Anda di halaman 1dari 10

TELAAH JURNAL

TULI SENSORINEURAL PADA PASIEN DENGAN


OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS: APAKAH ADA
HUBUNGAN BERMAKNA?

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan

di RSUD RAA Soewondo Pati

Pembimbing:

dr. Ardhian Noor Wicaksono, SpTHT-KL


dr. Siti Nurhikmah, SpTHT-KL, M.Kes

Penyusun:

Wichita Febrynice Widjaja - 406161049

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RAA SOEWONDO PATI
PERIODE 21 AGUSTUS – 23 SEPTEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2017
Tuli sensorineural pada pasien dengan otitis media supuratif kronis:
Apakah ada hubungan bermakna?

Amin Amali1, Nima Hosseinzadeh2, Shahram Samadi3, Shirin Nasiri2, Jayran Zebardast4
February 2017, Volume: 9, Issue: 2, Pages: 3823-3827, DOI:http://dx.doi.org/10.19082/3823

Abstrak

Pendahuluan – Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh otitis media supuratif kronis
(OMSK) sering berupa tuli konduktif, namun penelitian-penelitian terbaru menemukan
komponen sensorineural pada pasien-pasien OMSK dengan gangguan pendengaran, sehingga
menunjukkan adanya kerusakan telinga dalam. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menentukan hubungan antara OMSK dan tuli sensorineural atau sensorineural hearing loss
(SNHL) dan menilai pengaruh dari usia pasien, durasi penyakit, dan adanya kolesteatoma dan
erosi ossikular terhadap derajat SNHL.
Metode – Pada studi retrospektif ini, digunakan rekam medis dari 119 pasien yang telah
melalui operasi. Tujuh puluh pasien memenuhi kriteria inklusi berupa otorea unilateral,
telinga kontralateral yang normal pada otoskopi, dan usia antara 10-65 tahun tanpa riwayat
cedera kepala atau operasi telinga atau turunan gangguan pendengaran. Ambang batas
konduksi tulang atau bone conduction (BC) untuk telinga yang terkena dan telinga
kontralateral diukur pada frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Data diolah menggunakan
SPSS 13 dengan independent-samples t-test, uji korelasi Pearson, dan analisis twotailed. p ≤
0.05 dianggap bermakna secara statistik.
Hasil – Ambang batas BC yang lebih tinggi secara signifikan ditemukan pada telinga yang
terkena bila dibandingkan dengan telinga normal pada setiap frekuensi (p < 0.001), yang
meningkat seiring dengan peningkatan frekuensi (7.00 dB pada 500 Hz dan 9.71 dB pada
4000 Hz). Terdapat hubungan bermakna antara usia dengan derajat SNHL (r = 0.422, p <
0.001) namun tidak didapatkan hubungan bermakna dengan durasi penyakit (r = 0.119, p >
0.05). Tidak didapatkan hubungan antara adanya kolesteatoma atau erosi ossikular dengan
SNHL (p > 0.05).
Kesimpulan – Temuan-temuan ini menunjukan bahwa OMSK dapat dihubungkan dengan
beberapa derajat dari SNHL dan kerusakan koklear, dan frekuensi tinggi yang lebih
terpengaruh. Penuaan dapat berperan sebagai faktor pencetus dalam proses patologis.

Kata-kata kunci: Tuli, Sensorineural, Otitis media, Supuratif, Konduksi tulang.


1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan peradangan kronis pada telinga tengah
disertai sekret yang keluar melalui membran timpani yang mengalami perforasi. OMSK
merupakan infeksi kronis yang banyak terjadi pada anak-anak1 dan dianggap sebagai
penyebab tersering tuli didapat2. Tuli merupakan masalah kesehatan masyarakat pada
negara maju dan berkembang. Di Amerika Serikat, 48,1 juta atau 20,3% dari populasi
berusia diatas 12 tahun mengalami tuli unilateral atau bilateral3. Tuli menyebabkan
gangguan perkembangan berbahasa dan kemampuan berbicara pada anak-anak dan
kualitas hidup yang buruk dan masalah psikologis pada dewasa2,4.

