Anda di halaman 1dari 20

JOURNAL READING

Sleep disturbance and psychological distress


in adult patients with tinnitus
Author:
Yi-Lu Li, yu-Ching Hsu, Cheng-Yu Lin, Jiunn-Liang Wu

Pembimbing:
dr. Faridatul Jannah, Sp.THT-KL

Oleh:
Aathifah (200702110002)

Shanaz Hanani Tazuyyun (200702110018)

Qonitatul Yumna (200702110019)

DEPARTEMEN THT
PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
ABSTRAK............................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
BAB II METODE PENELITIAN ........................................................................3
2.1 Populasi dan desain penelitian....................................................................... 3
2.2 Invetarisasi kecacatan tinitus/THI.................................................................. 3
2.3 Indeks kualitas tidur Pittsburgh......................................................................4
2.4 Skala Kantuk Epworth....................................................................................4
2.5 Skala Kecemasan dan Depresi Rumah sakit.................................................. 4
2.6 Analisis Statistik.............................................................................................5
BAB III HASIL PENELITIAN............................................................................ 6
BAB IV PEMBAHASAN ....................................................................................10
4.1 Diskusi .........................................................................................................10
BAB V PENUTUP ...............................................................................................14
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

ii
ABSTRAK

Tujuan Gangguan tidur dan tekanan psikologis adalah salah satu komorbiditas tinnitus yang paling
umum. Jurnal ini bertujuan untuk mengklarifikasi efek respons dosis dari fenomena ini dengan tingkat
keparahan tinnitus.

Metode Penelitian ini melibatkan pasien dewasa dengan tinnitus subjektif selama lebih dari 6 bulan
dilakukan dari Januari 2017 hingga Desember 2018 di satu pusat kesehatan tersier dan satu rumah
sakit setempat. Data yang dikumpulkan meliputi data demografi dan kuesioner, yaitu Tinnitus
Handicap Inventory (THI), Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), Epworth Sleepiness Scale (ESS),
dan Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS).

Hasil Secara total, 1610 pasien dengan tinitus (1105 laki-laki, 68,6%) dengan usia rata-rata 48,3 ±
14,3 tahun menyelesaikan semua kuesioner. Rata-rata skor THI adalah 9,2 ± 19,4, dan 82,4% pasien
dilaporkan mengalami tinitus ringan (THI berkisar 0-16). Rata-rata skor PSQI adalah 8,4 ± 4,3, dan
70,8% peserta mengalami kesulitan tidur (PSQI > 5). Dibandingkan dengan pasien dengan tinnitus
ringan, mereka dengan tinnitus katastropik sebagian besar adalah wanita tua dengan indeks massa
tubuh yang lebih rendah, dan memiliki skor ESS, PSQI, dan HADS yang lebih tinggi (semua P <0,05).
Pada 1140 pasien dengan kesulitan tidur, faktor independen yang mempengaruhi THI adalah usia,
ESS, dan HADS, dan korelasi positif diamati antara THI dan ESS yang disesuaikan usia, HADS-A,
dan HADS-D (semua P <0,001).

Kesimpulan Usia tua, kantuk di siang hari, dan tekanan psikologis sangat berhubungan dengan
keparahan tinnitus pada pasien dengan kesulitan tidur. Penatalaksanaan gangguan tidur dan distres
psikologis diperlukan untuk mengontrol tinitus.

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tinnitus didefinisikan sebagai persepsi suara tanpa adanya stimulus pendengaran


eksternal. Tinnitus memiliki prevalensi 10%-25% di seluruh dunia.1,2 Jenis yang paling
umum adalah tinnitus subjektif, yang dapat disebabkan oleh otologis, neurologis,
metabolik , atau gangguan psikogenik, dan beberapa di antaranya tetap idiopatik. Tinnitus
objektif relatif jarang, dan mungkin menunjukkan kelainan vaskular yang mendasari,
adanya penyakit neurologis, atau disfungsi tuba eustachius. Kebisingan yang konstan dan
mengganggu menyebabkan gangguan interaksi sosial, gangguan fungsi kerja, dan
penurunan kualitas hidup bagi pasien dengan tinnitus.3 Khususnya, efek negatif tinnitus
sangat terasa bila berada di lingkungan yang tenang, terutama selama waktu tidur. Sebuah
analisis cross-sectional dari survei Kesehatan Nasional di Amerika Serikat
mengungkapkan bahwa pasien dengan tinnitus memiliki jam tidur yang pendek dan
tingginya jumlah hari kerja yang terlewat.4 Prevalensi insomnia komorbid atau gangguan
tidur pada populasi tinnitus berkisar antara 10,1% hingga 79,5%.5 Mencegah kebisingan
lingkungan sebelum atau selama tidur dapat membantu inisiasi dan pemeliharaan tidur
pada orang dengan tinnitus.6

Selain kualitas tidur, tinnitus sangat mempengaruhi kesehatan mental. Kecemasan


dan depresi umumnya komorbid dengan tinnitus, dengan prevalensi masing-masing
15,2% -28,7% dan 6,7%-25,6%.4,7,8 Selanjutnya, 77% pasien dengan tinnitus memenuhi
kriteria gangguan psikiatri sesuai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
4th Edition.9 Kecemasan dan depresi berat telah dicatat pada hingga masing-masing 45%
dan 33% pasien dengan tinnitus.10 Tekanan psikologis di antara pasien dengan tinnitus
memerlukan identifikasi segera tinnitus oleh dokter.

