Anda di halaman 1dari 17

Tugas Farmako (review journal)

Blok Perilaku dan Psikiatri

Nama : Rotsi Atikha Atira Kusuma


Nim : 201210330311048

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MALANG
Obat Sedatif Untuk Lansia
Farmakologik
Benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap merupakan pilihan utama untuk
mengatasi insomnia baik primer maupun sekunder. Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan
cenderung tidak disalahgunakan. Antihistamin, prekursor protein seperti l-triptofan yang saat
ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat digunakan.
Penggunaan jangka panjang obat hipnotik tidak dianjurkan. Obat hipnotik hendaklah
digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi insomnia jangka pendek. Dosis harus
kecil dan durasi pemberian harus singkat. Benzodiazepin dapat direkomendasikan untuk dua
atau tiga hari dan dapat diulang tidak lebih dari tiga kali. Penggunaan jangka panjang dapat
menimbulkan masalah tidur atau dapat menutupi penyakit yang mendasari. Penggunaan
benzodiazepin harus hati-hati pada pasien penyakit paru obstruktif kronik, obesitas, gangguan
jantung dengan hipoventilasi
Benzodiazepin dapat mengganggu ventilasi pada apnea tidur. Efek samping berupa
penurunan kognitif dan terjatuh akibat gangguan koordinasi motorik sering ditemukan. Oleh
karena itu, penggunaan benzodiazepin pada lansia harus hatihati dan dosisnya serendah
mungkin.
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan zolpidem) merupakan obat
pilihan untuk membantu orangorang yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat yang waktu
paruhnya panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna untuk penderita yang
mengalami interupsi tidur. Benzodiazepin yang kerjanya lebih panjang dapat memperbaiki
anksietas di siang hari dan insomnia di malam hari. Sebagian obat golongan benzodiazepin
dimetabolisme di hepar. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang menghambat oksidasi
sitokrom (seperti simetidin, estrogen, INH, eritromisin, dan fluoxetine) dapat menyebabkan
sedasi berlebihan di siang hari. Triazolam tidak menyebabkan gangguan respirasi pada pasien
COPD ringan-sedang yang mengalami insomnia. Neuroleptik dapat digunakan untuk insomnia
sekunder terhadap delirium pada lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti lorazepam
digunakan untuk memperkuat efek neuroleptik terhadap tidur. Antidepresan yang bersifat
sedatif seperti trazodone dapat diberikan bersamaan dengan benzodiazepin pada awal malam.
Antidepresan kadang-kadang dapat memperburuk gangguan gerakan terkait tidur (RLS).
Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan noradrenergic and specific serotonin
antidepressant (NaSSA). Ia dapat memperpendek onset tidur, stadium 1 berkurang, dan
meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total waktu tidur, kontinuitas tidur, serta efisiensi
tidur meningkat pada pemberian mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita depresi dengan
insomnia tidur. Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan monoamin
oksidase inhibitor pada lansia karena dapat menstimulasi insomnia. Lithium dapat menganggu
kontinuitas tidur akibat efek samping poliuria. Khloralhidrat dan barbiturat jarang digunakan
karena cenderung menekan pernafasan. Antihistamin dan difenhidramin bermanfaat untuk
beberapa pasien tapi penggunaannya harus hati-hati karena dapat menginduksi delirium.
Benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap merupakan pilihan utama untuk
mengatasi insomnia, baik primer maupun sekunder Melatonin merupakan hormon yang
disekresikan oleh glandula pineal. Ia berperan mengatur siklus tidur. Efek hipnotiknya terlihat
pada pasien gangguan tidur primer. Ia juga memperbaiki tidur pada penderita depresi mayor.
Melatonin juga dapat memperbaiki tidur, tanpa efek samping, pada lansia dengan insomni.
Melatonin dapat ditambahkan ke dalam makanan.
Non farmakologik
Higene tidur Memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk tidur merupakan
syarat mutlak untuk gangguan tidur. Jadual tidur-bangun dan latihan fisik sehari-hari yang
teratur perlu dipertahankan. Kamar tidur dijauhkan dari suasana tidak nyaman. Penderita
diminta menghindari latihan fisik berat sebelum tidur. Tempat tidur jangan dijadikan tempat
untuk menumpahkan kemarahan. Perubahan kebiasaan, sikap, dan lingkungan ini efektif untuk
memperbaiki tidur. Edukasi tentang higene tidur merupakan intervensi efektif yang tidak
memerlukan biaya