1.2. Pernyataan Masalah


Perforasi membran timpani dan perubahan rantai ossikular sering menyebabkan tuli
konduktif pada OMSK5. Sejumlah penelitian terbaru melaporkan adanya tambahan tuli
sensorineural (SNHL) pada pasien-pasien ini, yang menunjukkan terganggunya fungsi
koklear5-7. Kaur dkk8 dan De Azevedo dkk9 menemukan 24% dan 13% kejadian SNHL
pada pasien OMSK. Beberapa penelitian juga meneliti hubungan antara SNHL dengan
usia pasien, durasi penyakit, dan adanya kolesteatoma dan erosi ossikular. Kolo dkk10
menemukan derajat SNHL yang bermakna pada OMSK, namun usia pasien dan durasi
penyakit tidak memiliki korelasi. Raqib11 dan Kaur8 mengamati hubungan bermakna
antara SNHL dan durasi penyakit.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara OMSK dan SNHL pada
pasien yang menjalani operasi di rumah sakit universitas rujukan tersier di Tehran, Iran
antara 2011 hingga 2013. Penulis juga bertujuan menilai hubungan antara SNHL dengan
usia pasien, durasi penyakit, dan adanya kolesteatoma dan erosi ossikular dengan derajat
SNHL.

2. Metode Penelitian

2.1. Desain Penelitian dan Sampel Penelitian


Dilakukan studi potong lintang mulai April 2011 hingga Maret 2013 di Tehran, Iran.
Dilakukan evaluasi rekam medis pasien yang menjalani operasi telinga tengah di Rumah
Sakit Valiasr, bagian dari Rumah Sakit Imam Khomeini. Pasien diambil berdasarkan
kriteria inklusi berikut: 1) terdapat otorea unilateral yang berlangsung setidaknya 3 bulan
dan terdapat perforasi membran timpani pada pemeriksaan otoskopi; 2) membran
timpani normal pada pemeriksaan otoskopi telinga kontralateral; 3) pasien dengan
kisaran usia 10-65 tahun. Pasien masuk kriteria eksklusi bila memiliki riwayat cedera
kepala atau perforasi membran timpani akibat trauma, meningoensefalitis, pajanan kronis
terhadap bising, riwayat operasi telinga sebelumnya, riwayat terapi obat yang bersifat
ototoksik, dan riwayat tuli pada keluarga baik kongenital atau didapat.

2.2. Alat Pengukuran dan Pengumpulan Data


Variabel demografi, durasi penyakit, gejala utama, dan hasil audiometri nada murni12
didapatkan dari rekam medis pasien oleh dokter spesialis telinga, hidung, dan
tenggorokan (THT) yang berkualitas dan diisi dalam format data yang valid dan reliable.
Untuk menentukan adanya kolesteatoma dan erosi ossikular, penulis menilai laporan
operasi dan observasi langsung dari dokter spesialis bedah. Ambang dengar konduksi
tulang (BC) untuk telinga yang sakit maupun telinga kontralateral pada frekuensi 500,
1000, 2000, dan 4000 Hz diambil untuk menentukan SNHL.

2.3. Konsiderasi Etikal


Dewan peninjau dari universitas penulis menyetujui penelitian ini dan aspek-aspek etika
penelitian (nomor registrasi: 21853). Informasi mengenai pasien selama dan setelah
penelitian dirahasiakan.

2.4. Analisis Statistik


Analisis data diolah menggunakan SPSS 13 (SPSS Inc., Chicago, Illinois, Amerika
Serikat). Independent-samples t-test digunakan untuk menilai perbedaan antara ambang
BC telinga yang sakit dan telinga kontralateral yang normal. Uji korelasi Pearson
digunakan untuk menentukan hubungan antara usia, durasi penyakit, dan derajat SNHL.
Analisis two-tailed diterapkan untuk semua uji-uji tersebut, dan p ≤ 0.05 dianggap
bermakna secara statistik.