Studi telah menguraikan hubungan tinnitus dengan gangguan tidur dan tekanan
psikologis.11,12 Dalam kebanyakan studi, analisis mengandalkan gejala yang dilaporkan
sendiri yang diperoleh melalui rekam medis dan kuesioner.5,13 Saat ini, Tinnitus Handicap
Inventory (THI) adalah salah satu alat penilaian yang paling dapat diandalkan untuk
keparahan tinnitus, yang telah digunakan secara luas.14-16 Demikian pula, kuesioner
dengan validitas tinggi dapat membantu dokter untuk mengevaluasi kualitas tidur, kantuk
di siang hari, dan tekanan psikologis (kecemasan dan depresi) melalui Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI), Epworth Sleepiness Scale (ESS), dan Hospital Anxiety Depression

1
Scale (HADS).17-19 Pasien dengan tinnitus cenderung memiliki skor PSQI yang tinggi,20
dan peningkatan kualitas tidur berkorelasi dengan tinnitus yang dilaporkan sendiri.21
Sebuah tinjauan retrospektif menunjukkan bahwa skor THI yang tinggi secara signifikan
terkait dengan skor ESS yang tinggi.22 Sebuah korelasi positif diamati antara tinnitus dan
kecemasan ditambah kelompok depresi dalam analisis yang berhubungan dengan THI
dan HADS.23 Namun, korelasi antara faktor-faktor tersebut tidak jelas karena kurangnya
desain berskala besar.

Koeksistensi tinnitus dan gangguan tidur serta tekanan psikologis telah


dipublikasikan sebelumnya. Namun, kelayakan untuk menggunakan skrining kuesioner
skala besar untuk membantu mengidentifikasi dua komorbiditas tinnitus untuk dokter
tidak jelas. Selain itu, untuk mengidentifikasi karakteristik kedua penyakit penyerta ini
mungkin berguna secara klinis untuk menangani pasien tinnitus. Penelitian ini bertujuan
untuk menilai faktor risiko keparahan tinnitus dan untuk menguji korelasi dosis-respons
antara tinnitus dan komorbiditasnya, yaitu gangguan tidur (kantuk siang hari dan
kesulitan tidur) dan tekanan psikologis (kecemasan dan depresi) melalui penelitian
berbasis kuesioner.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana faktor risiko keparahan tinnitus dan korelasi efek respons dosis antara
tinnitus dan komorbiditasnya, yaitu gangguan tidur (kantuk siang hari dan kesulitan tidur)
dan tekanan psikologis (kecemasan dan depresi) melalui penelitian berbasis kuesioner

1.3 Tujuan

Untuk menilai faktor risiko keparahan tinnitus dan untuk menguji korelasi dosis-
respons antara tinnitus dan komorbiditasnya, yaitu gangguan tidur (kantuk siang hari dan
kesulitan tidur) dan tekanan psikologis (kecemasan dan depresi) melalui penelitian
berbasis kuesioner.

2
BAB II
METODE
2.1 Populasi dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi potong lintang yang dilakukan di
Departemen Otolaryngology, National Cheng Kung University Hospital (NCKUH)
dan Rumah Sakit Tainan, Tainan, Taiwan. Pasien dewasa yang mengalami
tinnitus subjektif selama lebih dari 6 bulan dimasukkan. Kriteria eksklusi meliputi
(1) kondisi medis yang tidak terkontrol yang mengganggu metabolisme, tidur,
atau fungsi mood (misalnya, diabetes, hipertensi atau hipotensi, insufisiensi ginjal,
dan hipertiroidisme atau hipotiroidisme), (2) cedera kepala, penyakit otologis, dan
penyakit lain yang dapat mempengaruhi pendengaran, (3) indeks massa tubuh
(BMI) lebih dari 35 kg / m2 (sangat gemuk), (4) pekerja malam atau pekerja shift,
(5) didiagnosis insomnia atau di bawah obat untuk inisiasi atau pemeliharaan tidur,
dan (6) didiagnosis gangguan mental (misalnya, gangguan depresi berat kronis,
distimia, gangguan kecemasan umum, gangguan panik, fobia sosial, gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan penyesuaian, gangguan bipolar, skizofrenia,
gangguan skizoafektif, gangguan stres pasca trauma, keterbelakangan mental).
Alasan mengeluarkan gangguan mental di atas adalah bahwa resep untuk
gangguan ini tidak tersedia, serta interaksi obat-gangguan mungkin ada.
Data demografi meliputi umur, jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan.
THI, PSQI, ESS, dan HADS digunakan untuk analisis. Semua data didasarkan
pada penilaian awal pasien dengan tinnitus sebelum pengobatan apapun. Semua
prosedur ditinjau dan disetujui oleh Institutional Review Board di NCKUH,
Tainan, Taiwan (kode IRB: AER-107-327).

