Anda di halaman 1dari 24

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG REFERAT

TENGGOROK KEPALA DAN LEHER November 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

DELAYED SPEECH

Oleh :
Abdul Rahim
K1A1 12 072

Pembimbing :
dr. Sophian Sujana, Sp.THT-KL.,M.Kes

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROK KEPALA DAN LEHER
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
DELAYED SPEECH
Abdul Rahim, Sophian Sujana

A. Pendahuluan
Bicara adalah produksi verbal bahasa, sedangkan bahasa adalah proses
komunikasi konseptual. Bahasa termasuk bahasa reseptif (pemahaman) dan
bahasa ekspresif (kemampuan untuk menyampaikan informasi, perasaan,
pikiran, dan ide). Bahasa biasanya dipikirkan dalam bentuk lisannya, tetapi
mungkin juga termasuk bentuk visual, seperti Bahasa Isyarat Amerika.1
Delayed Speech adalah keterlambatan proses bicara seorang anak
dibandingkan dengan proses bicara anak seusianya. Delayed Speech
merupakan masalah utama yang sebagian besar diakibatkan oleh gangguan
pendengaran.2
Gangguan perkembangan bicara cukup lazim, terjadi hingga 5% dari
anak-anak prasekolah. Seorang anak dengan "terlambat" bicara memiliki pola
bicara dan bicara yang khas, tetapi ini mengalami keterlambatan
dibandingkan dengan 90% teman-temannya. Sebaliknya, "gangguan" bicara
ditandai oleh kesalahan atipikal yang terlihat pada kurang dari 10% anak-
anak pada usia yang sesuai.3
Keterlambatan bicara adalah salah satu penyebab gangguan
perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Beberapa laporan
menyebutkan angka kejadian gangguan bicara dan bahasa berkisar 5 – 10%
pada anak sekolah. Penyebab gangguan bicara dan bahasa sangat luas dan
banyak, terdapat beberapa resiko yang harus diwaspadai untuk lebih mudah
terjadi gangguan ini. Semakin dini mendeteksi kelainan atau gangguan
tersebut maka semakin baik pemulihan gangguan tersebut. Semakin cepat
diketahui penyebab gangguan bicara dan bahasa maka semakin cepat
stimulasi dan intervensi dapat dilakukan pada anak tersebut. Deteksi dini
gangguan bicara dan bahasa ini harus dilakukan oleh semua individu yang
terlibat dalam penanganan anak ini, mulai dari orang tua, keluarga, dokter

2
kandungan yang merawat sejak kehamilan dan dokter anak yang merawat
anak tersebut.2

B. Anatomi Pendengaran 4

Gambar 1. Pembagian telinga


Telinga luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak
kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen ) dan
rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga.
Telinga tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
 Batas luar : membran timpani
 Batas depan : tuba eustachius
 Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
 Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars ventrikalis
 Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
 Batas dalam : berturut-turut dari atas kebawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan
promontorium.
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.
Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleeus melekat
pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap

3
lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang
pendengaran merupakan persendian.
Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini
terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah
dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termaksud telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.
Telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibularyang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkular. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap
dan membentuk lingkaran yang lengkap. Pada irisan melintang koklea
tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala
media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi
perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang
terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk
pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli
(Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis.
Pada membran ini terletak organ Corti. Pada skala media terdapat
bagian yang terbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada
membran basal melekat sel rambut, sel luas dan kanalis Corti, yang
membentuk organ Corti.

C. Fisiologi pendengaran4
Pusat khusus pengatur bicara di otak terletak di dalam korteks serebri.
Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris.
Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi
untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu
mengatur laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang
bertanggung jawab untuk pengeluaran suara.

4
Gambar 3. Fisiologi pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasi
getaran memalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan
luas membrane timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membran reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereolisia sel-sel rambut, sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi penglepasan ion permukaan listrik dari badan sel.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditoris, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.
Gangguan pendengaran
Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural
deafnes) serta tuli campur (mixed deafness). Gangguan telinga luar dan
tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam

5
menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli
retrokoklea. 4
Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh
kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Sumbatan tuba
eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan terdapat tuli
konduktif. Antara incus dan maleus berjalan nervus fasialis yang disebut
korda timpani. Bila terdapat radang telinga tengah atau trauma mungkin
korda timpani tenjepit, sehingga timbul gangguan pendengaran.
Pada tuli sensorineural (persepsif) kelainan terdapat pada koklea
(telinga dalam), nervus VII atau di pusat pendengaran. Di dalam telinga
dalam terdapat alat keseimbangan dan alat pendengaran. Obat-obat dapat
merusak stria vaskularis, sehingga saraf pengaran rusak, dan terjadi sensori
neural dan gangguan keseimbangan.
Tuli campur dapat merupakan satu penyakit, misalnya radang telinga
tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit
yang berlainan, misalnya tumar nervus VII (tuli saraf) dengan radang telinga
tengah (tuli konduktif).4

D. Definisi
Delayed Speech adalah keterlambatan proses bicara seorang anak
dibandingkan dengan proses bicara anak seusianya. Delayed Speech
merupakan masalah utama yang sebagian besar diakibatkan oleh gangguan
pendengaran. Secara umum seorang anak dikatakan keterlambatan bicara atau
gangguan bicara, bila perkembangan bicara anak tersebut secara signifikan
dibawah nilai normal untuk anak seusianya.2

E. Epidemiologi
Tingkat prevalensi untuk keterlambatan bicara dan bahasa telah
dilaporkan dalam rentang yang luas. Ulasan Cochrane baru-baru ini
merangkum data prevalensi pada keterlambatan bicara, keterlambatan bahasa,
dan keterlambatan gabungan pada anak-anak usia prasekolah dan sekolah.

