Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

COMPOUNDING DAN DISPENSING

“Pendosisan Geriatri dan Penyesuaian Dosis”

Dosen : Dra. Herdini, M.Si, Apt

Disusun oleh :

1. Syahla Fayka 19344053


2. Melly Apriani 19344054
3. Arini Fauziah 19344055
4. Ade retno rubiantini 19344056
5. Mei wulandari 19344057

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Warga usia lanjut yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 13 tahun1998


tentang Kesejahteraan Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau
lebih. Pada usia 60 tahun ke atas terjadi proses penuaan yang bersifat universal berupa
kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif, perubahan secara bertahap,
akumulatif, dan intrinsik.
Timbulnya penyakit yang biasanya juga tidak hanya satu macam tetapi multipel,
menyebabkan usia lanjut memerlukan bantuan, perawatan dan obat-obatan untuk proses
penyembuhan atau sekadar mempertahankan agar penyakitnya tidak bertambah parah. Terapi
pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari pasien pada usia muda,
karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul
dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya.
Hasil penelitian menunjukkan 78% usia lanjut menderita tidak kurang dari 4 macam
penyakit, 38% menderita lebih dari 6 macam penyakit, dan 13% menderita lebih dari 8
macam penyakit. Banyaknya penyakit yang diderita ini sering menyulitkan seorang dokter
membuat diagnosis yang tepat dan memberi pengobatan yang rasional. Sehingga sering
dijumpai, dokter meresepkan obat secara berlebihan (over prescribing) atau memberikan obat
tidak tepat (incorrect prescribing) pada penderita usia lanjut (Rahmawati dkk., 2008).
Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas maka peran profesi apoteker perlu diubah
paradigmanya dari drug oriented menjadi patient oriented yang dikenal dengan istilah
Pharmaceutical Care yang merupakan tanggung jawab profesi apoteker dalam hal
farmakoterapi dengan tujuan meningkatnya kualitas hidup pasien. Dalam terapi obat pasien,
seorang farmasis diharapkan dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan
penggunaan obat (Drug Related Problems) baik yang telah terjadi atau yang berpotensi untuk
terjadi, kemudian mengupayakan penanganannya dan pencegahan terhadap masalah yang
teridentifikasi (Chistiane dkk., 2008).
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat
sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang
pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang
diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang
sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian
ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih
dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan
infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati.
Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi
kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini
menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya (Anonim, 2004).
Secara umum beberapa penyakit dapat dikendalikan, akan tetapi pada lansia hal ini
masih merupakan suatu masalah, karena berkaitan dengan menurunya fungsi organ tubuh
akibat proses menua. Bahkan diluar negeri yang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak diragukan lagi, ternyata angka kematian akibat beberapa penyakit pada lansia masih
jauh lebih tinggi dibandingkan pada usia muda, yang membuktikan bahwa pengobatan yang
tepat masih merupakan masalah penting pada lansia (Darmansjah, 1994).

B. TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk :


1. Mengetahui pengertian geriatri
2. Mengetahui cara pendosisan pada pasien geriatric
3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Geriatri
1. Definisi
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang
telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada
manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang
dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau
proses penuaan.
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-
tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin
rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan
kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan,
pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring
meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan,
serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada kemunduran
kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan
sosial lansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity of daily living.
(Fatmah, 2010).
Pasien geriatri (elderly) merupakan pasien dengan karakteristik khusus karena
terjadinya penurunan massa dan fungsi sel, jaringan, serta organ. Hal ini
menimbulkan perlu adanya perubahan gaya hidup, perbaikan kesehatan, serta
pemantauan pengobatan baik dari segi dosis maupun efek samping yang mungkin
ditimbulkan (Darmansjah, 1994).