2.2 Inventarisasi Kecacatan Tinnitus/Tinnitus Handicap Inventory (THI)


THI digunakan untuk menilai efek tinnitus pada setiap peserta. Terdiri dari
25 pertanyaan, yang harus dijawab pada skala 0-4, di mana 0 menunjukkan
“tidak”, 2 menunjukkan “kadang-kadang”, dan 4 menunjukkan “ya”. Skor total
berkisar dari 0 hingga 100 tergantung pada tingkat keparahannya. Menurut
penilaian THI,16 pasien ini diklasifikasikan sebagai cacat sangat ringan, ringan,

3
sedang, berat, dan katastropik (masing-masing memiliki skor dari 0 hingga 16, 18
hingga 36, 38 hingga 56, 58 hingga 74, dan 78 hingga 100).
2.3 Indeks Kualitas Tidur Pittsburgh
Sebuah kuesioner standar, Pittsburgh sleep quality index (PSQI), digunakan
untuk mengevaluasi kualitas tidur. Ini terdiri dari 19 item individu yang menilai 7
komponen tidur dalam periode 1 bulan terakhir, yaitu kualitas tidur subjektif,
latensi tidur, durasi tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, disfungsi
siang hari, dan penggunaan obat tidur. Setiap item diberi skor pada skala interval
0-3, dan skor keseluruhan berkisar dari 0 hingga 21. Skor dari 0 hingga 5
menandakan tidak ada kesulitan tidur yang signifikan secara klinis, sedangkan
skor dari 6 hingga 21 menandakan kualitas tidur yang buruk.17 Menurut definisi
ini, pasien diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu pasien dengan kesulitan
tidur (PSQI > 5) dan mereka yang tidak mengalami kesulitan tidur (PSQI 5).

2.4 Skala Kantuk Epworth/ Epworth Sleepiness Scale (ESS)


ESS adalah metode yang paling sering digunakan di seluruh dunia untuk
mengukur kantuk di siang hari dan memiliki reliabilitas yang baik. Berisi 8
pertanyaan untuk menilai kemungkinan tertidur saat melakukan aktivitas sehari-
hari pada skala penilaian dari 0 hingga 3 untuk setiap pertanyaan. Skor tinggi
menunjukkan peluang tinggi untuk tertidur. Skor <10 umumnya dianggap normal,
sedangkan skor di kisaran 10-24 menunjukkan kantuk berlebihan di siang hari.18
2.5 Skala Kecemasan dan Depresi Rumah Sakit
Kecemasan dan depresi dievaluasi menggunakan HADS/ Hospital anxiety
and depression scale. HADS memiliki 14 item, dengan item dibagi rata menjadi 2
subskala, yaitu kecemasan dan depresi. Setiap item diberi skor dari 0 hingga 3
sesuai dengan tingkat keparahan yang dialami. Delapan item memerlukan
penilaian terbalik setelah total subskala kecemasan (HADS-A) dan depresi
(HADS-D) diperoleh. Skor total untuk setiap subskala berkisar dari 0 hingga 21.
Skor dari 0 hingga 7 didefinisikan sebagai normal, skor dari 8 hingga 10
didefinisikan sebagai garis batas abnormal, dan skor dari 11 hingga 21
didefinisikan sebagai abnormal.19

4
2.6 Analisis statistik
Variabel kontinyu dari data demografi dan kuesioner disajikan sebagai mean,
standar deviasi, median, dan rentang interkuartil, sedangkan variabel kategori
disajikan sebagai angka dan persentase. Variabel yang berbeda dibandingkan
berdasarkan tingkat keparahan tinnitus menggunakan analisis varians (ANOVA).
Model regresi univariat linier digunakan untuk menilai hubungan antara variabel
independen dan keparahan tinnitus berdasarkan tingkat PSQI yang berbeda.
Analisis regresi multivariat digunakan untuk mengeksplorasi faktor risiko
keparahan tinnitus pada pasien dengan kesulitan tidur. Meskipun hubungan antara
faktor risiko dan keparahan tinnitus ditentukan, model aditif umum/generalized
additive model (GAM) digunakan untuk menguji hubungan nonlinier antara
masing-masing faktor risiko dan keparahan tinnitus. SAS versi 9.2 (SAS Institute
Inc., Cary, North Carolina, USA) dan R versi 2.15.2 (R Foundation for Statistical
Computing, Wina, Austria) digunakan untuk analisis. Nilai p <0,05 dianggap
signifikan secara statistik.

