Anda di halaman 1dari 25

TINJAUAN PUSTAKA 1

TRANSCRANIAL DIRECT CURRENT STIMULATION


PADA CEREBRAL PALSY

Oleh:
dr. Sih Reka Prawidya
Peserta PPDS 1
Program Studi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi

Pembimbing:
dr. Noor Idha Handajani, Sp. KFR-K
Staf Pengajar PPDS I Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi

DEPARTEMEN / SMF KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA
2021
DAFTAR ISI

Daftar Isi........................................................................................................................2
Daftar Gambar dan Tabel..............................................................................................3
Bab I Pendahuluan.........................................................................................................4
Bab II Cerebral Palsy....................................................................................................5
Bab III Transcranial Direct Current Stimulation.......................................................13
Bab IV Transcranial Direct Current Stimulation Pada Cerebral Palsy.....................18
Bab V Penutup.............................................................................................................23
Daftar Pustaka.............................................................................................................24

2
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 1. Klasifikasi Cerebral Palsy.........................................................................10


Gambar 2. Mekanisme Neuroplastisitas pada tDCS...................................................15
Gambar 3. Efek tDCS pada Gangguan Motorik pada Pediatri (Saleem et al, 2019). .19
Gambar 4. Meta Analisis Efek tDCS pada Cerebral Palsy (Diego dan Leung, 2020) 20

Tabel 1. Klasifikasi Fungsional CP.............................................................................12


Tabel 2. Efek Samping tDCS......................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

Cerebral palsy (CP) merupakan penyebab utama disabilitas pada anak dengan

prevalensi sekitar 1.5 sampai 4 per 1000 anak di bawah usia 5 tahun (Berker, et al.,

2010). CP akan menimbulkan gangguan pada kualitas hidup pada anak dan remaja

terutama pada aspek fisik, psikologis dan sosial (Makris, Dorstyn, & Crettenden,

2019).

Tatalaksana CP bertujuan untuk meminimalkan dampak dari cedera

neurologis dialami pasien pada kesehatan pasien dan derajat fungsionalitas pasien.

Kombinasi tata laksana medikamentosa, pembedahan dan rehabilitasi diharapkan

dapat mengurangi disabilitas yang terjadi pada pasien CP (Hamilton, Wakely, &

Marquez, 2018).

Transcranial Direct Current Stimulation (tDCS) merupakan salah satu bentuk

stimulasi otak non invasif. tDCS menjadi salah satu teknik neuromodulasi otak yang

memiliki potensi untuk meningkatkan plastisitas korteks serebri dan memperbaiki

fungsi motorik pada berbagai macam kondisi neurologis. Salah satu kondisi

neurologis yang mendapatkan manfaat dari efek neuromodulasi tDCS adalah

Cerebral Palsy (CP).

Pada CP terjadi gangguan fungsional dan mempengaruhi kualitas hidup

pasien, penggunaan tDCS pada CP untuk memperbaiki fungsi motorik merupakan

sebuah konsep yang menjanjikan (Fleming, Theologis, Buckingham, & Johansen-

4
Berg, 2018). Tinjauan kepustakaan ini melakukan penelusuran bukti ilmiah dari efek

penggunaan tDCS pada cerebral palsy dalam 5 tahun terakhir.

BAB II
CEREBRAL PALSY

2.1. Definisi Cerebral Palsy

Cerebral Palsy (CP) adalah kelainan gerakan dan postur yang muncul

pada masa bayi atau anak-anak, akibat lesi non-progresif pada otak yang masih

berkembang (Berker, et al., 2010). Semua lesi non-progresif pada CNS pada 2

tahun pertama kehidupan dipertimbangkan sebagai CP.

Kerusakan pada otak ini sifatnya permanen, tidak dapat disembuhkan,

namun dapat diminimalkan konsekuensinya. Non-progresif artinya lesi di otak

tidak dapat disembuhkan, namun tidak bisa bertambah buruk (Berker, et al.,

2010).

2.2. Etiologi Cerebral Palsy

Etiologi pasti dari CP hanya dapat diidentifikasi pada 50% dari total

seluruh kasus (Berker, et al., 2010). Beberapa faktor risiko tertentu yang

dimiliki oleh bayi dapat meningkatkan insidensi terjadinya CP dibandingkan

pada bayi lain yang tidak memiliki faktor risiko tersebut.

