Anda di halaman 1dari 16

Jurnal

GANGGUAN TIDUR SETELAH TRAUMATIC BRAIN INJURY


PADA PASIEN LANJUT USIA: STUDI PERBANDINGAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Neurologi
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin /FK Unsyiah
Banda Aceh

Disusun Oleh:
Dianita Permatasari
1907101030059

Pembimbing:
Dr. dr. Suherman, Sp.S(K)

BAGIAN/ SMF NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2020
GANGGUAN TIDUR SETELAH TRAUMATIC BRAIN INJURI PADA
PASIEN LANJUT USIA: STUDI PERBANDINGAN
Li Wei, PhD; Ya-Ting Wen, MD; Hilaire J. Thompson, PhD; Cyong-Yi Liu, MSN; Yu-Kai Su,
MD; Pin-Yuan Chen, PhD; Ching-Yi Chen, BSN; Yeu-Hui Chuang, PhD; Ya-Jui Lin, PhD;
Chun-Ting Chen, MD; Ching-Chang Chen, MD; Hsiao-Ting Chiu, PT; Hsiao-Yean Chiu, PhD,
RN.

J Head Trauma Rehabil Vol. 35, No. 4, pp. 288-295

Objektif : Untuk membandingkan prevalensi gangguan tidur pada pasien lanjut usia yang
mengalami Traumatic Brain Injury (TBI) dengan kelompok kontrol usia dan jenis kelamin yang
cocok untuk menentukan faktor resiko gangguan tidur pasca TBI dan efek dari gangguan post
TBI pada kualitas hidup (QOL).

Desain : Studi perbandingan dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional)

Partisipan : Delapan puluh lansia (usia ≥ 65 tahun) yang mengalami TBI pertama kali sudah
lebih dari tiga bulan sejak terjadi cedera serta delapan puluh lansia sebagai kelompok kontrol
yang tidak mengalami TBI dan memiliki kesehatan dan tidur yang baik menurut kuisioner QOL

Hasil : Lansia dengan TBI menunjukkan prevalensi Obstruktif Sleep Apnea (OSA),
insomnia, mengantuk di siang hari yang lebih berat daripada lansia kelompok kontrol. Laki-laki
memiliki derajat nyeri dan depresi yang lebih tinggi, dan adanya insomnia yang berhubungan
dengan resiko masing-masing dari OSA, insomniam dan kantuk di siang hari setelah TBI. OSA
dan insomnia secara signifikan berkorelasi dengan kualitas hidup yang rendah pada lansia
dengan TBI

Kesimpulan : Gangguan tidur sangat sering terjadi pada lansia dengan TBI. Perbedaan jenis
kelamin, keparahan depresi, dan tingkat nyeri berkorelasi dengan kejadian gangguan tidur post
TBI. OSA dan insomnia dianggap sebagai faktor utama dalam rendahnya kualitas hidup. Pada
lansia dengan TBI, target intervensi pada gangguan tidur post TBI adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup lansia.

Kata Kunci : Lansia, gangguan tidur, traumatic brain injury

Seiring dengan meningkatnya tingkat harapan hidup di era modern, pola epidemiologi
dari Traumatic Brain Injury (TBI) telah berubah dalam decade terakhir. Terjadi peningkatakn
proporsi pasien TBI dikelompok usia lebih tua; diperkirakan sekitar sepertiga pasien TBI
merupakan dari kelompok usia tua atau lansia. Oleh karena itu, TBI menjadi masalah kesehatan
utama pada lansia karena tingginya angka kematian dan fungsional yang lebih buruk daripada
pasien dengan usia yang lebih muda.
Gangguan tidur seperti insomnia, Obstructive Sleep Apnea (OSA), dan rasa kantuk di
siang hari yang berlebihan merupakan keluhan yang paling sering terjadi, dilaporkan 50% kasus
pada pasien usia yang lebih muda dengan TBI: namun, hampir 60% kasus tidak diobati.
Gangguan tidur post TBI memiliki hubungan dengan deficit fungsi neurokognitif dan rendahnya
kualitas hidup terkait masalah kesehatan (HROQL). Namun, informasi mengenai gangguan tidur
post TBI pada lansia masih terbatas; penelitian sebelumnya lebih focus pada anak-anak, remaja,
dan usia muda. Secara kebetulan, gangguan tidur sering terjadi pada lansia. Gangguan tidur
memiliki dampak fisik dan psikologis. Gangguan tidur pada lansia lebih sering terjadi karena
faktor fisik dan penyakit penyerta daripada perubahan tidur yang terkait dengan umur. Karena
itu, masuk akal untuk menyimpulkan bahwa lansia dengan TBI mungkin memiliki gangguan
tidur yang lebih berat dibanding lansia tanpa TBI. Bahkan, belum ada penelitian yang meneliti
tentang faktor resiko gangguan tidur post TBI pada lansia, meskipun penelitian terdahulu sudah
mengidentifikasikan faktor resiko gangguan tidur pada pasien TBI usia muda (yaitu umur, jenis
kelamin, tingkat keparahan cedera kepala, nyeri pada malam hari, dan depresi). Meskipun begitu,
informasi mengenai gangguan tidur pada lansia dengan TBI tetap tidak lengkap. Mengatasi
kesenjangan informasi ini dapat memberikan informasi yang lebih lanjut mengenai gangguan
tidur post TBI pada lansia dan membantu penyedia layanan kesehatan dalam merencanakan
terapi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gangguan tidur pada lansia
dengan TBI dibandingkan dengan kelompok kontrol umur dan jenis kelamin tanpa TBI untuk
menentukan faktor resiko dari gangguan post TBI, dan untuk mengetahui akibat dari gangguan
tidur post TBI pada kualitas hidup lansia post TBI. Kami memiliki hipotesis bahwa lansia
dengan TBI memiliki prevalensi gangguan tidur yang lebih tinggi dibandingkan dengan lansia
tanpa TBI dan gangguan tidur post TBI berkorelasi dengan kualitas hidup yang rendah.

