Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

DETEKSI DINI GANGGUAN PENDENGARAN DAN


KETULIAN PADA BAYI

Disusun Oleh :
Astrindita Ayu Wirasti
1102013046

Pembimbing :
Mayor CKM dr. M. Andi Fathurakhman, Sp.THT-KL
Kol (purn) dr. Tri Damijanto, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik THT Periode 24 Desember 2018 – 26 Januari 2019


RUMAH SAKIT TK.II MOH.RIDWAN MEURAKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARS
I. PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang disertai keterbelakangan mental,
gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak
yang mengalami gangguan pendengaran lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien
yang terlambat berbicara (1).
Insidens gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika berkisar antara 1-3 dari
1000 kelahiran hidup. Sedangkan US Preventive Services Task Force melaporkan bahwa
prevalensi gangguan pendengaran neonatus di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) 10-
20 kali lebih besar dari populasi neonatus..(2) Grote melaporkan bahwa program skrining
pendengaran pada bayi belum mampu mendeteksi 10-20 persen kasus gangguan
pendengaran pada bayi sejak masa awal kehidupan. Hal ini ditunjukan dengan
perbandingan peningkatan prevalensi gangguan pendengaran pada anak usia sekolah
dibandingkan dengan prevalensi gangguan pendengaran pada bayi yang telah
diidentifikasi.(3) Pemerintah Inggris memprediksi bahwa Prevalensi gangguan pendengaran
permanen pada bayi dapat meningkat dua kali lipat dari prevalensi saat ini yang berkisar 1
diantara 1000 kelahiran(4) Di Indonesia sampai saat ini belum ada data, karena belum
dilakukan program skrining pendengaran. Data menurut Survei Kesehatan Indera
Pendengaran di tujuh propinsi tahun 1994-1996 didapatkan 0,1% penduduk menderita tuli
sejak lahir. (5)
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal. Watkin dkk
melaporkan bahwa pada anak tuli berat bilateral hanya 49% orangtua mereka yang
mencurigai kemungkinan adanya gangguan pendengaran tersebut, sedangkan pada anak
dengan gangguan pendengaran ringan sampai sedang atau unilateral hanya 29%. Di
Amerika gangguan pendengaran rata-rata diidentifikasi antara usia 20-24 bulan dan
gangguan pendengaran ringan sampai sedang umumnya tidak terdeteksi sampai usia 48
bulan atau lebih.(5)
Gangguan pendengaran pada bayi dapt menjadi masalah bagi perkembangan anak. Jika
dibandingkan dengan anak normal, anak yang mengalami gangguan pendengaran akan
mengalami kesulitan dalam belajar bahasa serta kemampuan komunikasi. Gangguan
pendengaran pada anak terkait dengan keterlambatan berbahasa, belajar dan kemampuan
berbicara serta pencapaian hasil belajar yang rendah. Gangguan pendengaran pada anak
juga akan menjadi masalah terkait dengan permasalahan perilaku,dan buruknya
kemampuan adaptasi anak pada lingkungan.(6)

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. PERKEMBANGAN AUDITORIK PADA MANUSIA

Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan


perkembangan otak. Neuron dibagian korteks mengalami proses pematangan dalam
waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan pertambahan kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,
upaya untuk melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini
mungkin agar habilitas pendengaran sudah dapat di mulai pada saat perkembangan otak
masih berlangsung. (1)

Telah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa
setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat
memberikan respon terhadap suara yang ada disekitarnya, namun reaksi janin masih
bersifat refleks seperti refleks moro, terhentinya aktivitas (cessation reflex) dan refleks
auropalpebral yang konsisten pada janin normal usia 24-25 minggu. (1)

Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula


perkembangan kemampuan berbicara. Kemahiran wicara dan berbahasa pada
seseorang hanya dapat dicapai bila input sensorik (auditorik) dan motorik dalam
keadaan normal.perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap mendengar, oleh
karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan adanya
gangguan pendengaran.(1)

II.2. PENYEBAB GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI/ANAK

Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dapat dibedakan berdasarkan saat


terjadinyan gangguan pendengaran, yaitu masa pra natal,perinatal, dan postnatal(1).

