Anda di halaman 1dari 12

Journal Reading

Characteristics of Infants and Young Chidren with


Sensorineral Hearing Loss in Dr. Soetomo Hospital

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Penulis :
Nyilo Purnami, Cintya Dipta, Mahrus Ahmad Rahman

Disusun oleh :
Olivia Nancy 112016144
Diah Ayu Lestari 112017225

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 10 SEPTEMBER 2018 – 13 OKTOBER 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Characteristics of Infants and Young Chidren with


Sensorineral Hearing Loss in Dr. Soetomo Hospital

Disusun oleh :
Olivia Nancy 112016144
Diah Ayu Lestari 112017225

Journal Reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu persyaratan untuk
mengikuti ujian kepaniteraan klinik Departemen Telinga Hidung Tenggorokan di Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.

Jakarta, 27 September 2018

Mengetahui
Pembimbing

dr. Khairan Irmansyah, Sp.THT-KL, M.Kes

2
Orli Vol. 48 No 1 Tahun 2018 Karakteristik bayi dan anak kecil

Laporan penelitian

Karakteristik bayi dan anak-anak dengan gangguan


pendengaran sensorineural di Rumah Sakit Dr.Soetomo

Nyilo Purnami *, Cintya Dipta **, Mahrus Ahmad Rahman ***


* Departemen THT Bedah Kepala dan Leher, ** Fakultas Kedokteran,
*** Departemen Kesehatan Anak
Fakultas Universitas Airlangga / Dr. Rumah Sakit Umum Medicine Soetomo
Surabaya

ABSTRAK

Latar belakang: Gangguan pendengaran adalah salah satu kelainan kongenital yang sering
ditemukan, dan berpengaruh pada perkembangan bicara dan bahasa anak. Sebagian besar gangguan
pendengaran tidak jelas faktor risikonya, sehingga tidak segera terdeteksi. Bila tidak dilakukan deteksi
dini, akan menyebabkan keterlambatan diagnosis dan intervensi. Telah direkomendasikan oleh
Newborn Hearing Screening Program (NHSP) pemeriksaan Otoacoustic Emissions (OAE) dan
Brainstem Evoked Rresponse Audiometry (BERA) sebagai alat deteksi dini gangguan pendengaran
pada bayi dan anak. Tujuan: Mendapatkan prevalensi dan deskripsi gangguan pendengaran
sensorineural pada bayi dan anak. Metode: Penelitian deskriptif retrospektif dengan mengumpulkan
data subjek periode 2011-2013 di Rumah Sakit Dr.Soetomo. Pemeriksaan OAE menggunakan
Distortion Product Otoacoustic Emissions. Pemeriksaan BERA berdasarkan International Standard
Organization (ISO). Hasil: Terdapat sebanyak 377 pasien (68%) dengan gangguan pendengaran
sensorineural dari total 552 bayi dan anak. Pada kelompok umur 12 sampai 36 bulan didapati
gangguan pendengaran sensorineural tertinggi sebanyak 237 (62,86%) pasien. Sebagian besar pasien
laki-laki sebanyak 199 (52,79%). Mayoritas pasien mengalami gangguan pendengaraan derajat sangat
berat sebanyak 329 (87,287%) dari total 377 penderita. Mayoritas faktor risiko dari gangguan
pendengaran yang tidak diketahui sebanyak 310 kasus (82,23%), dan mayoritas penderita mengalami
gangguan pendengaran sensorineural bilateral sebanyak 357 (94,69%). Kesimpulan: gangguan
pendengaran sensorineural ditemukan terbanyak pada bayi dan anak di Klinik Audiologi RSUD Dr.
Soetomo. Derajat keparahan terbanyak adalah profound, dan ditemukan terbanyak bilateral. Faktor
risiko yang tidak diketahui terbanyak ditemukan, dan bisa nerupakan faktor resiko yang berpengaruh
pada kejadian lambat bicara dan bahasa. Temuan ini sesuai dengan rekomendasi program skrining
pendengaran yang seharusnya diterapkan pada semua bayi baru lahir.
Kata kunci : Gangguan pendengaran, OAE, BERA, bayi, anak

