Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TB)

2.1.1 Definisi dan Klasifikasi

TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

tuberculosis complex. Definisi dari kasus terduga TB adalah seseorang dengan

gejala atau tanda TB. Kasus TB definitif yaitu pasien TB dengan ditemukan

Mycobacterium tuberculosis (M.TB) yang diidentifikasi dari spesimen klinik

(jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok) dan kultur (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2021).

Kasus TB terbagi menjadi 2 klasifikasi utama, yaitu (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2021):

a) Pasien TB yang ditemukan bukti infeksi kuman MTB berdasarkan

pemeriksaan bakteriologis, antara lain :

o Pasien TB paru BTA positif

o Pasien TB paru hasil biakan MTB positif

o Pasien TB paru hasil tes cepat MTB positif

o Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan

BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena

o TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis

b) Pasien TB terdiagnosis secara klinis : merupakan pasien TB yang tidak

memenuhi kriteria diagnosis secara bakteriologis, namun terdapat bukti lain

yang kuat maka tetap terdiagnosis dan di tatalaksana sebagai pasien TB.

o Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan X-ray Thoraks

mengarah TB

9
10

o Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah

diberikan antibiotik non OAT

o Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis, laboratoris dan

histopatologis tanpa adanya konfirmasi bakteriologis

o TB anak yang terdiagnosis menggunakan skoring

Sedangkan berdasarkan lokasi infeksinya, TB dibedakan menjadi 2, yaitu

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021):

a) Tuberkulosis paru : merupakan TB yang berlokasi di parenkim paru. Pasien

yang menderita TB paru maupun ekstra paru tetap masuk dalam klasifikasi

TB paru.

b) Tuberkulosis ekstra paru : merupakan TB yang berlokasi diluar jaringan paru,

seperti pleura , kelenjar limfatik,abdomen, saluran kencing, gastrointestinal,

kulit, meningen maupun tulang.

Jika berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, TB dibagi menjadi 2 besar

yaitu sebagai berikut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).

a) Kasus TB baru : pasien yang belum pernah mendapatkan terapi TB atau

sudah pernah menelan OAT dengan total dosis kurang dari 28 hari

b) Kasus pernah di terapi TB:

- Kasus kambuh: kasus yang pernah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap dan saat ini kembali terdiagnosis TB

- Kasus pengobatan gagal: kasus yang pernah diobati dengan OAT dan

dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir

- Kasus putus obat : pasien yang pengobatannya terputus minimal

selama 2 bulan berturut-turut

- Lainnya : kasus pernah terapi OAT namun statusnya tidak diketahui

Sedangkan menurut hasil uji kepekaan obat, klasifikasi TB antara lain sebagai

berikut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).


11

a) TB sensitif obat (TB-SO)

b) TB resisten obat (TB-RO)

- Monoresisten : pasien resisten terhadap salah satu OAT lini pertama

- Resistan Rifampisin (TB-RR) : bakteri resisten terhadap rifampisin

dengan atau tanpa resisten dengan OAT lain

- Poliresisten : bakteri resisten terhadap lebih dari satu OAT lini pertama

terkecuali isoniazid dan rifampisin

- Multi drug resistant (MDR-TB) : resisten terhadap isoniazid dan

rifampisin secara bersamaan, baik diikuti resistensi terhadap OAT lain

atau tidak

Menurut status HIV pada pasien TB, maka dapat diklasifikasikan menjadi

berikut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).

a) TB dengan HIV positif

b) TB dengan HIV negatif

c) TB dengan status HIV tidak diketahui

2.1.2 Epidemiologi

Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2020 yang doterbitkan oleh WHO,

diperkirakan terdapat 10 juta (8,9-11 juta) kasus penderita TB pada tahun 2019

dengan angka mortalitas pada TB dengan HIV positif sebanyak 208.000 (177.000-

242.000) dan 1,2 juta (1,1-1,3 juta) pada TB dengan HIV negatif (WHO, 2020

dalam Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).


12

2.1.3 Patogenesis

Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-

bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di mana

nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus yang kemudian

akan memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap basilus. Infeksi

bergantung pada kapasitas virulensi bakteri dan kemampuan bakterisid makrofag

alveolus yang mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme

pertahanan awal ini, basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag. Tuberkel

bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23- 32 jam sekali di dalam

makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun eksotoksin, sehingga

tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi. Bakteri kemudian akan

terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan mencapai 103-104, yang

merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan sebuah respon imun seluler

yang dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian

akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel basilus dan

kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon imun (Kemenkes, 2020).

Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar melalui

sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran darah dan

menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki resistensi

terhadap replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan hampir

selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan dideposit di bagian

atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, di mana kondisi organ-organ tersebut

sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada beberapa kasus,

bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun

seluler spesifik yang dapat membatasi multiplikasinya (Kemenkes, 2020).