METODE

Desain penelitian dan partisipan

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan rujukan kasus menggunakan
teknik convenience samplimg. Pasien dengan TBI diambil dari pasien neurosurgical di Rumah
sakit Universitas di Northern Taiwan ketika mereka melakukan pemeriksaan rutin. Untuk
memenuhi syarat, pasien harus (1) usia diatas 65 tahun, (2) pertama kali terdiagnosis TBI (skor
Glasgow Coma Scale 3-15) untuk lebih dari 3 bulan dan (3) dapat berkomunikasi dan dapat
menyelesaikan kuisioner penelitian. Kelompok kontrol umur dan jenis kelamin tanpa riwayat
cedera otak diambil dari populasi umum di pusat kesehatan public primer dan universitas serta
Active-ageing center, dimana pada pasien lansia mendapat pemeriksaan medis atau menghadiri
pembicaraan kesehatan. Partisipan termasuk kedalam kategori eksklusi jika mereka merupakan
pekerja dengan menggunakan ―shift” atau mempunyai gangguan tidur pre cedera (seperti sleep
apnea, insomnia), penyakit serebrovaskular, penyakit psikiatrik, kanker, epilepsy, atau penyakit
medis berat lain sebelumnya.

Perhitungan ukuran sampel untuk penelitian ini didasarkan pada 2-tailed α dari 0,05;
kekuatan 0,90; ukuran efek 0,73; menghasilkan 80 partisipan dari setiap kelompok untuk total
sampel 160. Perhitungan ukuran efek didasarkan pada hasil (gangguan tidur indeks I) yang
dilaporka Rao et al.

Pengukuran tidur

Kuisioner untuk mengukur mendengkur, kelelahan, apnea, tekanan darah tinggi, indeks
masa tubuh (IMT), umur, lingkar leher, dan jenis kelamin laki-laki (STOP-Bang) telah
dikembangkan pada tahun 2008 untuk menilai resiko dari OSA sebagai bagian dari penilaian
pra-operasi pada pasien bedah. Terdiri dari 2 bagian: (1) gambaran klinis OSA dan (2)
karakteristik demografi. Untuk gambaran klinis diukur dari pertanyaan ya/tidak (yaitu
mendengkur yang keras, kelelaha, apnea, dan tekanan darah tinggi). Untuk karakteristik
demogradi, mengevaluasi IMT (ya: >35 kg/m2), umur (ya: >50 tahun), lingkar leher (ya>40 cm),
dan jenis kelamin (ya: laki-laki). Untuk masing-masing item, jawaban ―ya‖ memiliki skor 1 dan
―tidak‖ memiliki skor 0; total skor pada rentang 0-8. Pasien dengan skor ≥ 3 dipertimbangkan
mempunyai resiko menengah dan OSA.

8 item Athens Insomnia Scale (AIS) merupakan instrument penilaian yang dirancang
untuk mengukur insomnia berdasarkan International Classification of Diseases Tenthh Revision
Criteria. Masing-masing item bernilai 0-3 dimana 0 mewakili tidak mengalami gangguan sama
sekali dan 3 mewakili mengalami gangguan yang sangat serius. Total skor memiliki rentang dari
0-24. Sensitivitas dan spesifisitas nya yang sangat baik untuk mengidentifikasi insomnia. Versi
dari China untuk AIS telah diuji dan didemonstrasikan reliabilitas dan validitas yang tinggi. nilai
cutoff 8 menunjukan reliabilitas dan validitas 87,1% dan 78,8%.