2. Batasan usia lanjut


Batasan-batasan usia lanjut Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu
berbeda. Menurut World Health Organitation (WHO) lansia meliputi :
a. Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun.
Berbeda dengan WHO, menurut Departemen Kesehatan RI (2006)
pengelompokkan lansia menjadi :
a. Virilitas (prasenium) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)
b. Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut
dini (usia 60-64 tahun)
c. Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif (usia >65
tahun)

3. Prinsip Umum Penggunaan Obat Pada Pasien Geriatri


Menurut Syamsuni (2008), prinsip umum penggunaan obat pada pasien
geriatri adalah sebagai berikut :
a. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi
yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya
b. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan
tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya
c. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan pada orang dewasa yang masih muda.
d. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan
memonitor kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya lebih
rendah.
e. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk
memelihara kepatuhan pasien
f. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang
tidak diperlukan lagi.

Pada sistem pencernaan para lansia, terjadi perubahan pada peningkatan pH


lambung. menurunnya aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan
perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Distribusi obat
berhubungan dengan komposisi tubuh, ikatan protein-plasma, dan aliran darah organ.
Semua itu akan mengalami perubahan denganbertambahnya usia, sehingga dosis
antara pasien geriatri dan pasien yang lebih muda akan berbeda. Pada geriatri,
komposisi air dalam tubuh akan berkurang sehingga menyebabkan penurunan volume
distribusi obat yang larut air. sehingga konsentrasi dalam plasma meningkat, contoh:
digoksin. namun pada usia lansia, terjadi peningkatan total lemak dalam tubuh,
sehingga meningkatkan Vd obat yang larut dalam lemak namun konsntrasi obat dalam
plasma menurun. pada geriatri, jumlah albumin plasma berkurang sehingga
mengakibatkan jumlah obat yang diikat olih albumin menurun dan mengakibatkan
obat tersebut berada dalam tubuh dalam keadaan terikat (Syamsuni, 2008).
Ginjal berpengaruh besar pada eliminasi beberapa obat. Umumnya obat
diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya
berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga
dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan
aminoglikosida.
Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke
ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan
pada orang muda.

Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti pada geriatri ialah berkurangnya fungsi ginjal dan
menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar
kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, dengan
akibat perpanjangan atau intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai waktu paruh
panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dalam
setiap keadaan kita perlu memakai dosis lebih kecil bila dijumpai penurunan fungsi
ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit.
Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia memproduksi
metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada
lansia

Fungsi Hati
Penurunan fungsi hati tidak sepenting penurunan fungsi ginjal. Hal ini
disebabkan karena hati memiliki kapasitas yang lebih besar, sehingga penurunan
fungsi hati tidak begitu berpengaruh. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi
bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat tertentu. First-pass
effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding) berpengaruh penting secara
farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian terbesar
akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi
umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan
mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang
kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang
dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberi secara intra-
vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat
banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan
dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali
dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein
(albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif.
Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila
kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan
warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya
menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga
akan menambah intensitas perdarahan. Inipun bisa terjadi dengan aspirin yang
mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Banyak obat geser-menggeser
dalam proses protein-binding bila beberapa obat diberi bersamaan. Sebagian besar
mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya
sempit dapat membahayakan penderita.
Pasien geriatri (elderly) merupakan pasien dengan karakteristik khusus karena
terjadinya penurunan massa dan fungsi sel, jaringan, serta organ. Hal ini
menimbulkan perlu adanya perubahan gaya hidup, perbaikan kesehatan, serta
pemantauan pengobatan baik dari segi dosis maupun efek samping yang mungkin
ditimbulkan).

Kimble, menyatakan bahwa geriatri juga telah mengalami perubahan dalam


hal farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Perubahan farmakokinetik yang terjadi
karena adanya penurunan kemampuan absorbsi yang disebabkan oleh perubahan dari
saluran gastrointestinal, perubahan distribusi terkait dengan penurunan cardiac output
dan ikatan protein-obat, perubahan metabolisme karena penurunan fungsi hati dan
atau ginjal, serta penurunan laju ekskresi karena terjadinya penurunan fungsi ginjal.
Obat harus berada pada tempat kerjanya dengan konsentrasi yang tepat untuk
mencapai efek terapetik yang didapatkan. Perubahan-perubahan farmakokinetik pada
pasien lanjut usia memiliki peranan penting dalam bioavailabilitas obat tersebut. (5)
Proses-proses farmakokinetik obat pada usia lanjut dijelaskan pada uraian di
bawah ini :

