Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan indera pendengaran merupakan syarat penting bagi upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar infomasi
diserap melalui proses mendengar yang baik. Bagi anak fungsi pendengaran
berpengaruh dalam perkembangan bicara dan berbahasa, sosialisasi dan
perkembagan kognitifnya.
Menemukan gangguan pendengaran pada bayi tidak mudah, gangguan
pendengaran sering diabaikan karena orang tua tidak langsung sadar anaknya
menderita gangguan, kadang-kadang anak dianggap sebagai anak autis atau
hiperaktif karena sikapnya yang sulit diatur. Orang tua baru menyadari
adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap
suara keras atau belum/terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari
orang tua sangat bermanfaat untuk mengetahui respons anak terhadap suara
dilingkungan rumah, kemampuan vokalisasi dan cara mengucapkan kata
Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi sedini mungkin
mengingat

pentingnya

peranan

fungsi

pendengaran

dalam

proses

perkembangan bicara. Identifikasi gangguan pendengaran secara dini dengan


cara mengamati reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran
dengan metode dan peralatan yang sederhana. Saat ini sudah banyak metode
untuk menilai fungsi pendengaran anak. Tes pendengaran pada anak tidak
bisa ditunda hanya dengan alasan usia anak belum memungkinkan untuk
dilakukan tes pendengaran. Tanpa program skrining pendengaran, gangguan
pendengaran baru diketahui pada usia 18 24 bulan.
Tes pendengaran secara obyektif di bidang audiologi dengan peralatan
elektrofisiologik saat ini sudah banyak dikembangkan di beberapa Rumah
Sakit dan klinik seperti ABR, ASSR, elektroakustik imitans dan OAE yang
sangat berharga dalam diagnostik fungsi pendengaran secara dini tidak
tergantung usia. Akan tetapi masalahnya adalah tidak semua Rumah Sakit
memiliki peralatan tersebut dan biaya pemeriksaan yang relatif mahal.

Sekalipun sudah ada tes elektrofisiologik yang canggih, tes pendengaran


dengan pengamatan tingkah laku anak terhadap rangsang suara (behaviour
observation audiometry), tetap harus dilakukan di bidang audiologi pediatri.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : gangguan pendengaran pada bayi dan anak.
Permasalahan tersebut diatas diuraikan menjadi permasalahan khusus
sebagai berikut :
a. Bagaimana perkembangan auditorik ?
b. Apa penyebab gangguan dengar pada anak ?
c. Bagaimana pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak ?
d. Bagaimana deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi dan anak ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang deteksi dini gangguan pendengaran pada
bayi dan anak.
1.3.2

Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui perkembangan auditorik.


b. Untuk mengetahui penyebab gangguan dengar pada anak
c. Untuk mengetahui pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak
d. Untuk mengetahui bagaimana deteksi dini gangguan pendengaran pada
bayi dan anak
1.4 Manfaat
a. Referat ini diharapkan menambah pengetahuan mengenai apa
penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak
b. Referat ini diharapkan menambah pengetahuan mengenai pemeriksaan
pendengaran pada bayi dan anak
c. Referat ini diharapkan menambah pengetahuan mengenai cara deteksi
dini gangguan pendengaran pada anak

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi Organ Auditorik
Perkembangan berbagai struktur dari kepala dan leher secara
mendasar berhubungan dengan arkus brakial dan atau kantong faring.
Keduanya merupakan struktur embrionik yang bersifat sementara yang akan
mengalami perubahan substansial sehingga bentuk embrionik tidak dapat
dikenali lagi seiring dengan kelahiran. Meskipun demikian, bentuk turunan
dari struktur ini penting untuk bentuk dewasa, oleh karena itu kelainan dari
perkembangan arkus brakial dapat mengakibatkan malformasi yang
signifikan.

Gambar 1. Arkus brakial dan kantong faring embrio

Pada usia kehamilan lima minggu, daerah kepala dan leher embrio
terdiri dari lima hingga enam bagian jaringan yang menyerupai jari,
disebut sebagai arkus brakial. Bagian ini berbaris melintang pada bidang
datar dari leher dan dipisahkan oleh celah, disebut sebagai celah brakial.
Permukaan dari arkus dan celah brakial ini dilapisi oleh lapisan ektoderm,
yang berasal dari lapisan mesoderm. Bagian yang mendasari daerah celah
brakial merupakan lapisan tipis karena terjadi pendekatan dari kantong
luar dari daerah foregut, dinamakan kantong faring. Bentuk turunan dari
arkus brakial dan kantong faring berbeda, karena sumber dari lapisan
embrionik termasuk dalam arkus brakial adalah lapisan mesoderm,
sedangkan kantong faring berasal dari lapisan endoderm. Karena
perbedaan sumber lapisan embrionik, dapat disimpulkan dengan

menyatakan bahwa pada orang dewasa bentuk turunan arkus brakial


memiliki struktur yang terdiri dari otot, tulang, atau turunan mesodermal
lainnya yang bentuknya mirip, seperti otot wajah dan leher. Bentuk
turunan dari kantong faring lapisan endoderm akan seperti glandular atau
berhubungan dengan saluran pencernaan.
Pada orang dewasa, telinga merupakan kesatuan anatomik yang
memiliki peran sebagai organ pendengaran dan keseimbangan. Sedangkan
pada embrio, telinga berkembang dari bagian yang berbeda, yaitu: telinga
luar sebagai pengumpul suara, telinga tengah sebagai penghantar suara,
dan telinga dalam yang mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf
dan menunjukkan perubahan keseimbangan.

