Anda di halaman 1dari 13

AKROMEGALI DAN GIGANTISME

A. Definisi
Akromegali berasal dari istilah Yunani yaitu akron (ekstremitas) dan megale
(besar), yang didasarkan atas salah satu temuan klinis akromegali, yaitu pembesaran
tangan dan kaki. Akromegali adalah kelainan yang muncul karena tubuh kelebihan
growth hormone, sehingga terjadi pertumbuhan secara berlebihan pada berbagai
jaringan tubuh, otot dan tulang, khususnya pada kaki, tangan, dan wajah.
Gigantisme adalah kondisi seseorang yang kelebihan pertumbuhan, dengan
tinggi dan besar diatas normal yang disebabkan oleh sekresi growth hormone
berlebihan dan terjadi sebelum dewasa atau sebelum proses penutupan epifisis. Kondisi
ini tergolong langka.

B. Epidemiologi
Angka prevalensi akromegali diperkirakan mencapai 70 kasus dari satu juta
penduduk, sementara angka kejadian akromegali diperkirakan mencapai 3-4 kasus
setiap tahunnya dari satu juta penduduk. Frekuensi akromegali sama pada laki-laki dan
perempuan. Usia rerata pasien yang terdiagnosis akromegali adalah 40-45 tahun.
Gigantisme sangat langka terjadi akromegali lebih umum daripada giantisme,
dengan insiden 3-4 kasus per juta orang per tahun dan prevalensi 40-70 kasus per juta
penduduk. Peningkatan IGF-I sama pada pria dan wanita. Dalam serangkaian 12 anak-
anak, adenoma sekresi GH terjadi dengan rasio perempuan-laki-laki dari 1:2.
Gigantisme dapat mulai setiap usia sebelum penutupan epifisis yaitu sebelum masa
pubertas.

C. Etiologi
Pelepasan hormon pertumbuhan berlebihan hampir selalu disebabkan oleh tumor
hipofise jinak (adenoma). Penyebab gigantisme dan akromegali dapat digolongkan
sebagai berikut:
a) GA (Gigantisme Akromegali) Primer atau Hipofisis, dimana penyebabnya
adalah adenoma hipofisis.
b) GA Sekunder atau Hipotalamik, disebabkan oleh karena hipersekresi GHRH
dari Hipotalamus.
c) GA yang disebabkan oleh karena tumor ektopik (paru, pancreas, dll) yang
mensekresi HP atau GHRH.

1. Akromegali
98% kasus akromegali disebabkan oleh tumor hipofisis. Hipersekresi GH
biasanya disebabkan oleh adenoma somatotrop, dapat juga disebabkan oleh lesi
ekstrapituitary tetapi cukup jarang..

Tabel 1. Etiologi Akromegali


GH merangsang produksi IGF-1 terutama di hati dan jaringan lain. IGF
merupakan mediator utama bagi efek GH dalam merangsang pertumbuhan. Lebih dari
95% kasus akromegali disebabkan oleh adenoma hipofisis yang menghasilkan GH
secara berlebihan. Pada saat diagnosis ditegakkan, 75% pasien akromegali
menunjukkan adanya makroadenoma (diameter tumor > 1 cm) dan sebagiannya telah
meluas ke daerah paraselar dan supraselar. Amat jarang akromegali disebabkan oleh
GH/GHRH ektopik yang diproduksi oleh tumor-tumor ganas. Peningkatan kadar GH
dalam darah pada penderita akromegali semata-mata akibat produksi GH yang
berlebihan, bukan akibat gangguan distribusi atau klirens GH.