3. Hasil
Telah ditinjau sebanyak 119 rekam medis pasien, dan hanya 88 pasien yang memenuhi
kriteria inklusi, lalu 12 pasien dieksklusi karena memiliki riwayat operasi telinga
sebelumnya, enam pasien memiliki riwayat trauma, riwayat tuli pada keluarga, dan data
rekam medis tidak lengkap. Tujuh puluh pasien, berupa 36 perempuan (51,4%) dan 34
laki-laki (48,6%) dengan rata-rata usia ± SD 37.9±15 tahun (berkisar dari 11 hingga 65
tahun), dipilih untuk analisis. Rata-rata durasi penyakit ± SD 6.5±7.06 tahun berkisar dari
3 bulan hingga 30 tahun. Gejala yang paling umum dialami pasien adalah gangguan
pendengaran (94,3%), otorea (81,4%), tinnitus (37,1%), otalgia (27,1%), dan vertigo
(12,9%). Rata-rata ambang BC pada telinga yang sakit adalah 21,41 dB (SD = 15.95), dan
13.21 dB (SD = 10.29) pada telinga kontralateral yang normal (p < 0.001). Tabel 1
menunjukkan rata-rata ambang BC pada telinga sakit dan telinga normal disesuaikan
dengan frekuensi-frekuensi (500, 1000, 2000, dan 4000 Hz). Didapatkan ambang yang
lebih tinggi pada telinga yang sakit dibandingkan dengan telinga normal pada tiap
frekuensi dan semuanya bermakna secara statistik (p < 0.001). Perbedaan rata-rata
ambang BC antara telinga yang sakit dengan telinga normal berkisar mulai 7.00 hingga
9.71 dB yang meningkat seiring peningkatan frekuensi. Hubungan yang signifikan antara
usia pasien dengan derajat SNHL dilihat pada frekuensi (r = 0.295, p = 0.013; r = 0.398, p
= 0.001; r = 0.287, p = 0.016; r = 0.497, p < 0.001 untuk frekuensi 500, 1000, 2000 dan
4000. r = 0.422, p < 0.001 untuk rata-rata dari keseluruhan). Walaupun hubungan antara
durasi penyakit dan derajat SNHL juga diteliti, namun secara statistik tidak ditemukan
adanya hubungan yang bermakna (r = 0.041, p > 0.05; r = 0.081, p > 0.05, r = 0.126, p >
0.05; r = 0.161, p > 0.05 untuk frekuensi 500, 1000, 2000, dan 400. r = 0.119, p > 0.05
untuk rata-rata dari keseluruhan). Delapan pasien (11,4%) memiliki kolesteatoma pada
laporan operasi. Tabel 2 menunjukkan perbedaan ambang BC antara telinga yang sakit
dan telinga yang normal berdasarkan adanya kolesteatoma. Tidak ditemukan adanya
perbedaan yang bermakna antara telinga dengan atau tanpa kolesteatoma pada semua
frekuensi (p > 0.05). Erosi ossikula didapatkan pada 13 pasien (18,6%). Tabel 3
menunjukkan pembagian telinga yang sakit berdasarkan ada tidaknya erosi ossikular.
Tidak ditemukan hasil yang bermakna pada perbedaan rata-rata ambang BC antara telinga
dengan atau tanpa kolesteatoma yang diuji pada semua frekuensi (p > 0.05).

Tabel 1. Rata-rata ambang konduksi tulang pada telinga sakit dan telinga normal
Frekuensi Ambang konduksi tulang
p-value
(Hz) Telinga sakit Telinga normal
a
500 17.57 ± 13.93 10.57 ± 9.07 <0.001
1000 18.36 ± 16.30 10.81 ± 9.96 <0.001
2000 21.71 ± 16.92 13.21 ± 12.10 <0.001
4000 28.00 ± 21.42 18.29 ± 14.77 <0.001
a
Mean ± Standard Deviation
Tabel 2. Perbedaan rata-rata ambang BC antara telinga berdasarkan ada tidaknya
kolesteatoma
Frekuensi Perbedaan rata-rata ambang BC
p-value
(Hz) Tanpa kolesteatoma (n=62) Dengan kolesteatoma (n=8)
500 7.34 4.37 0.489
1000 8.11 3.12 0.286
2000 8.63 7.5 0.815
4000 10.24 5.62 0.418