A. Masa Pranatal

Dapat berupa faktor genetik herediter ataupun faktor non genetik seperti gangguan pada
masa kehamilan, kelainan struktur anatomi dan kekurangan zat gizi seperti yodium.
Gangguan pada masa kehamilan terutama pada trimester pertama merupakan periode
yang sangat penting dalam menentukan gangguan pendengaran pada bayi. Infeksi

2
bakteri atau virus serta penggunaan obat-obat ototoksik dan teratogenik pada masa ini
berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran pada bayi. (1)

B. Masa Perinatal

Yang menjadi faktor resiko gangguan pendengaran pada bayi pada masa ini antara lain
kelahiran prematur, bayi dengan berat badan lahir rendah, hiperbilirubinemia, dan
asfiksia. Umumnya ketulian yang terjadi akibat faktor pra dan perinatal adalah tuli
sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat dan sangat berat. (1)

C. Masa Postnatal

Hal ini dapat terjadi akibat adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubella,campak,
parotis, infeksi otak, perdarahan pada telinga tengah dan trauma temporal. (1)

II.3. SKRINING PENDENGARAN PADA BAYI

Untuk dapat melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada seluruh bayi
dan anak relatif sulit, karena akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang
besar. Program skrining sebaiknya di prioritaskan pada bayi dan anak yang mempunyai
risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran. Untuk maksud tersebut Joint Comitee on
infant Hearing (2000) menetapkan pedoman registrasi resiko tinggi terhadap ketulian
sebagai berikut(1) :

Untuk bayi 0-28 (1):

- Riwayat keluarga dengan tuli sensorineural sejak lahir


- Infeksi masa hamil
- Kelainan kraniofasial termasuk kelainan pada pinna dan liang telinga
- Berat badan lahir <1500 gr
- Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi
- Obat ototoksik
- Meningitis bakterialis
- Nilai apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada menit kelima
- Ventilasi mekanik 5 hari atau lebih di NICU

3
Untuk bayi usia 29 hari-2 tahun (1):
- Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran, keterlambatan
berbicara, berbahasa dan atau keterlambatan perkembangan
- Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran menetap sejak masa anak-anak
- Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui memilki
hubungan dengan tuli sensorineural,atau konduktif atau gangguan fungsi tuba
eustachius. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran
sensorineural termasuk meningitis bakterialis
- Infeksi intrauterin
- Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal yang
memerlukan ventilator.
- Sindroma yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang progresif seperti
usher syndrom,neurofibromatosis,osteoporosis.
- Adanya kelainan neurodegeneratif seperti hunter syndrome dan kelainan neuropati
sensomotorik misalnya friederich’s ataxia, charcot-marie tooth syndrome
- Trauma kapitis
- Otitis media yang menetap dan berulang disertai efusi telinga tengah minimal 3
bulan.

Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko diatas mempunyai kemungkinan
ketulian 10,2 kali lebih besar. Bila terdapat 3 buah faktor risiko, kecenderungan
menderita ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak
memilki faktor risiko.

Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak dapat dilihat
berdasarkan kemampuan bicara pada anak. perkiraan adanya gangguan pendengaran
pada bayi dan anak berdasarkan kemampuan bicara dapat dilihat jika(1):

a) Usia 12 bulan : anak belum mampu mengoceh (babling) atau meniru bunyi
b) Usia 18 bulan : tidak dapat menyebutkan 1 kata yang mempunyai arti
c) 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
d) 30 bulan : belum dapat merangkai kata-kata

Skrining yang dapat dilakukan untuk mendetesi gangguan pendengaran pada bayi
sebelum dilakukan tes pendengaran. Adapun metode-metode pendekatan yang dapat
dilakukan antara lain :

4
1) Family Questionaries
Merupakan metode dimana orang tua atau perawat bayi/anak ditanyakan mengenai
respon bayi terhadap suara dan perkembangan wicara. Bayi yang memiliki respon
buruk terhadap suara dan perkembangan wicara dapat dijadikan sebagai rujukan
untuk dilakukan pemeriksaan audiologi(13)
2) Behavioral Measure
Melalui tahapan ini, bayi yang diperiksa akan dinilai responnya terhadap
behavioural measuring devices ( mulai dari penanda suara yang sederhana sampai
penanda suara yang kompleks ) dapat diidentifikasi jika terdapat gangguan
pendengaran. (13)

3) Physiological Measures
Pada pemeriksaan ini metode Otoacoustic Emission (OAE) dan Auditory Brainstem
Response (ABR) merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan efektif untuk
skreening gangguan pendengaran pada bayi dan anak-anak. (13)

