Anda di halaman 1dari 25

Referat

Universal Newborn Hearing Screening


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh :

Zahra Firdausi Rachman, S. Ked


NIM: 150611035

Preseptor :

Dr. dr. Indra Zachreini, Sp.THT-KL(K)

BAGIAN/SMF ILMU THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan

kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Referat ini dengan judul

"Universal Newborn Hearing Screening". Penyusunan tugas ini merupakan

pemenuhan syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di SMF

Ilmu THT Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia.

Seiring rasa syukur atas terselesaikannya tugas ini, dengan rasa hormat

dan rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:

1. Pembimbing, Dr. dr. Indra Zachreini, Sp,THT-KL(K) atas arahan dan

bimbingannya dalam penyusunan refarat ini.

2. Teman- teman kepaniteraan klinik senior di Bagian THT Rumah Sakit

umum daerah Cut Meutia, yang telah membantu dalam bentuk motivasi

dan dukungan semangat.

Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa

dalam penyusunan Referat ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat

mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan

tugas ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Aceh Utara, Oktober 2020

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan pendengaran permanen adalah salah satu gangguan kongenital

yang paling umum terjadi dengan perkiraan kejadian 1-3 per 1000 kelahiran

hidup. Angka ini memiliki angka yang lebih tinggi insiden penyakitnya pada Bayi

baru lahir yang diskrining secara rutin seperti hipotiroidisme kongenital,

fenilketonuria dan kesalahan metabolisme bawaan lainnya. Di Indonesia insidensi

gangguan pendengaran atau ketulian sejak lahir belum diketahui. Namun dari data

yang diperoleh dari Survei Kesehatan Indera penglihatan dan pendengaran di 7

Provinsi tahun 1994-1996 dengan 19.375 responden didapatkan prevalensi

gangguan pendengaran 16,8%. Di seluruh dunia ada sekitar 0,1-0,3% bayi yang

tuli sejak lahir.

Gangguan permanen pendengaran anak (Permanent Childhood Hearing

Impairment/ PCHI) secara bilateral dengan tingkat keparahan sedang, berat atau

sangat berat yang menyebabkan disabilitas sensorik, mempengaruhi 1 dari 750

anak-anak dan terjadi pada saat lahir di lebih dari 80% dari anak-anak yang

terkena dampak. Kondisi PCHI ini memiliki dampak merugikan pada semua

aspek terutama dalam perkembangan bahasa dan lisan. Dampak paling signifikan

pada anak terkait keterampilan yang bergantung pada kemampuan bahasa, seperti

membaca dan menulis.

3
Identifikasi PCHI pada anak usia dini memungkinkan anak-anak yang

menderita penyakit ini dapat diintervensi dini untuk mengoptimalkan

perkembangan kemampuan bahasa terutama saat periode emas anak. Skrining

pendengaran bertujuan menemukan kasus gangguan pendengaran ketulian sedini

mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi/rehabilitasi segera, agar dampak

cacat dengar bisa dibatasi. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir salah

satunya adalah Universal Newborn Hearing Screening / UNHS),

UNHS bertujuan melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada

semua bayi baru lahir. Upaya skrining pendengaran ini sudah dimulai pada saat

usia 2 hari atau sebelum meninggalkan rumah sakit. Untuk bayi yang lahir pada

fasilitas kesehatan yang tidak memiliki program UNHS, paling lambat pada usia 1

bulan sudah melakukan skrining pendengaran. Pemeriksaan pendengaran bayi

baru lahir universal, UNHS adalah salah cara metode skrining awal yang efektif

untuk mengidentifikasi gangguan permanen pendengaran anak (PCHI).

Pada tahun 1993 National Institute of Health Consencus Conference

menganjurkan program UNHS. Selanjutnya American Joint Committee on Infant

Hearing merekomendasikan program Universal Detection of Hearing Loss in

Infants yang sudah harus dilakukan pada bayi usia 3 bulan dan program habilitasi

sudah harus dimulai pada usia 6 bulan. Hampir seluruh negara sudah

mencanangkan program ini, namun Indonesia baru mulai mencoba melakukannya

di beberapa Rumah Sakit.

