Anatomi
1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit Liang telinga berbentuk huruf
S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga
bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang Panjangnya kira-kira 2 1/2 - 3 cm. Pada
sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serunien (kelenjar
keringat) dan rambut Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada
dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga
dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida
(membrane Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars
flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga
dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas.
Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan
sirkuler pada bagian dalam.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah
yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani
kanan. Reflek cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh
membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier.
Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu.
Secara klinis reflek cahaya ini dinilai, misalnya bila letak reflek cahaya mendatar,
berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-belakang,
untuk menyatakan letak perforasi membran timpani. Bila melakukan miringotomi
atau parasentesis, dibuat insisi di bagian bawah belakang membran timpani, sesuai
dengan arah serabut membran timpani. Di daerah ini tidak terdapat tulang
pendengaran. Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang
tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes.
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus
maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus
melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan
koklea. Hubungan antar tulang,tulang pendengaran merupakan persendian. Pada pars
flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum,
yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba
eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring
dengan telinga tengah.
Gambar 1.
Gambar 2. Membran Timpani
2. Telinga Tengah
3. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan
skala vestibuli.
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli
sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis)
diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media
berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan
endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat
bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal
melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis
Corti, yang membentuk organ corti.
Gambar 4. Potongan frontal telinga
B. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran
dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar
yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap
lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui
membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak
relatif antara membran basilaris dan membrane tektoria. Proses ini merupakan rangsang
mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke
dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus
temporalis.
Perkembangan Wicara
Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula perkembangan
kemampuan bicara. Kemahiran wicara dan berbahasa pada seseorang hanya dapat
tercapai bila input sensorik (auditorik) dan motorik dalam keadaan normal.
Awal dari proses belajar bicara terjadi pada saat lahir. Sulit dipastikan usia absolute
tahapan perkembangan bicara, namun pada umumnya akan mengikuti tahapan sebagai
berikut seperti terlihat pada tabel 1.
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar, oleh
karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan adanya
gangguan pendengaran. Berdasarkan kenyataan tersebut beberapa hal berikut ini perlu
mendapat perhatian terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan
anak (Tabel 2).
Tabel 1. Tahapan Perkembangan Wicara
Masa Pranatal
1 Genetik herediter
2.Non genetik seperti gangguan / kelainan pada masa kehamilan, kelainan struktur
anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi Jodium).
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga setiap
gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian
pada bayi lnfeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti Toksoplasmosis, Rubela,
cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk pada pendengaran
bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi
mengganggu proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat,
kina, neomisin.dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturat, thalidomide dll. Selain itu
malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan aplasia koklea juga
akan menyebabkan ketulian.
MASA PERINATAL
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan pendengaran / ketulian seperti prematur, berat badan lahir rendah (<
2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis). Umumnya ketulian yang
terjadi akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan
derajat ketulian berat atau sangat berat.
MASA POSTNATAL
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi otak
(meningitis,ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga dapat
menyebabkan tuli saraf atau tuli konduktif.
E. Jenis Gangguan Pendengaran (34033)
Informasi dari orang tua mengenai respons anak terhadap suara dan kemampuan
berbicara disertai dengan penilaian kualitas vokalisasi dan bicara pada saat anak datang
di rumah sakit dapat di perkirakan derajat dan onset gangguan pendengaran anak. Suara
anak yang melengking tinggi tanpa bisa mengontrol kekerasan suara dan hanya mampu
mengeluarkan suara huruf hidup, kemungkinan anak mengalami gangguan pendengaran
derajad berat sejak dilahirkan. Apabila kualitas suaranya lebih baik kemungkinan
gangguan pendengaran terjadi kemudian setelah anak mampu berbicara.
DETEKSI DINI GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI
Untuk dapat melakukan deteksi dini pada seluruh bayi dan anak relatif sulit, karena akan
membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Program skrining sebaiknya diprioritaskan
pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran. Untuk
maksud tersebut Joint Commitee on lnfant Heaing (2000) menetapkan pedoman registrasi resiko
tinggi terhadap ketulian sebagai berikut.
Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko tersebut mempunyai kemungkinan
mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang tidak memiliki faktor
risiko. Bila terdapat 3 buah faktor risiko kecenderungan menderita ketulian diperkirakan 63 kali
lebih besar dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor risiko tersebut. Pada bayi baru lahir
yang dirawat di ruangan intensif (lCU) risiko untuk mengalami ketulian 10 kali lipat
dibandingkan dengan bayi normal.
Namun indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya dapat mendeteksi sekitar
50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan pendengaran
tanpa memiliki faktor risiko dimaksud Berdasarkan pertimbangan tersebut maka saat ini upaya
melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program.