Anda di halaman 1dari 81

35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuli Kongenital


Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul

pada saat lahir (Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012). Tuli kongenital

merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-

faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir (Steer,

Bolton & Golding 2015). Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing

impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi

pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk

berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan

tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian

terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Tuli

kongenital dibagi menjadi genetik herediter (faktor keturunan) dan non

genetik (Genetic Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel

2002).

Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli sensorineural derajat

berat sampai sangat berat , pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal

sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru

menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada

respons terhadap suara keras atau belum / terlambat berbicara. Oleh

karena itu informasi dari orang tua sangat bermanfaat untuk mengetahui
36

respons anak terhadap suara di lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi

dan cara pengucapan kata (Gurtler 2008).

2.2. Epidemiologi Tuli Kongenital

Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang

memerlukan perhatian khusus mengenai 6-8% dari populasi di negara

berkembang dan sebagian merupakan defek yang didapatkan

sejak lahir. Berdasarkan universal newborn hearing screening (UNHS)

angka kekerapan yang didapatkan akan jauh lebih tinggi lagi.Kurang

lebih 1,64 dari 1000 anak lahir hidup mengalami tuli kongenital.

1 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli bilateral, dan 0,64

dari1000 kelahiran hidup mengalami tuli unilateral. Di Negara maju angka

tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup (Gurtler 2008;

Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh 2012;

Kamiya 2015). Sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang

dilakukan oleh Departemen Kesehatan di 7 propinsi pada tahun 1994 -

1996 yaitu sebesar 0,1 % (Hendarmin 2006).

2.3. Etiologi Tuli Kongenital

2.3.1. Genetik

Ketulian berdasarkan kelainan genetik dapat m e m i l i k i

etiologi yang berbeda-beda dan diperkirakan sekitar 1%


37

d a r i seluruh gen manusia terlibat dalam proses pendengaran. Secara

garis besar gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik

terbagi menjadi ketulian non sindromik dan ketulian sindromik.

Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi

p a d a g e n t u n g g a l a t a u merupakan kombinasi mutasi pada gen

yang berbeda dan faktor lingkungan. Sekitar 50% kasus merupakan

kelainan pendengaran bentuk mutasi gen. Mutasi gen ini dapat

diturunkan kepada keturunannya (Genetic Evaluation of Congenital

Hearing Loss Expert Panel 2002; Steer, Bolton & Golding 2015).

Penelitian Coco dan kawan-kawan yang melakukan amniocentesis untuk

pemeriksaan genetik GJB3 35delG dan M34T pada ibu dengan kehamilan

trimester dua mendapatkan dari 12.395 cairan amnion yang dianalisis

ditemukan 2 kasus mutasi homozigot 35delG dan 352 kasus karier

heterozigot, yang terdiri dari 42 mutasi M34T, 298 dengan mutasi 35delG

dan 12 kasus heterozigot ganda M34T/35delG (Coco et al. 2013)

Ketulian non sindromik merupakan gangguan pendengaran

tersendiri yang tidak memiliki kaitan dengan kelinan fisik lainnya. Ketulian

non sindromik mengenai sekitar 1 dari 4000 orang. Ketulian non

sindromik lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural.

Sekitar 70 % tuli genetik adalah non sindromik dan 30 % adalah sindromik

(Cynthia et al. 2006; Antonio 2012).


38

2.3.2. Non genetik

2.3.2.1 Masa kehamilan (Prenatal)

Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi

bakteri maupun virus akan mempunyai akibat terjadinya ketulian. Infeksi

yang sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi

TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis),

selain campak dan parotitis (Guerina 1994; Adler & Marshall 2007).

Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina,

gentamisin, streptomisin dll mempunyai potensi menyebabkan terjadinya

gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput

(koklea). Gangguan struktur anatomi telinga juga dapat menyebabkan

terjadinya ketulian antara lain aplasia koklea (rumah siput tidak terbentuk),

displasia Mondini dan atresia liang telinga (Mudd 2012).

2.3.2.2 Saat lahir (Perinatal)

Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat

badan lahir rendah (< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses

kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak

langsung menangis), dan hipoksia otak bila nilai Apgar < 5 pada 5 menit

pertama (Gomella 2004; Okhravi et al. 2015).

Menurut Academy American Joint committee on infant Hearing

Statement (2007) pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor

berikut ini harus dicurigai karena merupakan kemungkinan penyebab


39

terjadinya gangguan pendengaran (Joint Committee on Infant Hearing

2007) :

1. Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir

2. Infeksi prenatal; TORCHS

3. Kelainan anatomi pada kepala dan leher

4. Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital

5. Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram )

6. Meningitis bakterialis

7. Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar

8. Asfiksia berat

9. Pemberian obat ototoksik

10. Menggunakan alat bantu pernapasan / ventilasi mekanik lebih dari

5 hari (ICU).

2.4. Klasifikasi Tuli Kongenital

Terdapat dua bentuk ketulian, yaitu sindromik dan nonsindromik.

Ketulian sindromik artinya selain masalah ketulian seorang anak juga

mempunyai masalah di bagian tubuh yang lain, seperti jantung, ginjal,

mata, tiroid ataupun organ lain. Mengetahui penyebab genetik pada

pasien ini dapat membantu dokter untuk memikirkan kemungkinan

kelainan di sistem lain selain ketulian. Ketulian non sindromik adalah

penderita hanya mempunyai masalah pada ketulian dan tidak pada bagian

tubuh yang lain (Rehm et al. 2008).


40

2.5. Gambaran Klinis Tuli Kongenital

Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering

memberikan gejala berupa keterlambatan bicara (speech delay).Tidak

berkembangnya kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan

tanda yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran dan perlu

dievaluasi (Oller et al. 1999).

Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan

mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu

dicurigai apabila (Oller et al. 1999):

Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi

Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti

Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata

Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata

2.5.1. Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain

(Soetjipto 2007) :

Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas dan

bersifat reflex. Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara

keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks

auropalpebral maupun refleks Moro.

Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak

di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan


41

otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan cepat

ke arah sumber suara.

Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber

bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat.

Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk

mencari sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan

mampu melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat.

Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak

akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus

yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu

memperkirakan sumber suara.

2.6. Diagnosis Tuli Kongenital

Perkembangan pendengaran dimulai saat masih dalam kandungan,

bayi dipersiapkan untuk merespon suara pada saat lahir. Proses yang

kompleks meliputi mengenali suara ibunya dan membedakan suara dan

bunyi dapat kita lihat pada bayi baru lahir. Respon inisial bayi terhadap

suara adalah bersifat refleks (behavioral responses) seperti refleks

auropalpebral (mengejapkan mata), denyut jantung meningkat, eye

widening (melebarkan mata), cessation (berhenti menyusu) dan

mengerutkan wajah atau grimacing (Carlson & Reeh 2006; HTA Indonesia

2010).

Saat ini emisi otoakustik dan brainstem evoked response

audiometry (BERA) merupakan teknik pemeriksaan baku emas (gold


42

standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dengan

sensitifitas mendekati 100% (Genetic Evaluation of Congenital Hearing

Loss Expert Panel 2002).

2.6.1. Emisi otoakustik

Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang

diproduksi oleh sel rambut luar koklea dan direkam pada meatus akustikus

eksternus baik dengan tidak adanya stimulasi akustik (emisi spontan) atau

sebagai respon terhadap stimulasi akustik (akustik-menimbulkan emisi)

atau rangsangan listrik (elektrik menimbulkan emisi). Suara yang

ditangkap oleh koklea sangat kecil berkisar pada 30 dB, namun berpotensi

untuk didengar. Emisi otoakustik timbul secara spontan karena suara yang

sudah ada di koklea secara terus menerus bersirkulasi, tetapi pada

umumnya emisi otoakustik didahului adanya stimulasi. Emisi otoakustik

dihasilkan hanya bila organ Corti dalam keadaan mendekati normal, dan

telinga tengah berfungsi dengan baik (Donovalova 2006; Hall III &

Antonelli 2006; Berg et al. 2011).

Emisi otoakustik ini pertama sekali ditemukan oleh Gold pada tahun

1948 dan diperkenalkan oleh David Kemp pada tahun 1978 (Prieve &

Fitzgerald 2002). Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi

tertentu diberikan melalui loudspeaker mini yang terletak dalam sumbat

telinga (insert probe) yang bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip).

Mikrofon digunakan untuk mendeteksi emisi otoakustik, kemudian diubah


43

menjadi elektrik agar mudah diproses (Hall III & Antonelli 2006; Xiao et al.

2015).

Emisi otoakustik dihasilkan oleh adanya gerakan membran timpani

yang ditransmisikan ke koklea melalui telinga tengah secara spontan

ataupun menggunakan stimulus. Untuk merekam emisi otoakustik

diperlukan kondisi telinga tengah yang sehat dengan konduksi suara yang

baik. Koklea tidak signifikan memancarkan suara ke udara di kavum

timpani. Agar pergerakan membran timpani efisien, lebih padat dan sedikit

udara yang bisa keluar masuk liang telinga, maka liang telinga harus

ditutup (Hall III & Antonelli 2006).

Getaran yang dihasilkan dari mekanisme koklea yang unik dikenal

sebagai cochlear amplifier yang menyebabkan adanya suatu gerakan

sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini dapat

terjadi baik secara spontan maupun oleh rangsangan bunyi dari luar dan

dihasilkan oleh mekanisme sel yang aktif (Gelfand 2010).

Pergerakan sel rambut luar dapat dicetuskan oleh bunyi click

dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone,

kemudian terjadi gerakan biomekanik dari membran basilaris sehingga

menghasilkan amplifikasi energi intrakoklea dan tuning koklea.

Pergerakan sel rambut luar menimbulkan energi mekanis dalam koklea

yang diperbanyak dan keluar melalui sistem telinga tengah dan membran

timpani menuju liang telinga (Prieve & Fitzgerald 2002; Gelfand 2010).

Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan

kriteria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan
44

keadaan koklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan

koklea (Abdullah 2006).

2.6.1.1 Anatomi dan fisiologi dasar emisi otoakustik

Stimulus bunyi keluar dari probe untuk ditransmisikan melalui

telinga luar, di membran timpani rangsang auditori dirubah dari sinyal

akustik menjadi sinyal mekanik dan ditransmisikan melalui tulang-tulang

pendengaran pada telinga tengah; footplate dari tulang stapes akan

bergerak pada foramen ovale yang akan menyebabkan pergerakan

gelombang cairan pada koklea. Pergerakan gelombang cairan tersebut

menggetarkan membran basilaris dimana setiap bagian dari membran

basilaris sensitif terhadap frekuensi yang terbatas dalam rentang tertentu

(Campbell 2006).

Bagian yang paling dekat dengan foramen ovale lebih sensitif

terhadap rangsang suara dengan frekuensi tinggi, sementara bagian yang

jauh dari foramen ovale lebih sensitif terhadap rangsang suara dengan

frekuensi rendah. Pada emisi otoakustik, respon pertama yang kembali

dan direkam menggunakan mikrofon berasal dari bagian koklea dengan

frekuensi paling tinggi (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).

Pada saat membran basilaris bergetar, sel-sel rambut turut

bergerak dan respon elektromekanik terjadi, pada saat yang bersamaan

sinyal aferen ditransmisikan dan sinyal suara diemisikan kembali melalui

jalur auditori dan sinyal tersebut diukur pada liang telinga (Campbell 2006;

Mller 2006).
45

Dasar-dasar dari timbulnya keaktifan emisi ini adalah kemampuan

telinga dalam untuk mengadakan kompresi dinamis gelombang bunyi.

Dengan kompresi ini tekanan dinamik suara dapat diteruskan telinga

bagian dalam kira-kira sebesar 0,7% ke sistem saraf yang mempunyai

kapasitas dinamis yang jauh lebih kecil. Kompresi ini merupakan

kemampuan sel-sel rambut yang tidak linear. Sel-sel rambut dalam yang

sebenarnya adalah bagian aferen untuk sistem pendengaran, baru

terangsang pada tekanan bunyi yang lebih kecil. Sel-sel rambut luar

secara serentak menambah energi kepada sel-sel rambut dalam dengan

cara gerakan mekanis. Proses gerakan inilah yang diperkirakan

merupakan sumber aktifitas emisi telinga bagian dalam (Mller 2006).

2.6.1.2 Tujuan dan syarat pemeriksaan

Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai

keadaan koklea, khususnya fungsi sel rambut luar telinga dalam. Hasil

pemeriksaan dapat berguna untuk (Campbell 2006):

a. Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, bayi atau individu

dengan gangguan perkembangan).

b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu.

c. Pemeriksaan pada gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura).

Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur,

bahkan pada keadaan koma, karena hasil pemeriksaan tidak memerlukan

respon tingkah laku.


46

Syarat-syarat untuk menghasilkan emisi otoakustik (Campbell 2006):

a. Liang telinga luar tidak obstruksi

b. Liang telinga dengan ditutup rapat dengan probe.

c. Posisi optimal dari probe

d. Tidak ada penyakit telinga tengah

e. Sel rambut luar masih berfungsi

f. Pasien kooperatif

g. Lingkungan sekitar tenang.

Emisi otoakustik hanya dapat menilai sistem auditori perifer,

meliputi telinga luar, telinga tengah dan koklea. Respon memang berasal

dari koklea, tetapi telinga luar dan telinga tengah harus dapat

mentransmisikan kembali emisi suara sehingga dapat direkam oleh

mikrofon. Emisi otoakustik tidak dapat digunakan untuk menentukan

ambang dengar individu (Campbell 2006).

Emisi otoakustik dapat terjadi spontan sebesar 40-60% pada

telinga normal, tetapi secara klinis yang memberikan respon baik adalah

evoked otoacoustic emissions (Mainley, Ray & Propper 2008).

