Anda di halaman 1dari 9

1.

Antipsikotik
Antipsikotik, yang juga dikenal sebagai neuroleptik, digunakan untuk mengobati
gejala psikosis, misalnya waham dan halusinasi. Antipsikotik bekerja dengan menyekat
reseptor neurotransmiter dopamin. Antipsikotik digunakan secara klinis sejak tahun 1950an. Antipsikotik merupakan terapi medis utama untuk skizofrenia dan juga digunakan
dalam episode psikotik mania akut, depresi psikotik, dan psikosis akibat penggunaan obat.
Penderita demensia yang mengalami gejala psikotik kadang kala berespons terhadap dosis
antipsikotik yang rendah. Terapi antipsikotik jangka pendek bermanfaat untuk mengobati
gejala yang terlihat pada beberapa penderita gangguan kepribadian ambang.
a. Mekanisme kerja
Kerja utama semua antipsikotik pada sistem saraf ialah menyekat reseptor
neurotransmiter dopamin. Akan tetapi, mekanisme kerja obat yang terapeutik hanya
sebagian dipahami. Reseptor dopamin diklasifikasikan ke dalam subkategori
(D1,D2,D3,D4, dan D5), dan D2, D3, dan D4 dikaitkan dengan gangguan jiwa.
Antipsikotik tipikal merupakan antagonis (bloker) yang kuat D2, D3, dan D4. Hal ini
membuat obat tersebut efektif dalam menangani gejala target tetapi juga menimbulkan
banyak efek samping ekstrapiramidal (didiskusikan di bawah) karena penyekatan
reseptor D2. Yang terbaru, antipsikotik atipikal, misalnya klozapin (Clozaril),
merupakan bloker D2 yang relatif lemah, yang menyebabkan insidensi efek samping
ekstrapiramidal yang rendah. Selain itu, antipsikotik atipikal menghambat reuptake
serotonin, seperti pada beberapa antidepresan sehingga antipsikotik ini menjadi lebih
efektif dalam mengobati aspek depresif skizofrenia.
Dua antipsikotik tersedia dalam injeksi depot, suatu bentuk obat yang melepaskan
zat aktif secara bertahap untuk terapi rumatan. Media injeksi ini ialah minyak wijen
sehingga obat tersebut diabsorpsi dengan lambat. Pemberian obat ini yang tidak terlalu
sering diperlukan untuk mempertahankan efek terapeutik yang diinginkan. Flufenazin
(Prolixin) memiliki durasi 7 sampai 28 hari dan haloperidol (Haldol) memiliki durasi
empat minggu. Setelah kondisi klien stabil melalui pemberian dosis oral obat ini,
pemberian melalui injeksi depot perlu dilakukan setiap dua sampai empat minggu untuk
mempertahankan efek terapeutik.
b. Efek samping
1) Efek samping ekstrapiramidal
Gejala ekstrapiramidal (GEP) adalah gejala neurologi serius, yang merupakan
efek samping utama antipsikotik. Gejala tersebut mencakup distonia akut,
pseudoparkinsonisme, dan akatisia. Efek samping neurologi ini secara kolektif
sering disebut GEP walaupun ada perbedaan di antara berbagai reaksi obat tersebut.