Gambar 2. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio 22 hari.

Perkembangan telinga dapat ditemukan sejak embrio berusia kirakira 22 hari, yang nampak sebagai penebalan ektoderm permukaan pada
kedua sisi rombensefalon. Penebalan ini dinamakan plakoda otika atau
plakoda telinga yang akan melakukan invaginasi cepat dan membentuk
gelembung telinga atau gelembung pendengaran (otokista).

Gambar 3. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio: pembentukan gelembung telinga a) 24
hari, b) 27 hari, dan c) 4,5 minggu.

Perkembangan selanjutnya, gelembung tersebut terbagi menjadi


unsur ventral yang membentuk sacculus dan duktus koklearis, unsur dorsal
yang

membentuk

utrikulus,

kanalis

semisirkularis,

dan

duktus

endolimfatikus. Kemudian terbentuk struktur epitel yang dikenal sebagai


labirin membranosa. Kecuali duktus koklearis yang akan membentuk
organ korti, semua struktur yang berasal dari labirin membranosa termasuk
dalam alat keseimbangan.

Gambar 4. Perkembangan otokista menjadi sacculus dan duktus koklearis.

Telinga tengah yang terdiri atas kavum timpani dan tuba eustasius,
dilapisi epitel yang berasal dari endoderm kantong faring pertama. Di
dalamnya terdapat rongga berisi udara yang meluas ke dalam resesus
tubotimpanikus, dan selanjutnya meluas di sekitar tulang-tulang dan saraf
dari

telinga

tengah,

menghubungkan

dan

kavum

ke

timpani

daerah
dan

mastoid.
nasofaring.

Tuba

eustasius

Tulang-tulang

pendengaran yang menghantarkan getaran suara dari membran timpani ke


fenestra ovalis berasal dari kantong faring pertama (kartilago Meckel),
yaitu tulang maleus dan tulang inkus; dan kantong faring kedua (kartilago
Reichert), yaitu tulang stapes.
Liang telinga luar atau meatus austikus eksterna berkembang dari
kantong faring pertama dan dipisahkan dari kavum timpani oleh membran
timpani. Gendang telinga terdiri atas lapisan epitel ectoderm di dasar
meatus akustikus, lapisan tengah jaringan ikat (mesenkim) yang
membentuk stratum fibrosum, dan lapisan epitel endoderm kavum timpani
yang berasal dari kantong faring pertama.
Daun telinga atau aurikula berkembang dari enam buah tonjolan
mesenkim yang terletak sepanjang kantong faring pertama dan kedua.
Tonjolan-tonjolan daun telinga ini masing-masing sebanyak tiga buah pada
setiap sisi liang telinga luar akan menyatu dan membentuk daun telinga
yang tetap. Pada mulanya, telinga luar terletak di daerah leher bawah,
tetapi dengan berkembangnya mandibula, tonjolan-tonjolan tersebut
bergerak naik ke samping kepala setinggi mata.
Tulang temporal yang membungkus telinga berasal dari empat
bagian terpisah, yaitu pars petrosa, sutura petroskuamosa, prosesus
stiloidesus, dan cincin timpani. Prosesus mastoideus belum terbentuk pada
saat lahir, sehingga letak saraf fasialis bayi sangat superfisial. Turunan
resesus tubotimpanikus yang terisi udara meluas dari telinga tengah
melalui tuba eustasius (audita) sampai di antrum, yaitu daerah yang terisi
udara dalam tulang mastoid.
2.2 Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke
telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan
mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi

getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang


menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga
kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarasi sel rambut; sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

Gambar 5. Fisiologi Pendengaran

2.3 Perkembangan Pendengaran dan Wicara Pada Bayi dan Anak


Tabel 1. Perkembangan Pendengaran
0-4

Usia

Kemampuan Auditorik
Bila diberikan stimulus bunyi, respon mendengar yang terjadi masih bersifat

bulan

refleks (behavioral responses) seperti:

Refleks auropalpebral (mengejapkan mata)

Heart rate meningkat

Eye widening (melebarkan mata)

Cessation (berhenti menyusu)

4-7

Grimacing (mengerutkan wajah)


