Disusun Oleh:
Ekral Delhaldita
R Jlly Rahayu
Rafika Indah Trisuci
Savira Fadilla
Yohana Pestra
Pembimbing :
Ringkasan
Tujuan: terdapat sedikit penelitian baru dari negara dengan pendapatan
menengah kebawah yang menyelidiki dampak otitis media terhadap ketulian pada
anak sekolah.
Hasil: Otitis media terdeteksi pada 172 anak (2.5%), otitis media akut (OMA)
(17%), otitis media dengan efusi (OME) (15%), dan otitis media supuratif kronis
(OMSK) (67%). Secara keseluruhan angka ketulian pada anak sekolah adalah
181/10.000, dimana hampir tiga kali lebih tinggi di pedesaan (273/10.000)
dibandingkan area perkotaan 92,6/10.000. OME menyumbang sebagian besar
gejala tuli ringan, sedangkan OMSK menyumbang sebagian tuli sedang. Terdapat
yang signifikan dari otitis media terhadap kejadian tuli di area pedesaan
(116,2/10.000), dibanding area perkotaan (47,4/10.000), p = 0.002. OM terhadap
disabilitas kehilangan pendengaran ditemukan pada angka 44.2/10.000, sebagian
besar disebabkan karena OMSK (37.1/10.000).
Kesimpulan : Otitis media berkontribusi terhadap 57% kejadian tuli pada anak
sekolah, dan menjadi beban yang signifikan bagi anak sekolah di indonesia.
1
Sebagian besar disabilitas kejadian tuli disebabkan oleh OMSK. Usaha untuk
menemukan anak-anak ini dan memberikan perawatan telinga dan bantuan alat
pendengaran adalah penting.
1. Pendahuluan
Tuli pada anak sekolah memiliki efek yang merugikan pada pencapaian
akademik dan dalam memperoleh keterampilan berbahasa. Penyebab tersering tuli
pada masa anak-anak di negara berkembang adalah radang pada rongga telinga
tengah, yang paling umum adalah otitis media supuratif kronik (OMSK). Tuli
sekunder pada OMSK biasanya disebabkan oleh lingkungan, penurunan tekanan
udara pada telinga tengah, cairan yang tertahan pada rongga telinga tengah,
kekakuan dari gendang telinga dan/atau osikele, hancurnya osikele, atua fibrosis
dan cholesteatoma telinga tengah, gangguan jalur konduksi suara. Pada stadium
selanjutnya, radang dapat menyebabkan telinga bagian dalam bercampur dengan
tuli sensorineural.
WHO memperkirakan pada tahun 2018 sekitar 486 juta orang di dunia telah
megalami tuli dan 34 juta diantaranya adalah anak-anak. Pada anak, 60%
disebabkan oleh penyebab yang dapat dicegah. Lebih dari 90% beban ditanggung
oleh negara berkembang terutama asia tenggara, kawasan pasifif barat dan afrika.
Sebuah studi WHO tentang kejadian tuli dan kehilangan pendengaran di kawasan
negara asia tenggara pada tahun 2007 melaporkan prevalensi kehilangan
pendengaran pada populasi indoensia mencapai 4,2% dan perkiraan jumlah tuna
rungu, termasuk derajat ringan menjadi lebih dari 9 juta untuk semua kelompok
umur. Prevalensi penyakit telinga yang berpotensi menyebabkan tuli pada
populasi indonesia (semua kelompok umur) adalah, OMSK Aktif 3,6%, OMSK
dengan perforasi gendang telinga 0,27%, kehilangan pendengeran berat
kongenital 0,11% dan prebiskusis 4,1%. Studi multicenter kami di 7005 anak
sekolah indonesia umur 6-15 tahun, ditemukan prevalensi OMSK lebih tinggi
secara siginfikan di area pedesaan (2,7%) dibanding area perkotaan (0,7%).