Terapi pengontrolan stimulus


Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang sering dikaitkan dengan
kesulitan memulai atau jatuh tidur. Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan reaktif
yang sering ditemukan pada insomnia. Ada beberapa instruksi yang harus diikuti oleh penderita
insomnia:
1. Ke tempat tidur hanya ketika telah mengantuk.
2. Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
3. Jangan menonton TV, membaca, makan, dan menelpon di tempat tidur.
4. Jangan berbaring-baring di tempat tidur karena bisa bertambah frustrasi jika tidak bisa
tidur.
5. Jika tidak bisa tidur (setelah beberapa menit) harus bangun, pergi ke ruang lain,
kerjakan sesuatu yang tidak membuat terjaga, masuk kamar tidur setelah kantuk
datang kembali.
6. Bangun pada saat yang sama setiap hari tanpa menghiraukan waktu tidur, total tidur,
atau hari (misalnya hari Minggu).
7. Menghindari tidur di siang hari.
8. Jangan menggunakan stimulansia (kopi, rokok, dll) dalam 4-6 jam sebelum tidur.
Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama. Bila kebiasaan ini terus
dipraktikkan, gangguan tidur akan berkurang baik frekuensinya maupun beratnya

Sleep Restriction Therapy


Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu mengkonsolidasikan tidur . Terapi ini
bermanfaat untuk pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Misalnya, bila
pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur lima jam dari delapan jam waktu yang
dihabiskannya di tempat tidur, waktu di tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur di siang hari
harus dihindari. Lansia dibolehkan tidur sejenak di siang hari yaitu sekitar 30 menit. Bila
efisiensi tidur pasien mencapai 85% (rata-rata setelah lima hari), waktu di tempat tidurnya
boleh ditambah 15 menit.
Terapi pembatasan tidur, secara berangsurangsur, dapat mengurangi frekuensi dan durasi
terbangun di malam hari. Terapi relaksasi dan biofeedback Terapi ini harus dilakukan dan
dipelajari dengan baik. Menghipnosis diri sendiri, relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam
sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan
latihan yang cukup dan serius. Biofeedback yaitu memberikan umpan-balik perubahan
fisiologik yang terjadi setelah relaksasi. Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran diri
pasien tentang perbaikan yang didapat. Teknik ini dapat dikombinasi dengan higene tidur dan
terapi pengontrolon tidur.

(cermin Dunia Kedokteran, 157, 2007 : Gangguan Tidur Pada Lanjut Usia, FKUI)
SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

A. Pendahuluan
Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of
reality ). Kelainanseperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan
pada perasaan,pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku
penderitatidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapatdimengerti
oleh orang normal, sehingga orang awam menyebut penderitasebagai orang gila. (Maramis,
2005)
Efek samping obat anti-psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat pengguanaan
oabat ini kemungkinan diberikan dalam jangka panjang. efek samping dapat berupa :
Sedasi dan Inhibisi Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)
Gangguan Otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik :mulut kering,
kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang
tinggi, gangguan irama jantung)
Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson : tremor,
bradikinesia, rigiditas)
Gangguan Endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia) metabolik (jaundice), hematologik
(agranulositosis), biasanya pada pemakaian panjang
Syndrome neuroleptik maligna