Penulis korespondensi: Nyilo Purnami, Departemen Otorhinolaryngology Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Dr Soetomo, Jl. Prof. Moestopo 47, Surabaya 60285,
Indonesia. Email: nyilo@fk.unair.ac.id

3
PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran merupakan salah satu kelainan bawaan yang paling umum, dan
gangguan ini diperkirakan di sekitar 5 bayi dari setiap 1000 kelahiran. Tiga tahun pertama
kehidupan adalah masa paling penting bagi perkembangan bicara dan bahasa. Sebagai
akibatnya, bayi dan anak-anak dengan gangguan pendengaran yang tidak terdeteksi akan
kehilangan masa emas perkembangan bicara dan bahasa, sehingga pada kemudian hari akan
terjadi tertunda dan kurangnya kemampuan bicara dan bahasa, prestasi akademik, dan peluang
karir yang terbatas juga.1,2 Keterlambatan dalam deteksi ini akan menghasilkan beban biaya
sosial yang tinggi yang diperlukan untuk menangani anak-anak dengan gangguan
pendengaran, seperti anak-anak ini membutuhkan terapi yang lebih khusus dan pendidikan
khusus.3
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007, prevalensi gangguan
pendengaran di Indonesia diperkirakan mencapai 4,2%. Persentase prevalensi gangguan
pendengaran pada populasi umum bervariasi dari setidaknya 4,2% di Indonesia sampai 9% di
Sri Lanka, 13,3% di Thailand dan 16,6% di Nepal. Berdasarkan angka di atas, ada lebih dari
100 juta orang menderita tuli dan pendengaran masalah di Asia Timur. Sekitar 50% dari anak-
anak dengan gangguan pendengaran bawaan disebabkan oleh faktor genetik. Sekitar 50%
sisanya disebabkan oleh faktor lingkungan seperti penyakit pada saat prenatal atau perinatal,
atau penyebab yang tidak diketahui.4 Indera pendengaran diperlukan untuk menentukan fungsi
pendengaran anak dengan dugaan gangguan pendengaran. Saat ini standar emas untuk
mendengar pemeriksaan skrining adalah Otoacoustic Emissions (OAE) dan Brainstem Evoked
Rresponse Audiometry (BERA).5
Pemeriksaan OAE adalah sebuah pemeriksaan elektrofisiologi untuk menilai secara
objektif, otomatis (menggunakan kriteria lulus dan tidak lulus), non-invasif, mudah, tidak
memakan waktu, dan praktis, sehingga sangat efisien untuk program skrining pendengaran
bayi baru lahir, dan memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 82-87%. 6 Sementara BERA
merupakan pemeriksaan untuk menilai fungsi pendengaran pada nervus VIII (saraf
pendengaran) dan sampai tingkat batang otak. Tes BERA memiliki sensitivitas 100%, dan
spesifisitas 97-98%. Pemeriksaan ini sangat berguna dalam situasi di mana tidak ada tes
pendengaran biasa yang mungkin dilakukan, misalnya pada bayi, anak-anak dengan gangguan
alami dan perilaku, kecerdasan yang rendah, beberapa defek, dan penurunan kewaspadaan.5
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan prevalensi dan deskripsi gangguan
pendengaran sensorineural pada bayi dan anak-anak dalam waktu dua tahun, 2011 sampai
dengan 2013 di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo.

4
METODE

Sebuah studi cross sectional deskriptif retrospektif dilakukan, dengan data sekunder yang
dikumpulkan dari rekam medis di Klinik Audiologi Dr Soetomo. Data termasuk bayi dan
anak-anak yang telah diuji dengan OAE dan BERA dalam 2 tahun, pada tahun 2011-2013.
Penelitian ini mengungkapkan jumlah pasien, usia, jenis kelamin, hasil pemeriksaan OAE dan
BERA hasil, tingkat gangguan pendengaran, unilateral atau bilateral dan faktor-faktor risiko.