Seorang klien dapat mengalami semua reaksi dalam rangkaian terapi yang sama. Hal
ini membuat reaksi yang spesifik sulit dibedakan. Penyekatan reseptor D2 pada
bagian otak tengah batang otak bertanggung jawab untuk terjadinya GEP.
Terapi efek samping neurologi distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan
akatisia sama dan dilakukan dengan mengurangi dosis antipsikotik, mengganti obat
dengan antipsikotik yang berbeda, atau memberi antikoligernik.
Distonia akut mencakup rigiditas otot akut dan kram, lidah kaku atau tebal
disertai kesulitan menelan, dan pada kasus berat terjadi laringospasme dan kesulitan
bernapas. Distonia paling banyak terjadi pada minggu pertama terapi dan pada klien
berusia kurang dari 40 tahun, pada pria, dan individu yang mendapat obat berpotensi
tinggi, seperti haloperidol dan tiotiksen. Spasme atau kekakuan pada kelompok otot
dapat menyebabkan tortikolis (kepala dan leher terpuntir),opistotonus (ketegangan
diseluruh tubuh dengan kepala ke belakang dan leher melengkung), atau krisis
okulogirik (mata berputar ke belakang dalam posisi terkunci). Reaksi distonia akut
dapat menimbulkan nyeri dan menakutkan bagi klien.
Istilah parkinsonisme yang diinduksi obat, atau pseudoparkinsonisme, sering
kali digunakan untuk menyebut nama umum GEP. Gejalanya menyerupai gejala
penyakit parkinson dan meliputi postur yang bungkuk, kaku; wajah seperti topeng;
ayunan lengan berkurang; cara berjalan dengan kaki diseret dan terburu-buru
(langkah pendek-pendek); cogwheel rigidity (gerakan sendi seperti gerakan roda gigi
searah); mengeluarkan air liur; tremor; bradikardia; dan gerakan kasar menggulung
pil dengan menggunakan ibu jari dan jari lain ketika beristirahat. Parkinsonisme
diobati dengan mengganti antipsikotik yang memiliki insidensi GEP lebih rendah
atau dengan menambah agens antikolinergik oral atau amantadin.
2) Sindrom maligna neuroleptik
Sindrom maligna neuroleptik (SMN) ialah reaksi idiosinkratik dan berpotensi
fatal terhadap antipsikotik (atau obat neuroleptik). Gejala utama SMN ialah
kekakuan, demam tinggi, ketidakstabilan otonom, seperti tekanan darah tidak stabil,
diaforesis, pucat, delirium, dan peningkatan kadar enzim, terutama CPK. Klien yang
mengalami SMN biasanya bingung dan sering kali bisu. Mereka mengalami
fluktuasi dari agitasi sampai stupor. Semua antipsikotik tampaknya berpotensi
menyebabkan SMN, tetapi dosis tinggi obat-obatan berpotensi tinggi meningkatkan
risiko tersebut. SMN paling sering terjadi pada dua minggu pertama terapi atau
setelah dosis ditingkatkan, tetapi SMN dapat terjadi setiap waktu.
3) Diskinesia tardif

Diskinesia tardif (DT), suatu sindrom gerakan involunter dan permanen,


paling

sering

disebabkan

oleh

penggunaan

antipsikotik

tipikal

jangka

panjang.setidaknya 20% individu yang diobati dengan neuroleptik dalam jangka


panjang mengalami DT. Gejala DT meliputi gerakan involunter lidah, otot wajah dan
leher, ekstremitas atas dan bawah, dan otot trunkus. Lidah yang masuk dan menjulur,
bibir yang merengut, mata berkedip-kedip, wajah menyeringai, dan gerakan wajah
lain yang berlebihan dan tidak semestinya adalah karakteristik DT. Setelah terjadi,
DT ireversibel walaupun perkembangannya dapat dihentikan dengan mengurangi
atau menghentikan pemberian antipsikotik. Sayangnya, antipsikotik dapat menutupi
gejala awal DT: yakni, peningkatan dosis antipsikotik akan menyebabkan gejala
awal hilang untuk sementara. Akan tetapi, ketika gejala DT memburuk, gejala
tersebut "menghentikan" efek antipsikotik.
4) Efek samping antikolinergik
Efek samping antikolinergik sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik dan
meliputi hipotensi ortotastik, mulut kering, konstipasi, retensi urine atau sulit
berkemih, rabun dekat, mata kering, fotofobia, kongesti nasal, dan berkurangnya
ingatan. Efek samping ini biasanya berkurang dalam tiga sampai empat minggu,
tetapi tidak sepenuhnya hilang. Klien yang menggunakan agens antikolinergik untuk
mengobati GEP mungkin mengalami masalah yang lebih berat akibat efek samping
antikolinergik, tetapi beberapa nutrisi atau obat yang dijual bebas dapat meredakan
gejala tersebut.
5) Efek samping lain
Antipsikotik, kecuali klozapin, juga menyebabkan kadar prolaktin dalam darah
meningkat. Peningkatan prolaktin dapat menyebabkan pembesaran dan nyeri tekan
payudara pada pria dan wanita, penurunan libido, disfungsi ereksi dan orgasme,
ketidakteraturan menstruasi, dan peningkatan risiko kanker payudara.
Klozapin menimbulkan efek samping tradisional yang lebih sedikit daripada
sebagian besar antipsikotik, tetapi klozapin memiliki efek samping agranulositosis
yang berpotensi fatal. Efek samping terjadi secara tiba-tiba dan ditandai oleh
demam, malaise, faringitis gangrenosa, dan leukopenia. Efek samping ini mungkin
tidak muncul segera dan dapat terjadi sampai 24 minggu setelah terapi dimulai.
c. Tindakan keperawatan
Perawat harus mengajari klien metode menatalaksana atau menghindari efek
samping yang tidak menyenangkan dan mempertahankan program pengobatan.
Meminum cairan bebas gula dan memakan permen bebas gula akan mengatasi mulut
kering. Minuman dan permen berkalori harus dihindari karena keduanya meningkatkan