5
BAB III
HASIL

Secara total, 1610 pasien menyelesaikan seluruh prosedur. Usia rata-rata


adalah 48,3±14,3 tahun, dan 68,6% (1105/1610) adalah laki-laki. IMT rata-rata
adalah 27,8 ± 5,7 kg/m2 (Tabel 1). Rerata skor THI adalah 9,2 ± 19,4. Tinnitus
ringan diamati pada 82,6% (1330/1610) pasien, dan 7,8% (126/1610) dari semua
memiliki tinnitus ringan, diikuti oleh tinnitus sedang, berat, dan katastropik
dengan prevalensi 4,2%, 3,3%, dan 2,1%. , secara individu. Nilai rata-rata PSQI
dan ESS masing-masing adalah 8,4 ± 4,3 dan 9,0 ± 4,9. Hal ini menunjukkan
bahwa 70,8% (1140/1610) pasien mengalami kesulitan tidur (PSQI > 5) dan
42,9% (690/1610) mengalami kantuk berlebihan di siang hari (ESS > 10). Nilai
rata-rata HADS-A dan HADS-D masing-masing adalah 6,8 4,6 dan 5,4 3,5. Hal
ini menunjukkan bahwa 42,1% (662/1610) pasien mengalami kecemasan (HADS-
A > 7) dan 24,7% (398/1610) mengalami depresi (HADS-D > 7).

Persentase pasien laki-laki paling banyak pada kelompok ringan (58%),


dan menurun secara signifikan pada kelompok ringan, sedang, berat, dan
katastropik (4,9%, 2,8%, 1,8%, dan 1,1%, secara individual) (Tabel 2). Usia, skor

6
PSQI, skor ESS, skor HADS-A, dan skor HADS-D meningkat dengan tingkat
keparahan tinnitus di antara kelompok (semua P <0,05). Pasien dengan tinnitus
ringan memiliki BMI tertinggi dibandingkan dengan tingkat keparahan tinnitus
lainnya (PZ 0,001).

Secara keseluruhan, semua parameter (usia, jenis kelamin, BMI, PSQI,


ESS, HADS-A, dan HADS-D) berkorelasi signifikan dengan THI (Tabel 3).
Untuk pasien tanpa kesulitan tidur, usia adalah satu-satunya faktor risiko
keparahan tinnitus (R2 Z 0,047, P <0,001). Namun, di antara pasien dengan
kesulitan tidur, selain dari parameter fisik seperti usia dan BMI, korelasi yang
signifikan diamati antara THI dan ESS (R2 Z 0,008, PZ 0,003), HADS-A (R2 Z
0,051, P <0,001), dan HADS -D (R2 Z 0,034, P < 0,001).

7
Menggunakan analisis model regresi multivariat, faktor risiko independen
yang signifikan untuk THI pada pasien dengan kesulitan tidur termasuk usia (b Z
0,340, P <0,001), ESS (b Z 0,270, PZ 0,026), HADS-A (b Z 0,990, P < 0,001),
dan HADS-D (b Z 0,382, PZ 0,046) (Tabel 4).

Setelah penyesuaian usia, pasien dengan tinnitus yang mengalami


kesulitan tidur menunjukkan korelasi positif antara THI dan ESS (P <0,001),
HADS-A (P <0,001), dan HADS-D (P <0,001) (Gambar. 1). Hubungan nonlinier
antara THI dan HADS-D dieksplorasi menggunakan GAM. Ini mengungkapkan
segmen keparahan tinnitus yang relatif stabil ketika skor HADS-D <15 dan
segmen yang sangat meningkat ketika skor HADS-D adalah 15 (Gambar. 1C).

8
Gambar 1. Asosiasi inventaris cacat Tinnitus (THI) yang disesuaikan dengan usia.
(A) skala kantuk Epworth (ESS); (B) skala kecemasan dan depresi rumah sakit-
kecemasan (HADS-A); (C) skala kecemasan rumah sakit dan depresi -depresi (HADS-D)
untuk subjek dengan kesulitan tidur.

9
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Diskusi
Dengan desain skala besar, penelitian ini mengungkapkan bahwa usia
adalah satu-satunya faktor risiko keparahan tinnitus pada pasien tanpa gangguan
tidur. Namun, faktor risiko keparahan tinnitus di antara pasien dengan gangguan
tidur termasuk usia tua, mengantuk di siang hari, dan distres psikologis seperti
kecemasan dan depresi. Selain itu, hubungan dosis-respons positif yang signifikan
ditunjukkan antara tinnitus dan mengantuk di siang hari dan kecemasan ketika
pasien mengalami tinnitus ringan. Namun, tinnitus berkorelasi positif dengan
depresi hanya ketika pasien mengalami tinnitus yang lebih parah.