HASIL

Jumlah semua pasien yang dikumpulkan dari catatan medis dari Klinik Audiologi Rumah
Sakit Dr. Soetomo di 2011-2013, adalah 552 pasien. Dari angka-angka ini, itu terdeteksi 377
pasien (68,3%) dengan gangguan pendengaran sensorineural, terdiri dari rentang usia dari
bayi dibawah usia 6 bulan hingga 60 bulan.
Para pasien gangguan pendengaran sensorineural tertinggi berada dalam kelompok usia
12 sampai 36 bulan: 237 pasien (62,86%), diikuti oleh kelompok usia 36-60 bulan: 92 pasien
(24,41%), kemudian dari 6-12 bulan: 32 pasien (8,49%), dan kelompok usia terendah adalah
di bawah 6 bulan: 16 pasien (4,24%). Para pasien yang terdeteksi dengan sensorineural
hearing loss (SNHL) terdiri dari 199 laki-laki (52,79%), dan 178 perempuan (47,21%) (tabel
1).
Hasil OAE dan BERA ditunjukkan di tabel 2. Hasil pemeriksaan OAE yang tidak lulus
pada 374 pasien (67,75%), dari semua 552 pasien. Itu adalah jumlah yang lebih tinggi
daripada hasil lulus. Sedangkan pada pemeriksaan BERA ditemukan 366 pasien (66,33%).
Kedua OAE dan BERA mengungkapkan jumlah yang lebih tinggi pada hasil yang tidak lulus
dari pada lulus.
Ada 377 pasien (68%), terdeteksi dengan gangguan pendengaran sensorineural, dari 552
pasien. Derajat gangguan pendengaran ditampilkan pada tabel 3, dengan jumlah tertinggi pada
kelompok yang mendalam: 329 pasien (87,27%). Neuropati auditori ditemukan pada empat
pasien (1,06%).
Faktor risiko yang teridentifikasi berkaitan dengan infeksi Rubella, infeksi CMV, riwayat
asfiksia, Hiperbilirubinemia. Jumlah tertinggi tetap pada faktor risiko yang tidak diketahui:
310 pasien (82,23%). (Tabel. 4)
Bagian gangguan pendengaran ditampilkan pada tabel 5, ditemukan jumlah yang lebih
tinggi secara signifikan pada sensorineural hearing loss bilateral: 357 pasien (94,69%).

5
Tabel 1. Karakteristik subjek
Ciri Kategori Jumlah pasien Persentase (%)
Umur (bulan) <6 16 4.24
6-12 32 8.49
12-36 237 62,86
36-60 92 24,41
Pria 199 52,79
Jenis kelamin
Wanita 178 47,21
Total 377 100
Tabel 2. Hasil OAE dan BERA pemeriksaan

Pemeriksaan Kategori Jumlah pasien Persentase (%)


Lulus 178 32,25
OAE
Tidak Lulus 374 67,75
Lulus 186 33,67
BERA
Tidak Lulus 366 66.33
Total 377 100

Tabel 3. Tingkat gangguan pendengaran dengan pemeriksaan BERA


Tingkat gangguan pendengaran Jumlah pasien Persentase (%)
Ringan 8 2.12
Sedang 4 1,06
Sedang-Berat 9 2,39
Berat 23 6.10
Profound 329 87,27
Neuropati Auditorius 4 1,06
Total 377 100

Tabel 4. Faktor risiko


Faktor risiko Jumlah pasien Persentase (%)
Infeksi rubella 14 3,72
Infeksi CMV 15 3.98
Riwayat asfiksia 1 0,26
Hiperbilirubinemia 37 9,81
Tidak diketahui 310 82,23
Total 377 100
Tabel 5. Unilateral atau bilateral
Sensory neural hearing loss Jumlah pasien Persentase (%)
Unilateral 20 5.31
Bilateral 357 94,69
Total 377 100