karies gigi, meningkatkan berat badan, dan tidak banyak membantu mengatasi mulut
kering. Konstipasi dapat dicegah atau dikurangi dengan meningkatkan air dan makanan
berserat dalam diet dan dengan olahraga. Pelunak feses boleh digunakan, tetapi laksatif
harus dihindari. Penggunaan tabir surya dianjurkan karena fotosensitivitas dapat
menyebabkan klien mudah terbakar.
Apabila klien lupa minum satu dosis antipsikotik, ia dapat meminum dosis obat
tersebut hanya jika terlambat tiga atau empat jam. Apabila terlambat lebih dari empat
jam, atau dosis berikutnya sudah harus diminum, dosis yang terlupa tersebut dapat
diabaikan. Klien yang sulit mengingat untuk minum obat harus didorong menggunakan
catatan dosis, atau menggunakan kotak pil yang sebelumnya dapat diisi dengan dosis
yang akurat untuk beberapa hari atau minggu.
2. Antidepresan
Antidepresan terutama digunakan dalam terapi gangguan depresif mayor, gangguan
panik dan gangguan ansietas lain, depresi bipolar, dan depresi psikotik. Walaupun
mekanisme kerjanya tidak sepenuhnya dipahami, antidepresan berinteraksi dengan dua
neurotransmiter, norepinefrin dan serotonin, yang mengatur mood, keinginan, perhatian,
proses sensori, dan nafsu makan.
Antidepresan dibagi menjadi empat kelompok:
a. Antidepresan trisiklik dan antidepresan siklik terkait
b. Inhibitor reuptake serotonin selektif (selective serotonin reuptake inhibitor, SSRI)
c. Inhibitor monoamin oksidase (monoamine oxidase inhibitor, MAOI)
d. Antidepresan lain, misalnya venlafaksin (Effexor), bupropion (Wellbutrin),
trazodon (Desyrel), dan nefazodon (Serzone)
1) Mekanisme kerja
Mekanisme yang tepat antidepresan menimbulkan efek terapeutik tidak diketahui,
tetapi banyak informasi yang diketahu tentang kerja obat ini pada SSP. Interaksi
utamanya adalah dengan sistem neurotransmiter monoamin di otak, khususnya
noreprinefin dan serotonin. Kedua neurotransmiter ini dilepas di seluruh otak dan
membantu mengatur keinginan, kewaspadaan, perhatian, mood, proses sensori, dan
nafsu makan. Noreprinefrin, serotonin, dan dopamin dikeluarkan dari sinaps setelah
dilepas dengan reuptake ke dalam neuron prasinaptik. Setelah reuptake, tiga
neurotransmiter ini dikumpulkan untuk pelepasan selanjutnya atau dimetabolisme oleh
enzim MAO. SSRI menyekat reuptake serotonin, antidepresan siklik dan venlafaksin
terutama menyekat reuptake norepinefrin dan serotonin sampai derajat tertentu, dan
MAOI mengganggu metabolisme enzim.
2) Efek samping
a) Efek samping SSRI

SSRI relatif memiliki sedikit efek samping dibandingkan senyawa siklik.