2. Gigantisme
Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH yang berlebihan. Gigantisme dapat
terjadi bila keadaan kelebihan hormon pertumbuhan terjadi sebelum lempeng epifisis
tulang menutup atau masih dalam masa pertumbuhan. Penyebab kelebihan produksi
hormone pertumbuhan terutama adalah tumor pada sel-sel somatrotop yang
menghasilkan hormone pertumbuhan
Jika adenoma penghasil GH terjadi sebelum epifisis menutup, eperti pada anak
prapubertas, kadar GH yang berkelebihan menyebabkan gigantisme. Hal ini ditandai
dengan peningkatan umum ukuran tubuh serta lengan dan tungkai yang memanjang
berlebihan. Jika peningkatan kadar GH setelah penutupan epifisis, pasien
mengalami akromegali, yang pertumbuhannya terutama terjadi pada jaringan lunak,
kulit, dan visera, serta , serta pada tulang wajah, tangan ,dan kaki.
Sekresi GH oleh sel-sel somatotroph hipofisis anterior di kendalikan oleh 2
faktor dari hipotalamus, yaitu :
1. GHRH, yang merangsang sekresi GH
2. Somatostatin yang menghambat sekresi GH.
Efek patologis dari kelebihan GH antara lain pertumbuhan berlebihan di daerah
acral (macrognathia, pembesaran struktur tulang muka, pembesaran tangan dan kaki,
pertumbuhan berlebihan alat-alat viseral, (seperti makroglosia, pembesaran otot jantung,
thyroid, hati, ginjal), antagonisme insulin, retensi nitrogen dan peningkatan risiko polip
/ tumor kolon.

D. Patofisiologi
1. Akromegali
Tumor hipofisis anterior akan menimbulkan efek massa terhadap struktur
sekitarnya. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah sakit kepala dan gangguan
penglihatan. Pembesaran ukuran tumor akan menyebabkan timbulnya keluhan sakit
kepala, dan penekanan pada kiasma optikum akan menyebabkan gangguan penglihatan
dan penyempitan lapang pandang. Selain itu, penekanan pada daerah otak lainnya juga
dapat menimbulkan kejang, hemiparesis, dan gangguan kepribadian. Pada akromegali
dapat terjadi hipersekresi maupun penekanan sekresi hormon yang dihasilkan oleh
hipofisis anterior. Hiperprolaktinemia dijumpai ada 30% kasus sebagai akibat dari
penekanan tangkai atau histopatologi tumor tipe campuran. Selain itu, dapat terjadi
hipopituitari akibat penekanan massa hipofisis yang normal oleh massa tumor.
Hipersekresi hormon petumbuhan dapat menimbulkan berbagai macam
perubahan metabolik dan sistemik, seperti pembengkakan jaringan lunak akibat
peningkatan deposisi glikosaminoglikan serta retensi cairan dan natrium oleh ginjal,
pertumbuhan tulang yang berlebihan, misalnya pada tulang wajah dan ekstremitas,
kelemahan tendon dan ligamen sendi, penebalan jaringan kartilago sendi dan jaringan
fibrosa periartikular, osteoartritis, serta peningkatan aktivitas kelenjar keringat dan
sebasea. Hormon pertumbuhan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan organ
dalam dan metabolik. Organomegali seringkali ditemukan. Pada jantung terjadi
hipertrofi kedua ventrikel. Retensi cairan dan natrium akan menyebabkan peningkatan
volume plasma dan berperanan dalam terjadinya hipertensi pada pasien akromegali.
Perubahan juga dapat terjadi pada saluran napas atas, seperti pembesaran sinus
paranasal dan penebalan pita suara. Selain itu, lidah dapat membesar dan massa jaringan
lunak di daerah saluran napas atas bertambah, sehingga menyebabkan terjadinya
gangguan tidur. Pada pasien akromegali juga dapat terjadi hiperkalsiuria, hiperkalsemia,
dan nefrolitiasis, yang disebabkan oleh stimulasi enzim l α-hidroksilase, sehingga
meningkatkan kadar vitamin D, yang akan meningkatkan absorbsi kalsium.
Pada jaringan saraf dapat terjadi neuropati motorik dan sensorik. Neuropati yang
terjadi diperburuk oleh kondisi hiperglikemia yang sering ditemukan pada pasien
akromegali. Edema pada sinovium sendi pergelangan tangan dan pertumbuhan tendon
dapat menyebabkan carpal tunnel syndrome