Tujuan dari analisis ini adalah didasarkan atas prevalensi data yang disajikan pada
naskah sebelumnya yaitu: 1) menentukan prevalensi keseluruhan pada 7005 anak
sekolah, 2) mendefinisikan kontribusi otitis media terhadap kejadian tuli pada
2
anak tersebut dan 3) memeriksa prevalensi dari disabilitas otitis media terhadap
anak dengan penderita tuli.
2. Metode studi
Pengaturan studi, pemilihan dan rekrutmen populasi, serta beberapa
metodologi studi telah dijelaskan sebelumnya. Sudah diringkas secara singkat
seperti di bawah ini.
2.1. Situs studi
Enam wilayah studi yang dipilih terdistribusi di seluruh Indonesia: Kota
Palembang dan Kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan (populasi: 7.450.394);
Kota Bandung dan Kabupaten di Provinsi Jawa Barat (populasi: 43.053.732);
Kota Semarang dan Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah (populasi: 32.382.657);
Kota Denpasar dan Kabupaten Abang di Provinsi Bali (populasi: 3.890.757); Kota
Balikpapan, Samarinda serta Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur (populasi:
3.553.143), dan Kota Makasar dengan Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan
(populasi: 8.034.776). Dari setiap lokasi tersebut, telah mendapatkan persetujuan
dari pemerintah Indonesia yaitu dari Kementerian Pendidikan dan Kementerian
Kesehatan untuk melakukan pendekatan ke sekolah ditiap satu perkotaan dan
pedesaan di setiap kabupaten untuk melakukan studi. Daerah perkotaan dan
pedesaan yang menjadi lokasi studi tersebut merupakan penunjukkan dari
pemerintahan Indonesia.
3
masing. Setelah mendapatkan informed consent dari orang tua siswa yang terpilih,
mereka akan diberikan kuesioner.
Pada hari kedua, dokter spesialis THT dan asisten (residen THT), memeriksa
semua siswa yang terpilih atau yang telah menyetujui dan menyelesaikan
kuesioner pada hari sebelumnya. Otoskop pneumatik Welch Allyn (Skaneateles
Falls, NY, USA) digunakan untuk memvisualisasikan dan memeriksa pergerakan
membran timpani, untuk menentukan adanya kelainan membran timpani setelah
pengangkatan serumen.
Karena tingkat kebisingan di sekitar sekolah, kami memilih intensitas ambang
dengar 30 dB untuk pemeriksaan pendengaran. Ruang semi kedap suara
dipersiapkan di area yang paling tenang di sekolah dengan tingkat kebisingan
sekitar <30 dB. Skrining pendengaran dilakukan dengan menggunakan
audiometer Audio Traveler AA222 Interacoustics (Assens, Denmark) dengan
intensitas yang telah ditentukan sebelumnya yaitu sebesar 30 dB melalui konduksi
udara, pada frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 kHz. Jika anak tersebut tidak
dapat mendengar nada 30 dB pada satu frekuensi atau lebih, maka anak tersebut
dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan diagnostik Audiometri.
4
gangguan pendengaran, kami menggunakan kriteria WHO untuk anak-anak:
ringan (16–30 dB HL), sedang (31–60 dB HL), berat (61–80 dB HL), sangat berat
(> 80 dB HL).
Diagnosis kerja otologi termasuk otitis media akut (OMA), otitis media
dengan efusi (OME), otitis media supurasi kronis (OMSK) aktif dan tidak aktif
dan retraksi membran timpani. Perforasi yang kering pada gendang telinga serta
timpanosklerosis termasuk dalam tipe OMSK tidak aktif. Hal ini berpengaruh
dengan jenis dan tingkat tuli yang ditentukan.
Setiap anak yang ditemukan memiliki riwayat OMSK aktif atau penyakit
telinga lainnya dan atau tuli unilateral, serta tuli sensorineural, dirujuk ke
puskesmas setempat atau klinik THT di rumah sakit terdekat untuk konsultasi dan
penatalaksanaan lebih lanjut.