Peningkatan transmisi serotonin dapat menimbulkan beberapa efek samping umum
seperti ansietas, agitasi, akatisia, mual, insomnia, dan disfungsi seksual, khususnya
penurunan dorongan seksual atau kesulitan mencapai ereksi atau orgasme. Mual
biasanya dapat diminimalkan dengan mengonsumsi obat bersama makan. Akatisia
biasanya diobati dengan penyekat beta, seperti propranolol atau benzodiazepin.
Insomnia dapat berlanjut menjadi masalah walaupun obat dikonsumsi pada pagi
hari.
Efek samping yang kurang umum meliputi sedasi, berkeringat, diare, tremor
tangan, dan sakit kepala. Diare dan sakit kepala biasanya dapat diatasi dengan terapi
simtomatik. Berkeringat dan sedasi yang berlanjut paling mungkin mengindikasikan
kebutuhan untuk mengganti antidrepesan lain.
b) Efek samping antidepresan siklik
Senyawa siklik memiliki lebih banyak efek samping daripada SSRI dan
senyawa lan yang lebih baru. Obat individual dalam kategori ini bervariasi intensitas
efek sampingnya, tetapi umumnya efek samping berada dalam kategori yang sama.
Antidepresan siklik menyekat reseptor kolinergik, yang menimbulkan efek
antikolinergik seperti mulut kering, dan rabun dekat. Efek antikolinergik yang lebih
berat dapat terjadi, khususnya pada lansia, seperti agitasi, delirium, dan ileus. Efek
samping umum lain meliputi hipotensi ortostatik, sedasi, kenaikan berat badan, dan
takikardia.
c) Efek samping MAOI
Efek samping MAOI yang paling sering muncul meliputi sedasi pada siang
hari, insomnia, kenaikan berat badan, mulut kering, hipotensi ortostatik, dan
disfungsi seksual. Sedasi dan insomnia sulit diobati dan mungkin memerlukan
penggantian obat. Masalah khusus pada penggunaan MAOI ialah potensi krisis
hipertensi yang mengancam jiwa jika klien mengonsumsi makanan yang
mengandung tiramin atau mengonsumsi obat simpatomimetik. Gejala klinis ini ialah
hipertensi berat, hiperpireksia, takikardia, diaforesis, tremor, dan aritmia jantung.
d) Interaksi obat
Interaksi obat yang tidak umum tetapi berpotensi serius yang disebut sindrom
serotonin atau sindrom serotonergik dapat terjadi akibat menggunakan MAOI dan
SSRI pada saat bersamaan. Hal ini juga dapat terjadi jika salah satu obat tersebut
dikonsumsi terlalu dekat dengan akhir terapi obat yang lain. dengan kata lain, suatu
obat yang lain dimulai. Gejala meliputi agitasi, berkeringat, demam, takikardia,