2.3. Faktor Risiko Cerebral Palsy

5
Faktor risiko terjadinya CP dibagi menjadi prenatal, perinatal dan

postnatal menurut waktu terjadinya cedera pada otak. Masa prenatal diawali

dari terjadinya konsepsi sampai persalinan. Masa prenatal merupakan masa

paling banyak untuk terjadinya CP (Jan, 2006). Masa perinatal adalah masa usia

kehamilan 28 minggu sampai dengan 7 hari pasca persalinan. Masa postnatal

merupakan masa 2 tahun pertama kehidupan (Berker, et al., 2010).

Prematuritas dan bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan dua faktor

risiko utama terjadinya CP (Berker, et al., 2010). Prevalensi CP tertinggi

ditemukan pada anak yang lahir secara prematur (kurang dari 28 minggu usia

kehamilan) dengan prevalensi sebesar 111.80 untuk setiap 1000 kelahiran hidup

(Oskoui, Coutinho, Dykeman, Jett, & Pringsheim, 2013). Terdapat hubungan

antara prematuritas dan CP diplegia spastik. Prevalensi tertinggi CP juga

ditemukan pada bayi dengan berat lahir 1000 sampai 1499 gram dengan angka

prevalensi sebesar 59.18 untuk setiap 1000 kelahiran hidup (Oskoui, Coutinho,

Dykeman, Jett, & Pringsheim, 2013). Bayi dengan berat lahir rendah akan

meningkatkan risiko untuk infeksi rubella, herpes simplex, toxoplasma, dan

cytomegalovirus untuk melewati plasenta dan menginfeksi fetus. Kondisi ini

akan menyebabkan efek yang berat pada sistem saraf pusat yang masih

berkembang.

6
Bayi yang memiliki faktor risiko ini harus berada dalam pengawasan

ketat dari dokter untuk melihat ada tidaknya tanda keterlambatan perkembangan

neuromotor (Berker, et al., 2010).

2.4. Klasifikasi Cerebral Palsy

CP diklasifikasikan untuk menjelaskan problem spesifik yang dialami,

prediksi prognosis dan menentukan terapi atau tatalaksana. Klasifikasi CP

dibuat berdasarkan perubahan tonus otot yang terjadi, regio yang terdampak dan

keparahan yang terjadi.

Tipe predominan dari CP menurut tipe gangguan motor yang dialami

antara lain CP Spastik, CP Diskinetik dan CP Ataxic. CP Spastik kemudian

diklasifikasikan lebih lanjut menurut distribusi anggota tubuh yang terdampak

menjadi hemiplegia, diplegia dan quadriplegia.

CP Spastik merupakan tipe paling banyak dari CP dimana sekitar 70%-

80% anak dengan CP adalah CP Spastik. Spastisitas didefinisikan sebagai

peningkatan resistensi fisiologis otot terhadap gerakan pasif. Spastisitas

merupakan bagian dari sindrom upper motor neuron yang ditandai dengan

hiperreflexia, klonus, extensor plantar response dan munculnya reflex primitif.

CP Spastik dibagi menjadi:

1. Hemiplegia

7
Pada CP spastik hemiplegia, salah satu sisi tubuh yang

terdampak dimana anggota gerak atas lebih terdampak dibanding

anggota gerak bawah. Dapat juga ditemukan kondisi lain seperti

kejang, astereognosis dan gangguan propriosepsi. Sekitar 20%

pasien CP Spastik adalah tipe hemiplegia. Disebabkan karena lesi

pada salah satu hemisphere cerebri.

2. Diplegia

Pada CP Diplegia, anggota gerak bawah lebih terdampak

dibandingkan dengan anggota gerak atas. Intelegensi pasien

biasanya normal dan epilepsi jarang terjadi. Sekitar 50% dari pasien

CP merupakan tipe diplegia. Diplegia banyak ditemukan pada bayi

prematur dan berat badan lahir rendah.

3. Quadriplegia

Pada CP Quadriplegia, keempat anggota gerak dan trunkus

serta otot yang mengontrol mulut, lidah dan faring akan terdampak.

Ketika salah satu dari anggota gerak atas tidak terlalu terdampak,

maka disebut sebagai triplegia. Sekitar 30% dari pasien dengan CP

spastik merupakan quadriplegia. Pada bayi prematur dengan CP

Quadriplegia akan lebih terdampak pada anggota gerak bawah

dibanding anggota gerak atas.