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik (Sholevar, 2002). Karekteristik dari SNM
adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan
mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal (Khan,
2011).
Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan antipsikotik,
khususnya neuroleptik. Di Cina pada suatu RCT didapatkan insidensi SNM mencapai 0,12 %
pada pasien dengan terapi neuroleptik. Suatu penelitian retrospektif di India menunjukkan
insidensi 0,14% (Sholevar, 2002). Sedangkan di Amerika SNM dilaporkan terdapat pada 0,2%
- 1,9% pasien (Khaldarov, 2000). Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering
menyebabkan SNM, semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan
sindrom ini. Obat-obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine), promethazine
(Phenergan), clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obat-obat non
neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM juga, obat-obat tersebut
adalah metoclopramide (Reglan), amoxapine (Ascendin), and lithium (Benzer, 2005).
Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM penting karena
komplikasi dari keadaan ini adalah kematian (Benzer, 2005). Kematian yang disebabkan oleh
SNM mencapai 21% (Khaldarov, 2000).

B. Definisi
DSM IV mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan
temperatur dan gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia,
perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan darah
meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan
dengan pengunaan pengobatan neuroleptik (Kaplan dan Sadock, 2005).
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya
dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan afek
mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena dimensia,
nausea, disfungsi usus dan penyakit Parkinson (Hal dan Chopman, 2006).
Sindrom ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom
adalah sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak
dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan, berkeringat,
suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh (Bottoni, 2001).

C. Etiologi
1. Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk neuroleptik potensi
rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM sering pada pasien
dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine (Sholevar, 2002).
2. Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi),
antipsikosik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik injeksi
long acting (Sholevar, 2002).
3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptic yang tidak
konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium, dan juga terapi
kejang listrik (Sholevar, 2002).
D. Faktor Resiko
1. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM adalah
kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi (Sholevar,
2002).
2. Faktor genetik. Terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM dapat
terjadi pada kembar identik (Sholevar, 2002).
3. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren. Resiko
rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode SNM dan
penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik dalam 2 minggu
episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu, persentasenya hanya
30% (Sholevar, 2002).
4. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium,
riwayat ECT, penggunaan neuroleptik tidak teratur (Sholevar, 2002).
5. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di
naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi (Sholevar, 2002).

E. Patofisiologi
Sesuai dengan istilahnya, SNM berkaitan dengan pemberian pengobatan
neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi terdapat hipotesis yang
menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin yang menyebabkan SNM.
Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothamalmus, sistem nigrostartial, traktus
kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis SNM (Khaldarov, 2000).
Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
set point sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan ketidak stabilan otonom
(Sholevar, 2002). Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di sistem traktus
kortiko limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran (Khaldarov, 2000). Perubahan
status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan
mesokortikal (Bottoni, 2002).

F. Gambaran Klinis
Sindrom neuroleptik maligna merupakan reaksi idiosinkratik yang tidak tergantung
pada kadar awali obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada dosis tunggal
neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal), biasanya
berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan dengan neuroleptik.
SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah pemberian obat neuroleptik
atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan) (Hal dan Chopman, 2006). Sindroma
neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas dari ringan sampai
dengan berat (Bottoni, 2002).
Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan
tekanan darah meningkat atau labil. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia,
tremor pada waktu tidur, distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan
dapat mencerminkan agitasi psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan
delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran (Sholevar, 2002).

G. Pemeriksaan Laboratorium
Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan
nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan:
1. Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2.000-15.000 U/L.
Pengingkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk SNM (Khaldarov,
2000).
2. Peningkatan Aminotransferases (aspartate aminotransferase / AST, alanine
aminotransferase / ALT, and lactate dehydrogenase / LDH) (Sholevar, 2002).
3. Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 30.000 x 103/ mm3),
trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat meningkat. Konsentrasi
serum besi dapat menurun (Sholevar, 2002).

