Manajemen Gejala Pasca Gegar Otak pada Pasien Cedera Kepala Ringan di Aceh
Post Concussion Symptom Management in Patients with Mild Traumatic Brain
Injury in Aceh
Fikriyanti1 Luppana Kitrungrote2 Praneed Songwathana3
1
Bagian Keperawatan Gawat Darurat, Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala
2
Department of Surgical Nursing, Faculty of Nursing, Prince of Songkla University, Songkhla,
Thailand 3Department of Surgical Nursing, Faculty of Nursing, Prince of Songkla University,
Songkhla, Thailand fikriyanti@unsyiah.ac.id
Abstrak
Latar Belakang: Pasien Cedera Kepala Ringan (CKR) sering melaporkan gejala yang disebut gejala pasca gegar otak (post-
concussion symptom/PCS). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi PCS dan mengeksplorasi manajemen PCS
pada pasien CKR.
Metode: 136 responden memenuhi kriteria inklusi direkrut dari rumah sakit rujukan di provinsi Aceh. Kuesioner,
terdiri dari 3 bagian: 1) Data Demografi dan Kesehatan, 2) the Rivermead Post-concussion Symptoms questionnaire
(RPQ), dan
3) the Symptom Self-Management Scale adapted for TBI (SSMS-TBI). Reliabilitas RPQ dan SSMS-TBI versi Indonesia
masing-masing dengan nilai .92 dan .90.
Hasil: Setelah 2-60 minggu, pasien CKR melaporkan gejala pada median tujuh (Med = 7, IQR = 5), yaitu pusing, sakit
kepala, kelelahan, pelupa dan berpikir lebih lama. Responden melakukan manajemen PCS dengan melakukan
kegiatan biasa dan rutin, seperti tidak memikirkan gejala, berbicara dengan keluarga dan orang lain, berbaring, cukup
tidur (kelompok aktivitas), “dzikir” dan berdoa (komplementer), dan makan dengan baik (nutrisi). Sebagian besar
manajemen dilakukan sesekali, dan tidak selalu efektif meredakan gejala, sehingga responden melaporkan
menggunakan lebih dari satu manajemen untuk mengobati gejala. Responden mengatasi gejala ketika gejala muncul atau
semakin parah. Artinya responden tidak mencegah terjadinya PCS, padahal kemungkinan terjadinya PCS sangat besar,
terutama bagi pekerja dan pelajar yang harus segera kembali bekerja atau belajar setelah CKR.
Kesimpulan: Hasil penelitian memberikan pemahaman tentang gejala yang paling umum terjadi dan apa yang mereka
lakukan untuk mengelola gejala. Ini akan memandu perawat untuk memberikan intervensi dan program pendidikan
yang tepat untuk pasien selama dirawat di rumah sakit dan setelah pulang. Diperlukan penyelidikan lebih lanjut tentang
ketepatan manajemen PCS yang dilakukan oleh pasien secara mandiri.
Kata kunci: cedera kepala sedang; gejala gegar otak; manajemen
Abstract
Background: Patients with mTBI often report symptoms that refer to the post-concussion symptom (PCS). This study
aims to identify the PCS experience and explore the PCS management of patients with mTBI.
Methods: 136 respondents met inclusion criteria were recruited from one referral hospital in Aceh province.
Questionnaires, including 3 parts: 1) Demographic and Health-related Data Form, 2) the Rivermead Post-concussion
Symptoms questionnaire (RPQ), and 3) the Symptom Self-Management Scale adapted for TBI (SSMS-TBI). The
reliability of the Indonesian version of the RPQ and the SSMS-TBI yielded values of .92 and .90, respectively.