UNHS selain digunakan selain untuk identifikasi awal PCHI, juga dapat

bermanfaat untuk kemampuan bahasa anak dan hasil yang lebih baik terkait

4
membaca di masa depan untuk anak tersebut. Dalam dekade terakhir, skrining

Universal Newborn Hearing Screening (UNHS) telah diadopsi secara luas di

seluruh Amerika Utara, Eropa dan di sebagian besar wilayah Negara maju

lainnya, dikarenakan skrining ini sebagai hasil dari kemajuan teknologi dalam

modalitas skrining dan intervensi. American Academy of Pediatrics mengesahkan

UNHS pada tahun 1994 dan 1999 sebagai Satuan Tugas Layanan Pencegahan

Amerika Serikat (US Preventive Services Task Force).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kehilangan Pendengaran (Hearing Loss)

Kehilangan pendengaran ditentukan diukur dalam desibel logaritmik, pada

frekuensi antara 125 Hz (suara nada rendah) dan 8000 Hz (suara nada tinggi)

(Tabel 1). Gangguan pendengaran selanjutnya dikategorikan berdasarkan etiologi

(sensorineural, konduktif atau campuran), dan diklasifikasikan apakah dapat

diperbaiki atau progresif. Kebanyakan gangguan pendengaran neonatal bersifat

sensorineural yaitu yang memiliki penyebab genetik yang diketahui dan

ditemukan pada 50% anak-anak.

Penyebab anak mengalami ketulian, yaitu 70% mengalami tuli

nonsyndromic yang paling sering berhubungan dengan disfungsi sel rambut

koklea karena kesalahan dalam produksi gap junction protein connexin.

Penyebab lainnya dari gangguan pendengaran sensorineural neonatal yaitu adanya

infeksi kongenital, hiperbilirubinemia dan obat-obatan ototoksik. Faktor lain yang

dapat menjadi factor risiko untuk gangguan pendengaran pada bayi yaitu apabila

neonatal mendapat perawatan di unit perawatan intensif, terutama untuk neuropati

auditori.

Secara keseluruhan, faktor risiko yang diketahui ada pada bayi yang lahir

dengan gangguan pendengaran sebanyak 50% (Tabel 2). Sebagian besar bayi

tidak memiliki faktor risiko, skrining universal digunakan untuk menggantikan

skrining selektif di sebagian besar negara maju.

6
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat

lahir. Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi

disebabkan faKtor- faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.

Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf).

Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat

dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar,

sedangkan tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian

terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Tuli kongenital

dibagi menjadi genetik herediter (faktor keturunan) dan non genetic.

7
Diagnosis apabila dilakukan tanpa skrining UNHS untuk mengidentifikasi

bayi dengan gangguan pendengaran biasanya diidentifikasikan dengan

keterlambatan bahasa. Baik bagi orangtua maupun dokter, gejala dan tanda

gangguan pendengaran dapat tidak terlihat karena bayi dengan gangguan

pendengaran sering menunjukkan kewaspadaan terhadap lingkungan yang tinggi.

Dengan demikian, bayi tunarungu mungkin tampak menoleh ke arah bunyi bel,

tetapi mungkin sebenarnya merespons persepsi gerakan bel melalui masukan

sensorik visual atau taktil. Vokalisasi, seperti mengoceh, mungkin juga tampak

berkembang secara normal.

Secara historis, defisit bahasa ekspresif yang signifikan yang tercatat lebih

dari satu tahun dapat menjadi tanda diagnostik utama pada anak-anak dengan

gangguan pendengaran. Usia rata-rata pada anak saat diagnosis adalah 24 bulan.

Gangguan pendengaran ringan dan sedang seringkali tidak terdeteksi sampai usia

sekolah. Sebaliknya, median usia diagnosis pada populasi yang diskrining adalah

tiga bulan atau lebih muda, dengan intervensi pada usia enam bulan.

Apabila anak tidak diintervensi sejak dini, anak-anak dengan gangguan

pendengaran menunjukkan defisit yang tidak dapat diubah dalam komunikasi dan

keterampilan psikososial, kognisi dan literasi. Terdapat bukti yang jelas bahwa

deprivasi pendengaran pada bayi yang diskrining sejak dini, dapat menyebabkan

reorganisasi struktural dan fungsional pada tingkat kortikal. Hal ini mirip dengan

ambliopia pada bayi dengan gangguan penglihatan.

Dampak penundaan waktu dalam diagnosis dan intervensi pada bicara dan

bahasa anak berbanding lurus dengan tingkat keparahan gangguan pendengaran

8
dan Dalam tinjauan tentang hasil psikologis dan fungsional dari ketulian pada

anak dan remaja, Mason dan Mason melaporkan bahwa kelompok yang

mengalami keterlambatan menunjukkan adanya gangguan perkembangan

sosioemosional termasuk mempengaruhi prestasi akademik yang rendah,

peningkatan pengangguran, peningkatan maladaption sosial dan tekanan

psikologis.