6
Untuk anak-anak usia prasekolah, berusia 2 hingga 4,5 tahun, penelitian yang
mengevaluasi kombinasi keterlambatan bicara dan bahasa telah melaporkan
tingkat prevalensi mulai dari 5% hingga 8%, dan studi keterlambatan bahasa
telah melaporkan tingkat prevalensi mulai dari 2,3% hingga 19%.
Keterlambatan bicara dan bahasa yang tidak diobati pada anak-anak
prasekolah telah menunjukkan tingkat persistensi variabel (dari 0% hingga
100%), dengan sebagian besar penelitian melaporkan 40% hingga 60%.
Dalam 1 studi, dua pertiga anak usia sekolah yang dirujuk untuk terapi wicara
dan bahasa dan tidak diberikan intervensi langsung terbukti memenuhi syarat
untuk terapi 12 bulan kemudian.2,5
Dari Mahasiswa Sekolah Kedokteran Universitas Indonesia,
Departemen Kesehatan Anak di Indonesia, Rumah Sakit Dr. Kariadi di
Semarang pada tahun 2007 bertemu dengan 100 anak keterlambatan bicara
dari 436 anak yang dites. Data yang diperoleh oleh Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo menunjukkan bahwa 10,13% dari 1.125 kunjungan anak-
anak pada tahun 2006 dinyatakan positif keterlambatan bicara.6
Penelitian yang dilakukan oleh Sunderajan dan Kanhere (2018)
menunjukkan dari 1.658 anak-anak yang termasuk dalam kelompok usia 1-12
tahun menjadi sampel, sebanyak, 42 anak-anak (2,53%) ditemukan memiliki
keterlambatan bicara dan bahasa. Dari anak-anak ini, satu anak memiliki fitur
autis, satu anak memiliki cerebral palsy, dan anak lainnya memiliki gangguan
pendengaran sebagai komorbiditas.7

F. Fisiologi Perkembangan Bicara


Akuisisi bicara yang normal mungkin diharapkan mengikuti banyak
pola yang sama seperti motorik, perilaku adaptif, dan personal anak. Suatu
“periode kesiapan bicara” meluas dari kelahiran hingga tahun ke lima
kehidupan, ketika anak memperoleh kemampuan untuk mengembangkan
kemampuan bicara sebagai metode komunikasi. Perkembangan wicara dapat
diklasifikasi menjadi lima tahapan: tangisan, celoteh, celoteh reduplikasi,
echolalia, dan ucapan yang disengaja, yang campuran secara kumulatif.8

7
Keterlambatan bicara dan bahasa dialami oleh 5-8% anak usia
prasekolah. Agar dapat mengetahui kapan seorang anak terlambat bicara,
terlebih dahulu kita perlu mengenal tahapan perkembangan bicara normal.8
Usia 0-6 bulan
Saat lahir, bayi hanya dapat menangis untuk menyatakan keinginannya.
Pada usia 2-3 bulan, bayi mulai dapat membuat suara-suara sseperti aah atau
uuh yang dikenal dengan istilah cooing. Ia juga senang bereksperimen dengan
berbagai bunyi yang dapat dihasilkannya, misalnya suara menyerupai
berkumur. Bayi juga mulai bereaksi terhadap orang lain dengan
mengeluarkan suara. Setelah usia 3 bulan, bayi akan mencari sumber suara
yang didengarnya dan menyukai mainan yang mengeluarkan suara.8
Mendekati usia 6 bulan, bayi dapat berespons terhadap namanya sendiri
dan mengenali emosi dalam nada bicara. Cooing berangsur menjadi babbling,
yakni mengoceh dengan suku kata tunggal, misalnya papapapapa,
dadadadada, bababababa, mamamamama. Bayi juga mulai dapat mengatur
nada bicaranya sesuai emosi yang dirasakannya, dengan ekspresi wajah yang
sesuai.
Usia 6-12 bulan
Pada usia 6-9 bulan, bayi mulai mengerti nama-nama orang dan benda
serta konsep-konsep dasar seperti ya, tidak, habis. Saat babbling, ia
menggunakan intonasi atau nada bicara seperti bahasa ibunya. Ia pun dapat
mengucapkan kata-kata sederhana seperti mama dan papa tanpa arti.8
Pada usia 9-12 bulan, ia sudah dapat mengucapkan mama dan papa
(atau istilah lain yang biasa digunakan untuk ibu dan ayah atau pengasuh
utama lainnya) dengan arti. Ia menengok apabila namanya dipanggil dan
mengerti beberapa perintah sederhana (misal lihat itu, ayo sini). Ia
menggunakan isyarat untuk menyatakan keinginannya, misalnya menunjuk,
merentangkan tangan ke atas untuk minta digendong, atau melambaikan
tangan (dadah). Ia suka membeo, menirukan kata atau bunyi yang
didengarnya. Pada usia 12 bulan bayi sudah mengerti sekitar 70 kata.

