Anda di halaman 1dari 6

Diagnosis Pasien Presbikusis Disertai Tinitus Presbikusis

Anggun Putri Maulana Ahmad, S. Ked, dr. Yuliono Trika Nur Hasan, Sp.M

Program Studi Profesi Dokter, FKIK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Email: anggunmaulana95@gmail.com

PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran sensorineural atau yang disebut Presbikusis sering dikaitkan


dengan faktor usia dan merupakan penyebab terbanyak gangguan pendengaran pada orang tua.
Presbikusis terdiri dari empat tipe yaitu: tipe sensori, neural, metabolik atau stria, dan konduksi
koklear (Nuryadi et al., 2017).

Presbikusis merupakan penurunan fungsi pendengaran yang sejalan dengan proses


penuaan. Pada audiogram terlihat gambaran penurunan pendengaran bilateral dan simetris yang
mulai terjadi pada nada tinggi dan bersifat sensorineural dengan tidak ada kelainan yang
mendasari selain proses penuaan/degeneratif secara umum (Dewi, 2009).

Prevalensi presbikusis bervariasi dan biasanya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Di
seluruh dunia diperkirakan sekitar 30-45% masyarakat diatas umur 65 tahun di diagnosis
menderita presbikusis dan yang paling banyak penderita laki-laki. Di Indonesia sekitar 30-35%
orang berusia 65- 75 tahun mengalami presbikusis (Muyassaroh, 2012). Presbikusis dapat terjadi
akibat perubahan degenerasi pada telinga dalam yang mengakibatkan penurunan sel ganglion
nukleus kohlea ventral, genikulatum medial, dan olivari superior kompleks yang mengakibatkan
penurunan fungsi sel. Selain itu juga dapat terjadi akumulasi produk metabolisme dan penurunan
aktifitas enzim yang berperan dalam penurunan fungsi sel (Lee et al., 2006; Suwento &
Hendarmin, 2007; Roland, 2014).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Nuryadi et al. (2017) didapatkan pasien presbikusis
paling banyak dijumpai pada kelompok umur 60-70 tahun (67,65%). Pasien presbikusis banyak
pada jenis kelamin pria (76,47%). Tipe presbikusis yang paling banyak pada jenis kelamin pria
adalah tipe strial 57,69% sisi telinga kanan dan 50% sisi telinga kiri. sedangkan pada jenis
kelamin wanita didapatkan hasil yang sama diantara tipe strial dan konduksi koklear yaitu
masing- masing sebanyak 4 orang (50%) pada telinga kanan dan pada telinga kiri juga ditemukan
tipe strial sebanyak 5 orang (62,5%) dan konduksi koklear (37,5%). Prevalensi terjadinya
presbikusis metabolik atau strial presbakusis cukup tinggi yaitu metabolik 34,6%, diikuti dengan
tipe lainnya yaitu neural 30,7%, mekanik 22,8%, sensorik 11,9%.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya presbikusis antara lain usia, jenis kelamin, genetik,
hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterol, paparan bising, dan merokok (Kim et al., 2010).
Secara genetik terdapat gen yang berperan terhadap presbikusis, yaitu C57BL/6J yang
merupakan protein pembawa mutasi dalam gen cadherin 23 (Cdh23) yang mengkode komponen
ujung sel rambut kohlea.

Pada jalur intrinsik sel mitokondria mengalami apoptosis strain C57BL/6J mengakibatkan
penurunan pendengaran (Ohlemiller, 2006; Someya et al., 2007; Colen et al., 2008). Kemudian
Lee et al. (2006) dan Kim et al. (2010) dalam penelitiannya di Korea pada tahun 2010
menemukan hubungan antara usia dan jenis kelamin terhadap penurunan ambang dengar pada
usia lanjut. Rata-rata nilai ambang dengar meningkat 1 dB setiap tahunnya pada usia 60 tahun
atau lebih dan terdapat perbedaan penurunan ambang dengar pada frekuensi 4 dan 8 kHz secara
signifikan antara laki-laki dan perempuan.

Prognosis pada pasien prebikusis masih kurang baik, dimana pada penderita presbikusis
akan mengalami penurunan pendengaran secara progresif, dimana rata-rata penurunan
pendengaran sekitar 0,7–1,2 dB per tahun, tergantung pada usia penderita (Oghalai & Brownell,
2008). Presbikusis merupakan salah satu gangguan pendengaran yang menjadi perhatian Komite
Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT). Tujuan
program tersebut adalah menurunkan angka kejadian presbikusis sebesar 90% pada tahun 2030
(Muyassaroh, 2012; Kim et al., 2010).

