Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN DAN RESUME KEPERAWATAN

“SPEECH DELAY”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners


Departemen Anak di Ruang Poli Anak RSU Dr. Soetomo
Surabaya

Oleh :

Mochamad Fuad Mahfud

14901.05.18033

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN

PROBOLINGGO

2019
HALAMAN PENGESAHAN

“LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN ANAK DENGAN


“SPEECH DELAY” DI RUANG POLI ANAK RSUD
Dr. SOETOMO SURABAYA”

Surabaya, Januari 2019


Mahasiswa

Mochamad Fuad Mahfud S.kep

Mengetahui,

Perseptor Klinik Perseptor Akademik

............................................. .............................................

Kepala Ruang Poli Anak


RSUD dr. Soetomo Surabaya

.........................................................
LAPORAN PENDAHULUAN

SPEECH DELAY

A. Anatomi dan Fisiologi Telinga

Gambar 1. Sistem auditori periferal dapat dibagi menjadi 3 bagian: telinga luar
(biru); telinga tengah (hijau); telinga dalam (merah). Dan nervus vestibulaokoklearis
diwarnai dengan warna kuning.

1. Telinga Luar
Aurikula (Daun Telinga)
Telinga luar sendiri terbagi atas daun telinga (pinna) dan liang telinga
(meatus akustikus eksterna). Daun telinga dibentuk oleh tulang rawan dan otot
serta ditutupi oleh kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk
huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga
bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut.
Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga
bagian dalam terdiri dari tulang. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah
rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami
modifikasi menjadi kelenjar seruminosa. Fungsi dari rambut adalah untuk
melindungi terhadap masuknya serangga dan benda asing (Ludman H and Patrick
, 2011).
2. Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas- batas antara lain:
1. Batas luar : Membran timpani
2. Batas depan : Tuba eustachius
3. Batas bawah. : Vena jugularis (bulbus jugularis)
4. Batas belakang: Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
5. Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )
6. Batas dalam : Berturu-tturut dari atas ke bawah kanalis semisirku- laris
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar
(round window) dan promontorium.

3. Membran Timpani
Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk
kerucut dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membran timpani
umumnya bulat. Pada rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang terdapat
osikula maleus, inkus dan stapes meluas melampaui batas atas membrane timpani,
dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas melalui batas bawah membrane
timpani.11
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars
flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (Membran
propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel
mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara
radier di bagian
luar dan sirkuler pada bagian dalam.

Gambar 2. Membran Timpani12


4. Tuba Eustachius
Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Bagian lateral tuba Eustachius adalah yang bertulang, sementara
duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak
di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian
bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk
masuk ke faring di atas otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi
dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang
masing-masing disarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba
Eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
membran timpani.11

5. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli. Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak
lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang
koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala
media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi
perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut
sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ korti. Pada skala
media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan
pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel
rambut luar dan kanalis korti, yang membentuk organ korti. Telinga dalam
divaskularisasi oleh arteri labirintin (auditori unternal) yang berasal dari arteri
basilaris. Drainase vena melalui vena aquaduktus vestibular, aquaduktus koklear,
dan vena labirintin. Persarafannya melalui nervus vestibulokoklearis.
Gambar 3. Potongan melintang dari koklea13

6. Organ korti

Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membran, yaitu membran
tektoria. Membran ini berpangkal pada krista spiralis dan berhubungan dengan
alat persepsi pada alat korti. Pada alat korti dapat ditemukan sel-sel penunjang,
sel-sel persepsi yang mengandung rambut. Antara sel-sel korti ini terdapat
ruangan (saluran) yang berisi kortilimfe. Duktus koklearis berhubungan dengan
sakkulus dengan peralatan duktus reunions. Bagian dasar koklea yang terletak
pada dinding medial kavum timpani menimbulkan penonjolan pada dinding ini ke
arah kavum timpani. Tonjolan ini dinamakan promontorium.