8
CP Diskinetik merupakan CP yang ditandai dengan adanya gerakan

abnormal yang terjadi ketika pasien menginisiasi gerakan. CP Diskinesia sering

disertai dengan dysarthria, dysphagia, dan drooling. Status mental pasien

seringkali normal, namun adanya dysarthria akan membuat kesulitan

komunikasi. Hal ini membuat seringkali pasien disangka mengalami gangguan

intelektual. Dapat juga ditemukan gangguan pendengaran tipe sensorineural

yang dapat mengganggu komunikasi. CP Diskinetik ditemukan pada 10%-15%

dari seluruh total kasus CP. Hyperbilirubinemia atau anoxia yang berat

berkaitan dengan disfungsi ganglia basalis yang dapat menimbulkan CP

diskinetik.

CP Ataxic ditandai dengan adanya gangguan keseimbangan, koordinasi

dan kontrol motorik halus. Anak dengan CP Ataxic mengalami gangguan pada

koordinasi gerakan mereka. Pasien ini akan cenderung hipotonik pada usia 2

tahun pertama kehidupan. Tonus otot akan menjadi normal pada usia 2-3 tahun

dan mulai muncul ataxia. Pasien CP tipe ini akan berjalan dengan wide-based

gait, tremor intensi ringan, dysmetria, dexteritas dan kontrol motorik halus yang

buruk. CP ataxia berkaitan dengan lesi pada cerebellum.

CP tipe campuran merupakan tipe CP dimana anak memiliki

karakteristik gabungan dari tipe CP yang lain. Anak dengan CP tipe campuran

memiliki spastisitas ringan, distonia. dan/atau athetosis. Dapat juga ditemukan

9
ataxia dan spastisitas yang terjadi bersamaan. Spastic ataxic diplegia merupakan

tipe terbanyak yang berkaitan dengan hydrocephalus.

Gambar 1. Klasifikasi Cerebral Palsy

2.5. Mekanisme Gangguan Gerak pada Cerebral Palsy

Gangguan neuromuskular yang terjadi akibat CP dapat menimbulkan

disabilitas yang disebabkan oleh spastisitas, kelemahan otot, dan/atau gangguan

koordinasi gerakan. Kondisi ini dapat menyebabkan keterbatasan pada

kemampuan fungsional, gangguan keseimbangan, gangguan ambulasi dan

gangguan kualitas hidup.

Primary impairments dari tonus otot, keseimbangan, kekuatan dan

selektivitas berkaitan langsung dengan kerusakan pada sistem saraf pusat.

Secondary impairments antara lain kontraktur dan deformitas terjadi akibat

adanya respon dari primary impairment. Tertiary impairments merupakan

10
mekanisme adaptif yang muncul dari primary impairment dan secondary

impairment.

Kelainan tonus otot, gangguan keseimbangan dan kelemahan otot dapat

berakibat tidak mampunya otot untuk teregang. Kelemahan otot, spastisitas, dan

kontraktur dapat menimbukan skeletal force yang abnormal yang dapat

menimbulkan deformitas seiring anak bertumbuh dewasa. Otot akan bertumbuh

melalui regangan yang terjadi pada saat gerakan aktif. Saat anak bermain, maka

dia akan menggerakkan dan meregangkan otot. Mekanisme ini merupakan hal

yang dibutuhkan untuk pertumbuhan otot. Anak dengan CP tidak akan dapat

bermain dengan baik karena adanya gangguan patologis sehingga ototnya tidak

akan teregang dan tidak akan bertumbuh. Otot biartikular distal merupakan otot

yang paling sering terdampak karena kontrol motor selektif akan makin buruk

pada bagian distal.