13

1. TB primer

Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. Hal

ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan sebagai

TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada individu

yang belum pernah terpapar M.TB sebelumnya (Kemenkes, 2020). M.TB yang

terfagosistosis oleh makrofag mampu menghambat kemampuan bakterisid

yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat melakukan replikasi

di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin

yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus infeksi dan memproduksi respon

imun. Area inflamasi ini kemudian disebut sebagai Ghon focus. Basili dan

antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui jalur limfatik

menuju nodus limfe di hilus dan membentuk kompleks (Ghon) primer. Respon

inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Di dalam

nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon imun spesifik dan

mengaktivasi makrofag untuk menghambat pertumbuhan basili yang

terfagositosis. Fokus primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang

kemudian terus melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer

akan digantikan dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya

terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi yang akan mati jika

sistem imun host adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer

untuk beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”

(Kemenkes, 2020).

Infeksi primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil

tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus,

respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan bakteri

dan basili akan menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan menyebar

ke seluruh tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB


14

primer progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus

primer, sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran

nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran

klinis yang serupa dengan TB post primer (Kemenkes, 2020).

2. TB pasca primer

TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang

sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten

yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal ini

dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi. Reaktivasi

terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama beberapa bulan

atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali bermultiplikasi. Hal

ini mungkin merupakan respon dari melemahnya sistem imun host oleh

karena infeksi HIV (Kemenkes, 2020).

Reinfeksi terjadi ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer

terpapar kembali oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif.

Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi

primer. Setelah terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi

penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding pada orang

dewasa. Foto toraks mungkin dapat memperlihatkan gambaran limfadenopati

intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-primer biasanya

mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan organ tubuh lain.

Karakteristik dari dari TB post primer adalah ditemukannya kavitas pada lobus

superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan sputum biasanya

menunjukkan hasil yang positif dan biasanya tidak ditemukan limfadenopati

intratorakal (Kemenkes, 2020).


15

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2021)

ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala kinis TB dapat menunjukkan manifestasi klinis berupa gejala utama

berupa batuk berdahak ≥ 2 minggu dan gejala tambahan yaitu sebagai berikut

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021):

1. Batuk darah

2. Sesak napas

3. Badan lemas

4. Penurunan berat badan

5. Menurunnya nafsu makan

6. Malaise

7. Berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik

8. Demam subfebris lebih dari 1 bulan

9. Dapat disertai nyeri dada

Namun gejala diatas dapat tidak muncul secara khas pada pasien dengan

koinfeksi HIV.

Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ

yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas

kelainan struktur paru. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara

napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah kasar/halus, dan/atau

tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Kelainan paru pada

umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan şegmen

posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6) (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2021).


16

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari

banyaknya çairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak,

pada auskultasi ditemukan suara napas yang melemah sampai tidak terdengar

pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran

kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis

tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat

menjadi "cold abscess" (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).

Pemeriksaan bakteriologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk

diagnosis TB yaitu untuk menentukan ada tidaknya kuman TB pada tubuh pasien.

Pemeriksaan spesimen dahak atau bahan lain (cairan pleura, cairan serebrospinal,

bilasan bronkus, bilasan lambung, bronchoalveolar lavage/BAL, urin, feses, dan

jaringan biopsi) dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan mikroskopis, biakan

dan tes cepat molekuler (TCM) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).

1. Pemeriksaan mikroskopis digunakan metode pewarnaan Ziehl-Nielsen

atau auramin-rhodamin untuk menemukan MTB sebagai Bakteri Tahan

Asam (BTA) atau acid-fast bacilli (AFB). Hasil positif jika minimal ditemukan

10-99 BTA pada 100 lapang pandang (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2021).

2. Pemeriksaan biakan bakteri M.TB merupakan baku emas (gold standard)

dalam mengidentifikasi M.TB. Pemeriksaan biakan M.TB dapat dilakukan

menggunakan 2 macam medium padat (Lowenstein Jensen /LJ atau

Ogawa) dan media cair MGIT (Mycobacterium growth indicator tube).

Biakan M.TB pada media cair memerlukan waktu yang singkat minimal 2

minggu, lebih cepat dibandingkan biakan pada medium padat yang

memerlukan waktu 28-42 hari (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).


17

3. Pemeriksaan tes cepat molekular (TCM) digunakan untuk mendeteksi DNA

M.TB dan melakukan uji kepekaan obat (rifampisin) secara bersamaan

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).

Pemeriksaan radiologi standar pada TB paru adalah foto toraks dengan

proyeksi postero anterior (PA). Pemeriksaan lain atas indikasi klinis misalnya foto

toraks proyeksi lateral, top-lordotik,oblik. CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,

TB dapat menghasilkan gambaran bermacam-macam bentuk (muliform).

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif yaitu bayangan berawan

atau nodular, kavitas, bercak milier, dan adanya efusi pleura. Sedangkan

gambaran TB paru inaktif yaitu fibrotik, kalsifikasi dan schwarte atau penebalan

pleura. Gambaran TB paru lainnya yaitu gambaran luluh paru (destroyed lung)

yang terdiri dari atelekasis, multikavitas. dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk

menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut

sehingga diperlukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas proses

penyakit (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yaitu analisis cairan

pleura, pemeriksaan histologi jaringan dan uji tuberculin. Pemeriksaan analisis

cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura

untuk membantu menegakkan diagosis. Interpretasi hasil analisis yang

mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif, kesan cairan eksudat,

terdapat sel limfosit dominan, dan jumlah glukosa rendah. Pemeriksaan

histopatologi dilakukan menggunakan sampel jaringan yang diperoleh melalui

biopsi atau otopsi. Sedangkan uji tuberkulin tidak direkomendasikan sebagai alat

bantu diagnosis TB pada pasien dewasa karena prevalensinya yang tinggi di

Indonesia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).


