Bells palsy adalah paralisis saraf fasial unilateral akut yang
pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lockhart dkk, 2010; Lo, 2010). Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering ditemukan yaitu sebanyak 75 % dengan penyebab yang tidak diketahui. ldiopathic facial paralysis adalah sebutan lain dari Bells palsy yang digunakan di beberapa literatur (Monini dkk, 2010; Ronthal dkk, 2012). lnsidensi Bells palsy berbeda-beda pada setiap negara. Di Roma ltalia, insidensi berkisar 53 setiap 100000 populasi pertahunnya, dan paling sering mengenai kelompok usia 15-45 tahun (Monini dkk, 2010). Bells palsy memiliki onset akut dalam 1 atau 2 hari. Perjalanan penyakit biasanya progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 1-3 minggu (Kanerva 2008; Ronthal dkk, 2012). Gejala Bells palsy yang sering dijumpai termasuk alis mata turun, tidak dapat menutup mata, lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau hilangnya rasa pada dua pertiga lidah dapat membantu dalam menentukan lokasi lesi, namun tidak memiliki nilai diagnostik dan prognostik sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis (May 2000; Ronthal dkk, 2012). Pasien Bells palsy memiliki derajat kelumpuhan yang bervariasi, berupa kelumpuhan lengkap (jika otot-otot wajah tidak dapat berkontraksi secara volunter, hiperakusis, atau hilangnya rasa pada lidah) dan tidak lengkap (parsial). Untuk menilai secara klinis keparahan paralisis saraf fasialis, berbagai sistem skoring telah diperkenalkan, yang paling banyak diterapkan dan mudah untuk dilakukan adalah House Brackmann (HB) grading system. Derajat paralisis saraf fasialis dapat juga dinilai dengan Sunnybrook scale, Yanagihara grading system dan berbagai sistem lainnya. Sistem skoring ini juga digunakan untuk mengevaluasi hasil pengobatan yang diberikan pada penderita Bells palsy (Finsterer 2008; Kanerva 2008;Berg 2009). Pada umumnya prognosis Bells palsy adalah baik tanpa pengobatan (Holland dkk, 2004; Peitersen 2002). Menurut Peitersen (2002), penyembuhan lengkap diamati 71 % dari seluruh pasien Bells palsy. Sekitar 94 % kasus paralisis lengkap dan 61 % kasus paralisis tidak lengkap mencapai fungsi normalnya kembali setelah 6 bulan tanpa pengobatan. Namun, sekitar 30 % pasien memiliki sekuele, seperti paralisis residual (29%), kontraktur (17%), dan spasme hemifasial atau sinkinesia (16%). Penyembuhan yang tidak lengkap dari saraf fasialis ini dapat memiliki dampak jangka panjang pada kualitas hidup pasien Bells palsy, seperti kesulitan minum, makan, berbicara dan juga masalah psikososial (Peitersen dkk, 2002; Holland dkk, 2004; Monini dkk, 2010; Kwon dkk, 2011). Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki fungsi saraf fasialis, mencegah degenerasi saraf dan komplikasi yang bisa terjadi. Beberapa modalitas pengobatan telah dievaluasi selama 3 dekade, dan pengobatan dengan kortikosteroid paling banyak digunakan (Ramsey dkk, 2000). Terdapat banyak penelitian yang memiliki hasil yang bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Peitersen (2002). Dua penelitian randomized controlled trial (RCT) berskala besar (Sullivan dkk, 2007 dan Engstrom dkk, 2008) yang meneliti tentang efek pemberian prednisolone oral terhadap perbaikan dan kesembuhan saraf fasialis pada sejumlah besar pasien Bells palsy. Kedua penelitian ini menyimpulkan bahwa pengobatan yang segera dengan prednisolon oral secara signifikan memperpendek waktu penyembuhan lengkap pada pasien Bells palsy. Sullivan dkk (2007) melaporkan bahwa kesembuhan lengkap dari fungsi saraf fasialis, yang didefinisikan dengan skor HB 1, dijumpai 90 % pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75% pada pasien yang tidak mendapatkan prednisolon. Sedangkan pada penelitian Engstrom dkk (2008) mendapatkan proporsi kesembuhan sebesar 72 % pada pasien yang diberi prednisolon dan 57% pasien tanpa prednisolon, setelah dievaluasi dengan Sunnybrook scale. Penelitian lainnya dari Lagalla dkk (2002) yang bersifat double blind RCT bertujuan untuk menilai efikasi dari pemberian prednison dosis tinggi (1 gr/hari selama 3 hari kemudian 0,5 gr/hari selama 3 hari), yang diberikan dalam waktu 72 jam dari onset paralisis. Penilaian dilakukan terhadap tingkat perbaikan klinis kekuatan otot wajah dengan menggunakan HB grading system. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberi terapi prednison memiliki kesembuhan lengkap sebesar 70% dibanding 39% pada kontrol selama 1 bulan follow up. Setelah 3 bulan, penyembuhan diperoleh sebesar 80 % pada pasien yang diobati dibanding 69% pasien yang tidak diobati, dan pada 6 bulan sebesar 83% (dengan prednison) dan 75 % (kontrol). Studi yang bersifat metaanalisis telah dilakukan oleh Quant dkk (2009) dan Ramsey dkk (2000). Quant dkk (2009) melakukan analisa terhadap 6 penelitian RCT yang memiliki jumlah sampel yang besar dengan total pasien 1145 orang, telah mendapatkan hasil proporsi yang tinggi dari pasien Bells palsy yang mencapai kesembuhan saraf fasialis setelah diberikan steroid, yaitu sekitar 89,7%. Penelitian dari Ramsey dkk (2000) yang dilakukan pada 3 penelitian prospektif telah menunjukkan bahwa kortikosteroid memberikan perbaikan fungsi secara klinis dan signifikan pada pasien Bells palsy yang tidak lengkap. Sedangkan pada pasien dengan derajat paralisis yang lengkap, kortikosteroid memberikan outcome yang lebih baik dengan memperbaiki insidens kesembuhan lengkap sebesar 17% dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan pengobatan. Axelsson dkk (2010) meneliti apakah mulai pengobatan dan usia pasien berkaitan dengan outcome pasien BeII's palsy. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pasien yang diobati dengan prednisolon dalam 24 jam dan 48 jam memiliki tingkat perbaikan yang tinggi (66 % dan 76%) daripada pasien yang tidak diberi prednisolon (51% dan 58%). Pasien yang berusia 40 tahun keatas memiliki tingkat kesembuhan yang lebih tinggi jika diobati dengan prednisolon, sedangkan pasien yang berusia dibawah 40 tahun tidak berbeda antar kelompok yang diobati dengan yang tidak diobati dengan prednisolon. Terdapat dua studi lainnya yang bersifat systematic review. Satu studi yang bersumber dari Cochrane Neuromuscular Disease Group Trials, bertujuan untuk menilai efikasi dan efek samping kortikosteroid dalam pengobatan Bells palsy. Studi ini melibatkan 8 randomized trial dengan total 1569 orang pasien. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan dalam jumlah pasien dengan penyembuhan yang tidak lengkap pada 6 bulan follow up antara kelompok yang mendapatkan kortikosteroid dan kelompok kontrol (risk ratio (RR) 0,71, confidence interval (CI) 0,61-0,83. Jumlah number needed to treat (NNT) untuk menghindari satu pasien menderita penyembuhan yang tidak lengkap dari saraf fasialis adalah 10 (95% Cl 7-18). Terdapat juga penurunan yang signifikan terhadap jumlah pasien yang mendapat komplikasi sinkinesia antara kelompok kortikosteroid dengan kelompok plasebo (RR 0,60, 95 % Cl 0,44-0,81). Jumlah NNT untuk mencegah satu pasien mendapatkan komplikasi sinkinesia adalah 12 (95% Cl 6-25). Dari studi ini tidak didapatkan efek samping yang berbahaya pada penggunaan terapi kortikosteroid, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar 2 kelompok (Salinas dkk, 2010). Studi lainnya yang bersumber dari Medline dan Cochrane Database of Controlled Clinical Trials telah merekomendasikan pemberian steroid oral pada pasien Bells palsy dengan onset baru. Dikatakan bahwa steroid dapat meningkatkan probabilitas kesembuhan fungsi saraf fasialis dengan perbedaan resiko 12,8-15% atau NNT 6-8 (Gronseth dkk, 2012). Selain steroid, penatalaksanaan pasien Bells palsy dengan rehabilitasi fisik sedang banyak diteliti, namun kegunaan dan manfaatnya masih dalam perdebatan. Van Swearingen (2008) menyebutkan bahwa penggunaan rehabilitasi untuk paralisis fasialis setelah insult hanya memberikan sedikit keuntungan, sehingga ketersediaan rehabilitasi fisik masih terbatas dan banyak pasien dengan gangguan gerakan fasial hanya menunggu untuk terjadinya penyembuhan spontan atau tanpa dilakukan tindakan intervensi sama sekali. Teixeira dkk (2010) dalam systematic review nya belum dapat menyimpulkan tentang manfaat atau bahaya dari terapi fisik terhadap pasien Bells palsy, karena masih kurangnya penelitian RCT berkualitas tinggi yang meneliti tentang perbaikan fungsi fasialis, terutama pada pasien dengan paralisis sedang dan kasus- kasus kronis. Studi lainnya telah meneliti bahwa beberapa teknik terapi fisik bermanfaat dalam penyembuhan paralisis fasialis pada pasien Bells palsy, seperti terapi manual dan stimulasi elektrik (Manikandan 2007), akupunktur (Qu 2005) dan exercise (Barbara 2010). Barbara dkk (2010) melakukan randomized trial terhadap 20 orang pasien Bells palsy, yang dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama (9 orang) diberi terapi medikamentosa (kombinasi steroid dan antivirus) dengan rehabilitasi fisik, sedangkan kelompok kedua (11 orang) hanya diberi medikamentosa. Rehabilitasi fisik yang diberikan adalah berdasarkan konsep Kabat atau disebut juga dengan propioceptive neuromuscular facilitation (PNF). Pasien kemudian di follow up selama 15 hari dan dinilai tingkat perbaikannya berdasarkan House Brackmann grading system pada hari ke 4,7 dan 15 setelah onset pengobatan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pasien-pasien pada kelompok pertama yang mendapatkan rehabilitasi fisik secara jelas menunjukkan perbaikan klinis yang lebih cepat dibandingkan kelompok tanpa rehabilitasi fisik.
Pembedahan Skoliosis Lengkap Buku Panduan bagi Para Pasien: Melihat Secara Mendalam dan Tak Memihak ke dalam Apa yang Diharapkan Sebelum dan Selama Pembedahan Skoliosis