7. Sel Rambut dalam dan luar


Organ corti, yang terletak diatas membran basilar, mengandung sel rambut
yang merupakan reseptor suara. Sebanyak 16.000 sel rambut di dalam masing-
masing koklea tersusun menjadi empat baris sejajar diseluruh panjang membrane
basilaris: satu baris sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut luar. Dari
permukaan masing-masing sel rambut menonjol sekitar 100 rambut yang dikenal
sebagai sterosilia. Sel rambut menghasilkan sinyal saraf jika rambut permukaanya
mengalami perubahan bentuk secara mekanis akibat gerakan cairan ditelinga
dalam. Stereosilia ini berkontak dengan membrane tektorium, suatu tonjolan mirip
tenda yang menutupi organ corti diseluruh panjangnya.
Sel rambut dalam dan luar memiliki fungsi berbeda. Sel rambut dalam
mengubah gaya mekanis suara (getaran cairan koklea) menjadi impuls listrik
pendengaran ke otak melalui serat aferen. Sel rambut luar bertindak sebagai unit
motor yang memperkuat gerakan membrane basilar dalam menanggapi stimulus
melalui serat eferen.
(a) (b)

Gambar 4. Gambaran skematik dari (a) Sel rambut koklea; (b) Organ korti13
B. Fisiologi pendengaran

Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu “pengumpul” suara, sementara


liang telinga karena bentuk dan dimensinya, dapat memperbesar suara dalam rentang
2 sampai 4 kHz; pembesaran pada frekuensi ini adalah sampai 10 sampai 15 dB.
Maka suara dalam rentang frekuensi ini adalah yang paling berbahaya jika ditinjau
dari sudut trauma akustik.
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membrane timpani diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke
stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibule
bergerak (Gurkov R and Nagel, 2012).
Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membrane basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan defleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel (rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan
listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium).

Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi ke dalam sinaps yang akan


menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus
auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

Gambar 5. Gerakan perilimfe akibat getaran stapes pada round window

Gambar 5. Jalur auditorik.14


Tetapi ada juga yang langsung ke nukleus lemniskus lateral. Dari kompleks
olivari superior serabutnya berjalan ke nukleus lemniskus lateralis dan sebagian
langsung ke colliculus inferior. Serabut-seravut ini membentuk lemniskus lateralis.
Dari colliculus inferior serabutnya berlanjut lagi ke corpus genikulatum mediale
sebagai brachium colliculus inferior. Dari CGM ini serabutnya berjalan ke korteks
serebri di area acustikus (area Broadmann 39) dan disadari sebagai rangsang
pendengaran.

Gambar 10.Skema Fisiologi Pendengaran 11


C. Fisiologi Bicara
Terdapat dua aspek dalam proses terjadinya bicara, yaitu aspek sensorik(input
bahasa) dan motorik(output bahasa). Aspek sensorik meliputi pendengaran,
penglihatan, dan rasa raba yang berfungsi untuk memahami apa yang didengar,
dilihat, dan dirasa. Aspek motorik melibatkan vokalisasi dan pengaturannya. Otak
memiliki tiga pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat bersifat reseptif
yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta, satu pusat lainnya
bersifat ekspresif yang mengurus pelaksanaan bahasa lisan dan tulisan. Ketiganya
berada di hemisfer dominan dari otak atau system susunan saraf pusat. Kedua pusat
bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area Wernicke, merupakan
pusat persepsi auditoro-leksik yaitu mengurus pengenalan dan pengertian segala
sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 Broadman adalah pusat
persepsi visuo-leksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang
bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahasa
ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama lain melalui serabut asosiasi.

Gambar 11. Area Korteks Serebri


Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan
masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada
membrane timpani. Dari sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam
telinga tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor
sensoris untuk pendengaran yang disebut koklea. Saat gelombang suara mencapai
koklea maka impuls ini diteruskan oleh nervus vestibulokoklearis ke area
pendengaran primer di otak diteruskan ke area Wernicke. Kemudian jawaban
diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area motorik
di otak yang mengontrol gerakan bicara. Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh
vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru sedangkan
bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi untuk
proses bicara diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana
organ pendengaran sangat penting (Ludman H and Patrick , 2011).

D. Definisi
Menurut Hurlock (2011), dikatakan terlambat bicara apabila tingkat
perkembangan bicara berada di bawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak
yang umurnya sama yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata. Apabila
pada saat teman sebaya mereka berbicara dengan menggunakan kata-kata, sedangkan
si anak terus menggunakan isyarat dan gaya bicara bayi maka anak yang demikian
dianggap orang lain terlalu muda untuk diajak bermain.
Sedangkan menurut Santroct (2011) menjelaskan bahwa anak yang terlambat
bicara adalah anak yang pada usia 2 tahun memliki kecenderungan salah dalam
menyebutkan kata, kemudian memiliki perbendaharaan kata yang buruk pada usia 3
tahun, atau juga memiliki kesulitan dalam menamai objek pada usia 5 tahun. Dan
anak yang seperti itu, nantinya mempunyai kecenderungan tidak mampu dalam hal
membaca. “children who show an unusual tendency to mispronounce words at age 2,
who have poor vocabulary at age 3, or who have trouble naming objects at 5 are apt
to have reading disabilities later on”