Tabel 3. Perbedaan rata-rata ambang BC antara telinga berdasarkan ada tidaknya


erosi ossikular
Frekuensi Perbedaan rata-rata ambang BC
p-value
(Hz) Tanpa erosi ossikular (n=57) Dengan erosi ossikular (n=8)
500 7.35 5.38 0.572
1000 7.63 7.15 0.901
2000 8.68 7.69 0.801
4000 10.35 6.92 0.463

4. Pembahasan
Walaupun beberapa penelitian telah mengemukakan hubungan antara OMSK dan SNHL,
konsensus mengenai kepentingannya masih kurang. Pada penelitian ini, penulis meneliti
rekam medis pasien OMSK untuk mengevaluasi hubungan antara SNHL dan OMSK,
usia, durasi otorea, adanya kolesteatoma dan erosi ossikular. Peningkatan bermakna
ditemukan pada ambang BC telinga yang sakit dibandingkan dengan telinga yang sehat
melalui frekuensi-frekuensi bicara (500, 1000, 2000, dan 4000 Hz). Terdapat perbedaan
yang lebih besar pada frekuensi tinggi dibandingkan pada frekuensi rendah (7.00 dB pada
500 Hz meningkat menjadi 9.71 dB pada 4000 Hz). Temuan ini serupa dengan penelitian
Noordzij dkk.13 dan Levine dkk.14. Pada penelitian serupa, MacAndie dan O’Reilly6
menemukan derajat SNHL yang signifikan pada telinga sakit, yang cenderung meningkat
pada frekuensi tinggi. Temuan ini mendukung hipotesis yang mengemukakan peradangan
telinga tengah dapat mengubah permeabilitas membran tingkap bundar, sehingga sisa-sisa
bakteri seperti endotoksin dapat melewatinya dan menyebabkan disfungsi telinga dalam,
khususnya pada frekuensi tinggi yang secara anatomis terletak dekat dengan tingkap
bundar15,16. Hubungan langsung dan bermakna kuat dilihat antara usia pasien dan derajat
SNHL (r = 0.422, p < 0.001). Redaelli dkk.17 dan Vartiainen18 juga melaporkan temuan
serupa. Pasien usia tua tampak lebih rentan terhadap dampak peradangan telinga tengah
pada fungsi koklea, dan ini dapat memperkuat gangguan pendengaran akibat penuaan.
Tuli pada geriatri atau age-related hearing loss (ARHL) atau presbikusis merupakan
salah satu disabilitas paling sering pada lansia, yang mengenai sekitar 27.6% individu
berusia antara 65 hingga 79 tahun dan 36.5% pada yang berusia 80 tahun keatas19. Untuk
menurunkan dampak ARHL, penulis mengeksklusi pasien yang berusia diatas 65 tahun
dan dianggap rata-rata ambang BC berbeda untuk analisis karena presbikusis sering
menyebabkan gangguan pendengaran bilateral dan simetris. Tidak ada hubungan
bermakna antara durasi otorea dan derajat SNHL (r = 0.119, p > 0.05). Temuan ini
konsisten dengan temuan beberapa penelitian6,10,13. Sebaliknya, Papp20 menemukan
bahwa ambang konduksi tulang pada frekeuensi bicara maupun pada 4 kHz meningkat