The Epworth Sleepiness Scale (ESS) mengukur rasa kantuk disiang hari yang berat.
Partisipan dinilai kemungkinan mereka tertidur didelapan kondisi tertentu. Masing-masing
kondisi memiliki skor 0-3 dengan total skor lebih dari 10 menandakan rasa kantuk disiang hari
yang berat. ESS diterjemahkan kedalam bahasa cina pada tahun 2002 dan menunjukkan
reliabilitas dan validitas yang baik.

Pengukuran kualitas hidup

HRQOL post TBI (QOLIBRI) merupakan 37 item pengukuran penyakit spesifik tentang
HRQOL post TBI. Terdiri dari enam subdomain yaitu kognisi (7 item), diri (7 item), kehidupan
sehari-hari dan kemandirian (7 item), hubungan social (6 item), emosi (5 item), dan masalah fisik
(5 item). Masing-masing item bernilai 5 poin Likert-type scale dengan 0 mewakili tidak sama
sekali dan 4 mewakili sangat banyak. Total skor dari QOLIBRI adalah rata-rata dari skor pada 6
domain. Untuk skor total dan skor subdomain, skor yang lebih tinggi mewakili HRQOL yang
lebih tinggi. QOLIBRI sudah diterjemahkan kedalam bahasa cina pada tahun 2014 dan memiliki
reliabilitas dan validitas yang dapat diterima.

Variabel terkait demografi dan cedera

Lembar informasi dibuat untuk mengumpulkan karakteristik demografi dan penyakit


yang mungkin berhubungan dengan gangguan tidur post TBI seperti umur, jenis kelamin, status
pernikahan, tingkat keparahan cedera kepala (yaitu skor Glasgow coma scale), penggunaan obat
hipnotik, nokturia, kebiasaan olahraga sebelumnya, pengasuh, konsumsi the atau kopi, dan
komorbiditas. 11 item Charlson Comorbidity Index yang dimodifikasi digunakan untuk menilai
komorbiditas; hal tersebut memprediksi kematian dengan mengklasifikasikan komorbiditas.
Skor 1, 2, 3, atau 6 ditetapkan untuk masing-masing komorbiditas berdasarkan hubungannya
dengan resiko kematian. Skor keseluruhan adalah jumlah yang ditetapkan untuk semua
komorbiditas pasien.

The Montreal Cognitive Assessment (MoCA) merupakan instrument berjumlah 30 poin


yang digunakan untuk menilai penurunan kognitif. Terdiri dari beberapa domain kognitif
termasuk fungsi eksekutif, kemampuan bahasa yang lebih tinggi, perhatian, memori, dan proses
visuospasial kompleks. Menggunakan nilai cutoff skor 26, sensitivitas dan spesifitasnya 90% dan
100%, MoCA sudah divalidasi untuk digunaka pada pasien dengan TBI, dengan sensitivitas dan
spesifisitas optimal pada nilai cutoff skor 25/26 dengan area bawah kurva 0,704.

The Visual Analog Scale untuk nyeri digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Terdiri
daru 0-10 cm garis horizontal dengan 0 mengindikasikan tidak ada nyeri dan 10 merefleksikan
nyeri yang paling hebat. Partisipan diwajibkan untuk menandai lokasi pada garis yang
merefleksikan nyeri mereka pada minggu lalu. Validitas dan test-re test reliabilitas ditetapkan
selama interval 2 minggu

The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) merupakan pengukuran untuk gejala
depresi dan kecemasan. Terdiri dari 14 item dengan 7 item menilai depresi dan 7 item menilai
kecemasan. Masing-masing item memiliki skor dari 0-3 pada poin Likert-type scale. Total skor
dihitung dari penjumlahan skor item depresi dan kecemasan, dengan skor yang lebih tinggi
mengindikasikan gejala yang lebih berat. Nilai cutoff menggambarkan sensitivitas 0,82 dan
spesifitas 0,74.

Prosedur

Penelitian ini disetujui oleh Joint Institutional Review Board for Human Subject
Research of The Taipei Medical University (nomor persetujuan 201707047) dan Chang-Gung
Memori Hospital (nomor persetujuan 201800635B0) dan dilaksanakan mulai dari juli 2017
sampai Januari 2019. Setelah kami mendapat persetujuan informed consent dari pasien TBI yang
memenuhi kriteria inklusi, kami meminta partisipan untuk mengisi kuisioner di klinik bedah
saraf. Asisten peneliti kemudian menghubungi kelompok kontrol tanpa TBI dari pusat komunitas
dan kelompok kontrol diminta untuk mengisi kuisioner yang sama.

