hari adalah ikan teri, susu dan putih telur ayam. Ada responden yang setiap
makan harus pakai lauk udang kering untuk menambah nafsu makannya. Sumber
phosphor yang tinggi pada makanan adalah makanan yang tinggi protein.
Fungsi protein bagi tubuh adalah membangun jaringan tubuh, seperti tulang, otot,
kulit, dan rambut. Selain itu protein juga membantu tubuh melawan infeksi, menjaga
kadar albumin darah tetap stabil, mempertahankan keseimbangan nitrogen, dan
mengganti asam amino yang hilang saat dialisis. Kebutuhan protein bisa diperoleh dari
hewani dan nabati. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, kedua jenis protein
tersebut harus dikonsumsi secara seimbang tiap hari. Asupan protein per hari yang
dianjurkan adalah 1-1,5 g/kg berat badan (BB) ideal. Kebutuhan kalori (energi) per hari
sekitar 35 kkal/kg BB. Makanan yang mengandung tinggi kalori adalah mentega, nasi,
lontong, mie, bihun, dan makanan yang digoreng. Kebutuhan lemak per hari adalah 10-
25% dari total kebutuhan energi. Lemak yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah
lemak tak jenuh, seperti minyak nabati, minyak jagung, dan minyak zaitun.

308
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

Kebutuhan karbohidrat yang dianjurkan 60-75% dari total kebutuhan energi.


Makanan yang mengandung karbohidrat yaitu nasi, mie, bihun, jagung, kentang, dan
roti. Untuk memenuhi kebutuhan protein pasien gagal ginjal kronis yang mengikuti
hemodialisa, NKF-K/DOQ juga merekomendasikan protein dengan nilai biologis tinggi,
yaitu protein yang memiliki kandungan asam amino mirip dengan protein yang ada pada
manusia sehingga bisa menggantikan 10 sampai 12 gram protein yang hilang tiap proses
hemodialisa. Protein dengan nilai biologis tinggi banyak terdapat dalam makanan yang
berasal dari hewan, misalnya: telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang, sedangkan
pada penelitian, asupan protein pada pasien yang menjalani HD sebagian besar adalah
protein berasal dari tumbuhan, seperti tahu dan tempe. Sehingga walaupun jumlah
proteinnya cukup, keadaan ini belum sesuai dengan apa yang direkomendasikan oleh
NKF-K/DOQI (Gibson, R. S, 1990).
Hasil food recall dalam penelitian ini asupan kalium lebih hanya sebanyak 3,3%
tetapi hasil laboratorium yang didapat yang mengalami kalium lebih 13,0%. Hasil food
recall di peroleh data asupan posphor lebih dan hasil laboratorium mayoritas asupan
posphor responden lebih. Sesuai dengan apa yang dikeluhkan mayoritas responden
mengalami gatal-gatal pada kulit dan sering merasa nyeri tulang dan suka keram
sehingga merasa nyaman jika diurut. Makanan yang mengandung tinggi posphor terlihat
banyak dikonsumsi responden dalam penelitian ini seperti daging, ayam, ikan, udang,
kentang, telur ayam, telur puyuh, ikan teri, jeroan, susu dan mereka suka makan ayam
dan ikan dalam jumlah yang banyak (Gibson, R. S, 1990).
Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas hemoglobin (Hb) responden rendah
97,8%, mayoritas kadar posphor dalam darah lebih 72,8% dan sebagian besar kadar
kalsium dalam darah kurang 57,6%. Mempertahankan status nutrisi tetap optimal dapat
mencegah terjadinya malnutrisi. Gizi kurang dapat diakibatkan dari kurangnya makanan
yang dimakan. Lebih umum malnutrisi diakibatkan dari penggunaan nutrien yang tidak
mencukupi karena penyakit akut atau kronik dan perawatannya. Penelitian Rifkauli
(2013) partisipan menyebutkan alasan mereka atas ketidakpatuhan mereka terhadap diet
karena harus menjaga Hb agar tetap stabil.
Pasien gagal ginjal kronis harus mengatur pola makan dan jenis makanan yang
dimakan. Muhammad (2012) mengatakan pasien hemodialisa tidak bisa mengonsumsi
buah dan sayur sesuka hatinya seperti orang sehat karena banyak jenis sayuran dan
buah-buahan dapat memperburuk kondisi pasien. Semua responden dalam penelitian ini
mengetahui makanan yang dapatatau yang tidak dapat dikonsumsi. Pasien juga
mengetahui alasan tidak boleh dikonsumsi karena kandungan dalam makanan tersebut
yang dapat mempengaruhi penyakitnya dan bahkan sudah dirasakan oleh pasien sendiri.
Responden juga menyebutkan bahwa ada beberapa sayuran dan jenis buah-buahan tidak
boleh dimakan terutama yang banyak mengandung air atau buah-buahan tertentu seperti
pisang dan belimbing. Mereka juga menyebutkan bahwa buah yang boleh dimakan
hanya pepaya dan jumlahnya terbatas hanya sepotong saja. Sayuran seperti timun,
kangkung dan bayam juga harus mereka hindari. Selain itu menu yang harus dihindari
juga antara lain diet rendah cairan, diet rendah kalium, makanan yang mengandung
pengawet, diet rendah natrium tetapi belum terarah ke jenis dan jumlah yang tepat.
Namun tidak sedikit responden yang tidak lagi melakukan semua hal tersebut bahkan
ada responden yang memakan semua jenis makanan atau buah kesukaannya pada saat
jadwalnya akan melakukan dialisis maupun saat dialisis berlangsung.

