Abstrak
Latar belakang: Anak dengan ketulian derajat moderate-profound sejak lahir tidak
mampu mendengar suara 250 Hz–4 KHz. yang menghambat perkembangan bicara dan
bahasa. Gelombang spesifik pada Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) bayi
baru lahir adalah gelombang I, II dan V. Piracetam berperan dalam pertumbuhan L929 cell
line dan neuron embrionik secara in vitro.
Obyektif: membuktikan peran Piracetam terhadap perbaikan pendengaran deaf child.
Metode riset: desain pre and post only clinical trial, dilakukan di RS JIH Yogyakarta
mulai Desember 2012 sampai Februari 2014. Sampel penelitian: penderita moderate atau
profound sensory neural hearing loss, usia sampai 5 tahun. Kriteria inklusi: tidak
menggunakan alat bantu dengar atau cochlear implant, kriteria eksklusi: orang tua/
keluarga penderita tidak bersedia berpartisipasi pada penelitian. Seluruh sampel diberikan
Piracetam 50 mg/kg BB, sehari sekali mulai saat penelitian, disamping diperdengarkan
suara pembicaraan oleh orang tua/ keluarga sesering mungkin. Pemeriksaan awal BERA,
dan berikutnya dilakukan setelah 6 atau 9 bulan, berupa muncul/ tidaknya gelombang I, II,
III, IV, V pada intensitas tertentu.
Hasil: sebanyak 9 dari 59 sampel hasil BERA berikutnya, terdapat perbaikan intensitas
dan atau munculnya gelombang. Sebanyak 5 sampel terjadi perbaikan intensitas
munculnya gelombang, sedangkan 4 sampel disamping munculnya gelombang juga
perbaikan intensitas.
Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Piracetam berhasil
guna terhadap perbaikan kemampuan mendengar berdasarkan hasil pemeriksaan BERA.
Kata kunci: Piracetam, deaf child, Brainstem Evoked Response Audiometry
Latar belakang
Gangguan pendengaran merupakan defisit sensorik yang paling sering pada
populasi manusia, mempengaruhi lebih dari 250 juta orang di dunia. Perkiraan WHO pada
tahun 2005 terdapat 278 juta orang menderita gangguan pendengaran, 75-140 juta (30%-
50%) diantaranya terdapat di Asia Tenggara. Dari hasil WHO Multi Center Study pada
tahun 1998, Indonesia termasuk 4 (empat) negara di Asia Tenggara dengan prevalensi
ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3 (tiga) lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar
(8,4%) dan India (6,3%).1
Tuli kongenital merupakan masalah yang cukup serius dalam dunia kedokteran
khususnya yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pada anak.
diperkirakan terjadi pada 1/1000 bayi baru lahir.2 Prevalensi tuli kongenital di Amerika
1/1000 atau sekitar 0,1%. Prevalensi bayi sehat yang mengalami ketulian dengan berbagai
derajat mencapai 3:1000 dan prevalensi bayi dengan faktor risiko yang mengalami tuli
mencapai 6:1000.3 Anak dengan ketulian tidak memiliki kemampuan untuk mendengar
suara pada spektrum 250 Hz – 4 KHz. Ketulian ini menyebabkan keterlambatan
perkembangan bicara dan bahasa.3,4,5,6 Berdasarkan penyebabnya tuli pada anak dibagi dua
yaitu sindromik (10%-15%) dan non sindromik (60%). Berdasarkan jenis ketulian ada 4
tipe tuli yaitu conductive, sensorineural, mix dan central.4
Insidensi Sensory Neural Hearing Loss (SNHL) yang berat sampai sangat berat
pada anak secara global sekitar 1:2000 pada bayi baru lahir dan 6:1000 usia 18 tahun.6
Walaupun jumlah ini mengindikasikan kejadian tuli sensorineural namun hal ini masih
tidak ditanggapi dengan baik dan tidak mengarah curiga dalam mendiagnosisnya. Sebagai
contoh, kehilangan pendengaran berat dan sangat berat secara unilateral kadang tidak
diketahui sampai masa waktunya anak sekolah TK, anak terdiagnosis setelah menjalani
pemeriksaan audiometri. Registrasi pada anak dengan faktor risiko yang tinggi dirancang
untuk membantu menentukan skrining pendengaran awal. Hasil pemeriksaan anak yang
menderita SNHL hanya didapatkan pada 50% dari kelompok bayi yang memiliki faktor
risiko tinggi dan 50% anak lainnya tidak memiliki risiko ini, sehingga kelompok faktor
risiko tinggi ini tidak mengapresiasi terjadinya SNHL. Banyak negara-negara yang tidak
mempunyai undang-undang melakukan skrining pada anak dan tidak menghiraukan faktor
risiko sehingga banyak anak tidak terdeteksi.7
Faktor risiko terjadinya SNHL pada masa neonatal berdasarkan Joint Committee on
Infant Hearing (JCIH) adalah : Lahir prematur (Umur kehamilan <34 minggu); Berat
badan lahir rendah (<1500 g); Adanya riwayat keluarga; Infeksi Toxoplasmosis, Rubella
dan Cytomegalovirus dan Herpes (TORCH); Adanya kerusakan pada saraf;
hiperbilirubinemia; craniofacial anomalies; sindrom yang berhubungan dengan kerusakan
pendengaran dan asfiksia berat pada saat lahir (APGAR < 7 pada 5 menit). 8 Faktor risiko
yang lain adalah pemakaian obat-obatan pada masa kehamilan, Tekanan paru yang tinggi
dan menetap, Perdarahan intra ventrikular, C-reactive protein (CRP) yang tinggi (≥10
mg/dl) tetapi tidak terlalu berpengaruh.9,10,11
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2005
terdapat 278 juta orang didunia mengalami gangguan pendengaran baik sedang maupun
berat, setidaknya duapertiga dari jumlah tersebut berada di negara berkembang.16 Masalah
ini sangat mengganggu terutama bagi kehidupan sosial seseorang dan melibatkan masalah
ekonomi yang cukup besar.