Dalam populasi yang tidak diskrining, anak-anak dengan gangguan

pendengaran berat hingga sangat berat biasanya lulus dari sekolah menengah

dengan kemampuan bahasa dan membaca seperti anak berusia sembilan hingga

sepuluh tahun. Keterbatasan dalam melek huruf ini, dengan dampak terkait pada

status sosial ekonomi dan kejuruan pada pasien, mencerminkan pentingnya

masukan sensorik tepat waktu untuk perkembangan otak anak-anak dan juga

untuk keterkaitan pendengaran, ucapan, membaca dan menulis. di tingkat

neurokortikal.

2.1.1 Permanent Childhood Hearing Impairment

Gangguan permanen pendengaran anak (Permanent Childhood Hearing

Impairment/ PCHI) secara bilateral dengan tingkat keparahan sedang, berat atau

sangat berat yang menyebabkan disabilitas sensorik mempengaruhi 1 dari 750

anak-anak dan terjadi pada saat lahir di lebih dari 80% dari anak-anak yang

terkena dampak. Kondisi PCHI ini memiliki dampak merugikan pada semua

aspek terutama dalam perkembangan bahasa dan lisan. Dampak paling signifikan

pada anak terkait keterampilan yang bergantung pada kemampuan bahasa, seperti

membaca dan menulis.

9
Beberapa faktor risiko yang terkait dengan insiden PCHI yaitu apabila

anak yang mendapatkan perawatan di unit perawatan intensif neonatal (NICU)

selama 2 hari atau lebih, Sindrom Usher, sindrom Waardenburg, sindrom yang

berhubungan dengan gangguan pendengaran lainnya. Apabila anak memiliki

riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran, memiliki kelainan kraniofasial,

dan infeksi bawaan seperti sitomegalovirus, toksoplasmosis, meningitis bakterial,

sifilis, herpes, atau rubella. Namun, sekitar 50% bayi dengan PCHI tidak memiliki

faktor risiko yang diketahui

Identifikasi PCHI pada anak usia dini memungkinkan anak-anak yang

menderita penyakit ini dapat diintervensi dini untuk mengoptimalkan

perkembangan kemampuan bahasa terutama saat periode emas pada anak.

Pemeriksaan pendengaran bayi baru lahir universal (Universal Newborn Hearing

Screening / UNHS) adalah salah cara metode skrining awal yang efektif untuk

mengidentifikasi gangguan permanen pendengaran anak (PCHI). UNHS

digunakan selain untuk identifikasi awal PCHI, juga manfaat untuk kemampuan

bahasa anak dan hasil yang lebih baik terkait membaca di masa depan untuk anak

tersebut.

2.2 Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)

Universal Newborn Hearing Screening pertama kali diperkenalkan di

Inggris dan lebih dari dua kali lipat proporsi yang dikonfirmasi pada kasus PCHI

bilateral > 40 dB. Gangguan pendengaran yang ditargetkan untuk program UNHS

adalah anak dengan gangguan pendengaran sensorik permanen atau konduktif

dengan rata- rata 30- 40 desibel (dB) atau lebih. Fokus pemeriksaan UNHS

10
terutama untuk mendeteksi gangguan pendengaran bawaan tidak untuk

mendeteksi gangguan pendengaran yang didapat atau progresif yang mungkin

tidak terdeteksi pada periode bayi baru lahir.

Anak-anak dengan PCHI yang terkonfirmasi pada usia 9 bulan, dan di

skrining menggunakan UNHS pasca persalinan dari penelitian birth kohort

memiliki manfaat yang signifikan untuk bahasa dan membaca pada usia 6–10

tahun . Dalam uji coba besar menggunakan pendekatan ini, sensitivitas dan

spesifisitas tes skrining adalah 0,92 dan 0,98, dan rasio positif dan kemungkinan

negatif masing-masing adalah 61 dan 0,08.

Berbagai literature baik dari UK National Screening Committee dan the

US Preventative Services Task Force menyebutkan UNHS memiliki manfaat baik

Selama tahun 2009, diperkirakan 5073 kasus PCHI terdeteksi oleh UNHS di AS,

dan 43% dari semua kasus dari 29 kondisi medis yang kemudian dapat dilakukan

skrining untuk bayi baru lahir. Strategi pencegahan ini didasarkan pada bukti

bahwa diagnosis dan intervensi dini memungkinkan peningkatan hasil pada anak-

anak dengan gangguan pendengaran. Kebanyakan program UNHS bertujuan

untuk skrining pada usia bayi satu bulan, konfirmasi diagnosis pada usia tiga

bulan, dengan intervensi pada enam bulan.

Berdasarkan penelitian cohort Hannah et al tahun 2014 remaja dengan

PCHI yang terlibat dalam uji coba UNHS menjelaskan efek UNHS dapat

mengkonfirmasi awal PCHI terutama pada anak usia sebelum sekolah dasar.

Konfirmasi PCHI pada usia sembilan bulan dikaitkan dengan kinerja membaca

yang jauh lebih baik pemahaman, variabel hasil utama yang telah ditentukan

11
sebelumnya. Membandingkan skor dari penelitian saat ini dengan membaca skor

yang diperoleh 9 tahun sebelumnya dari individu yang sama yaitu remaja yang

PCHI-nya telah didiagnosa lebih awal didapatkan hasil dapat mempertahankan

tingkat kinerjanya relatif terhadap kontrol pendengaran sedangkan remaja akhir

yang tidak didiagnosis awal memiliki keterlambatan dua kali lipat dibandingkan

kelompok sebelumnya.

Keunggulan awal dalam keterampilan membaca anak yang didiagnosa

lebih awal memungkinkan anak untuk membaca bahan bacaan yang lebih sering

daripada mereka yang terdiagnosa PCHI lebih terlambat, sehingga meningkatkan

kesenjangan keterampilan membaca antara dua kelompok tersebut.

Adanya perhatian orang tua tentang pendengaran anak dapat memprediksi

gangguan pendengaran yang sebenarnya. Secara historis, skrining klinis untuk

gangguan pendengaran pada bayi dan anak-anak terbatas pada observasi respon

perilaku terhadap suara, seperti lonceng, yang diperkenalkan dari penglihatan

langsung anak. Dibandingkan metode skrining lain, penilaian mengunakan UNHS

membutuhkan analisis yang cermat.

Berdasarkan pedoman skrining dari World Health Organization (WHO),

skrining dapat berhasil apabila mencakup komponen yaitu ketersediaan alat

skrining yang akurat dan andal, adanya demonstrasi untuk melakukan diagnosis

dini, pertimbangan untuk efek samping skrining, evaluasi ketersediaan dan

efektivitas intervensi dini setelah diagnosis; pertimbangan efek samping dari

intervensi sebelumnya dan evaluasi hasil jangka panjang dari diagnosis dan

intervensi dini.

12
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menyaring bayi baru lahir dari

gangguan pendengaran sensorineural secara akurat yaitu pemeriksaan melalui

emisi otoakustik/ otoacoustic emission (OAE) dan Automated Auditory Brainstem

Response (AABR). Kedua pemeriksaan ini bersifat fisiologis, dan non-invasif.

Skrining dapat dilakukan di samping tempat tidur baik pada bayi cukup bulan

maupun pada bayi prematur. Pemeriksaan OAE dan AABR dapat dilakukan

pemeriksaan tunggal ataupun berurutan. Pemeriksaan OAE dan tes AABR adalah

pemeriksaan skrining disamping dari lebih banyak lagi tes diagnostik rinci untuk

gangguan pendengaran.

2.2.1 Otoacoustic emission (OAE)

Pemeriksaan OAE adalah menggambarkan bentuk energi yang dihasilkan

oleh sel rambut luar di rumah siput yang diukur sebagai suara, sebagai respons

terhadap masukan pendengaran yang diterima. Pemeriksaan ini pertama kali

dijelaskan oleh ahli geofisika pada pertengahan 1940, dan digunakan sebagai

pemeriksaan skrining pada tahun 1978 oleh David Kemp.

Sesuai dengan fenomena alam 'sound echoes', stimulus suara yang dikirim

ke sistem pendengaran bayi baru lahir akan melalui probe khusus di liang telinga

13
luar. Probe secara bersamaan akan merekam suara yang kembali dari sel-sel

rambut luar koklea melalui telinga tengah. OAE dapat direkam pada 99%

pendengaran normal telinga. Pada pasien dengan gangguan pendengaran dapat

didapatkan hasil sebesar 30 dB atau lebih besar.

Pemeriksaan OAE dilakukan dengan menempelkan sumbat kecil ke

telinga bayi/anak selama beberapa detik. OAE screener biasanya dilengkapi

dengan speaker dan mikrofon mini yang dibalut dengan sumbat dari bahan lembut

(eartip). Speaker akan menghantarkan stimulus ke dalam liang telinga, dan akan

di respons oleh koklea. Kemudian, hantarannya akan dideteksi oleh mikrofon dan

diukur oleh screener. Unsur-unsur dalam telinga yang terlibat dalam pemeriksaan

OAE yaitu sumber suara, gendang telinga, rantai tulang pendengaran, telinga

bagian dalam, dan sel-sel rambut luar. Struktur yang sama mentransmisikan suara

yang keluar dari sel-sel rambut luar.

Jika dalam pemeriksaan ada resonansi atau filter antara sumber suara dan

mikrofon, akan menyebabkan spektrum frekuensi OAEs berubah. Dengan

demikian, OAEs dapat dikatakan "mencerminkan" kombinasi telinga dalam dan

fungsi telinga luar atau tengah. Individu dengan saluran telinga kecil (seperti bayi)

berbeda dari orang dewasa, karena perbedaan ukuran telinga eksternal dan tengah.

Pemeriksaan OAE bukan tes pasti untuk diagnostic gangguan pendengaran, dan

tidak dapat memperkirakan jenis atau derajat gangguan pendengaran yang dapat

dicapai dengan pengujian audiometri nada murni atau Auditory Steadystate

Response (ASSR), tetapi OAE adalah salah satu alat penting bagi bayi baru lahir

14
untuk skrining pendengaran dan diagnostik audiologi untuk diagnosis banding

gangguan pendengaran.

Jenis OAE terbagi menjadi dua kategori yaitu Spontan dan evoked. Tipe

pertama yaitu Spontaneous otoacoustic emissions (SOAE) terjadi secara alami di

telinga tanpa adanya stimulasi eksternal, sedangkan tipe evoked adalah jenis OAE

dengan diberikan rangsangan ke telinga. OAE tipe evoked yang diberikan

stimulus menggunakan tone burst (TEOAE), menggunakan nada murni stimulus

(SFOAE) atau menggunakan sepasang rangsangan puretone (DPOAE). OAE yang

paling sering direkam dalam format skrining dan diagnostik audiologi adalah

Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) and Transient Evoked

Otoacoustic Emissions (DPOAEs) dan Bangkitan Transien Emisi Otoacoustic

(TEOAEs).

Pemeriksaan DPOAE dipicu oleh simultan presentasi dari dua nada murni

yang disebut sebagai f1 dan f2. Dikarenakan koklea bersifat non-linier, distorsi

terjadi di berbagai tempat koklea selama presentasi stimulus. Selama tes DPOAE,

berbagai rangsangan disajikan ke telinga dan hasil distorsi terbesar yang diukur

secara bersamaan di frekuensi dan dinyatakan sebagai (2f1-f2). DPOAE biasanya

direkam antara 1 - 6 kHz, tetapi dapat direkam setinggi mungkin Sampai 10 - 12

kHz tergantung pada kemampuan peralatan.

15
Transient Evoked Otoacoustic Emissions adalah Suara yang dipancarkan

adalah respon akustikum yang diberikan dalam durasi yang singkat Emisi

otoacoustic ditimbulkan paling sering oleh stimulus klik broadband berulang.

Biasanya direkam selama interval singkat antara presentasi stimulus yang

mengaktifkan area selaput basilar yang luas. Terjadi perekaman respons TEOAE

selama presentasi kereta klik bifasik. Dengan menjaga stimulus klik pendek,

metode stimulus ini memfasilitasi pemisahan respon dari stimulus yang jauh lebih

keras.

Dalam Screening OAE tujuannya adalah untuk memisahkan anak dengan

gangguan pendengaran atau tidak. Pada OAE tidak menguji seluruh jalur

auditori, OAE sangat sensitif dan sangat bergantung pada fungsi sel rambut luar.

Dalam screening hasil akan ditampilkan hasil PASS atau REFER. Hasil Pass pada

16
pemeriksaan berdasarkan protokol uji membutuhkan 3 dari 4 gelombang atau

frekuensi (dalam frekuensi bicara jangkauan) terdeteksi untuk hasil PASS. Pada

saat bayi baru lahir yang menunjukkan hasil pass maka peluang untuk mengalami

gangguan amplifikasi sangat rendah. Sedangkan hasil REFER menunjukkan

bahwa dari hasil kriteria terdeteksi terdapat kondisi adanya gangguan pendengaran

(konduktif atau sensorineural) atau dapat terjadi karena faktor lain seperti terlalu

berisik, atau teknik pengujian yang kurang baik. Bayi dengan hasil REFER dapat

dilakukan pemeriksaan ulang sebelum dirujuk ke departemen audiologi.