Meskipun tanpa menggunakan alat pemeriksaan yang mungkin sulit didapatkan,


orang tua dapat secara sederhana melakukan skrining pendengaran kepada anaknya
dengan memberikan stimulus suara dan memperhatika respon anak terhadap stimulus
tersebut. Berikut ini adalah respon normal yang diberikan bayi dan anak terhadap
stimulus suara berdasarkan kelompok umurnya. (14)

a. Respon neonatal

Selama minggu pertama kehidupan, respon bayi terhadap suara keras adalah
dengan refleks terkejut. Respon ini termasuk aural palpebra reflex, perubahan
pada denyut jantung, dan pola dari pernapasan, sentakan kepala ke belakang,
respon menangis, gerakan tubuh (refleks morrow) atau kadang-kadang
penghentian aktifitas. Nada murni antara 500-4000Hz dengan intensitas 85-
95dB dapat menimbulkan refleks ini pada neonatus sampai umur 2 minggu. (14)

b. Respon pada bayi di bawah 4 bulan

Pada usia ini mulai memperhatikan suara dan merespon dengan diam dan
mendengarkan. Pada usia 4 bulan, bayi diam dan tersenyum untuk merespon
suara orang tuanya, bahkan ketika sumber suara tak terlihat. Respon in terutama
muncul pada suara keras dan tidak tetap pada suara yang lebih tenang. (14)

5
c. Respon pada usia 4-6 bulan

Pada usia ini bayi mulai menggerakkan kepala ke sumber suara dengan lebih
konsisten. Respon ini terjadi juga pada intensitas suara yang rendah(14)

d.Respon pada usia 7-9 bulan

Pada usia ini anak dapat menentukan lokasi suara intensitas rrendah secara tepat
pada arah horizontal.Anak akan bergerak ke arah suara orang tuanya yang
berada di luar kamar dan mencari sumber suara yang menarik perhatiannya.
Anak juga akan berceloteh nyaring dan mulai untuk meniru suara-suara dengan
lebih jelas. (14)

e. Respon pada usia 10-12 bulan

Pada usia ini, anak dapat melokalisasi suara intensitas rendah pada berbagai
tempat bila ia tidak terlalu sibuk dengan kegiatan lain. Pengucapan kata-kata
mulai perkembang untuk kata-kata tunggal seperti namanya, kata tidak, dan
objek yang telah dikenal baik olehnya. (14)

f. Respon pada usia 13-24 bulan

Anak pada usia ini mampu melokalisasi suara secara cepat tetapi mulai dapat
mengantisipasi dan mengamati sumber suara selama uji tingkah laku dilakukan.
Terjadi perkembangan dalam pemahaman kata-kata, juga beberapa anak usia 18
bulan dapat mengenali beberapa bagian tubuh. (14)

g. Respon pada usia lebih dari 2 tahun

Pada usia ini anak biasanya akan bereaksi terhadap rangsangan suara yang
pertama diberikan, dan akan mengabaikan suara yang diberikan berikutnya.(14)

II.4. PROGRAM SKRINING PENDENGARAN PADA BAYI

Gejala awal gangguan pendengaran pada umumnya tidak jelas sehingga program
skrining menjadi cara yang paling efektif untuk deteksi dini. Deteksi dini gangguan
pendengaran dan intervensi segera sangat mempengaruhi prognosis. Untuk deteksi dini,
diperlukan suatu program skrining gangguan pendengaran dengan alat skrining yang
efektif, efisien, dan mudah digunakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang

6
tinggi. The Centers for Disease Control and Prevention Early Hearing Detection and
Intervention (EHDI) dan The Joint Commitee on Infant Hearing (JCIH),
merekomendasikan skrining gangguan pendengaran pada semua bayi baru lahir
sebelum berusia tiga bulan dan memberikan intervensi sebelum berusia enam bulan
agar proses tumbuh kembang tidak terhambat. Pemeriksaan dengan teknologi
elektrofisiologi (BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) dan Otoacoustic
Emission (OAE)) merupakan alat skrining yang direkomendasikan karena memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi gangguan pendengaran. (15)

Baku emas (gold standard) pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi


(1) Otoacoustic Emission(OAE) (2) Automated ABR ( BERA Otomatik)

Pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak harus dapat menentukan(1) :

a. Jenis gangguan pendengaran (sensorineural, konduktif, dan campuran)

b. Derajat gangguan pendengaran (ringan sampai berat)

c. Lokasi kelainan (telinga luar, tengah, dalam, koklea, retrokoklea)

d. ambang pendengaran dengan frekuensi spesifik

Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based hearing screening)


dikelompokan menjadi(1) :
1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)
2. Targeted Newborn Hearing Screening