H. Diagnosis
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu
kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan rigiditas
otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan otonom,
perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria (Nicholson dan Chiu,
2004).
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis banding
pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM ditegakkan,
semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan demam harus
disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan status mental dan ketidak
stabilan otonom (Nicholson dan Chiu, 2004).
Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders)
Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2

Kriteria A
1. Rigiditas otot
2. Demam

Kriteria B
1. Diaphoresis
2. Disfagia
3. Tremor
4. Inkontinensia
5. Perubahan kesadaran
6. Mutisme
7. Takikardi
8. Tekanan darah meningkat atau labil
9. Leukositosis
10. Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot

Kriteria C
Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)

Kriteria D
Tidak ada gangguan mental

Diagnosis banding dari SNM sangat luas. Hal terpenting sumber infeksi dari
demam harus di singkirkan. Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk membedakan
SNM dengan encephalitis virus atau encephalomyelitis post infeksi10. SNM harus
dibedakan dari sindrom yang disebabkan oleh pengobatan lain seperti sindrom serotonin
dan hipertermi maligna (Nicholson dan Chiu, 2004).
I. Diagnosis Banding
1. Heat stroke
Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan hipotensi.
2. Letal kataton
Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik. Neuroleptik dapat
memperbaiki atau memperburuk gejalanya. Membedakan SNM dan letal kataton sulit,
meskipun riwayat pasien menyatakan episode kataton pada saat pasien tidak
meminum neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada prodormal
sedangkan SNM dimulai dengan rigiditas.
3. Sindrom serotonin
Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan menggali
riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak adanya rigiditas
berat (Sholevar, 2002).

J. Penatalaksanaan
1. Terapi suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik
dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2 minggu.
SNM yang dipercepat dengan depot injeksi anti psikotik long action dapat bertahan
selama sebulan (Sholevar, 2002).
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan
memelihara fungsi organ yaitu (Sholevar, 2002):
Manajemen jalan nafas : intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.
Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik.
Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.
Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis cairan
serebrospinal, kultur urin dan darah (Bottoni, 2002).

2. Terapi farmakologik
Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti
bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati SNM
berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai untuk mengurangi
rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas. Beberapa ahli melaporkan bahwa
agonis dopamin, clantralene maupun kombinasi keduanya dapat mengurangi
mortalitas atau memperpendek durasi sakit. Peneliti lain melaporkan tidak ada
manfaat dan setelah diamati ternyata meningkatkan komplikasi dan pemanjangan
gejala karena pemakaian obat-obat tersebut (Khaldarov, 2000).
Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa
kasus. Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan
SNM dengan mengurangi durasi menjadi 2 3 hari (Khaldarov, 2000).

K. Komplikasi
Komplikasi dari sindroma neuroleptik maligna banyak. Komplikasi yang paling
umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menuerus dan akhirnya
terjadi kerusakan otot (Bottoni, 2002).
Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo,
sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular coagulation, seizure, infark
myocardial (Botoni, 2002).
Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik yang
tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena menderita
gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti pskotik di
hentikan (Sholevar, 2002).

L. Prognosis
1. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis berat otot yang
menjadi rhabdomyuolisis.
2. Pasien dengan riwayat SNM dapat terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi
berhubungan dengan jeda waktu antara SNM dan dimulainya kembali pengobatan
antipsikotik (Sholevar, 2002).

M. Pencegahan
Pencegahan merupakan bagian penting dalam memanage kondisi heterogen ini.
Dosis terendah neuroleptik dianjukan, dengan memonitor onset efek samping ekstra
piramida Deteksi awal dan memberikan terapi untuk mengeliminasi efek samping ekstra
piramidal, terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih lanjut SNM dan
komplikasinya (Kaplan dan Sadock, 2005).