3. Hasil
Sebanyak 7005 anak usia 6 tahun-15 tahun terdaftar, 3563 anak dari
perkotaan dan 3442 anak dari perdesaan (Tabel 1). Tabel 2 menunjukkan jumlah
kasus gangguan pendengaran (tuli) dan angka per 10.000 subjek menurut derajat
tuli, lateralitas telinga, tempat tinggal perkotaan/pedesaan, usia, dan jenis kelamin.
127 total anak (33 dari perkotaan dan 94 dari pedesaan mengalami tuli (181 /
10.000 Tabel 2). Tuli bilateral (N = 103; rate = 146 / 10.000) lebih umum
daripada tuli unilateral (N = 24; rate = 33 / 10.000; perbedaan P <0,00001). Secara
5
keseluruhan anak-anak dari daerah pedesaan memiliki tingkat tuli yang lebih
tinggi daripada mereka yang berasal dari perkotaan (273,1/10.000 anak vs
92,6/10.000 anak, P <0,0001) dan di semua subkelompok usia. Tingkat kecacatan
tuli bilateral adalah 94,2/10.000 secara keseluruhan, dari 66 kasus. Di daerah
pedesaan, tingkat tuli sedang atau lebih tinggi pada laki-laki (253/10,000 dari
N=40 kasus) dan pada perempuan (144/ 10,000 dari N=27 kasus; P=0.021).
Tabel 1
Perhitungan persentase berdasarkan situs, lokasi, jenis kelamin, dan kategori kelompok usia
Sebanyak 172 anak menderita otitis media (2,5% dari 7005 anak sekolah
yang diuji; Tabel 3). Tiga puluh anak mengalami OMSK (17,4%), 26 (15,2%)
mengalami OME, dan 116 anak (67,4%) mengalami OMSK aktif atau tidak aktif.
Dari jumlah tersebut, 71 anak (41,3%) mengalami tuli ringan sampai sedang.
6
Dengan demikian, otitis media berkontribusi terhadap 57% dari 125 kasus tuli
ringan hingga sedang dan 79% (N = 56) tuli terkait otitis media bilateral, yang
lebih umum daripada tuli terkait otitis media unilateral (21%; N = 15) (Tabel 3).
Pada anak dengan OME 10/12 (83%) mengalami tuli ringan, sedangkan pada anak
dengan OMSK 66% (35/53) mengalami tuli sedang (Tabel 3; P = 0,077). Tiga
puluh satu anak mengalami bilateral >30 dB. Anak-anak ini merupakan 10% dari
semua anak dengan otitis media, atau 0,4% dari semua anak sekolah yang dites,
didefinisikan sebagai memiliki tuli yang “melumpuhkan” menggunakan kriteria
WHO.
3.3. Tingkat tingkat pendengaran telinga yang lebih baik dalam kaitannya dengan
penyakit telinga
Melihat tingkat pendengaran telinga yang lebih baik dari semua 172 anak
dengan penyakit telinga (tingkat: 245.5 / 10.000), 57 anak (tingkat: 81,4 / 10.000)
memiliki
Tabel 2
7
Kejadian per 10.000 untuk setiap kategori kelompok usia, tempat tinggal perkotaan / pedesaan, jenis kelamin dan telinga yang terkena
Tabel 3
a Dalam kasus bilateral, tingkat pendengaran telinga yang lebih baik digunakan untuk menentukan tingkat gangguan pendengaran.