2.6.1.3 Jenis-jenis emisi otoakustik

Emisi otoakustik dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:

a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs), merupakan emisi suara

tanpa adanya rangsangan bunyi ( secara spontan). Respon non

stimulus ini biasanya diukur dalam rentang frekuensi perekaman yang

sempit (< 30 Hz bandwidth) dalam liang telinga luar. Diperlukan


47

perekaman multiple untuk memastikan kemampuan replikasi dan

untuk membedakan respon dari tingkat bising. Perekaman SOAEs

biasanya berada dalam rentang frekuensi 500-7000 Hz. Pada

umumnya, SOAEs terjadi hanya pada 40-50% individu dengan

pendengaran normal. Pada dewasa sekitar 30-60%, pada neonatus

sekitar 25-80%. SOAEs tidak ditemukan pada individu dengan dengan

ambang dengar >30 dB HL. Oleh karena itu, adanya SOAEs biasanya

dianggap sebagai tanda kesehatan koklea, tetapi tidak adanya SOAEs

tidak selalu merupakan tanda kelainan dan juga biasanya tidak

berhubungan dengan adanya tinitus. SOAEs biasanya terjadi pada

frekuensi 1000-2000 Hz, amplitudo antara -5 dan 15 dB SPL.

b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked

otoacoustic emissions (TEOAEs), merupakan emisi suara yang

dihasilkan oleh rangsangan bunyi menggunakan durasi yang sangat

pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone-bursts.

c. Distortion product otoacoustic emission (DPOAEs), merupakan emisi

suara sebagai respon dari dua rangsang yang berbeda frekuensi.

d. Sustained-frequncy otoacoustic emission (SFOAEs), merupakan emisi

suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan (kontinyu)

(Campbell 2006; Mainley, Ray & Propper 2008).


48

Gambar 2.1. Contoh hasil pemeriksaan OAE (Mainley, Ray & Propper 2008)

2.6.2. Brainstem evoked response audiometry (BERA)

Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) adalah suatu

teknik pengukuran aktivitas atau respon saraf terhadap rangsangan bunyi.

Pemeriksaan BERA pertama sekali dilaporkan oleh Sohmer dan

Feinmesswer pada tahun 1967, yang kemudian dijelaskan lebih detail oleh

Jewett dan Wilson pada tahun 1971. BERA merupakan tes

elektrofisiologik yang menimbulkan potensial listrik pada berbagai level

dari sistem pendengaran mulai dari koklea sampai korteks. BERA

ditimbulkan oleh rangsangan akustik (bunyi klik atau bip) yang dikirim oleh

suatu transduser akustik dalam bentuk earphone atau headphone (Hall III

& Antonelli 2006).


49

Respon yang diperoleh dari pemeriksaan ini adalah dalam bentuk

gelombang yang diukur dengan menggunakan elektroda permukaan yang

dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau pada

lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif dan bersifat

objektif (Bhattcharrya 2006; Hall III & Antonelli 2006).

Pemeriksaan BERA terdiri dari tujuh gelombang yang terjadi dalam

waktu 10 msec setelah onset rangsangan pada intensitas yang tinggi (70-

90 dBnHL). Bentuk puncak gelombang yang tercatat diberi nama dan

angka Romawi, yaitu gelombang I-VII (Bhattcharrya 2006). Komponen

gelombang:

a. Gelombang I: merupakan representasi dari potensial aksi saraf

pada daerah distal saraf kranial ke VIII. Respon tersebut berasal

dari aktivitas afferen dari serabut saraf VIII.

b. Gelombang II: dihasilkan oleh bagian proksimal saraf VIII.

c. Gelombang III: berasal dari nukleus koklearis.

d. Gelombang IV: berasal dari kompleks olivaris superior.

e. Gelombang V: berasal dari kolikulus inferior dan lemniskus lateral.

Gelombang ini paling sering dianalisa dalam aplikasi klinis BERA.

f. Gelombang VI dan VII: diduga berasal dari korpus genikulatum

medialis, tetapi lokasi pastinya masih belum jelas.


50

Gambar 2.2. Gelombang BERA normal (Bhattcharrya 2006)


51

Mekanisme pemeriksaan BERA adalah dengan memberikan

rangsangan bunyi melalui headphone yang telah diatur pada level kontrol

akan menempuh perjalanan melalui koklea nukleus koklearis

nukleus olivarius superior lemniskus lateral kolikulus inferior

korteks auditorius di lobus temporal otak. Respon yang diberikan akan

diterima oleh elektroda-elektroda yang ditempelkan pada kulit dan

diteruskan ke komputer sehingga hasilnya dapat dilihat di layar komputer.

Penilaian BERA (Bhattcharrya 2006; Hall III & Antonelli 2006)

a. Masa laten absolut gelombang I, III, V.

Masa laten absolut gelombang I,III,V adalah waktu yang diperlukan

dari pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I, III, V.

b. Interwave latency I-III, III-V, I-V.

Merupakan waktu yang diperlukan dari gelombang I ke gelombang III,

dari gelombang III ke gelombang V dan dari gelombang I ke

gelombang V.

c. Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaural latency)

Yaitu perbedaan masa laten gelombang V antara telinga kanan

dengan telinga kiri, yang kadang-kadang juga pada gelombang III.

Rata-rata perbedaan bervariasi antara 0,2 ms - 0,6 ms.

d. Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity

function)

Dalam menilai sensitivitas dari pendengaran yaitu dengan menilai

gelombang V BERA, oleh karena gelombang V berhubungan dengan


52

ambang audiometri behavioral. Hal ini dapat lengkap terlihat dengan

memakai intensitas stimulus `klik`. Semakin kecil intensitas yang

diberikan, maka gelombang BERA akan menghilang kecuali

gelombang V yang dapat terlihat sampai pada level 5-20 dB.

e. Rasio amplitudo gelombang V/I.

Pengukuran rasio amplitudo gelombang V/I adalah untuk menilai

integritas batang otak. Amplitudo gelombang I dan V diukur kemudian

dibandingkan. Pada kondisi normal orang dewasa gelombang V harus

lebih besar dari gelombang I dengan hasil > 1,0. Pada kasus kelainan

retrokoklea, ratio amplitudo gelombang V/I akan menurun yaitu <1,0.

2.6.3. Pemeriksaan tambahan

a . Timpanometri

Pemeriksaan ini merupakan alat yang mengukur impedansi

(tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri

digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli

konduktif. Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari

penderita dan biasa digunakan juga pada anak-anak.

Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sumber suara dan

di pasang di liang telinga. Hasil pemeriksaan dari alat ini dibaca

dalam bentuk gelombang (Steele, Susman & McCurdy 2003).

b. Visual Reinforcement Audiometry (VRA)

Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada bayi usia 9

bulan sampai 2,5 tahun. Merupakan pemeriksaan


53

subjektif karena membutuhkan respons dari anak. Namun

pada tes ini selain diberikan bunyi-bunyi, alat yang

digunakan juga harus dapat menghasilkan gambar

sebagai reward bila anak berhasil memberi jawaban.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan sambil bermain (Shaw 2004).

c. Audiometri bermain (Play Audiometry)

Pemeriksaan yang juga berfungsi mengetahui ambang dengar

anak ini dapat dilakukan pada anak usia 2,5-7 tahun.

Caranya dengan menggunakan audiometer yang

menghasilkan bunyi dengan frekuensi dan intensitas

berbeda. Bila anak mendengar bunyi berarti sebagai

pertanda anak mulai bermain misalnya harus memasukkan benda

ke kotak di hadapannya (Diefendorf 2002).

d. Audiometri Konvensional

Pemeriksaan ini dapat dilakukan anak usia 7 tahun ke atas.

Fungsinya adalah untuk mengetahui ambang dengar. Caranya

dengan menggunakan alat audiometer yang mampu

mengeluarkan beragam suara, masing-masing dengan intensitas

dan frekuensi yang berbeda-beda. Yang diperiksa akan merespon

bunyi dengan menekan tombol yang disediakan atau mengangkat

tangan (Mc Pherson, Law & Wong 2010).


54

2.7. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga

2.7.1. Embriologi telinga

Perkembangan struktur kepala dan leher dari mamalia merupakan

hasil diferensiasi jaringan lunak dari embrio mamalia, dimana struktur

kepala dan leher berasal dari jaringan lunak di daerah pharyngeal

apparatus dari embrio (Choo & Richter 2009).

Perkembangan dari pharyngeal apparatus embrio membentuk tiga

komponen yaitu lengkung brankial (faringeal), kantong brankial dan celah

brankial, dimana lengkung brankial merupakan unsur pokok tempat

berkembangnya struktur-struktur dari lapisan mesoderm embrio seperti

jaringan otot, elemen pembuluh darah dan sel-sel neural crest yang

nantinya akan membentuk jaringan tulang dan jaringan syaraf. Oleh

karena itu apabila terjadi gangguan perkembangan pada lengkung

brankial akan menyebabkan kelainan kongenital pada struktur kepala dan

leher (Wareing, Lalwani & Jackler 2006; Choo & Richter 2009).

Periode yang penting untuk perkembangan telinga adalah pada

minggu ke-3 setelah fertilisasi, dimana telinga dalam terlebih dahulu

dibentuk. Telinga luar, tengah dan dalam berasal dari embriologi yang

berbeda dan perkembangannya dapat terganggu pada tingkatan manapun

sehingga dapat menimbulkan abnormalitas yang sangat bervariasi mulai

dari yang ringan sampai yang berat (Choo & Richter 2009).

Perkembangan auditorik berhubungan erat dengan perkembangan

otak. Neuron di bagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3

tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi


55

perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka

upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasi

dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung (HTA

Indonesia 2010).

Jaringan pada kepala dan leher berasal dari 3 lapisan embrio yaitu

endoderm, mesoderm, dan ektoderm (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Perkembangan prenatal dibagi menjadi beberapa periode yang terpisah.

Periode pertama dimulai dari saat implantasi blastosit ke dalam dinding

uterus hingga sirkulasi intraembrionik mulai terbentuk, selama periode

singkat ini (sekitar 21 hari) ketiga lapisan embrio yaitu endoderm,

mesoderm, dan ektoderm berkembang membentuk lempengan yang datar

dan memanjang yang mengandung notochord. Struktur seperti batang ini

berasal dari lapisan ektoderm dan memanjang sepanjang embrionic disc

(potongan embrio) mulai dari membran buccopharyngeal sampai ke

membran cloacal, dimana lapisan ektoderm dan lapisan endoderm

bertemu. Periode kedua yang berlangsung selama 35 hari (akhir minggu

ke-8) yang dinamakan periode embrionik. Selama periode ini terjadi

pertumbuhan yang cepat dan diferensiasi tingkat seluler sehingga pada

saat hari ke-56 semua sistem utama dan organ telah terbentuk, dan

embrio memiliki bentuk yang dapat dinyatakan sebagai manusia. Waktu

yang tersisa yaitu 7 bulan masa gestasi disebut periode fetal, dimana

pertumbuhan yang cepat hanya ditandai dengan perubahan bentuk serta

perubahan posisi antara struktur yang satu dengan yang lain dan tidak
56

ditemukannya diferensiasi sel baru seperti yang terjadi pada periode

embrionik (Wright 1997).

2.7.1.1. Perkembangan Telinga Dalam


Struktur telinga dalam terdiri dari labirin bagian membran berisi

cairan yang dibentuk dari lapisan ektoderm dan labirin bagian tulang (otic

capsule) yang dibentuk dari lapisan mesoderm dan neural crest (Choo &

Richter 2009).

a. Labirin Bagian Membran

Telinga bagian dalam merupakan bagian yang pertama kali

dibentuk dan berkembang dibandingkan dengan bagian telinga yang lain.

Pada akhir minggu ke-3 masa gestasi (hari ke-22) atau disebut juga

periode 7 somit, lapisan ektoderm yang berada di depan occipital somite

mengalami penebalan pada masing-masing sisi dari neural groove yang

masih terbuka dimana penebalan ini disebut dengan otic placode. Lapisan

mesoderm yang berada disekitar otic placode berproliferasi sehingga

perlahan-lahan membuat lapisan ektoderm yang membentuk otic placode

makin lama makin menyempit dan membentuk otic pit dimana pada

akhirnya otic placode akan lenyap dari permukaan luar dan membentuk

otocyst (otic vesicle), yang akan menjadi cikal bakal pembentukan labirin

bagian membran (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Otocyst terletak diantara lengkung brankial kedua dan lengkung

brankial ketiga yang akan mengalami perkembangan dan perubahan

bentuk secara dramatis sehingga mencapai bentuk dewasa pada minggu


57

ke-10 dan mencapai ukuran dewasa pada minggu ke-20 (Wareing,

Lalwani & Jackler 2006).

Dalam perkembangannya, otocyst lebih berkembang ke arah

panjang daripada lebar, hal ini menyebabkan otocyst dapat dibagi menjadi

tiga daerah dan terlihat jelas pada minggu ke-5 masa gestasi, yaitu

daerah kranial yang akan berkembang menjadi saluran endolimfatik

(endolympatic duct), daerah kaudal yang akan berkembang menjadi

saluran koklea (cochlear duct), dan daerah tengah atau daerah

utrikulosakular (utriculosaccular area) yang akan berkembang menjadi

sistem vestibular (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Gambar 2.3. Perkembangan dini dari telinga dalam pada minggu ke-3 dan ke-4
masa gestasi. Pembentukan otocyst dari otic placode (Wareing, Lalwani &
Jackler 2006).