4 bulan: memutar kepala pada arah horizontal, masih lemah (belum konsisten)

bulan

7 bulan: memutar kepala pada arah horizontal dengan cepat, namun pada arah

7-9

bawah masih lemah


Memutar kepala dengan cepat, mengidentifikasi sumber bunyi dengan tepat

bulan
9-13

12 bulan: keingintahuan terhadap bunyi lebih besar, mencari sumber bunyi

Bulan

yang berasal dari arah atas


13 bulan: dapat mengidentifikasi bunyi dari semua arah dengan cepat

Tabel 2. Perkembangan Wicara


Usia
Neonatus

Kemampuan
Menangis (refleks vocalization)
Mengeluarkan suara mendengkur seperti suara
burung (cooing)

2 3 bulan
4 6 bulan

Suara seperti bergumur (gurgles)


Tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling)
Mengeluarkan
suara
yang
merupakan
kombinasi huruf hidup dan huruf mati
Suara berupa ocehan yang bermakna (true

7 11 bulan

babbling) seperti pa pa ma ma
Dapat menggabungkan kata atau suku kata yang
tidak mengandung arti, terdengar seperti Bahasa
asing (jargon)
Usia 10 bulan mampu

meniru suara sendiri

(echolallia)
Memahami arti tidak, mengucapkan salam
Mulai memberi perhatian terhadap music atau
12 18 bulan

nyanyian
Mampu menggabungkan kata atau kalimat
pendek
Mulai

mengucapkan

kata

pertama

yang

mempunyai arti
Usia 12 14 bulan belum mengerti instruksi
sederhana, menunjuukan bagian tubuh dan
nama mainanya
Usia 18 bulan mampu menucapkan 6 10 kata

2.4 Faktor Risiko Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak

Menurut Joint Committee on Infant Hearing 2007, indikator yang


berhubungan dengan kehilangan pendengaran sensorikneural atau konduktif di
anak-anak, antara lain:
a. Usia 0-28 hari (skrining universal belum tersedia)
1. Penyakit atau kondisi yang membutuhkan perawatan di Unit
Perawatan Intensif Neonatus (Neonatal Intensive Care Unit / NICU)
selama minimal 48 jam
2. Penemuan kondisi atau tanda yang diketahui berhubungan dengan
sindrom yang memiliki gejala kehilangan pendengaran sensorik atau
konduktif
3. Riwayat keluarga kehilangan pendengaran sensorikneural pada masa
kanak-kanak yang permanen
4. Anomali kraniofasial, meliputi abnormalitas morfologi dari pinna dan
liang telinga
5. Infeksti intra

uteri,

seperti

Cytomegalovirus/CMV,

herpes,

toksoplasmosis, atau rubella


b. Usia 29 hari hingga 2 tahun (kehilangan pendengaran sensorineural atau
konduktif yang progresif atau onset lambat)
1. Perhatian orang tua atau pengasuh terkait keterlambatan kemampuan
mendengar, berbicara, bahasa atau perkembangan.
2. Riwayat keluarga kehilangan pendengaran masa kanak-kanak yang
permanen.
3. Penemuan yang diketahui berkaitan dengan sindrom yang memiliki
gejala kehilangan pendengaran sensorineural atau konduktif ataupun
disfungsi tuba eustachius.
4. Infeksi postnatal berkaitan

dengan

kehilangan

pendengaran

sensorineural seperti meningitis bakteri.


5. Infeksi intra uteri seperti CMV, herpes, rubella, sifilis, dan
toksoplasmosis.
6. Indikator-indikator pada neonatus, seperti hiperbilirubinemia yang
membutuhkan transfusi tukar, hipertensi pulmonal neonates persisten
terkait ventiasi mekanik, dan kondisi yang membutuhkan oksigenasi
ekstrakorporal.
7. Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan pendengaran progresif
seperti neurofibromatosis, osteopetrosis dan sindrom Usher.

10

8. Kelainan neurodegenerative (seperti Sindrom Hunter) atau neuropati


sensorimotor (seperti ataksia Friedreich dan sindrom Charcot-MarieTooth).
9. Trauma kepala.
10. Otitis media rekuren atau persisten dengan efusi selama minimal 3
bulan.
2.5 Etiologi Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak
Etiologi gangguan gangguan pendengaran pada bayi dan anak
deibedakan berdasarkan terjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa
pranatal, perinatal, dan postnatal.
1. Masa Pranatal
a. Genetik herediter
b. Non genetik seperti gangguan atau kelainan pada masa kehamilan,
kelainan struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya
defisiensi yodium).
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester
pertama sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa
tersebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus
pada ibu hamil seperti toksoplasmosis, rubela, sitomegalovirus, herpes dan
sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan
dilahirkan.
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu
proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat,
kina, neomisin, dihidrostreptomisin, gentamisin, barbiturat, thalidomid dan
lain-lain.
Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang
telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian.
2. Masa Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran/ketulian seperti
prematur, berat badan lahir rendah (< 2500 gram), hiperbilirubinemia,
asfiksia (lahir tidak menangis).