18

Kemenkes RI (2020) merekomendasikan uji bakteriologis dan TCM sebagai

pemeriksaan utama untuk diagnosis TB. Namun pemeriksaan bakteriologis dan

TCM negatif dengan gambaran foto thoraks dan klinis yang mendukung TB dapat

menjadi pedoman untuk pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Gambar 2. 1 Alur Diagnosis TB


(Sumber: Kemenkes RI, 2020)
19

2.1.5 Tatalaksana

Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap awal dan tahap

lanjutan. Pengobatan TB yaitu dengan pemberian OAT yang diberikan dengan

dosis yang tepat (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).

a. Tahap awal

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini

adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada

dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman

yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan

pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus

diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur

dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah

pengobatan selama 2 minggu pertama (Kemenkes RI, 2019).

Pada fase intensif pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa Rifampisin

(R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) selama 2 bulan. Untuk

menunjang kepatuhan berobat, paduan OAT lini pertama telah dikombinasikan

dalam obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Satu tablet KDT RHZE untuk fase

intensif berisi Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan

Etambutol 275 mg. Jumlah tablet KDT yang diberikan dapat disesuaikan

dengan berat badan pasien. Secara ringkas perhitungan dosis pengobatan TB

menggunakan OAT KDT dapat dilihat pada Tabel 2 (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2021).

b. Tahap lanjutan

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang

masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat

sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama

4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari (Kemenkes
20

RI, 2019). Pada fase lanjutan pemberian obat yaitu Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R) selama 4 bulan. Paduan OAT fase lanjutan telah

dikombinasikan dalam KDT RH yang berisi Rifampisin 150 mg + Isoniazid 75

mg diberikan setiap hari. Jumlah tablet KDT yang diberikan dapat disesuaikan

dengan berat badan pasien. Secara ringkas perhitungan dosis pengobatan TB

menggunakan OAT KDT dapat dilihat pada Tabel 2 2 (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2021).

Tabel 2. 1 Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa

(Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2021).

Tabel 2. 2 Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa menggunakan


tablet kombinasi dosis tetap (KDT)
21

Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap OAT kecuali: pasien

tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi resisten isoniazid atau; terdapat riwayat

kontak dengan pasien TB resistan obat. Pasien kasus baru seperti ini cenderung

memiliki pola resistensi obat yang sama dengan kasus sumber. Pada kasus ini

sebaiknya dilakukan uji kepekaan obat sejak awal pengobatan dan sementara

menunggu hasil uji kepekaan obat maka paduan obat yang berdasarkan uji

kepekaan obat kasus sumber sebaiknya dimulai (Kemenkes RI, 2019):.

Jika tidak tersedia paduan dosis harian, dapat dipakai paduan

2RHZE/4R3H3 dengan syarat harus disertai pengawasan yang lebih ketat

secara langsung untuk setiap dosis obat (Rekomendasi B) (Kemenkes RI,

2019).

Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji

kepekaan OAT pada awal pengobatan. Uji kepekaan dapat dilakukan

dengan metode cepat atau rapid test (TCM, LPA lini 1 dan 2), dan metode

konvensional baik metode padat (LJ), atau metode cair (MGIT) (Kemenkes

RI, 2019).

Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji kepekaan obat

berdasarkan uji molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil

ini digunakan untuk menentukan paduan OAT pasien. Bila laboratorium hanya

dapat melakukan uji kepekaan obat konvensional dengan media cair atau padat

yang baru dapat menunjukkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan maka

daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan OAT kategori I sambil

menunggu hasil uji kepekaan obat. Pada daerah tanpa fasilitas biakan, maka

pasien TB dengan riwayat pengobatan diberikan OAT kategori 1 sambil dilakukan

pengiriman bahan untuk biakan dan uji kepekaan (Kemenkes RI, 2019).
22

2.1.6 Pencegahan

TB dapat dicegah dengan beberapa hal seperti vaksinasi dan pengobatan

sebagai berikut.

1. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG)

Vaksin BCG masih sangat penting untuk diberikan, meskipun efek

proteksi sangat bervariasi, terutama untuk mencegah terjadinya TB berat

(TB milier dan meningitis TB). Sebaliknya pada anak dengan HIV, vaksin

BCG tidak boleh diberikan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan BCG-

itis diseminata (Kemenkes RI, 2019).

2. Pengobatan pencegahan dengan INH

Profilaksis primer diberikan pada balita sehat dan anak dengan

kontak erat TB yang imunokompromais seperti pada HIV, keganasan, gizi

buruk dan lainnya, yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan

BTA sputum positif (+). Obat yang diberikan adalah INH dengan dosis 10

mg/kgBB/hari (Kemenkes RI, 2019).