Tabel 4
8
Gambar. 1. Tingkat (Interval Keyakinan 95% [CI] per 10.000 subjek berdasarkan kelompok usia dan tingkat gangguan pendengaran (HL)
untuk subjek dengan OMSK
Tuli konduktif ringan atau sedang (Tabel 4). Tuli konduktif sedang lebih umum
daripada tuli konduktif ringan (18,0% dan 15,1% masing-masing; Tabel 4). Hanya
satu anak yang mengalami tuli campuran ringan di satu telinga. Tingkat tuli
terkait otitis media pada anak-anak pedesaan adalah 116,2/10.000 (N = 40; 95%
CI: 80,2, 152,2),
Tabel 5
9
dan secara signifikan lebih tinggi daripada tuli konduktif (Tabel 4). Menariknya,
tidak ada perbedaan perkotaan/pedesaan dalam derajat tuli terkait OME. Ada
cukup banyak anak dengan tuli akibat OMSK untuk mendapatkan perbandingan
terkait usia (Gbr. 1). Perkiraan tuli ringan secara bertahap meningkat menurut
kelompok usia sedangkan tingkat tertinggi tuli sedang ada pada kelompok usia
tertua (13-15 tahun), meskipun interval kepercayaan tumpang tindih untuk semua
perbandingan.
3.4. Tingkat tingkat pendengaran telinga yang lebih buruk dalam kaitannya
dengan penyakit telinga
4. Diskusi
10
hal lain untuk mengatasi kesulitan belajar dan akibat lain dari gangguan
pendengaran.
Hanya ada satu anak dengan tuli yang berhubungan dengan otitis media
media jenis campuran dari daerah pedesaan. Pada tuli yang berat, tidak dapat
disingkirkan kemungkinan adanya penyebab lain seperti infeksi virus.
Tingkat tuli pada anak-anak usia sekolah yaitu usia 6-15 tahun pada
penelitian ini adalah (181 / 10.000), dari jumlah yang diperkirakan berdasarkan
studi WHO SEA 2007 di Indonesia yaitu 410/10.000. Perbedaan yang didapatkan
mungkin terkait dengan metodologi sampling (dimana pada penelitian ini
sampling secara nasional, dan studi WHO dilakukan hanya di Kota Bandung) dan
penelitian ini menggabungkan daerah perkotaan dan
pedesaan, dan fokus pada anak-anak usia sekolah, sedangkan studi WHO
meliputi semua usia dan terutama daerah pedesaan.
Secara global tuli permanen terkait otitis media media telah dilaporkan
memiliki prevalensi 30,8/10.000 penduduk [ 13 ]. Sementara negara-negara
dengan pendapatan perkapita yang tinggi memiliki prevalensi < 2/10.000, Asia
Selatan memiliki prevalensi tertinggi (97.0), diikuti oleh Oceania (51,2), Afrika
sub Sahara Barat, Timur dan Tengah (masing-masing 2.2, 1.95 dan 1.92). Dalam
meta-analisis tersebut, tingkat untuk anak-anak Asia Selatan pada usia 5, dari
60,2 tuli pada telinga, berada di antara tingkat perkotaan (47,7) dan pedesaan
(116,2) pada anak-anak berusia 6-15 tahun.
Meskipun sulit untuk membuat perbandingan antara studi-studi ini karena
perbedaan pengelompokan usia, kondisi pengujian, dan kriteria, ini hanyalah
konfirmasi akan pentingnya upaya kesehatan masyarakat untuk skrining dan
pengelolaan penyakit telinga dan tuli selama usia pra-sekolah dan sekolah..
4.2. Perbandingan dengan studi Asia lainnya
Sebuah studi pada tahun 1991 pada 1307 anak-anak Malaysia yang berusia 7
-12 tahun menemukan bahwa 5,81%
anak gagal dalam tes skrining pendengaran , tetapi pemeriksaan audiometri tidak
dilakukan. Dalam sebuah penelitian pada populasi pediatrik pada tahun 1997
pada populasi anak dari usia < 16 di Thailand Utara, tuli sedang didapatkan
11
pada 4% anak. Sebuah studi pada tahun 1996 yang dilakukan di daerah pedesaan
Tamil Nadu, India Selatan , dari 284 sekolah anak-anak berusia 6-10
tahun, tingkat tuli berat yang sangat tinggi (> 40 db) dengan prevalensi 11,9%,
yang sebagian besar (10,9%) terkait dengan otitis media ( CSOM dan OME).