(G.Bhandari, chapter 118, Neuroleptic Malignan Syndrome)


Tardive Dyskinase

Definisi

Gangguan kronis dari sistem saraf : gerakan berulang yang involunter pada bagian wajah,
rahang, batang tubuh dan pada ekstremitas, akibat penggunaan jangka panjang obat antipsikotik

Etiologi

pengobatan jangka panjang dopamine antagonis

neuroleptik tradisional potensi tinggi dan potensi rendah

Penggunaan antihistamin, fluoxetine, amoxapine (antidepresan trisiklik), dan agen lainnya

Pengobatan yang menyebabkan TD

Antipsikostik Tipikal
Klorpromazin (CPZ)
Efek farmakologis klorpromazin meliputi susunan saraf pusat, sistem otonom, dan
sistem endokrin. Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai reseptor,
diantaranya dopamin reseptor, -adrenergik, muskarinik, histamin H1 dan reseptor serotonin
5HT2 dengan afinitas yang berbeda. Klorpromazin selain memiliki afinitas pada reseptor
dopamin, juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor -adrenergik. CPZ
menimbulkan efek sedatif yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap rangsang dari
lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap efek sedasi. Timbulnya
sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum obat.
CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat rangsang listrik maupun rangsang oleh
obat. CPZ yang merupakan golongan fenotiazin mempengaruhi ganlia basal, sehingga
menimbulkan gejala parkinsonisme (efek ekstrapiramidal)
CPZ dapat mengurangi atau mencegah muntah yang disebabkan oleh rangsangan pada
chemoreceptor trigger zone.
Pada dosis berlebihan semua derivate fenotiazin dapat menyebabkan gejala
ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada Parkinson. Dikenal 6 gejala sindrom
neurologik yang karateristik dari obat ini. Empat diantaranya biasa terjadi sewaktu obat
diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme, dan sindrom neuroleptic malignan.
Dua sindrom lainya terjadi setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa
tremor perioral dan dyskinesia tardii. CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot rangka yang
berada dalam keadaan spastik. Cara kerja relaksasi ini diduga bersifat sentral sebab
sambungan saraf otot dan medula spinalis tidak dipengaruhi CPZ. CPZ memiliki efek
samping terhadap sistem reproduksi, terhadap wanita dapat terjadi amenorea, galaktorea, dan
peningkatan libido, sedangkan pada pria penurunan libido dan ginekomastia. Efek ini terjadi
karena efek sekunder dari hambatan dopamin yang menyebabkan hiperprolaktinemiam serta
adanya kemungkinan peningkatan perubahan androgen menjadi estrogen di perifer.
Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istirahat biasanya sering terjadi
dengan derivate fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, curah jantung menurun
dan frekuensi jantung meningkat. Efek ini diperkirakan karena efek otonon dari obat psikosis.
Klorpromazin memiliki bioavaibilitas berkisar antara 25%-35%, besifat larut dalam lemak
dan
terikat kuat dengan protein plasma (92%-99%) serta memiliki volume distribusi besar.
Metabolit klorpromazin ditemukan di urin sampai beberapa minggu setelah pemberian obat
terakhir.
Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang karena
halt tertentu tidak dapat diberikan fenitiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% pasien
yang diobati haloperidol. Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Haloperidol
memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania pneyakit manik depresi
dan skizofenia. Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang
mengalami ekstasi.
Efek sedatif haloperidol kurang kuat disbanding dengan CPZ, sedangkan efek
haloperidol terhadap EEG menyerupai CPZ yakni memperlambat dan menghambat jumlah
gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsi.
Haloperidol menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang
ditimbulkan
oleh apomorfin. Efek haloperidol terhadap sistem saraf otonom lebih kecil daripada efek
antipsikotik lain, walaupun demikian haloperidol dapat menyebabkan pandangan kabur
(blurring of vision). Obat ini menghambat aktivasi respetor -adrenergik , tetapi hambatanya
tidak sekuat hambatan CPZ. Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan
sehebat CPZ. Haloperidol juga menyebabkan takikardia. Seperti CPZ, haloperidol
menyebabkan galaktorea dan respon endokrin lainya. Haloperidol cepat diserap dari saluran
cerna. Kadar puncaknya dalam plasma tercapai dalam waktu 2-6 sejak menelan obat,
menetap sampai 72 jam dan masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-
minggu. Obat ini ditimbun dalam hati dan kita-kira 1% dari dosis yang diberikan
diekskresikan melalui empedu.Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat
dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal.
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insiden yang tinggi terutama
pada pasien usia muda. Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai dengan hati-hati, dapat
terjadi depresi akibat reversi keadaan mania.
Perubahan hematologi ringan dapat terjadi, seperti leukopenia dan agranulositosis. Frekuensi
keadaan ikterus akibat haloperidol rendah. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan kepada
wanita hamil, karena belum dapat terbukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek
teratogenik.
Dibenzoksazepin
Obat ini mewakili golongan antipsikosis yang baru, namun sebagian besar memiliki
efek farmakologiknya sama. Loksapin memiliki efek antiemetik, sedatif, antikolinergik dan
antiadrenergik. Obat ini berguna untuk mengobati skizofrenia dan psikosis lainnya. Obat ini
memiliki efek ekstrapiramidal dan diskinesia tardif, serta dapat menurunkan ambang bangkita
pasien, sehingga harus digunakan hati-hati pada pasien dengan riwayat kejang.
Loksapin diarbsorbsi baik peroral, kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1 jam
(IM) dan 2 jam (oral). Waktu paruh loksapin ialah 3,4. Metabolit utamanya memiliki waktu
paruh lebih lama (9jam).