8
Usia 12-18 bulan
Pada usia ini, anak biasanya sudah dapat mengucapkan 3-6 kata dengan
arti, dapat mengangguk atau menggelengkan kepala untuk menjawab
pertanyaan, menunjuk anggota tubuh atau gambar yang disebutkan orang lain,
dan mengikuti perintah satu langkah (Tolong ambilkan mainan itu). Kosakata
anak bertambah dengan pesat; pada usia 15 bulan ia mungkin baru dapat
mengucapkan 3-6 kata dengan arti, namun pada usia 18 bulan kosakatanya
telah mencapai 5-50 kata. Pada akhir masa ini, anak sudah bisa menyatakan
sebagian besar keinginannya dengan kata-kata.

Usia 18-24 bulan


Dalam kurun waktu ini anak mengalami ledakan bahasa. Hampir setiap
hari ia memiliki kosakata baru. Ia dapat membuat kalimat yang terdiri atas
dua kata (mama mandi, naik sepeda) dan dapat mengikuti perintah dua
langkah. Pada fase ini anak akan senang mendengarkan cerita. Pada usia dua
tahun, sekitar 50% bicaranya dapat dimengerti orang lain.
Usia 2-3 tahun
Setelah usia 2 tahun, hampir semua kata yang diucapkan anak telah
dapat dimengerti oleh orang lain. Anak sudah biasa menggunakan kalimat 2-3
kata - mendekati usia 3 tahun bahkan 3 kata atau lebih - dan mulai
menggunakan kalimat tanya. Ia dapat menyebutkan nama dan kegunaan
benda-benda yang sering ditemui, sudah mengenal warna, dan senang
bernyanyi atau bersajak (misalnya Pok Ami-Ami).
Usia 3-5 tahun
Anak pada usia ini tertarik mendengarkan cerita dan percakapan di
sekitarnya. Ia dapat menyebutkan nama, umur, dan jenis kelaminnya, serta
menggunakan kalimat-kalimat panjang (>4 kata) saat berbicara. Pada usia 4
tahun, bicaranya sepenuhnya dapat dimengerti oleh orang lain. Anak sudah
dapat menceritakan dengan lancar dan cukup rinci tentang hal-hal yang
dialaminya.5

9
G. Etiologi
Keterlambatan bicara dapat disebabkan gangguan pendengaran,
gangguan pada otak (misalnya retardasi mental, gangguan bahasa spesifik
reseptif dan/atau ekspresif), autisme, atau gangguan pada organ mulut yang
menyebabkan anak sulit melafalkan kata-kata (dikenal sebagai gangguan
artikulasi). Untuk menegakkan diagnosis penyebab keterlambatan bicara,
perlu pemeriksaan yang teliti oleh dokter, yang terkadang membutuhkan
pendekatan multidisiplin oleh dokter anak, dokter THT, dan psikolog atau
psikiater anak.9
Banyak hal yang dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan
bicara dan bahasa. Keterlambatan bicara pada anak yang biasanya
berkembang kadang-kadang dapat disebabkan oleh gangguan mulut, seperti
masalah dengan lidah atau langit-langit mulut (atap mulut). Frenulum pendek
(lipatan di bawah lidah) dapat membatasi pergerakan lidah untuk
menghasilkan ucapan.10
Banyak anak-anak dengan keterlambatan bicara memiliki masalah
motorik lisan, yang berarti ada komunikasi yang tidak efisien di area otak

10
yang bertanggung jawab untuk produksi bicara. Anak tersebut menemui
kesulitan menggunakan dan mengoordinasikan bibir, lidah, dan rahang untuk
menghasilkan suara ucapan. Pidato mungkin merupakan satu-satunya
masalah atau mungkin disertai dengan masalah motorik oral lainnya seperti
kesulitan makan. Keterlambatan bicara juga dapat menjadi bagian dari
(bukannya mengindikasikan) keterlambatan perkembangan yang lebih
"global" (atau umum).
Masalah pendengaran juga umumnya terkait dengan keterlambatan
bicara, itulah sebabnya pendengaran anak harus diuji oleh audiolog setiap kali
ada kekhawatiran bicara. Seorang anak yang mengalami kesulitan mendengar
mungkin mengalami kesulitan mengartikulasikan serta memahami, meniru,
dan menggunakan bahasa.10
Infeksi telinga, terutama infeksi kronis, dapat memengaruhi
kemampuan pendengaran. Infeksi telinga sederhana yang telah diobati secara
memadai, seharusnya tidak memiliki efek pada bicara.10

H. Deteksi Dini Gangguan Bicara Pada Anak


Deteksi dini merupakan suatu upaya yang dilaksanakan secara
komprehensif untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan
mengetahui serta mengenal faktor resiko pada anak usia dini. Melalui deteksi
dini dapat diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini,
sehingga upaya pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat
diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa proses tumbuh kembang.
Penilaian pertumbuhan dan perkembangan meliputi dua hal pokok, yaitu
penilaian pertumbuhan fisik dan penilaian perkembangan. Deteksi dini
terhadap gangguan bicara merupakan bagian dari deteksi dini mengenai
penilaian penyimpangan perkembangan. Pada dasarnya deteksi dini adalah
kegiatan menggunakan seluruh kemampuan dan panca indera orang tua untuk
mengamati proses perkembangan putra-putrinya, sebaiknya orang tua juga
mengetahui fase-fase normal yang seharusnya terjadi dalam periode tumbuh
kembang.11