309
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

Nutrisi merupakan komponen penting dan utama dalam kehidupan setiap orang.
Untuk penderita gagal ginjal kronik pentingnya gizi mengingat dampak negatif dari
manajemen diet yang buruk. Efek samping tersebut tersmasuk hiperglikemia,
hiperfosfatemia, protein yang berhubungan dengan kekurangan gizi dan kelebihan
cairan. Sebagian besar dari interaksi sosial antara orang melibatkan makan dan minum
sehingga tidak jarang untuk pasien gagal ginjal kronik untuk mengurangi keterlibatan
sosial mereka karena pembatasan makanan dann cairan yang ketat (Tallis, 2005).
Nutrisi yang baik pada pasien hemodialisa dapat mencegah komplikasi dan
meningkatkan kualitas hidup pasien (Gunes, 2013). Nutrisi juga merupakan faktor
penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya efek uremia.
Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekresikan produk akhir metabolisme,
substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja
sebagai racun atau toksin. Dengan penggunaan hemodialisa yang efektif, asupan
makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian
atau pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan (Smeltzer et al, 2010).
Kurangnya asupan makanan dapat menyebabkan gizi yang kurang mamadai.
Namun yang lebih umum, karena penyakit akut atau kronik dan perawatannya
malnutrisi diakibatkan dari penggunaan nutrien yang tidak mencukupi. Sebagai akibat
dari malnutrisi, individu-individu terpapar pada resiko morbiditas dan mortalitas yang
meningkat. Secara umum, keadaan defisiensi gizi dapat dikategorikan sebagai keadaan
yang melibatkan malnutrisi energi protein atau keadaan yang diakibatkan dari
kekurangan mikronutrien (Reid, C, 2011).
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan ginjal dalam memenuhi fungsinya
secara maksimal yang dinilai dengan berbagai parameter. Proses hemodialisa
menggantikan fungsi dari ginjalyang gagal tersebut. Kualitas hidup penderita gagal
ginjal yang menjalani terapi hemodialisa sewaktu-waktu dapat menurun secara
mendadak. Kondisi inimerupakan hal penting bagi penderita maupun keluarga agar
dapat menjaga kesehatannya yaitu salah satunya dengan mengatur pola diet.Natrium
banyak terkandung dalam garam dapur (natrium klorida), sedangkan kalium banyak
pada buah dan sayur. Penderita gagal ginjal kronis, harus menghindari makanan yang
mengandung natrium tinggi. Nilai normal natrium adalah 135 - 145mmol/L dan
kalium 3.5-5.5 mmol/L (Reid, C, 2011).
Kalium adalah mineral yang ada dalam makanan. Kalium memiliki peran penting
dalam aktivitas otot polos (terutama otot jantung) dan sel saraf. Ginjal normal akan
membuang kelebihan kalium, namun pada pasien, kemampuan tersebut menurun,
sehingga dapat terjadi akumulasi/penimbunan kalium dalam darah. Biasanya
konsentrasi kalium yang tinggi adalah lebih berbahaya daripada konsentrasi kalium
yang rendah. Konsentrasi kalium darah yang lebih dari 5.5 mEq/L akan mempengaruhi
sistem konduksi listrik jantung. Kadar kalium yang sangat tinggi akan membuat otot
melemah, mengganggu irama jantung dan dapat menyebabkan kematian. Pilih
buah/sayur yang rendah kalium (Reid, C, 2011).
Selain dengan food recall 24 jam untuk mengetahui status nutrisi pasien
hemodialisa sebenarnya dapat juga dengan pemeriksaan laboratorium seperti
prealbumin, albumin, kreatinin, ferritin dan transferin serum dapat digunakan untuk
menilai status nutrisi. Pada studi Fleischmann et al, (1999) nilai prealbumin, albumin,
kreatinin dan transferin dijumpai lebih tinggi pada pasien berat badan lebih (overweight)
dan paling rendah pada berat badan kurang (underweight). Hipoalbuminemia pada
pasien dialisis tidaklah harus menunjukkan malnutrisi. Transferin serum merupakan