Pengobatan pencegahan terhadap anak yang berkontak dengan

kasus TB RO menggunakan ethambutol 15 - 25 mg/kgBB/hari dan

levofloksasin 15 – 20 mg/KgBB/hari pada anak balita dan anak

imunokompromis disegala usia yang kontak erat dengan pasien TB RO.

Obat diminum 1-2 jam sebelum makan. Durasi pemberian selama 6 bulan

(Kemenkes RI, 2019).


23

Gambar 2. 2 Rekomendasi Profilaksis OAT

(Sumber: Kemenkes RI, 2019).

3. Pengobatan pencegahan dengan 3HP

Selain pemberian INH selama 6 bulan, WHO 2018 juga

merekomendasikan pemberian regimen lain, yaitu INH-Rifampisin dan INH-

Rifapentin (3HP). Pemberian INH-Rifapentin lebih dipilih karena

pemberiannya yang lebih singkat yaitu diberikan 1x per minggu selama 12

minggu. Studi menunjukkan kepatuhan pasien lebih baik pada regimen 3HP

sehingga angka keberhasilan menyelesaikan terapi pencegahan lebih

tinggi (Kemenkes RI, 2019).

2.2 Efusi Pleura

2.2.1 Definisi
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan diantara kavum pleura, rongga

antara parietal pleura dan visceral pleura. Efusi pleura dapat terjadi dengan

sendirinya atau akibat dari penyakit parenkim di sekeliling pleura seperti infeksi,

keganasan, atau kondisi inflamatorik. Efusi pleura merupakan salah satu

penyebab utama morbiditas dan mortalitas pulmonar (Krishna & Rudrappa, 2021).
24

Adanya efusi pleura menunjukkan bahwa terdapat ketidakseimbangan

antara produksi cairan pleura dengan pembuangan cairan pleura. Akumulasi dari

cairan pleura bukan disebabkan karena suatu penyakit spesifik, melainkan

cerminan dari patologi yang mendasarinya. Efusi pleura menyertai berbagai

macam gangguan paru-paru, pleura, dan gangguan sistemik (Karkhanis & Joshi,

2012).

Penampilan cairan pleura dapat bervariasi dengan kondisi yang

mendasarinya dan membantu dalam mengidentifikasi etiologi spesifik. Efusi pleura

diklasifikasikan sebagai transudatif atau eksudatif bergantung dari tingkat protein

dan laktat dehidrogenase pada cairan pleura dibandingkan dengan serum.

Klasifikasi cairan pleura dilakukan berdasarkan kriteria LIGHT yang dapat

membantu dalam mempersempit proses yang mendasari terjadinya efusi pleura

(Yousaf et al. 2021).

2.2.2 Epidemiologi
Efusi pleura mempengaruhi lebih dari 1,5 juta orang di Amerika Serikat

setiap tahun dan disebabkan oleh beragam kondisi medis. Penyebab tersering dari

efusi pleura adalah Congestive Heart Failure (CHF), infeksi pleura, serta

keganasan. Sepertiga dari seluruh kasus efusi pleura tiap tahun di Amerika Serikat

disebabkan karena CHF. Efusi pleura bilateral paling umum terjadi, melibatkan 15%

kasus pada pasien yang tidak kritis, dan 55% kasus pasien di ruang intensif

(DeBiasi et al. 2015). Di negara berkembang, Tuberculosis (TB) merupakan

penyebab utama efusi pleura. Penelitian oleh Khan et al dan Yovi et al

menunjukkan bahwa TB menjadi penyebab utama efusi pleura dengan angka

masing – masing 32,5% dan 46,3% (Sari et al. 2022).


25

Di Indonesia, kasus efusi pleura mencakup 2,7% dari keseluruhan penyakit

infeksi saluran nafas. Penelitian di Metro, Lampung pada 2015 menunjukkan

bahwa penyebab tertinggi efusi pleura adalah karena keganasan (33%), gagal

jantung (27%), dan tuberculosis (22,9%) (Puspita et al. 2017).

2.2.3 Etiologi
Dari dua bentuk efusi pleura, efusi pleura transudatif mencakup lebih dari

50% kasus efusi pleura. Penyebab paling umum terjadinya efusi pleura transudatif

adalah congestive heart failure (CHF) (80% kasus) diikuti dengan hepatic

hydrothorax (HH) (10%) dan efusi sekunder akibat hipoproteinemia. Penyebab

paling umum terjadinya efusi pleura eksudatif adalah akibat infeksi (Community

Acquired Pneumonia (CAP) atau Hospital Acquired Pneumonia) dan akibat

keganasan (Rashid Ali et al. 2019).

2.2.4 Patofisiologi
Pada manusia sehat, terdapat cairan dengan jumlah minimal pada cavum

pleura yang bertugas sebagai pelumas dua permukaan pleura. Jumlah cairan

pleura yang ada berkisar antara 0,1ml – 0,3 ml/kgBB dan secara berkala diganti.

Cairan pleura berasal dari pembuluh darah permukaan pleura parietal dan diserap

kembali oleh jaringan limfatik di permukaan diafragma dan mediastinum yang

bergantung pada pleura parietal. Tekanan hidrostatik dari pembuluh sistemik yang

mensuplai pleura parietal diperkirakan mendorong cairan interstisial ke dalam

rongga pleura sehingga cairan pleura memiliki kandungan protein yang lebih

rendah daripada cairan serum (Krishna & Rudrappa. 2021).