2. Gigantisme
Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH yang berlebihan, keadaan ini
diakibatkan oleh tumor hipofisis yang menyekresi GH atau karena kelainan hipotalamus
yang mengarah pada pelepasan GH secara berlebihan.
Sel asidofilik, sel pembentuk GH di kelenjar hipofisis anterior menjadi sangat
aktif atau bahkan timbul tumor pada kelenjar hipofisis tersebut. Hal ini mengakibatkan
sekresi GH menjadi sangat tinggi. Akibatnya, seluruh jaringan tubuh tumbuh dengan
cepat sekali, termasuk tulang. Pada gigantisme, hal ini terjadi sebelum masa remaja,
yaitu sebelum epifisis tulang panjang bersatu dengan batang tulang sehingga tinggi
badan akan terus meningkat.
Biasanya penderta gigantisme juga mengalami hiperglikemi. Hiperglikemi
terjadi karena produksi GH yang sangat banyak menyebabkan GH tersebut menurunkan
pemakaian glukosa di seluruh tubuh sehingga banyak glukosa yang beredar di
pembuluh darah. Dan sel-sel beta pulau Langerhans pankreas menjadi terlalu aktif
akibat hiperglikemi dan akhirnya sel-sel tersebut berdegenerasi. Akibatnya, kira-kira 10
persen pasien gigantisme menderita diabetes melitus.
Bila kelebihan GH terjadi selama masa anak-anak dan remaja, maka
pertumbuhan longitudinal pasien sangat cepat dan pasien akan menjadi seorang
raksasa. Setelah pertumbuhan somatik selesai, hipersekresi GH tidak akan menimbulkan
gigantisme, tetapi menyebabkan penebalan tulang-tulang dan jaringan lunak yang
disebut akromegali. Penebalan tulang terutama pada wajah dan anggota gerak. Akibat
penonjolan tulang rahang dan pipi, bentuk wajah menjadi kasar secara perlahan dan
tampak seperti monyet.
Tangan dan kaki membesar dan jari-jari tangan kaki dan tangan sangat menebal.
Tangan tidak saja menjadi lebih besar, tetapi bentuknya akan makin menyerupai persegi
empat dengan jari-jari tangan lebih bulat dan tumpul. Penderita mungkin membutuhkan
ukuran sarung tangan yang lebih besar. Kaki juga menjadi lebih besar dan lebih lebar,
dan penderita menceritakan mereka harus mengubah ukuran sepatunya. Pembesaran ini
biasanya disebabkan oleh pertumbuhan dan penebalan tulang dan peningkatan
pertumbuhan jaringan lunak. Sering terjadi gangguan saraf perifer akibat penekanan
saraf oleh jaringan yang menebal. Dan karena GH mempengaruhi metabolisme
beberapa zat penting tubuh, penderita sering mengalami problem metabolisme termasuk
diabetes mellitus.
Selain itu, perubahan bentuk raut wajah dapat membantu diagnosis pada
inspeksi. Raut wajah menajdi makin kasar, sinus paranasalis dan sinus frontalis
membesar. Bagian frontal menonjol, tonjolan supraorbital menjadi semakin nyata, dan
terjadi deformitas mandibula disertai timbulnya prognatisme (rahang yang menjorok ke
depan) dan gigi-geligi tidak dapat menggigit. Pembesaran mandibula menyebabkan
gigi-gigi renggang. Lidah juga membesar, sehingga penderita sulit berbicara. Suara
menjadi lebih dalam akibat penebalan pita suara.
Deformitas tulang belakang karena pertumbuhan tulang yang berlebihan,
mengakibatkan timbulnya nyeri di punggung dan perubahan fisologik lengkung tulang
belakang. Pemeriksaan radiografik tengkorak pasien akromegali mnunjukkan perubahan
khas disertai pembesaran sinus paranasalis, penebalan kalvarium, deformitas mandibula
(yang menyerupai bumerang), dan yang paling penting ialah penebalan dan destruksi
sela tursika yang menimbulkan dugaan adanya tumor hipofisis.

E. Manifestasi klinis
1. Akromegali
Manifestasi klinis akromegali yang muncul perlahan selama bertahun-tahun
menyebabkan terdapatnya rentang waktu yang lama antara diagnosis dengan waktu
timbulnya gejala nntuk pertama kali, yaitu berkisar antara 5-32 tahun. Pada hampir 70%
kasus saat diagnosis akromegali ditegakkan, ukuran tumor telah mencapai >10 mm
(makroadenoma). Penekanan terhadap kiasma optikum terjadi pada 70-73% kasus.
Manifestasi klinis yang ditemukan bervariasi dari sekedar pembesaran akral,
pembengkakan jaringan lunak, hingga terjadinya osteoartritis, diabetes mellitus, dan
hipertensi. Dari seri kasus empat pasien akromegali didapatkan manifestasi klinis
berupa sakit kepala,perbesaran akral, serta perubahan maksilofasial.
Gambar 2. Gambar akromegali. Seorang laki-laki 22 tahun dengan akromegali karena kelebihan GH
pada sebelah kiri dari kembar identik. Peningkatan tinggi badan dan proganthism (A) dan pembesaran tangan (B)
an kaki (C) yang muncul pada pasien. Gambaran klinis muncul setelah usia 13 tahun.