Result: Over the past 2-60 weeks, the persons with mTBI experienced, on the median seven symptoms (Med = 7, IQR
= 5). Dizziness, headache, fatigue, forgetfulness and taking longer to think were the most common symptoms. The
respondents performed the PCS management by doing the common and routine activities, such as did not dwell with
the symptoms, talking with family and others, lay down, get enough sleep (involved in activities group), “dzikir” and
praying (involved in complementary group), and eating well (nutrition group). Most of the strategies were used
occasionally, and it was not always effective to relieve the symptoms, thus, the respondents reporting used more
than one strategy to treat the symptoms. In addition, the respondents performed the strategies when the symptoms
occur or getting worse. It means that the respondents did not prevent the occurrence of PCS, whereas the likelihood
of the PCS experiences is great, especially for the worker and student that needed to return to work or study soon
after mTBI. Conclusion: The findings provide understanding about the common symptoms and what they did to
manage. It will guide nurses to provide appropriate intervention and educational programs to assist the patients during
hospitalization and after they leave. Further investigation about the accuracy of self-management that patients
performed by their own.
Keywords: mild traumatic brain injury; concussion; symptom; management
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9 :
1
5
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9 :
1
5
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9 :
1
variabel terkait cedera (yaitu, GCS, beberapa kali sehari). Kemudian, menilai
confusion/disorientasi, kehilangan kesadaran keefektifan strategi di ukur pada rentang 0
selama 30 menit atau kurang, amnesia kurang (tidak pernah) hingga 4 (selalu). Selanjutnya,
dari 24 jam, dan kelainan neurologis lainnya). peneliti menanyakan alasan penggunaan
The Rivermead Post Concussion Symptoms strategi manajemen PCS, apakah
(RPQ). Terdiri dari 16 gejala dan pertanyaan membutuhkan bantuan dari pihak lain dan
terbuka untuk jawaban tambahan. Untuk lokasi pelaksanaan.
setiap gejala dinilai kejadian PCS dengan
menggunakan checklist “ya/tidak”, jika Hasil Penelitian
sampel memilih “ya”, maka frekuensi dan Data Demografi dan Kesehatan. 136
tingkat keparahan PCS selanjutnya diukur responden penelitian adalah Muslim dengan
dalam skala Likert, yaitu pada rentang 1 median umur 27 tahun (IQR = 18, range 18-
(jarang) hingga 4 (sering). Berikutnya tingkat 65), dimana jumlah responden pria dan
keparahan PCS berada pada rentang 0 (tidak wanita hampir seimbang (50.7% dan 49.3%).
parah) hingga 4 (sangat parah). Untuk Mayoritas tingkat pendidikan adalah diploma
interpretasi, semakin tinggi skor menunjukkan dan sarjana (n = 72), dan bekerja (n = 76) dan
semakin sering frekuensi PCS dan semakin pelajar (n = 36). Rata-rata responden belum
adapted for TBI (SSMS-TBI). SSMS-TBI responden mengalami CKR pada median 13
digunakan untuk menilai manajemen PCS 8 weeks (IQR = 24, range 2-60). Penyebab
gejala, yaitu sakit kepala, pusing, kelelahan, cedera terbanyak adalah kecelakaan lalu
kesulitan memori (termasuk pelupa, lintas (n = 120). GCS pada saat masuk IGD
konsentrasi yang buruk dan gejala yang adalah 15 (n = 104) dan mengalami kehilangan
membutuhkan waktu lebih lama untuk kesadaran kurang dari 30 menit setelah injury
depresi. Peneliti menggunakan form kosong temporal (n = 69) dan frontal (n = 52).
untuk gejala lain yang dialami responden. Responden juga melaporkan cedera di bagian
Responden hanya menjawab kuesioner untuk tubuh yang lain (n = 41), diantaranya luka
gejala yang dilaporkan. Frekuensi manajemen laserasi, dislokasi dan fraktur ekstremitas.
diukur dalam skala Likert, pada rentang 1 Gejala Pasca Gegar Otak (post-concussion
5
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9 :
1
7, IQR=5), yang dialami oleh responden yang keparahan pada level ringan (M = 1.03,
telah mengalami CKR pada rentang 2- 60 SD=0.51, range 0-4). Berdasarkan tingkat
minggu. Pusing berada di urutan pertama, keparahan gejala, gejala yang dilaporkan
kemudian sakit kepala, fatigue, mudah lupa, memiliki tingkat keparahan berturut-turut
dan sulit untuk berfikir. Terkait dengan adalah gangguan pendengaran (M = 1.45, SD
frekuensi gejala muncul, PCS dilaporkan = 0.52), penglihatan kabur (M = 1.44, SD =
sesekali dirasakan terjadi sesekali (M = 2.32, 0.79) dan sakit kepala (M = 1.37, SD = 0.79)
SD = 0.55, range 1-4), dengan tingkat (Tabel 1).