E. Etiologi
1. Retardasi mental menjadi penyebab keterlambatan bicara secara umum,
terhitung lebih dari 50 % dalam kasus ini. Semakin tinggi tingkat retardasi
mental anak maka semakin lambat dia dalam melakukan bicara yang
komunikatif.
2. Keterlambatan perkembangan disebabkan keterlambatan pada proses neurologis
sentral yang dibutuhkan untuk melakukan perilaku bicara. Kondisi ini biasanya
terjadi pada anak laki-laki dengan latar belakang keluarga dengan sejarah
keterlambatan. Prognosis anak semacam ini baik, biasanya mereka akan
mengalami perkembangan bicara yang normal ketika memasuki sekolah.
3. Penggunaan dua bahasa di lingkungan rumah dapat menjadi penyebab temporal
keterlambatan bicara dengan onset pada dua bahasa tersebut. Pemahaman
bahasanya berada di bawah anak-anak normal seusianya, tapi biasanya ini dapat
pulih sebelum usia lima tahun.
4. Deprivasi psikososial terdiri dari deprivasi fisik (kemiskinan, lingkungan yang
kumuh, malnutrisi) dan deprivasi sosial (stimulasi linguistik inadekuat,
ketidakhadiran orang tua, stres emosional, pengabaian) memberi dampak pada
perkembangan bicara anak.
5. Autisme adalah gangguan perkembangan neurologist, onset muncul ketika anak
belum mencapai usia 36 bulan. Karakteristik anak autis ditandai dengan
keterlambatan dan deviasi perkembangan bahasa, kegagalan untuk
mengembangkan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain serta
perilaku kompulsif, termasuk stereotip aktivitas motorik yang berulang-ulang.
Bicara anak autis lebih mirip bersenandung dan kurang jelas. Anak autis secara
umum tidak mampu melakukan kontak mata, banyak tersenyum, sering
merespon ingin dipeluk atau menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi
dan perempuan. Autisme kebanyakan diderita oleh anak laki ketimbang anak
perempuan.
6. Aphasia reseptif adalah penurunan pemahaman bahasa yang diucapkan;
kesulitan memproduksi kata dan keterlambatan bicara adalah konsekuensi dari
ketidak mampuan ini. Anak yang mengalami aphasia reseptif biasanya memiliki
bahasa tersendiri yang hanya dipahami oleh orang-orang yang terbiasa
berinteraksi dengan mereka.
7. Cerebral palsy juga mengakibatkan anak mengalami keterlambatan bicara.

Banyak penyebab keterlambatan bicara, yang paling umum adalah rendahnya tingkat
kecerdasan yang membuat anak tidak mungkin belajar berbicara sama baiknya seperti
teman sebaya mereka yang kecerdasannya normal atau tinggi; kurng motivasi karena
anak mengetahui bahwa mereka dapat berkomunikasi secara memadai dengan bentuk
prabicara dorongan orang tua untuk terus menggunakan “bicara bayi” karena mereka
mengira yang demikian “manis”; terbatasnya kesempatan praktek berbicara karena
ketatnya batasan tentang seberapa banyak mereka diperkenankan bicara di rumah;
terus menerus bergaul dengan saudara sekandung yang lebih muda atau saudara
kembar yang dapat memahami ucapan khusus mereka dan penggunaan bahasa asing
di rumah yang memperlambat bahasa ibu (Macy T, 2019).