bertahap menurut durasi OMSK. Pada penelitian dengan metode serupa, SNHL
meningkat secara progresif seiring dengan meningkatnya durasi OMSK8.
Perbandingan antara telinga dengan dan tanpa kolesteatoma menunjukkan hubungan tidak
bermakna antara adanya kolesteatoma dengan SNHL; namun, hanya ada delapan pasien
dengan kolesteatoma dan jumlah tersebut mungkin tidak cukup untuk menilai hubungan
tersebut. Temuan ini serupa dengan penelitian MacAndie6 dan de Azevedo9. Walaupun
jumlah dan proporsi pasien OMSK dengan kolesteatoma pada penelitian mereka lebih
besar dibandingkan dengan pada penelitian ini, mereka tidak menemukan perbedaan
SNHL antara pasien dengan atau tanpa kolesteatoma. Penelitian ini tidak menunjukkan
adanya hubungan bermakna antara erosi ossikular dan keparahan SNHL (p > 0.05),
namun Levine,dkk14 menemukan hubungan bermakna antara erosi ossikular dan SNHL.
Penulis menggunakan kriteria yang ketat untuk mengurangi dampak dari faktor perancu,
namun penulis tidak dapat mengeksklusi pasien yang menggunakan antibiotik topikal
yang bersifat ototoksik. Pengobatan seperti aminoglikosida topikal secara umum
digunakan sebagai pengobatan otitis, dan hampir semua pasien menggunakannya sebelum
menjalani operasi telinga. Masih terdapat perdebatan mengenai toksisitas dan efek dari
obat tersebut terhadap fungsi koklea. Pada penelitian yang dilakukan Lundy dan Graham
mengenai toksisitas pengobatan ototopikal, hanya 3,4% dari 2235 dokter spesialis THT
yang melaporkan kerusakan telinga dalam yang ireversibel. 80% responden juga
menyebutkan bahwa resiko ototoksisitas dari otitis media lebih besar dibandingkan
dengan penggunaan preparat ototopikal21 Browning,dkk22 menggunakan gentamicin
dalam penelitian mereka terhadap orang dewasa dengan OMSK dan tidak menemukan
bukti kerusakan ototoksik telinga dalam. Perbedaan yang ditemukan pada ambang BC
antara telinga yang sakit dan telinga normal dapat dikatakan bermakna namun kecil.
Perbedaan ini hanya menunjukkan perubahan audiometri dan mungkin memiliki
pengaruh yang tidak berarti terhadap pendengaran pasien bila dibandingkan dengan
perubahan pada membran timpani dan rantai ossikular. Diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk menguraikan pokok ini. Sebagai tambahan, efek Carhart perlu dipertimbangkan
ketika berhubungan dengan ambang konduksi tulang pada telinga yang mengalami
peradangan kronis. Pada otitis media kronis, oklusi mekanik dari jendela karena
granulasi, kolesteatoma dan pus, atau kekakuan rantai ossikular dapat menyebabkan
hilangnya konduksi tulang23.