a) Absorbsi
Penundaan pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan aliran
darah organ absorbsi secara teoritis berpengaruh pada absorbs itu sendiri. Namun
pada kenyataannya perubahan yang terkait pada usia ini tidak berpengaruh secara
bermakna terhadap bioavailabilitas total obat yang diabsorbsi. Beberapa pengecualian
termasuk pada digoksin dan obat dan substansi lain (misal thiamin, kalsium, besi dan
beberapa jenis gula).
b) Distribusi
Farktor-faktor yang menentukan distribusi obat termasuk komposisi tubuh, ikatan
plasma-protein dan aliran darah organ dan lebih spesifik lagi menuju jaringan,
semuanya akan mengalami perubahan dengan bertambahnya usia, akibatnya
konsentrasi obat akan berbeda pada pasien lanjut usia jika dibandingkan dengan
pasien yang lebih muda pada pemberian dosis obat yang sama (Darmojo dan
Martono, 2006).
c) Komposisi Tubuh
Pertambahan usia dapat menyebabkan penurunan total air. Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan volume distribusi obat yang larut air sehingga konsentrasi obat
dalam plasma meningkat. Pertambahan usia juga akan meningkatkan massa lemak
tubuh. Hal ini akan menyebabkan volume distribusi obat larut lemak meningkat dan
konsentrasi obat dalam plasma turun namun terjadi peningkatan durasi obat (missal
golongan benzodiazepin) dari durasi normalnya (Darmojo dan Martono, 2006).
d) Ikatan Plasma Protein
Seiring dengan pertambahan usia, albumin manusia juga akan turun. Obat-obatan
dengan sifat asam akan berikatan dengan protein albumin sehingga menyebabkan obat
bentuk bebas akan meningkat pada pasien geriatric. Saat obat bentuk bebas berada
dalam jumlah yang banyak maka akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat
dalam plasma meningkat. Hal ini menyebabkan kadar obat tersebut dapat melampaui
konsentrasi toksis minimum (terlebih untuk obat-obatan paten).

e) Aliran Darah pada Organ


Penurunan aliran darah organ pada lansia akan mengakibatkan penurunan perfusi
darah. Pada pasien geriatri penurunan perfusi darah terjadi sampai dengan 45%. Hal
ini akan menyebabkan penurunan distribusi obat ke jaringan sehingga efek obat akan
menurun.

f) Eliminasi
Metabolisme hati dan eskresi ginjal adalah mekanisme penting yang terlibat
dalam proses eliminasi. Efek dosis obat tunggal akan diperpanjang dan pada keadaan
steady state akan meningkat jika kedua mekanisme menurun (Darmojo dan Martono,
2006).
Metabolisme hati
Substansi yang larut lemak akan dimetabolisme secara ekstensif di hati,
sehingga mengakibatkan adanya penurunan bioavaibilitas sistemik. Oleh karena itu
adanya penurunan metabolism akan meningkatkan bioavaibilitas obat. Pada pasien
geriatri adanya gangguan first past metabolism akan meningkatkan biovaibilitaas obat
(Darmojo dan Martono, 2006).
Eliminasi Ginjal
Penurunan aliran darah ginjal, ukuran organ, filtrasi glomerulus dan fungsi tubuler
merupakan perubahan yang terjadi dengan tingkat yang berbeda pada pasien geriatri.
Kecepatan filtrasi glomerolus menurun kurang lebih 1 % per tahun dimulai pada usia
40 tahun. perubahan tesebut mengakibatkan beberapa obat dieliminasi lebih lambat
pada lanjut usia. Beberapa kasus menunjukan bahwa konsentrasi obat dalam jaringan
akan meningkat sebanyak 50% akibat penurunan fungsi ginjal. Penurunan klirens
kreatinin terjadi pada dua pertiga populasi. Penting untuk diketahui bahwa penuruna
klirens kreatinin ini tidak dibarengi dengan peningkatan kadar kreatinin yang setara
dalam serum karena produksi kreatinin juga menurun seiring berkurangnya massa
tubuh dengan pertambahan usia. Akibat yang segera ditimbulkan oleh perubahan ini
adalah pemanjangan waktu-paruh banyak obat dan kemungkinan akumulasinya dalam
kadar toksik jika dosis tidak diturunkan dalam hal ukuran atau frekuensi.
Rekomendasi pemberian obat untuk para lansia sering kali mencakup batasan dosis
untuk klirens ginjal yang menurun (Manjoer, 2006).
Paru berperan penting pada ekskresi obat volatile. Akibat berkurangnya
kapasitas pernapasan dan peningkatan insidens penyakit paru aktif pada lansia,
anesthesia inhalasi menjadi lebih jarang digunakan dan agen parenteral menjadi lebih
sering digunakan pada kelompok usia ini (Manjoer, 2006).