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)


Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan atau tanpa faktor risiko terhadap
gangguan pendengaran). Skrining awal dilakukan dengan pemeriksaan Otoacoustic
Emission (OAE) sebelum bayi keluar dari rumah sakit (usia 2 hari). Bila bayi lahir pada
fasilitas kesehatan yang tidak memiliki sarana OAE, paling lambat pada usia 1 bulan
telah melakukan pemeriksaan OAE di tempat lain. Bayi dengan hasil skrining Pass
(lulus) maupun Refer (tidak lulus) harus menjalani pemeriksaan BERA (atau BERA
otomatis) pada usia 1 – 3 bulan. Pada usia 3 bulan, diagnosis harus sudah dipastikan

7
berdasarkan hasil pemeriksaan: OAE, BERA, timpanometri (menilai kondisi telinga
tengah). Untuk bayi yang telah dipastikan mengalami gangguan pendengaran
sensorineural, perlu dilakukan pemeriksaan ASSR (Auditory Steady State Response)
atau BERA dengan stimulus tone burst, agar diperoleh informasi ambang dengar pada
masing-masing frekuensi; hal ini akan membantu proses pengukuran alat bantu dengar
yang optimal. Khusus untuk bayi yang tidak memiliki liang telinga (atresia) diperlukan
pemeriksaan tambahan berupa BERA hantaran tulang (bone conduction). Berdasarkan
tahapan waktu tersebut di atas, habilitasi pendengaran sudah harus dimulai pada usia 6
bulan.(16)
Kriteria UNHS:
1. Mudah dikerjakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi sehingga
kejadian refer minimal.
2. Tersedia intervensi untuk habilitasi gangguan pendengaran.
3. Skrining, deteksi dan intervensi yang dilakukan secara dini akan menghasilkan
outcome yang baik.
4. Cost-effective.

Kriteria keberhasilan : cakupan (coverage) 95 %, nilai refferal : < 4 % (16)

2.Targeted Newborn Hearing Screening


Skrining pendengaran yang dilakukan hanya pada bayi yang mempunyai faktor
risiko terhadap gangguan pendengaran. Kelemahan metode ini adalah sekitar 50 % bayi
yang lahir tuli tidak mempunyai faktor risiko. Model ini biasanya dilakukan di NICU
(Neonatal ICU) atau ruangan Perinatologi. (16)

Adapun jenis-jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan pada skrining


pendengaran pada bayi antara lain :

A. Behavioral Observation Audiometry (BOA)

Tes BOA dilakukan dengan memprovokasi respon perilaku untuk stimulus akustik
dan respon gerakan tubuh, pelebaran mata, membuka mata, atau atau perubahan tingkat
menghisapnya setelah diberikan stimulus. Digunakan untuk bayi baru lahir sampai usia
6 bulan. Tes ini digunakan untuk menyingkirkan gangguan pendengaran pada bayi.(17)

8
Tujuan : membantu dalam menentukan perkembangan kemampuan audiotorik
secara global. Tes ini tidak tepat jika digunakan sebagai skrining pendengaran atau
untuk menentukan ambang batas pendengaran, atau untuk memilih dan memodifikasi
proses amplifikasinya.(17)

Sasaran pemeriksaan : bayi dan neonatal berusia kurang dari 6 bulan.

Metode :

- tes dilakukan di ruangan tenang

- Otoskopi : bukanlah sebuah prasyarat dalam pemeriksaan ini, pemeriksaan


eksternal telinga meliputi apakah terrdapat deformitas dan abnornmalitas.
- Persiapan pasien :’ pasien berada pada keadaan yang tenang dan pencahayaan
yang mendukung untuk menidurkan pasien,duduk di car seat, digendong, atau
dibaringkan memakai bantal. Jika bayi berada di pangkuan orang tua, harus
dipastikan bahwa orang tua tidak akan memberikan isyarat bagi bayi ketika
pemeriksaan berlangsung.
- Rangsangan yg direkomendasikan : stimulus akustik yang kompleks (seperti
berbicara-bising) antara 60 dan 90 dB. Durasi pemberian stimulus antara 3-4
detik, respon pada bayi yang lebih muda lebih lama dari bayi yg lebih tua.
- Tidak ada suara lain atau percobaan lain yang dapat ditangkap oleh bayi yang
dapat memberikan interpretasi salah pada gerakan si bayi.
- Hanya 2-3 stimulus yang mungkin diberikan pada bayi.