6
DISKUSI
Prevalensi gangguan pendengaran di Indonesia diperkirakan mencapai 4,2%. 4 Dalam
penelitian ini kami menemukan 552 pasien selama 2 tahun di tahun 2011-2013 dan terdeteksi
377 pasien (68,3%) dengan gangguan pendengaran sensorineural (SNHL). Prevalensi tinggi
ini menunjukkan sebagai bukti bahwa gangguan pendengaran adalah kelainan bawaan yang
paling umum. Karena pasien yang dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Soetomo yang sebagai rumah
sakit rujukan paling tinggi di Indonesia, itu mencerminkan masalah yang menonjol dari
gangguan pendengaran pada anak bayi dan anak di masyarakat.
Anak-anak dalam kelompok usia 12 sampai 36 bulan ditemukan 237 penderita (62,86%).
(tabel 2). Ini adalah jumlah tertinggi kelompok umur pada anak bayi dan muda dengan SNHL
hingga 60 bulan. Temuan ini sesuai dengan penyebab tersering keterlambatan bicara, bahwa
orang tua memutuskan untuk memeriksa masalah dan dirujuk ke klinik audiologi. Orang tua
tampaknya tidak menyadari dengan munculnya tanda-tanda awal gangguan pendengaran
sampai mereka menemukan tanda keterlambatan bicara di usia yang lebih tua dari anak-anak.
Ini adalah periode kritis, sejak tiga tahun pertama kehidupan adalah yang paling penting
untuk mengembangkan berbicara dan berbahasa.1
Deteksi dan intervensi dini harus dicapai di bawah usia 6 bulan, tapi studi ini
mengungkapkan itu persentase terendah: 16 pasien (4,24%) (tabel 1). The Joint Committee of
Infant Hearing (JCIH) merekomendasikan deteksi dan intervensi dini untuk bayi dengan
gangguan pendengaran, dan melaksanakan target Deteksi dan Intervensi Dini Pendengaran
(Early Hearing Detection and Intervention/EHDI), sehingga keterlambatan dalam berbicara
dan komunikasi dapat dicegah. Tujuannya adalah mencapai perkembangan kognitif,
membaca, dan sosial-emosional yang serupa dengan rekan-rekan seusia mereka. 7
The Joint Committee of Infant Hearing (JCIH) pada tahun 2000 mengeluarkan standar
yang mengatakan bahwa usia 1 sampai 3 tahun adalah usia yang terlambat untuk mengenali
gangguan pendengaran bawaan pada anak-anak8. Diagnosa akhir pada bayi dan anak-anak
akan mengganggu wicara, bahasa, dan perkembangan kognitif. Perkembangan pencapaian
bicara dan berbahasa yang paling optimal akan diperoleh dari usia kurang dari 6 bulan,
sementara habilitasi di usia lebih dari 3 tahun akan kurang optimal dan prognosis akan
menjadi kurang baik.9

Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah pasien SNHL pada pria 199 (52,79%) dan
perempuan 178 (47,21%) dengan rasio 1,12. Tidak ada banyak perbedaan dalam prevalensi
gangguan pendengaran di kalangan laki-laki dan perempuan, tetapi laki-laki memiliki risiko
sedikit lebih tinggi dari gangguan pendengaran.9
Derajat gangguan pendengaran menurut Organisasi Standar Internasional (ISO) dibagi
menjadi normal jika ambang pendengaran 0-25 dB, ringan >25-40 dB, ringan sampai sedang
>40-55 dB, sedang >55-70 dB , berat >70-90 dB, dan profound >90 dB.5 Tabel 3
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien SNHL dalam penelitian ini adalah yang profound
sebanyak 329 pasien (87,27%). Menurut Yussy8, sebuah studi yang dilakukan oleh Saim
seperti dikutip Asad di Malaysia menemukan bahwa tingkat profound SNHL bilateral
merupakan yang tertinggi: 64,7%, diikuti oleh tingkat berat: 16,4%, tingkat sedang: 16,4%,
dan derajat ringan: 2,5%.
Tabel 4 menunjukkan sebagian besar faktor risiko seperti diketahui: 310 pasien (82,23%).
literatur lain yang disebutkan gangguan pendengaran bawaan karena faktor genetik adalah
sekitar 50%, dan sisanya 50% disebabkan oleh faktor lingkungan seperti penyakit pada saat
prenatal, perinatal atau penyebab yang tidak diketahui. Gangguan pendengaran karena faktor
genetik, diperkirakan bahwa 70% adalah non sindrom sementara 30% adalah sindrom. Selain
itu, ada disebutkan bahwa sekitar 25% -50% dari bayi dengan gangguan pendengaran tidak
memiliki faktor risiko.10
Sebuah studi menemukan bahwa 50% dari anak-anak dengan tuli kongenital sedang
hingga berat tidak memiliki faktor risiko. Hal ini menunjukkan bahwa hanya dengan melihat
faktor risiko sebagai indikator untuk evaluasi pendengaran akan menyebabkan 50% dari anak-
anak dengan tuli kongenital tidak terdiagnosis. Berdasarkan pertimbangan ini, upaya saat ini
untuk melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi ditentukan melalui program
skrining pendengaran bayi baru lahir (Newborn Hearing Screening/NHS).11
Tabel 5 menunjukkan jumlah yang lebih tinggi pada SNHL bilateral: 357 (94,69%),
dibandingkan SNHL unilateral: 20 (5.31%).
Anak-anak dengan gangguan pendengaran unilateral berada pada risiko untuk kerusakan
lebih lanjut di kemudian hari, sekitar 40% atau lebih anak-anak yang pertama kali didiagnosis
dengan gangguan pendengaran unilateral dan sekitar satu dari enam berkembang ke gangguan
pendengaran bilateral.12 Pasien dengan gangguan pendengaran bilateral akan mengalami
kesulitan dalam bidang akademik, sosial, dan kebiasaan sehari-hari. Pada periode prasekolah,
pasien telah mengalami keterlambatan berbicara, dan itu akan meningkatkan risiko
keterlambatan perkembangan berbicara jika mereka diobati setelah usia 6 bulan. Hal ini
penting untuk mengidentifikasi pasien dengan bilateral atau unilateral kehilangan

8
pendengaran, bahkan jika tidak ada faktor risiko. Pedoman WHO menyerukan prioritas untuk
alat bantu dengar dan jasa untuk anak-anak dengan gangguan pendengaran yang berarti di
kisaran 31-80 dB HL di telinga baik dalam rentang frekuensi 500 Hz sampai 4 kHz, karena ini
adalah anak-anak yang diharapkan untuk memperoleh manfaat paling banyak dari intervensi
mendengar.12
Pemeriksaan OAE dalam penelitian ini mendapatkan hasil tidak lulus, dalam jumlah yang
lebih tinggi: 374 pasien (67,75%) dan juga BERA yang tidak lulus: 366 pasien (66,3%). Hasil
ini dari skrining dengan OAE dan BERA tidak terlalu banyak berbeda dalam hasil tidak lulus.
BERA memiliki spesifisitas yang lebih tinggi, ada empat pasien (1,06%) terdeteksi dengan
Auditory Neuropati (AN). Temuan ini adalah kasus khusus, bahkan hanya sejumlah kecil tapi
perlu pendekatan khusus dalam pengelolaannya. AN akan menghasilkan hasil lulus dengan uji
OAE, karena masalahnya bukan di koklea, tetapi dalam saraf pendengaran. Pemeriksaan
elektrofisiologi dengan hasil otomatis pada kriteria lulus dan tidak lulus, secara praktis dan
telah terbukti sangat efisien untuk program skrining pendengaran untuk mendeteksi gangguan
pendengaran.5
Di antara pasien SNHL dengan faktor risiko, ditemukan infeksi Rubella 14 (3,72%),
infeksi CMV 15 (3,98%), riwayat asfiksia 1 (0,26%) dan hiperbilirubinemia 37 (9,81%),
tetapi faktor risiko tertinggi adalah tidak diketahui dengan jumlah 310 (82,23%) pasien. Hasil
ini sesuai dengan penelitian lain, bahwa etiologi tidak diketahui selama hampir setengah
(44,4%): 48 dari 108 anak-anak.12 Hal ini penting untuk dicatat bahwa pengujian genetik
harus dihitung, yang berkaitan dengan 50% dari anak-anak dengan gangguan pendengaran
bawaan disebabkan oleh faktor genetik. 4
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kasus mayoritas adalah SNHL, yang ditemukan pada
bayi dan anak-anak yang ke Klinik Audiologi Dr.Soetomo. Tingkat SNHL bervariasi dengan
jumlah tertinggi adalah gangguan pendengaran yang profound. Faktor risiko yang tidak
diketahui juga mendapatkan hasil jumlah tertinggi. Bagian yang mengalami kehilangan
pendengaran menunjukan sisi bilateral jauh lebih tinggi dari unilateral.
Berdasarkan hasil di atas, ada beban tinggi SNHL antara pasien, dengan jumlah yang
lebih besar pada yang profound, gangguan pendengaran bilateral, tapi faktor risiko yang tidak
diketahui. Ini mungkin berhubungan dengan dampak negatif dari gangguan pendengaran pada
wicara, bahasa, pendidikan, dan hasil kejuruan di masa depan.
Studi ini menunjukkan relevansi dengan rekomendasi dari Universal New Born Hearing
Screening Program (UNHSP) yang harus dilaksanakan untuk semua bayi baru lahir.