11

Umumnya ketulian yang dialami bayi terjadi akibat faktor prenatal


dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian
berat atau sangat berat.
3. Masa Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubella, campak, parotis,
infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah,
trauma temporal juga dapat menyebabkan tuli saraf dan tuli konduktif.
2.6 Skrining gangguan pendengaran
Baku emas yang direkomendasikan oleh JCIH (2000) pemeriksaan
skrining pendengaran pada bayi adalah pemeriksaan otoacousic Emisslon
(OAE) dan automated auditory brainstem responses (AABR). OAE bersama
AABR merupakan pemeriksaan yang ideal sebagai metoda skrining
pendengaran pada bayi dan anak karena mencakup fungsi pendengaran telinga
bagian luar sampai bagian dalam. Pemeriksaan OAE dilakukan untuk menilai
fungsi sel rambut luar, didahului dengan pemeriksaan timpanometri untuk
menilai keadaan telinga tengah. Timpanogram tipe B dan/atau OAE yang
abnormal menunjukkan penurunan pendengaran konduksi yang biasanya
diakibatkan efusi telinga tengah (otitis media akut atau otitis media efusi).
Neuropati

auditori

adalah

istilah

yang

digunakan

untuk

menggambarkan kondisi dimana pasien dengan hasil OAE yang normal tetapi
dari pemeriksaan Auditory brainstem respon (ABR) dijumpai abnormal.
Pemeriksaan OAE, ABR dan timpanometri merupakan pemeriksaan yang
tidak dapat berdiri sendiri untuk menilai fungsi sistem auditori secara
menyeluruh.
Dikenal dua macam program newborn hearing screening (NHS), yaitu :
1. Universal newborn Hearing Screenirtg (UNHS)
UNHS bertujuan melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada
Semua bayi baru lahir. Upaya skrining pendengaran ini sudah di mulai pada saat
usia 2 hari atau sebelum menrnggalkan rumalr sakit. Untuk bayi yang lahir pada
fasilitas kesehatan yang tidak memiliki program UNHS paling lambat pada usia l
bulan sudah melakukan skrining pendengaran.
2. Targeted Newborn Hearing Screening

12

Di negara berkembang program UNHS masih sulit ditakukan karena


memerlukan biaya dan sumber daya manusia yang cukup besar dan harus
didukung oleh suatu peraturan dari pemerintah setempat atas pertimbangan
tersebut kita dapat melakukan program skrining pendengaran yang lebih selektif,
dan terbatas pada bayi yang memiliki faktor resiko terhadap gangguan
pendengaran. Program ini dikenal sebagai Targeted Newborn Hearing Screening.

Gambar 6. Alur Skrining Bayi Baru Lahir

2.7 Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak


Anamnesa
Informasi dari orang tua melalui anamnesa yang cermat mengenai
respons anak terhadap rangsang suara dilingkungan sehari-hari dirumah dan
kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata-kata anak sangat membantu
menilai masalah gangguan pendengaran dan perkembangan bicara-bahasa
pada anak.
1. Usia 0-4 bulan.

13

Apakah bayi kaget kalau mendengar suara yang sangat keras ? Apakah
bayi yang sedang tidur terbangun kalau mendengar suara keras?
2. Usia 4-7 bulan.
Usia 4 bulan: Apakah anak mulai mampu menoleh kearah datangnya suara
diluar lapangan pandang mata? Apakah anak mulai mengoceh di usia 5-7
bulan, sebelum usia 7 bulan apakah anak mampu menoleh langsung ke
arah sumber suara diluar lapangan pandang mata?
3. Usia 7-9 bulan
Apakah anak mampu mengeluarkan suara dengan nada yang naik-turun
atau monoton saja?
4. Usia 9-13 bulan
Apakah anak menoleh bila ada suara dibelakangnya? Apakah anak mampu
menirukan

beberapa

jenis

suara?

Apakah

anak

sudah

mampu

mengucapkan suara konsonan seperti beh, geh , deh, ma


5. Usia 13-24 bulan
Apakah dia mendengar bila namanya dipanggil dari ruangan lain? Apakah
anak memberikan respons dengan bervokalisasi atau bahkan datang
kepada anda? Kata-kata apa saja yang mampu diucapkan? Apakah kualitas
suara dan cara pengucapannya normal?
Informasi dari orang tua mengenai respons anak terhadap suara dan
kemampuan berbicara disertai dengan penilaian kualitas vokalisasi dan bicara
pada saat anak datang di rumah sakit dapat di perkirakan derajat dan onset
gangguan pendengaran anak. Suara anak yang melengking tinggi tanpa bisa
mengontrol kekerasan suara dan hanya mampu mengeluarkan suara huruf
hidup, kemungkinan anak mengalami gangguan pendengaran derajat berat
sejak dilahirkan. Apabila kualitas suaranya lebih baik kemungkinan gangguan
pendengaran terjadi kemudian setelah anak mampu berbicara.
Beberapa gejala pada anak dengan kemungkinan mengalami gangguan
pendengaran yang bisa diamati sehari-hari oleh orang tua :
1. Kurang responsif terhadap suara-suara yang ada disekitarnya : vacuum
cleaner, klakson mobil, petir