Daerah utrikulosakular terus berkembang sehingga pada bagian

utrikulo muncul 3 buah kantong yaitu di bagian superior, posterior dan


58

lateral yang akan membentuk kanalis semisirkularis superior, posterior

dan lateral dimana kanalis semisirkularis superior terlebih dahulu

terbentuk secara lengkap pada minggu ke-6 kemudian diikuti oleh kanalis

semisirkularis posterior dan yang terakhir dibentuk adalah kanalis

semisirkularis lateral. Saluran koklea (cochlear duct) juga mulai

mengalami perkembangan secara cepat sehingga membentuk 1,5 putaran

pada minggu ke-8 serta telah mencapai putaran penuh yaitu 2,5 putaran

pada minggu ke-10 masa gestasi, walaupun belum mencapai panjang

keseluruhan, yang baru akan dicapai pada minggu ke-20 masa gestasi

(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Epitel sensoris, 3 buah krista, 2 buah makula, dan organ Corti dari

koklea dibentuk dari lapisan ektoderm otocyst. Makula berkembang pada

minggu ke-7 masa gestasi yang berasal dari sekitar daerah tempat

masuknya serabut saraf ke dalam utrikulus dan sakulus. Membran

otokonial mulai terbentuk pada minggu ke-12 masa gestasi (Wareing,

Lalwani & Jackler 2006). Epitel sensoris dari koklea mulai berkembang

pada minggu ke-7, bersamaan dengan itu saluran koklea juga mulai

berkembang dan membentuk putaran, pada dinding medial koklea lapisan

dari epitel sensoris ini mengalami perubahan menjadi bentuk seperti spiral

sebanyak 2 lapisan sepanjang koklea. Bagian spiral yang sebelah dalam

dan mempunyai ukuran lebih besar akan berkembang menjadi sel rambut

dalam (inner hair cell) dan membran tektorial, sedangkan bagian spiral

yang lebih kecil yaitu pada bagian luar akan berkembang menjadi sel
59

rambut luar (outer hair cell). Sel-sel rambut ini dapat dikenali secara jelas

pada minggu ke-11 masa gestasi (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Organ Corti berasal dan berkembang dari bagian dinding posterior

saluran koklea (cochlear duct), pada saat saluran koklea terus bertambah

panjang dan apabila pada waktu yang bersamaan dilakukan potongan

lintang maka terlihat bahwa struktur dalam dari saluran koklea berubah

bentuk, yang awalnya berbentuk lingkaran kemudian berubah menjadi

oval dan akhirnya berubah menjadi triangular. Bagian dinding posterior

saluran koklea berkembang menjadi organ Corti, dinding anterior

berkembang menjadi sebagian dari membran Reissner dan dinding lateral

berkembang menjadi stria vaskularis (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

b. Labirin Bagian Tulang

Lapisan mesoderm yang berada disekitar labirin bagian membran

mengalami perubahan-perubahan yang berkelanjutan sehingga

menghasilkan 2 macam formasi bentuk yaitu tulang rawan otic capsule

dan ruang perilimfatik (perilymphatic space) yang mengandung cairan

perilimfe pada minggu ke-8 masa gestasi. Di dalam koklea ruang

perilimfatik ini berkembang menjadi 2 bagian yaitu skala timpani dan skala

vestibuli dimana skala timpani dibentuk terlebih dahulu. Proses osifikasi

(penulangan) dari tulang rawan otik kapsul baru dimulai ketika labirin

bagian membran mencapai ukuran dewasa, proses penulangan dimulai

sekitar minggu ke-15 masa gestasi dan berakhir pada minggu ke-21

(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).


60

Gambar 2.4. Perkembangan labirin bagian tulang. Potongan lintang koklea yang
menggambarkan perkembangan organ Corti, labirin tulang, dan ruang
perilympatik pada minggu ke-8 sampai minggu ke-12 masa gestasi (Choo &
Richter 2009).

Secara klinis gangguan perkembangan telinga dalam dibagi menjadi 2

bagian yaitu:

1. Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran

2. Gangguan perkembangan pada Labirin membran.

Abnormalitas dari telinga bagian dalam dapat disebabkan oleh

perkembangan yang terhambat ataupun perkembangan yang

menyimpang dimana faktor-faktor yang terlibat dan dapat menimbulkan

hal ini sangat bervariasi berupa faktor genetik, maupun faktor teratogenik

(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).


61

Gambaran histopatologis yang sering dijumpai pada tuli kongenital

adalah displasia kokleasakular yang diakibatkan oleh terhambatnya

perkembangan bagian kaudal dari otocyst, sehingga sebagian atau

seluruh bagian dari organ Corti tidak terbentuk, yang pertama kali

digambarkan oleh Scheibe pada tahun 1892. Saluran koklea dan sakulus

mengalami kolaps, dan stria vaskularis mengalami degenerasi sedangkan

utrikulus dan kanalis semisirkularis normal (Wareing, Lalwani & Jackler

2006).

Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran

kebanyakan disebabkan oleh perkembangan yang terhambat pada

minggu ke-4 dan minggu ke-8 pada masa gestasi. Labirin aplasia

menyeluruh (Michel malformation) merupakan abnormalitas yang sangat

berat dan sangat jarang terjadi dimana diduga akibat dari kegagalan

otocyst untuk berkembang. Koklea aplasia, hipoplasia, dan pemisahan

saluran koklea (cochlear duct) yang tidak sempurna merupakan kelainan-

kelainan atau abnormalitas akibat dari perkembangan koklea yang

terhambat pada minggu ke-5, 6, dan 7 pada masa gestasi. Displasia dari

kanalis semisirkularis disebabkan oleh kegagalan penyatuan epitel sentral

dimana kanalis semisirkularis lateral yang paling sering terkena. Hal ini

disebabkan karena kanalis semisirkularis lateral merupakan yang terakhir

berkembang (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).


62

2.7.2. Anatomi Telinga

2.7.2.1 Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam atau labirin terdiri dari labirin bagian tulang dan

labirin bagian membran. Labirin bagian tulang terdiri dari kanalis

semisirkularis, vestibulum dan koklea, sedangkan labirin bagian membran

terletak di dalam labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis,

utrikulus, sakulus dan koklea (Dhingra 2010).

Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput

dan bergulung 21/2 putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan

pusatnya yang disebut modiolus dan juga merupakan tempat keluarnya

lamina spiralis. Dari lamina spiralis menjulur ke dinding luar koklea suatu

membran basilaris. Pada tempat perlekatan membran basilaris ke dinding

luar koklea terdapat penebalan periosteum yang dikenal sebagai

ligamentum spiralis. Di samping itu juga terdapat membran vestibularis

(Reissner) yang membentang sepanjang koklea dari lamina spiralis ke

dinding luar. Kedua membran ini akan membagi saluran koklea tulang

menjadi tiga bagian yaitu ruang atas (skala vestibuli), ruang tengah

(duktus koklearis/skala media), dan ruang bawah yang disebut skala

timpani. Antara skala vestibuli dengan duktus koklearis dipisahkan oleh

membran vestibularis (Reissner). Antara duktus koklearis dengan skala

timpani dipisahkan oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala

timpani mengandung perilimfe dan di dindingnya terdiri atas jaringan ikat

yang dilapisi oleh selapis sel gepeng yaitu sel mesenkim, yang menyatu

dengan periosteum disebelah luarnya. Skala vestibuli berhubungan


63

dengan ruang perilimfe vestibularis dan akan mencapai permukaan dalam

fenestra ovalis. Skala timpani menjulur ke lateral fenestra rotundum yang

memisahkannya dengan ruang timpani. Pada apeks koklea skala vestibuli

dan timpani akan bertemu melalui suatu saluran sempit yang disebut

helikotrema (Gacek 2009; Dhingra 2010).

Gambar 2.5. Koklea dan potongan melintang koklea (Wikipedia 2013)


64

Organ Corti terletak di atas membran basilaris yang mengandung

organ penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran, terdiri dari tiga

bagian utama, yaitu sel penunjang, sel-sel rambut dan suatu lapisan

gelatin penghubung membran tektoria. (Gacek 2009).

Cairan perilimfe memiliki komposisi ion yang mirip dengan cairan

cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan cairan ekstraseluler, dengan

konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium (K+) rendah. Cairan perilimfe

pada skala vestibuli berasal dari plasma darah yang terdapat pada barrier

hemato-perilimfatik, sedangkan cairan perilimfe pada skala timpani

berasal dari CSF (Dhingra 2010).

Cairan endolimfe adalah cairan yang memiliki komposisi ion yang

hampir sama dengan cairan intraseluler dan mengisi membran auditorius

dan labirin vestibularis. Endolimfe dibentuk oleh sel sel sekret pada stria

vaskularis dan oleh sel sel gelap di dekat akhir dari krista ampularis

pada duktus semisirkularis dan dinding utrikulus. Endolimfe diabsorpsi

pada sakus endolimfatikus. Komposisi cairan ini adalah tinggi kalium (K+)

dan rendah natrium (Na+). Konsentrasi kalium 144 mEq/L dan natrium 13

mEq/L. Skala media memiliki potensial istirahat sekitar 80 mV yang

menurun dari basis ke apeks. Potensial endokoklear ini dihasilkan stria

vaskularis di dinding lateral koklea (Mills, Khariwala & Weber 2006; Gacek

2009).
65

Gambar 2.6. Komposisi cairan koklea (Wikipedia 2013)

Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis lapis dari

lamina spiral pars osseus ke ligamen spiral. Elastisitas membran basilaris

bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan kelebarannya. Membran

basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea. Pada daerah ini

merupakan daerah yang sensitif terhadap frekuensi tinggi. Sedangkan

ujung lain dari membran, yaitu pada apeks koklea, tampak lebih fleksibel

dan luas dan paling sensitif terhadap frekuensi rendah (Dhingra 2010).

Gambar 2.7. Lebar membran basilaris dari basal ke apeks (Wikipedia 2013)

Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran.

Organ Corti terletak di sepanjang membran basilaris, dan menonjol dari


66

basis ke apeks koklea. Ukuran organ Corti bervariasi secara bertahap dari

basis koklea ke apeks koklea. Organ Corti terdiri atas sel sel penyokong

dan sel sel rambut. Sel rambut merupakan sel sensoris yang

menghasilkan impuls saraf dalam menanggapi getaran membran basilaris.

Di organ Corti terdapat 1 deret sel rambut dalam dan 3 sampai 5 deret sel

rambut luar. Ada sekitar 3500 sel rambut dalam dan 12000 sel rambut

luar. Sel sel ini berbeda secara morfologi, bentuk dari sel rambut dalam

seperti botol dan ujung syarafnya berbentuk piala yang menyelubunginya,

sedangkan bentuk dari sel rambut luar seperti silinder dan ujung syarafnya

hanya pada basis sel yang terletak bebas di perilimfe pada organ Corti

(Gacek 2009).

Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada

perubahan energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam

sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal syaraf ke neuron

pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi

sel rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak

gelombang berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris

pada frekuensi tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut cochlear

amplifier yang memberikan kemampuan sangat baik pada telinga untuk

menyeleksi frekuensi, telinga menjadi sensitif dan mampu mendeteksi

suara yang lemah. Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin

yang membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia).

Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada membran tektorial

dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel rambut luar kuat
67

melekat pada membran tektorial atasnya dan berbentuk huruf W (Laura &

Abraham 2012).

Gambar 2.8. Sel rambut, organ Corti dan sel rambut luar dan dalam dilihat
dengan mikroskop elektron (Laura & Abraham 2012)

Gambar 2.9. Tip Link (Laura & Abraham 2012)

GJB2 (Connexin 26) merupakan salah satu protein utama yang

berperan dalam homeostasis di dalam koklea di telinga dalam. Connexin-


68

26 merupakan suatu kelompok protein di gap junction yang berperan

penting dalam komunikasi berbagai komponen sel-sel rambut, pengaturan

perpindahan elektrolit dan metabolisme elektrolit sel-sel rambut. Connexin

26 diekspresikan pada epitel non sensorik (sel interdental limbus spiralis,

sel penunjang, sel sulkus dalam dan luar, serta sel ligamen spiralis) dan

sel-sel jaringan penghubung (fibrosit ligamen spiralis dan limbus spiralis,

sel intermediet dan basal di stria vaskularis). Enam connexin 26

membentuk connexon, dan masing-masing connexon berhubungan satu

sama lain untuk membentuk suatu gap junction (Moller 2006).

Gambar 2.10. Lokasi Ekspresi GJB2 (Connexin 26) (Moller 2006)

Gambar 2.11. Peran GJB2 dalam regulasi kalium (Steel 1999)


69

2.7.2.2 Sistem Saraf Pendengaran Sentral


Daerah sentral dari sistem pendengaran meliputi seluruh struktur

pendengaran yang letaknya setelah saraf koklearis, yaitu:

a. Kompleks nukleus koklearis

Kompleks nukleus koklearis terdiri dari 3 inti, yaitu nukleus koklearis

anteroventralis, nukleus koklearis posteroventralis, dan nukleus

koklearis dorsalis. Serabut afferen yang berjalan menuju kompleks

nukleus koklearis dibagi menjadi dua cabang, yaitu cabang

ascending menuju ke nukleus koklearis anteroventralis dan cabang

descending menuju ke nukleus koklearis posteroventralis dan

dorsalis (Moller 2006). Akson-akson yang terdapat pada nukleus

koklearis dorsalis akan membentuk stria akustikus dorsalis (stria

Monakow) yang kemudian bergabung dengan lemniskus lateralis

kontralateral dan berakhir pada kolikulus inferior. Akson-akson dari

nukleus koklearis posteroventralis membentuk stria akustikus

intermedius (Rappaport & Provencal 2002). Akson tersebut

membentuk kompleks olivaris superior bilateral dan menuju nukleus

lemniskus lateralis. Beberapa akson berjalan menuju stria ventralis

(corpus trapezoideus) dan membentuk kolikulus inferior

kontralateral. Akson-akson dari nukleus koklearis anteroventralis

membentuk stria ventralis dan akson tersebut membentuk nukleus

lateralis ipsilateral dari kompleks olivaris superior disebut juga

olivaris superior lateralis dan pada ipsilateral dan kontralateral

terdapat nukleus medial dari kompleks olivaris superior yang


70

disebut dengan olivaris superior medialis, serta kontralateral dari

nukleus corpus trapezoideus yang membentuk bagian ipsilateral

dari kompleks olivaris superior (Moller 2006).