310
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

petanda yang lebih sensitif dibanding albumin untuk menilai status nutrisi (sehubungan
dengan waktu paruhnya yang singkat), tetapi interpretasi transferin sering sulit karena
meningkatnya kebutuhan zat besi yang diinduksi oleh perdarahan kronis dan terapi
eritropoetin. Feritin serum dijumpai lebih tinggi secara statistik bermakna pada pasien
yang memiliki berat badan kurang dibandingkan dengan berat badan normal.
Rendahnya kadar kreatinin serum menunjukkan asupan protein yang rendah dan atau
hilangnya massa otot skletal dan ini berhubungan dengan meningkatnya mortalitas.
Tetapi kreatinin serum sebagai indikator malnutrisi belumlah dipastikan.
Penilaian status nutrisi, monitoring dan intervensi nutrisi merupakan komponen
yang memegang peranan penting dalam penatalaksanaan pasien penyakit ginjal kronik
(PGK). Adanya perubahan metabolism menyebabkan PGK stadium 1 sampai 5
memerlukan penatalaksanaan nutrisi yang berbeda-beda sehingga memerlukan evaluasi
dan terapi yang spesifik. Disamping itu setiap individu pasien mempunyai masalah
nutrisi yang spesifik karena perbedaan metabolism, etiologi dari PGK, stadium PGK
genetic dan lingkungan. 3 Penatalaksanaan nutrisi pada PGK bertujuan untuk
memperlambat progresivitas penyakit ginjal, memperbaiki kualitas hidup, serta
menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada PGK (Aness Muhammad et
al, 2011).

SIMPULAN
Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa :
Karakteristik responden untuk usia sebagian besar berumur 45-54 tahun, sebagian
besar berjenis kelamin pria, pendidikan terakhir mayoritas SMA, mayoritas responden
sudah tidak bekerja lagi, mayoritas responden sudah menikah, lama menjalani
hemodialisa sebagian besar responden sudah menjalani hemodialisa selama > 3 tahun
dan penyakit penyebab responden menjalani hemodialisa sebagian besar adalah
hipertensi nefropati.
Status nutrisi responden di RSUD DR. Pirngadi Medan hanya sebagian kecil yang
mempunyai status nutrisi baik dan sebagian besar status nutrisi.

SARAN
1. Untuk mengatasi status nutrisi responden yang kurang perlu dilakukan edukasi atau
konseling tentang jenis makanan, ukuran makanan dan zat gizi yang terkandung
didalamnya serta cara pengolahan makanan untuk mengurangi zat gizi dalam
makanan sehingga dapat melakukan pembatasan zat gizi pada responden yang
menjalani hemodialisa. Alat bantu konseling gizi dapat berupa media cetak seperti :
leaflet, booklet, poster dan buku saku diet.
2. Untuk responden yang mempunyai status nutrisi kurang diharapkan untuk menambah
asupan makanan seimbang dengan memperhatikan asupan protein agar tidak
menimbulkan komplikasi lainnya dan tidak memperparah kondisi. Sedangkan untuk
keluarga diharapkan agar membantu dan mengawasi responden dalam mengatur
asupan nutrisi sesuai dengan kondisinya.
3. Pengawasan dan evaluasi kondisi nutrisi pasien hemodialisa harus dilakukan secara
terus menerus. Setidaknya dilakukan setiap 6 bulan sekali, sambil memperhatikan
adekuasi HD nya serta kemungkinan penyakit penyerta lain. Kadar BUN yang rendah
bisa saja merupakan gambaran pasien yang menjalani HD dengan baik dan dengan
asupan protein yang cukup, tapi bisa juga sebagai gambaran pasien yang tindakan
HD nya tidak adekuat dan asupan proteinnya buruk.