F. Patofisiologi
Penyebab gangguan bicara dan bahasa sangat banyak dan luas, semua
gangguan mulai dari proses pendengaran, penerus impuls ke otak, otot atau organ
pembuat suara. Adapun beberapa penyebab gangguan atau keterlambatan bicara
adalah gangguan pendengaran, kelainan organ bicara, retardasi mental, kelainan
genetik atau kromosom, autis, mutism selektif, keterlambatan fungsional, afasia
reseptif dan deprivasi lingkungan. Deprivasi lingkungan terdiri dari lingkungan sepi,
status ekonomi sosial, tehnik pengajaran salah, sikap orangtua. Gangguan bicara pada
anak dapat disebabkan karena kelainan organik yang mengganggu beberapa sistem
tubuh seperti otak, pendengaran dan fungsi motorik lainnya.
Beberapa penelitian menunjukkan penyebab ganguan bicara adalah adanya
gangguan hemisfer dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri.
Beberapa anak juga ditemukan penyimpangan belahan otak kanan, korpus kalosum
dan lintasan pendengaran yang saling berhubungan. Hal lain dapat juga di sebabkan
karena diluar organ tubuh seperti lingkungan yang kurang mendapatkan stimulasi
yang cukup atau pemakaian 2 bahasa. Bila penyebabnya karena lingkungan biasanya
keterlambatan yang terjadi tidak terlalu berat. Terdapat 3 penyebab keterlambatan
bicara terbanyak diantaranya adalah retardasi mental, gangguan pendengaran dan
keterlambatan maturasi. Keterlambatan maturasi ini sering juga disebut keterlambatan
bicara fungsional.
Keterlambatan bicara fungsional merupakan penyebab yang cukup sering
dialami oleh sebagian anak. Keterlambatan bicara fungsional sering juga diistilahkan
keterlambatan maturasi atau keterlambatan perkembangan bahasa. Keterlambatan
bicara golongan ini disebabkan karena keterlambatan maturitas (kematangan) dari
proses saraf pusat yang dibutuhkan untuk memproduksi kemampuan bicara pada
anak. Gangguan ini sering dialami oleh laki-laki dan sering tedapat riwayat
keterlambatan bicara pada keluarga. Biasanya hal ini merupakan keterlambatan bicara
yang ringan dan prognosisnya baik. Pada umumnya kemampuan bicara akan tampak
membaik setelah memasuki usia 2 tahun. Terdapat penelitian yang melaporkan
penderita keterlambatan ini kemampuan bicara saat masuk usia sekolah normal seperti
anak lainnya.
Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik dan kemampuan
pemecahan masalah visuo-motor anak dalam keadaan normal. Anak hanya mengalami
gangguan perkembangan ringan dalam fungsi ekspresif: Ciri khas lain adalah anak
tidak menunjukkan kelainan neurologis, gangguan pendengaran, gangguan
kecerdasan dan gangguan psikologis lainnya.
Keterlambatan bicara fungsional pada anak sering dialami penderita yang
mengalami gangguan alergi terutama dermatitis atopi dan saluran cerna. Gangguan
saluran cerna adalah gejala berulang seperti meteorismus, flatus, muntah, konstipasi,
diare atau berak darah. Lidah tampak timbal geographic tounge, drooling (sialore)
atau halitosis. Seringkali disertai gangguan tidur malam, dengan ditandai sering
gelisah, bolak, balik, mengigau, tertawa, menangis dalam tidur, malam terbangun,
brushing dan sebagainya (Higler, Boies and Adams. 2008).
G. Tanda gejala
Aram D.M (1987) dan Towne (1983) dikutip dalam penelitian Nadwa (2018) gejala-
gejala anak dengan gangguanbahasa adalah sebagai berikut:
1) Pada usia 6 bulan anak tidak mampu memalingkan mata serta kepalanya terhadap
suara yang datang dari belakang atau samping
2) pada usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi terhadap panggilan namanya sendiri
3) pada usia 15 bulan tidak mengerti dan memberi reaksi terhadap kata-kata jangan,
da-da, dan sebagainya
4) pada usia 18 bulan tidak dapat menyebut sepuluh kata tunggal
5) pada usia 20 bulan tidak memberi reaksi terhadap perintah (misalnya duduk,
kemari, berdiri)
6) pada usia 24 bulan tidak bisa menyebut bagian-bagian tubuh
7) pada usia 24 bulan memiliki perbendaharaan kata yang sedikit/tidak mempunyai
kata-kata huruf Z pada frase
8) pada usia 24 bulan belum mampu mengetengahkan ungkapan yang terdiri dari 2
buah kata
9) pada usia 30 bulan ucapannya tidak dapat dimengerti oleh anggota keluarganya
10) pada usia 36 bulan belum dapat menggunakan kalimat-kalimat sederhana
11) pada usia 36 bulan tidak bisa bertanya dengan menggunakan kalimat tanya yang
sederhana
12) pada usia 3,5 tahun selalu gagal menyebutkan kata akhir