Sebaliknya, studi lain yang juga dilakukan di daerah pedesaan India Selatan
pada 855 anak berusia 5-7 tahun (di daerah yang
berbeda - Karnataka), menunjukkan hasil prevalensi tuli yang sangat tinggi pada
anak-anak yaitu sebesar 16,5%, namun sebagian besar berhubungan
dengan serumen dan hanya 1 anak yang terkait dengan otitis media. Semua studi
ini, (kecuali studi dari Kar-Nataka) memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari
studi ini. Terdapat beberapa alasan untuk perbedaan
ini: perbedaan kriteria untuk penilaian dari tingkat keparahan tuli, (penelitian
ini menggunakankriteria WHO), waktu dari studi (hampir 20 tahun sebelumnya),
dan sebagian besar dari studi di pedesaan. Perbedaan akses ke pelayanan
kesehatan pada daerah pedesaan dua dekade yang
lalu mungkin menjelaskan perbedaan hasil, dan mungkin adanya perbedaan
mikrobiologi yang dibahas kemudian.
4.3. Daerah pedesaan dan daerah perkotaan
Kami menemukan bahwa tingkat tuli pada anak di daerah pedesaan secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan / 10.000 anak dari
(masing-masing 273,1 versus 92,6; Tabel 2 ). Hal ini dapat terlihat dari tuli
terkait otitis media (116,2 vs 47,7 masing-masing) hampir setengah dari seluruh
tuli. (63,9 vs 25,3 masing-masing; Tabel 4 ). Jumlah yang signifikan lebih tinggi
di daerah pedesaan dari tuli terkait otitis media dalam penelitian ini, dapat
dikaitkan dengan kurangnya tingkat kesadaran akan kesehatan, kebersihan
pribadi buruk peningkatan asap dalam ruangan paparan (lebih 70% dari orang
tua di pedesaan Indonesia merokok di rumah) dan keterlambatan pencarian
perawatan kesehatan di antara orang-orang miskin yang tinggal di daerah
pedesaan secara keseluruhan.
Temuan dari sebuah studi di Israel, menunjukkan bahwa campuran dari
Streptococcus pneumonia, (S-OM) lebih sering terjadi pada populasi orang
12
Yahudi. (M-OM) cenderung untuk terjadi pada anak-anak dengan tingkat
kemiskinan yang tinggi, pada tempat tinggal yang padat dan hidup di daerah
pedesaan. M-OM biasanya berhubungan dengan rekurensi dan kronis, dengan
serotipe pneumokokus biasanya dibawa oleh anak yang sehat., sedangkan S-OM
dihubungkan dengan serotipe yang lebih berpotensi menjadi penyakit. Dapatkah
perbedaan gejala sisa pada pasien dengan gangguan dan infeksi telinga pada
daerah pedesaan dan perkotaan terlihat dari penelitian ini dan penelitian lain di
Asia? Infeksi pada masa awal kehidupan pada anak Bedouin, Israel mungkin
dapat menggambarkan apa yang terjadi pada daerah pedesaan yang berhubungan
dengan kemiskinan. Kami berspekulasi bahwa infeksi pada masa awal kehidupan
dapat menyebabkan rekurensi dan kronisitas. Belum ada penelitian mengenai
telinga yang dilakukan pada anak usia muda di Indonesia.
Sementara itu terbukti, bahwa pemberian baik 10, atau 13 valent
pneumococcal vaksin mengurangi angka otitis media media dan otitis
media media berulang yang di negara industri.
4.4 Keterbatasan
Ada beberapa batasan dalam penelitian ini. Diagnosis penyakit telinga
tengah secara detil di lapangan, dengan menggunakan otoscopy dan pneumatic
oto- scopy, tidak selalu jelas dan membutuhkan keahlian. Pelatihan peneliti
lapangan merupakan faktor penting dalam penelitian sehingga semua peneliti
dalam penelitian multisenter ini, menggunakan kriteria diagnostik yang
konsisten. Karena itu tidak mungkin untuk memiliki diagnosa mikroskopis dari
membran timpani sebagai pemeriksaan yang dilakukan di sekolah-
sekolah, penelitian ini terbatas pada diagnosis umum utama OMSK, AOM dan
OME. Setiap audiometer dan timpanometer juga dirawat dan dikalibrasi dengan
baik, dan headphone peredam bising digunakan untuk pemeriksaan audiometri.