Nada frekuensi rendah pada kompleks nukleus koklearis dihantar

oleh daerah kontralateral dan nada frekuensi tinggi oleh daerah

dorsomedialis (Rappaport & Provencal 2002).

b. Kompleks olivaris superior


Kompleks olivaris superior meliputi olivaris superior lateralis,

medialis dan nukleus corpus trapezoideus medialis dan nukleus

preolivaris dan periolivaris yang merupakan bagian dari sistem

pendengaran descending. (Rappaport & Provencal 2002; Moller

2006).

c. Lemniskus lateralis

Terdiri dari sel-sel akson yang terletak pada kompleks nukleus

koklearis, kompleks olivaris lateralis dan lemniskus lateralis.

Lemniskus lateralis mempunyai tiga nukleus yaitu nukleus dorsalis,

ventralis dan intermedius yang letaknya pada pons rostral. Nukleus

dorsalis kanan dan kiri dipertemukan oleh komissura Probst.

Akson-akson dari nukleus dorsalis berakhir pada kolikulus inferior

ipsilateral atau kontralateral via komissura Probst (Mills, Khariwala

& Weber 2006).


71

d. Kolikulus inferior

Terdiri dari daerah sentral atau kolikulus inferior sentral yang

dikelilingi oleh belt area. Kolikulus inferior sentral kanan dan kiri

dihubungkan dengan suatu komissura. Kolikulus inferior sentral ini

menerima proyeksi kontralateral dari masing-masing subdivisi

kompleks nukleus koklearis. Bilateral dari olivaris superior lateralis

dan dari nukleus dorsalis dan intermedius lemniskus lateralis serta

pada ipsilateral dari olivaris superior medius, nukleus korpus

trapezoideus medius dan nukleus lemniskus lateralis ventralis

(Rappaport & Provencal 2002). Belt area menerima proyeksi dari

nukleus lemniskus lateralis dorsalis dan ventralis dan dari nukleus

koklearis ventralis dan dorsalis. Akson-akson dari kolikulus juga

membentuk kolikulus inferior brakialis. Pada kolikulus inferior

sentralis, nada frekuensi rendah terletak pada daerah dorsalis dan

frekuensi tinggi pada ventrolateralis (Luxon & Cohen 1997;

Rappaport & Provencal 2002).

e. Korpus genikulatum medialis

Korpus genikulatum medialis merupakan bagian dari talamus

auditori yang mewakili penyampaian thalamus antara kolikulus

inferior dan korteks auditori. Dibagi dalam 3 nukleus yaitu nukleus

ventralis, dorsalis dan medialis. Korpus ini akan mengirimkan sinyal

ke korteks auditorius. Nada frekuensi rendah terletak pada bagian

lateralis dari nukleus ventralis dan frekuensi tinggi pada daerah


72

medialis (Rappaport & Provencal 2002; Mills, Khariwala & Weber

2006).

f. Korteks auditorius

Terdiri dari daerah primer (girus Heschl), yang terletak pada bagian

atas gyrus temporalis yang dikelilingi oleh Belt area. Belt area

meliputi temporal, gyrus temporalis posterosuperior (area

Broadmann 22), gyrus angularis (area Broadmann 40) dan insula.

Hantaran suara pada korteks auditorius yaitu pada area

Broadmann 22. Kolikulus inferior sentralis, korpus genikulatum

medialis ventralis dan korteks auditorius primer merupakan jalur

pendengaran yang utama (Mills, Khariwala & Weber 2006; Moller

2006; Gacek 2009).


73

Gambar 2.12. Jalur Auditori (The Auditory System 2011)


74

2.7.3. Fisiologi pendengaran

Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang ditransmisikan ke liang

telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani

bergetar. Amplitudo getaran membran timpani sesuai dengan intensitas

bunyi. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran (maleus,

inkus, stapes) yang berhubungan satu sama lain. Ketika gelombang

mencapai basis stapes, ia akan menggetarkan fenestra ovale yang

merupakan perlekatan dari basis stapes ke koklea. Lalu getaran tersebut

akan mendorong cairan perilemfe pada skala vestibuli yang ada di koklea

di auris interna. Adanya pendesakan cairan perilimfe di skala vestibuli,

akan terjadi peningkatan tekanan di skala vestibuli tersebut. Tekanan ini

kemudian akan diteruskan ke skala timpani melalui helikotrema. Cairan

pada skala timpani ikut terdesak. Hal ini mengakibatkan tekanan pada

skala timpani meningkat, kemudian desakan cairan timpani akan

mendorong fenestra rotundum yang terdapat di sebelah lateral dari skala

timpani ke arah lateral. Karena sifat compliance/kelenturan fenestra

rotundum, maka setelah terdesak ke lateral, ia akan kembali ke posisi

semula sehingga tekanan akan terpantulkan kembali ke skala timpani,

helikotrema, kemudian ke skala vestibuli, begitu seterusnya. Getaran

diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe dan

membrana basilaris ke arah bawah. Puncak gelombang yang berjalan di

sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut,

ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Membran basilaris yang

terletak dekat telinga tengah lebih pendek dan kaku, akan bergetar bila
75

ada getaran dengan nada rendah. Hal ini dapat diibaratkan dengan senar

gitar yang pendek dan tegang, akan beresonansi dengan nada tinggi.

Getaran yang bernada tinggi pada perilimfe skala vestibuli akan melintasi

membran basilaris bagian basal. Sebaliknya nada rendah akan

menggetarkan bagian membran basilaris di daerah apex. Getaran ini

kemudian akan turun ke perilimfe skala timpani, kemudian keluar melalui

foramen rotundum ke telinga tengah untuk diredam (Ingber 2006).

Membran basilaris merupakan membran yang membatasi skala

timpani dengan skala media. Gerakan membran basilaris ke atas akan

membengkokkan stereosilia ke arah stereosilia yang lebih tinggi pada fase

depolarisasi mengakibatkan terjadinya peregangan pada serabut tip link di

puncak stereosilia. Ketika tip link meregang langsung membuka saluran

mekanoelekrik transduksi (MET) pada membran stereosilia dan

menimbulkan aliran arus K+ ke dalam sel sensoris. Aliran kalium timbul

karena terdapat perbedaan potensial endokoklea +80 mV dan potensial

intraseluler negatif pada sel rambut, sel rambut dalam -40 mV dan sel

rambut luar -70 mV. Hal tersebut menghasilkan depolarisasi intraseluler

yang menyebabkan kation termasuk kalium dan kalsium mengalir ke

dalam sel rambut. Masuknya ion K+ akan mengubah potensial listrik dalam

sel rambut dan mendepolarisasi sel, pada akhirnya sel rambut memendek

dengan mempengaruhi motor sel rambut luar atau prestin (Gacek 2009;

Dhingra 2010)

Ketika membran basilaris bergerak turun, stereosilia membengkok

ke arah stereosilia yang terpendek pada fase hiperpolarisasi


76

mengakibatkan terjadinya pengenduran pada serabut tip link di puncak

stereosilia maka saluran MET akan tertutup. Bila stereosilia tegak lurus,

pembukaan saluran MET tak akan berpengaruh. Tip link ini seperti saluran

elastik yang bisa mengendalikan buka tutupnya saluran MET. Ion K+

keluar dari sel rambut luar ke dalam ruang ekstraseluler di sekitar sel

rambut luar kemudian masuk ke sel pendukung. Rangsangan suara

diubah menjadi getaran membran basilaris, dan mengarahkan pada

pembukaan dan penutupan saluran MET pada stereosilia kemudian

menghasilkan respon elektrokimia dan akhirnya akan mepresentasikan

suara pada saraf pendengaran (Gacek 2009; Dhingra 2010)

Serabut-serabut serabut saraf koklearis berjalan menuju inti

koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis

tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun

sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada

lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras

pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks

pendengaran pada lobus temporalis (Gacek 2009).

2.8. Skrining Pendengaran Bayi Baru lahir

Skrining pendengaran bertujuan menemukan kasus gangguan

pendengaran ketulian sedini mungkin sehingga dapat dilakukan

habilitasi/rehabilitasi segera, agar dampak cacat dengar bisa dibatasi.

Skrining pendengaran pada bayi baru lahir (Newborn Hearing Screening)

dibedakan menjadi (Suwento, Zizlavsky & Hendarmin 2007):


77

a. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS), bertujuan melakukan

deteksi dini gangguan pendengaran pada semua bayi baru lahir.

Upaya skrining pendengaran ini sudah dimulai pada saat usia 2 hari

atau sebelum meninggalkan rumah sakit. Untuk bayi yang lahir pada

fasilitas kesehatan yang tidak memiliki program UNHS, paling lambat

pada usia 1 bulan sudah melakukan skrining pendengaran.

b. Targeted Newborn Hearing Screening, khusus pada bayi yang

mempunyai faktor risiko terhadap ketulian.


78

2.9. Klasifikasi gangguan pendengaran

Tabel 2.1. Klasifikasi Gangguan Pendengaran

Variabel Keterangan
Lokasi lesi
Konduktif Telinga luar atau tengah.
Sensorineural Koklea atau saraf auditorius.
Neural Saraf auditorius (seperti pada neuropati auditorius),
mungkin non-genetik (misalnya timbul setelah
hiperbilirubinemia) atau genetik (misalnya akibat
mutasi gen otoferlin OTOF).
Sentral Akibat kesulitan proses persepsi informasi suara
pada otak.
Onset
Kongenital Timbul sejak lahir, dapat dideteksi dengan skrining
neonates
Didapat Timbul kapan saja setelah lahir (misalnya akibat
infeksi atau trauma kepala).
Penyebab
Genetik Berhubungan dengan gangguan mekanisme
molekular telinga dalam yang diturunkan; penyebab
genetik ditemukan pada sedikitnya 50% kasus
gangguan pendengaran permanen pada anak-anak;
molekul yang dikodekan termasuk gap-junction
protein connexin 26 (mutasi GJB2), molekul motor
(actin dan myosin), dan faktor transkripsi; pewarisan
umumnya resesif (80% kasus) tapi juga bisa
dominan (15% kasus) atau X-linked atau
mitokondria (<1%); ketulian dapat terjadi sejak lahir
atau dapat juga timbul kemudian; sekitar 4% anak-
anak dengan gangguan pendengaran genetik
memiliki malformasi telinga dalam.

Prenatal (infeksi sitomegalovirus, rubella, sifilis,


Infeksi toxoplasma, atau infeksi virus lainnya) atau
postnatal (measles, mumps, atau meningitis);
meningitis dapat mengganti koklea dengan tulang
baru, yang menimbulkan masalah mayor saat
implan koklea.
Lingkungan Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO),
bising, dapat berhubungan dengan perawatan di
unit neonatus.
79

Variabel Keterangan
Agen ototoksik Antibiotik aminoglikosida (dengan mutasi 1555AG
pada gen 12S rRNA [MTRNR1]) dan agen
kemoterapi seperti sisplatin.
Lain-lain Sepsis, anomali kraniofasial, prematur, berat badan
lahir rendah, anoksia, inkompatibilitas rhesus.

Gambaran klinis
Ketulian Berhubungan dengan temuan klinis lainnya
sindromik (misalnya gangguan penglihatan pada sindroma
Usher, gangguan fungsi tiroid pada sindroma
Pendred, atau aritmia pada sindroma Jervell dan
Lange-Nielsen); ditemukan pada 30% kasus
gangguan pendengaran herediter; sekitar 400
sindroma berhubungan dengan gangguan
pendengaran.
Ketulian Ketulian sebagai temuan tersendiri.
nonsindromik
Bahasa
Ketulian Terjadi sebelum perkembangan bicara.
prelingual
Ketulian Terjadi setelah perkembangan bicara.
postlingual

Severitas
Ketulian ringan, Level pendengaran 20-40 dB menunjukkan
sedang, atau gangguan pendengaran ringan, 41-70 dB gangguan
berat sedang, dan 71-90 dB gangguan berat; gangguan
ringan sampai berat umumnya permanen namun
alat bantu dengar dapat mengkompensasi
gangguan; level gangguan dapat berfluktuasi
seperti pada large vestibular aqueduct syndrome
(sering pada sindroma Pendred) dimana trauma
kepala minor atau terbang dengan pesawat dapat
mencetuskan gangguan pendengaran.
Frekuensi
Rendah < 500 Hz
Tengah 501-2000 Hz
Tinggi > 2000 Hz
80

2.10. Mutasi Genetik


Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada bahan genetik (DNA

maupun RNA) yang menyebabkan perubahan ekspresinya, baik pada

taraf urutan gen (disebut mutasi titik) maupun pada taraf kromosom.

Mutasi pada tingkat kromosom biasanya disebut aberasi. Mutasi pada gen

dapat mengarah pada munculnya alel baru dan menjadi dasar munculnya

variasi-variasi baru pada spesies. Mutasi di alam dapat terjadi akibat zat

pembangkit mutasi (mutagen, termasuk karsinogen), radiasi surya,

radioaktif, sinar X, serta loncatan energi listrik seperti petir, terpapar zat

kimia termasuk makanan. Peristiwa terjadinya mutasi disebut

mutagenesis. Sedangkan, individu yang mengalami mutasi sehingga

menghasilkan fenotip baru disebut mutan (Jena 2012).