Tabel 1. Gejala yang muncul, frekuensi dan level keparahan dari PCS (N = 136)
Gejala yang muncul Frekuensi Level Keparahan
Gejala
N M (SD) (1-4) M (SD) (0-4)
1. Pusing 109 2.57 (0.84) 1.30 (0.73)
2. Sakit Kepala 107 2.60 (0.82) 1.37 (0.79)
3. Fatigue 101 2.54 (0.75) 1.19 (0.76)
4. Pelupa 86 2.37 (0.80) 1.12 (0.69)
5. Sulit berfikir 72 2.35 (0.77) 1.11 (0.76)
6. Gangguan tidur 67 2.36 (0.88) 1.03 (0.78)
7. Konsentrasi rendah 61 2.34 (0.77) 1.07 (0.73)
8. Restlessness/ anxiety 58 2.24 (0.71) 0.97 (0.67)
9. Depresi 50 2.04 (0.81) 0.82 (0.63)
10. Irritabiliti 48 2.35 (0.88) 1.08 (0.92)
11. Pandangan kabur 44 2.98 (0.87) 1.45 (0.79)
12. Frustrasi 35 2.14 (0.84) 0.86 (0.69)
13. Sensitif terhadap suara 27 1.89 (0.75) 0.74 (0.76)
14. Mual dan/atau muntah 26 1.88 (1.02) 0.69 (0.70)
15. Sensitif terhadap cahaya 12 2.08 (0.79) 0.89 (0.83)
16. Gangguan pendengaran 11 3.55 (0.52) 1.45 (0.52)
17. Penglihatan ganda 8 1.88 (1.12) 1.13 (0.99)
Manajemen gejala pasca gegar otak (post- berbaring, cukup tidur), (2) terapi
concussion symptom/PCS). Terdapat 7 komplementer (yaitu, “dzikir” dan berdoa),
kelompok manajemen strategi PCS, yaitu (1) dan (3) nutrisi (yaitu, makan dengan baik).
aktivitas, (2) terapi komplementer, (3) nutrisi, Satu strategi manajemen digunakan untuk
(4) olahraga, (5) mengkonsumsi obat, (6) meredakan lebih dari satu gejala.
perawatan kesehatan, dan (7) persiapan. Responden melaporkan alasan penggunaan
Mayoritas responden melaporkan strategi manajemen PCS karena merupakan
pelaksanaan manajemen tsb pada level kegiatan rutin/umum dan efektif untuk
“kadang-kadang”. Tiga strategi manajemen menghilangkan gejala (77,2%). Selain itu,
PCS yang paling umum digunakan adalah (1) strategi tersebut mudah dilakukan (67,6%),
aktivitas (yaitu, tidak memikirkannya, mampu mengatasi gejala (52,9%), sebagai
berbicara dengan keluarga atau orang lain, pertolongan pertama untuk mengatasi gejala
5
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9
kesehatan (37,5%).
Pembahasan
Mayoritas responden (89,7%) melakukan
Pasien CKR yang menjadi responden pada
strategi manajemen PCS setelah gejalanya
penelitian memiliki persentase hampir
muncul. Hampir setengah dari responden
seimbang antara pria dan wanita, dan berada
mengelola PCS mereka ketika gejala semakin
pada usia bekerja/produktif, yaitu pada range
parah (49,3%). Selain itu, beberapa responden
18-30 tahun. Sebagian besar dari mereka
mengelola gejalanya ketika PCS mengganggu
segera kembali bekerja atau sekolah/belajar
aktivitas sehari-hari/pekerjaan mereka (25%)
setelah mengalami cedera kepala, dimana
atau mengubah strategi manajemen
sebagian besar penyebab CKR adalah
sebelumnya jika tidak efektif untuk
kecelakaan sepeda motor. Hal ini dapat
meredakan gejala (11%).
dijelaskan seperti kebanyakan negara
Terkait tempat pelaksaan manajemen PCS,
berkembang bahwa orang yang bekerja di
sebagian besar responden (82,4%) melakukan
daerah perkotaan, dalam hal ini provinsi Aceh,
strategi pengelolaan PCS di rumahnya. Selain
mayoritas menggunakan sepeda motor untuk
itu, 16,9% responden melakukan manajemen
transportasi karena dianggap murah, nyaman,
PCS di mana pun gejalanya muncul. Beberapa
dan cepat; namun disisi lain sering
responden mengelola PCS mereka di tempat
mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan
yang nyaman (8,8%).
cedera. Temuan penelitian ini serupa dengan
Tabel 3. Frekuensi dan Persentase alasan penelitan yang dilakukan oleh Kliangda
penggunaan manajemen PCS* (N = 136)
(2009). Dilihat dari data terkait kejadian CKR,
Alasan N %
1. Kegiatan rutin/umum dan 105 77.2 rata-rata GCS pada usia 15 dan kehilangan
efektif mengurangi gejala
(seperti“dzikir”, berdoa) kesadaran kurang dari 30 menit dari kejadian
2. Strategi tersebut mudah 92 67.6
dilakukan (seperti cukup awal, dimana hal ini yang sering ditemukan
tidur)
3. Mampu mengatasi gejala 72 52.9
pada cedera kepala ringan (Barkhoudarian,
4. Dapat menyembuhkan luka 66 48.5 Hovda, & Giza, 2011).
yang didapat pada saat
cedera (CKR) (seperti
6
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9
Gejala gegar otak pasca trauma/PCS yang berpikir. Selain itu, cedera pada lobus
dialami pasien CKR diakibatkan oleh gaya temporal kemungkinan terkait dengan trauma
percepatan/acceleration dan perlambatan/ tengkorak menyebabkan beberapa
deceleration, disebabkan oleh benturan pada responden dalam penelitian ini mengalami
kepala. Keadaan ini merusak struktur dan hemotimpanum saat masuk IGD atau
metabolisme otak (Barkhoudarian, Hovda, & mengalami gangguan pendengaran di
Giza, 2011). Struktur neuropatologi pada CKR kemudian hari (Munjal, Panda, & Pathak,
atau sering disebut dengan “cedera aksonal 2010). Cedera pada lobus oksipital juga dapat
difus” terjadi pada karena kerusakan pada merusak saluran optik dan menyebabkan
struktur akson yang rapuh dan pecahnya penglihatan kabur (Greenberg, 2006).
pembuluh darah kecil, berikutnya terjadi Selanjutnya, eskprolasi lebih lanjut terkait
swelling, lisis akson, dan hemorragi (Len bagaimana responden melakukan
&Neary, 2011; Werner & Englhard, 2007). manajemen PCS untuk mengurangi atau
Selain itu, perubahan yang terjadi pada menyembuhkan gejala tsb.
neurometabolik meliputi perubahan fungsi Ada tiga kelompok strategi manajemen yang
hormon neurotransmitter dan fluktuasi paling sering digunakan responden dalam
elektrolit pada tingkat sel. Akibatnya, penanganan PCS, yaitu 1) aktivitas, 2) terapi
autoregulasi serebral terganggu (Prigatano & komplementer, dan 3) nutrisi. Strategi
Gale, 2011) dan fungsi metabolisme normal komplementer meliputi latihan dzikir, shalat,
otak mengalami gangguan selama berhari- dan pijat. Dan kelompok strategi nutrisi
hari hingga berminggu-minggu setelah cedera adalah dengan mengkonsumsi makanan yang
bahkan persisten (McCrea, 2008). sehat. Sebagian besar strategi dilakukan
Lokasi cedera otak juga berkontribusi pada dengan frekuensi sesekali. Dari segi
beberapa PCS. Misalnya, cedera lobus keefektifan, mayoritas berada pada kategori
temporal dapat menyebabkan kerusakan “terkadang efektif” untuk meredakan gejala.