Penuaan berhubungan dengan perkembangan tinnitus kronis. Di antara


orang dewasa di AS, prevalensi tinnitus meningkat seiring bertambahnya usia,
memuncak pada 14,3% antara usia 60 dan 69 tahun. Selanjutnya, penelitian telah
menunjukkan bahwa tingkat presbikusis berkorelasi positif dengan prevalensi
tinnitus. Ini mungkin dikaitkan dengan perubahan struktural jangka panjang di
otak yang disebabkan oleh penuaan, terutama hilangnya grey matter secara linier
pada waktunya. Yoo dkk. mempelajari pencitraan resonansi magnetik berbobot
T1 3 dimensi di antara 127 pasien dengan tinnitus kronis. Ini menunjukkan
korelasi negatif yang signifikan dari ketebalan kortikal dan volume grey matter
dengan usia di daerah frontal yang luas dan struktur limbik (misalnya, amigdala,
hipokampus, talamus, dan nukleus accumbens). Selain itu, usia secara langsung
mempengaruhi tingkat gangguan pendengaran dan perubahan ketebalan kortikal
pada pasien tersebut. Dalam penelitian kami, usia tua merupakan faktor risiko
yang signifikan untuk tinnitus pada pasien dengan dan tanpa kesulitan tidur.
Sebuah korelasi positif diamati antara usia dan keparahan tinnitus.

Tinnitus dan mengantuk di siang hari berkorelasi menurut sebuah penelitian


yang melibatkan 94 veteran dengan tinnitus. THI yang tinggi secara signifikan
dikaitkan dengan peningkatan kantuk di siang hari. Hasil serupa terungkap dalam
studi kasus-kontrol yang dilakukan menggunakan polisomnografi, THI, dan ESS
pada pasien dengan dan tanpa tinnitus kronis, menunjukkan bahwa intensitas

10
tinggi dan intoleransi terhadap tinnitus menyebabkan peningkatan kantuk di siang
hari. Selain itu, pasien dengan tinnitus memiliki efisiensi tidur yang buruk dan
kurang tidur nyenyak dan tidur rapid eye movement (REM). Hubungan antara
tinnitus dan mengantuk di siang hari, gangguan tidur, dan perubahan pada tahapan
tidur tidak jelas. Studi telah mengusulkan bahwa hyperarousal karena tinnitus
mungkin melibatkan hiperaktivitas neuron dalam sistem pengaturan emosi dan
sistem kognitif yang terhubung ke sistem pendengaran yang berdekatan.
Selanjutnya, hyperarousal terkait tinnitus dapat menyebabkan gangguan tidur dan
mengantuk di siang hari.

Gangguan tidur di malam hari pasti mengakibatkan mengantuk di siang hari


yang berlebihan. Pasien dengan tinnitus yang mengalami gangguan tidur telah
menunjukkan toleransi yang buruk dan peningkatan ketidaknyamanan terhadap
tinnitus. Dibandingkan dengan pasien dengan tinnitus tanpa gangguan tidur,
mereka yang mengalami gangguan tidur memiliki bentuk tinnitus yang lebih
buruk. Gangguan tidur berkontribusi pada hiperaktivitas yang konsisten dalam
model sistem limbik dan simpatik untuk intoleransi tinnitus. Dalam penelitian ini,
kami mengkonfirmasi bahwa tidak ada korelasi antara mengantuk di siang hari
dan tinitus untuk pasien tanpa gangguan tidur. Sebaliknya, hubungan dosis-
respons positif diamati antara mengantuk di siang hari dan tinnitus bagi mereka
yang mengalami gangguan tidur.

Studi pada pasien dengan tinnitus menunjukkan bahwa prevalensi


kecemasan adalah 26%-45%, dan depresi adalah 25%-33%. Demikian pula,
persentase pasien dengan kecemasan dan depresi pada populasi kami masing-
masing adalah 42,1% dan 24,7%. Pada tahun 1995, kecemasan dan depresi
ditemukan berkorelasi dengan keparahan tinnitus. Aazh dan Moore mempelajari
620 pasien dengan tinnitus dan mengungkapkan bahwa ada hubungan kecil tapi
signifikan antara tinnitus dan depresi dan terutama dimediasi melalui efek
insomnia dan kecemasan. Dengan desain skala besar, kami menjelaskan lebih
lanjut korelasi dosis-respons antara keparahan tinnitus dan distres psikologis
(kecemasan dan depresi) pada pasien dengan tinnitus yang mengalami gangguan
tidur.

11
Distres psikologis mungkin merupakan konsekuensi dari aktivasi yang tidak
tepat dari komponen limbik dan simpatik dari sistem saraf otonom. Selanjutnya,
studi pencitraan otak telah menunjukkan bahwa hiperresponsif dari sistem limbik
dengan hubungan yang kuat dengan sistem pendengaran ada pada tinnitus
maupun gangguan kecemasan. Selain itu, dalam studi kohort prospektif oleh
Hebert et al., prevalensi tinnitus menurun ketika gejala depresi membaik. Oleh
karena itu, evaluasi dan pengobatan kecemasan dan depresi dengan obat-obatan
atau terapi perilaku kognitif, terutama pada populasi yang rentan, dapat
memberikan manfaat besar bagi pasien dengan tinnitus.