11
Pada usia 0-6 bulan waspada bila: tidak menoleh jika dipanggil
namanya dari belakang, tidak ada babbling. Pada usia 6-12bulan perlu
waspada bila: bayi tidak menunjuk dengan jari pada usia 12 bulan, ekspresi
wajah kurang pada usia 12 bulan. Pada usia 12-18 bulan waspada bila : tidak
ada kata berarti pada usia 16 bulan. Pada usia 18-24 bulan waspada
bila: Tidak ada kalimat 2 kata yang dapat dimengerti pada usia 24 bulan.8

I. Klasifikasi dan Gejala Klinis


Menurut Berry MF dan Eisenson J, gangguan bicara dan bahasa pada
anak, secara garis besarnya dibagi menjadi 4 kategori:
1. Defek produksi artikulasi dan bunyi
2. Defek fonasi dan produksi suara (gangguan suara)
3. Defek dalam irama (stuttering and cluttering)
4. Disfungsi bahasa (Gangguan bicara dan afasia)
Berry MF dan Eisenson J, juga melakukan klasifikasi lain yang lebih
praktis yaitu berdasarkan kelainan yang mungkin terjadi pada individu
tertentu. Misalnya pada anak dengan gangguan pendengaran atau menderita
serebral palsi, dapat mengalami gangguan keterlambatan bahasa, artikulasi
dan suara. Klasifikasi tersebut, adalah:
1. Defek artikulasi (Termasuk distorsi, substitusi, atau omisi bicara)
2. Defek produksi suara (Termasuk deviasi kualitas, kekerasan suara, nada,
variasi dan durasi suara)
3. Defek irama (stuttering and cluttering)
4. Gangguan perkembangan bicara
5. Cleft palate speech
6. Gaya bicara palsi serebral, termasuk afasia kongenital
7. Kerusakan fungsi bahasa (afasia)
8. Defek bicara yang berhubungan defek pendengaran
Selain itu terdapat pula klasifikasi oleh Rutter terhadap kelainan bahasa
pada anak berdasarkan atas berat ringannya gangguan bahasa, yang dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.

12
Tabel 1. Klasifikasi Terlambat Bicara Menurut Rutter
Keterlambatan akuisisi dari bunyi Dislalia
Ringan
kata- kata, bahasa normal
Keterlambatan lebih berat dari Disfasia ekspresif
Sedang akuisisi bunyi kata-kata dan
perkembangan bahasa terlambat
Keterlambatan lebih berat dari Disfasia rescptif dan
Berat akuisisi dan bahasa, gangguan tuli persepsi
pemahaman bahasa
gangguan pada seluruh kemampuan Tuli persepsi dan tuli
Sangat Berat
bahasa central

J, Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan harus mencakup masalah yang
dikemukakan oleh orang tua mengenai perkembangan bicara dan bahasa
anaknya. Pemeriksa dapat menanyakan riwayat perkembangan bahasa dan
kognitif dalam keluarganya, keadaan sosial ekonomi, lingkungan sekitarnya,
dan riwayat perkembangan pada umumnya (bahasa, motorik, sosial, kognitif).
Selain itu dapat pula ditanyakan tentang faktor risiko lain seperti penyakit ibu
selama hamil, riwayat perinatal, penyakit-penyakit yang pernah diderita
sebelumnya, riwayat pemakaian obat-obatan ototoxic, riwayat psikososial,
gangguan tingkah laku mengenai cara anak berinteraksi dengan teman
sebayanya, dan asupan nutrisi anak.
Aspek utama untuk dapat menggali riwayat pasien melibatkan perhatian
dari caregiver melalui riwayat perkembangan menyeluruh, riwayat kelahiran,
dan maternal history. Secara khusus pernyataan –pertanyaan berikut harus
menjadi perhatian dari pemeriksa antara lain : tidak mengoceh selama 12
bulan; tidak memahami perintah sederhana pada usia 15 bulan; tidak ada
kata-kata pada usia 2 tahun; tidak dapat membuat kalimat dan sebagian besar
tidak dapat dimengerti pada usia 3 tahun; dan kesulitan menceritkan kisah
sederhana pada usia 4-5 tahun.10

13
K. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan untuk mengetahui adanya kecurigaan
kelainan fisik yang berhubungan dengan keterlambatan bicara. Aspek utama
pada pemeriksaan fisik meliputi tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala.
Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan neurologis menyeluruh termasuk
pemeriksaan penglihatan dan pendengaran. Pada pasien dengan
keterlambatan bicara dapat ditemukan kelainan fisik seperti mikrosefali,
anomali telinga luar, otitis media yang berulang, sindrom Down, palsi
serebral, celah palatum, gangguan oromotor (keterlambatan bicara, bicara
terburu-buru, cadel, hipersalivasi), dan lain-lain. Pemeriksaan fisik yang teliti
harus dilakukan untuk mencari adanya gejala-gejala dari sindrom tertentu,
atau kelainan dismorfik yang mungkin ada.