Jumlah cairan dalam rongga pleura tergantung pada keseimbangan

tekanan hidrostatik dan onkotik antara pleura parietal dan visceral dan rongga

pleura. Karena tekanan hidrostatik lebih tinggi pada pleura parietal daripada pada
26

pleura visceral dan tekanan onkotik pada pleura parietal dan pleura visceral setara,

cairan pleura terutama dihasilkan dari pleura parietal. Demikian juga, pembuluh

limfatik pada pleura parietal bertanggung jawab atas sebagian besar resorpsi

cairan pleura (Feller-Kopman & Light. 2018).

Efusi pleura dapat terjadi jika ada produksi yang berlebihan atau

penurunan penyerapan, namun biasanya akibat gabungan dari keduanya. Cairan

pada efusi pleura juga bisa berasal dari peritoneum melalui lubang pada diafragma.

Efusi pleura dapat terjadi akibat meningkatnya permeabilitas cavum pleura

sehingga menyebabkan efusi pleura eksudatif. Efusi pleura juga dapat disebabkan

karena pelebaran tekanan hidrostatik dibandingkan dengan tekanan onkotik

sehingga menyebabkan efusi pleura transudatif (Yalcin et al. 2014).

Pada tuberculosis (TB), penyebab efusi pleura diperkirakan berhubungan

dengan ruptur pada fokus kaseosa subpleural di rongga paru. Efusi pleura pada

TB diakibatkan karena adanya reaksi hipersensitivitas yang terlambat terhadap

mycobacteria dan antigen mycobacterial pada rongga pleura. Inflamasi yang

terjadi menimbulkan produksi lymphocytic pleuritis sehingga mengurangi jumlah

cairan yang dapat diserap pada rongga pleura. Adanya tambahan cairan dari

inflamasi serta berkurangnya lymphatic clearance menyebabkan terjadinya

akumulasi pada cairan pleura (Cohen & Light. 2015).

2.2.5 Diagnosis
Suatu efusi pleura dapat diketahui berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, atau dari pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis pasien bergantung dari

jumlah cairan efusi yang ada serta adanya suatu underlying cause. Kebanyakan

pasien tidak memunculkan gejala ketika efusi pleura ditemukan. Gejala yang dapat

muncul berupa nyeri dada pleuritic, sesak, dan batuk kering tanpa produksi dahak.

Nyeri dada akibat efusi pleura berhubungan dengan adanya inflamasi pada
27

parietal pleura akibat adanya gesekan antara dua permukaan pleura akibat

pergerakan. Nyeri dada pleuritic yang terjadi dapat terlokalisasi atau menjalar.

Nyeri yang muncul biasanya terasa tajam dan memberat dengan pergerakan dari

permukaan pleura, seperti pada inspirasi dalam, batuk, dan bersin. Nyeri biasanya

mereda dengan penekanan pada dada atau pada tempat terkumpulnya cairan.

Karena sesak dan nyeri dada merupakan suatu gejala yang tidak khas, perlu

dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik untuk mempersempit

dfferential diagnosis (DD) (Karkhanis & Joshi. 2012).

Tabel 2. 3 Penyebab efusi pleura

(Sumber: Rashid Ali et al. 2019)


28

Gambar 2. 3 Pendekatan pasien dengan efusi pleura

(Sumber: Karkhanis & Joshi, 2012)

Perlu membedakan apakah cairan efusi pada pasien berupa cairan

eksudatif atau cairan transudatif. Pembedaan tersebut dapat membantu dalam

menentukan etiologi serta dalam penentuan terapi. Pada kasus efusi pleura

transudatif, faktor sistemik mengatur penumpukan cairan termasuk peningkatan

tekanan hidrostatik kapiler sistemik dan/atau paru (peningkatan tekanan kapiler

paru 10 cm H2O atau lebih), penurunan tekanan osmotik koloid dalam sirkulasi

sistemik, atau keduanya. Membran pleura utuh dalam skenario ini dan tidak terlibat

langsung dalam etiologi efusi. Permeabilitas kapiler pleura terhadap protein tidak
29

terganggu. Penyebab terjadinya efusi pleura eksudatif diwakili oleh peningkatan

permeabilitas membran pleura atau dinding kapiler, dengan atau tanpa gangguan

pembuluh darah yang terlibat (termasuk saluran toraks), atau obstruksi parsial

atau lengkap dari drainase limfatik dari ruang pleura. Dalam pengaturan ini

membran pleura secara langsung dipengaruhi oleh penyakit yang mendasarinya,

baik itu inflamasi atau ganas. Permeabilitas kapiler pleura terhadap protein

meningkat, menghasilkan peningkatan kandungan protein cairan pleura. Efusi

eksudatif dapat dibagi lagi menjadi hemotoraks, kilotoraks, dan empiema

berdasarkan komposisinya (Karkhanis & Joshi. 2012; Cohen & Light. 2015).