2.6. Derajat Fungsional pada Cerebral Palsy

Terdapat empat klasifikasi fungsional yang sering digunakan pada CP

antara lain (Paulson & Vargus-Adams, 2017):

 Gross Motor Function Classification System (GMFCS)

 Manual Ability Classification System (MACS)

 Communication Function Classification System (CFCS)

 Eating and Drinking Ability Classification System (EDACS)

11
Tabel 1. Klasifikasi Fungsional CP

12
BAB III
TRANSCRANIAL DIRECT CURRENT STIMULATION

3.1. Definisi Transcranial Direct Current Stimulation (tDCS)

Transcranial direct current stimulation (tDCS) merupakan teknik

neuromodulator atau teknik stimulasi otak non-invasif menggunakan aliran

arus listrik searah berintensitas rendah melalui kulit kepala untuk memodulasi

eksitabilitas kortikal pada area otak yang dituju. tDCS memberikan direct

current pada area korteks untuk memfasilitasi dan menginhibisi aktivitas

neuronal spontan (Brunoni, et al., 2012).

3.2. Mekanisme Transcranial Direct Current Stimulation (tDCS)

Neuron merupakan sel yang memiliki eksitabilias secara elektrik dan

fungsi neuron bergantung kepada terbentuknya potensial aksi. Potensial aksi

terbentuk ketika depolarisasi membran mencapai batas potential threshold

tertentu. Potensial dari membran neuron ditentukan oleh aktivitas aferen

melalui sinaps elektrik dan kimia serta oleh substansi ekstrasinaps yang secara

spesifik mengaktivasi reseptor dan kanal ion.

tDCS bekerja dengan memodulasi neuronal resting potentials dan

mengubah status eksitabilitas neuron sehingga terjadi perubahan dari

amplitudo aktivitas aferen yang dibutuhkan untuk menghasilkan potensial

aksi. Ketika neuron mengalami depolarisasi karena tDCS, maka dibutuhkan

stimulasi aferen dengan amplitudo yang lebih kecil untuk menghasilkan

13
potensial aksi. Sebaliknya ketika neuron mengalami hiperpolarisasi karena

tDCS, maka neuron mengalami penurunan hipereksitabilitas sehingga

kemungkinan terjadinya potensial aksi akan menurun (Stagg, Antal, &

Nitsche, 2018). Pemberian tDCS dapat menginduksi perubahan bidireksional

pada korteks, dimana stimulasi anoda akan meningkatkan eksitabilitas korteks

sedangkan stimulasi katoda akan menurunkan eksitabilitas korteks (Brunoni,

et al., 2012).

Sampai dengan saat ini diketahui bahwa efek neuroplastisitas dari

tDCS dihasilkan dengan cara menginduksi plastisitas terkait kalsium pada

sinaps glutamatergik yang teraktivasi dengan cara menginhibisi aktivitas

GABA. Sinaps glutamatergik menginduksi neuroplastisitas melalui reseptor

N-methyl-D-aspartate (NMDA). Blokade dari reseptor NMDA akan

mencegah efek eksitabilitas yang diinduksi tDCS baik oleh anoda dan katoda,

sedangkan agonis reseptor NMDA akan meningkatkan efek eksitabilitas yang

dipicu tDCS. Aktivasi reseptor NMDA akan memicu influx dari ion kalsium

ke dalam intraseluler. Kadar kalsium intraselular akan mengontrol Long Term

Potentiation (LTP) dan Long-Term Depression (LTD). Kadar kalsium yang

rendah akan menimbulkan LTD sedangkan kadar kalsium yang tinggi akan

menimbulkan LTP. Antara zona influks kadar kalsium yang memicu LTP dan

LTD, terdapat zona transisi dimana kadar kalsium tidak akan menimbulkan

LTP atau LTD sehingga tidak menginduksi neuroplastisitas. Blokade pada

14
kanal kalsium akan mencegah efek neuroplastisitas dari tDCS. Stimulasi

tDCS terlalu lama (≥25 menit) atau terlalu kuat (≥2 mA) akan menghentikan

efek dari tDCS. Hal ini dapat terjadi karena adanya zona transisi (Stagg,

Antal, & Nitsche, 2018).

Gambar 2. Mekanisme Neuroplastisitas pada tDCS

3.3. Indikasi dan Kontraindikasi Transcranial Direct Current Stimulation (tDCS)

Beberapa studi yang ada menunjukkan bahwa tDCS dapat

menginduksi perubahan pada area target di otak. Pemberian tDCS

memberikan manfaat pada kondisi penyakit seperti depresi, nyeri akut dan

kronik, rehabilitasi stroke, dan kondisi neurologis dan psikiatri lainnya

(Brunoni, et al., 2012).