H. Pemeriksaan penunjang
1. BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry)
Merupakan cara pengukuran evoked potensial (aktivitas listrik yang dihasilkan
saraf VIII, pusat-pusat neural dan traktus di dalam batang otak) sebagai respon
terhadap stimulus auditorik.
2. Pemeriksaan audiometri
Pemeriksaan audiometri diindikasikan untuk anak-anak yang sangat kecil dan
untuk anak-anak yang ketajaman pendengarannya tampak terganggu.
Ada 4 kategori pengukuran dengan audiometric.
1) Audiometri tingkah laku, merupakan pemeriksaan pada anak yang dilakukan
dengan melihat respon dari anak jika diberi stimulus bunyi. Respon yang
diberikan dapat berupa menoleh ke arah sumber bunyi atau mencari sumber
bunyi. Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang atau kedap suara dan
menggunakan mainan yang berfrekuensi tinggi.
2) Audiometri bermain, merupakan pemeriksaan pada anak yang dilakukan
sambil bermain, misalnya anak diajarkan untuk meletakkan suatu objek pada
tempat tertentu bila dia mendengar bunyi. Dapat dimulai pada usia 3-4 tahun
bila anak cukup kooperatif.
3) Audiometri bicara. Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam
silabus dalam daftar yang disebut : phonetically balance word LBT (PB List).
Anak diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape
recorder. Pada tes ini dilihat apakah anak dapat membedakan bunyi s, r, n, c,
h, ch. Guna pemeriksaan ini adalah untuk menilai kemampuan anak dalam
pembicaraan sehari-hari dan untuk menilai pemberian alat bantudengar
(hearing aid).
4) Audiometri objektif, biasanya memerlukan teknologi khusus.
3. CT scan kepala untuk mengetahui struktur jaringan otak, sehingga didapatkan
gambaran area otak yang abnormal.
4. Denver Developmental Screening Test
Dalam melakukan tes ini, terdapat beberapa perkembangan dalam penggunaan
tes, akan tetapi akan dijelaskan kembali perkembangan penggunaan test. Pada
penilaian DDST ini menilai perkembangan anak dalam 4 faktor diantaranya
penilaian terhadap personal social, motorik halus, bahasa, dan motorik kasar,
dengan persyaratan tes sebagai berikut :
1) Lembar formulir DDST II
2) Alat Bantu atau peraga seperti benang wool merah, manik-manik, kubus
warna merah-kuning-hijau-biru, permainan anak bola kecil, bola tennis kertas
dan pensil.
Selain tes audiometri, bisa juga digunakan tes intelegensi. Paling dikenal yaitu
skala Wechsler, yang menyajikan 3 skor intelegen, yaitu IQ verbal, IQ
performance, dan IQ gabungan :
1) Skala intelegensi Wechsler untuk anak-III: Penyelesaian susunan gambar.
Tes ini terdiri dari satu set gambar-gambar objek yang umum,seperti gambar
pemandangan. Salah satu bagian yang penting dihilangkan dan anak diminta
untuk mengidentifikasi. Respon dinilai sebagai benar atau salah.
2) Skala intelegensi Wechsler untuk anak-III: mendesain balok
Anak diberikan pola bangunan dua dimensi dan kemudian diminta untuk
membuat replikanya menggunakan kubus dua warna. Respon dinilai sebagai
benar atau salah (Nadwa, 2018).