L. Pemeriksaan Penunjang
Semua anak yang mengalami keterlambatan bicara harus memiliki
penilaian audiologi penuh. Respon batang otak (Auditory Brain
Response/ABR) adalah suatu cara fisiologis kuantitatif untuk
mengesampingkan gangguan pendengaran perifer, dan itu berguna untuk bayi
dan anak yang tidak kooperatif. Ini merupakan sebuah penilaian
perkembangan yang komprehensif harus dilakukan pada semua anak dengan
keterlambatan bicara. Selain itu, penilaian terhadap lingkungan rumah juga
diperlukan untuk mengevaluasi kualitas stimulasi bicara di rumah serta
kualitas interaksi anak dengan pengasuhnya. Jika dianggap perlu dapat
dilakukan tes tambahan termasuk kariotipe untuk kelainan kromosom dan
molekul Fragile X. Jika dalam pemeriksaan terdapat kekhawatiran tentang
regresi, dapat dilakukan pemeriksaan EEG dan neuroimaging (CT /MRI).
Selain itu untuk menyingkirkan adanya gangguan pendengaran perlu
dilakukan pemeriksaan otologis dan audiometris. Pada anak pemeriksaan
otologis dapat dilakukan oleh bagian Telinga Hidung Tenggorokan ataupun
dengan tes Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Tes ini dapat
digunakan sebagai deteksi dini karena dapat dipergunakan pada segala usia,

14
tidak tergantung pada kondisi anak sedang tidur atau bangun dan merupakan
alat deteksi yang efektif untuk mengukur abnormalitas telinga bagian tengah
dan dalam. BERA menggunakan click stimulus untuk menggambarkan respon
elektrik dari batang otak dengan pengukuran melalui elektrode permukaan.
Sensitivitas dari BERA dilaporkan sebesar 100% dan spesifitas 97- 98%.
Pemeriksaan lain seperti psikolog/neuropsikiater anak diperlukan jika
terdapat gangguan bahasa dan tingkah laku. Pemeriksaan ini meliputi riwayat
dan tes bahasa, kemampuan kognitif dan tingkah laku. Tes intelegensia dapat
dipakai untuk mengetahui fungsi kognitif anak tersebut. Masalah tingkah laku
tersebut dapat diperiksa lebih lanjut dengan menggunakan instrumen-
instrumen seperti: Vineland Social Adaptive Scale Revised, Child Behavior
Checklist atau Childhood Autism Rating Scale (CHAT). Ahli patologi wicara
akan mengevaluasi cara pengobatan anak dengan gangguan bicara.11
Pada anak dengan keterlambatan bicara dan bahasa harus dicari apakah
terdapat keterlambatan pada sektor perkembangan lainnya, termasuk motorik,
kognitif, dan sosial. Pemeriksaan ini merupakan kunci untuk diagnosis
gangguan bicara dan bahasa tersebut. Disini harus ditentukan apakah terdapat
gangguan sektor perkembangan yang majemuk (multiple domain) atau hanya
sektor bahasa saja. Selain itu identifikasi pula apakah terdapat: global delayed
development, retardasi mental, autisme, ataupun deprivasi sosial.11
Bila hanya terdapat gangguan sektor bahasa saja, tentukan apakah
gangguan bahasa atau terlambat bicara. Gangguan perkembangan bahasa
adalah kelompok heterogen dari gangguan perkembangan bahasa ekspresif
dan reseptif tanpa etiologi yang spesifik. Sangat sulit membedakan antara
anak yang dalam tahap perkembangan bahasa yang masih dalam batas normal
(late bloomer), dengan anak yang sudah ada gangguan perkembangan bahasa.
Oleh karena itu, deteksi dini dan intervensi dini sangat dianjurkan.
Keterlambatan bahasa ekspresif, diobservasi sebagai keterlambatan bicara
(delayed speech). Masalah bahasa reseptif seperti auditory processing
disorders atau gangguan pada auditory short-term memory mungkin akan
tampak dengan bertambahnya umur anak. Keterlambatan atau gangguan

15
bicara sering merupakan faktor keturunan. Apabila terdapat gangguan sektor
bahasa, pasien harus dirujuk untuk program intervensi dini atau ke ahli terapi
wicara.11
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi dan anak harus
diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami
sesorang/anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya
akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa.4
Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi
dan anak :
1. Behavioral Observation Audiometry
Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan
merupakan respons yang disadari (voluntary response). Metode ini dapat
mengetahui seluruh sistem auditorik termasuk pusat kognitifyang lebih
tinggi. Behavioral audiometry penting untuk mengetahui respons
subyektif sistim auditorik pada bayi dan anak, dan juga bermanfaat untuk
penilaian habilitasi pendengaran yaitu pengukuran alat bantu dengar
(hearing aid fitting).4
Pemeriksaan ini dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising
lingkungan tidak lebih dari 60 dB), idealnya pada ruang kedap suara.
Sebagai sumber bunyi sederhana dapat digunakan tepukan tangan,
tambur, bola plastik beris air, remasankertas, bel, terompet karet, mainan
yang mempunyai bunyi frekuensi tinggi. Dinilai kemampuan anak dalam
memberikan respons terhadap sumber bunyi tersebut. Pemeriksaan
Behavioral Ibservation Audiometry dibedakan menjadi : Behavioral
Reflex Audiometry dan Behavioral response audiometry.