Tabel 2. 4 Diagnosis pasien berdasarkan cairan efusi pleura

(Sumber: Karkhanis & Joshi, 2012)

Pada pasien TB dengan efusi pleura, keluhan muncul paling sering dalam

waktu kurang dari 1 bulan. Keluhan paling sering berupa batuk tanpa dahak dan

nyeri dada (biasanya nyeri pleuritik). Kebanyakan pasien juga akan mengeluhkan

demam, meskipun Sebagian kecil bisa tidak timbul demam. Keluhan sessak bisa

muncul bila efusi yang terjadi cukup banyak. Pada beberapa kasus less acute, bisa

muncul nyeri dada ringan dengan demam ringan, batuk tanpa dahak, penurunan

berat badan, serta mudah Lelah (Cohen & Light. 2015).


30

Dari pemeriksaan fisik efusi pleura dapat ditemukan adanya peningkatan

volume paru, penurunan stem fremitus, perkusi redup, shifting dullness, serta

penurunan/menghilangnya suara nafas. Shifting dullness bisa tidak ditemukan

apabila efusi terlokalisasi atau masif. Apabila efusi pleura masif, dapat terjadi

gangguan pernafasan (nafas lebih berat) dan tanda – tanda mediastinal shift.

Beberapa temuan lain dapat berhubungan dengan penyakit sistemik. Efusi yang

terjadi pada pasien TB cenderung unilateral dan dengan ukuran beragam.

Kebanyakan kasus efus pada TB akan mengisi 2/3 bagian hemithorax atau hanya

1/3 bagian hemithorax sehingga akan terjadi penurunan stem fremitus, perkusi

redup, dan lain sebagainya pada area tersebut pada saat pemeriksaan paru

(Karkhanis & Joshi. 2012; Cohen & Light. 2015).

Pemeriksaan penunjang paling utama untuk menentukan adanya efusi

pleura adalah dengan X-Ray Thorax PA/Lateral. Pada Foto X-Ray Thorax PA,

dapat ditemukan gambaran radioopak yang menunjukkan adanya cairan apabila

cairan efusi mencapai 200mL, sedangkan penumpulan sudut costophrenicus

dapat ditemukan apabila terdapat cairan sebanyak 50mL. Gambaran yang umum

ditemui adalah adanya opasitas homogen disertai penumpulan sudut

costophrenicus serta adanya pelengkungan pada batas atas yang disebut Ellis –

S shaped curve. Bisa juga muncul gambaran atipikal karena adanya efusi

terlokalisasi sehingga gambaran yang muncul bisa berbentuk lateral, lamellar,

mediastinal, apical, subpulmonal atau fissural. Efusi terlokalisasi terjadi paling

sering akibat kondisi yang menyebabkan peradangan pleura intens, seperti

empiema, hemotoraks, atau TB. Foto X-Ray dekubitus lateral terkadang dapat

digunakan karena cairan bebas dapat berpindah ke bagian yang paling terlihat

pada rongga dada, sehingga memungkinkan untuk membedakan antara

penebalan pleura dan cairan bebas. Adanya penumpulan sudut kostofrenikus


31

biasanya dijelaskan sebagai meniscus sign (Karkhanis & Joshi. 2012; Cohen &

Light. 2015).

Ultrasonografi (USG) thorax dapat digunakan untuk mendeteksi efusi

pleura dengan jumlah sedikit dengan akurat. Gambaran USG pada efusi pleura

disebutkan sebagai adanya rongga hypoechoic di antara pleura visceral dan

pleura parietal. USG thorax berguna untuk konfirmasi diagnosis dan untuk

menandai lokasi untuk thoracocentesis. USG thorax juga berguna untuk

membedakan antara cairan dengan lesi padat. Jenis cairan efusi juga dapat

diketahui dari gambaran USG. Berdasarkan gambaran ekogenisitas USG, efusi

dapat diklasifikan menjadi cairan anechoic, cairan complex noseptated, cairan

complex septated, dan cairan ekogenik homogen. Cairan pleura eksudatif

biasanya memiliki gambaran septated atau menunjukkan suatu kompleks atau

ekogenik homogen. Gambaran ekogenik padat seringkali berhubungan dengan

efusi perdarahan atau empyema (Karkhanis & Joshi. 2012).

CT scan thorax dapat digunakan apabila terdapat kondisi kompleks yang

menyebabkan anatomi seseorang tidak dapat dinilai dengan baik menggunakan

X-Ray thorax atau USG thorax. Gambaran CT Scan yang dapat ditemui pada efusi

pleura adalah split pleura sign yang menunjukkan adanya penebalan pleura

dengan CT scan kontras (Karkhanis & Joshi. 2012).

Thoracocentesis harus dilakukan pada semua pasien dengan efusi pleura

yang lebih dari minimal dengan penyebab yang belum diketahui. Aspirasi cairan

pleura tidak disarankan untuk dilakukan pada kasus efusi bilateral dengan curiga

cairan pleura transudatif, kecuali terdapat gejala atipikal atau terdapat kegagalan

terapi. Pemeriksaan cairan pleura secara biokimia, sitologis, dan mikrobiologis

perlu dilakukan untuk menentukan diagnosis yang tepat. Pembedaan antara

cairan pleura transudatif dan eksudatif sangat krusial sebelum dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut. Kriteria Light merupakan salah satu kriteria yang
32

sensitive untuk mengidentifikasi cairan pleura eksudatif, tetapi terdapat

kemungkinan pasien dengan cairan pleua transudatif dianggap memiliki cairan

eksudatif berdasarkan kriteria Light. Penilaian kadar serum albumin dapat

digunakan pada kasus tersebut, dimana kadar serum albumin >1,2 g/dl dari kadar

albumin serum pleura normal menunjukkan cairan pleura transudatif. Pada kasus

tersebut, cairan pleura disebut dengan cairan efusi transeksudatif (Karkhanis &

Joshi. 2012).