Dalam melakukan pemeriksaan pendengaran, kebisingan lingkungan di
sekolah bervariasi dan dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
pendengaran. Untuk
mengkompensasi hal ini, ambient kebisingan itu diukur dan harus untuk menjadi
kurang dari 30 dB setelah studi percontohan menunjukkan perbedaan 10-20
13
ambang batas dB antara skrining ruang di pusat audiologi. Ini dilakukan untuk
mengurangi positif palsu; tetapi sebaliknya, kami mungkin melewatkan
beberapa kasus tuli ringan .
tuli terkait otitis media media dapat bervariasi, tergantung pada stadium
infeksi telinga tengah dan terapi yang diberikan, yang tidak dapat kami
kendalikan. Akhirnya pembagian “pedesaan” dan “perkotaan” tidak selalu jelas,
meskipun kami menggunakan Klasifikasi Pemerintah Indonesia untuk Wilayah
Perdesaan / perkotaan dan kami melakukan kunjungan awal ke semua sekolah
untuk memastikan klasifikasi tersebut.
5. Kesimpulan
Penemuan utama dari penelitian ini adalah bahwa otoitis media berkaitan
dengan kehilangan pendengaran yang menyebabkan beban penyakit yang
signifikan pada anak indonesia, sekitar setengahnya adalah disabilitas, konduktif
dan sebagian besar bilateral. Terdapat angka yang lebih tinggi secara signifikan
antara area pedesaan daripada perkotaan. Namun, mengingat beban kehilangan
pendengaran pada anak sekolah di Negara dengan penghasilan menengah
kebawah diilustrasikan oleh penelitian kami, kebijakan kesehatan masyarakat
yang efektif untuk deteksi dini dan manajemen kehilangna pendengaran perlu di
anjurkan.
Daftar Pustaka
14
1. J.L. Culbertson, L.E. Gilbert, Children with unilateral sensorineural hearing
loss: cognitive, academic, and social development, Ear Hear. 7 (1) (1986) 38–
42.
2. J. Acuin, World Health Organization. Dept. Of Child and Adolescent Health
and Development., WHO Programme for the Prevention of Blindness and
Deafness. Chronic Suppurative Otitis Media : Burden of Illness and
Management Options, World Health Organization, Geneve, 2004 83 pp. p.
3. [C.D. Bluestone, Epidemiology and pathogenesis of chronic suppurative otitis
media: implications for prevention and treatment, Int. J. Pediatr.
Otorhinolaryngol. 42 (3) (1998) 207–223.
4. A. Vergison, R. Dagan, A. Arguedas, J. Bonhoeffer, R. Cohen, I. Dhooge, et
al., Otitis media and its consequences: beyond the earache, Lancet Infect. Dis.
10 (3) (2010) 195–203.
5. A.G. Schilder, T. Chonmaitree, A.W. Cripps, R.M. Rosenfeld, M.L.
Casselbrant, M.P. Haggard, et al., Otitis media, Nature reviews Disease
primers 2 (2016) 16063.
6. WHO. Deafness and Hearing Loss Geneva, WHO, 2018 [Available from:
http:// www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/deafness-and-hearing-loss.
7. WHO. Situation Review and Update on Deafness, Hearing Loss and
Intervention Programmes: Proposed Plans of Actions for Prevention and
Alleviation of Hearing Impairment in Countries of the South-East Asia
Region Geneva, World Health Organization, 2007 [Available from:
http://apps.searo.who.int/pds_docs/B3177.pdf.