Mutasi Gen (Mutasi Titik)

Mutasi gen atau mutasi titik adalah mutasi yang terjadi karena

perubahan pada satu pasang basa DNA suatu gen. Perubahan DNA

menyebabkan perubahan kodon-kodon RNA, yang akhirnya

menyebabkan perubahan asam amino tertentu pada protein yang

dibentuk. Perubahan protein atau enzim akan menyebabkan perubahan

metabolisme dan fenotip organisme. Besar kecilnya jumlah asam amino

yang berubah akan menentukan besar kecilnya perubahan fenotip pada

organisme tersebut. Ada dua mekanisme mutasi gen, yaitu subtitusi

pasangan basa dan penambahan atau pengurangan pasangan basa

(Jena 2012).
81

a. Subtitusi Pasangan Basa

Subtitusi pasangan basa ialah pergantian satu pasang nukleotida

oleh pasangan nukleotida lainnya. Subtitusi pasangan basa ada dua

macam, yaitu transisi dan tranversi. Transisi adalah penggantian satu

basa purin oleh basa purin yang lain, atau penggantian basa pirimidin

menjadi basa pirimidin yang lain. Transisi sesama basa purin, misalnya

basa adenin diganti menjadi basa guanin atau sebaliknya. Sedangkan,

transisi sesama basa pirimidin, misalnya basa timin diganti oleh basa

sitosin atau sebaliknya (Jena 2012).

Tranversi adalah penggantian basa purin oleh basa pirimidin, atau

basa pirimidin oleh basa purin. Tranversi basa purin oleh basa pirimidin,

misalnya basa adenin atau guanin diganti menjadi basa timin atau sitosin.

Tranversi basa pirimidin oleh basa purin, misalnya basa timin atau sitosin

menjadi basa adenin atau guanin (Jena 2012).

Subtitusi pasangan basa ini kadang-kadang tidak menyebabkan

perubahan protein, karena adanya kodon sinonim (kodon yang terdiri atas

tiga urutan basa yang berbeda, tetapi menghasilkan asam amino yang

sama). Misalnya, basa nitrogen pada DNA adalah CGC menjadi CGA

sehingga terjadi perubahan kodon pada RNA dari GCG menjadi GCU.

Sedangkan, asam amino yang dipanggil sama, yaitu arginin (Jena 2012).

b. Penambahan atau Pengurangan Pasangan Basa

Mutasi gen yang lain adalah perubahan jumlah basa akibat

penambahan atau pengurangan basa. Penambahan atau pengurangan


82

basa pada DNA dapat menyebabkan perubahan sederetan kodon RNA

yang terdapat di belakang titik perubahan tersebut, berarti juga akan

terjadi perubahan asam amino yang disandikan melalui RNA tersebut.

Akibat lain dari penambahan atau pengurangan basa adalah terjadinya

pergeseran kodon akhir pada RNA. Pergeseran kodon akhir

menyebabkan rantai polipeptida mutan menjadi lebih panjang atau lebih

pendek. Mutasi ini disebut juga mutasi ubah rangka karena menyebabkan

perubahan ukuran pada DNA maupun polipeptida (Jena 2012).

Mutasi ubah rangka ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

penambahan basa (adisi) dan pengurangan basa (delesi). Mutasi karena

penambahan basa, misalnya basa DNA awalnya AGC-GTC menjadi TAG-

CGT-C. Sedangkan, jika basa DNA tersebut mengalami pengurangan

basa maka urutannya menjadi GCG-TC.... Penambahan atau

pengurangan basa dapat terjadi di bagian awal, di tengah, atau di akhir

(Jena 2012).

Contoh mutasi (Rehm, Williamson, Kenna, Corey, Korf, 2008):

Pengaruh mutasi terhadap protein (Jena 2012):

a. Silent artinya triplet mutan memberi kode asam amino yang sama

Misalnya: AGG CGG memberi kode asam amino arginin

b. Sinonim artinya triplet memberi kode asam amino yang berbeda fungsi.

Misalnya AAA AGA : lysin menjadi arginin, tapi keduanya

merupakan asam amino basa


83

c. Mutasi missense artinya mutasi menghasilkan asam amino yang

berbeda atau tidak berfungsi.

d. Mutasi nonsense artinya mutasi menghasilkan kodon pemutus,

sehingga sintesis protein berhenti. Misanya CAG (glisin) UAG

(berhenti)

e. Mutasi Frameshift : penambahan atau delesi pasangan basa yang

bukan kelipatan 3, sehingga menyebabkan pergeseran pembacaan

kerangka, sehingga sintesis protein dari tempat terjadi mutasi sampai

seterusnya dapat berubah.

2.11. Ketulian dan Genetik

Diperkirakan sekitar setengah dari jumlah kejadian tuli yang terjadi

pada masa kanak-kanak penyebabnya adalah herediter. Kelainan

herediter ini melibatkan gen yang bertanggungjawab dalam proses

pendengaran yang diturunkan dalam keluarga (Cynthia et al. 2006).

Mutasi gen bisa bersifat dominan atau resesif. Bila seorang anak

mendapat gen dominan dari salah satu orangtuanya (misalnya ibu) dan

gen normal dari ayahnya, maka anak tersebut dapat mengalami gangguan

kesehatan karena gen dominan dari ibu bersifat lebih kuat. Sementara itu

mutasi yang bersifat resesif membutuhkan sepasang gen yang rusak

untuk menimbulkan gangguan kesehatan, dan bila hanya satu gen yang

diturunkan berarti anak tersebut merupakan carrier, dimana ia tidak

mengalami gangguan kesehatan namun dapat menurunkan kelainan

tersebut ke anaknya (Rehm et al. 2008).


84

Terdapat dua jenis ketulian yang bersifat genetik, antara lain

sindromik yaitu dimana terdapat masalah kesehatan lain yang menyertai

hilangnya pendengaran, dan jenis yang non-sindromik yaitu satu-satunya

gejala adalah hilangnya pendengaran. Walaupun sebagian besar ketulian

kongenital bersifat non-sindromik namun banyak juga sindroma-sindroma

lain yang memiliki tanda hilang pendengaran sebagai salah satu gejalanya

(Cynthia et al. 2006; Avraham & Kanaan 2012).

Tabel 2.2. Sindroma yang sering menyebabkan ketulian (Cynthia et al.


2006)
Sindroma Kelainan selain ketulian

Alport Masalah ginjal


Brankio-oto-renal Kista leher dan masalah ginjal
Jervell dan Lange-Nielsen Masalah jantung
Pendred Pembesaran tiroid
Stickler Perubahan bentuk wajah, masalah mata,
artritis
Sindroma Usher Buta yang progresif
Sindroma Waardenburg Perubahan pigmen kulit

Penting untuk mengenali sindroma ini guna mengetahui apakah

ada gejala medis lain yang mungkin akan muncul, namun tidak mudah

mengetahui suatu ketulian adalah jenis sindromik atau non-sindromik

karena gejala lain bisa saja tidak terlalu menonjol atau hanya dapat

terdeteksi oleh tes khusus. Untuk mengetahuinya kita dapat berkonsultasi

ke ahli jantung, ahli mata atau ahli genetik. Bila ditemukan kelainan

genetik pada satu orang dan tidak ditemukan riwayat ketulian pada

keluarganya bukan berarti ketulian tersebut tidak diturunkan. Pada

kenyataannya, ketulian genetik seringkali muncul pertama kali pada anak


85

yang kedua orangtuanya tidak tuli dan tidak memiliki riwayat tuli pada

keluarganya (Cynthia et al. 2006; Avraham & Kanaan 2012).

2.12. Jenis-jenis Ketulian Genetik

2.12.1. Pewarisan Autosomal Resesif (DFNB)

Kebanyakan tuli genetik diturunkan secara resesif, yaitu sekitar

80%. Karena adanya karier heterozigot yang asimtomatik terkadang sulit

dibedakan dengan tuli non genetik (Avraham & Kanaan 2012).

Seorang anak menerima satu set kromosom dari ibunya dan satu

set lainnya dari ayahnya. Bila masing-masing kromosom ibu dan ayah

memiliki mutasi resesif pada gen yang sama, setiap anak memiliki

kemungkinan 50% untuk menerima mutasi resesif dari salah satu orang

tua. Namun pada kasus mutasi resesif, agar si anak terpengaruh,

diperlukan kedua set gen yang termutasi. Kemungkinan kedua gen

termutasi diturunkan pada anak adalah (kemungkinan menerima mutasi

dari ayah) dikalikan (kemungkinan menerima mutasi dari ibu) = x =

= 25%. Sehingga pada setiap kehamilan terdapat kemungkinan 25%

bahwa si anak menerima kedua mutasi (Rehm et al. 2008).


86

Gambar 2.13. Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara resesif (Rehm et
al. 2008)

Ketulian kongenital yang diturunkan bisa berdiri sendiri (non-

sindromik) atau melibatkan gangguan kesehatan lainnya (sindromik).

Gangguan autosomal resesif non-sindromik (Autosomal Recessive

Nonsyndromic Hearing Loss / ARNSHL) sejauh ini telah diketahui

setidaknya melibatkan 30 gen yang menimbulkan kelainan tersebut.

Sekitar 47% dari populasi tuna rungu di Kolombia menderita ARNSHL.

Lokus gen ARNSHL ini diberi nama DFNB dimana huruf B mewakili sifat

resesif pada keturunan ini (Lattig et al. 2008).

Gen pada lokus DFNB1 mengkode gap junction beta 2 (GJB2),

yang memproduksi protein connexin 26 (Bailey, Jonas & Shawn 2006).

DFNB1 diperkirakan menjadi penyebab 20% ketulian yang diturunkan

pada anak-anak. Pada pasien dengan gangguan pendengaran >70dB

sebanyak 40% memiliki DFNB1; pada ketulian ringan sampai sedang


87

hanya 10-15% yang memiliki gen ini (Rehm et al. 2008). Mutasi GJB2

ditemukan pada banyak pasien dengan latar belakang etnis yang

beragam, misalnya delesi basa guanin pada nukleotida posisi 35 (35delG)

sering ditemui pada bangsa Eropa. Delesi timin pada posisi 167 (167delT)

sering ditemukan pada populasi kaum Yahudi Ashkenazi dan mutasi

235delC sering pada Jepang atau bangsa Asia pada umumnya (Bailey,

Jonas & Shawn 2006).

Pada warga kulit putih di Amerika Serikat ditemukan 1 dari 40

orang adalah carrier mutasi GJB2. Tingginya frekuensi mutasi ini

membuat tes skrining genetik dan molekuler layak untuk dilakukan (Eisen

& Ryugo 2008).

Gangguan autosomal resesif sindromik artinya ketulian ini

diturunkan secara resesif dan disertai oleh beberapa gangguan medis

lainnya selain ketulian sehingga membentuk suatu sindroma, antara lain

sindroma Usher, sindroma Pendred, sindroma Jervell dan Lange-Nielsen,

dan lain-lain (Rehm et al. 2008).

Pada sindroma Jervell dan Lange-Nielsen derajat ketulian

bervariasi namun umumnya tuli berat, disertai dengan kelainan konduksi

jantung dimana pasien sering mengalami sinkop dan kejang-kejang. Pada

pasien sindroma Pendred selain ketulian juga ditemukan kelainan

metabolisme iodine yang bermanifestasi sebagai euthyroid goiter. Gen

yang menyebabkan sindroma ini telah diketahui dan disebut dengan

SLC26A4, dimana gen ini memproduksi protein yang disebut pendrin yang

bertanggung jawab atas transportasi iodin dan klorida (Avraham &


88

Kanaan 2012). Tuli pada sindroma ini bisa timbul berat pada saat lahir

atau memberat seiring dengan usia, dengan jenis ketulian sensorineural

(Eisen & Ryugo 2008).

Sindroma Usher memiliki karakteristik retinitis pigmentosa dan tuli

dimana insidensinya mencapai 4,4 per 100.000 penduduk di Amerika

Serikat dan 3,0 per 100.000 di Skandinavia. Pada sindroma ini gen yang

terganggu pada akhirnya mempengaruhi sel-sel rambut sensori sehingga

menganggu proses pendengaran. Diperkirakan sindroma Usher diderita

sekitar 0,6-28% dari populasi tuna rungu. Sampai saat ini telah ditemukan

8 gen penyebab sindroma Usher, diagnosis dini sindroma ini memiliki

implikasi yang penting untuk rehabilitasi dan perencanaan edukasi pasien

(Bailey, Jonas & Shawn 2006).

2.12.2.Pewarisan Autosomal Dominan (DFNA)

Anak dengan ibu yang mempunyai gen normal dan ayah dengan

mutasi gen dominan masing-masing memiliki 50% kemungkinan tuli.

Hanya satu salinan gen mutasi yang diturunkan dapat menyebabkan

ketulian pada anak. Sehingga pada setiap kehamilan terdapat 50 %

kemungkinan anaknya akan tuli (Avraham & Kanaan 2012).


89

Gambar 2.14. Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara dominan (Rehm
et al. 2008)

Autosomal dominant non syndromic Hearing loss (ADNSHL) adalah

ketulian yang progresif dengan onset pada usia dekade kedua atau ketiga,

memiliki beragam derajat ketulian dan merupakan kandidat yang potensial

untuk menjalani implantasi koklea (Avraham & Kanaan 2012).

Gangguan autosomal dominan sindromik antara lain adalah

sindroma branchiootorenal (BOR atau disebut juga sindroma Melnick-

Fraser) memiliki beberapa kriteria:

Tabel 2.3. Kriteria sindroma branchiootorenal (Avraham & Kanaan 2012)

Kriteria Mayor Kriteria Minor

Anomali brakial Kelainan telinga luar

Ketulian Kelainan telinga tengah

Lubang preaurikular Kelainan telinga dalam

Kelainan ginjal Lainnya: asimetri wajah, kelainan


palatum
90

Disebut sindroma BOR bila ditemukan 3 kriteria mayor, atau 2

kriteria minor dan 2 kriteria minor, atau 1 kriteria mayor dan terdapat

keterlibatan keluarga dekat yang menderita sindroma ini (Bailey, Jonas &

Shawn 2006).