5. Kesimpulan
Ditemukan adanya hubungan bermakna antara SNHL dan OMSK pada penelitian ini.
Perbedaan pada ambang BC meningkat seiring dengan peningkatan frekuensi. Usia
pasien secara signifikan berhubungan dengan derajat SNHL, namun tidak ada hubungan
bermakna antara SNHL dengan durasi penyakit dan adanya kolesteatoma dan erosi
ossikular. Walaupun temuan-temuan ini menunjukan kerusakan koklear yang signifikan
pada audiometri, relevansi klinis perlu dievaluasi pada penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Verhoeff M, van der Veen EL, Rovers MM, Sanders EA, Schilder AG. Chronic
suppurative otitis media: a review. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2006; 70(1): 1-12. doi:
10.1016/j.ijporl.2005.08.021. PMID: 16198004.
2. Jensen RG, Koch A, Homoe P. The risk of hearing loss in a population with a high
prevalence of chronic suppurative otitis media. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2013;
77(9): 1530-5. doi: 10.1016/j.ijporl.2013.06.025. PMID: 23906989.
3. Lin FR, Niparko JK, Ferrucci L. Hearing loss prevalence in the United States. Arch
Intern Med. 2011; 171(20): 1851-2. doi: 10.1001/archinternmed.2011.506. PMID:
22083573, PMCID: PMC3564588.
4. Bakir S, Kinis V, Bez Y, Gun R, Yorgancilar E, Ozbay M, et al. Mental health and
quality of life in patients with chronic otitis media. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2013;
270(2): 521-6. doi: 10.1007/s00405012-2031-6. PMID: 22566178.
5. da Costa SS, Rosito LP, Dornelles C. Sensorineural hearing loss in patients with chronic
otitis media. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2009; 266(2): 221-4. doi: 10.1007/s00405-008-
0739-0. PMID: 18629531.
6. MacAndie C, O'Reilly BF. Sensorineural hearing loss in chronic otitis media. Clin
Otolaryngol Allied Sci. 1999; 24(3): 220-2. PMID: 10384849.
7. Paparella MM, Morizono T, Le CT, Mancini F, Sipilä P, Choo YB, et al. Sensorineural
hearing loss in otitis media. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1984; 93(6 Pt 1): 623-9. PMID:
6508134.
8. Kaur K, Sonkhya N, Bapna AS. Chronic suppurative otitis media and sensorineural
hearing loss: Is there a correlation? Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2003; 55(1):
21-4. doi: 10.1007/BF02968747. PMID: 23119929, PMCID: PMC3450943.
9. de Azevedo AF, Pinto DC, de Souza NJ, Greco DB, Goncalves DU. Sensorineural
hearing loss in chronic suppurative otitis media with and without cholesteatoma. Braz J
Otorhinolaryngol. 2007; 73(5): 671-4. PMID: 18094809.
10. Kolo ES, Salisu AD, Yaro AM, Nwaorgu OG. Sensorineural hearing loss in patients with
chronic suppurative otitis media. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2012; 64(1): 59-
62. doi: 10.1007/s12070011-0251-5. PMID: 23449378, PMCID: PMC3244579.
11. Raquib A, Taous A, Haque R. Sensorineural component in chronic suppurative otitis
media. Bangladesh Journal of Otorhinolaryngology. 2009; 15(2): 69-74. doi:
10.3329/bjo.v15i2.5060.
12. Varshney S, Nangia A, Bist SS, Singh RK, Gupta N, Bhagat S. Ossicular chain status in
chronic suppurative otitis media in adults. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2010;
62(4): 421-6. doi: 10.1007/s12070-010-0116-3. PMID: 22319706, PMCID:
PMC3266081.
13. Noordzij JP, Dodson EE, Ruth RA, Arts HA, Lambert PR. Chronic otitis media and
sensorineural hearing loss: is there a clinically significant relation? Am J Otol. 1995;
16(4): 420-3. PMID: 8588640.
14. Levine BA, Shelton C, Berliner KI, Sheehy JL. Sensorineural loss in chronic otitis
media. Is it clinically significant? Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1989; 115(7): 814-
6. PMID: 2736092.
15. Spandow O, Anniko M, Hellstrom S. Inner ear disturbances following inoculation of
endotoxin into the middle ear. Acta Otolaryngol. 1989; 107(1-2): 90-6. PMID: 2648747.
16. Goycoolea MV, Paparella MM, Juhn SK, Carpenter AM. Oval and round window
changes in otitis media. Potential pathways between middle and inner ear. Laryngoscope.
1980; 90(8 Pt 1): 1387-91. PMID: 6967546.
17. Redaelli de Zinis LO, Campovecchi C, Parrinello G, Antonelli AR. Predisposing factors
for inner ear hearing loss association with chronic otitis media. Int J Audiol. 2005;
44(10): 593-8. PMID: 16315450.
18. Vartiainen E, Vartiainen J. Age and hearing function in patients with chronic otitis
media. J Otolaryngol. 1995; 24(6): 336-9. PMID: 8699598.
19. Caban AJ, Lee DJ, Gomez-Marin O, Lam BL, Zheng DD. Prevalence of concurrent
hearing and visual impairment in US adults: The National Health Interview Survey,
1997-2002. Am J Public Health. 2005; 95(11): 1940-2. doi: 10.2105/AJPH.2004.056671.
PMID: 16195516, PMCID: PMC1449463.
20. Papp Z, Rezes S, Jokay I, Sziklai I. Sensorineural hearing loss in chronic otitis media.
Otol Neurotol. 2003; 24(2): 141-4. PMID: 12621323.
21. Lundy LB, Graham MD. Ototoxicity and ototopical medications: a survey of
otolaryngologists. Am J Otol. 1993; 14(2): 141-6. PMID: 8503487.
22. Browning GG, Gatehouse S, Calder IT. Medical management of active chronic otitis
media: a controlled study. J Laryngol Otol. 1988; 102(6): 491-5. PMID: 3294318.
23. Vartiainen E, Karjalainen S. Factors influencing sensorineural hearing loss in chronic
otitis media. Am J Otolaryngol. 1987; 8(1): 13-5. PMID: 3578673.

Anda mungkin juga menyukai