I. Penatalaksanaan
Diagnosis yang tepat terhadap gangguan bicara dan bahasa pada anak, sangat
berpengaruh terhadap perbaikan dan perkembangan kemampuan bicara dan bahasa.
Terapi sebaiknya dimulai saat diagnosis ditegakkan, namun hal ini menjadi sebuah
dilema, diagnosis sering terlambat karena adanya variasi perkembangan normal atau
orang tua baru mengeluhkan gangguan ini kepada dokter saat mencurigai adanya
kelainan pada anaknya, sehingga para dokter lebih sering dihadapkan pada aspek
kuratif dan rehabilitatif dibandingkan preventif. Tata laksana dini terhadap gangguan
ini akan membantu anak-anak dan orang tua untuk menghindari atau memperkecil
kelainan di masa sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut, para dokter dituntut agar
lebih tanggap terhadap proses perkembangan bicara dan bahasa pada anak.
Gangguan bicara dan bahasa pada anak cenderung membaik seiring
pertambahan usia, dan pada dasarnya perkembangan bahasa dilatarbelakangi
perawatan primer orang tua dan keluarga terhadap anak. Usaha preventif pada masa
neonatus, bayi dan balita dapat dilakukan dengan memberi pujian dan respon terhadap
segala usaha anak untuk mengeluarkan suara, serta memberi tanda terhadap semua
benda dan kata yang menggambarkan kehidupan seharihari. Pola intonasi suara dapat
diperbaiki sejalan dengan respon anak yang semakin mendekati pola orang dewasa.
Secara umum, anak akan berusaha untuk lebih baik saat orang dewasa merespon apa
yang diucapkannya tanpa menekan anak untuk mengucapkan suara atau kata tertentu.
Sebagai motivasi ketika seorang anak berbicara satu kata secara jelas, pendengar
sebaiknya merespon tanpa paksaan dengan memperluas hingga dua kata.
Beberapa cara yang dapat diterapkan untuk memberi semangat dalam proses
perkembangan bahasa anak :
1) Ekspresi kalimat seru
2) Mengombinasikan ekspresi verbal dengan mengarahkan atau melakukan gerak
isyarat untuk mendapatkan benda
3) Mengoceh selama bermain
4) Menirukan kata terakhir yang diucapkan anak
5) Menirukan suara lingkungan
6) Berusaha untuk bernyanyi
Tindakan kuratif penatalaksanaan gangguan bicara dan bahasa pada anak
disesuaikan dengan penyebab kelainan tersebut. Penatalaksanaan dapat melibatkan
multi disiplin ilmu dan terapi ini dilakukan oleh suatu tim khusus yang terdiri dari
fisioterapis, dokter, guru, dan orang tua pasien. Beberapa jenis gangguan bicara dapat
diterapi dengan terapi wicara, tetapi hal ini membutuhkan perhatian medis seorang
dokter. Anak-anak usia sekolah yang memiliki gangguan bicara dapat diberikan
pendidikan program khusus. Beberapa sekolah tertentu menyediakan terapi wicara
kepada para murid selama jam sekolah, meskipun menambah hari belajar. Konsultasi
dengan psikoterapis anak diperlukan jika gangguan bicara dan bahasa diikuti oleh
gangguan tingkah laku, sedangkan gangguannya bicaranya akan dievaluasi oleh ahli
terapi wicara (Nadwa, 2018).
Anak tidak hanya membutuhkan stimulasi untuk aktifitas fisiknya, tetapi juga
untukmmeningkatkan kemampuan bahasa.bila anak mengalami deprivasi yang berat
terhadap kesempatan untuk mendapatkan pengalaman tersebut, maka akibatnya
perkembangannya mengalami hambatan. Beberapa cara menstimulasi anak
diantaranya.
1) Berbicara
Setiap hari bicara dengan bayi sesering mungkin. Gunakan setiap kesempatan
seperti waktu memandikan bayi, mengenakan pakaiannya, memberi makan dan
lainlain. Anak tidak pernah terlalu muda untuk diajak bicara.
2) Mengenali berbagai suara
Ajak anak mendengarkan berbagai suara seperti musik, radio, televisi. Juga buatlah
suara dari kerincingan, mainan, kemudian perhatikan bagaiman reaksi anak
terhadap suara yang berlainan.
3) Menunjuk dan menyebutkan nama gambargambar
Ajak anak melihat gambargambar, kemudian gambar ditunjuk dan namanya
disebutkan, usahakan anak mengulangi katakata, lakukan setiap hari. Bila anak
sudah bisa menyebutan nama gambar, kemudian dilatih untuk bercerita tentang
gambar tersebut
4) Mengerjakan perintah sederhana
Mulai memberikan perintah kepada anak misal “letakkan gelas di meja”. Kalau
perlu tunjukkan kepada anak cara mengerjakan perintah tadi, gunakan kata-kata
yang sederhana.
Terapi anak gagap diawali dengan mengurangi stres emosional disertai
bimbingan dan konseling terhadap orang tua demi kemajuan anaknya. Hampir
separuh anak gagap dapat mengatasinya, walaupun demikian rujukan ke ahli terapi
wicara merupakan bantuan yang sangat penting bagi anak, dan terapi lebih efektif jika
dimulai pada masa pra sekolah. Indikasi rujuk yaitu jika anak terlihat tidak nyaman
atau cemas saat bicara atau kecurigaan adanya hubungan gangguan ini dengan
kelainan neurologis ataupun psikis pada anak.
Dalam perjalanan tata laksana gangguan bicara dan bahasa, orang tua
diharapkan untuk selalu memberikan motivasi terhadap anak atas perkembangan
kemampuan berbicara dan berbahasa anaknya walaupun baru memperlihatkan sedikit
perbaikan (Law J, et all, 2010).
Rencana Asuhan Keperawatan Teori Dengan Speech Delay

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin,
alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai,
status pendidikan dan pekerjaan pasien.
2. Riwayat penyakit
1) Keluhan utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi
pleura didapatkan keluhan berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri
pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada
saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
Riwayat penyakit sekarang
2) Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tandatanda
seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan
menurun dan sebagainya.
3) Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti TBC paru,
pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
4) Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakitpenyakit
yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru
dan lain sebagainya .
5) Riwayat psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya
serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap
dirinya.
A. Pengkajian pola fungsi

Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat. Adanya tindakan medis


danperawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan,
tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan
obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.

a. Pola nutrisi dan metabolisme


 Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi
pasien.
 Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS
pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat
dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
 Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan
effusi pleura keadaan umumnyalemah.
b. Pola eliminasi
 Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan
defekasi sebelum dan sesudah MRS.
 Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest
sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada
struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus
degestivus.
c. Pola aktivitas dan latihan
1. Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi
2. Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
3. Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya
nyeri dada.
4. Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien
dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
d. Pola tidur dan istirahat
 Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat
 Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang
tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-
mandir, berisik dan lain sebagainya.

B. Pemeriksaan fisik
Status kesehatan umum tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan
pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan
perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat
kecemasan dan ketegangan pasien.
1. Sistem respirasi (Breathing)
Inspeksi Pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung,
iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun.
Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari
posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan pasien biasanya
dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya >
250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada
yang tertinggal pada dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya
tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa
garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi
duduk. Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di
bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan
makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari
parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda tanda auskultasi dari
atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.
2. Sistem kardiovaskuler (Blood)

Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS – 5
pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung.

Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus


diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga
memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.

Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar


pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau
ventrikel kiri.

Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan
adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah
murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.

3. Sistem neurologis (Brain)


Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji disamping juga diperlukan
pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau koma.
Pemeriksaan refleks patologis dan refleks fisiologisnya. Selain itu fungsi-
fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan dan pengecapan.

4. Sistem Perkemihan (Bladder)


Pada inspeksi perlu diperhatikan, adakah kesulitan berkemih dan ada distensi
di vesika urinaria. Warna air seni, kepekatan, serta bau yang ada saat air seni
keluar serta jumlah pengeluaran.
5. Sistem pencernaan (Bowel)
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi
perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu
di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya
5-35kali per menit.
Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen adakah
massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi
pasien, apakah hepar teraba.
Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan akan
menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).
6. Sistem musculoskeletal (Bone)
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial . Palpasi pada kedua
ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan
pemerikasaan capillary refiltime.. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan
pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.

C. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


1) Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kurangnya stimulasi bahasa
2) Risiko keterlambatan perkembangan dengan faktor resiko gangguan
kongenital/pendengaran
3) Risiko pertumbuhan tidak proporsional dengan faktor resiko kesulitan belajar
4) Resiko Jatuh
5) Interaksi sosial
6) Isolasi sosial

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Diagnosa Keperawatan: Hambatan Komunikasi Verbal
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x .... jam diharapkan
masalah berkurang atau teratasi.
Batasan Karakteristik :
Tidak ada kontak mata, sulit bicara, ketidakmampuan menggunakan ekspresi wajah,
kesulitan memahami komunikasi, ketidakmampuan menggunakan ekspresi tubuh,
kesulitan menyusun kata, disorientasi orang, kesulitan menggunakan ekspresi wajah,
pelo, gagap, defisit penglihatan total, dll.
Skala : 1. Sangat Terganggu
1. Banyak Terganggu
2. Cukup Terganggu
3. Sedikit Terganggu
4. Tidak Terganggu
NO INDIKATOR 1 2 3 4 5
1 Menggunakan bahasa lisan
2 Menggunakan bahasa isyarat
3 Menggunakan bahasa non verval
4 Mengenali pesan yang diterima
5 Interpertasi akurat pesan yang diterima
6 Menggunakan foto dan gambar
7 Menggunakan bahasa tertulis

Hambatan Komunikasi verbal b.d gangguan perkembangan


NOC : Communication : expressive
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama pasien tidak mengalami hambatan
komunikasi verbal, dengan kriteria hasil:
1. Mampu menggunakan bahas a
2. Jelas dalam berbicara
NIC : Communication enhancement : speech defisit.
1. Menggunakan kata – kata yang sederhana dan kalimat yang pendek.
2. Berdiri di depan pasien ketika berbicara.
3. Mendorong pasien untuk mengulang kata – kata
4. Kaji kemampuan pasien dalam berkomunikasi.