Analisi data

Seluruh analisis menggunakan SPSS 20.0 untuk windows (SPSS statistic; IBM, Armonik,
New York). P value < 0,05 dianggap signifikan secara statistic. Analisis deskriptif dan distribusi
frekuensi digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik demografi dan penyakit untuk
mengidentifikasi gangguan tidur. Perbedaan antara kelompok dalam distribusi dan orevalensi
resiko gangguan tidur diperiksa menggunakan uji t independen dan x2 tes. Kami meggunakan
model regresi multivariable untuk menilai faktor resiko gangguan tidur post TBI dan untuk
konfirmasi efek gangguan tidur post TBI terhadap kualitas hidup. Analisis univariat termasuk
kovariat berasosiasi dengan gangguan tidur post TBI atau kualitas hidup dengan p<25. Uji
kesesuaian dinilai dengan Hosmer-Lemeshow test.

HASIL

Karakteristik partisipan

Keseluruhan 80 partisipan dengan TBI dan 80 kelompok kontrol umur dan jenis kelamin
tanpa TBI termasuj kedalam penelitian. Diantara partisipan dengan TBI, penyebab utama cedera
kepala adalah jatuh (71,3%); sekitar 40% mengalami penurunan kesadaran dan rata-rata
partisipan sudah 7,4 bulan pasca cedera. Ringkasan karakteristik demografi dan penyakit
terdapat pada tabel 1. Berbeda dengan kelompok kontrol non cedera, lansia dengan TBI
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada paparan tembakau, nokturia, kebiasaan olahraga,
dan skor HADS-depressioni dan MoCA.

Distribusi dan prevalensi OSA, insomnia, dan rasa kantuk disiang hari

Seperti yang digambarkan pada tabel 1, lansia dengan TBI mempunyai resiko yang lebih
tinggi untuk OSA, insomnia, dan rasa kantuk di siang hari dibandingkan lansia tanpa TBI (semua
Ps <0,001). Prevalensi yang lebih tinggi dan signifikan pada OSA, insomnia, dan rasa akntuk
disiang hari telah diobservasi terdapat pada lansia dengan TBI daripada lansia tanpa TBI. (80%
vs 57,5%; 51,2% vs 26,3%; 36,3% vs 15%; semua Ps<0,05 ; lihat figure 1).
Faktor resiko untuk gangguan tidur pada lansia post TBI

Uji kesesuaian Hosmer-Lemeshow menghasilkan hasil uji (OSA: X2 = 7,82 dan p =0,45 ;
insomnia: X2= 8,64 dan p= 0,37; rasa kantuk X2= 8,10 dan p= 0,42). Dalam ketentuan resiko
OSA pada post TBI, jenis kelamin laki-laki merupakan satu-satunya faktor yang signifikan (OR=
2,97;95%CI; 1,48-5,93). Peningkatan nyeri dan keparahan gejala depresif secara signifikan
berhubungan dengan resiko insomnia post TBI. (ORs= 1,44 dan 1,39; 95%CI; 1,01-2,04 dan
1,13-1,71) lansia dengan TBI yang memiliki keluhan insomnia yang lebih berat lebih sering
mengalami rasa kantuk (OR= 1,59; 95% CI; 1,21-2,09; lihat tabel 2)
Hubungan OSA, insomnia, rasa kantuk post TBI dengan kualitas hidup lansia dengan TBI

Hubungan gangguan tidur pasca TBI dan QOL tergambar pada tabel 3. Setelah
memasukkan variabel yang berhubungan dengan QOL dengan p< 0,25, insomnia dan OSA
secara signifikan berhubungan dengan kualitas hidup yang rendah pada lansia dengan TBI (B= -
1,46 dan -3,78; Ps= 0,005).

DISKUSI

Menurut sepengetahuan kami, ini merupakan penelitian pertama yang melaporkan OSA,
insomnia, dan rasa kantuk lebih sering terjadi pada lansia dengan TBI dibandingkan dengan
kelompok kontrol umur dan jenis kelamin lansia tanpa TBI. Penemuan kami mengidentifikasikan
bahwa laki-laki merupakan faktor resiko yang signifikan untuk OSA post TBI, peningkatan
nyeri, dan tingkat depresi berhubungan dengan insomnia post TBI, da insomnia yang lebih berat
berhubungan dengan kemungkinan kejadian rasa kantuk. Secara spesifik kami melakukan
observasi bahwa gangguan tidur termasuk insomnia dan OSA adalah faktor yang menimbulkan
rendahnya kualitas hidup pada lansia dengan TBI.