Tabel 2. 5 Kriteria Light untuk cairan efusi pleura

(Sumber: Karkhanis & Joshi, 2012)

Pemeriksaan biopsi pleura perkutaneus penting dilakukan apabila terdapat

kecurigaan penykait granulomatous dan keganasan pada pleura. Biopsi dilakukan

pada pasien dengan efusi eksudatif yang tidak terdiagnosis dan sitologi

nondiagnostik, dan apabila terdapat kecurigaan klinis TB atau keganasan. Biopsi

pleura perkutaneus merupakan pemeriksaan pilihan pada kasus mesothelioma

maligna, dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 100% (Karkhanis & Joshi. 2012).

i.
33

2.2.5 Tatalaksana
Pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita efusi pleura adalah

pengobatan penyebab spesifik, drainase cairan, pleurodesis, dan manajemen

bedah adalah pilihan terapi untuk efusi pleura (Karkhanis & Joshi, 2012).

1. Pengobatan penyebab spesifik

Pengobatan spesifik efusi pleura tergantung pada etiologinya. Pengobatan

penyebab yang mendasari membantu menyelesaikan sebagian besar efusi

transudatif. Efusi yang terkait dengan gangguan jaringan ikat seperti rheumatoid

arthritis dan lupus eritematosus sistemik diobati dengan steroid, dan resolusi dapat

terjadi dalam 2 minggu. Efusi pleura tuberkulosis diobati dengan terapi

antituberkulosis jangka pendek, yaitu 2 bulan isoniazid, rifampisin, pirazinamid,

dan etambutol, diikuti oleh 4 bulan isoniazid dan rifampisin. Uji coba terkontrol tidak

menunjukkan manfaat penggunaan steroid bersama dengan terapi

antituberculosis (Karkhanis & Joshi, 2012).

Torakosentesis diagnostik diperlukan hanya jika pasien memiliki efusi

bilateral yang ukurannya tidak sama, memiliki efusi yang tidak berespon terhadap

terapi, datang dengan nyeri dada pleuritik, atau demam. Torakosentesis berulang

akan mengakibatkan penipisan volume dan protein. Oleh karena itu, tidak lebih

dari 1,5 L cairan harus dikeluarkan pada satu waktu untuk menghindari edema

paru reperfusi. Torakosentesis terapeutik diperlukan pada pasien yang

menunjukkan gangguan pernapasan. Ulangi torakosentesis harus disediakan

untuk pasien yang mengakumulasi kembali efusi pleura secara perlahan setelah

setiap torakosentesis, pasien yang memiliki kanker yang biasanya merespon

terapi dengan resolusi efusi terkait, mereka yang tampaknya tidak mungkin

bertahan lebih dari 1-3 bulan, dan mereka yang tidak dapat mentolerir efusi lain.

lebih banyak prosedur intervensi untuk mengontrol cairan pleura, seperti

pleurodesis (Karkhanis & Joshi, 2012).


34

2. Drainase

Drainase terapeutik diperlukan hanya jika pasien mengalami gangguan

pernapasan. Sesak napas pada efusi pleura terutama disebabkan oleh gerakan

paradoks dari hemidiafragma terbalik. Secara klinis, inversi diafragma

menghasilkan gerakan paradoks pada sisi yang terkena. Kapasitas vital dan

ventilasi alveolus berkurang, dengan akibat hipoksemia dan dispnea.

Drainase atau thoracocentesis dapat dilakukan dengan jarum, selang

interkostal atau kateter pigtail. Secara tradisional, drainase menggunakan jarum

atau selang melekat pada saluran pembuangan bawah air yang terdiri dari unit

kaca yang dapat digunakan kembali. Namun dapat digantikan menggunakan

urobag/urosac sebagai kantong pengumpul cairan pleura yang murah dan mudah

didapatkan (Karkhanis & Joshi, 2012).

Studi terdahulu menunjukkan bahwa hasil thoracocentesis yaitu terdapat

pengurangan ukuran cavum toraks, yang memungkinkan otot-otot inspirasi untuk

beroperasi pada bagian yang lebih menguntungkan dari kurva panjang-tegangan

mereka. Studi lain menunjukkan perbaikan pertukaran gas sebagai akibat dari

peningkatan rasio ventilasi-perfusi karena peningkatan ventilasi bagian paru-paru

yang sebelumnya berventilasi buruk tetapi perfusi (Karkhanis & Joshi, 2012).