Interpretasi : pada keadaan normal dapat terlihat refleks terkejut pada pemberian
stimulus 60-90dB. Refleks terkejut sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi
bayi, seperti jika bayi kelaparan atau kelelahan. Bayi harus diberi perhatian khusus
jika ia tidak membrikan refleks terkejut dan dapat ditindaklanjuti dengan
menghubungkan hasil yang diperoleh pada pemeriksaan ini denggan pemeriksaan
lainnya. Pada pemeriksaan ini hanya diinterpretasikan sebagai ada respon dari bayi
atau tidak ada respon. Tidak ada interpretasi seperti batas respon level pada
pasien.(18)

9
Gambar 1. Pemeriksaan BOA (19)
B. Timpanometri

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk menilai


fungsi telinga tengah dan mengevaluasi otitis media dan gangguan telinga
tengah lainnya. Sasaran dari pemeriksaan ini adalah bayi dan anak-anak.
Gambaran timpanometri yang abnormal ( adanya cairan atau tekanan negatif di
telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif(1)

Gambar 2 . Timpanometer(21)
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang
telinga dapat diketahui besarnya tekanan di liang telinga berdasarkan energi
suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada orang
dewasa atau bayi berusia diatas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz.
Khusus untuk bayi di bawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz
karena akan terjadi resonansi pada liang telinga tengan sehingga harus
digunakan probe tone frekuensi tinggi (668,678 atau 1000 hz). (1)

10
Terdapat 4 jenis timpanogram (1) yaitu ;

a) Tipe A ( normal )

Terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal. mempunyai


bentuk khas, dengan puncak imitans berada pada titik 0 daPa dan penurunan
imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif. Kelenturan
maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, memberi kesan
tekanan udara telinga tengah yang normal.
b) Tipe Ao (diskontinuitas tulang-tulang pendengaran)
c) Tipe As (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)

 Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang berparut.


 Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana puncak berada atau
dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara signifikan
berkurang. Huruf s di belakang A berarti stiffness atau shallowness.
 Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, tapi
kelenturan lebih rendah daripada tipe A. Fiksasi atau kekauan sistem
osikular seringkali dihubungkan dengan tipe As.
d) Tipe B (cairan didalam telinga tengah)

 Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung mendatar,


atau sedikit membulat yang paling sering dikaitkan dengan cairan di telinga
tengah (kavum timpani), misalnya pada otitis media efusi. ECV dalam batas
normal, terdapat sedikit atau tidak ada mobilitas pada telinga tengah. Bila
tidak ada puncak tetapi ECV > normal, ini menunjukkan adanya perforasi
pada membran timpani.
e) Tipe C (gangguan fungsi tuba eustachius)

Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan malfungsi dari
tuba Eustachius.Tekanan telinga tengah dengan puncaknya di wilayah tekanan
negatif di luar -150 mm H2O indikatif ventilasi telinga tengah miskin karena
tabung estachius disfungsi. Pola timpanometrik, dalam kombinasi dengan pola
audiogram, ijin diferensiasi antara dan klasifikasi gangguan telinga tengah.
Suatu timpanogram berbentuk huruf W dihubungkan dengan parut atrofik
pada membrana timpani atau dapat pula suatu adhesi telinga tengah, namun

11
biasanya membutuhkan nada dengan frekuensi yang lebih tinggi sebelum dapat
didemonstrasikan.(20)
Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan
apabila terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus
di tunda sampai telinga tengah normal. (1)

Gambar 3. Timpanogram

C. Otoacoustic Emission (OAE)

Otoaacoustic emission merupakan produk sampingan koklea berupa energi


bunyi yang tidak dikirimkan ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju
liang telinga. Dasar biologik OAE yaitu gerakan sel rambut luar koklea yang
sangat kecil, memproduksi energi mekanik yang diubah menjadi energi akustik
sebagai respons terhadap getaran dari organ di telinga tengah. Sel rambut luar
koklea ini sangat rentan terhadap faktor eksternal (suara berlebihan), internal
(bakteri, virus) dan kondisi (defek genetik).(4)

Terdapat dua jenis OAE yaitu 1). Spontaneous OAE (SPOAE) dan 2).
Evoked OAE. Spontaneous OAE (SPOAE)adalah mekanisme aktif koklea untuk
memproduksi OAE tanpa harus diberikan stimulus, namun tidak semua orang
dengan pendengaran normal memilki SPOAE. EOAE hanya akan timbul bila
diberikan stimulus akustik, dibedakan menjadi (1). Transient Evoked OAE
(TEOAE) dimana stimulus berupa click dan (2). Distortion Product OAE

12
(DPOAE) menggunakan stimulus berupa 2 buah nada murni yang berbeda
frekuensi dan intensitasnya.(1)

Gambar 4. a. alat untuk pemeriksaan OAE(1)

Pada telinga sehat, OAE yang timbul dapat dicatat secara sederhana dengan
memasang probe (sumbat) dari bahan spons berisi mikrofon mini ke dalam liang telinga
untuk memberi stimulus akustik dan untuk menerima emisi yang dihasilkan koklea
tersebut. Bila terdapat gangguan pada saat suara dihantarkan dari telinga luar seperti
debris/serumen, gangguan pada telinga tengah seperti otitis media maupun kekakuan
membran timpani, maka stimulus akustik yang sampai ke koklea akan terganggu dan
akibatnya emisi yang dibangkitkan dari koklea juga akan berkurang. Alat OAE didesain
secara otomatis mendeteksi adanya emisi (pass/ lulus) atau bila emisi tidak
ada/berkurang (refer/rujuk), sehingga tidak membutuhkan tenaga terlatih untuk
menjalankan alat maupun menginterpretasikan hasil. EOAE merupakan respons
elektrofisiologik koklea terhadap stimulus akustik, berupa bunyi jenis clicks atau tone
bursts. Respons tersebut dipancarkan ke arah luar melalui telinga tengah, sehingga
dapat dicatat oleh mikrofon mini yang juga berada di dalam probe di liang telinga.
EOAE dapat ditemukan pada 100% telinga sehat, dan akan menghilang/berkurang pada
gangguan pendengaran yang berasal dari koklea. EOAE mempunyai beberapa
karakteristik yaitu dapat diukur pada fungsi koklea yang normal bila tidak ada kelainan
telinga luar dan tengah; bersifat frequency specific (dapat mengetahui tuli pada
frekwensi tertentu); pada neonatus dapat diukur frekuensi dengan rentang yang luas
yaitu frekuensi untuk bicara dan bahasa (500-6000 kHz). OAE tidak muncul pada
hilangnya pendengaran lebih dari 30-40 dB.2,12,,20-2 EOAE dipengaruhi oleh verniks
kaseosa, debris dan kondisi telinga tengah (cavum tympani), hal ini menyebabkan hasil
refer 5-20% bila skrining dilakukan 24 jam setelah lahir.9 Balkany seperti dikutip dari
Chang dkk melaporkan neonatus berusia kurang dari 24 jam liang telinganya terisi

13
verniks caseosa dan semua verniks caseosa ini akan dialirkan keluar dalam 24-48 jam
setelah lahir. Sehingga angka refer < 3% dapat dicapai bila skrining dilakukan dalam
24-48 jam setelah lahir. Bonfils dkk melaporkan maturasi sel rambut luar lengkap
terjadi setelah usia gestasi 32 minggu.(4)
EOAE merupakan respons elektrofisiologik koklea terhadap stimulus akustik,
berupa bunyi jenis clicks atau tone bursts. Respons tersebut dipancarkan ke arah luar
melalui telinga tengah, sehingga dapat dicatat oleh mikrofon mini yang juga berada di
dalam probe di liang telinga. EOAE dapat ditemukan pada 100% telinga sehat, dan
akan menghilang/berkurang pada gangguan pendengaran yang berasal dari koklea.19
EOAE mempunyai beberapa karakteristik yaitu dapat diukur pada fungsi koklea yang
normal bila tidak ada kelainan telinga luar dan tengah; bersifat frequency specific (dapat
mengetahui tuli pada frekwensi tertentu); pada neonatus dapat diukur frekuensi dengan
rentang yang luas yaitu frekuensi untuk bicara dan bahasa (500- 6000 kHz).11 OAE
tidak muncul pada hilangnya pendengaran lebih dari 30-40 dB.(4)
Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif dari obat
ototoksik, diagnostik neuropati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu
dengar, skrining pemaparan bising (noise induced hearing loss) dan sebagai
pemeriksaan penunjang pada kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan koklea.(1)

D. Auditory Brainstem Response (ABR)


Merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi nervus VIII dan jalur
pendengaran di batang otak dengan merekam potensial listrik yang dikeluarkan sel
koklea selama menempuh perjalanan mulai telinga dalam hingga nukleus tertentu di
batang otak(4).