2.12.3. Pewarisan Mutasi Resesif X-linked (DFN)

Seorang anak menerima satu kromosom X dari ibunya dan satu kromoson

X atau Y dari ayahnya. Karena wanita memiliki dua kromosom X, semua

anak menerima satu kromosom X dari ibu. Namun pria memiliki satu

kromosom X dan satu kromosom Y. Jadi seorang anak bisa menerima

kromosom X dari ayahnya dan menjadi wanita, atau menerima kromosom

Y dari ayahnya dan menjadi pria. Sebagai contoh, seorang ibu memiliki

mutasi resesif pada salah satu kromosom X, sedangkan si ayah memiliki

kromosom X normal. Sebagai hasilnya, walaupun seorang anak

perempuan menerima kromosom X yang termutasi dari ibunya, namun si

anak tetap tidak terpengaruh karena dia menerima kromosom X normal

dari ayahnya (Rehm et al. 2008). Anak perempuan bisa berupa karier

tergantung pada proses lionisasi. Lionisasi atau inaktivasi kromosom X

adalah adalah proses dimana satu dari dua kromosom X pada wanita

menjadi tidak aktif. Kromosom X yang tidak aktif didiamkan dengan

adanya struktur transkripsi tidak aktif yang disebut heterokromatin. Karena

wanita memiliki dua kromosom X, inaktivasi X mencegah terbentuknya

produk gen dari kromosom X dua kali lebih banyak daripada pria.

Kromosom X yang menjadi tidak aktif terjadi secara acak, dan kromosom
91

X yang tidak aktif akan tetap tidak aktif selama hidup sel dan

keturunannya pada organisme. Inaktivasi X adalah perubahan epigenetik

yang menyebabkan perbedaan fenotipe dan bukan merupakan perubahan

pada tingkat genotipe. (Hiratani & Gilbert 2010).

Namun pada anak laki-laki, si anak memiliki kemungkinan 50%

untuk menerima kromosom X yang termutasi resesif dari ibunya, serta si

anak akan menerima kromosom Y dari ayahnya. Apabila si anak laki-laki

menerima kromosom X termutasi dari ibunya, dia tidak memiliki kromosom

X normal lain untuk memblok efek mutasi. Sehingga setiap anak laki-laki

memiliki kemungkinan 50% untuk menderita kelainan (Rehm et al. 2008).

Gambar 2.15. Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara resesif x-liked
(Rehm et al. 2008)

Kelainan ini memiliki insidensi sekitar 1-2% populasi, juga terbagi

atas sindromik dan non sindromik. Sindromik yang berkaitan dengan

kromosom X antara lain adalah penyakit Norrie, sindroma otopalatodigital,


92

sindroma Wildervanck, sindroma Alport dan sindroma Leigh (Avraham &

Kanaan 2012).

2.12.4. Pewarisan Mutasi Mitokondria

Pada reproduksi, hanya ovum dari ibu yang menurunkan

mitokondria ke anaknya, sedangkan sperma dari ayah tidak menurunkan

mitokondria. Sehingga bila terdapat mutasi pada gen mitokondria ibu,

kelainan ini akan diturunkan ke semua anaknya. Sedangkan seorang ayah

tidak akan mewariskan mutasi mitokondria ke anak-anaknya (Rehm et al.

2008; Avraham & Kanaan 2012).

Gambar 2.16. Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara pewarisan
mutasi mitokondria (Rehm et al. 2008)

Sindroma lain yang berhubungan dengan kelainan kromosom dan

ketulian antara lain sindroma Down, sering dijumpai kelainan telinga

tengah dan tulang mastoid namun sering juga disertai tuli sensorineural;
93

sindroma Turner, bisa dijumpai tuli konduktif, sensorineural ataupun

campuran, dan gangguan genetik yang multifaktor (Rehm et al. 2008).

Terdapat juga kasus-kasus dimana mutasi genetik ditemukan

pertama kali pada seseorang dimana kedua orangtuanya tidak membawa

mutasi tersebut. Jenis mutasi ini disebut mutasi spontan dan umumnya

disebabkan karena perubahan DNA pada gen ovum atau sperma

orangtua. Pada keadaan ini kelainan genetik dapat tiba-tiba muncul pada

suatu keluarga yang tidak ditemukan pada pendahulunya. Pada kasus

seperti ini, tidak dapat ditentukan kemungkinan seorang anak akan

memiliki kelainan (Jena 2012).

2.13. Gen Gap Junction Beta 2 (GJB2)

Mutasi gap junction beta 2 (GJB2) adalah penyebab penting

terjadinya gangguan pendengaran pada penderita gangguan

pendengaran non sindromik (Abe et al. 2000; Lustig et al 2004). Mutasi

gen ini pertama sekali dilaporkan oleh Kelsell et al tahun 1997 yang

dianggap menarik karena mutasi gen ini terdapat lebih dari 50% tuli

kongenital (Abe et al. 2000). Gen GJB2 menyandi protein connexin 26

(Cx26) yang banyak terekspresi pada sel penunjang epitel koklea,

merupakan bagian dari protein connexin yang berperan penting pada

intercellular gap junction, dan dipercaya mempunyai peranan yang sangat

penting pada regulasi masuknya ion kalium selama proses transduksi

pada telinga dalam (Wu et al. 2002).


94

Pada proses mendengar, transduksi sensorik bergantung pada

aliran kalium yang mengalir dari endolimfe melalui sel-sel rambut sensorik.

Kalium kemudian digunakan kembali melalui jalur lain. Saat stimulasi

suara, kalium dilepaskan oleh sel-sel rambut dan memasuki sel-sel

penunjang dengan bantuan K+/Cl- ko-transporter, KCC4. Kalium (K+)

kemudian dikeluarkan melalui kanal-kanal gap junction. Cx26 tipe wild

juga memungkinkan aliran interselular dari Ins(1,4,5)P3 dan propagasi

gelombang Ca2+. Walaupun mekanisme dari peningkatan awal dari

messenger kedua ini belum jelas diketahui, hal ini menghasilkan aktivasi

jarak jauh dari sistem refluks K+/Cl- yang menggunakan kembali K+ dari

sel-sel penunjang ke dalam endolimfe untuk mencegah kelebihan ion.

Gelombang interselular juga membutuhkan aktivasi reseptor purinergik

oleh rute parakrin . Apakah pelepasan ATP dimediasi oleh connexin hemi-

channels atau oleh mekanisme lain, masih perlu diteliti. Kanal V84L yang

bermutasi menunjukkan gangguan permeabilitas yang sangat

mempengaruhi transfer Ins(1,4,5)P3 (tapi tidak K+ dan ion lain) dan

besarnya perubahan Ca2+. Perubahan ini dapat menyebabkan penurunan

aktivitas ko-transpor, akumulasi ion K+ di ruang ekstraselular yang

mengelilingi sel-sel rambut dan sel-sel penunjang dan kemudian

menyebabkan kematian sel dan menimbulkan ketulian (Bruzzone &

Cohen-Salmon 2005).
95

Gambar 2.17. Regulasi Kalium dalam Organ Corti (Bruzzone & Cohen-Salmon

2005).

GJB2 terdiri dari dua exon yang dipisahkan oleh intron, panjang

sekitar 5500 bp dan hanya mempunyai satu coding region yang

seluruhnya berada di exon 2. Sekuens dari coding region terdiri dari 681

bp, menyandi protein gap junction protein dengan 226 asam amino.GJB2

terletak pada locus DFNB1 13q11-q12 menyebabkan ketulian autosomal

resesif DFNB1 dan autosomal dominan DFNA3 (Eisen & Ryugo 2008;

Hamid et al. 2009; Yuan et al 2010).


96

2010
2012
DFNA43 DFNA6/14
DFNA2 DFNB9 DFNA38 DFNB66 DFNB44
DFNB47 DFNB25 DFNA13 DFNA5
DFNA37 DFNB49
DFNB6 DFNB55 DFNB53 DFNB39
DFNB32 DFNB42 DFNB60 DFNA22
DFNA7 DFNB58 DFNB4
DFNB27 DFNA18 DFNA27 DFNB37 DFNB14
DFNA49 DFNA24 DFNA1
DFNB15 DFNA15 DFNB31 DFNB17
DFNB36 DFNA16 DFNA21 DFNA28
DFNA34 DFNB59 DFNA44 DFNB26 DFNA42 DFNB13
DFNB38
DFNB45 DFNA39 DFNA10 DFNA50
DFNA42
DFNA52

DFNB51
DFNA32 DFNB62
DFNB30 DFNB18 DFNA31
DFNB7/11 DFNB63 DFNA48 DFNB1 DFNA9
DFNA47 DFNB23 DFNB2 DFNA40
DFNA25 DFNA3 DFNB5 DFNB16
DFNA51 DFNA19 DFNA11 AUNA1 DFNB22
DFNA36 DFNB12 DFNA8/12 DFNA41 DFNA23 DFNA30
DFNB50 DFNB35
DFNB31 DFNB57 DFNB21 DFNB48
DFNA53
DFNB33 DFNB24
DFNB20
DFN6
DFNB68 DFN4
DFNB19 DFNA57
DFNB3 DFN3
DFNB15 DFNA17
DFNA4 DFNB65 DFNB8/10 DFN2
DFNA20/26 DFNB28 DFNY
DFNB29 DFNB40

Courtesy Heidi Rehm, PhD

Gambar 2.18. Gambar kromosom 13 dan lokus gen penyebab ketulian (Rehm et
al. 2008)

Tuli genetik sangan heterogen dan lebih dari 100 mutasi terjadi

pada gen GJB2 . Prevalensi mutasi GJB2 berbeda pada tiap etnis (De

Castro et al. 2013). Pada orang Kaukasia, mutasi tunggal 35del G

merupakan penyebab tersering terjadinya gangguan pendengaran yang

disebabkan mutasi GJB2. Di asia Timur dan Afrika, mutasi predominan

pada c.167delT,c235delC (Batissoco et al. 2009).

De Castro et al. (2013) melakukan penelitian terhadap 77 anak

dengan gangguan pendengaran dan menemukan 4 mutasi yang berbeda,

yaitu 35delG, M34T, V95M and V27I. Mutasi yang paling sering dijumpai

adalah V27I.

Penelitian Hamid et al. (2009) pada 50 pasien ketulian herediter

nonsindromik (non-syndromic hereditary hearing loss/NSHHL) dari 33

keluarga dengan suku yang berbeda dari wilayah yang berbeda di Iran

menemukan 10 mutasi, yaitu 35delG, R127H, V27I+E114G, Y155X,


97

M163V, R143W, R32H, R165W, 333334 delAA dan yang baru pertama

kali ditemukan (novel) yaitu 355357delGAG. Mutasi yang paling sering

ditemukan adalah mutasi 35delG (Hamid et al. 2009).

Sejumlah 127 pasien dari 324 pasien pada penelitian Wu dan

kawan-kawan (2002) ditemukan memiliki 1 mutan alel Cx26. Dari 127

kasus ini, 26 (20,4%) homozigot, 31 (24,4%) heterozigot, dan 70 (55,1%)

dideteksi hanya memiliki 1 mutasi.

Penelitian Abe dan kawan-kawan (2000) di Jepang menunjukkan

235delC merupakan yang paling banyak terjadi (73%). Analisis dari GJB2

pada penelitian ini terdapat 3 mutasi missense, satu nonsense mutasi dan

tiga frameshift mutasi.Data ini menunjukkan indikasi adanya kombinasi

spesifik pada setiap populasi yang berbeda (Abe et al. 2000).

Gambar 2.19. Gap Junction 2 (Genetic Home Reference 2013)

2.14. Gen Myosin 7A (MYO7A)

Gen MYO7A merupakan gen yang menyandi pembentukan protein

myosin 7A, yang disebut protein unconventional (Sang et al. 2013).


98

Protein ini memainkan peranan dalam transportasi molekul ke dalam sel.

Myosin berinteraksi dengan aktin yang merupakan protein penting untuk

pergerakan sel dan bentuk sel. Myosin 7A adalah protein motor yang

menggerakkan filamen aktin dan bertanggung jawab untuk sensitifitas

channel transduksi mekanoelektrik (Shahzad et al. 2013).

Di telinga daIam myosin 7A berperan dalam perkembangan dan

pemeliharaan sel-sel rambut yang disebut dengan stereosilia. Stereosilia

kaya dengan aktin. Myosin7A berperan dalam pergerakan stereosilia

sebagai respon dari gelombang suara. Gerakan ini mengubah energi

mekanik menjadi energi listrik yang disampaikan ke saraf pendengaran

(Liu et al. 2013). Gen MYO7A termasuk didalam struktur hair bundles

pada bagian apeks sel-sel rambut sensori yang berperan dalam

mekanotransduksi dalam proses mendengar dan keseimbangan. Mutasi

gen MYO7A menyebabkan bentuk abnormal dari hair bundles sehingga

menyebabkan ketulian (Ernest & Rosa 2014). Mutasi MYO7A

menyebabkan ketulian pada shaker-1 mice ataupun model yang lain

(Cosgrove et al. 2012).