hipotensi, kekakuan, hiperrefleksia, dan bahkan pada reaksi yang ekstrem terjadi
koma dan kematian.
e) Efek samping anti depresan lain
Antidepresan lain atau yang baru, nefazodon, trazodon, dan mirtazapin
umumnya menyebabkan sedasi. Baik nefazodon maupun trazodon umumnya
menyebabkan sakit kepala. Nefazodon juga dapat menyebabkan mulut kering dan
mual. Bupropion dan venlafaksin dapat menyebabkan nafsu makan hilang, mual,
agitasi, dan insomnia. Venlafaksin juga dapat menyebabkan pusing, berkeringat, atau
sedasi. Disfungsi seksual lebih jarang terjadi pada penggunaan antidepresan baru,
dengan satu pengecualian yang perlu diperhatikan: trazodon dapat menyebabkan
priapisme (ereksi yang nyeri dan terus menerus, yang memerlukan terapi segera dan
penghentian obat).
3) Tindakan keperawatan
SSRI harus dikonsumsi pagi-pagi sekali kecuali jika sedasi merupakan masalah.
Umumnya, paroksetin paling sering menyebabkan sedasi. Apabila satu dosis SSRI
terlupa, dosis tersebut dapat dikonsumsi sampai 8 jam setelah waktu dosis yang terlupa
tersebut. Senyawa siklik umumnya harus dikonsumsi pada malam hari, sedapat
mungkin dalam dosis harian tunggal untuk meminimalkan efek samping. Apabila satu
dosis senyawa siklik terlupa, dosis tersebut dapat dikonsumsi dalam tiga jam setelah
waktu dosis yang terlupa tersebut, atau diabaikan untuk hari itu.
Klien harus diberi tahu tentang risiko reaksi obat yang serius atau bahkan fatal
ketika mengonsumsi MAOI, dan harus diinstruksikan untuk tidak mengonsumsi obat
tambahan, termasuk obat yang dijual bebas, tanpa mendiskusikan dengan dokter atau
ahli farmasi.
3. Obat Penstabil Mood
Obat pentsabil mood digunakan untuk mengobati gangguan afektif bipolar dengan
menstabilkan mood klien, menghindari atau meminimalkan tinggi dan rendah mood yang
mencirikan gangguan bipolar, dan mengobati episode akut mania. Litium adalah penstabil
mood yang baik; beberapa antikonvulsan, terutama karbamazepin dan asam valproat,
merupakan penstabil mood yang efektif. Antikonvulsan lain, seperti gabapentin dan
lamotrigin digunakan berdasarkan percobaan untuk stabilisasi mood. Kadang kala,
klonazepam juga digunakan untuk mengobati mania akut. Klonazepam tercakup dalam
diskusi tentang agens antiansietas.
a. Mekanisme kerja
Walaupun litium memiliki banyak efek neurobiologi, mekanisme kerja yang
menghasilkan efek terapeutik pada gangguan bipolar sedikit dipahami. Litium

menormalkan reuptake neurotransmiter tertentu, seperti serotonin, noreprinefrin,


asetilkolin, dan dopamin. Litium juga mengurangi pelepasan noreprinefrin melalui
kompetisi dengan kalsium. Litium menimbulkan efeknya di dalam sel, bukan di dalam
sinaps neuron, dengan bekerja secara langsung pada protein G dan subsistem enzim
tertentu, seperti adenosin monofosfat siklik dan fosfatidilinositol.
Mekanisme kerja antikonvulsan tidak jelas bila berkaitan dengan stabilisasi mood.
Asam valproat diketahui meningkatkan kadar GABA neurotransmiter inhibisi. Baik
asam valproat maupun karbamazepin didugan menstabilkan mood dengan menghambat
kindling process. Proses ini dapat dijelaskan seperti efek bola salju yang terlihat ketika
aktivitas kejang minor meningkat menjadi lebih berat dan lebih sering. Dalam
penatalaksanaan kejang, antikonvulsan meningkatkan batas ambang untuk mencegah
kejang minor ini. Dicurigai bahwa kindling process yang sama juga dapat terjadi pada
perkembangan mania secara lengkap, jika distimulasi oleh episode minor yang lebih
sering. Hal ini juga dapat menjelaskan alasan antikonvulsan efektif dalam terapi dan
pencegahan mania.
b. Efek samping
Efek samping umum terapi litium meliputi mual ringan atau diare, anoreksia, tremor
halus pada tangan, polidipsia, poliuria, rasa logam di mulut, dan keletihan atau letargi.
Kenaikan berat badan dan akne merupakan efek samping yang terjadi kemudian dalam
terapi litium; keduanya menyebabkan distres pada klien.
Efek toksik litium adalah diare berat, muntah, mengantuk, kelemahan otot, dan
kurang koordinasi. Apabila tidak diobati, gejala tersebut memburuk dan dapat
menyebabkan gagal ginjal, koma, dan kematian.
Efek samping karbamazepin dan asam valproat meliputi rasa kantuk, sedasi, mulut
kering, dan penglihatan kabur. Selain itu, karbamazepin dapat menyebabkan ruam dan
hipotensi ortotastik, dan asam valproat dapat menyebabkan kenaikan berat badan,
alopesia, dan tremor tangan.
c. Tindakan keperawatan
Untuk klien yang mengonsumsi litium dan antikonvulsan, penting untuk memantau
kadar darah secara periodik. Waktu pemberian dosis terakhir harus akurat sehingga
kadar plasma dapat diperiksa 12 jam setelah pemberian dosis terakhir. Mengonsumsi
obat-obatan tersebut bersama makanan akan meminimalkan mual. Mengemudi tidak
boleh dilakukan sampai letargi, pusing, keletihan, atau penglihatan kabur berkurang.
4. Antiansietas (Ansiolitik)

Antiansietas atau obat ansiolitik, digunakan untuk mengobati ansietas dan gangguan
ansietas, insomnia, OCD, depresi, gangguan stres pascatrauma, dan putus alkohol.
Antiansietas merupakan salah satu obat yang paling banyak diresepkan saat ini. Berbagai
obat dari klasifikasi yang berbeda telah digunakan dalam terapi ansietas dan insomnia.
Benzodiazepin terbukti merupakan obat yang paling efektif dalam mengurangi ansietas
dan merupakan obat yang paling sering diresepkan.
a. Mekanisme kerja
Benzodiazepin memperantarai kerja asam amino GABA, neurotransmiter inhibisi
utama di otak. Karena saluran reseptor GABA dengan selektif memasukkan anion
klorida ke dalam neuron, sehingga terjadi inhibisi. Benzodiazepin menimbulkan
efeknya dengan terikat ke tempat khusus di reseptor GABA. Buspiron dipercaya
menimbulkan efek ansiolitiknya dengan bekerja sehingga agonis parsial di reseptor
serotonin sehingga mengurangi pergantian serotonin.
Waktu paruh benzodiazepin bervariasi, yakni cara benzodiazepin dimetabolisme dan
keefektifannya dalam mengobati ansietas dan insomnia. Frekuensi pemberian dosis
obat dengan waktu paruh yang lebih panjang perlu dikurangi dan obat ini menghasilkan
efek rebound yang lebih sedikit antara pemberian dosis obat. Akan tetapi, obat tersebut
dapat berakumulasi di hari berikutnya. Sebaliknya, obat yang memiliki waktu paruh
yang lebih pendek tidak berakumulasi di dalam tubuh atau menyebabkan sedasi pada
hari berikutnya, tetapi obat tersebut memang memiliki efek rebound dan frekuensi
pemberiannya perlu ditingkatkan.
b. Efek samping
Walaupun bukan efek samping dalam arti sebenarnya, salah satu masalah utama
yang ditemukan pada penggunaan benzodiazepin adalah kecenderungan obat tersebut
untuk menyebabkan ketergantungan fisik. Apabila pemberian obat dihentikan, muncul
gejala putus obat yang signifikan. Gejala ini sering kali menyerupai gejala awal yang
menjadi alasan klien mencari terapi. Hal ini terutama menjadi masalah pada klien yang
menggunakan benzodiazepin dalam jangka waktu panjang, misalnya penderita
gangguan panik atau gangguan ansietas umum.
Efek samping yang paling sering dilaporkan pada penggunaan benzodiazepin ialah
efek samping depresi SSP, seperti mengantuk, sedasi, koordinasi yang buruk, dan
gangguan memori atau gangguan sensorium. Apabila digunakan untuk tidur, klien dapat
mengeluh sedasi pada hari berikutnya atau efek rasa sakit pada pagi hari ketika bangun.
Efek samping umum penggunaan buspiron meliputi pusing, sedasi, mual, dan sakit
kepala.
c. Tindakan keperawatan

Penting bagi klien untuk mengetahui bahwa agens antiansietas ditujukan untuk
mengurangi gejala, seperti ansietas atau insomnia, tetapi tidak mengobati penyebab
dasar ansietas. Benzodiazepim menguatkan efek alkohol: satu kali minum memiliki
efek tiga kali minum. Oleh karena itu, klien tidak boleh minum alkohol ketika
mengonsumsi benzodiazepin. Klien harus menyadari penurunan waktu respons, refleks
lebih lambat, dan kemungkinan efek sedatif obat ini ketika melakukan aktivitas seperti
mengemudi atau berangkat kerja.
Berhenti menggunakan benzodiazepin dapat berakibat fatal: setelah suatu terapi
mulai diberikan, benzodiazepin jangan pernah dihentikan secara tiba-tiba atau tanpa
supervisi dokter.

Anda mungkin juga menyukai