2) Diagnosa : Risiko keterlambatan perkembangan dengan faktor resiko gangguan


kongenital/pendengaran
Faktor Resiko : Nutrisi tidak adekuat, penyalahgunaan zat, adanya penganiayaan,
gangguan perilaku, kesulitan ekonomi, perawatan prenatal yang
terlambat, kehamilan tidak diinginkan, tidak memahami fungsi
maternal, dll.
Skala :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang – kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan
NO INDIKATOR 1 2 3 4 5
1 Sinyal lapar
2 Sinyal ketidaknyamanan
3 Merespon suara
4 Merespon wajah
5 Mata mengikuti
6 Menahan tegak sejenak
7 Reflek menegakkan leher

Risiko keterlambatan perkembangan dengan faktor resiko gangguan


kongenital/pendengaran

NOC : Growth and development, deayed


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama klien dapat meningkatkan
perkembangankecemasan pasien teratasi dengan kriteria hasil:
1. Anak berfungsi optimal sesuai tingkatnya
2. Keluarga dan anak mampu menggunakan koping terhadap tantangan karena
adanya ketidakmampuan
3. Keluarga mampu mendapatkan sumber-sumber sarana komunikasi
4. Kematangan fisik
5. Status nutrisi seimbang

NIC : Peningkatan perkembangan anak dan remaja

1. Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak


2. Identifikasi dan gunakan sumber pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan
anak yang optimal
3. Berikan perawatan yang konsisten
4. Tingkatkan komunikasi verbal dan stimulasi taktil
5. Berikan instruksikan berulang dan sederhana
6. Dorong anak melakukan perawatan sendiri
7. Manajemen perilaku anak yang sulit
8. Dorong anak melakukan sosialisasi dengan kelompok
9. Ciptakan lingkungan yang aman
3) Diagnosa : Risiko pertumbuhan tidak proporsional dengan faktor resiko kesulitan
belajar

Tujuan : Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x .... jam
diharapkan masalah berkurang atau teratasi.

Skala :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang – kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan

NO INDIKATOR 1 2 3 4 5
1 Sinyal lapar
2 Sinyal ketidaknyamanan
3 Merespon suara
4 Merespon wajah
5 Mata mengikuti
6 Menahan tegak sejenak
7 Reflek menegakkan leher

Risiko pertumbuhan tidak proporsional dengan faktor resiko kesulitan belajar

NOC: Growth, Nutritional status, Nutrient intake, appetite


NIC: Developmental care
1. Bangun hubungan saling percaya dengan anak
2. Buat interaksi 1:1 dengan anak
3. Identifikasi kebutuhan khusu anak dan adaptasi yang dibutuhakan
4. Buat hubungan terapeutik dan supportif dengan orang tua
5. Sediakan kepada orang tua secara akurat, tentang informasi actual terhadap
kondisi anak, pengobatan dan kebutuhanny.
6. Bantu orang tua untuk mengenali perkembangan anaknya
7. Ajarkan kepada orang tua tentang penanda perkembangan normal
8. Demonstrasikan aktifitas yang menunjang perkemban gan
9. Ajarkan tentang perilaku yang sesuaidengan usia anak
10. Ajarkan tentang mainan dan benda-benda yang sesuai dengan usia anak
11. Diskusikan hal-hal terkait kerjasma orang tua dan anak
12. Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak

E. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah statsus kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.

F. EVALUASI
Tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencanan tindakan, dan pelaksanaan yang sudah
di capai. Perawat dapat memonitor atau mengobservasi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Gurkov R and Nagel P. Dasar-Dasar Ilmu THT. Edisi 2. Jakarta : EGC, 2012.
Higler, Boies and Adams. 2008. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
Hurlock, Elizabeth B. 2011. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Law J, et all. The Efficacy of Treatment for Children With Developmental Speech and
Language Delay! Disorder: A Meta-Analysis. Joumal of Speech, Language, and
Hearing Research. Vol. 47, page 924-943, August us 2010.
Ludman H and Patrick J. Telinga, Hidung Dan Tenggorokan. Edisi 5. Jakarta : EGC,
2011. Halaman 21-26.
Macy T. Children Referred for Speech Delays. Service Guideline 3. Page 3. 06 Januari
2019 .http://www.comeunity.com/disability/speech/communication.html.
Moorhead, Sue; Johnson, Marion; Maas, Meridean L.; Swanson, Elizabeth. 2016.
Nursing Outcomes Classification (NOC) (Edisi 5). Elsevier.
Nadwa. Pelaksanaan Terapi Wicara dan Terapi Sensori Integrasi pada Anak Terlambat
Bicara. Jurnal Pendidikan Islam. volume 7, nomor 06 Januari 2018.
http://www.post.com/index.asp?Konsultasi&id=126200
Santrock, John W. 2011. Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga.
Utama H. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan. Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Edisi keenam. Balai penerbit FKUI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai