Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Tetanus atau lockjaw adalah penyakit akut yang menyerang sistem saraf pusat yang ditandai
dengan kontraksi otot berkepanjangan. Gejala klinis utama disebabkan oleh tetanospasmin, suatu
neurotoksin yang diproduksi oleh spore-forming bakteri gram positif obligat anaerob
Clostridium tetani. Infeksi seringkali timbul melalui luka yang terkontaminasi bakteri dan infeksi
lain seperti otitis media. Apabila penyakit berlanjut maka akan terjadi pula spasme otot pada
daerah mulut (trismus atau lockjaw), yang akan diikuti dengan kekakuan dan spasme pada
seluruh otot di bagian tubuh yang lain. Pasien dalam keadaan sadar penuh dan menampakkan
ekspresi wajah kaku dan ketakutan akan timbul kembali spasme berulang. (359-941) Tetanus
terjadi di seluruh dunia dan masih merupakan penyebab kematian yang penting dengan perkiraan
jumlah kematian 800.000 – 1.000.000 orang per tahunnya. Diperkirakan angka kejadian
pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%
(WHO, 2011). Pada negara berkembang sebagian besar kasus kematian karena tetanus terjadi
pada neonatus, dan tetanus pada neonatus adalah penyebab kematian kedua di seluruh dunia pada
penyakit-penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi. (3a4027df). Di Indonesia, tetanus
masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab kematian pada anak (Pusponegoro dkk.,
2004). Meskipun insidensi tetanus saat ini sudah menurun, namun kisaran tertinggi angka
kematian dapat mencapai angka 60%. (134-244) namun penyakit ini masih belum dapat
dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh
dunia. (134-244). Akhir–akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh
dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis. Sampai saat ini
tetanus masih sebagai masalah kesehatan masyarakat yang signifikan pada negara-negara yang
sedang berkembang, oleh karena akses program imunisasi yang buruk, ditambah lagi
penatalaksanaan tetanus yang modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU), yang
sangat jarang tersedia pada sebagian besar populasi yang menderita tetanus yang berat. Pada
negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%. Kematian utamanya terjadi karena
kegagalan respirasi akut. Penyakit ini memberikan efek mematikan pada setiap usia dan rata-rata
kasus kematian sangat tinggi (10-80%) dengan perawatan intensive sangat diperlukan.
(3a4027df).
DEFENISI
Tetanus berasal dari kata Yunani “tetanus” yang artinya “berkontraksi”, merupakan
penyakit bersifat akut yang ditandai dengan kekakuan otot dan spasme, akibat toksin yang
dihasilkan Clostiridium Tetani mengakibatkan nyeri biasanya pada rahang bawah dan leher (IPD
PAPDI, 2014). Tetanus merupakan hal yang dapat dicegah. Tetanus lebih umum didapatkan
pada masyarakat dengan pemasukan ekonomi rendah, terutama negara berkembang, tapi tidak
menutup kemungkinan tetanus ada di negara maju. (Lam & Louise, 2019). (189-article)
Tetanus merupakan yang ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik, berat
dan tanpa gangguan kesadaran, akibat oleh tetanospasmin yaitu eksotoksin yang dihasilkan
Clostiridium Tetani mengakibatkan nyeri biasanya pada rahang bawah dan leher. (pengunaan
untuk anti tetanus) (189-article) (116-204)

Tetanus yang terjadi pada non neonatal paling banyak didapatkan dikarenakan pekerjaan
terutama pekerjaan yang memiliki potensial bahaya tinggi seperti pekerja agrikultural, pekerja
industry, dan pekerja kesehatan, pekerja konstruksi dan pekerja besi. Dapat juga didapatkan pada
luka-luka yang tidak ditangani dengan benar. Luka yang dimaksud seperti luka akibat terpotong
gelas ataupun luka tersayat metal (Mahadev, et al. 2020). (189-article)
EPIDEMIOLOGI
WHO mengatakan pada tahun 2015, terdapat 10301 kasus tetanus termasuk 3551 kasus
neonatal yang dilaporkan melalui WHO/Unicef. Laporan tersebut juga masih belum bisa
menjelaskan angka kejadian sebenarnya dikarenakan banyaknya insiden yang tidak dilaporkan
(WHO, 2017). (189-article) Menurut World Health Organization (2015), angka kejadian infeksi
tetanus neonatorum tahun 2014 mencapai 13% dari seluruh jumlah bayi lahir di dunia. Angka
kejadian di wilayah Asia Tenggara tahun 2014 mencapai 13% dan di Indonesia mencapai 15%.
(document 1). Indonesia sebagai negara berkembang masih menjadi salah satu negara yang kasus
tetanus neonatal nya banyak. (189-article). Tetanus neonatorum di Indonesia menyebabkan 50%
kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran
hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian
tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30%
kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi <12 bulan. Angka
kematian keseluruhan antara 6,7-30%. kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30%
kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi <12 bulan. Angka
kematian keseluruhan antara 6,7-30%.(document 1)

ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh kuman bacillus anaerob obligat gram positif Clostridium tetani
(berbentuk vegetatif dalam lingkungan anaerob), kuman dapat bergerak menggunakan flagella.
Kuman ini hidup di dalam tanah dan usus binatang, mampu membentuk spora dan mampu
bertahan pada suhu tinggi, kekeringan, serta desinfektan. Dalam lingkungan anaerob,
Clostridium tetani dapat berubah menjadi bentuk vegetatif yang dapat menghasilkan eksotoksin.
(752-1330). Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada
manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa
tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Jika spora menginfeksi luka seseorang, bersamaan
dengan daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan
toksin yang bernama tetanospasmin (116-204)

KLASIFIKASI
Berdasarkan luas dan lokasi neuron yang terlibat, penyakit tetanus terbagi menjadi tiga
kelompok besar, yaitu: generalized tetanus, localized tetanus, dan cephalic tetanus.
1. Generalized tetanus merupakan bentuk tetanus tersering dengan karakteristik
peningkatan tonus otot dan spasme umum. Gejala pertama biasanya sulit membuka mulut
karena peningkatan tonus otot masseter. Kemudian terdapat disfagia, kaku dan nyeri
leher, bahu, dan otot punggung. Sering timbul risus sardonicus karena kontraksi otot
wajah.
2. Lozalized tetanus merupakan bentuk tetanus yang lebih ringan dan jarang.
3. Cephalic tetanus merupakan manifestasi keterlibatan saraf kranial setelah kuman tetanus
masuk melalui luka atau infeksi di daerah kepala dan leher.Berdasarkan berat ringannya
penyakit, tetanus terbagi menjadi tetanus ringan (derajat I), tetanus sedang (derajat II),
tetanus berat (derajat III), dan stadium terminal (derajat IV). (752-1330)
Klasifikasi Ablett untuk derajat manifestasi klinis Tetanus (Kliegman et al., 2011):
 Grade I (ringan)
Trismus ringan, spastisitas general, tidak ada distress pernapasan, tidak ada spasme dan
disfagia.
 Grade II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang dengan durasi pendek,
takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
 Grade III A (berat)
Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjang, distres pernapasan
dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit.
 Grade III B (sangat berat)
Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang melibatkan sistem
kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan
bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten. (134-244)