311
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

4. Status nutrisi pasien yang menjalani hemodialisa dapat juga di ketahui dari hasil
pemeriksaan laboratorium seperti prealbumin, albumin, kreatinin, ferritin dan
transferin serum. Nilai prealbumin, albumin, kreatinin dan transferin dijumpai lebih
tinggi pada pasien berat badan lebih (overweight) dan paling rendah pada berat badan
kurang (underweight).
5. Penilaian status nutrisi pada pasien PGK tidak dapat menggunakan satu parameter
saja, tetapi meliputi beberapa parameter seperti klinis, riwayat medis, pemeriksaan
fisik, riwayat psikososial, riwayat diet/ food recall, pemeriksaan biokimia ( albumin,
transferin, potasium, glukosa, kalsium, fosfat, kolesterol), antropometri, subjective
global assessment (SGA), dan malnutrition inflammation score (MIS). Pemantauan
status nutrisi (kalori dan protein) perlu dilakukan setiap 6 bulan pada semua pasien
yang menjalani dialisis, baik CAPD maupun hemodialisis.

DAFTAR PUSTAKA
Al Makarem, Z. S. A. (2004). Nutrisi Status Assessment of the Hemodialysis Patients in
Riyadh Al-Kharj Hospital. Tesis. Department of Community Health Science. King
Saudi University
Al Saedy, A. J. H., & Al Kahichy, H. R. A. (2011). The Current Status of Hemodialysis
in Baghdad. Saudi Journal of Kidney Diseases and Transplantation, 22, 362-367
Almatsier, S. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum
Aness, M. (2011). Dialysis Related Factors Affecting Quality of Life in Patients on
Hemadialysis
Anggraini, Y. D. (2016). Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis di RSUD Blambangan Banyuwangi. Universitas Jember
Annisa, K. (2012). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Nafsu Makan Kurang
pada Pasien Hemodialisis di RSPAD Gatot Subroto tahun 2012
Azar, A. T., Wahba, K., Mohammed, A. S. A., Massoud, W. A. (2007). Association
between Dialysis Dose Improvement and Nutritional Status among Hemodialysis
Patients. American Journal of Nephrology, 27, 113-119
Barkan, R, Mirimsky, A, Katzir, Z & Ghicavii, V. (2006). Prevention of Hypotension
and Stabilization of Blood Pressure in Hemodialysis Patients.
http://www.freshpatents.com
Basaleem, H. O., Alwan S. M., Shmed, A. A., Al-Sakkaf, K. A. (2004). Assessment of
the Nutritional Status of End-Stage Renal Disease Patients on Maintenance
Hemodialysis. Saudi Journal of Kidney Diseases and Transplantation, 15(4), 455-
462
Black, J. M., & Jane H. H. (2009). Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcome Seventh Edition. China: Elsevier Inc
Crisp, J., & Taylor, C. (2001). Potter and Perry’s Fundamental of Nursing. Australia:
Mosby A Hourtcourt Health Science Company
Cristos Minos. (2012). Factors Affecting Quality of Life in End Stage Renal Disease
Patients on Hemodialysis
Cristovao, J de A. F. A. (2015). Fluid and Dietary Restriction’s Efficacy on Chronic
Kidney Disease Patients in Hemodialysis
ESRD. (2012). End Stage Renal Disease (ESRD) Patients in 2012 A Global Perspective.
Germany: Fresenius Medical Care
Fitria, W. M. (2015). Hubungan Status Gizi dengan Kualitas Hidup pada Pasien
Hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah Unit II Yogyakarta