14

2. Anak kelihatannya

kurang perhatian terhadap apa yang terjadi

disekitarnya, kecuali yang bisa dinikmati dengan melihat. Anak tidak


mudah tertarik dengan pembicaraan atau suara-suara yang ada
disekelilingnya.
3. Cenderung berusaha melihat muka lawan bicara dengan tujuan mencari
petunjuk dari gerak bibir dan ekspresi muka guna mendapat informasi
tambahan apa yang diucapkan. Anak kurang responsif apabila diajak
bicara tanpa diberi kesempatan melihat muka lawan bicara.
4. Sering minta kata-kata diulang lagi
5. Jawaban yang salah dengan pertanyaan atau perintah sederhana
6. Kesulitan menangkap huruf mati/ konsonan
7. Anak hanya memberikan respons terhadap suara tertentu atau dengan
kekerasan tertentu
8. Kesulitan menangkap pembicaraan didalam ruangan yang ramai. Anak
dengan gangguan pendengaran ringan atau sedang masih mampu
menangkap pembicaraan dilingkungan yang ribut seperti di kelas atau
dirumah dengan suara-suara TV yang cukup mengganggu. Anak dengan
pendengaran yang normal mempunyai kemampuan mengatasi kesulitan di
lingkungan mendengar yang sulit.
9. Ucapan anak yang sulit dimengerti merupakan salah satu kemungkinan
anak mengalami gangguan pendengaran. Hal ini disebabkan anak tidak
mampu menangkap semua elemen pembicaraan dengan jelas sehingga
anak akan mengalami kesulitan meniru ucapan dengan betul dan baik.
Anak juga akan mengalami gangguan pola berbicara yang sering rancu
dengan masalah intelegensinya
10. Bicara anak lemah atau bahkan terlalu keras. Hal ini menunjukkan bahwa
anak tidak mendengar suaranya sendiri. Anak yang bicaranya pelan
kemungkinan mengalami tuli konduktif karena anak dapat menangkap
suaranya sendiri melalui jalur hantaran tulang sekalipun hantaran udaranya
mengalami gangguan. Anak dengan tuli sensorineural akan berbicara lebih
keras supaya bisa menangkap suaranya sendiri

15

11. Kemampuan berbicara dan pemahaman kata-kata terbatas. Anak dengan


gangguan

pendengaran

akan

mengalami

penurunan

kemampuan

mendengar dan memahami arti kata-kata sehingga menghambat proses


perkembangan bicara
Pemeriksaan Telinga
Pemeriksaan fisik pada telinga luar termasuk inspeksi untuk sinus atau
fistula preaurikula, bentuk dan ukuran aurikula dan patensi dari liang telinga.
Kanalis akustikus eksternus harus dibersihkan dari serumen untuk penilaian
pendengaran yang lebih akurat. Dalam hal mendeteksi/mengetahui apakah
seorang anak benar-benar mengalami gangguan pendengaran atau hanya memiliki
gangguan pada fungsi atensinya, mengandalkan pemeriksaan fisik saja tidak
cukup, oleh karena hasilnya terbatas, terutama dalam hal screening yang
dilakukan pada masa awal kehidupan. Oleh sebab itu, pemeriksaan penunjang
memiliki peranan penting dalam menegakkan diagnosis gangguan pendengaran
akibat kelainan neurologis.
Teknik-teknik menilai kemampuan anak untuk dapat mendengar dapat
dibagi menjadi beberapa tes sesuai dengan usia maupun tingkat perkembangan si
anak.
a. Behavioral Reflex Audiometry
Respon behavioral yang dapat diamati antara lain : mengejapkan
mata (reflex auropalpebra), melebarkan mata, mengerutkan wajah,
berhenti menyusu, refleks moro.
b. Behavioral Response Audiometry
Pada bayi normal sekitar 5 6 bulan, stimulus akustik akan
menghasilkan pola respon khas berupa menoleh atau menggerakan kepala
kearah sumber bunyi diluar lapangan pandang. Awalnya gerakan kepala
hanya pada bidang horizontal, dan dengan bertambahnya usia bayi dapat
melokalisir sumber bunyi dari arah bawah. Selanjutnya bayi mampu
mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan
melokalisir sumber bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13 16
bulan.
a. Timpanometri