fungsi vestibular perifer (Defense Centers of Sehingga wajar jika responden melaksanakan
Excellence [DCoE], 2010), memori, dan proses lebih dari satu strategi untuk mengatasi satu
input dan penyimpanan data (Gould & Dyer, gejala. Dan sebaliknya, satu strategi dapat
2011). Hal ini dibuktikan oleh beberapa mengatasi lebih dari satu gejala secara
penelitian yang menunjukkan bahwa bersamaan.
responden sering pusing, pelupa, dan Kelompok strategi “aktivitas”, diantaranya
membutuhkan waktu lebih lama untuk yaitu tidak memikirkannya, berbicara dengan
6
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9
keluarga atau orang lain, berbaring, cukup responden yang merupakan kegiatan rutin
tidur, sering istirahat, dan tidur siang di siang umat Islam. Dzikir adalah kegiatan mengingat
hari. Tidak memikirkan gejala dan berbicara Allah SWT dan melibatkan pembacaan nama-
dengan keluarga atau orang lain; dapat Nya. Dalam Al-Qur’an, Q.S. Al-Ahzab: 41
menurunkan bad feeling terhadap gejala, menyatakan bahwa “Hai orang-orang yang
mendapat dukungan keluarga dan social, beriman, ingatlah Allah dengan banyak
serta pengalaman orang lain dalam mengelola mengingat (dzikir)”. Manfaat dzikir dalam Al-
PCS. Aktivitas lain yang diperlukan pada fase Qur’an, Q. S. Ar-Ra’d: 28, yaitu membuat hati
akut adalah istirahat, terutapa dilaporkan menjadi tenteram, terjamin dan tenang. Jadi
oleh responden yang mengalami gejala ketenangan, berpikir positif dan keyakinan
fatigue, pusing, sakit kepala, kesulitan dalam akan rahmat Allah SWT adalah tujuan dari
berpikir dan mengingat. penggunaan strategi ini. Dzikir digunakan oleh
Tinjauan literatur menyarankan pasien responden melaporkan depresi (n=50, 100%),
beristirahat, dengan posisi tidur dimana leher sakit kepala (n=106, 99,06%) dan kecemasan
dan tulang belakang netral (DCoE, 2010) (n=57, 98,28%). Hal ini sejalan dengan
untuk membantu pemulihan otak dari cedera penelitian Stoppler & Hecth (2009), kegiatan
dan menghindari gejala yang lebih buruk mindfulness dapat mengurangi stres dan
(CDC, 2010). Namun, efektivitas istirahat menurunkan intensitas atau tingkat
setelah CKR masih kontroversi meskipun keparahan sakit kepala. Di sisi lain, penelitian
sebagian besar ahli saraf merekomendasikan berkaitan dengan meditasi, Kristofersson
untuk istirahat total setidaknya 2 minggu (2012) dalam wawancara kualitatif
pasca cedera (de Kruijk, Leffers, Meerhoff, menemukan manfaat dari praktik meditasi
Rutten, & Twinjnstra, 2002). Waktu istirahat mindfulness untuk mengobati depresi dan
yang cukup, membatasi aktivitas fisik dan kecemasan pada pasien cedera kepala.
berfikir dan secara bertahap kembali bekerja Kelompok strategi “nutrisi” diperlukan untuk
atau belajar merupakan petunjuk penting menyediakan protein dan karbohidrat yang
untuk mencegah terjadinya PCS, gejala yang cukup untuk proses metabolisme dan
lebih buruk dan/atau persisten (Giogia, Collin, pemulihan sel yang cedera. Selain itu, bila
& Isquith, 2008). menargetkan untuk mengobati
Kelompok strategi “terapi komplementer” kelelahan/fatigue, maka fokus pada
yang sering digunakan adalah dzikir, berdoa, bagaimana meningkatkan energy, dengan
dan pijat. Dzikir dan berdoa, merupakan makan yang sehat, mengkonsumsi vitamin
strategi dilakukan oleh sebagian besar dan mineral yang dibutuhkan (DCoE, 2010).