(116-204)
PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin.
Tetanolysin merupakan suatu hemolisin dan bersifat oxygen labile (mudah diinaktivasi oleh
oksigen), sedangkan tetanospasmin merupakan suatu neurotoksin yang bersifat heat labile (tidak
tahan panas). Tetanolysin merupakan suatu toksin yang dikode oleh plasmid. Toksin ini secara
serologis mirip dengan Streptolysin O (Streptococcus pyogenes) dan hemolisin yang dihasilkan
oleh clostridium perfringens dan listeria monocytogenes. Kepentingan klinis dari toksin ini tidak
diketahui karena sifatnya yang mudah dihambat oleh oksigen dan serum kolesterol.
Tetanospasmin adalah toksin yang berperan dalam manifestasi klinis dari tetanus. Begitu toksin
ini terikat dengan saraf, toksin tidak dapat dieliminasi. Penyebaran tetanospasmin dapat melalui
hematogen ataupun limfogen yang kemudian mencapai targetnya di ujung saraf motorik.
Toksin ini memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A (light chain) dan subunit B (heavy chain).
Begitu toksin disekresikan, suatu protease endogen akan memecah tetanospasmin mejadi 2
subunit. Reseptor untuk toksin ini adalah gangliosida pada neuron motoris. Domain pengikat
karbohidrat (carbohydrate- binding domain) pada ujung karboksi-terminal subunit B berikatan
dengan reseptor asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada permukaan sel saraf motorik.
Toksin akan diinternalisasi oleh vesikel endosom. Asidifikasi endosom akan menyebabkan
perubahan konformasi ujung N-terminal subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B kedalam
membran endosom, sehingga memungkinkan subunit A keluar menembus membran endosom
menuju ke sitosol. Toksin mengalami retrograde axonal transport dari perifer kemudian menuju
saraf presinaps, tempat toksin tersebut bekerja. Subunit A merupaan suatu zinc-dependent
metalloprotease yang memecah vesicleassociated membrane protein-2, VAMP-2 (atau
sinaptobrevin). Protein ini merupakan komponen utama SNARE-complex yang berperan dalam
endositosis dan pelepasan neurotransmitter. Toksin ini menghambat pelepasan neurotransmitter
inhibitorik, yaitu glisin dan gamma-amino butyric acid (GABA). Hal ini menyebabkan aktifitas
motor neuron menjadi tidak terinhibisi dan memberikan gambaran kekakuan otot, spasme dan
paralisis spastik. Proses ini terjadi di semua sinaps, termasuk neuromuscular junction (NMJ).
Otot-otot yang memiliki jaras persarafan (neuronal pathways) terpendek akan terkena lebih
dahulu, seperti otot-otot mastikasi. Sehingga pada awal gejala dapat timbul trismus (kaku
rahang) dan disfagia. (116-204)
MANIFESTASI KLINIS

Periode inkubasi tetanus antara 3−21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80%−90% penderita, gejala
muncul 1–2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak munculnya gejala pertama sampai
terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara
signifikan menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset<48 jam dan periode inkubasi <7
hari) menunjukkan makin berat penyakitnya.
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan
ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot yang lebih dahulu terjadi pada
kelompok otot dengan jalur neuronal pendek. Oleh karena itu, gejala yang tampak pada lebih
dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung.
Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit
tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot- otot trunkal mengakibatkan opistotonus.
Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan
penampakan tidak simetris.
Spasme otot yang muncul spontan dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual, auditori,
atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur tendon,
dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi dalam waktu singkat,
mengakibatkan obstruksi saluran napas atas akut dan henti napas.
Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada. Bila
spasme berkepanjangan, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam
nyawa.Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal napas akibat spasme otot adalah penyebab
kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan
membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi
selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu
rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi.
Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak
terkendali. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan berlangsung 1−2
minggu. Meningkatnya tonus simpatis yang dominan menyebabkan periode vasokonstriksi,
takikardia dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin.
Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistol yang tiba-tiba.
Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus,
hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.
Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme paroksismal
kadang cukup untuk mengakibatkan ruptur otot spontan dan hematoma intramuskular. Fraktur
kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada vertebra torakal. Gagal ginjal akut
merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena
spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus
peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus, trombosis vena, dan
tromboemboli. (116-204) (1073-1933)
Phillips score

(116-204)

DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan temuan saat
pemeriksaan. Pada anamnesis biasanya terdapat riwayat luka, fokal infeksi gigi dan telinga, serta
tidak pernah mendapat imunisasi tetanus.(752-1330) Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji
spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung
yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit
spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak
ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif).
Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat
sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi.
(1073-1933) (116-204).
Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah meningitis,
perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia temporomandibular yang
menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi
phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan rabies. (116-204).
Pemeriksaan darah perifer menunjukkan leukositosis akibat infeksi sekunder luka 752-1330)