312
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

Galland, R., Traeger, J., Arkouche, W., Cleaud, C., Delawari, E., Fouque, D. (2001).
Short Daily Hemodialysis Rapidly Improves Nutritional Status in Hemodialysis
Patients. Kidney International, 60, 1555-1560
Gibson, R. S. (1990). Principles of Nutritional Assesment. New York: Oxford
University Press
Gunes, F. E. (2013). Medical Nutrition Therapy for Hemodialysis Patients.
http://dx.doi.org/10.5772/53473
Handayani, W. (2011). Pengaruh Komunikasi Terapeutik terhadap Pengetahuan dan
Kepatuhan dalam Menjalankan Terapi Diet Pada Pasien Hemodialisa di RSUD
DR. Pirngadi Medan
Harahap, M. I. M., Sori M. S., & Mula, T(2015). Hubungan Stress, Depresi dan
Dukungan Sosial dengan Kepatuhan Pembatasan Asupan Nutrisi dan Cairan pada
Pasien Gagal Ginjal Kronik
Indonesian Renal Registry. (2012). 4th Report of Indonesian Renal Registry. IRR: 18-20
Instalasi Gizi RSCM & Asosiasi Dietisien Indonesia. (2008). Penuntun Diet Edisi Baru.
Sunita Almatsier (ed). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Kallenbach, J. Z., Gutch, C. F., Martha, S. H., & Corca, A. L. (2005). Review of
Hemodialysis for Nurses anf Dialysis Personal 7th Edition. St Louis: Elsevier
Mosby
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2013
Kugler, C., Vlaminck, H., Haverich, A., & Maes, B. (2005). Nonadherence with Diet
and Fluid Restrictions among Adults Having Hemodialysis. Journal of Nursing
Scholarship, 37(1), 24-29
Locatelli, F., Fouque D., Heimburger O., Drueke, T. B. (2002). Nutritional Status in
Dialysis Patients: A European Consensus. Nephrology Dialysis Transplantation,
17, 563-572
Muhammad, A. (2012). Serba Serbi Gagal Ginjal: Tangani Sedini Mungkin Gangguan
Ginjalmu Bersama Buku ini. Jogjakarta: Diva Press
National Kidney Foundation. (2000). K/DOQI Clinical Practice Guideline for Chronic
Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification
Notoatmodjo, S. (2010). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,
Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika
Pernefri. (2003). Konsensus Dialisis Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Jakarta
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep,
Proses & Praktik. Volume 2 edisi 4 (Komalasari, R, Evriyani, D, Noviestari, E.
dkk, Penerjemah). Jakarta: EGC
Prince, S. A.,& Lorraine M. W. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC
Rayner, H. C & Enyu, I. (2010). Approach to Renal Replacement Therapy. Jurgen
Floege et al (eds). Dalam : Comprehensive Clinical Nephrology 4th Edition.
Missouri: Elsevier Inc
Reid, C. (2011). Self Management of Haemodialysis for End Stage Renal Disease: A
Systematic Review. JBI Library of Systematic Reviews, 9(3), 69-103
Richard, Cleo J. (2006). Self Care Management in Adults Undergoing Hemodialysis.
Nefrologi Nursing Journal

313
2018. Jurnal Keperawatan Silampari 2 (1) 300-314

Rifkauli. (2013). Hubungan Kepatuhan Diet terhadap Status Gizi Pasien Hemodialisa
di RSUD Raden Mattaher Jambi
Sandra, W. N. D., Yulia I. D. (2012). Gambaran Stres pada Pasien Gagal Ginjal
Terminal yang Menjalani Terapi Hemodialisa di Rumah Sakit Daerah Arifin
Achmad Pekan Baru. Jurnal Ners Indonesia, 2(2)
Simmons, L. (2009). Dorthea Orem’s Self Care Theory as Related to Nursing Practice
in Haemodyalisis. Nephrology Journal Nursing, 36(4)
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Textbook of
Medical suirgical nursing 12 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Sulistyowati, N. (2009). Hubungan antara Adekuasi Hemodialisis dengan Asupan
Makanan dan Status Gizi Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisis di RSUP Dr. Kariadi Semarang. [Artikel Penelitian]. Semarang:
Universitas Diponegoro
Supariasa, I. D. N, Bakri, B. Fajar, I. (2014). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Susetyowati. (2002). Pengaruh Konseling Gizi dengan Buklet terhadap Konsumsi
Makanan dan Status Gizi Penderita Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di RS Dr.
Sardjito Yogyakarta. Jakarta: Proseding Kursus Penyegar Ilmu Gizi
Syaiful. (2014). Hubungan Umur dan Lamanya Hemodialisis dengan Status Gizi pada
Penderita Penyakit Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RS. Dr.
M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas
Tallis, K. (2005). How to Improve the Quality of Life in Patients Living with End Stage
Renal Failure. Renal Nursing Society of Australian Journal, 1(1)
United States Renal Data System. (2014). USRDS Annual Data Report Volume 2: End
Stage Renal Disease. http://www.usrds.org/adr.aspx
Utama, H. (2010). Pengkajian Status Gizi Studi Epidemiologi dan Penelitian di Rumah
Sakit, edisi 2, FKUI. Jakarta
Welch, J., L., Perkins, S., M., Johnson, C., S., & Kraus. (2006). Patterns of Intrerdialytic
Weight Gain during the First Year of Hemodialysis. Nephrology Nursing Jurnal,
33(5), 493-498
Welch, l. J.,& Austin, K. J. (2001). Stressors, Coping and Depression in Haemodialysis
Patients. Journal of Advanced Nursing, 33(2), 200-207
Winaryanti, U., Darussalam, M. (2017). Hubungan Status Gizi dengan Kualitas Hidup
Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Wates.
Skripsi. Stikes Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
Yanti, S. E. (2010). Gambaran Pola Makan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisa Rawat Jalan di RSUD DR. Pirngadi Medan 2009

314

Anda mungkin juga menyukai