Gangguan pernapasan saat tidur sering terjadi pada laki-laki dan usia lanjut, dimana hal
ini sejalan dengan penemuan dalam penelitian ini bahwa jenis kelamin laki-laki merupakan satu-
satunya variabel yang berhubungan dengan kejadian OSA pada lansia dengan TBI. Penelusuran
kami menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin pada OSA untuk memastikan bahwa penyedia
layanan kesehatan tidak mengabaikan manifestasi pada lansia dengan TBI terutama pada lansia
laki-laki.
Kemungkinan OSA menigkat sejalan dengan umur, seperti yang kami temukan bahwa
lansia dengan TBI mempunyai prevalensi OSA yang lebih tinggi (80%) dibandingkan dengan
dewasa muda dengan TBI (23-70%) seperti yang telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya.
Penemuan kami mengungkapkan bahwa OSA 1,5 kali lebih berat pada pasien TBI dibanding
dengan kelompok kontrol. Namun, mekanisme yang mendasari terjadinya OSA post TBI masih
belum diketahui. Diskopati mungkin memiliki peran penting dalam OSA pada gangguan
pernafasan saat tidur post cedera seperti yang dilaporkan pada pasien dengan trauma kepala-
leher. Sebuah hipotesis yaitu lesi otak yang meliputi lesi kontrol respiartori neurosirkuit di
batang otak atau korteks menyebabkan kelemahan otot faringeal pada pasien dengan stroke. Hal
ini mungkin dapat menjelaskan mengapa pasien TBI mengalami OSA yang lebih berat
dibandingkan pasien tanpa TBI. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk investigasi mekanisme
yang mendasari terjadinya OSA post TBI.

Satu penemuan besar yang terdapat pada penelitian ini adalah insomnia lebih sering
terjadi pada lansia dengan TBI daripada kelompok kontrol (51,2% vs 26,3%); tingkat insomnia
juga dilaporkan lebih tinggi pada usia muda dengan TBI (29%) oleh Mathias dan Alvaro.
Perubahan produksi melatonin pada cedera kepala merupakan salah satu kemungkinan penyebab
terjadinya insomnia post TBI. Sebagai tambahan, Post Traumatic Stress Syndrome mungkin
berkontribusi pada kejadian insomnia pada kasus TBI. Perbedaan penggunaan instrument untuk
mengukur insomnia mungkin menjadi alasan perbedaan ini.

Rasa kantuk terjadi pada 36% dari partisipan dengan TBI, dimana dua kali lebih besar
dari kelompok kontrol (15%). Penyebab rasa kantuk post TBI bersifat multifocal. Baumann et al
menemukan kadar hipokretin-1 yang rendah pada cairan serebrospinal yang mungkin
menyebabkan peningkatan post traumatic hypersomnia karena kurangnya hipokretin dapat
menyebabkan gangguan tidur-bangun (sleep-wake). Sebuah bukti menunjukkam bahwa
kelelahan merupakan gejala yang sering terjadi dan mungkin dapat menyebabkan rasa kantuk
pada pasien TBI. Apalagi pada gangguan tidur malam hari yang dilaporkan seperti post traumatic
dan OSA mungkin merupakan faktor lain yang berkontribusi dalam rasa kantuk. Seperti pada
penemuan kami bahwa insomnia post TBI berkorelasi dengan rasa kantuk.

Hubungan dua arah mengenai gangguan tidur dengan depresi dan nyeri telah banyak
dilaporkan. Hal ini perlu dicatat bahwa prospektif penelitian sebelumnya pada usia dewasa muda
dengan TBI dilaporkan bahwa depresi dan nyeri berkontribusi dalam manifestasi gangguan tidur.
Penemuan terbaru mengindikasikan depresi dan nyeri dengan insomnia terjadi pada lansia
dengan TBI, memberikan bukti kuat kepada penyedia layanan kesehatan dengan merancang
strategi untuk menangani insomnia pada populasi ini.

Sejalan dengan penelitian sebelumnya, penelitian kami mengungkapkan gangguan tidur


seperti insomnia dan OSA menunjukkan hubungan yang unik dan signifikan dengan prediksi
kualitas hidup yang lebih rendah pada lansia dengan TBI. Setelah mempertimbangkan kovariat
yang mungkin, penyedia layanan kesehatan harus mendapat informasi dari penemuan kami dan
merancang intervensi untuk mengatasi insomnia dan OSA agar dapat meningkatkan kualitas
hidup lansia dengan TBI.