6
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9
Kesimpulan Saran
Penelitian deskriptif cross sectional ini Gejala gegar pasca trauma kepala
memaparkan gejala pasca gegar otak (Post membutuhkan strategi manajemen yang
concussion symptom/PCS) dan bagaimana tepat. Penelitian ini memaparkan apa yang
manajemen PCS pada pasien cedera kepala responden lakukan secara mandiri untuk
ringan yang di rekrut dari 2 rumah sakir di mengelola gejala sehingga diperlukan
Provinsi Aceh. PCS dilaporkan mulai muncul penyelidikan lebih lanjut untuk memeriksa
dari beberapa minggu hingga bulan pasca efektivitas dan kontraindikasi penggunaan
CKR. Secara keseluruhan, reponden telah strategi. Saran untuk praktik Keperawatan,
mengalami 17 gejala, dimana gejala fisik diharapkan perawat dapat menyediakan
(pusing, sakit kepala, fatigue) dan kognitif program pendidikan untuk pasien CKR untuk
(pelupa, berfikir lama) sangat sering membantu mengelola PCS, karena kejadian
ditemukan. Mengenai frekuensi dan tingkat PCS telah terbukti dalam banyak penelitian.
keparahan PCS, gangguan pendengaran dan Selain itu, pasien CKR mengalami cedera
penglihatan kabur menduduki peringkat neurologis yang mengganggu kemampuan
pertama dan kedua, dan sakit kepala kognitifnya, maka perawat dituntut untuk
peringkat ketiga. Selanjutnya, frekuensi dan memberikan informasi dengan berbagai cara,
tingkat keparahan PCS membutuhkan termasuk melibatkan keluarga selama
pengelolaan gejala, sehingga gejala yang intervensi pendidikan, menyediakan media
muncul dapat mereda, tidak mengganggu tertulis, seperti leaflet/booklet, atau sumber
kualitas hidup dan tidak menetap dalam elektronik. Sehingga pasien dapat dengan
waktu lama atau persisten. Hal ini sejalan mudah mengkaji informasi setelah mereka
dengan hasil penelitian yang didapatkan meninggalkan rumah sakit dan/atau ketika
bahwa responden mengelola gejala yang mereka menghadapi gejala. Selain itu,
muncul ketika gejala mulai dirasakan dan disarankan untuk melakukan konseling
mulai mengganggu aktifitas, bahkan ketika melalui telepon, guna menindaklanjuti kondisi
gejala dirasakan semakin parah. Manajemen pasien setelah dipulangkan, khususnya
PCS yang dilakukan juga mayoritas merupakan mereka yang bekerja/belajar, karena tuntutan
kegiatan yang bersifat umum/rutin, namun untuk segera kembali bekerja/belajar, dimana
efektif untuk mengurangi gejala, seperti bekerja/belajar dapat meningkatkan kerja
dzikir, berdoa, cukup tidur, menkonsumsi otak atau berpikir yang akan mengganggu
makanan yang sehat. pemulihan pasca cedera kepala.
6
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9
6
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9
Fourtassi, M., Hajjioui, A., El Ouahabi, A., mild traumatic brain injury.