Sedikitnya empat mutasi gen MYO7A diidentifikasi pada penderita

ketulian non sindromik yang disebut dengan DFNA11. Kebanyakan dari

mutasi ini tersebut mengubah struktur protein yang dibentuk menjadi

protein abnormal sehingga tidak bekerja sebagaimana mestinya. Para

peneliti menemukan bahwa perubahan protein menyebabkan ketulian

karena kerusakan pada pertumbuhan dan organisasi stereosilia. Studi


99

yang lain menghubungkan mutasi MYO7A dengan bentuk autosomal

resesif pada ketulian non sindromik yaitu DFNB2 (Shahzad et al. 2013).

Pada manusia gen MYO7A terdiri dari 49 exon. Gen ini diekspresikan di

koklea dan retina (Kumar et al. 2004).

2010
2012
DFNA43 DFNA6/14
DFNA2 DFNB9 DFNA38 DFNB66 DFNB44
DFNB47 DFNB25 DFNA13 DFNA5
DFNA37 DFNB49
DFNB6 DFNB55 DFNB53 DFNB39
DFNB32 DFNB42 DFNB60 DFNA22
DFNA7 DFNB58 DFNB4
DFNB27 DFNA18 DFNA27 DFNB37 DFNB14
DFNA49 DFNA24 DFNA1
DFNB15 DFNA15 DFNB31 DFNB17
DFNB36 DFNA16 DFNA21 DFNA28
DFNA34 DFNB59 DFNA44 DFNB26 DFNA42 DFNB13
DFNB38
DFNB45 DFNA39 DFNA10 DFNA50
DFNA42
DFNA52

DFNB51
DFNA32 DFNB62
DFNB30 DFNB18 DFNA31
DFNB7/11 DFNB63 DFNA48 DFNB1 DFNA9
DFNA47 DFNB23 DFNB2 DFNA40
DFNA25 DFNA3 DFNB5 DFNB16
DFNA51 DFNA19 DFNA11 AUNA1 DFNB22
DFNA36 DFNB12 DFNA8/12 DFNA41 DFNA23 DFNA30
DFNB50 DFNB35
DFNB31 DFNB57 DFNB21 DFNB48
DFNA53
DFNB33 DFNB24
DFNB20
DFN6
DFNB68 DFN4
DFNB19 DFNA57
DFNB3 DFN3
DFNB15 DFNA17
DFNA4 DFNB65 DFNB8/10 DFN2
DFNA20/26 DFNB28 DFNY
DFNB29 DFNB40

Courtesy Heidi Rehm, PhD

Gambar 2.20. Gambar kromosom 11 dan lokus gen penyebab ketulian (Rehm et
al. 2008)

Penelitian Kumar dan kawan-kawan (2004) di India mendapatkan

mutasi MYO7A pada 75 kasus sindroma Usher, empat mutasi pada

ketulian nonsindromik autosomal resesif (DFNB2) dan empat mutasi pada

pasien dengan ketulian nonsindromik autosomal dominan (DFNA11).

Mutasi MYO7A juga dihubungkan dengan sindroma Usher. Lokasi gen

MYO7A pada kromosom 11 di 11q13.5 pada pasangan 76,839,301 ke

76,926,285 (Liu et al. 2013).


100

Gambar 2.1. Gen Myosin 7A (Genetic Home Reference 2013)

2.15. Pemeriksaan Genetik

Pemeriksaan genetik adalah proses membandingkan urutan gen

seseorang dengan urutan gen yang dianggap normal. Perbandingan ini

dapat mendeteksi mutasi yang dapat menyebabkan kelainan fungsi gen.

Penting untuk diingat bahwa pemeriksaan genetik hanya dapat dilakukan

bila gen yang mengalami kelainan telah dikenali. Walaupun gen yang

menyebabkan ketulian telah banyak yang dikenali, namun banyak pula

gangguan pendengaran yang belum dikenali gangguan genetiknya. Selain

itu, beberapa gen diketahui sangat besar dan sulit untuk dianalisis.

Namun, dengan berkembangnya teknologi serta semakin banyaknya gen

yang ditemukan, semakin banyak pemeriksaan genetik yang akan menjadi

mudah untuk dikerjakan. Sehingga anak-anak yang lahir dengan

gangguan pendengaran, atau yang mengalami gangguan pendengaran

setelah lahir, dapat menjalani pemeriksaan ini, terutama apabila penyebab

lain dari gangguan pendengaran tidak ditemukan (Rehm et al. 2008;

Avraham & Kanaan 2012).


101

Dengan ditemukannya gen baru yang menyebabkan gangguan

pendengaran, jumlah pemeriksaan genetik untuk gangguan pendengaran

juga bertambah (Avraham & Kanaan 2012). Mengetahui penyebab genetik

dari gangguan pendengaran dapat membantu tatalaksana pasien. Pada

beberapa kasus, informasi genetik dapat membantu memperkirakan

apakah gangguan pendengaran akan menetap atau akan semakin

memburuk. Mengetahui penyebab genetik juga berguna untuk mengetahui

jenis kerusakan yang terjadi pada sistem pendengaran. Hal ini penting

karena derajat kerusakan telinga dalam akan mempengaruhi apakah

implan koklea atau alat bantu dengar lainnya dapat membantu pasien.

Sebagai tambahan, karena mutasi pada beberapa gen akan

menyebabkan sindroma gangguan pendengaran, pemeriksaan genetik

dapat membantu menentukan apakah ada masalah lain selain gangguan

pendengaran (Rehm et al. 2008).

Selain membantu pemilihan tatalaksana, informasi genetik dapat

membantu hal-hal lain. Pemeriksaan genetik dapat menjelaskan

penyebab yang akurat dari gangguan pendengaran pada seorang pasien.

Pemeriksaan genetik juga dapat membantu pilihan reproduksi, dengan

diketahuinya gangguan genetik seseorang, dapat diperkirakan

kemungkinan gangguan pendengaran pada anak dari pasien tersebut. Hal

ini dapat mempengaruhi keputusan pasangan suami-istri untuk memiliki

anak, atau untuk membantu mereka mempersiapkan kelahiran anak

dengan gangguan pendengaran (Rehm et al. 2008; Avraham & Kanaan

2012).
102

Selain manfaat dari informasi genetik, hal ini juga dapat

menyebabkan gangguan pada orangtua dengan mengetahui bahwa

mutasi pada gen mereka adalah penyebab dari gangguan pendengaran

pada anak mereka. Penting untuk diingat bahwa mutasi genetik sangat

umum terjadi. Tidak ada orang yang bertanggung jawab terhadap gen

yang dimilikinya. Keuntungan dan kerugian dari pemeriksaan genetik ini

harus dimengerti oleh mereka yang akan menjalani pemeriksaan

(Avraham & Kanaan 2012).

2.16. Manfaat Pemeriksaan Genetik

Tes genetik dapat melihat jenis kerusakan pada sistem

pendengaran yang menyebabkan ketulian, hal ini penting untuk diketahui

karena kerusakan telinga bagian dalam dapat mempengaruhi

berfungsinya alat bantu dengar seperti implan koklea. Sebagai tambahan,

pada beberapa mutasi gen yang menyebabkan sindroma ketulian, tes

genetik dapat memperkirakan apakah ada kelainan medis lain yang

mungkin muncul di kemudian hari (Bailey, Jonas & Shawn 2006).

Selain untuk mengembangkan pilihan terapi, informasi genetik juga

dapat dimanfaatkan untuk hal lain. Dengan mengetahui adanya kelainan

genetik ini orangtua dapat mengetahui adanya kemungkinan mereka

memiliki keturunan yang lahir tuli sehingga membantu mereka untuk

membuat keputusan tentang memiliki anak selanjutnya, atau

mempersiapkan diri untuk memiliki anak lahir tuli (Rehm et al. 2008;

Avraham & Kanaan 2012).


103

Penelitian di Australia barat menunjukkan bahwa keluarga yang

terpapar ketulian mendukung dilakukannya tes genetik ini demi

memahami lebih baik mengenai penyebab ketulian serta mengembangkan

diskusi terhadap kondisi yang mungkin dihadapi, dan dari survey yang

dilakukan diketahui sebagian besar dari mereka menolak dilakukannya

terminasi kehamilan walaupun telah diketahui melalui pre-natal diagnosis

(PND) bahwa janin yang dikandung mungkin menderita ketulian (Avraham

& Kanaan 2012).

2.17. Sekuensing DNA

Sekuensing DNA dapat digunakan untuk menentukan sekuens dari

gen tertentu, daerah genetik yang lebih besar (misalnya beberapa gen

atau operon), seluruh kromosom atau seluruh genom. Tergantung pada

metode yang digunakan, sekuensing dapat menunjukkan urutan

nukleotida di DNA atau RNA yang diisolasi dari sel (Morton & Nance 2006;

Duman et al. 2011).

Sekuensing DNA adalah proses penentuan urutan nukleotida pada

suatu fragmen DNA. Dewasa ini, hampir semua usaha sekuensing DNA

dilakukan dengan menggunakan metode terminasi rantai yang

dikembangkan oleh Frederick Sanger. Teknik tersebut melibatkan

terminasi atau penghentian reaksi sintesis DNA in vitro yang spesifik untuk

sekuens tertentu menggunakan substrat nukleotida yang telah

dimodifikasi (Duman & Tekin 2012).


104

2.17.1. Sekuensing Maxam-Gilbert

Allan Maxam dan Walter Gilbert mempublikasikkan metode

sekuensing DNA pada tahun 1977 berdasarkan modifikasi kimiawi DNA

dan dilanjutkan dengan pemotongan pada basa tertentu. Teknik ini juga

dikenal sebagai sekuensing kimiawi. Metode ini memungkinkan

penggunaan sampel DNA untai ganda yang dimurnikan tanpa kloning.

Metode ini menggunakan labeling radioaktif serta memiliki kesulitan teknis.

Metode ini mulanya cukup populer, namun seiring dengan

dikembangkannya metode terminasi rantai menjadi semakin mudah dan

murah, metode sekuensing Maxam-Gilbert menjadi tidak populer

(Brownstein et al. 2011).

2.17.2. Sekuensing Sanger (Metode penghentian rantai)

Metode penghentian rantai (chain termination) dikembangkan oleh

Frederick Sanger et al pada tahun 1977, metode ini menjadi metode

pilihan karena relatif mudah dikerjakan serta memiliki kepercayaan yang

tinggi. Metode ini menggunakan lebih sedikit bahan kimia toksik dan lebih

sedikit radioaktif. Metode ini kemudian diotomatisasi, dan menjadi pilihan

selama tahun 1980-an sampai pertengahan 2000-an (Brownstein et al.

2011).

Pada metode sekuensing terminasi rantai (metode Sanger),

perpanjangan atau ekstensi rantai DNA dimulai pada situs spesifik pada

DNA cetakan dengan menggunakan oligonukleotida pendek yang disebut

primer yang komplementer terhadap DNA pada daerah situs tersebut.


105

Primer tersebut diperpanjang menggunakan DNA polimerase, enzim yang

mereplikasi DNA. Bersama dengan primer dan DNA polimerase,

diikutsertakan pula empat jenis basa deoksinukleotida (satuan pembentuk

DNA), juga nukleotida pemutus atau penghenti rantai (terminator rantai)

dalam konsentrasi rendah. Penggabungan nukleotida pemutus rantai

tersebut secara terbatas kepada rantai DNA oleh polimerase DNA

menghasilkan fragmen-fragmen DNA yang berhenti bertumbuh hanya

pada posisi pada DNA tempat nukleotida tertentu tersebut tergabungkan.

Fragmen-fragmen DNA tersebut lalu dipisahkan menurut ukurannya

dengan elektroforesis (Morton & Nance 2006; Duman et al. 2011).

Selama itu, banyak pengembangan terhadap metode ini, seperti

labeling fluorescent, elektroforesis kapiler, dan otomatisasi.

Pengembangan ini memungkinkan sekuensing yang efisien sehingga

harganya tidak terlalu mahal (Morton & Nance 2006; Duman & Tekin

2012).

2.18. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

Restriction fragment length polymorphism (RFLP) adalah sebuah

teknik yang mengeksploitasi variasi pada sequence DNA homolog, hal ini

mengacu pada perbedaan sampel molekul DNA homolog yang berasal

dari lokasi sisi enzim restriksi yang berbeda. Pemeriksaan RFLP

menggunakan enzim restriksi endonuklease (RE), yaitu suatu kelas enzim

yang mampu mengenal dan memotong urutan pendek basa DNA

(biasanya 4-6 urutan basa). Enzim ini dihasilkan oleh bakteri dan
106

dinamakan menurut spesies bakteri yang menghasilkannya. Contoh:

EcoRI adalah enzim RE yang dihasilkan dari bakteri Escherichia coli strain

RI (R satu) atau Bam-HIII yang diperoleh dari bakteri Bacillus americanus

strain HIII atau H tiga (Cheng et al. 2010).

Pada analisis RFLP, sampel DNA dipecah menjadi potongan-

potongan (dicerna) oleh enzim restriksi dan hasil fragmen restriksi terpisah

menurut panjangnya oleh elektroforesis gel. Fragmen DNA yang

dihasilkan kemudian dipisahkan berdasarkan panjangnya melalui proses

yang dikenal sebagai elektroforesis gel agarosa, dan ditransfer ke

membran melalui prosedur Southern blot. Hibridisasi membran untuk DNA

probe berlabel kemudian menentukan panjang fragmen yang akan

melengkapi probe. RFLP terjadi saat panjang fragmen yang terdeteksi

bervariasi antara tiap individu. Setiap panjang fragmen dianggap sebagai

alel, dan dapat digunakan dalam analisis genetik (Cheng et al. 2010).