16

Pemeriksaan timpanometri dapat dilakukan pada anak dengan


segala usia untuk menilai kelenturan membran timpani. Membran timpani
yang lentur diperlukan untuk mendapatkan pendengaran yang baik karena
getaran dari luar akan disampaikan dari sana mencapai telinga bagian
dalam. Jika membran timpani kaku, misalnya karena adanya penumpukan
cairan dibelakang gendang, maka getaran tidak akan dapat disampaikan
sebaik pada yang membran timpani yang lentur. Untuk melakukan
pemeriksaan ini sebuah pipa dengan ujung karet yang lembut dimasukkan
ke dalam liang telinga. Dengan menggunakan pompa tangan manual,
tekanan dalam liang telinga diubah, dan pergerakan membran timpani
diamati dengan menggunakan otoskop yang juga terpasang pada alat yang
sama. Jika pergerakan membran timpani terbatas, walaupun telah
diberikan perbedaan tekanan yang besar, maka kemungkinan besar anak
tersebut mengidap glue ear. Walaupun begitu, pemeriksaan ini tidak dapat
digunakan untuk menilai kemampuan pendengaran, maka itu pemeriksaan
audiometrik diperlukan untuk penilaian lebih lanjut.
b. Speech Discrimination Test
Pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan terhadap pasien yang sudah
mengerti apa arti dari kata-kata, misalnya pada usia 2-3 tahun, yaitu
dengan memberikan perintah sederhana, misalkan mengambil suatu
benda atau menggambar sesuatu, dapat melakukan perintah yang diberikan
tentu saja berarti pasien yang diperiksa tidak tuli, baik sensorik maupun
konduktif. Bila perintah tidak dapat dilakukan, pasien diminta untuk
mengulangi kata-kata yang didengarnya. Bila bahkan kata-kata tidak dapat
diulang secara tepat, perlu dicurigai adanya gangguan pendengaran, yang
kemudian dapat dipastikan dengan pemeriksaan lain, seperti pemeriksaan
garpu penala.
c. Play Audiometry Test
Pemeriksaan yang dikembangkan untuk menarik perhatian anakanak dengan usia 2-5 tahun, dengan cara membuat pemeriksaan seolaholah sebuah permainan. Anak diminta untuk berdiri di tengah sebuah

17

ruangan kedap suara yang didalamnya ditempatkan sebuah speaker dan


alat permainan yang bersifat repetitif, dimana dari speaker akan dihasilkan
suara tertentu untuk mengetes kemampuan pendengaran frekuensi yang
diujikan. Sang anak diperintahkan untuk hanya bermain pada saat nada
terdengar olehnya, dan dengan ini diharapkan dapat diketahui pada
frekuensi atau pada nada mana terdapat gangguan presepsi. Pada tes ini
juga dapat dilakukan masking atau penambahan suara untuk mengganggu
presepsi subjek untuk menilai kemampuannya membedakan pembicaraan
dari keriuhan latar (background noise).
d. Infant Distraction Test
Merupakan pemeriksaan paling awal yang dapat digunakan untuk
menilai gangguan pendengaran pada anak. Dibutuhkan paling sedikit dua
orang untuk melakukan pemeriksaan ini selain anak dan perawat yang
memangku. Ketika anak dipangku, penguji akan berdiri dibelakangnya dan
membuat suara-suara, sementara pengamat yang berdiri dihadapan si anak
akan mengamati reaksi anak terhadap suara tersebut, yang dapat bervariasi
dari menoleh untuk mencari sumber suara hingga benar-benar acuh.
Pemeriksaan ini tidak dimaksudkan menegakkan diagnosis gangguan
pendengaran, dan dibutuhkan tes lain untuk menegakkannya.
e. Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Pemeriksaan yang ditujukan untuk pasien dengan usia 6 bulan-3
tahun. Menggunakan audiometer yang dihubungkan ke beberapa speaker
yang ditempatkan tersebar dalam satu ruangan kedap suara. Ketika sebuah
nada diperdengarkan, bila si anak merespon dengan menengok, sebuah
mainan akan menyala atau sebuah gambar akan ditampilkan. Setelah
beberapa kali diulang dan anak sudah mengasosiasikan bahwa
terdengarnya bunyi sama dengan adanya sesuatu yang dapat dilihatnya,
volume dapat dimanipulasi untuk menentukan volume terkecil yang dapat
didengar. Dapat pula digunakan earphone untuk menilai salah satu telinga
saja

18

.
f. Audiometri Nada Murni
Dapat digunakan untuk anak dengan usia diatas 3 tahun. Nada atau
suara tertentu diperdengarkan lewat headphone dan anak tersebut diminta
untuk merespon terhadap suara tersebut, misalnya dengan mengangkat
tangan atau dengan menekan tombol. Untuk pemeriksaan penjaring
biasanya diperdengarkan hingga empat frekuensi dan intensitas volume
yang berbeda. Pemeriksaan ini hampir langsung dapat menunjukkan
gangguan pendengaran yang berat, dan lebih berguna untuk mendeteksi
gangguan pendengaran dalam perkembangan, atau gangguan pada salah
satu sisi telinga.
g. Audiometri Hantaran Tulang
Untuk menilai daya hantar getaran dengan menaruh alat yang
menghasilkan getaran di belakang daun telinga sehingga yang dinilai
adalah telinga bagian dalam dengan

memanfaatkan

Dengan membandingkan hasil pemeriksaan ini

hantaran

dengan

tulang.

pemeriksaan

audiometrik lain, dapat ditentukan apakah gangguan pendengaran berasal


dari gangguan telinga tengah atau bagian telinga dalam.
h. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
Istilah lain : auditory Brainstem Response (ABR), Brainstem
Auditory Evoked Respon (BAER), Brainstem Evoked Potensial (BSEP),
Brainstem Auditory Evoked Potensial

(BAEP), Evoked Respons

Audiometry (ERA). BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik


untuk menilai integritas sistem auditorik, bersifat obyektif, tidak invasif,
dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, dan penderita koma (Soepardi, 2007
dan Lily, 2005).
Prinsif dasar BERA, merupakan respon listrik N VIII dan sebagian
batang otak yang timbul dalam 10 -12 mdetik setelah suatu rangsang
pendengaran ditangkap oleh telinga dalam. Dengan menghadirkan
sejumlah bunyi clik pada telinga, dibandingkan letupan-letupan sinkron

19

dari serabut-serabut auditorik frekuensi tinggi. Respon listrik tunggal sulit


dibaca, supaya pola terlihat jelas, digunakan skema untuk membuat rata
rata agar gelombang menjadi nyata. Click dibuat pada 75 atau 80 dB di
atas ambang dengar. Click diulang dengan kecepatan pengulangan pasti,
misalnya 11/detik atau 33/detik hingga respons click misalnya 1500 atau
2000 kali. Setiap 2000 click yang dirata-ratakan akan digambarkan satu
garis baru. Elektroda yang dipasang pada mastoid dibandingkan dengan
elektroda di tengah dahi, menciptakan suatu gelombang EEG. Dengan
mengambil angka rata-rata gelombang EEG ini, terbentuk suatu pola.
Bentuk gelombang ini ditemukan oleh Jawett tahun 1971 dan diberi tabel I
sampai VII. Yang di nilai gelombang I V (Skur, 1991, Hendarmin, 2001)
Gelombang I : berasal dari koklea
Gelombang II : berasal dari nukleus koklearis
Gelombnag III : berasal dari nukleus olivari superior
Gelombang IV : berasal dari lemnikus lateralis
Gelombang V : berasal dari kolikulus inferior
Dengan penilaian dan analisis pola respons dan menghitung masa laten
suatu gelombang BERA dapat diperkirakan dari neural generator mana
respons berasal.

Gambar 7. Gelombang BERA

20

Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada


bayi dan anak yang usianya kurang dari 12 18 bulan, Karena terdapat
perbedaan masa laten, amplitudo dan morfologi gelombang dibandingkan
dengan anak yang lebih besar maupun orang dewasa.
Instrumen BERA
Alat Evoked Potensial bekerja berdasarkan pada sistem
komputer yang meliputi komponen :
Generator stimulus
Elektoda
Amplifier
Filter
Signal averager dengan artefact refraction
Responsse display
Printer
Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang BERA
adalah menentukan masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan
sejak stimulus diberikan sampai terjadi EP untuk masing-masing
gelombang (gelombang 1 sampai gelombang V). Dikenal 3 jenis masa
laten: (1) masa laten absolut dan (2) masa laten antar gelombang
(interwave latency atau interpeak latency) dan (3) masa laten antar telinga
(interneural atency). Masa laten absolut gelombang I adalah waktu yang
dibutuhkan sejak diberikan stimulus sampai timbulnya gelombang l. Masa
laten antar gelombang adalah selisih waktu antar gelombang, misalnya
masa laten gelombang l-lll, lll-V, l-V. Masa laten antar telinga yaitu
membandingkan masa laten absolut gelombang yang sama pada kedua
telinga. Hal ini yang perlu diperhatikan adalah pemanjangan masa laten
fisiologik yang terjadi bila intensitas stimulus diperkecil. Terdapatnya
pemanjangan masa laten pada beberapa frekuensi menunjukan adanya
suatu ganggua konduksi (Adiawati, dkk, 2013)..

Jenis pemerikaan BERA lainya


a. BERA Tone Burst

21

Pemeriksaan ini sama

saja dengan BERA click,

namun

mempergunakan stimulus tone burst. Keuntungan yang diperoleh adalah


kita dapat memperoleh frekuensi yang spesifik (Soepardi, 2007).
b. BERA Hantaran Tulang
Pemeriksaa BERA hantaran tulang dilakukan bila terdapat
pemanjangan masa laten pada pemeriksaan BERA click atau tone burst,
juga pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk pemberian stimulus
melalui liang telinga, misalnya pada stenosis atau stresia liang telinga
(Soepardi, 2007).
c. Automated Auditory Brainsterm Response (AABR)
Automated ABR adalah pemeriksaan BERA otomatis sehingga
tidak diperlukan analisis gelombang evoked potential karena hasil
pencatatanya sangat mudah dibaca, hanya berdasarkan kriteria lulus (pass)
atau tidak lulus (refer). Karena sangat praktis dan memiliki sensitivitas
yang tinggi maka AABR ditetapkan sebagai baku emas (gold standar)
untuk skrining pendengaran pada bayi.
Selain tes tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan lain berupa
Otoacoustic Emissions (OAE). Tes ini tidak hanya menilai respons otak
terhadap bunyi, namun juga intaknya koklea berdasarkan gelombang bunyi
yang tidak diubah menjadi respons listrik. Secara garis besar, pemeriksaan
ini dapat dianggap sebagai semacam ultrasonografi dari koklea, dan
dipergunakan untuk menilai integritas organ pendengaran, namum hanya
terbatas sampai pada koklea.

22

Gambar 8. Emisi Otoakustik

2.8 Penatalaksanaan
Apabila ditemukan adanya gangguan pendengaran sensorineural:
a) harus dilakukan rehabilitasi berupa amplifikasi pendengaran misalnya
dengan alat bantu dengar (ABD).
b) selain itu bayi/anak juga perlu mendapat habilitasi wicara berupa terapi
wicara atau terapi audioverbal terapi (AVT) sehingga dapat belajar
mendeteksi suara dan memahami percakapan agar mampu berkomunikasi
dengan optimal.
Dalam hal pemasangan ABD harus dilakukan seleksi ABD yang
tepat dan proses fitting yang sesuai dengan kebutuhan, sehingga diperoleh
amplifikasi yang optimal. Proses fitting ABD pada bayi/anak jauh lebih
sulit dibandingkan orang dewasa. Akhir akhir ini ambang pendengaran
yang spesifik pada bayi dapat ditentukan melalui teknik Auditory Steady
State Response (ASSR) yang hasilnya dianggap sebagai prediksi
audiogram, sehingga proses fitting ABD bayi lebih optimal. Bila ternyata
ABD tidak dapat membantu, salah satu alternatif adalah implantasi koklea.

23

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan

pendengaran

pada

anak

tidak

hanya

mempengaruhi

perkembangan bicara dan bahasa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan


kognitif, sosial, dan emosional anak. Keterlambatan dalam mengenali faktor risiko
dan gejala yang muncul pada anak dengan gangguan pendengaran mengakibatkan
tingginya angka kejadian tuna rungu. Untuk itu perlu dilakukan skrining
pemeriksaan fungsi pendengaran pada bayi dan anak sedini mungkin.
Teknik-teknik menilai kemampuan anak untuk dapat mendengar dapat
dibagi menjadi beberapa tes sesuai dengan usia maupun tingkat perkembangan si
anak, antara lain : timpanometri, play audiometry test, speech discrimination test,
audiometri hantaran tulang, audiometri nada murni, visual reinforcement

audiometry dan infant distraction test. Masing-masing pemeriksaan memiliki


kekuatan dan kelemahan yang beragam dan perlu disesuaikan dengan kondisi,
kemampuan dan kebutuhan anak. Sikap yang kooperatif keluarga, terutama orang
tua anak, memainkan peran yang sangat besar dalam mendeteksi gangguan
pendengaran pada bayi dan anak, oleh karena anak menghabiskan sebagian besar
waktunya dalam pengawasan orang tua, sehingga kesadaran dan pengetahuan
setiap orang tua harus diasah, supaya gangguan pendengaran dapat dideteksi
sedini mungkin.
Apabila gangguan pendengaran telah terjadi, dapat ditangani dengan alat
bantu dengar (ABD), Assistive Listening Device (ALD) dan implantasi koklea.
Setiap strategi memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing, sehingga
pemilihan dan indikasi aplikasi strategi tersebut memerlukan pertimbangan yang
matang antara kebutuhan, kecocokan, kemampuan dan keinginan anak serta orang
tuanya.

24

DAFTAR PUSTAKA

Adiawati, Dkk. 2013. Clinical Approaches And Intervention Of Growth And


Developmental Disorder In Daily Practice. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FK Unsri - RSUP DR. Moh. Hoesin. Palembang
Hendarmin, H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak Dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi-5. FKUI Jakarta. 2001
Lily Rundjan, Idham Amir, Ronny Suwerno, Irawan Mangunatmadja. 2005.
Skrining Gangguan Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi. Divisi
Perinatologi Depertemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Skurr, B. Pemeriksaan Otology. Kumpulan Kuliah. Pada Kursus Audiologi
Praktis. Bandung
Soepardi E A, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti R D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, edisi keenam. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta
Yussy Afriani Dewi. 2005. Karakteristik Gangguang Pendengaran Sensorinerual
Bilateral Kongenital Pada Anak yang Dideteksi Dengan Pemeriksaan
BERA dibagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNPAD / RS PERJAN dr.
Hasan Sadikin Bandung. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok- Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Yussy Afriani Dewi. 2005. Pengaruh Lama Paparan dan Kadar Bilirubin
Terhadap Kejadian Gangguan Dengar Sensorineural Pada Neonatus Cukup
Bulan. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok- Kepala Leher.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung

Anda mungkin juga menyukai