Dinegara-negara berkembang sudah ada program-program untuk mencegah dan
membantu mengatasi masalah gangguan pendengaran tetapi sayangnya tidak disertai
dengan tenaga dan sumber daya manusia yang khusus dilatih untuk menerapkannya.16
Sensory Neural Hearing Loss (SNHL) adalah Gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh kegagalan transduksi suara dalam koklea dari energi mekanik di telinga
tengah ke impuls saraf pendengaran. Pada pemeriksaan audiometri konfigurasi dari
SNHL bervariasi dari frekuensi rendah sampai dengan frekuensi tinggi tergantung pada
lokasi kerusakan sel rambut di sepanjang membran basilaris.17 Sensory Neural Hearing
Loss (SNHL) merupakan kelainan koklea di telinga dalam yang bersamaan saraf
pendengaran sehingga pengiriman impuls syaraf ke pusat pendengaran di otak menjadi
terganggu.16
Diagnosis awal gangguan pendengaran sensorineural (SNHL) dengan berbagai
pemeriksaan dapat mencegah gangguan bahasa dan keterlambatan bicara. Program
deteksi dini telah banyak diterapkan untuk mengidentifikasi anak-anak dengan gangguan
yang sangat merugikan perkembangan anak.18
Menurut WHO tingkatan gangguan pendengaran secara umum dapat dibagi dalam
5 grade (Tabel 1).
Tabel 1. Derajat ketulian berdasarkan kriteria WHO, 2006
Grade O 25 dB or less No/slight problems
Slight
Severe
Profound
Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan desain pre and post only clinical trial. Penelitian
dilakukan di RS JIH Yogyakarta mulai Desember 2012 sampai Februari 2014. Sampel
penelitian adalah penderita yang didiagnosis sebagai moderate atau profound sensory
neural hearing loss, sejak lahir sampai usia 5 tahun. Kriteria inklusi: tidak menggunakan
alat bantu dengar atau cochlear implant, sedangkan kriteria eksklusi: orang tua/ keluarga
penderita tidak bersedia berpartisipasi pada penelitian ini.
Terhadap seluruh sampel diberikan Piracetam dengan dosis 50 mg/ kg BB, sehari
sekali mulai saat penderita datang di poliklinik THT. Pengukuran: hasil awal BERA saat
terdiagnosis, sedangkan pengukuran berikutnya dilakukan setelah 6 dan atau 9 bulan. Data
pengukuran berupa muncul/ tidaknya gelombang I, II, III, IV, V pada intensitas tertentu.
Pengukuran data berikutnya seperti data, setelah periode follow up. Selama periode follow
up, terhadap penderita diperdengarkan suara pembicaraan (audio) oleh orang tua/ keluarga
sesering mungkin, disamping konsumsi Piracetam.
Hasil dan diskusi
Selama priode dilakukan penelitian, didapatkan sebanyak 59 sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 59 sampel tersebut yang sudah menjalani
pemeriksaan BERA setelah memenuhi periode follow up, didapatkan 9 penderita,terdiri
atas: 6 pria dan 4 wanita. Usia penderita mulai 8 bulan sampai 2 tahun. Pada tiap penderita,
periode follow up tidak seragam, karena waktu periksa berikutnya penderita tidak dapat
datang dengan bermacam alasan yang lebih karena fisibilitas (waktu dan biaya).
Perkembangan munculnya gelombang hasil pemeriksaan BERA dan intensitas saat
munculnya gelombang, seperti pada tabel 2.
Intensitas Pre terapi (dB) kanan/ kiri Intensitas Pasca terapi (dB) kanan/ kiri
No Follow
(usia, Up
bulan) I II III IV V I II III IV V (bulan)
1 (8) 90/90 -/- 90/90 -/- 30/30 30/30 45/30 30/45 -/- 30/30 6
2 (24) 90/90 -/- 90/90 -/- 90/90 45/30 60/30 45/30 -/- 45/30 4
3 (20) 45/45 45/- 45/45 -/- 45/30 45/45 45/75 45/45 -/- 30/45 4
4 (23) 90/90 -/- 90/90 -/- 60/45 45/45 60/60 45/45 45/45 45/45 11
5 (24) 45/75 -/- 45/75 -/- 45/75 45/75 90/75 75/75 -/- 45/60 9
6 (8) -/- -/- -/- -/- 90/75 60/- -/- 60/- -/- 60/90 8
7 (21) -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/- 90/- -/- 90/- 11
8 (12) -/- -/- -/- -/- -/- -/105 -/- -/105 -/- -/105 4
9 (12) -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/105 5
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Piracetam berhasil guna
terhadap perbaikan kemampuan mendengar berdasarkan hasil pemeriksaan BERA.
Ucapan terima kasih kepada: Direksi RS JIH dan dr. Yudiyanta SpS (K) yang telah
mendukung penelitian ini.
Daftar pustaka