Antipsikosis Atipikal
Klozapin
Merupakan antipsikotik atipikal pertama dengan potensi lemah. Disebut atipikal
karena obat ini hampir tidak menimbulkan efek ekstrapiramidal dan peningkatan kadar
prolaktin serum. Klozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan schizophrenia
baik yang positif ( iritabilitas ) maupun yang negative (social disinterest dan incompetence,
personal neatness) . Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan
secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pengobatan pasien
yang refrakter terhadap obat standar. Selain itu Klozapin juga cocok digunakan pada pasien
yang menunjukan gejala ekstrapiramidal berat pada pemberian antipsikosis tipikal.
Namun karena klozapin memiliki resiko timbulnya agranulositosis yang lebih tinggi
dibanding dengan antipsikosis lain. Maka penggunanannya dibatasi hanya pada pasien yang
resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis yang lain. Pasien yang diberi klozapin
perlu dipantau jumlah sel darah putihnya setiap minggu. merupakan efek samping utama
yang ditimbulkan pada pengobatan
menggunakan klozapin. Penggunaan obat ini tidak boleh lebih dari 6 minggu kecuali bila
terlihat adanya perbaikan yang signifikan. Efek samping lain yang dapat terjadi antara lain
hipertermia, takikardia, sedasi, pusing kepala, hipersalivasi. Gejala overdosis meliputi,
letargi, koma, delirium, takikardia, depresi napas, aritmia, kejang dan hipertermia
Klozapin diabsorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral. Kadar
puncak plasma tercapai pada kira-kira 1.6 jam setelah pemberian obat. Diekskresi lewat urin
dan tinja, dengan waktu paruh rata-rata 11.8 jam.
Risperidon
Risperidon yang merupakan derivate dari benzisoksazol mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah terhadap reseptor dopamin
D2, alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamine. Aktivitas antipsikosis diperkirakan
melalui hambatan terhadap reseptor serotonin dan dopamin.
Bioavailibilitas oral sekitar 70%. Diplasma risperidon terikat dengan albumin dan
alfa1 glikoprotein. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat urin dan sebagian kecil
lewat feses. Indikasi risperidon adalah terapi skizofrenia baik untuk gejala positif dan gejala
negative, gangguan bipolar, depresi dengan cirri psikosis. Secara umum risperidon dapat
ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas,
somnolen, mual, muntah, peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi
ekstrapiramidal terutama tardive diskinesia. Efek samping ekstrapiramidal umumnya lebih
ringan disbanding antipsikosis tipikal.
Olanzapin
Merupakan derivat tienobezondiazepin dan memiliki struktur kimia mirip klozapin.
Olanzapin memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin (D2, D3, D4, D5), serotonin(5HT2),