Beberapa keterbatasan perlu dipertimbangkan dalam interpretasi temuan kami. Pertama,


meskipun partisipan pada penelitian ini mempunyai demografi dan karakteristik yang sama
dibandingkan dengan studi sebelumnya yang dilakukan di Taiwan, generalisasi dari temuan
negara lain masih terbatas. Kedua, partisipan kami mempunyai bentuk yang beragam pada
tingkat keparahan dan mekanisme cedera otak. Penelitian selanjutnya diharapkan
mengeksplorasai gangguan tidur pada tingkat keparahan cedera otak yang berbeda serta tipe
cedera otak yang berbeda (seperti trauma perdarahan subaraknoid dan perdarahan subdural) dan
area yang berbeda pada kasus cedera otak. Ketiga, pengukuran tidur yang dilaporkan dapat
memunculkan bias. Keempat, studi cross sectional pada penelitian ini menyebabkan hubungan
sebab akibat dari gangguan tidur dan QOL tidak dpapat digambarkan. Kelima, dikarenakan
beberapa variabel yang termasuk dalam model regresi 95% CI (seperti konsumsi alcohol,
nokturia, dan gangguan hipnotik pada tabel 2) dan beberapa variabel penting lain seperti
kelelahan tidak dilibatkan dalam menganalisa hubungan antara gangguan tidur dan QOL.
Perhatian harus diberikan ketika menginterpretasikan temuan kami.

KESIMPULAN

Pada kesimpulan, penelitian kami menyoroti bahwa gangguan tidur termasuk OSA,
insomnia, dan rasa kantuk lebih sering terjadi pada lansia dengan TBI dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Jenis kelamin laki-laki, tingkat depresi dan nyeri, serta insomnia merupaka
faktor yang berhubungan dengan resiko gangguan tidur post TBI. Gangguan tidur seperti OSA
da insomnia merupakan variabel yang berkorelasi dengan rendahnya kualitas hidup pada lansia
dengan TBI. Berdasarkan temuan yang menunjukkan tingginya prevalensi OSA, insomnia, dan
rasa kantuk pada kelompok ini, dapat disimpulkan bahwa lansia perlu mendapatkan skrining
tidur lengkap setelah kejadian TBI. Pengetahuan tentang faktor resiko terjadinya gangguan tidur
post TBI mempunyai relevansi klinis untuk terapi. Contohnya terapi OSA harus dirancang untuk
lansia lai-laki dengan TBI serta penilaian insomnia pada lansia dengan TBI harus dilakukan
skrining tentang nyeri dan depresi. Penilaian tambahan dibenarkan untuk memastikan gangguan
tidur dan kaitanya dengan kualitas hidup yang rendah pada lansia dengan TBI.
DAFTAR PUSTAKA

1. Roozenbeek B, Maas AI, Menon DK. Changing patterns in the epidemiology of traumatic
brain injury. Nat Rev Neurol. 2013;9(4):231–236.

2. Peeters W, Majdan M, Brazinova A, Nieboer D, Maas AIR.Changing epidemiological patterns


in traumatic brain injury: alongitudinal hospital-based study in Belgium.
Neuroepidemiology.2017;48(1/2):63–70.

3. Thompson HJ, McCormick WC, Kagan SH. Traumatic brain injuryin older adults:
epidemiology, outcomes, and future implications.J Am Geriatr Soc. 2006;54(10):1590–1595.

4. Susman M, DiRusso SM, Sullivan T, et al. Traumatic brain injuryin the elderly: increased
mortality and worse functional outcome at discharge despite lower injury severity. J Trauma.
2002;53(2):219–223.

5. Mosenthal AC, Lavery RF, AddisM, et al. Isolated traumatic brain injury: age is an
independent predictor of mortality and early outcome. J Trauma. 2002;52(5):907–911.

6. Mathias JL, Alvaro PK. Prevalence of sleep disturbances, disorders, and problems following
traumatic brain injury: a meta-analysis. Sleep Med. 2012;13(7):898–905.

7. Ouellet MC, Beaulieu-Bonneau S, Morin CM. Insomnia in patients with traumatic brain
injury: frequency, characteristics, and risk factors. J Head Trauma Rehabil. 2006;21(3):199–212.

8. Mahmood O, Rapport LJ, Hanks RA, Fichtenberg NL. Neuropsychological performance and
sleep disturbance following traumati brain injury. J Head Trauma Rehabil. 2004;19(5):378–390.

9. Baumann CR, Werth E, Stocker R, Ludwig S, Bassetti CL. Sleepwake disturbances 6months
after traumatic brain injury: a prospective study. Brain. 2007;130(pt 7):1873–1883.

10. Pillar G, Averbooch E, Katz N, Peled N, Kaufman Y, Shahar E. Prevalence and risk of sleep
disturbances in adolescents afterminor head injury. Pediatr Neurol. 2003;29(2):131–135.

11. Tham SW, Palermo TM, Vavilala MS, et al. The longitudinal course, risk factors, and impact
of sleep disturbances in children with traumatic brain injury. J Neurotrauma. 2012;29(1):154–
161.

12. Martin MS, Sforza E, Barthelemy JC, Thomas-Anterion C, Roche F. Sleep perception in
non-insomniac healthy elderly: a 3-year longitudinal study. Rejuvenation Res. 2014;17(1):11–18.