15
Kondisi yang sering dijadikan kontraindikasi atau kriteria eksklusi

pada studi mengenai tDCS ialah kehamilan; riwayat migrain; tidak

memungkinkan kontak dengan kulit kepala; lesi kulit kepala; implant logam,

termasuk elektrode intrakranial, pecahan bahan eksplosif (shrapnel), atau

pacemaker; trauma kepala; kejang; serta riwayat mengalami efek samping

pada sesi tDCS atau stimulasi otak lain sebelumnya.

Dosis dari tDCS ditentukan dari beberapa parameter antara lain dosis

dari current (ampere), durasi stimulasi dan ukuran serta penempatan

elektroda. Ukuran elektroda yang paling umum digunakan adalah berukuran

25-35 cm2 dengan dosis current 1-2 mA selama 20-40 menit. Namun

demikian, efektivitas dari tDCS dalam mencapai jaringan neuron target di

intrakranial bergantung kepada tahanan kulit, tahanan kranium, tahanan

struktur intrakranial (pembuluh darah, cairan serebrospinal dan meninges),

serta tahanan dari jaringan otak (Brunoni, et al., 2012).

3.4. Keamanan Transcranial Direct Current Stimulation (tDCS)

Penggunaan tDCS sudah diberikan kepada banyak subyek di seluruh

dunia dan sampai saat ini belum ditemukan bukti adanya efek toksisitas yang

terjadi. Namun demikian kita tetap perlu mempertimbangkan efek samping

yang mungkin terjadi pada pemberian tDCS. Hal ini karena adanya produk

elektrokimia yang dihasilkan oleh tDCS berkontak dengan kulit, maka akan

dapat menimbulkan terjadinya iritasi pada kulit. Selain itu, pada kulit yang

16
tidak intak dapat menimbulkan panas yang kemudian dapat menimbulkan

kemerahan akibat vasodilatasi, bahkan bisa menimbulkan luka bakar.

Beberapa efek samping dari tDCS yang diketahui sampai saat ini terdapat

pada tabel di bawah ini (Buchanan, et al., 2021).

Tabel 2. Efek Samping tDCS

Berdasarkan dari review literatur terkini bukti ilimah selama 14 tahun

terakhir, tDCS aman diberikan kepada remaja selama 1-20 sesi dengan durasi

sampai 20 menit dan dosis sampai dengan 2mA. Penggunaan tDCS pada anak

masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Buchanan, et al., 2021).

17
BAB IV
TRANSCRANIAL DIRECT CURRENT STIMULATION
PADA CEREBRAL PALSY

Review sistematik dan meta analisis dilakukan oleh Saleem et al (2019) pada

13 studi tentang efek tDCS terhadap gangguan motorik pada pediatri, termasuk di

dalamnya antara lain stroke perinatal, dystonia primer dan sekunder, gerakan

involunter dan CP. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa tDCS merupakan teknik

yang aman digunakan untuk gangguan motorik pada pediatri serta terbukti

memperbaiki gait dan gerakan involunter. Studi yang sama juga menunjukkan

efektivitas yang terbatas pada perbaikan fungsi keseimbangaan dan fungsi anggota

gerak atas. Berdasarkan studi ini, tDCS dapat menjadi tatalaksana tambahan pada

rehabilitasi pediatri. (Saleem, Crasta, Slomine, Cantarero, & Suskauer, 2019).

Review sistematik lain oleh Fruhauf (2018) menunjukkan bahwa pemberian

tDCS dengan atau tanpa metode rehabilitasi yang lain dapat memberikan efek positif

pada aspek fungsional dari anak dan remaja dengan CP (Fruhauf, Stocco, & Agnol,

2018)

18
Gambar 3. Efek tDCS pada Gangguan Motorik pada Pediatri (Saleem et al, 2019)

Penggunaan tDCS berpotensi dalam memodulasi plastisitas adaptif pada anak

dengan CP. Peningkatan plastisitas ini akan berguna dalam terapi okupasi dengan

memperbaiki abnormalitas yang menimbulkan keterlambatan motoris, yang pada

akhirnya akan meningkatkan performa okupasional dari pasien (Diego & Leung,

2020).

Review sistematis dan meta analisis oleh Diego dan Leung (2020)

menunjukkan bahwa tDCS memberikan efek yang prominen dalam jangka panjang.