Cara pemeriksaan :

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan elektroda permukaan yang


diletakkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau lobulus telinga. Prinsip
pemeriksaan ABR adalah menilai perubahan potensial listrik di otak setelah pemberian
rangsangan sensoris berupa bunyi. Rangsangan bunyi yang diberikan melalui
headphone atau insert probe akan menempuh perjalanan melalui koklea (gelombang
I), nukleus koklearis (gelombang II), nukleus olivarius superior (gelombang III),
lemnikus lateralis (gelombang IV), kolikulus inferior (gelombang V) kemudian menuju
ke korteks auditorius di lobus temporalis otak. Yang penting untuk dicatat adalah

14
gelombang I, III, dan V. ABR konvensional merupakan click evoked ABR air
conduction, dan frekuensi yang diberikan sebesar 2000-4000Hz, dengan intensitas
dapat mencapai 105dB. ABR membutuhkan waktu lebih lama dan tenaga terlatih dalam
mengoperasikan alat maupun menginterpretasikan hasil. Respons neural terhadap
stimulus bunyi yang diterima akan direkam komputer melalui elektroda pemukaan
(surface electrode) yang ditempelkan pada kepala (dahi dan prosesus mastoid).
Parameter yang dinilai berdasarkan morfologi gelombang, amplitudo dan masa laten.
Hasil penilaian adalah intensitas stimulus terkecil (desibel/dB) yang masih memberikan
gelombang BERA. Ada 5 gelombang BERA yang dapat dibaca, masing masing
menggambarkan respons dari bagian-bagian jaras auditorik mulai dari nervus akustikus
sampai kolikulus inferior. . Rangsangan bunyi yang diberikan melalui head phone atau
insert probe akan menempuh perjalanan melalui koklea (gelombang I), nukleus
koklearis (gelombang II), nukleus olivarius superior (gelombang III), lemnikus lateralis
(gelombang IV), kolikulus inferior (gelombang V) kemudian menuju ke korteks
auditorius di lobus temporalis otak. Yang penting dicatat adalah gelombang I,III dan V.
Pada bayi yang paling mudah diidentifikasi adalah gelombang V (kolikulus inferior).
Perlu diperhatikan agar pemeriksaan BERA pada bayi dibawah usia 3 bulan atau bayi
lahir prematur, mungkin terjadi pemanjangan masa laten sehingga didapat kesan adanya
tuli konduktif, pada kasus seperti ini perlu dilakukan BERA ulangan pada saat usia lebih
dari 3 bulan dan dilakukan koreksi usia (pada prematur).(4)

ABR tidak terpengaruh oleh debris di liang telinga luar dan tengah namun
memerlukan bayi dengan keadaan tenang, karena dapat timbul artefak akibat gerakan.
ABR dapat mendeteksi adanya tuli konduktif dan tuli sensorineural. Sensitivitas 100%
dan spesifitas 97-98%. (4)

Gambar 5. Elektroda pada pemeriksaan ABR (a) dan gambaran gelombang (b) (19)

15
Automated auditory brainstem responese (AABR) Merupakan pemeriksaan
BERA otomatis sehingga tidak diperlukan analisis gelombang evoked potential
karena hasil pencatatan mudah dibaca, berdasarkan kriteria pass atau refer (tidak
lulus). Pemeriksaan ini sama dengan BERA konvensional yaitu menggunakan
elektroda permukaan dengan pemberian stimulus click, mudah dilakukan, praktis,
tidak invasif dan hanya dapat menggunakan intensitas 30 – 40 dB. Umumnya
digunakan untuk keperluan skrining pendengaran. Metode ini jauh lebih praktis dari
ABR karena tidak memerlukan interpretasi dari audiologist. Metode ini dilakukan
dengan tujuan untuk uji terhadap integritas struktur jalur pendengaran, tetapi bukan
pemeriksaan pendengaran yang sebenarnya. Pendengaran tidak dapat dikatakan
normal sampai anak cukup matang untuk menjalani behavioral audiometry. (4)

Gambar 6. Skrining pendengaran pada bayi di Bagian THT RSCM(4)