13. Helbig AK, Doring A, Heier M, et al. Association between sleep disturbances and falls
among the elderly: results from the German Cooperative Health Research in the Region of
Augsburg-Age study. Sleep Med. 2013;14(12):1356–1363.
14. Chiu HY, Lai FC, Chen PY, Tsai PS. Differences between men and women aged 65 and
older in the relationship between selfreported sleep and cognitive impairment: a nationwide
survey in Taiwan. J Am Geriatr Soc. 2016;64(10):2051–2058.

15. Chen PY, Tsai PS, Chen NH, et al. Trajectories of sleep and its predictors in the first year
following traumatic brain injury. J Head Trauma Rehabil. 2015;30(4):E50–E55.

16. Chiu HY, Chen PY, Chen NH, Chuang LP, Tsai PS. Trajectories of sleep changes during the
acute phase of traumatic brain injury: a 7-day actigraphy study. J Formos MedAssoc.
2013;112(9): 545–553.

17. Hou L, Han X, Sheng P, et al. Risk factors associated with sleep disturbance following
traumatic brain injury: clinical findings and questionnaire based study. PLoS One.
2013;8(10):e76087.

18. Faul F, Erdfelder E, Lang AG, Buchner A. G∗Power 3: a flexible statistical power analysis
program for the social, behavioral, and biomedical sciences. Behav Res Methods.
2007;39(2):175–191.

19. Rao V, Spiro J, Vaishnavi S, et al. Prevalence and types of sleep disturbances acutely after
traumatic brain injury. Brain Inj. 2008;22(5):381–386.

20. Chung F, Yegneswaran B, Liao P, et al. STOP questionnaire: a tool to screen patients for
obstructive sleep apnea. Anesthesiology. 2008;108(5):812–821.

21. Chung F, Abdullah HR, Liao P. STOP-Bang questionnaire: a practical approach to screen for
obstructive sleep apnea. Chest. 2016;149(3):631–638.

22. Soldatos CR, Dikeos DG, Paparrigopoulos TJ. Athens Insomnia Scale: validation of an
instrument based on ICD-10 criteria. J Psychosom Res. 2000;48(6):555–560.

23. Chiu HY, Chang LY, Hsieh YJ, Tsai PS. A meta-analysis of diagnostic accuracy of three
screening tools for insomnia. J Psychosom Res. 2016;87:85–92.

24. Chiang HL, Chen HC, Bai CH, et al. A validation study of the Chinese version of the Athens
Insomnia Scale. Taiwanese J Psychiatry. 2009;23(1):43–52.

25. Johns MW. A new method for measuring daytime sleepiness: the Epworth Sleepiness Scale.
Sleep. 1991;14(6):540–545.

26. Chen NH, Johns MW, Li HY, et al. Validation of a Chinese version of the Epworth
Sleepiness Scale. Qual Life Res. 2002;11(8):817–821.
27. Lin YN, Chu SF, LiangWM, Chiu WT, Lin MR. Validation of the quality of life after brain
injury in Chinese persons with traumatic brain injury in Taiwan. J Head Trauma Rehabil.
2014;29(1):E37–E47.

28. Charlson ME, Pompei P, Ales KL,MacKenzie CR. A new method of classifying prognostic
comorbidity in longitudinal studies: development and validation. J Chronic Dis. 1987;40(5):373–
383.

29. Nasreddine ZS, Phillips NA, Bédirian V, et al. The Montreal Cognitive Assessment, MoCA:
a brief screening tool formild cognitive impairment. J Am Geriatr Soc. 2005;53(4):695–699.

30. de Guise E, LeBlanc J, Champoux M-C, et al. The Mini-Mental State Examination and the
Montreal Cognitive Assessment after traumatic brain injury: an early predictive study. Brain Inj.

2013;27(12):1428–1434.

31. de Guise E, Alturki AY, LeBlanc J, et al. The Montreal Cognitive Assessment in persons
with traumatic brain injury. Appl Neuropsychol Adult. 2014;21(2):128–135.

32. Wong GKC, Ngai K, Lam SW, Wong A, Mok V, Poon WS. Validity of the Montreal
Cognitive Assessment for traumatic brain injury patients with intracranial haemorrhage. Brain
Inj. 2013;27(4):394–398.

33. Bijur PE, Latimer CT, Gallagher EJ. Validation of a verbally administered numerical rating
scale of acute pain for use in the emergency department. Acad Emerg Med. 2003;10(4):390–392.

34. Taylor LJ, Herr K. Pain intensity assessment: a comparison of selected pain intensity scales
for use in cognitively intact and cognitively impaired African American older adults. Pain
ManagNurs. 2003;4(2):87–95.