FARMAKOKINETIK

Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah
absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus
akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan
gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak
berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan
prozasin (Darmansjah, 1994).

Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan
tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada
beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah
merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan
yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak
tubuh dan penurunan albumin plasma. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada
lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit,
bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya
fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat
lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat (Darmansjah, 1994)..

Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh
kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat
menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan
ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati,
antara lain melalui ambilan (uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme
sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada
usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan
ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol
(Darmansjah, 1994).
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya
obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya
berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga
dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan
aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran
darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 %
dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan
banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga
memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang
secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan
tubulus (Darmansjah, 1994).

INTERAKSI FARMAKOKINETIK

1. Fungsi Ginjal

Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal
dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau
kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang,
sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang
perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang
sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat
diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu
diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang
dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan
obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di Jerman karena dokter
Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah digantikan
dengan furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug (Chistiane,
2008)

Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus
digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-
toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark
miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan
ekskresi obat (Chistiane, 2008)
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal, khususnya bila
memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin,
dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif,
sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia
(Chistiane, 2008).

2. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga penurunan
fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini
lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-
clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan
sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil
alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan
perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT
melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak
dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian methylprednisolon, prednison
dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk
dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan
metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme
dengan obat-obat tertentu.
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding)
berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh
usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati
sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang
disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga
30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma merupakan
bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang
ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi
langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang
mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang
diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan
dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali
dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein
(albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif.
Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila
kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan
warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya
menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga
akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi pada aspirin yang
mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak
berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat
membahayakan penderita

FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia
secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon
homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara
kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun
misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar,
padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga sehingga index
terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya menghambat proses
biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi homeostatis
melemah (Anonim, 2004).

B. DOSIS OBAT

Dosis atau takaran obat adalah banyaknya suatu obat yang dapat dipergunakan
atau diberikan kepada seorang penderita, baik untuk obat dalam maupun obat luar.
Kecuali dinyatakan lain, yang dimaksud adalah dosis maksimum dewasa untuk
pemakaian melalui mulut, injeksi subkutan dan rectal. Selain itu dikenal juga istilah
dosis lazim, Dosis obat yang harus diberikan kepada pasien kepada pasien untuk
menghasilkan efek yang diharapkan tergantung banyak faktor antara lain umur, bobot
badan, luas permukaan tubuh, jenis kelamin, kondisi penyakit dan kondisi penderita.
Dengan dosis obat dimaksud jumlah obat yang diberikan kepada penderita
dalam satuan berat (gram, milligram,mikrogram) atau satuan isi (liter, mililiter) atau
unit-unit lainnya (Unit Internasional). Bila dosis obat yang diberikan melebihi dosis
terapeutik terutama obat yang tergolong racun ada kemungkinan terjadi keracunan,
dinyatakan sebagai dosis toxic. Dosis toxic ini dapat sampai mengakibatkan kematian,
disebut sebagai dosis letal.