TATALAKSANA
Tatalaksana tetanus memiliki tiga prinsip, yaitu:
(1) mematikan organisme dalam tubuh untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut
(2) menetralisir toksin dalam tubuh di luar sistem saraf pusat
(3) meminimalkan efek toksin yang telah masuk ke sistem saraf pusat.
Antibiotik pilihan untuk mematikan C. tetani terutama bentuk vegetatif adalah metronidazole
intravena dengan dosis inisial 15 mg/kgBB/hari dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari dengan interval 6
jam selama 7-10 hari. Toksin dinetralisir dengan anti-tetanus serum (ATS); dosis yang
dianjurkan 100.000 IU, dengan 50.000 IU diberikan secara intravena dan 50.000 IU diberikan
secara intramuskuler. Dapat juga diberikan Human Tetanus Globulin (HTG) 3.000-6.000 IU
intramuskuler.10 Untuk mengatasi kejang, diberikan diazepam dengan dosis inisial 0,1-0,3
mg/kgBB intravena dengan interval 2-4 jam. Dosis diturunkan bertahap sesuai kondisi klinis,
sebesar 20% dosis setiap 2 hari atau antara 5-10 mg/hari.(752-1330)
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
(1) membuang sumber tetanospasmin;
(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat;
(3) perawatan penunjang (suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah
habis dimetabolisme.

Membuang Sumber Tetanospasmin


Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi muatan bakteri
dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri,
sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di
Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30
mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman
C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50
mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif
C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama
10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa
penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat
pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).

Netralisasi toksin yang tidak terikat


Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan. Setelah
evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler dengan
dosis total 3.000- 10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat
berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary
adalah 5.000- 10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis
tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan
sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin
efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap immunoglobulin atau
komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi
lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka
digunakan ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuscular dan
50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler
masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah
sakit harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari
tetanus tidak memiliki kekebalan.

Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah terikat
habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar bisa diobservasi
secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi stimulus
ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang.Pasien diposisikan agar
mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta
analisis gas darah penting sebagai penuntun terapi.
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau
dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan
memerlukan tindakan suctioning yang sering.Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas
terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.
Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak
adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi lebih
sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya mengalami spasme otot.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis
diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral
dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per
rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat badan ≥10 kg,
atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian
diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi
(tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan
bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40
mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,
kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan efek sedasi
bisa didapat dari barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,
penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan otonom. Phenobarbital
diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan
dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg
bagi bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa.5,10 Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya
digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine. Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan
benzodiazepine, dapat dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-
pressure ventilation (IPPV).
Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus, rekomendasi
didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena efek samping
simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium juga telah digunakan karena
stabil pada jantung. Pasien tetanus berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3
minggu sampai spasme mereda. Insiden ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien
tetanus sebesar 52,6%.Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit
tetanus dan masih merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi
meliputi perawatan mulut sangat teliti,fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama
prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom. Instabilitas otonom
terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan fatality ratenya 11-28%. Manifestasi
berupa hipertensi labil, takikardia, dan demam. Berbagai gangguan kardiovaskular seperti
disritmia dan infark miokard serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan kematian. Tanda
overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi yang kadang diikuti hipotensi, pucat
dan berkeringat sering tampak beberapa hari setelah onset spasme otot. Henti jantung tiba-tiba
umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh kombinasi kadar katekolamin yang tinggi
dan kerja langsung toksin tetanus pada miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat
berakhir dengan hipotensi dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan
sinus arrest, dikatakan karena kerusakan langsung nucleus vagus oleh toksin tetanus. Instabilitas
otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-obat dengan waktu paruh
singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi lini pertama, menggunakan
benzodiazepine dosis besar, morphine, dan/atau chlorpromazine. Saat ini, magnesium sulfat
intravena dicoba untuk mengendalikan spasme dan disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75
mg/ kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk
mendapatkan konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis, dimonitor
refl ek patella. Beta blocker dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak
membaik dengan penambahan volume intravaskular membutuhkan inotropik. Atropin dosis
tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia.Tidak ada regimen
terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk instabilitas otonom.
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis berlebihan
dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan
penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan
peningkatan metabolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis.
Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk
mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein. Formula asam amino
sangat membantu membatasi katabolisme protein. Pada hari pertama perlu pemberian cairan
secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda
dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada
risiko aspirasi. Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak
digunakan antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko thromboemboli dan
perdarahan harus dipertimbangkan. Gerakan pasif harus terus diberikan jika digunakan
pelumpuh otot. (1073-1933) (116-204)
A. DIAGNOSIS BANDING

- Pada kasus yang samar perlu dipikirkan diagnosis banding : Meningitis, meningoensefalitis,

ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai trismus, risus sardonikus,

dijurmpai gangguan kesadaran dan kelainan likuor serebrospinal.