muskarinik, histamin(H1) dan reseptor alfa 1. Obat ini diabsorbsi dengan baik setelah
pemberian oral, dengan kadar plasma tercapai setelah 4-6 jam pemberian. Olanzapin
mengalami metabolisme enzim CYP 2D6 dan diekskresi lewat urin.
Indikasi utama dari olanzapin adalah mengatasi gejala negatif dan positif dari
skizofrenia dan dapat juga digunakan sebagai antimania. Selain itu, depresi dengan gejala
psikotik juga dapat dapat mendapat terapi olanzapin.
Tidak seperti klozapin, olanzapin tidak dapat menimbulkan agranulositosis. Olanzapin dapat
ditoleransi dengan baik dengan efek samping ekstrapiramidal terutama tardiv diskinesia yang
minimal. Selain itu, peningkatan berat badan dan gangguan metabolik seperti glukosa,
hiperglikemia, dan hiperlipidemia sering dilaporkan pada penggunaan olanzapin.
Quetiapin
Quetiapin memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin(D2), serotonin(5HT2) dan
bersifat agonis parsial terhadap reseptor serotonin (5HT1A) yang diperkirakan mendasari
efektivitas obat ini untuk gejala positif maupun negatif skizofrenia Absorbsi quetiapin cepat
setelah pemberian oral. Kadar plasma maksimal tercapai setelah pemberian 1-2 pemberian
dan terikat protein sekitar 83%. Quetiapin dimetabolisme melalui hati oleh enzim CYP 3A4
dan diekskresi sebagian besar melalui urin dan sebagian kecil melalui feses.
Quetiapin digunakan pada penderita skizofrenia dengan gejala positif maupun
negatif.obat ini dilaporkan dapat meningkatkan kemampuan kognitif seperti perhatian,
kemampuan berpikir, berbicara, dan kemampuan mengingat membaik. Selain itu quetiapin
juga diindikasikan untuk gangguan depresi dan mania. Efek samping yang umum terjadi pada
penggunaan quetiapin yaitu sakit kepala, somnolen, dan dizziness.efek samping yang sering
terjadi pada penggunaan anti psikosis atipikal lainnya seperti berat badan meningkat,
gangguan metabolik dan hiperprolaktinemia juga terjadi pada quetiapin. Namun gejala
ekstrapiramidal minimal.
Ziprasidon
Obat ini dikembangkan daengan harapan memiliki spektrum skizofrenia yang luas,
baik gejala positif, negatif maupun gejala afektif dengan efek samping yang minimal
terhadap prolaktin, metabolik, gangguan seksual, dan efek antikolinergik. obat ini memiliki
afinitas tinggi terhadap reseptor serotonin(5HT2), dan dopamin(D2).
Absorbsi ziprasidon cepat setelah pemberian oral dan di metabolisme di hati lalu
diekskresikan sebagian kecil melalui ginjal dalam bentuk urin. Ziprasidon berikatan erat
dengan protein plasma(sekitar 99%) Ziprasidon diindikasikan pada keadaan akut skizofreni,
gangguan skizoafektif serta gangguan bipolar. Efek samping ziprasidon hampir sama dengan
efek samping antipsikosis atipikal lainnya, namun ziprasidon dapat menimbulkan kelainan
kardiovaskular yaitu pemanjangan interval QT.
Faktor Risiko