Hubungan BMI dan tinnitus telah diketahui secara luas. Dalam sebuah
penelitian skala besar yang melibatkan 4628 wanita Korea pramenopause, wanita
dengan berat badan kurang memiliki risiko tinitus yang lebih tinggi, yang
mengarah pada prevalensi yang lebih tinggi dari persepsi stres dan ide bunuh diri.
Studi lain juga menyimpulkan bahwa usia yang lebih tua, jenis kelamin
perempuan, BMI yang lebih rendah, dan asupan vitamin B2 yang lebih sedikit
secara signifikan terkait dengan tinnitus. Namun, obesitas diamati berhubungan
langsung dengan tinnitus pada orang dewasa Italia. Meskipun penelitian kami
mendaftarkan subjek yang sedikit kelebihan berat badan (rata-rata BMI = 27,8
kg/m2) tanpa obesitas berat (BMI > 35 kg/m2), korelasi negatif antara BMI dan
keparahan tinnitus juga ditemukan, yang berarti bahwa IMT yang lebih rendah
dikaitkan dengan lebih banyak tinitus berat. Temuan varian dalam hubungan
antara BMI dan tinnitus antara studi-studi mungkin merupakan hasil dari
perekrutan yang berbeda dari populasi. Lebih menarik lagi, rasio jenis kelamin
(laki-laki dan perempuan) lebih dari 2,1 pada keseluruhan populasi dalam
penelitian ini, tetapi distribusi yang didominasi laki-laki ini berkurang ke tingkat
yang sama di antara jenis kelamin ketika keparahan tinnitus meningkat. Dalam
studi berbasis populasi longitudinal yang melibatkan 2922 orang dewasa di
Wisconsin, insiden kumulatif 10 tahun tinnitus lebih tinggi pada pria. Sebuah
studi cross-sectional dari sampel besar (168.348 peserta) di Inggris juga
mengungkapkan bahwa jenis kelamin laki-laki dikaitkan dengan peningkatan
kemungkinan tinnitus, sementara jenis kelamin perempuan dikaitkan dengan
peningkatan kemungkinan tinnitus yang mengganggu. Selain itu, paparan

12
kebisingan kerja telah terbukti sebagai salah satu faktor yang terkait dengan
tinnitus. Ini mungkin berkontribusi pada prevalensi tinnitus kronis yang lebih
tinggi pada pria daripada wanita dalam penelitian kami, bahkan jika wanita
memiliki tinnitus yang lebih buruk, membuat pria mencari bantuan medis.
Berdasarkan data yang mengecualikan obesitas berat dalam hasil kami, wanita
yang lebih tua dengan BMI yang relatif lebih rendah mungkin menderita tinitus
yang lebih parah daripada pria yang kelebihan berat badan dalam kondisi tertentu.

Kekuatan penelitian ini mencakup bahwa (1) kuesioner yang umum dan
dapat diandalkan digunakan untuk menilai gangguan tidur dan distres psikologis,
dan faktor risiko keparahan tinnitus pada pasien dengan dan tanpa kesulitan tidur
dianalisis. Alat-alat ini mudah digunakan dan dapat diterapkan dalam layanan
klinis. (2) Sampel besar digunakan, yang mengkonfirmasi hubungan dosis-
respons antara faktor risiko dan keparahan tinnitus pada pasien dewasa dengan
tinnitus yang mengalami kesulitan tidur.

Namun demikian, penelitian kami memiliki beberapa keterbatasan. Pertama,


ini adalah studi cross-sectional, dan kausalitas antara faktor risiko dan tinnitus
sulit untuk dianalisis. Studi kohort longitudinal lebih lanjut pada pasien dengan
tinnitus diperlukan. Kedua, sebagian besar pasien mengalami tinitus ringan, dan
hanya 10% pasien yang mengalami tinitus sedang hingga berat. Dengan demikian,
kemungkinan untuk generalisasi terbatas. Ketiga, kriteria inklusi adalah tinitus
subjektif yang berlangsung >6 bulan, tetapi durasi tinnitus pada pasien tidak
dievaluasi. Pengaruh kronisitas penyakit masih belum jelas. Akhirnya, kuesioner
subjektif digunakan untuk pengukuran. Karena audiogram nada murni dan
polisomnografi tidak digunakan untuk menilai disfungsi pendengaran dan
gangguan tidur, interpretasi dan manajemen klinis mungkin terganggu. Pada
penelitian di masa depan, alat objektif harus digunakan untuk mendapatkan hasil
yang komprehensif.

13
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Kesimpulannya, studi skala besar ini menegaskan bahwa usia tua,


mengantuk di siang hari, dan distres psikologis, yaitu kecemasan dan depresi,
sangat terkait dengan keparahan tinnitus pada pasien dengan gangguan tidur.
Pasien-pasien ini menunjukkan hubungan dosis-respons positif antara tinnitus dan
mengantuk di siang hari, kecemasan, dan depresi. Selanjutnya, hubungan antara
keparahan tinnitus dan depresi tidak signifikan dengan depresi yang relatif ringan.
Namun, untuk pasien dengan depresi yang relatif berat (HADS-D > 15), tingkat
keparahan tinnitus meningkat secara signifikan. Penatalaksanaan gangguan tidur
dan distres psikologis untuk mengontrol tinitus pada pasien memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.