DESKRIPSI KASUS

Seorang pasien laki-laki, Tuan S, berusia 73 tahun tahun datang ke Rumah Sakit Umum
Karsa Husada pada tanggal 27 Oktober 2021 dengan keluhan penurunan pendengaran pada
telinga kiri sejak 1 bulan yang lalu. Selan itu, pasien juga merasakan ada suara krecek-krecek
seperti suara air pada telinga kirinya. Sebelumnya pasien pernah mengeluhkan hal yang sama
tanpa adanya suara krecek-krecek, tetapi setelah diperiksakan keluhan terjadi dikarenakan
terdapat serumen yang menutupi lubang telinga. Setelah dilakukan irigasi telinga pendengaran
kembali membaik. Namun keluhan yang sekarang dialami disertai adanya suara krecek-krecek.
Tidak ada keluhan nyeri telinga, keluar cairan maupun darah. Keluhan pada pasien belum
diberikan terapi apapun. Pasien menyangkal adanya komorbid diabetes melitus, tetapi mengaku
memiliki riwayat hipertensi. Setelah dilakukan pemeriksaan telinga dengan otoskop, didapatkan
membrane timpani pada kedua telinga intak dan tidak terdapat retraksi. Ditemukan adanya
sedikit serumen di kedua telinga, disertai hiperemis pada kedua telinga. Tidak ada nyeri tekan
pada telinga maupun tragus. Pada pemeriksaan tekanan darah didapatkan hasil 149/100 mmHg.

Diagnosis dari dokter THT untuk pasien tersebut adalah presbikusis S/ karena tidak ada
kelainan yang menonjol dari pemeriksaan tetapi ada keluhan penurunan pendengaran. Hal ini
ditunjang dengan usia pasien 73 tahun yang telah memasuki fase lanjut usia, dan riwayat
hipertensi pasien meningkatkan risiko terjadinya suara krecek-krecek atau bisa disebut gejala
tinnitus. Serumen pada telinga pasien dibersihkan dengan metode ekstraksi telinga. Pasien
diberikan terapi untuk mengurangi gejala tinnitus yang dialami dan mengobati hiperemis pada
liang telinganya. Obat yang diberikan adalah vitamin B complex atau mecobalamin, natrium
diklofenak, dan beta histin. Pasien kemudian diberikan edukasi untuk tidak mengorek-korek
telinga, dan tinnitus yang dialami pasien tidak akan hilang begitu saja karena proses penuaan
pada saraf telinganya. Pemberian obat hanya untuk mengurangi gejala tinnitus dan membantu
telinga supaya bisa berfungsi lebih baik dari sebelumnya, tetapi tidak benar-benar
menghilangkan gejala tinnitus.

PERASAAN TERHADAP KASUS

Melihat keluhan pada pasien, muncul rasa penasaran tentang apakah ada hubungan di
mana pasien memiliki keluhan hipertensi dan factor usia tua dengan adanya penurunan
pendengaran disertai gejala tinnitus. Hal ini memunculkan rasa iba saat pasien dianamnesis dan
kesulitan untuk memahami pertanyaan dari pemeriksa dengan mudah.
EVALUASI KASUS

Pada kasus ini memang ada kemungkinan presbikusis yang diderita pasien dikarenakan
factor usia yang telah memasuki fase lanjut usia, ditunjang dengan adanya hipertensi yang
diderita pasien menambahkan peluang terjadinya tinnitus pada pasien ini. Jika penurunan
pendengaran pasien semakin parah maka dapat dipertimbangkan untuk penggunaan alat bantu
dengar. Pasien juga perlu diedukasikan untuk membiasakan diri dengan tinnitus yang dialami
karena merupakan gejala yang permanen mengikuti penurunan fungsi nervus koklear.

PEMBAHASAN

1. Medikolegal

Tindakan pemberian terapi sudah seharusnya memiliki berbagai alternatif, khususnya


apabila terdapat pasien dengan alergi obat. Sehingga tetap dapat menyembuhkan penyakit pada
pasien tanpa menimbulkan penyakit lain. Hal ini dijelaskan dalam profesi kedokteran yang
dikenal dengan 4 prinsip moral utama, yaitu (Sofia, 2020):

1) Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination),
2) Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien;
3) Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau
“above all do no harm”,
4) Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).