Tabel 2. Manifestasi Klinis Akromegali

2. Gigantisme
Manusia dikatakan gigantisme apabila tinggi badan mencapai dua meter atau
lebih. Ciri utama gigantisme adalah perawakan yang tinggi hingga mencapai 2 meter
atau lebih dengan proporsi tubuh yang normal. Hal ini terjdi karena jaringan lunak
seperti otot dan lainnya tetap tumbuh. gigantisme dapat disertai gangguan penglihatan
bila tumor membesar hingga menekan khiasma optikum yang merupakan jalur saraf
mata.

Presentasi pasien dengan gigantisme biasanya dramatis, tidak seperti akromegali


pada orang dewasa yang membahayakan. Alasan untuk perbedaan ini mencakup
pemantauan penutupan pertumbuhan anak dan tulang rawan mereka relatif responsif
pertumbuhan. Anak-anak dengan gigantisme memiliki efek beberapa jaringan lunak
(misalnya, edema perifer, fitur wajah kasar) karena pertumbuhan linier yang cepat pada
mereka.

 Percepatan longitudinal pada pertumbuhan linier sekunder untuk kelebihan


IGF-I adalah fitur cardinal klinis pada gigantisme.
 Tumor massa dapat menyebabkan sakit kepala, perubahan visual karena
kompresi saraf optik, dan hypopituitarism.
 Temuan umum dari kelebihan GH adalah hiperprolaktinemia, yang
bermanifestasi pada masa kanak-kanak karena mammosomatotrophs adalah
jenis yang paling umum sel GH-mensekresi terlibat dalam gigantisme masa
kanak-kanak.

F. Tatalaksana
1. Akromegali
Pasien akromegali memiliki angka mortalitas dan morbiditas dua hingga empat
kali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Tata laksana yang adekuat dapat
menurunkan angka mortalitas tersebut. Tujuan tata laksana pasien akromegali adalah
mengendalikan pertumbuhan massa tumor, menghambat sekresi hormon pertumbuhan,
dan normalisasi kadar IGF-I. Terdapat tiga modalitas terapi yang dapat dilakukan pada
kasus akromegali, yaitu pembedahan, medikamentosa dan radioterapi. Masing-masing
modalitas memiliki keuntungan dan kelemahan, tetapi kombinasi berbagai modalitas
yang ada diharapkan dapat menghasilkan tata laksanayang optimal.
Tindakan pembedahan diharapkan dapat mengangkat seluruh massa tumor
sehingga kendali terhadap sekresi hormon perturnbuhan dapat tercapai. Tindakan ini
menjadi pilihan pada pasien dengan keluhan yang timbul akibat kompresi tumor.
Ukuran tumor sebelum pembedahan mempengaruhi angka keberhasilan terapi.

Terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas tiga golongan, yakni agonis
dopamin, analog somatostatin, dan antagonis reseptor hormon pertumbuhan.
A. Dopamin agonis (DA)
Dopamin agonis terdiri atas bromokriptin dan cabergoline. Monoterapi dengan
cabergoline memiliki efikasi antara l0-35% dalam menormalisasi kadar IGF-I. Pada
serial 64 pasien dengan akromegali yang ditatalaksana dengan cabergoline selama 3
sampai 40 bulan dengan dosis 1,0-1,75 mg/minggu menurunkan kadar GH dan IGF-I
pada 40% pasien.7 Pasien yang menolak tindakan operasi dan pemberian obat injeksi
dapat menggunakan obat golongan ini, mengingat dopamin agonis merupakan satu-
satunya golongan obat dalam tata laksana akromegali yang dapat dikonsumsi secara
oral.
B. Analog somatostatin (SSA)
Analog somatostatin bekerja menyerupai hormon somatostatin yaitu menghambat
sekresi hormon pertumbuhan. Obat golongan ini memiliki efektivitas sekitar 70% dalam
menormalisasi kadar IGF-I dan hormon pertumbuhan. Efektivitasnya yang tinggi
menjadikan obat golongan analog somatostatin sebagai pilihan pertama dalam terapi
medikamentosa. Selain menormalisasi kadar IGF-I, terapi analog somatostatin juga
dapat mengecilkan ukuran tumor (80%), perbaikan fungsi jantung, tekanan darah, serta
profil lipid. Kendala utama yang dihadapi hingga saat ini adalah mahalnya biaya yang
harus dikeluarkan..
C.Antagonis reseptor hormon pertumbuhan (GH Receptor Antagonist)
Antagonis reseptor hormon pertumbuhan merupakan kelas baru dalam terapi
medikamentosa akromegali. Pegvisomant merupakan rekombinan analog hormon
pertumbuhan manusia yang bekerja sebagai selektif antagonis reseptor GH. Obat
golongan ini direkomendasikan pada kasus akromegali yang tidak dapat dikontrol
dengan terapi pembedahan, pemberian agonis dopamin, maupun analog somatostatin.
Antagonis reseptor hormon pertumbuhan dapat menormalisasi kadar IGF-I pada 90%
pasien. Sebuah studi yang menilai efektivitas serta keamanan terapi obat golongan ini
sebagai monoterapi atau kombinasi dengan analog somatostatin memperlihatkan
efektivitas masing-masing sebesar 56% dan 62% dalam menormalisasi kadar IGF- I.
2,4,6,7 Pegvisomant diberi secara subkutan dengan dosis 10, 15, atau 20 mg/hari. Pada
uji pivotal, normalisasi IGF-I bersifat dose dependent dan dapat dicapai pada pasien
yang mendapat dosis hingga 40 mg/hari.
d.Terapi Kombinasi
Pada pasien yang memberi respon biokimia parsial terhadap pemberian SSA,
penambahan cabergoline atau pegvisomant dapat dipertimbangkan.
 Kombinasi SSA dan cabergoline
Beberapa studi yang dipublikasi mengindikasikan bahwa DA seperti
cabergoline bermanfaat sebagai tambahan terhadap SSAs pada pasien yang resisten
terhadap SSAs. Pada suatu studi dari 19 pasien dengan respon parsial terhadap SSA,
penambahan Cabergoline menghasilkan normalisasi kadar IGF-I pada 8 pasien (42%).
Pada studi ini, adanya tumor immunocytochemistry yang positif untuk prolaktin atau
hiperprolaktinemia tidak berhubungan dengan reduksi IGF-I dan GH. Oleh karena itu,
kombinasi cabergoline dengan SSA efektif walaupun tidak dijumpai
hiperprolaktinemia.
Kombinasi SSA dan Pegvisomant
Kombinasi dua obat ini tampaknya lebih efektif dalam menurunkan IGF-I
dibandingkan dengan SSA atau Pegvisomant saja. Penambahan Pegvisomant setiap
minggu pada dosis rata-rata 60 mg/minggu selama 42 minggu terhadap pasien yang
resisten terhaap SSA menghasilkan normalisasi IGF-I pada 95% pasien. Tidak ada
pembesaran tumor hipofisis, tetapi peningkatan ringan enzim hati dijumpai pada 38%

Radioterapi umumnya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama pada kasus
akromegali karena lamanya rentang waktu tercapainya terapi efektif sejak pertama kali
dimulai. Radioterapi konvensional dengan dosis terbagi memerlukan waktu 10-20 tahun
untuk mencapai terapi yang efektif, sementara beberapa teknik radioterapi yang baru,
yaitu gamma knife, proton beam, linac stereotactic radiotherapy dapat memberikan
remisi yang lebih cepat. Studi yang menilai efektivitas stereotactic radiotherapy
terhadap para pasien yang tidak berhasil dengan radioterapi konvensional
memperlihatkan penurunan kadar IGF-I sebesar 38% dua tahun pascaterapi. Saat ini di
Indonesia modalitas stereotactic radiotherapy telah digunakan pada kasus akromegali.