14
.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bhatt JM, Lin HW, Bhattacharyya N. Prevalence, severity, ex posures, and
treatment patterns of tinnitus in the United States. JAMA Otolaryngol Head
Neck Surg 2016;142(10):959e65.
2. Fujii K, Nagata C, Nakamura K, Kawachi T, Takatsuka N, Oba S, et al.
Prevalence of tinnitus in community-dwelling Japanese adults. J Epidemiol
2011;21(4):299e304.
3. El Refaie A, Davis A, Kayan A, Baskill J, Lovell E, Owen V. A
questionnaire study of the quality of life and quality of family life of
individuals complaining of tinnitus pre- and post attendance at a tinnitus
clinic. Int J Audiol 2004;43(7):410e6.
4. Bhatt JM, Bhattacharyya N, Lin HW. Relationships between tinnitus and the
prevalence of anxiety and depression. Laryn goscope 2017;127(2):466e9.
5. Asnis GM, Majeed K, Henderson MA, Sylvester C, Thomas M, De La Garza
RII. An examination of the relationship between insomnia and tinnitus: a
review and recommendations. Clin Med Insights Psychiatry 2018;9:1e8.
6. Vernon JA, Meikle MB. Masking devices and alprazolam treat ment for
tinnitus. Otolaryngol Clin N Am 2003;36:307e20.
7. Kessler RC, Chiu WT, Demler O, Merikangas KR, Walters EE. Prevalence,
severity, and comorbidity of 12-month DSM-IV disorders in the national
comorbidity survey replication. Arch Gen Psychiatry 2005;62(6):617e27.
8. Turner RJ, Gil AG. Psychiatric and substance use disorders in South Florida:
racial/ethnic and gender contrasts in a young adult cohort. Arch Gen
Psychiatry 2002;59(1):43e50.
9. Marciano E, Carrabba L, Giannini P, Sementina C, Verde P, Bruno C, et al.
Psychiatric comorbidity in a population of outpatients affected by tinnitus. Int
J Audiol 2003;42(1):4e9.
10. Zo¨ger S, Svedlund J, Holgers KM. Relationship between tinnitus severity
and psychiatric disorders. Psychosomatics 2006;47(4): 282e8.
11. Cro¨nlein T, Langguth B, Pregler M, Kreuzer PM, Wetter TC, Schecklmann
M. Insomnia in patients with chronic tinnitus: cognitive and emotional
distress as moderator variables. J Psychosom Res 2016;83:65e8.
12. Marks E, McKenna L, Vogt F. Cognitive behavioural therapy for tinnitus-
related insomnia: evaluating a new treatment approach. Int J Audiol
2019;58(5):311e6.
13. Ziai K, Moshtaghi O, Mahboubi H, Djalilian HR. Tinnitus patients suffering
from anxiety and depression: a review. Int Tinnitus J 2017;21(1):68e73.
14. Newman CW, Jacobson GP, Spitzer JB. Development of the tinnitus
handicap inventory. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1996;122(2):143e8.
15. Newman CW, Sandridge SA, Jacobson GP. Psychometric ade quacy of the
Tinnitus Handicap Inventory (THI) for evaluating treatment outcome. J Am
Acad Audiol 1998;9(2):153e60.
16. McCombe A, Baguley D, Coles R, McKenna L, McKinney C, Windle-Taylor
P, et al. Guidelines for the grading of tinnitus severity: the results of a
working group commissioned by the British Association of Otolaryngologists,
Head and Neck Sur geons, 1999. Clin Otolaryngol Allied Sci
2001;26(5):388e93.