8. R. Anggraeni, W.W. Hartanto, B. Djelantik, A. Ghanie, D.S. Utama, E.P.
Setiawan, et al., Otitis media in Indonesian urban and rural school children,
Pediatr. Infect. Dis. J. 33 (10) (2014) 1010–1015.
9. J. Jerger, Clinical experience with impedance audiometry, Arch. Otolaryngol.
92 (4) (1970) 311–324.
10. WHO. Grades of Hearing Impairment: World Health Organization, (2018)
[Available from:
http://www.who.int/deafness/hearing_impairment_grades/en/.
15
11. B.A. Rosner, Fundamentals of Biostatistics, fifth ed., Duxbury Thompson
Learning, Pacific Grove, CA, USA, 2000.
12. E. Pearson, Biometrika Tables for Statisticians, Cambridge University Press,
Cambridge, Mass USA, 1956.
13. L. Monasta, L. Ronfani, F. Marchetti, M. Montico, L. Vecchi Brumatti, A.
Bavcar, et al., Burden of disease caused by otitis media: systematic review
and global estimates, PLoS One 7 (4) (2012) e36226.
14. S. Elango, G.N. Purohit, M. Hashim, R. Hilmi, Hearing loss and ear disorders
in Malaysian school children, Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 22 (1) (1991)
75–80.
15. S. Prasansuk, A. Na Nakorn, C. Siriyananda, An Ear and Hearing Survey in
Northeast Thailand by the Bangkok Otological Center, Siriraj Hospital, vol.
51, Mahidol University. Adv Otorhinolaryngol, 1997, pp. 12–28.
16. A. Jacob, V. Rupa, A. Job, A. Joseph, Hearing impairment and otitis media in
a rural primary school in south India, Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 39 (2)
(1997) 133-138.
17. R.S. Rao, M.A. Subramanyam, N.S. Nair, B. Rajashekhar, Hearing
impairment and ear diseases among children of school entry age in rural
South India, Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 64 (2) (2002) 105–110.
18. E.A. Simoes, K. Mutyara, S. Soh, D. Agustian, M.L. Hibberd, C.B.
Kartasasmita, The epidemiology of respiratory syncytial virus lower
respiratory tract infections in children less than 5 years of age in Indonesia,
Pediatr. Infect. Dis. J. 30 (9) (2011) 778–784.
19. R. Dagan, E. Leibovitz, D. Greenberg, L. Bakaletz, N. Givon-Lavi, Mixed
pneumococcal- nontypeable Haemophilus influenzae otitis media is a distinct
clinical entity with unique epidemiologic characteristics and pneumococcal
serotype distribution, J. Infect. Dis. 208 (7) (2013) 1152–1160.
20. R. Dagan, S. Pelton, L. Bakaletz, R. Cohen, Prevention of early episodes of
otitis media by pneumococcal vaccines might reduce progression to complex
disease, Lancet Infect. Dis. 16 (4) (2016) 480–492.
21. A.J. Leach, C. Wigger, K. Hare, V. Hampton, J. Beissbarth, R. Andrews, et
al., Reduced middle ear infection with non-typeable Haemophilus influenzae,
16
but not Streptococcus pneumoniae, after transition to 10-valent pneumococcal
non-typeable H. influenzae protein D conjugate vaccine, BMC Pediatr. 15
(2015) 162.
22. A.L. Sartori, R. Minamisava, A.L. Bierrenbach, C.M. Toscano, E.T. Afonso,
O.L. Morais-Neto, et al., Reduction in all-cause otitis media-related
outpatient visits in children after PCV10 introduction in Brazil, PLoS One 12
(6) (2017) e0179222.
23. S. Sigurdsson, E. Eythorsson, B. Hrafnkelsson, H. Erlendsdottir, K.G.
Kristinsson, A. Haraldsson, Reduction in all-cause acute otitis media in
children<3 Years of age in primary care following vaccination with 10-valent
pneumococcal Haemophilus influenzae protein-D conjugate vaccine: a
whole-population study, Clin. Infect. Dis. 67 (8) (2018) 1213–1219.
17