C. CARA PERHITUNGAN DOSIS

Pemilihan dan penetapan dosis memang tidak mudah karena harus


memperhatikan beberapa faktor seperti yang telah disebutkan, karena aturan pokok
perhitungan dosis untuk anak tidak ada, para pakar mencoba untuk membuat
perhitungan berdasarkan umur, bobot badan dan luas permukaan tubuh (body surface
area). Menurut Syamsuni (2008), Berikut ini adalah beberapa rumus perhitungan
dosis :
1. Berdasarkan Berat Badan

Berdasarkan Berat Badan (BB)


 Rumus CLARK (Amerika) :
Berat badan anak dalam kg x dosis maksimal dewasa
150
 Rumus Thermich ( Jerman ) :
Berat Badan Anak dalam kg x dosis maksimal dewasa
70
2. Dosis obat berdasarkan umur pasien

 Rumus Young (untuk anak < 8 th)

Dosis = n(tahun)/n(tahun) +12 X dosis dewasa

 Rumus Fried

Dosis = n(bulan)/150 X dosis dewasa

 Rumus Gaubius (pecahan X dosis dwasa)

0 - 1th = 1/12 X dosis dewasa

1-2th = 1/8 X dosis dewasa

2-3th = 1/6 X dosis dewasa

3-4th = 1/4 X doisis dewasa

4-7th = 1/3 X dosis dewasa

7-14th = 1/2 X dosis dewasa

14-20th = 2/3 X doisis dewasa


21-60th = dosis dewasa

Dosis Maksimum
Kecuali dinyatakan lain, dosis maksimum adalah dosis maksimum dewasa (20-60 tahun)
untuk pemakaian melalui mulut, injeksi subkutan dan rektal.
Di F.I III daftar dosis maksimum ada di halaman 959-994.

Dosis Geriatri
Untuk orang lanjut usia karena keadaan fisik sudah mulai menurun. Pemberian dosis
harus lebih kecil dari dosis maksimum.

Menurut buku Obat-Obat penting .


- 65- 74 tahun, dosis biasa - 10%
- 75-84 tahun, dosis biasa - 20%
- Diatas 85 tahun, dosis biasa – 30%
Menurut buku ilmu resep
- 60 -70 tahun 4/5 dosis dewasa
- 70- 80 tahun 3/4 dosis dewasa
- 80-90 tahun 2/3 dosis dewasa
- 90 tahun ke atas ½ dosis dewasa.
BAB III
PEMBAHASAN

III.1 Cara Menghitung Dosis Maksimum Obat Dalam Resep


1. Contoh perhitungan berdasarkan Usia
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004, Bagi Kaum Lansia Obat tidak Selalu Menjadi Sahabat http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/0804/01/index.htm.. Diakses tanggal 14 Maret 2009

Anonim, 2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri),


http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut-geriatri.html
diakses 14 Maret 2009

Bustami,Z.S. 2001. Obat Untuk Kaum Lansia. Edisi kedua. Penerbit ITB. Bandung

Chistiane, Merry, dkk. Jurnal Farmasi Indonesia Vol. V, No. 3 Desember 2008, 138-149 :
Kejadian Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki Yang Menyebabkan Pasien Usia
Lanjut Dirawat Di Ruang Perawatan Penyakit Dalam Instalasi Rawat Inap B
Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo, Fakultas FMIPA jurusan Farmasi UI.

Craven, RF., Hirnle, CJ. (2000). Fundamental of Nursing : Human Health and Function, 3rd
Ed., New York : Lippincott Pub.

Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut. Diakses
tanggal 14 Maret 2009

Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta

Manjoer, Arif M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, 12, Media Aesculapius, Jakarta.

Rahmawati, Fitri, dkk. Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 4 No. 1 Januari 2008, Hal 23-29 :
Problem Pemilihan Obat Pada Pasien Rawat Inap Geriatri di RSUP DR. Sardjito
Yogyakarta, Fakultas Farmasi UGM.

Republik Indonesia. 1998. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998


Tentang

Supriati, Tati., Bahan Ajar Praktikum Farmasetika, Jurusan Farmasi Poltekkes Jakarta II
Syamsuni, (2005) Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, Penerbit Buku Kedokteran
(EGC)

Anda mungkin juga menyukai