Behavioral reflex audiometry


Respons behavioral yang dapat diamati antara lain : dapat
mengejapkan mata, melebarkan mata, mengerutkan wajah, denyut
jantung meningkat, reflex Maro (paling konsisten). Reflex auropalbebral
dan Maro rentan terhadap efek habituasi, maksudnya bila stimulus

16
diberikan berulang-ulang bayi menjadi bosan sehingga tidak member
respon walaupun dapan mendengar. Bila kita mengharapkan terjadinya
refleksMaro dengan stimulus bunyi yang keras sebaiknya dilakukan pada
akhir prosedur bayi akan terkejut, takut dan menangis.4

Behavioral Response Audiometry


Teknik Behavioral Response Audiometry yang sering digunakan
adalah tes Distraksi dan Visual Reinforcement Audiometry (VRA).
a. Tes Distraksi
Dilakukan dalam kedap suara menggunakan stimulus murni. Bayi
dipangku oleh ibunya atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa,
pemeriksa pertama bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi. Pemeriksa
kedua berperan memberikan stimulus bunyi, misalnya dengan
audiometer yang berhubungan dengan pengeras suara.Respons terhadap
stimulus bunyi adalah menggerakkan bola mata atau menoleh kearah
sumber bunyi.
b. Visual Reinforcement Audiometry
Pemeriksaan pendengaran berdasarkan respon conditioned yang
dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan
stimulus visual. Bayi akan memberikan respons orientasi atau melokalisir
bunyi dengan cara menoleh kearah sumber bunyi.4
Play audiometry (Usia 2-5 tahun)
Pemeriksaan play audiometry (Conditioned play audiometry)
meliputi teknik melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai
pengamatan respons motorik spesifik dalam suatu aktivitas permainan.
Misalnya sebelum pemeriksaan anak dilatih.4
2. Timpanometri
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kondisi telinga tengah.
Gambaran timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan
negatif di telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan
pendengaran konduktif. Melalui probe tone (sumbatan liang telinga)

17
yang dipasang pada liang telinga dapat diketahui besarnya tekanan di
liang telinga berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali (kea rah
luar) oleh gendang telinga. Pada orang dewasa atau bayi berusia diatas 7
bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz
3. Audiometri Nada Murni
Dilakukan pada anak berusia lebih dari 4 tahun yang koperatif.
Sebagai sumber suara digunakan nada murni (pure tone) yaitu bunyi
yang hanya terdiri 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap
suara, dengan menilai hantaran suara melalui udara melalui headphone
pada frekuensi 125, 250, 5000, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz. Hantaran
suara melalui tulang diperiksadengan memasang bone vibrator pada
prosesus mastoid yang dilakukan dengan frekuensi 500, 1000, 2000,
4000 Hz. Suara dengan intensitas terendah yang dapat didengar dicatat
pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat
ketulian.
4. Otoacoustic Emission (OAE)
Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk
menilai fungsi koklea objektif, otomatis (menggunakan kriteria
pass/lulus dan refer/tidak lulus), tidak invasif, mudah, tidak
membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga sangat efisien untuk
program skrining pendengaran bayi baru lahir.
Pemeriksaan tidak harus diruang kedap suara, cukup diruangan yang
tenang. Pada mesin OAE generasi terakhir OAE secara secara otomatis
akan dikoreksi dengan noise yang terjadi selama pemeriksaan
5. Brainstem Evoked Response Audiometri (BERA)
Istilah lain : Audiometry Brainstrem Response (ABR). BERA
merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistim
auditorik, bersifat obyektif, tidak invasif.4 BERA merupakan cara
mengukur evoked potential (aktifitas listrik yang dihasilkan nervus VIII,
pusat-pusat neural dan traktus di dalam batang otak) sebagai respons
terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan berupa

18
bunyi click atau toneburst yang diberikanmelalui headphone, insert
probe, bone vibrator. Untuk memperoleh stimulus yang paling efisien
sebaiknya digunakan insert probe. Stimulus click merupakan impuls
listrik dengan onset cepat dan durasi yang sangat singkat (0,1 ms),
menghasilkan respon pada average frequency antara 2000-4000 Hz.
M. Penatalaksanaan
Deteksi dan penanganan dini pada problem bicara dan bahasa pada
anak, akan membantu anak-anak dan orang tua untuk menghindari atau
memperkecil kemungkinan kelainan pada masa sekolah antara lain yang
dengan menggunakan pemeriksaan DDST dan tes kemampuan auditorik
untuk memastikan ada tidaknya masalah pada sistem pendengaran. Dengan
perbaikan masalah medis seperti tuli konduksi dapat menghasikan
perkembangan bahasa yang normal pada anak yang tidak mengalami retardasi
mental. Sedangkan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak dengan
gangguan pendengaran sensoris bervariasi. Dikatakan bahwa anak dengan
gangguan fonologi biasanya memiliki prognosis lebih baik. Sedangkan
gangguan bicara pada anak yang itelegensinya normal, perkembangan
bahasanya lebih baik daripada anak yang retardasi mental. Tetapi pada anak
dengan gangguan yang multipel terutama dengan gangguan pemahaman,
gangguan bicara ekspresif atau kemampuan naratif yang tidak berkembang
pada usia 4 tahun, akan mempunyai gangguan bahasa yang menetap pada usia
5,5 tahun.
Ketika diduga keterlambatan bicara dan bahasa, anak-anak harus
dirujuk ke ahli patologi bahasa-bicara atau program intervensi dini setempat,
dan seorang audiolog. Pemantauan ketat sebelum rujukan mungkin sesuai
ketika diduga keterlambatan bicara dan bahasa, tetapi pendekatan ini harus
digunakan dengan hati-hati, karena dua pertiga anak yang lebih muda dari
tiga setengah tahun dengan keterlambatan bicara dan bahasa akan
memerlukan terapi wicara setelah satu tahun tanpa intervensi. Tidak ada cara
tertentu untuk menentukan anak-anak mana yang akan membaik dengan
pendekatan penantian yang waspada saja, tetapi penilaian ahli patologi

19
wicara-bahasa tentang fungsi komunikatif anak tampaknya merupakan
prediktor paling signifikan terhadap hasil linguistik.
Tujuan utama terapi adalah untuk mengajarkan strategi anak-anak untuk
memahami bahasa lisan dan menghasilkan perilaku komunikasi yang tepat,
dan untuk membantu orang tua mempelajari cara mendorong keterampilan
komunikasi anak-anak mereka. Ada data bagus yang tersedia untuk
mendukung keefektifan herapsi bicara-bahasa, terutama untuk anak-anak
dengan gangguan bahasa ekspresif primer. Efek terapi bahasa wicara untuk
anak-anak dengan gangguan bahasa reseptif tampaknya jauh lebih kecil
daripada untuk kelompok lain. Orang tua dapat secara efektif memberikan
terapi bahasa-bicara, tetapi harus terlebih dahulu menerima pelatihan,
biasanya dari ahli patologi bahasa-bicara. Respons terhadap pengobatan lebih
bervariasi ketika menggunakan administrator orang tua, yang menunjukkan
bahwa beberapa orang tua mungkin lebih cocok untuk memberikan terapi
daripada yang lain. Terapi yang bertahan lebih lama dari delapan minggu
tampaknya lebih efektif daripada yang berlangsung kurang dari delapan
minggu.1
Setelah diketahui anak menderita ketulian upaya habilitasi pendengaran
harus dilaksanakn sedini mungkin, American Joint Committee on Infant
Hearing merekomendasikan upaya habilitasi sudah harus dimulai sebelum
usia 6 bulan. Habilitasi yang optimal sudah dimulai sebelum usia 6 bulan
maka pada usia 3 tahun perkembangan wicara anak yang mengalami ketulian
dapat mendekati kemampuan wicara anak normal.
Pemasangan alat bantu dengar (ABD) merupakan upaya pertama dalam
habilitasi pendengaran yang dikombinasikan dengan terapi wicara atau terapi
audio verbal. Sebelum proses bicara harus dilakukan penilaian tingkat
kecerdasan oleh Psikolog untuk melihat kemampuan belajar anak. Anak usia
2 tahun dapat memulai pendidikan khusus di Taman Latihan dan Observasi
(TLO), dan melanjutkan pendidikannya di SLB-B atau SLB-C bila disertai
dengan retardasi mental. Proses habilitasi pasien tunarungu membutuhkan
kerjasama dari beberapa disiplin, antara lain dokter spesialis THT,

20
Audiologist, Ahli madya audiologi, Ahli terapi wicara, Psikolog Anak , guru
khusus untuk tunarungu dan keluarga penderita.
Saat ini dikenal beberapa strategi habilitasi pendengaran seperti :
1. Alat Bantu Dengar (ADB)
Alat bantu dengar (ADB) adalah suatu perangkat elektronik yang
berguna untuk memperkeras (amplifikasi) suara yang masuk ke telinga
dalam; sehingga si pemakai dapat mendengar lebih jelas suara yang ada
disekitarnya.
Jenis jenis alat bantu dengar :
a). ADB jenis saku (Pocket/Body worn type)
b). ABD jenis belakang telinga (Behind The Ear atau BTE)
c). ABD jenis ITE (In The Ear)
d). ABD jenis ITC (In The Canal)
e). ABD jenis CIC (Completely In The Canal)
f). ABD jenis kacamata (Spectacle aid)
g). ABD jenis hantaran tulang (Bone conduction aid)
h). ABD jenis CROS (Contralateral Routing Of Signals) dan BICROS
2. Assistive Listening Device (ALD)
ALD adalah perangkat elektronik untuk meningkatkan kenyamanan
pendengar pada kondisi lingkungan pendengaran tertentu seperti
menonton televisi, mendengarkan telepon, mendengar suara bel rumah
atau pada saat berada di ruang aula / auditorium. ALD dapat
dipergunakan tersendiri atau dipasang pada ABD dengan maksud
mengoptimalkan kerja ABD.
Dikenal beberapa jenis ALD, seperti :
a). Sistim kabel
Receiver ABD dihubungkan melalui kabel dengan mikrofon yang
digunakan oleh lawan bicara (guru). Cara ini dapat membantu pada
pembicara jarak pendek. Juga dapat dihubungkan dengan pesawat
televise, radio, walkman, pemutar CD dan perangkat audio lainnya.

21
b). Sistim FM (Frekuency Modulation)
ABD dihubungkan dengan sumber suara tanpa mempergunakan
kabel (wireless). Suara dari lawan bicara, pembicara atau
guru/gelombang radio FM menuju ABD yang digunakan. Cara ini lebih
fleksibel dibandingkan sistim kabel. Sistim ini dapat digunakan pada
ruang kelas atau ruang pertemuan.
c). Sistim Infra merah (infra red)
Sinyal dari sumber bunyi dipancarkan melalui gelombang sinar infra
merah, seperti halnya dengan remote control Sistim infra merah ini
memerlukan jalan sinyal bebas hambatan antara transmitter dengan
receiver.
d). Intraduction Loops
Perangkat ini menghasilkan suatu medan magnet yang akan
meningkatkan kenyamanan mendengar. Medan magnet tersebut akan
ditangkap oleh receiver yang ada pada suatu headphone atau ABD.
3. Implan Koklea
Implan koklea merupakan elektronik yang mempunyai kemampuan
mengganti fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar
dan berkomunikasi pada pasien tuli saraf berat dan total bilateral. Dengan
cara insisi retroaurekular, dilakukan mastoidektomi.