Analisis variasi RFLP dalam gen adalah alat vital dalam pemetaan

genetik dan analisis penyakit genetik. Jika peneliti mencoba untuk

menentukan lokasi kromosom gen penyakit tertentu, mereka akan

menganalisis DNA dari anggota keluarga yang menderita penyakit ini, dan

mencari alel RFLP yang menunjukkan pola yang sama dari warisan

penyakit. Setelah gen penyakit terlokalisasi, analisis RFLP keluarga lain

bisa mengungkapkan siapa yang berisiko pada penyakit ini, atau yang

mungkin menjadi pembawa gen mutan. Analisis RFLP adalah alat penting

dalam pemetaan genetik, lokalisasi gen untuk gangguan genetik,


107

penentuan risiko penyakit, dan pengujian paternitas (David, Chang &

Jonathan 2006).

Gambar 2.22. Analisis and pewarisan alel fragmen RFLP (Wikipedia 2015)

2.19. Implikasi Klinis Pemeriksaan Genetik

Salah satu tujuan dari penelitian dibidang neurobiologi

pendengaran adalah untuk melihat dasar genetik anatomi dan fisiologi

proses pendengaran dan ketulian. Karena ketulian dapat disebabkan oleh

beragam variasi gangguan genetik yang luas, sehingga tidak ada

pengobatan tunggal untuk penderita ketulian. Pengetahuan keterlibatan

gen dalam bentuk tuli yang spesifik dapat mendorong perencanaan

pengobatan , mengubah gaya hidup, atau bagian untuk intervensi operasi.

Implikasi klinis pemeriksaan genetik dapat berupa jangka pendek

maupun jangka panjang. Untuk implikasi jangka pendek, identifikasi dari

mutasi gen yang terjadi pada ketulian memberikan keuntungan pada uji

genetik sebagai sarana menentukan baik diagnosis maupun prognosis

tuli, khususnya pada bayi baru lahir dan bayi dengan perilaku sehingga
108

sulit dilakukan tes. Tuli kongenital paling sering dijumpai pada skrining

pendengaran. Untuk anak yang didiagnosis dengan tuli, etiologinya sering

kali sulit ditemukan. Namun dengan uji genetik, identifikasi terjadinya

mutasi dapat menghasilkan prognosis yang akurat untuk perkembangan

terhadap ketulian. Pengetahuan ini sangat membantu mengarahkan

pengobatan. Sebagai contoh, mutasi dari gen GJB2 berarti ketulian bukan

disebabkan kelainan neurologis. Anak ini merupakan kandidat untuk

implantasi koklea yang baik. Pada pengobatan jangka pendek, identifikasi

awal terhadap terjadinya mutasi yang bertanggung jawab terhadap

ketulian menawarkan keuntungan untuk pengobatan medikamentosa awal

dan lebih spesifik juga untuk memperburuk hilangnya pendengaran, atau

lebih baik lagi adalah memperbaikinya (Eisen & Ryugo 2008).

Pemahaman tentang pendengaran secara molekuler merupakan

suatu implikasi jangka panjang yang sangat penting. Ketulian

berhubungan dengan lesi di berbagai tempat di koklea, tergantung pada

etiologi spesifik, yang mengarah kepada degenerasi sel rambut sensoris.

Salah satu pendekatan untuk pengobatan ketulian yang berhubungan

dengan sel rambut sensoris adalah untuk meregenerasi sel rambut

tersebut. Regenerasi sel rambut merupakan topik yang sedang diselidiki,

dimana sampai saat ini telah dijumpai kemajuan. Sebagai contoh, baris sel

multipoten, telah digambarkan bahwa sel tersebut berasal dari

perkembangan otocyst transgenik tikus (H-2Kb-tsA58). Sel tersebut dapat

mempertahankan proses ploriferasi, undifferentiated state in vitro

terdapatnya gamma interferon. Sel ini selanjutnya dapat dimanipulasi


109

untuk berdifferensiasi ke dalam sel rambut sensorik menjadi over ekspresi

produksi gen pada mamalia atonal homolog (Math-1). Sel rambut baru

yang berdiferensiasi in vitro telah menunjukkan kemampuan untuk

merespon terhadap rangsangan mekanik dan membentuk hubungan

dengan sel ganglion spiralis. Jika sel rambut dapat beregenerasi, disfungsi

dasar koklea dapat menghalangi stabilitas lingkungan sekitar koklea

dimana regenerasi sel rambut dapat berfungsi. Kemampuan untuk

memperbaiki abnormalitas molekul spesifik pada koklea sebaik mengganti

sel rambut sensorik yang hilang lebih menjanjikan dibanding hanya

regenerasi sel rambut saja (Eisen & Ryugo 2008).

2.20. Terapi Untuk Penderita Tuli Kongenital

2.20.1.Alat bantu dengar

Alat bantu dengar merupakan suatu alat akustik listrik yang dapat

digunakan oleh manusia dengan gangguan fungsi pendengaran pada

telinga. Biasanya alat ini dapat dipasang pada bagian dalam telinga

ataupun pada bagian sekitar telinga. Alat bantu dengar tersebut dibuat

untuk memperkuat rangsangan bahagian sel-sel sensorik telinga bagian

dalam yang rusak terhadap rangsangan suara dan bunyi-bunyian dari

luar. Alat Bantu dengar tersebut merupakan sebuah alat elektronik yang

menggunakan batere dimana dalam pemakaiannya terdapat mikrofon

yang mengubah gelombang dari suara tersebut menjadi energi listrik yang

kemudian diterima amplifier yang dapat memperbesar volume suara dan

mengirimkannya pada speaker yang ada pada bagian dalam telinga.


110

Gambar 2.23. Alat bantu dengar (Hearing dan Amplification 2013)

2.20.2.Implan koklea

Implan koklea merupakan alat prostetik yang dirancang untuk

mengubah energi suara mekanik menjadi sinyal elektrik yang secara

langsung merangsang saraf auditori pada penderita dengan gangguan

pendengaran berat-sangat berat. Implan koklea menggantikan fungsi

transduser sel rambut koklea yang rusak. Alat ini telah menjadi

penatalaksanaan standar dalam rehabilitasi penderita yang tidak tertolong

dengan alat bantu dengar konvensional (Wright & Valentine 2008; Bird et

al. 2010).

Gambar 2.24. Implan Koklea (Paulose 2013)


111

2.20.3. Terapi Genetik

Pengetahuan akan peran genetik dalam ketulian memberi

harapan bagi berkembangnya pengobatan baru. Intervensi yang paling

jelas untuk defek genetik adalah terapi gen. Terapi genetik adalah

penyisipan gen ke individu sel dan jaringan untuk mengobati penyakit,

seperti penyakit keturunan di mana alel mutan yang merugikan diganti

dengan yang fungsional. Untuk memasukkan suatu gen ke koklea,

dibutuhkan gen yang diinginkan serta pembawa gen (Sheridan 2011).

Pembawa gen umumnya adalah virus yang dimutasikan menjadi jinak.

Untuk menggunakan gen pro-hair cell Math1, di Human Genome Project

dapat dikopi sekuensi untuk Math1, dan akan disintesis DNA yang

mengandung sekuens yang diinginkan. Gen tersebut akan dimasukkan ke

virus yang telah direkayasa untuk dapat menginfeksi sel manusia secara

efisien. Kemudian virus tersebut dapat diinjeksikan ke dalam koklea.

Secara teori, sel koklea yang terinfeksi virus ini akan mengekspresikan

Math1 atau yang dikenal juga dengan atonal homolog-1 (Atoh1) dan akan

mengembangkan sel rambut. Teknologi ini, walaupun menjanjikan, namun

belum siap untuk klinik. Salah satu masalah adalah virus dapat

menginfeksi sel secara acak, sehingga Math1 dapat diekspresikan pada

sel yang tidak seharusnya menjadi sel rambut. Penelitian yang dilakukan

pada tikus, insersi gen Math1 ke telinga dalam pada tikus dapat

menyebabkan regenerasi sel rambut. Regenerasi sel rambut ini

memperbaiki ambang auditory brainstem response (ABR) pada tikus.

(Kawamoto et al. 2003; Parker et al. 2013).


112

Math1 atau Atoh1 pada mamalia dibutuhkan untuk perkembangan

sel rambut koklea yang berfungsi sebagai sel mekanosensori yang

diperlukan untuk pendengaran. Ekspresi Atoh1 yang besar dalam sel

penunjang koklea dapat meregenerasi sel rambut dan hal ini dapat

berguna untuk terapi ketulian (Jin et al. 2013; Parker et al. 2013).

Bentuk paling sederhana terapi gen berupa pengenalan versi

normal gen yang mengalami defek pada sel yang sesuai dan berharap sel

tersebut akan menggunakan versi normal ini. Pendekatan alternatif adalah

pemberian obat yang memiliki akses langsung ke sel target. Dapat pula

dibuat jalur alternatif, misalnya, connexin lain mungkin bisa menggantikan

connexin 26 dalam membentuk gap junction. Gen GJB2 yang mengkode

connexin 26 ini tidak secara normal diekspresikan di koklea. Karena itu

dapat dikembangkan obat untuk meningkatkan ekspresi connexin

alternatif dalam sel yang membutuhkan pembentukan gap junction baru

(Kawamoto et al. 2003).

Sel rambut dalam koklea sangat rentan terhadap gangguan

homeostasis dan cenderung mati jika mereka tidak dapat berfungsi

normal, demikian yang terjadi pada tuli genetik. Kematian sel rambut

akibat gangguan lingkungan juga dapat menjadi penyebab hilang

pendengaran. Sel rambut yang sudah mati tidak digantikan secara alami.

Salah satu peluang dalam mengobati tuli adalah dengan mengetahui cara

mendorong regenerasi sel rambut koklea atau mendorong sel rambut baru

untuk tumbuh dari sel jenis lain. Manfaat regenerasi ini dapat diabaikan
113

pada sel rambut yang tidak berfungsi akibat defek genetik. Untuk mereka

yang mengalami tuli genetik dapat dipertimbangkan kombinasi antara

regenerasi sel rambut dengan terapi gen untuk menggantikan gen yang

mengalami defek (Kawamoto et al. 2003).

Penemuan terbaru tentang stem cell embrionik menjadi sel rambut

sedang dalam tahap penelitian (Li et al. 2004). Studi terbaru oleh

dr.Marcelo dari Universitas Sheffield yang berhasil mengisolasi stem sel

auditori manusia dari koklea fetus dan menemukan bahwa stem sel ini

memiliki kemampuan berdiferensiasi menjadi sel rambut sensori dan saraf

(Science news 2009). Terapi sel telinga dalam untuk ketulian

sensorineural diharapkan menjadi terapi yang efektif untuk ketulian

kongenital. Strategi terapi terbaru menggunakan stem sel mesenkim sum-

sum tulang sebagai suplemen untuk fibrosit koklea yang berfungsi sebagai

transpor ion. Untuk target terapi sel tuli kongenital, sistem penghantaran

lebih efektif adalah menginduksi stem sel ke dalam koklea. Stem sel

adalah salah satu mekanisme aktivasi penghantaran sel efisien ke dalam

jaringan koklea. Protein monosit kemotaktik-1, stromal cell-derived factor-1

dan reseptornya berperan dalam regulator stem sel untuk jaringan koklea.

Aktivasi stem sel merupakan strategi efisien untuk penyembuhan tuli

kongenital (Kamiya 2015).


114

2.21. Kerangka Teori

Salah satu atau kedua orang


GENETIK, tua mengalami mutasi
mutasi pada gen:

Silia dan Menggerakkan aktin menyebabkan


stereosilia pergerakan stereosilia
MYO7A

Gangguan
Transduksi Mutasi gen
Mekano- myosin7A
elektrik

Saudara
TULI
KONGENITAL + kandung tuli
kongenital
PROPOSITUS

Gangguan
Homeostasis
ion koklea

Mutasi GJB2

Kalium di
endolimfe Ins(1,4,5)P3

Connexin26

Kalium di Sel
Penunjang GJB2 Kalsium

K+/Cl- ko-transporter, KCC4

Kalium di Sel
Rambut

Gambar 2.25. Skema kerangka teori


115

Keterangan: Bila salah satu atau kedua orang tua mengalami mutasi
genetik maka akan dapat diturunkan kepada anaknya, misalnya mutasi
genetik pada gen MYO7A yang merupakan gen yang terdapat pada silia
dan stereosilia berfungsi untuk menggerakkan aktin sehingga
menyebabkan pergerakan stereosilia, mutasi pada gen MYO7A
mengakibatkan gangguan pada transduksi mekanoelektrik, sehingga
menyebabkan tuli kongenital pada anaknya, demikian pula dengan mutasi
gen gap junction beta 2 (GJB2) yang merupakan gen pada gap junction.
Saat stimulasi suara, kalium dilepaskan oleh sel-sel rambut dan memasuki
sel-sel penunjang dengan bantuan K+/Cl- ko-transporter, KCC4. Kalium
(K+) kemudian dikeluarkan melalui kanal-kanal gap junction. GJB2 tipe
wild yang menghasilkan protein connexin26 juga memungkinkan aliran
interselular dari Ins(1,4,5)P3 dan propagasi gelombang Ca2+. Hal ini
menghasilkan aktivasi jarak jauh dari sistem refluks K+/Cl- yang
menggunakan kembali K+ dari sel-sel penunjang ke dalam endolimfe
untuk mencegah kelebihan ion. Mutasi GJB2 menyebabkan penurunan
aktivitas ko-transpor, akumulasi ion K+ di ruang ekstraselular yang
mengelilingi sel-sel rambut dan sel-sel penunjang sehingga menyebabkan
gangguan homeostasis ion di koklea kemudian menyebabkan kematian
sel dan menimbulkan ketulian.

2.22. Kerangka Konsep


Family Tree
Penderita tuli
kongenital propositus

Mutasi
Mutasi pada gen: Mutasi Mutasi pada gen:
gen (-)
gen (-)
-MYO7A -MYO7A

-GJB2 -GJB2
Gambar 2.25. Skema kerangka konsep

Anda mungkin juga menyukai