Pengeloalaan efusi pleura ditujukan untuk pengobatan untuk mengobati

penyakit dasar dan pengosongan cairan (thorakosentesis). Indikasi untuk

melakukan thorakosentesis adalah (Keperawatan, 2014):

a. Menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan

dalam rongga pleura.

b. Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal.

c. Bila terjadi reakumulasi cairan.


35

Pengambilan pertama cairan pleura, tidak boleh lebih dari 1000 cc, karena

pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak

dapat menimbulkan edema paru yang ditandai yang ditandai denghan batuk dan

sesak. Kerugian thorakosentesis (Keperawatan, 2014):

a. Dapat menyebabkan kehilangan protein yang berbeda dalam cairan

pleura.

b. Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura.

c. Dapat terjadi pneumothoraks

3. Pleurodesis

Pleurodesis mengacu pada insersi chest tube dan instilasi zat kimia sclerotik

ke dalam rongga pleura dan produksi adhesi antara pleura visceral dan parietal

cavum thorax, untuk mencegah akumulasi cairan atau udara di rongga pleura.

Lebih dari 30 agen telah diusulkan sebagai sklerosan untuk menginduksi

pleurodesis. Sklerosan yang umum digunakan adalah tetrasiklin hidroklorida,

doksisiklin, bleomisin, kinakrin, bedak, dan povidone iodine (Karkhanis & Joshi,

2012).

Prosedur ini adalah yang paling efektif dan paling tidak invasif dari semua

prosedur bedah yang tersedia untuk mengontrol efusi pleura, terutama yang

etiologinya ganas. Pleurodesis merupakan pengobatan pilihan untuk solusi efusi

berulang. Pasien dengan obstruksi jalan napas dari tumor endobronkial, massa

tumor intrapleural yang luas, atau lokulasi pleura multipel yang mengakibatkan

paru-paru yang terperangkap tidak mungkin untuk merespon. Torakoskopi

menghasilkan pleurodesis yang efektif pada 71% -97% pasien (Karkhanis & Joshi,

2012).

Pleurodesis tidak boleh dilakukan pada pasien yang harapan hidupnya

pendek. Terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi unutk dapat melakukan

pleurodesis yaitu: efusi harus simtomatik; adanya paru-paru yang kolaps harus
36

disingkirkan; dan pleurodesis harus dicadangkan untuk kasus-kasus di mana tidak

ada alternatif terapi lain atau terapi lain yang gagal. Meskipun indikasi utama untuk

pleurodesis pada efusi adalah keganasan pleura, pleurodesis mungkin diperlukan

dalam kondisi jinak tertentu yang bertanggung jawab untuk efusi berulang, seperti

gagal jantung, sirosis hati, sindrom nefrotik, chylothorax, atau lupus eritematosus

sistemik (Karkhanis & Joshi, 2012).

4. Manajemen bedah

Beberapa modalitas bedah yang dapat dilakukan sebagai tatalaksana pada

efusi pleura yaitu dekortikasi, pleurektomi, pleuropneumonektomi, penutupan

fistula bronkopleural dengan atau tanpa pencangkokan, window operation, operasi

fenestrasi, torakostomi, dan torakoplasti. Pembedahan mungkin diperlukan untuk

keterlibatan pleura ganas, empiema dengan atau tanpa fistula bronkopleural, dan

fibrotoraks.

Dekortikasi dini harus direncanakan pada pasien yang tidak berespon

terhadap antibiotik dan drainase yang tepat, bersama dengan demam yang

menetap, asalkan mereka cocok untuk dekortikasi. Jendela fenestrasi atau

thoracoplasty dapat direncanakan untuk mereka yang tidak cocok untuk

dekortikasi. Dekortikasi yang terlambat untuk mengembalikan fungsi paru yang

terganggu biasanya direncanakan setelah beberapa bulan selesainya kemoterapi

karena penelitian telah menunjukkan bahwa, dengan manajemen konservatif yang

memadai, pengelupasan pleura dapat teratasi dalam banyak kasus, dengan

pemulihan fungsi paru dalam beberapa bulan, dan dekortikasi tidak perlu dilakukan.

rutin.
37

2.2.6 Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi

Pemasangan pipa WSD (Water Seal Drainage) yang besar dapat

menimbulkan rasa sakit yang sangat. Pemberian lidokain 200 mg mungkin dapat

mengatasi rasa sakit ini untuk sementara waktu. Dapat timbul infeksi ringan yang

ditandai dengan panas yang subfebril setelah 48 jam dilakukan tindakan sklerosis,

terutama bila digunakan zat quinakrin. Sklerosis yang digunakan bersama-sama

dengan sitostatik tidak menunjukkan hasil lebih baik (Keperawatan, 2014).

Prognosis

Secara teoritis tingkat kegawatan pleuritis eksudatif ditentukan oleh tiga faktor

(Keperawatan, 2014):

a) Jumlah cairan yang sedemikian banyaknya sehingga terjadi perburukan

fungsi restriktif.

b) Kecepatan pembentukan cairan. Makin cepat terjadi pembentukan cairan

makin memperburuk keadaan penderita.

c) Jenis cairan. Sero hemoragik lebih berbahaya dari non sero hemoragik.

Memburuknya fungsi paru ini ditentukan oleh jumlah cairan yang terbentuk

dalam satuan waktu.

Anda mungkin juga menyukai