2.2.2 Automated Auditory Brainstem Response

Pemeriksaan Automated auditory brainstem response (AABR) adalah

pengukuran elektrofisiologikal fungsi jaras auditori dari saraf kranial ke delapan

menuju ke batang otak. ABR adalah pemeriksaan pendengaran yang reliabel,

bertujuan untuk menilai singkronisasi saraf pendengaran perifer Pemeriksaan

AABR akan mencatat aktivitas listrik di batang otak sebagai respons untuk suara

yang disajikan kepada bayi melalui earphone. Berbeda dengan Tes OAE, AABR

mengevaluasi jalur pendengaran dari telinga luar ke tingkat batang otak,

memungkinkan diagnosis neuropati auditori, yang merupakan salah satu penyebab

kerusakan pendengaran yang kurang umum.

Prosedur pemeriksaan dua hal tersebut untuk screening telah diterapkan di

sebagian besar program UNHS sebagai pendekatan yang akurat dan hemat biaya.

Pemeriksaan biasanya dimulai dengan pemeriksaan OAE yang lebih cepat dan

lebih murah sebagai tes pertama pada bayi baru lahir tanpa faktor risiko,

kemudian diikuti oleh pemeriksaan AABR pada bayi baru lahir yang

17
kemungkinan memiliki gangguan pada pemeriksaan OAE. Pemeriksaan AABR

juga direkomendasikan pada bayi dengan salah satu faktor risiko yang dirangkum

dalam Tabel 2, terutama pada bayi yang membutuhkan perawatan unit intensif

neonatal karena pada populasi ini biasanya berada pada peningkatan risiko

neuropati auditori.

Terdapat bukti kuat, yang menunjukkan bahwa melakukan screening

dengan dua langkah tersebut dinilai sangat efektif dalam mengidentifikasi bayi

dengan gangguan pendengaran. Disebutkan dalam dua tinjauan sistematis bahwa

bayi yang diskrining dan diidentifikasi lebih awal akan menerima intervensi lebih

awal. Hal ini disebutkan berdasarkan hasil uji coba terkontrol besar dari Wessex,

Inggris, dan beberapa studi kohort berikutnya.

Skrining bayi baru lahir secara signifikan akan menurunkan usia diagnosis

gangguan pendengaran sedang sampai berat pada anak-anak, dengan penurunan

terbesar terjadi pada anak-anak dengan gangguan pendengaran sedang. Misalnya,

di wilayah Champagne-Ardenne Prancis, usia rata-rata saat diagnosis gangguan

18
pendengaran menurun dari 17 bulan menjadi 10 minggu dengan implementasi

UNHS.

The American Academy of Pediatrics’ Joint Committee on Infant Hearing

(JCIH) merekomendasikan tujuan dari program UNHS ini yaitu untuk diagnosis

gangguan pendengaran pada usia 12 minggu atau kurang sebagai parameter hasil

yang diharapkan untuk diagnosis yang tepat dan diandalkan dari gangguan

pendengaran pada bayi. Berdasarkan tinjauan sistematis disebutkan bahwa respon

batang otak auditori dapat secara spesifik, memprediksi, dengan tingkat

kepercayaan yang tinggi untuk menkonfigurasi keparahan dan sifat dari gangguan

pendengaran pada bayi.

Pemeriksaan AABR akan merekam secara elektrofisiologis respons yang

berasal dari aktivasi jaras pendengaran terhadap stimulus suara, mulai dari koklea

sampai sepanjang batang otak, menunjukkan integritas singkronisasi saraf.

Pemeriksaan ini noninvasif dan mempunyai nilai objektif yang cukup tinggi.

Karena sifat tersebut, maka ABR sering digunakan di klinik. Melalui elektroda di

permukaan kulit kepala atau telinga yang cukup jauh dari sumber generator

neural, tes ABR dapat merekam perubahan potensial listrik di sepanjang jalur

pendengarn perifer yang timbul setelah pemberian rangsang suara. Hasil rekaman

tersebut melalui proses amplifikasi komputer dapat menghasilkan suatu seri

gelombang yang menggambarkan aktivitas saraf auditorius dan area sepanjang

jalur pendengaan mulai dari koklea sampai sepanjang saraf auditorius di batang

otak.

19
AABR menunjukkan bentuk gelombang yang memperlihatkan fungsi

elektrofisiologik sebagai suatu respons terhadap stimulus suara yang terjadi dalam

waktu 10 detik setelah pemberian stimulus. Jewett dan Williston membagi

gelombang yang terjadi dalam 10 detik tersebut menjadi 7 (tujuh) gelombang

dengan memberi angka Romawi untuk masing-masing puncak gelombang

tersebut.

Setiap gelombang menunjukkan integritas saraf di area tertentu di

sepanjang jaras pendengaran; gelombang I menunjukkan aktivitas dari bagian

distal N.VIII, gelombang II menunjukkan aktivitas dari bagian proksimal N. VIII,

gelombang III menunjukkan aktivitas setinggi nukleus koklearis, gelombang IV

memperlihatkan aktivitas dari kompleks olivari superior, serta kemungkinan juga

ada kontribusi dari nukleus koklearis dan lemniskus lateral, gelombang V

memperlihatkan aktivitas dari lemniskus lateral dan kolikulus inferior, gelombang

VI dan VII didominasi oleh aktivitas dari kolikulus inferior.6 Gelombang IV dan

V kadang bergabung membentuk kompleks IV-V.

Komponen amplitude bervariasi antara setiap subjek, namun puncak masa

laten gelombang I, III, dan V relatif tetap pada semua subjek. Gelombang V

adalah gelombang yang paling stabil, mudah untuk dinilai bahkan sampai pada

stimulus suara intensitas rendah dan bermakna secara klinis,6 oleh karena itu

penilaian potensial ABR predominan berdasarkan pada masa laten (interval waktu

antara onset stimulus dan puncak gelombang) puncak absolute

20
2.2.3 Efektivitas UNHS pada Anak Mendapatkan Intervensi Dini

Studi tentang efektivitas skrining UNHS telah diteliti dan dilihat

perbedaan hasil pada anak yang menerima skrining yaitu bayi baru lahir,

dibandingkan dengan anak-anak yang mendengar normal, dan dengan anak-anak

dengan gangguan pendengaran yang tidak diskrining dan mendapat intervensi

setelah usia 12 sampai 24 bulan. Apabila menggunakan metode standar, USPSTF

pada 2001 dan pada 2008, Dampak hasil bahasa pada jangka panjang,

menyimpulkan bahwa ada cukup bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak

dengan diagnosis dini dapat meningkatkan skor bahasa ekspresif dan reseptif.

Bukti terbaru dari berbagai studi juga menunjukkan bahwa bayi yang didiagnosis

dan menerima intervensi sebelum usia enam bulan memiliki skor 20-40 poin

persentil lebih tinggi terkait tindakan terkait sekolah (bahasa, penyesuaian sosial,

dan perilaku) dibandingkan dengan anak tunarungu yang menerima intervensi

dikemudian hari.

2.2.4 Adverse Effect pemeriksaan UNHS

Secara sistematis, efek samping screening UNHS dievaluasi oleh Nelson

et al di tahun 2008. Data diambil dari dua studi kohort berkualitas sedang dan

beberapa studi survei. Didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa apabila hasil

skrining baik-baik saja dapat diterima oleh sebagian besar orang tua, dengan

tingkat penolakan diperkirakan 0,08%. Sedangkan pada hasil skrining yang

bayinya memerlukan pemeriksaan lanjutan ternyata menunjukkan kecemasan

pada orang tua. Kegelisahan ditemukan tertinggi pada orang tua yang bayinya

telah dikonfirmasi gangguan pendengaran.

21
Informasi dan konseling pada orang tua secara terintegrasi

direkomendasikan sebagai bagian dari program UNHS yang berkualitas tinggi.

Angka positif palsu, menunjukkan proporsi anak-anak yang normal mendengar

namun dirujuk untuk pengujian diagnostik, dilaporkan sebanyak 2%- 4% di

sebagian besar program UNHS.

2.2.5 Keterbatasan pemeriksaan UNHS

Implementasi membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan

terorganisir yang mencakup skrining, diagnosis, dan intervensi. Untuk gangguan

pendengaran kongenital yang tidak terlalu parah (kurang dari 30 dB sampai 40

dB) di sebagian besar program UNHS dapat tidak terdeteksi. Gangguan

pendengaran yang memiliki onset lambat atau progresif, misalnya, seperti yang

terlihat pada infeksi bawaan sitomegaloviral atau dalam beberapa kondisi

penyakit yang diturunkan lainnya, juga dapat tidak terdeteksi oleh program

skrining bayi baru lahir.

Dalam dua langkah pemeriksaan skrining, bayi berisiko rendah dengan

neuropati auditori dapat tidak terdeteksi oleh tes OAE. Petugas medis, pendidik,

dan orang tua harus tetap memperhatikan kemajuan perkembangannya anak-anak,

terutama dalam bahasa ekspresif dan reseptif domain. Penilaian ulang

pendengaran direkomendasikan untuk semua anak yang mengalami kesulitan

perkembangan atau belajar.

22
BAB III

KESIMPULAN

Universal Newborn Hearing Screening adalah salah cara metode skrining

awal yang efektif untuk mengidentifikasi gangguan permanen pendengaran anak

(PCHI). UNHS digunakan untuk mendeteksi dini gangguan pendengaran pada

semua bayi baru lahir. Upaya skrining pendengaran sudah dimulai pada saat usia

2 hari atau sebelum meninggalkan rumah sakit dikarenakan fokus pemeriksaan

UNHS terutama untuk mendeteksi gangguan pendengaran bawaan tidak untuk

mendeteksi gangguan pendengaran yang didapat atau progresif yang mungkin

tidak terdeteksi pada periode bayi baru lahir.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk skrining bayi baru lahir dari

gangguan pendengaran sensorineural secara akurat yaitu pemeriksaan melalui

emisi otoakustik/ otoacoustic emission (OAE) dan Automated Auditory Brainstem

Response (AABR).

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Bashiruddin, J. 2009. Newborn hearing screening in six hospitals in

Jakarta and surroundings. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 59, No. 2

2. Fricke S, Bowyer-Crane C, Haley AJ, et al. Efficacy of language

intervention in the early years. J Child Psychol Psychiatry 2013;54:280–

90.

3. Grill Eva et al, Comparing the clinical effectiveness of different new-born

hearing screening strategies. A decision analysis, BMC Public Health

2005

4. McCann DC, Worsfold S, Law CM, et al. Reading and communication

skills after universal newborn screening for permanent childhood hearing

impairment. Arch Dis Child 2009;94:293–7.

5. Nelson HD, Bougatsos C, Nygren P. Universal Newborn Hearing

Screening: Systematic Review to Update the 2001 U.S. Preventive Services

Task Force Recommendation [Internet]. Rockville (MD): Agency for

Healthcare Research and Quality (US); 2008 Jul. (Evidence Syntheses,

No. 62.) 1, Introduction. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov

/books/NBK33995/

6. Olusanya BO. Highlights of the new WHO Report on Newborn and infant

hearing screening and implications for developing countries. Int J Pediatr

Otorhinolaryngol 2011;75:745–8.

24
7. Pimperton H, Kennedy CR. The impact of early identification of

permanent childhood hearing impairment on speech and language

outcomes. Arch Dis Child 2012;97:648–53.

8. Pimperton H, Blythe H, Kreppner J, et al The impact of universal newborn

hearing screening on long-term literacy outcomes: a prospective cohort

study Archives of Disease in Childhood 2016;101:9-15.

9. Public Health England. NHS Newborn Hearing Screening Programme

2013 [cited 2013 06.09]; http://hearing.screening.nhs.uk/

10. Stevenson J, McCann D, Watkin P, et al. The relationship between

language development and behaviour problems in children with hearing

loss. J Child Psychol Psychiatry 2010;51:77–83.

11. The Canadian Association of Speech-Language Pathologists and

Audiologists. Universal Newborn Hearing Screening. 2013 [cited 2013

22.12]; http://www.caslpa. ca/caslpa-work/ universal-newborn-hearing-

screening

12. Worsfold S, Mahon M, Yuen HM, et al. Narrative skills following early

confirmation of permanent childhood hearing impairment. Dev Med Child

Neurol 2010;52:922–8

13. Wijana et al, Gelombang Auditory Brainstem Response (ABR) pada Anak

di Bawah Lima Tahun. 2014, MKB : 46:183-188

14. Yoshinaga et al, Neonatal hearing screening with automated auditory

brainstem response: using different technologies, Audiol Commun Res.

2014;19(1):19-24

25

Anda mungkin juga menyukai