35. Zigmond AS, Snaith RP. The Hospital Anxiety and Depression Scale. Acta Psychiatr Scand.
1983;67(6):361–370.

36. Brennan C, Worrall-Davies A, McMillan D, Gilbody S, House A. The Hospital Anxiety and
Depression Scale: a diagnostic metaanalysis of case-finding ability. J Psychosom Res.
2010;69(4):371– 378.

37. Bursac Z, Gauss CH, Williams DK, Hosmer DW. Purposeful selection of variables in logistic
regression. Source Code Biol Med. 2008;3:17–17.

38. Quintana-Gallego E, Carmona-Bernal C, Capote F, et al. Gender differences in obstructive


sleep apnea syndrome: a clinical study of 1166 patients. Respir Med. 2004;98(10):984–989.

39. Ancoli-Israel S, Kripke DF, Klauber MR, Mason WJ, Fell R, Kaplan O. Sleep-disordered
breathing in community-dwelling elderly. Sleep. 1991;14(6):486–495.
40. Phillips BA, Berry DT, Lipke-Molby TC. Sleep-disordered breathing in healthy, aged
persons: fifth and final year follow-up. Chest. 1996;110(3):654–658.

41. Castriotta RJ, Lai JM. Sleep disorders associated with traumatic brain injury. Arch Phys Med
Rehabil. 2001;82(10):1403–1406.

42. Masel BE, Scheibel RS, Kimbark T, Kuna ST. Excessive daytime sleepiness in adults with
brain injuries. Arch Phys Med Rehabil. 2001;82(11):1526–1532.

43. Castriotta RJ, Wilde MC, Lai JM, Atanasov S, Masel BE, Kuna ST. Prevalence and
consequences of sleep disorders in traumatic brain injury. J Clin Sleep Med. 2007;3(4):349–356.

44. Guilleminault C, Yuen KM, Gulevich MG, Karadeniz D, Leger D, Philip P. Hypersomnia
after head-neck trauma: a medicolegal dilemma. Neurology. 2000;54(3):653–659.

45. Ahn SH, Kim JH, Kim DU, Choo IS, Lee HJ, Kim HW. Interaction between sleep-disordered
breathing and acute ischemic stroke. J Clin Neurol. 2013;9(1):9–13.

46. Parra O, Arboix A, Bechich S, et al. Time course of sleep-related breathing disorders in first-
ever stroke or transient ischemic attack. Am J Respir Crit CareMed. 2000;161(2, pt 1):375–380.

47. Shekleton JA, Parcell DL, Redman JR, Phipps-Nelson J, Ponsford JL, Rajaratnam SMW.
Sleep disturbance and melatonin levels following traumatic brain injury. Neurology.
2010;74(21): 1732–1738.

48. Balba NM, Elliott JE, Weymann KB, et al. Increased sleep disturbances and pain in veterans
with comorbid traumatic brain injury and posttraumatic stress disorder. J Clin Sleep Med.
2018;14(11):1865–1878.

49. Ono D, Yamanaka A. Hypothalamic regulation of the sleep/wake cycle. Neurosci Res.
2017;118:74–81.

50. Ponsford JL, Ziino C, Parcell DL, et al. Fatigue and sleep disturbance following traumatic
brain injury—their nature, causes, and potential treatments. J Head Trauma Rehabil.
2012;27(3):224–233.

51. Ponsford J, Schonberger M, Rajaratnam SM. A model of fatigue following traumatic brain
injury. J Head Trauma Rehabil. 2015;30(4):277–282.

52. Schonberger M, Herrberg M, Ponsford J. Fatigue as a cause, not a consequence of depression


and daytime sleepiness: a cross-lagged analysis. J Head Trauma Rehabil. 2014;29(5):427–431.

53. Sivertsen B, Salo P, Mykletun A, et al. The bidirectional association between depression and
insomnia: the HUNT study. Psychosom Med. 2012;74(7):758–765.
54. Alsaadi SM, McAuley JH, Hush JM, et al. The bidirectional relationship between pain
intensity and sleep disturbance/quality in patients with low back pain. Clin J Pain.
2014;30(9):755–765.

55. Ponsford JL, Parcell DL, Sinclair KL, Roper M, Rajaratnam SM. Changes in sleep patterns
following traumatic brain injury: a controlled study. Neurorehabil Neural Repair. 2013;27(7):
613–621.

56. Emanuelson I, Andersson Holmkvist E, Bjorklund R, Stalhammar D. Quality of life and


postconcussion symptoms in adults after mild traumatic brain injury: a population-based study in
western Sweden. Acta Neurol Scand. 2003;108(5):332–338.

57. Lin YN, Hwang HF, Chen YJ, Cheng CH, Liang WM, Lin MR. Suitability of the Quality of
Life after Brain Injury Instrument for older people with traumatic brain injury. J Neurotrauma.
2016;33(14):1363–1370.

Anda mungkin juga menyukai