2. Gigantisme
Tujuan pengobatan adalah :
a) Menormalkan kembali kadar GH atau IGF-1.
b) Memperkecilkan tumor atau menstabilkan besarnya tumor
c) Menormalkan fungsi hiposis

Dikenal 3 macam terapi, yaitu:


A. Terapi pembedahan
Tindakan pembedahan adalah cara pengobatan utama. Dikenal dua macam
pembedahan tergantung dari besarnya tumor yaitu : bedah makro dengan melakukan
pembedahan pada batok kepala (TC atau trans kranial) dan bedah mikro (TESH atau
trans ethmoid sphenoid hypophysectomy). Cara terakhir ini (TESH) dilakukan dengan
cara pembedahan melalui sudut antara celah infra orbita dan jembatan hidung antara
kedua mata, untuk mencapai tumor hipofisis. Hasil yang didapat cukup memuaskan
dengan keberhasilan mencapai kadar HP yang diinginkan tercapai pada 70 – 90% kasus.
Keberhasilan tersebut juga sangat ditentukan oleh besarnya tumor.
Efek samping operasi dapat terjadi pada 6 – 20% kasus, namun pada umumnya
dapat diatasi. Komplikasi pasca operasi dapat berupa kebocoran cairan serebro spinal
(CSF leak), fistula oro nasal, epistaksis, sinusitis dan infeksi pada luka operasi.
Keberhasilan terapi ditandai dengan menurunnya kadar GH di bawah 5 µg/l.
Dengan kriteria ini keberhasilan terapi dicapai pada 50 – 60% kasus, yang terdiri dari
80% kasus mikroadenoma, dan 20 % makroadenoma.

B. Terapi radiasi
Indikasi radiasi adalah sebagai terapi pilihan secara tunggal, kalau tindakan
operasi tidak memungkinkan, dan menyertai tindakan pembedahan kalau masih terdapat
gejala akut setelah terapi pembedahan dilaksanakan.
Radiasi memberikan manfaat pengecilan tumor, menurunkan kadar GH , tetapi
dapat pula mempengaruhi fungsi hipofisis. Penurunan kadar GH umumnya mempunyai
korelasi dengan lamanya radiasi dilaksanakan. Eastment dkk menyebutkan bahwa,
terjadi penurunan GH 50% dari kadar sebelum disinar (base line level), setelah
penyinaran dalam kurun waktu 2 tahun, dan 75% setelah 5 tahun penyinaran.
Peneliti lainnya menyebutkan bahwa, kadar HP mampu diturunkan dibawah 5
µg/l setelah pengobatan berjalan 5 tahun, pada 50% kasus. Kalau pengobatan
dilanjutkan s/d 10 tahun maka, 70% kasus mampu mencapai kadar tersebut.

C. Pengobatan medis dengan menggunakan ocreotide,


Suatu analog somatostatin, juga tersedia. Ocreotide dapat menurunkan supresi
kadar GH dan IGF-1, mengecilkan ukuran tumor, dan memperbaiki gambaran klinis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Akin F, Yerlikaya E. Acromegaly and Gigantism. Pamukkale University


Faculty Of Medicine Division of Endocrinology and Metabolism, Turkey.
2011. p53-74
2. Lamesson JL. Harrison’s Endocrinology third Edition. McGraw Hill. 2013.
p 34-44
3. Melmed S. Acromegaly pathogenesis and treatment. J Clin Invest.2009.
p3189 -202.
4. Cahyanurr R, Soewondo P. Akromegali. Majalah Kedokteran Indonesia
Volume: 60, Nomor: 6. Jakarta. 2010.p279-83
5. Holt RI, Hanley NA. Essential Endocrinology and Diabetes. Sixth edition A
John Wiley & Sons, Ltd., Publication. 2013. p73-82
6. Katznelson L, Atkinson J, Cook D, Ezzat S ,Hamrahian A, Miller K. AACE
guidelines for clinical practice for diagnosis and treatment for acromegaly.
2011.
7. Arafah BM, Nasrallah MP. Pituitary Tumors: Pathophysiology, Clinical
Manifestations and Management. Endocrine-related cancer. 2001;8(4):287-
305.

Anda mungkin juga menyukai