15
17. Buysse DJ, Reynolds 3rd CF, Monk TH, Berman SR, Kupfer DJ. The
Pittsburgh Sleep Quality Index: a new instrument for psychiatric practice and
research. Psychiatry Res 1989;28(2): 193e213.
18. Johns MW. A new method for measuring daytime sleepiness: the Epworth
sleepiness scale. Sleep 1991;14(6):540e5.
19. Zigmond AS, Snaith RP. The hospital anxiety and depression scale. Acta
Psychiatr Scand 1983;67(6):361e70.
20. Izuhara K, Wada K, Nakamura K, Tamai Y, Tsuji M, Ito Y, et al. Association
between tinnitus and sleep disorders in the general Japanese population. Ann
Otol Rhinol Laryngol 2013;122(11): 701e6.
21. Wakabayashi S, Saito H, Oishi N, Shinden S, Ogawa K. Effects of tinnitus
treatments on sleep disorders in patients with tinnitus. Int J Audiol
2018;57(2):110e4.
22. Liu YF, Hu J, Streelman M, Guthrie OW. The epworth sleepiness scale in the
assessment of sleep disturbance in veterans with tinnitus. Int J Otolaryngol
2015;2015:429469. https://doi. org/10.1155/2015/429469.
23. Bartels H, Middel BL, van der Laan BF, Staal MJ, Albers FW. The additive
effect of co-occurring anxiety and depression on health status, quality of life
and coping strategies in help seeking tinnitus sufferers. Ear Hear
2008;29(6):947e56.
24. Nondahl DM, Cruickshanks KJ, Wiley TL, Klein BEK, Klein R, Chappell R,
et al. The ten-year incidence of tinnitus among older adults. Int J Audiol
2010;49(8):580e5.
25. Huang Q, Tang J. Age-related hearing loss or presbycusis. Eur Arch
Otorhinolaryngol 2010;267(8):1179e91.
26. Allen JS, Bruss J, Brown CK, Damasio H. Normal neuroana tomical
variation due to age: the major lobes and parcellation of the temporal region.
Neurobiol Aging 2005; 26(9):1245e60. discussion 1279-82.
27. Yoo HB, De Ridder D, Vanneste S. The importance of aging in gray matter
changes within tinnitus patients shown in cortical thick ness, surface area
and volume. Brain Topogr 2016;29(6):885e96.
28. Teixeira LS, Oliveira CAC, Granjeiro RC, Petry C, Travaglia ABL, Bahmad
Jr F. Polysomnographic fifindings in patients with chronic tinnitus. Ann Otol
Rhinol Laryngol 2018;127(12):953e61.
29. Nofzinger EA, Buysse DJ, Germain A, Price JC, Miewald JM, Kupfer DJ.
Functional neuroimaging evidence for hyperarousal in insomnia. Am J
Psychiatry 2004;161(11):2126e8.
30. Eysel-Gosepath K, Selivanova O. Characterization of sleep disturbance in
patients with tinnitus. Laryngorhinootologie 2005;84(5):323e7.
31. Folmer RL, Griest SE. Tinnitus and insomnia. Am J Otolaryngol
2000;21(5):287e93.
32. Jastreboff PJ, Hazell JW. A neurophysiological approach to tinnitus: clinical
implications. Br J Audiol 1993;27(1):7e17.
33. Aazh H, Moore BCJ. Factors associated with depression in patients with
tinnitus and hyperacusis. Am J Audiol 2017;26(4):562e9.
34. Zirke N, Seydel C, Arsoy D, Klapp BF, Haupt H, Szczepek AJ, et al.
Analysis of mental disorders in tinnitus patients per formed with composite
international diagnostic interview. Qual Life Res 2013;22(8):2095e104.

16
35. Folmer RL, Griest SE, Meikle MB, Martin WH. Tinnitus severity, loudness,
and depression. Otolaryngol Head Neck Surg 1999; 121(1):48e51.
36. Budd RJ, Pugh R. The relationship between locus of control, tinnitus severity,
and emotional distress in a group of tinnitus sufferers. J Psychosom Res
1995;39(8):1015e8.
37. Lockwood AH, Salvi RJ, Coad ML, Towsley ML, Wack DS, Murphy BW.
The functional neuroanatomy of tinnitus: evidence for limbic system links
and neural plasticity. Neurology 1998; 50(1):114e20.
38. Martin EI, Ressler KJ, Binder E, Nemeroff CB. The neurobiology of anxiety
disorders: brain imaging, genetics, and psycho neuroendocrinology.
Psychiatr Clin N Am 2009;32(3):549e75.
39. Marsh RA, Fuzessery ZM, Grose CD, Wenstrup JJ. Projection to the inferior
colliculus from the basal nucleus of the amygdala. J Neurosci
2002;22(23):10449e60.
40. He´bert S, Canlon B, Hasson D, Magnusson Hanson LL, Westerlund H,
Theorell T. Tinnitus severity is reduced with reduction of depressive mood e
a prospective population study in Sweden. PLoS One 2012;7(5):e37733.
41. Lee DH, Kim YS, Chae HS, Han K. Nationwide analysis of the relationships
between mental health, body mass index and tinnitus in premenopausal
female adults in Korea: 2010e2012 KNHANES. Sci Rep 2018;8(1):7028.
42. Lee DY, Kim YH. Relationship between diet and tinnitus: Korea National
Health and Nutrition Examination Survey. Clin Exp Otorhinolaryngol
2018;11(3):158e65.
43. Gallus S, Lugo A, Garavello W, Bosetti C, Santoro E, Colombo P, et al.
Prevalence and determinants of tinnitus in the Italian adult population.
Neuroepidemiology 2015;45(1):12e9.
44. Martines F, Sireci F, Cannizzaro E, Costanzo R, Martines E, Mucia M, et al.
Clinical observations and risk factors for tinnitus in a Sicilian cohort. Eur
Arch Otorhinolaryngol 2015; 272(10):2719e29.
45. Dawes P, Newall J, Stockdale D, Baguley DM. Natural history of tinnitus in
adults: a cross-sectional and longitudinal analysis. BMJ Open
2020;10(12):e041290.
46. Nondahl DM, Cruickshanks KJ, Huang GH, Klein BE, Klein R, Nieto FJ, et
al. Tinnitus and its risk factors in the Beaver Dam offspring study. Int J
Audiol 2011;50(5):313e20.

17

Anda mungkin juga menyukai