19
Meta analisis yang dilakukan pada pre dan post intervensi menunjukkan perbaikan

pada gait velocity (Diego & Leung, 2020).

Gambar 4. Meta Analisis Efek tDCS pada Cerebral Palsy (Diego dan Leung, 2020)

Dari sisi keamanan, studi oleh Gillick (2018) menunjukkan tidak ada efek

samping yang serius pada pemakaian tDCS untuk CP. Efek samping minor yang

paling sering dilaporkan adalah nyeri kepala dan gatal. Studi yang sama juga

menunjukkan adanya perbaikan pada hand function setelah dilakukan intervensi

20
dengan tDCS walaupun tidak didapatkan perbedaan signifikan di antara kedua grup

yang dilakukan intervensi. Pasien CP dengan traktus kortikospinal yang masih intak

pada hemisphere yang terdampak menunjukkan perbaikan hand function yang lebih

baik dibandingkan yang mengalami lesi pada traktus kortikospinal pada hemisphere

yang terdampak (Gillick, et al., 2018).

Studi pilot tentang efek tDCS pada cerebral palsy unilateral oleh Inguaggiato,

et al (2019) menunjukkan bahwa penggunaan sekali anodal tDCS (1.5 mA selama 20

menit) pada korteks area M1 yang terdampak dapat secara aman memperbaiki hand

dexterity tangan yang hemiplegi (namun tidak pada tangan yang nonhemiplegi) bila

dinilai dengan Box and Block test (BBT) pada subyek dengan CP unilateral.

Perbaikan ini muncul segera pada akhir stimulasi tDCS dan bertahan selama minimal

90 menit (Inguaggiato, Bolognini, Fiori, & Cioni, 2019).

Studi oleh Smoter et al (2020) menunjukkan bahwa tDCS dapat menurunkan

efek kekakuan dan spastisitas dari otot flexor carpi radialis pada anak dengan CP

(Smoter, Jedrzejczyk-Góral, Chen, Ciszek, & Ignasiak, 2020).

Studi oleh Elsadany et al (2019) menunjukkan perbaikan signifikan pada

parameter spatiotemporal gait (step length dan gait velocity) dengan hasil yang lebih

baik pada grup tDCs dibandingkan grup treadmill pada subyek CP diplegia.

Perbaikan ini bertahan sampai 10 minggu berturut-turut setelah intervensi selesai

dilakukan (Elsadany, Abdelazeim, & Elawady, 2019).

21
Studi oleh Elbanna et al (2018) menunjukkan efikasi dari tDCS pada anak CP

dengan menunjukkan perbaikan pada fungsi keseimbangan, variabel gait, fungsi

anggota gerak atas, dan spastisitas dimana efek ini muncul dengan segera dan

bertahan dalam waktu yang lama (Elbanna, Elshennawy, Ayad, & Aty, 2018).

22
BAB V
PENUTUP

Cerebral palsy (CP) merupakan penyebab utama disabilitas pada anak yang

dapat menimbulkan gangguan pada kualitas hidup pada anak dan remaja terutama

pada aspek fisik, psikologis dan sosial. Transcranial Direct Current Stimulation

(tDCS) merupakan salah satu bentuk stimulasi otak non invasif yang memiliki

potensi untuk meningkatkan plastisitas korteks serebri dan memperbaiki fungsi

motorik pada CP. Bukti ilmiah dalam 5 tahun terakhir termasuk review sistematis dan

meta analisis menunjukkan bahwa pemberian tDCS memberikan perbaikan pada

gross motor function dan kemampuan motorik tangan. Ditinjau dari segi keamanan,

tDCS merupakan pilihan terapi yang aman dengan efek samping yang ringan.

Pemberian tDCS merupakan terapi yang menjanjikan bagi tata laksana CP, namun

demikian masih diperlukan studi lanjut mengenai efikasi dan keamanan dari prosedur

ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Berker, N., Yalcin, S., Root, L., Staheli, L., Papavissilou, A., Ganjwala, D., Eti,
Z. (2010). The HELP Guide to Cerebral Palsy Second Edition. Washington:
Global HELP.
2. Brunoni, A. R., Nitsche, M. A., Bolognini, N., Bikson, M., Wagner, T., Merabet,
L., Fregni, F. (2012). Clinical research with transcranial direct current
stimulation (tDCS): Challenges and future directions. Brain Stimulation, 5, 175–
95.
3. Buchanan, D. M., Bogdanowicz, T., Khanna, N., Lockman-Dufour, G., Robaey,
P., & D’Angiulli, A. (2021). Systematic Review on the Safety and Tolerability of
Transcranial Direct Current Stimulation in Children and Adolescents. Brain
Sciences, 11, 212.
4. Diego, A. P., & Leung, A. W. (2020). Transcranial direct current stimulation for
improving gross motor function in children with cerebral palsy: A systematic
review. British Journal of Occupational Therapy, 83(7) 418–431.
5. Elbanna, S. T., Elshennawy, S. A., Ayad, M. N., & Aty, F. M. (2018).
Transcranial Direct Current Stimulation for Rehabilitation of Motor Disorders in
Children with Cerebral Palsy: (Systematic Review). The 19th International
Scientific Conference Faculty of Physical Therapy, (pp. 1-16). Cairo.
6. Elsadany, S. M., Abdelazeim, F. H., & Elawady, E. M. (2019). Long lasting
effect of Transcranial direct current stimulation versus task specific training on
Spatiotemporal gait parameter in children with Diplegiccerebral palsy. Journal of
Advanced Pharmacy Education & Research, 9:115-121.
7. Fleming, M., Theologis, T., Buckingham, R., & Johansen-Berg, H. (2018).
Transcranial Direct Current Stimulation for Promoting Motor Function in
Cerebral Palsy: A Review. Journal of NeuroEngineering and Rehabilitation,
15:121.
8. Fruhauf, A. M., Stocco, P. A., & Agnol, L. D. (2018). Transcranial Direct-Current
Stimulation in Motor Rehabilitation of Children and Adolescents with Cerebral
Palsy. Scholar Journal of Applied Sciences and Research, 05-09.

24
9. Gillick, B., Rich , T., Nemanich, S., Chen, C.-Y., Menk, J., Mueller, B., Rudser,
K. (2018). Transcranial direct current stimulation and constraint-induced therapy
in cerebral palsy: A randomized, blinded, sham-controlled clinical trial. European
Journal of Paediatric Neurology , 22: 358-368.
10. Hamilton, A., Wakely, L., & Marquez, J. (2018). Transcranial Direct-Current
Stimulation on Motor Function in Pediatric Cerebral Palsy: A Systematic Review.
Pediatric Physical Therapy, 291-301.
11. Inguaggiato, E., Bolognini, N., Fiori, S., & Cioni, G. (2019). Transcranial Direct
Current Stimulation (tDCS) in Unilateral Cerebral Palsy: A Pilot Study of Motor
Effect. Neural Plasticity.
12. Jan, M. (2006). Cerebral Palsy: Comprehensive Review and Update. Ann Saudi
Med, 26(2):123-132.
13. Makris, T., Dorstyn, D., & Crettenden, A. (2019). Quality of life in children and
adolescents with cerebral palsy: a systematic review with meta-analysis.
Disability and Rehabilitation, 1-11.
14. Oskoui, M., Coutinho, F., Dykeman, J., Jett, N., & Pringsheim, T. (2013). An
update on the prevalence of cerebral palsy: a systematic review and meta-
analysis. Developmental Medicine & Child Neurology, 55: 509–519.
15. Paulson, A., & Vargus-Adams, J. (2017). Overview of Four Functional
Classification Systems Commonly Used in Cerebral Palsy: Review. Children,
4:30.
16. Saleem, G. T., Crasta, J. E., Slomine, B. S., Cantarero, G. L., & Suskauer, S. J.
(2019). Transcranial Direct Current Stimulation in Pediatric Motor Disorders: A
Systematic Review and Meta-analysis. Archives of Physical Medicine and
Rehabilitation, 100:724-38.
17. Smoter, M., Jedrzejczyk-Góral, B., Chen, A., Ciszek, B., & Ignasiak, Z. (2020).
Effects of tDCS on Muscle Stiffness in Children with Cerebral Palsy Measured by
Myotonometry: A Preliminary Study. Applied Science, 10: 2616.
18. Stagg, C. J., Antal, A., & Nitsche, M. A. (2018). Physiology of Transcranial
Direct Current Stimulation. Journal of ECT, 00: 00–00.

25

Anda mungkin juga menyukai