9
Keterlambatan perkembangan wicara dan bahasa dapat dicegah dengan program deteksi dan
intervensi dini, mengikuti UNHSP. Meningkatkan kesadaran dan meningkatkan akses ke
layanan di tingkat pelayanan kesehatan primer dapat membantu untuk mengurangi prevalensi
dan dampak merugikan dari gangguan pendengaran.

10
REFERENSI

1. Fornoff JE. Universal Newborn hearing screening in Illinois 2003-2004. Illinois


Department of Public Health, Division of Epidemiologic Studies. 2006 [cited 2014 Jul
16]. Available from :http://www.idph. state.il.us/about/epi.
2. Banda FM, Powis KM, Mokoka AB, Mmapetla M, Westmoreland KD, David T, et al.
Hearing Impairment Among Children Referred to a Public Audiology Clinic in
Gaborone, Botswana. Global Pediatric Health. 2018; 5:1–8.
3. Delaney AM. Newborn hearing screening. Medscape Reference. 2015 [cited 2014 Jul
16]. Available from: http://www.emedicine. medscape.com/article/.
4. Lee KJ. Essential otolaryngology head and neck surgery. 9th ed. New York: McGraw-
Hill companies, 2008.
5. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J, 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, penyunting. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. P.10-22
6. Suwento R, Zizlavsky S, Hendarmin H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, penyunting. Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p.31─39.
7. Yussy AD. Karakteristik Gangguan Pendengaran Sensorineural Bilateral Kongenital Pada
Anak yang Dideteksi dengan Pemeriksaan BERA di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK
UNPAD/ RS PERJAN dr. Hasan Sadikin Bandung. Journal (Online). 2005 [cited 2015
April 12]. Available form: http://www.journal. fk.unpad.ac.id
8. Joint Committee on Infant Hearing, et al. Year 2007 position statement: principles and
guidelines for early hearing detection and intervention programs. Pediatrics.
2007;120(4):898-9
9. Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja. Skrining gangguan pendengaran pada
neonatus risiko tinggi. Sari Pediatri. 2005;6(4): 149–54.
10. Kountakis SE, Skoulas I, Phillips S, Chang CJ. Risk Factors for hearing loss in neonates:
A prospective study. American Journal of Otolaryngology. 2002;23(3):133–7.

11
11. Dewi YA, Agustian RA. Karakteristik gangguan dengar sensorineural kongenital pada
anak yang dideteksi dengan Brainstem Evoked Response Audiometry. Majalah
Kedokteran Bandung. 2011; 43(2):77–82.
12. Fitzpatrick EM, Al-Essa RS, Whittingham J, Fitzpatrick J. Characteristics of children
with unilateral hearing loss. International Journal of Audiology. 2017; 56(11):819–28

12

Anda mungkin juga menyukai