16
III. KESIMPULAN

Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan wicara,


berbahasa, kognitif, masalah sosial, dan emosional. Skrining pendengaran pada bayi dapat
dimulai dengan mengidentifikasi faktor risko pada bayi serta menilai ada tidaknya
keterlambatan perkembangan wicara pada bayi. Adapun metode pemeriksaan gangguan
pendengaran pada bayi yang dapat dilakukan diantaranya Behavioral Observation Audiometry
(BOA), Visual Reinforcement Audiometry, Timpanometri, Otoacoustic Emission (OAE).
Otoacoustic emissions (OAE), Auditory Brainstem Response (ABR), , dan/atau automated
auditory brainstem response (AABR) direkomendasikan sebagai metode skrining pendengaran
pada neonatus. The joint committee on infant Hearing tahun 2000 merekomendasikan
pemeriksaan baku pada skrining pendengaran pada bayi adalah Otoacoustic emissions (OAE)
dan automated auditory brainstem response (AABR).

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwento Ronny dkk. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. In: buku ajar ilmu
kesehatan telinga,hidung,tenggorok,kepala, dan leher FKUI ed. Ketujuh. balai
penerbit FKUI : Jakarta.2012.
2. Anderson KL. The charge of the task force was to develop evidence-based
recommendations for screening hearing of children age 6 months through high school.
American Academy of Audiology Childhood Hearing Screening Guidelines.US:2011
3. Hyde ML. Newborn Hearing Screening Programs: Overview. The Journal of
Otolaryngology, Volume 34, Supplement 2, August 2005
4. Rundjan Lily, dkk. Skrining Gangguan pendengaran pada neonatus resiko tinggi. In:
Sari Pediatri vol.6. 2005.Pg;149-154.
5. Delaney MA. Newborn Hearing Screening.[diakses tanggal 8 Maret 2014]. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/836646-overview#showall
6. Nelson HD. Universal Newborn Hearing Screening:Systematic Review to Update the
2001U.S. Preventive Services Task Force Recommendation. AHRQ Publication No.
08-05117-EF-1.July:2008
7. Boies R.L. in effendi H, santoso K. Penyakit Telinga Luar Boies Buku Ajar Penyakit
THT (BOIES Fundamentalof otolaringology), ed 6. penerbit buku kedokteran, hal 84-
85
8. Sadler, T.W., Langman’s Medical Embryology, Sadler: Montana. 2005, Hal. 403-414
9. Soertirto I dan Bashiruddin J in Soepardi A.E iskandar N edt. Gangguan Pendengaran
in buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung dan tenggorokan kepala leher, ed 6, FKUI
2007, Hal 10-16
10. Menner Albert L. A Pocket Guide To The Ear. New York. 2006. Hal. 26-33
11. Mardiah Ainul. Fistula Preaurikula Congenital. Pada majalah kedokteran Nusantara
volume 38. No.4. FKUSU. Medan. 2005
12. Guyton AC, Hall JE.Indera pendengaran.In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.11.
EGC :Jakarta.2006
13. World Health Organization. Newborn and Infant Hearing Screening.Geneva :2009
14. Trihandani okti. Gambaran Hasil Pemeriksan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining
Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di Rsup H.Adam Malik Dan Balai Pelayanan
Kesehatan Dr.Pirngadi Medan. USU.2008
15. Andriani Rini,dkk. Peran instrumen modifikasi tes daya dengar sebagai alat skrining
gangguan pendengaran pada bayi risiko tinggi usia 0-6 bulan. Sari Pediatri vol 12.
Departemen ilmu penyakit telinga, hidung,tenggorokan, FKUI,Jakarta.2010

18
16. Skrining bayi baru lahir. Dalam : buku panduan tata laksana bayi baru lahir.HTA
Indonesia.2010.
17. Audiology .[diakses tanggal 13 Maret 2014].Available from
http://www.headneck.com/audiology. Southern california
18. Judith gravel,et.al . Audiologic Guidelines For The Assesment Of Hearing Infants And
Young Children.UK.:August. 2012
19. National Acoustic Laboratories. Hearing Assesment. [diakses tanggal 13 maret 2014].
Available from : www.nal.gov.au/hearing
20. Hidayat B. Hubungan Antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan Stadium
Tumor Pada Penderita Karsinoma Nasofaring. FK USU. Medan :2009
21. Mc grath Andrew. Visual reinforcement audiometry and conditioned play audio .
[diakses tanggal 13 maret 2014]. Available from : http://www.womenandinfants.org
22. Ciorba A,et.al. Neonatal newborn hearing screening:four years’ experience at Ferrara
University Hospital (CHEAP Project): Part 1. Acta Otorhinolaryngol Ital 2007;27:10-
16

19

Anda mungkin juga menyukai