N. Komplikasi
Semakin dini mendeteksi keterlambatan bicara, maka semakin baik
kemungkinan pemulihan gangguan tersebut. Bila keterlambatan bicara
tersebut merupakan nonfungsional maka harus cepat dilakukan stimulasi dan
intervensi terhadap anak tersebut. Kegiatan deteksi dini ini melibatkan orang
tua, keluarga, dokter kandungan yang merawat sejak kehamilan dan dokter
anak yang merawat anak tersebut. Sehingga dalam deteksi dini tersebut harus
bisa mengenali apakah keterlambatan bicara anak kita merupakan sesuatu
yang fungsional atau yang nonfungsional.

22
Dokter harus menyadari bahwa keterlambatan bicara adalah keadaan
klinis kronik yang spesial sehingga dapat memberikan pengobatan yang tepat
bagi penderitanya. Terdapat dua perspektif yang terjadi, tidak ada anak yang
terlalu muda untuk diperiksa oleh audiologist pediatric sekalipun pada anak
yang memang belum dapat berbicara. Tidak ada anak yang berbicara sebagai
balita atau anak preskul yang terlalu rendah untuk menerima terapi bicara.
Tujuan utama terapi adalah untuk mengajarkan kepada anak strategi untuk
mengerti bahasa yang dibicarakan untuk menghasilkan perilaku komunikatif
yang sesuai.
Intervensi sedini mungkin mutlak diperlukan sebab anak dengan
gangguan bicara memerlukan perawatan yang lama sebab mereka memiliki
risiko gangguan belajar yang terkait dengan bahasa (membaca, mengeja,
menulis cerita atau buku), gangguan perhatian, dan gangguan perilaku
termasuk educational underachievement dan extracurricular participation
restriction. pada pasien dengan gangguan bicara, akan meningkatkan risiko
kesulitan dengan membaca serta menulis, dan tantangan ini bertahan
sepanjang masa remaja dan dewasa. Dengan demikian, intervensi dini dalam
keterlambatan bicara sangat penting untuk meminimalkan risiko gangguan
belajar kemudian.10

M. Prognosis
Prognosis ketulian pada anak tergantung pada penyebabnya. Setelah
diketahui anak menderita ketulian upaya habilitasi pendengaran harus
dilaksanakn sedini mungkin. Dengan perbaikan masalah medis seperti tuli
konduksi dapat menghasilkan perkembangan bahasa yang normal pada anak
yang tidak retardasi mental. Ketulian jenis ini prognosisnya baik, artinya
dengan operasi atau penggunaan Alat Bantu dengar (ADB) yang ditempelkan
pada telinga bagian luar, akan diperoleh kembali pendengaran yang hilang.
Ketulian sensori-neural yang disebabkan kerusakan pada telinga dalam atau
saraf pendengaran (Nervus VIII), prognosisnya jelek.

23
Daftar Pustaka

1. Maura. Mclaughlin. Speech and language delay in children. American Family


Phisician Volume 83, 15 Mey 2011.Virginia
2. Sari SNL, Memy YD, Ghanie A. Angka Kejadian Delayed Speech Disertai
Gangguan Pendengaran pada Anak yang Menjalani Pemeriksaan
Pendengaran di Bagian Neurootologi IKTHT-KL RSUP Dr.Moh. Hoesin.
Jurnal kedokteran dan kesehatan, volume 2, no. 1, januari 2015: 121-127
3. Basco WT. The Young Child With Speech Problems: Treat or Watch?.
Medscape. September 29, 2017 di akses pada tanggal 10 November 2019.
https://www.medscape.com/viewarticle/886098
4. Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan. Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi ketujuh Balai penerbit FKUI, Jakarta 2014. Halaman 10-38.
5, Nelson et al. Screening for Speech and Language Delay in Preschool
Children: Systematic Evidence Review for the US Preventive Services Task
Force. Pediatrics Volume 117, Number 2, February 2006
6. Tan S. Mangunatmadja I. Wiguna T. Risk factors for delayed speech in
children aged 1-2 years. Paediatr Indones, Vol. 59, No. 2, March 2019
7. Sunderajan T, Konhere SV. 2019. Speech and language delay in children:
Prevalence and risk factors. Journal of Family Medicine and Primary Care |
Published by Wolters Kluwer – Medknow.
8. Soebadi A. Keterlambatan Bicara. IDAI. Jakarta. 2013 diakses pada tanggal
10 November 2019. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-
anak/keterlambatan-bicara
9. Adams, Boies LR, Higler PA. 1997. Boies, Buku Ajar Penyakit THT.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
10. Nelson A.Delayed Speech or Language Development. Review Oktober 2010
11. Busari JO, Weggelaar M. 2004. Clinical Review: How to investigate and
manage the child who is slow to speak.BMJ Volume 328. 31 Januari 2004

24

Anda mungkin juga menyukai