Terlihat pada prinsip kedua yaitu mengutamakan tindakan yang ditujukan untuk kebaikan
pasien dilihat dari pemilihan terapi awal pada pasien ini.

2. Keislaman

Selain itu, menimba ilmu memang tidak selamanya akan terus bisa dekat dengan orang
tua. Para orang tua yang memilih menyekolahkan anaknya di pondok memiliki pertimbangan
yang matang untuk mendidik anaknya tidak hanya pada akademik namun juga agamanya. Hal ini
disebutkan juga dalam hadist yang menyatakan menuntut ilmu itu wajib dan walaupun harus ke
ujung dunia.

Al-Baihaiqi juga meriwayatkan hadis kewajiban menuntut ilmu ini dari Anas ra yang
artinya: “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim” (As-Suyuŝi: 317) (Lubis, 2016).

“Abu `Abdillah al-Hafiᶎ memberitakan kepada kami juga Abu al-Hasan Ali bin
Muhammad bin `Uqbah as-Syaibani bahwa Muhammad bin `Ali bin `Affân menceritakan
kepada kami begitu jua Abu Muhammad al-Aşbahani memberitakan bahwa Abu Sa`id bin Ziyad
memberitakan kepada kami bahwa Ja`far bin `Amir al-`Askari berkata Hasan bin `Aţ`iyah
menceritakan dari Abi `Atikah dan diriwayat lain dari Abu Abdillah ia berkata Abu `Atikah
meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwasanya ia berkata : Rasul saw pernah bersabda:
tuntutlah ilmu meskipun di China karena sesungguhnya menuntut ilmu wajib bagi setiap
muslim”. Hadis ini adalah Hadis yang menyerupai Hadis masyhur namun sanadnya ᶁa`if. Hadis
ini walaupun sanadnya da’if atau lemah namun maksud dari walaw bi as-Şîn menunjukkan jarak
yang sangat jauh maksdunya tuntutlah ilmu meskipun harus ke ujung dunia pada kitab Faiᶁul
Qadir dijelaskan bahwa maksud. (Al-Manawi, 1994: 893) (Lubis, 2016).

KESIMPULAN

Ditinjau dari beberapa aspek diatas baik medikolegal maupun keislaman, dokter tidak
diperbolehkan untuk memperburuk kondisi pasien ketika pasien memiliki keluhan yang
permanen dan tidak bisa diobati dengan seluruhnya maka harus diedukasikan dengan baik serta
diberikan obat untuk mengurangi keluhan. Edukasi kepada pasien untuk mengurangi
kekhawatiran pasien karena gejala yang tidak kunjung hilang.

REFERENSI

Darshan, S., & Liji, G. (2019). Perichondritis. Int J Case Rep Images 2019, 10, Page 1, 10(2), 1.
https://doi.org/10.5348/101023Z01SD2019CL
Dhingra, P., & Dhingra, S. (2018). Diseases of Ear, Nose and Throat: & Head and Neck Surgery.
In Self Assessment and Review: ENT (7th ed.). Elsevier.
https://doi.org/10.5005/jp/books/12861_7
Hospital, E. (n.d.). CLINICAL PRACTICE GUIDELINE Perichondritis of the Pinna
Description : How to Assess : Acute Management : Follow up : 2–5.
Lubis, Z. (2016). Kewajiban Belajar. 2, 229–242.
Ramadhan, F., Sahrudin, S., & Ibrahim, K. (2017). Analisis Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis
Kronis Pada Anak Usia 5-11 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari
Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Unsyiah, 2(6), 198127.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. (2012). Buku Ajar Penyakit Ilmu
Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher (6th ed.). BP FKUI.
Sofia. (2020). Kajian Penerapan Etika Dokter Pada Pemberian Pelayanan Kesehatan Di Era
Pandemi COVID-19. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 8(2), 16–25.
Walijee, M. H., Patel, D. C., Brahmabhatt, M. P., & Krishnan, M. M. (2017). Tonsillitis:
Https://Doi.Org/10.1177/1755738017717752, 2014.
https://doi.org/10.1177/1755738017717752

Anda mungkin juga menyukai