Benmassaoud, H., Hajjaj-Hassouni, N., Unpublished master thesis. Mahidol
& El Khamlichi. A. (2011). Long term University, Thailand.
outcome following mild traumatic Kristofersson, G, K. (2012). The effects of a
brain injury in Moroccan patients. mindfulness based intervention on
Clinical Neurology and impulsivity, symptoms of depression,
Neurosurgery,113, 716-720. anxiety, experiences and quality of life
doi:10.1016/j.clineuro.2011.07.010 of persons suffering from substance
Gioia, G. A., Collins, M., & Isquith, P. K. use disorders and traumatic brain
(2008). Improving identification and injury (Doctoral dissertation). Diakses
diagnosis of mild traumatic brain dari ProQuest Dissertation and There
injury with evidence: psychometric database. UMI No. 3540920
support for the acute concussion Lannsjo, M., Af Geijerstam, J. L., Johansson,
evaluation. The Journal of Head U., Bring, J., & Borg, J. (2009).
Trauma Rehabilitation, 23, 230-242. Prevalence and structure of
Greenberg, S. M. (2006). Handbook of symptoms at 3 months after mild
th
neurosurgery. (6 ed.). New York: traumatic brain injury in a national
Theme. cohort. Brain Injury, 23, 213–219.
King, N. S., Crawford, S., Wenden, F. J., Moss, doi:10.1080/02699050902748356
M. E., & Wade, D. T. (1995). The Len, K. T., &Neary, P. J. (2011).
rivermead post concussion symptoms Cerebrovascular pathophysiology
questionnaire: a measure of following mild traumatic brain injury.
symptoms commonly experienced Scandinavian Society of Clinical
after head injury and its reliability. Physiology and Nuclear Medicine, 31,
Journal of Neurology, 242, 587-592. 85-93. doi: 10.1111/j.1475-
King, N. S., &Kirwilliam, S. (2011). Permanent 097X.2010.00990.x
post-concussion symptoms after mild Marshall, S., Bayley, M., McCullagh, S.,
head injury. Brain Injury, 25, 462-470. Velikonja, D., & Berrigan, L. (2012).
doi: 10.3109/02699052.2011.558042 Clinical practice guideline for mild
Kliangda, R. (2009). Experience of headache, traumatic brain injury and persistent
management strategies and health symptom. Canadian Family Physician,
related quality of life in patients with 58, 257-267.
6
Fikriyanti Luppana Kitrungrote Praneed Songwathana/ Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9
Munjal, S. K., Panda, N, K., & Pathak, A. cohort study. Disability and
(2010). Relationship between severity Rehabilitation, 31, 1235-1243.
of traumatic brain injury and extent of Sigurdardottir, S., Andelig, N., Roe, C.,
auditory dysfuntion. Brain Injury, 24, Jerstad, T., &Schanke, A. (2009). Post-
concussion symptoms after traumatic
525 – 532. brain injury at 3 and 12 month post-
McCrea, M. A. (2008). Mild traumatic brain injury: A prospective study. Brain
Injury, 23, 489-497.
injury and postconcussion syndrome. Werner, C., & Engelhard, K.
Oxford: Oxford Press. (2007).Pathophysiology of traumatic
brain injury. British Journal of
Nolin, P., & Heroux, L. (2006). Relations Anaesthesia, 99, 4-9.
among sociodemographic, neurologic, doi:10.1093/bja/aem131
Yang, C., Hua, M., Tu, Y., & Huang, S. (2009).
clinical, and neuropsychologic Early clinical characteristic of patients
variables, and vocational status with persistent post-concussion
symptoms: a prospective study. Brain
following mild traumatic brain injury: Injury, 23, 299-306.
A follow-up study. Journal Head
Trauma Rehabilitation, 21, 514-540.
Paniak, C., Reynolds, S., Philips, K., Toller-
Lobe, G., Melnyk, A., & Nagy, J.
(2002). Patient complaints within 1
month of mild traumatic brain injury:
a controlled study. Archives of Clinical
Neuropsychology, 17, 319-334.
Prigatano, G. P., & Gale, S. D. (2011). The
current status of postconcussion
syndrome. Current
Opinion in Psychiatry, 24, 243–250.
doi:10.1097/YCO.0b013e328344698b
Roe, C., Sveen, U., Alvsaker, K., &Bautz-
Holter, E. (2009). Post-concussion
symptoms after mild traumatic brain
injury: influence of demographic
factors and injury severity in a 1-year