Usia

Jenis kelamin

Retardasi mental

Penyalahgunaan obat-obatan

Patofisiologi

Blokade reseptor dopamin yang kronis menyebabkan peningkatan respon dari reseptor

Blokade reseptor dopamine D2 dikurangi (meskipun sedikit), mungkin menghasilkan respons


yang berlebihan pada reseptor post-sinaptik dopamine D2

Lesi pada striatum dan palidum athetosis

Lesi pada palidum dan thalamus distonia

Distonia ini dapat berupa torticolis dan blepharospasme

Manifestasi klinis

Ditandai dengan gerakan tak terkendali dari sekelompok otot involunter yang tiba-tiba.

Biasanya terdiri dari gerakan terkoordinasi dan konstan dari mulut, lidah, rahang dan pipi

Selain itu, ada juga gerakan seperti menjulurkan lidah, berkedip, dan gerakan yang cepat dari
lengan dan tubuh

Tingkat keparahan dari kondisi ini, diindikasi dari frekuensi gerakan/ spasme

Diagnosis

Tardive dyskinesia didiagnosis jika 1 didapatkan salah satu kriteria berikut:


Orang yang mengkonsumsi obat neuroleptik minimal 3 bulan (1 bulan jika berusia lebih dari
60 tahun) diikuti minimal 2 gerakan dengan intensitas ringan ketika mengkonsumsi obat
neuroleptik.

Orang yang mengkonsumsi obat neuroleptik minimal 3 bulan (1 bulan jika berusia lebih dari
60 tahun) diikuti minimal 1 gerakan dengan intensitas sedang ketika mengkonsumsi obat
neuroleptik.

Orang yang mengkonsumsi obat neuroleptik minimal 3 bulan (1 bulan jika berusia lebih dari
60 tahun) diikuti minimal 2 gerakan dengan intensitas ringan dalam 4 minggu penghentian
konsumsi obat neuroleptik.

Orang yang mengkonsumsi obat neuroleptik minimal 3 bulan (1 bulan jika berusia lebih dari
60 tahun) diikuti minimal 1 gerakan dengan intensitas sedang dalam 4 minggu penghentian
konsumsi obat neuroleptik.

Orang yang mengkonsumsi obat neuroleptik minimal 3 bulan (1 bulan jika berusia lebih dari
60 tahun) diikuti minimal 2 gerakan dengan intensitas ringan dalam 8 minggu penghentian
konsumsi obat neuroleptik.

Orang yang mengkonsumsi obat neuroleptik minimal 3 bulan (1 bulan jika berusia lebih dari
60 tahun) diikuti minimal 1 gerakan dengan intensitas sedang dalam 8 minggu penghentian
konsumsi obat neuroleptik.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Defisiensi serum seruloplasmin: karakteristik wilsons disease

Sebagai tambahan, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengekslusi


kemungkinan penyakit lainnya

Pemeriksaan Pencitraan

Pemeriksaan CT dan MRI biasanya tidak ditemukan kelainan pada pasien TD

Berguna untuk membantu diagnosis

Contohnya: pada Hungtinton Disease CT dan MRI atrofi nukleus caudatus

Hasil Pencitraan digunakan untuk mengesklusi neoplasma dan infark cerebri

Tatalaksana

Pencegahan terjadi TD dengan menggunakan obat neuroleptik dengan dosis efektif yang kecil
dengan jangka waktu yang sesingkat-singkatnya

Pada pasien skizofrenia dengan pengobatan dengan neuroleptik jangka panjang perlu
dievaluasi kemungkinan menjadi anti psikotik atipikal

Neuroleptik atipikal memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk terjadinya TD


Dapat juga digunakan terapi lain seperti levodopa, benzodiazepin, botulinum toxin, dopamine
depleting agent dan ondansentron

Ada juag terapi kontroversial dengan meneruskan dan meningkatkan dosis dopamin antagonis

(Tardive Dyskinesia in the Era of Typical and Atypical Antipsychotics. Part 2: Incidence and
Management Strategies in Patients With Schizophrenia, Can J Psychiatry, Vol 50, No 11,
October 2005)

Anda mungkin juga menyukai