- Tetani: tetani disebabkan oleh karena hipokalsemia, secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal
- Keracunan strihnin minum tonikum terlalu banyak (pada anak)
- Rabies: pada rabies dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis diketahui digigit binatang pada waktu epidemic
- Trismus oleh karena proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsilar, biasanya
asimetris (Buku ajar dan infeksi dan pediatrik tropis)
B. KOMPLIKASI

Komplikasi
-Kardiovaskular (tetanus berat)
-Takikardia
-Hipotensi
-Hiperpireksia
-Aritmia
-Hipokalemia
-Hiponatremia
-Bronkopneumonia
-Tidak ada komplikasi
-Meninggal
(359-941)
Gagal ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis
karena spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus
peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus, trombosis vena, dan tromboemboli.
(116-204)

Larigospasme
Fraktur
Hipertensi / ritme jantung abnormal
Infeksi nosokomial
Emboli paru
Pneumonia aspirasi
Kematian

Komplikasi

1. Laringospasme (kejang pita suara) dan / atau kejang dari otot-otot pernapasan

menyebabkan gangguan pernafasan.

2. Fraktur tulang belakang atau tulang panjang bisa terjadi dari kontraksi dan kejang yang

berkelanjutan.

3. Hiperaktif dari sistem saraf otonom dapat menyebabkan hipertensi dan / atau irama

jantung yang tidak normal.

4. Infeksi nosokomial sering terjadi karena berkepanjangan rawat inap.


5. Infeksi sekunder mungkin termasuk sepsis dari kateter yang tinggal, pneumonia yang

didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Terutama emboli paru masalah pada

pengguna narkoba dan pasien lanjut usia.

6. Aspirasi pneumonia adalah komplikasi lanjut yang umum dari tetanus, ditemukan pada

50% -70% kasus otopsi.

7. Pada sekitar 20% kematian akibat tetanus, tidak jelas patologi diidentifikasi dan kematian

dikaitkan dengan langsung efek toksin tetanus.

Dalam beberapa tahun terakhir, tetanus berakibat fatal pada sekitar 11% dari yang

dilaporkan kasus. Kasus yang paling mungkin berakibat fatal adalah yang terjadi di orang

berusia 60 tahun ke atas (18%) dan tidak divaksinasi orang (22%). Pada sekitar 20%

kematian akibat tetanus, tidak jelas patologi diidentifikasi dan kematian dikaitkan dengan

langsung efek toksin tetanus.

C. PROGNOSIS

Prognosis tetanus ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka, dan keadaan

status imunitas pasien. Makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis, makin pendek

period of onset makin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut

memegang peran dalam menentukan prognosis. Sedangkan apabila kita menjumpai tetanus

neonatorum harus dianggap sebagai tetanus berat, oleh karena mempunyai prognosis buruk.

(Buku ajar dan infeksi dan pediatrik tropis)

D. PENCEGAHAN

Pencegahan sangat penting mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk

pencegahan, perlu dilakukan:

1.Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, uka kotor atau luka yang

diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna mencegah timbuinya

jaringan anaerob.

2.Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6jam) dan

harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.

3.Imunisasi aktif

Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau toksoid tetanus. Jenis imunisasi

tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi

dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18 bulan dan DPT V pada usia 5 tahun, dan saat

usia 12 tahun diberikan dT. Toksoid tetanus ini diberikan pada setiap wanita usia subur,

perempuan usia 12 tahun, dan ibu hamil. DPT/DT diberikan setelah pasien sembuh

dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak

menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama. (Buku ajar dan infeksi dan pediatrik

tropis)

Pengobatan

Pengobatan pada tetanus terdiri dari pengobatan umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan

nutrisi, menjaga kelancaran jalari nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka atau port'd

entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan pengobatan khusus terdiri

dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.

Perawatan Umumn
1.Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus memberikan obat-obatan

dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian

nutrisi secara parenteral. Setelah kejang mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan

dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.

2. Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi

3.Memberikan tambahan 0, dengan sungkup (masker)

4.Mengurangi spasme dan mengatasi kejang

Diazepamn efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis

diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3mg/kgBB dengan interval 24 jam sesuai

gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/ kgBB/hari

diberikan oral dalam dosis 23 mg setap 3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan

pemberian diazepam 5 mg per rectal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak

dengan BB 210 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah

kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan

keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB iv

untuk menghilangkan spasme akut, diiukti infus kontinu 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7

hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/ hari dan dapat diberikan melalui pipa

orogastrik. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai lagi kejang spontan, badan masih kaku,

kesadaran membaik (tidak koma, tidak dijumpai gangguan pernafasan. Bila dosis diazepam

maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau mengalami spasme laring, sebaiknya

dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilurmpuhkan
dan mendapat bantuan pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan

dosis rumatan telah memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan Selena

3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan bertahap (berkisar antara 20% dari dosis

setiap dua hari.

Fenobarbital dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di

seting intensive cave unit karena risiko terjadi depresi pernapasan.

Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d'entre, maka diperlukan konsultasi

dengan dokter gigi/THT. (Buku ajar dan infeksi dan pediatrik tropis)

Pengobatan Khusus

1. Antibiotika.

a. Lini pertama adalah metronidazol iv/oral dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis

30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efekktif untuk

mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetative Sebagai lini kedua dapat diberikan

diberikan penisilin prokain 50.000- 100.000/ kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat

hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/ kgBB/hari (untuk anak

berumur lebih dari 8 tahun)

b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang sesuai.

2 .Anti serum

Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv.

Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak Pemberian
ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anal pemberian anti serum

dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. bila fasilitas

tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-6.000 IU. (Buku

ajar dan infeksi dan pediatrik tropis)

Diagnosis

Anamnesis yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kitahadapi
juga mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Anamnesis yang dapat membantu diagnosis
antara lain:

Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau
gigitan binatang

Apakah pernah keluar nanah dari telinga

Apakah menderita gigi berlobang

Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau T1, kapan imunisasi yang terakhir

Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan kejang
yang pertama (period of onset)

Manifestasi Klinis

Variasi masa inkubasi sangat lebar,biasanya berkisar antara 5-14 hari. Makin lama masa
inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala
klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset.
Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa
disertai gangguan kesadaran Kekakuan tetanus sangat khas; yaitu fleksi kedua lengan dan
ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada telapak kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur.

Pemeriksaan Fisis

- Trismus adalah kekakuan otot menguyah (otot maseter) sehingga sukar membuka mulut.
Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucut seperti mulut ikan sehingga
bayi tak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan
mulut diukur setiap hari.
- Risus sardonicus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik, sehingga tampak dahi
mengkerut, mata agak tertutup, dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.
- Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot
leher, otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan
tubuh melengkung seperti busur.
- Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan
- Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya terjadi setelah
dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat.
Lambat laun "masa istirahat" kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status
konvulsivus.
- Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai akibat kejang yang
terus menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia
dan kematian, pengaruh toksin pada saraf autonom menyebabkan gangguan sirkulasi
(gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu
badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain
sehingga terjadi retentio alvi, retentio urinae, atau spasme laring; patah tulang panjang
darn kornpresi tulang belakang.

Secara praktis, tingkat derajat penyakit dapat dibagi menjadi tetanus berat, sedang dan
ringan. Tetanus berat, bila anak kaku dan sering kejang spontan yaitu kejang terjadi tanpa
rangsangan. Tetanus sedang, bila anak kaku tanpa kejang spontan tetapi masih dijumpai
kejang rangsang yaitu kejang yang terjadi bila dirangsang. Sedangkan tetanus ringan bila
kekakuan yang tampak jelas hanya trismus, tanpa disertai kejang rangsang.

Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorik tidak khas, likuor serebrospinal nornal, jumlah leukosit normal
atau sedikit meningkat. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik.
Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala kinis tidak mempunyai arti.
Daftar pustaka

1. CDC. Tetanus Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. 2015


available from: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
2. Jaya L.H dan Aditya R. 2018. Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care Unit.
Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, 36(3)
3. Laksmi S.K N. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. Puskesmas Mendoyo I, Bali, Indonesia,
41(11)
4. Leman M.M dan Tumbelaka R.A. 2010. Penggunaan Anti Tetanus Serum Dan Human
Tetanus Immunoglobulin Pada Tetanus Anak. Departemen Ilmu Kedokteran Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 12 (4)
5. Lubis Y.M dan Lubis U.N. 2017. Tetanus Pada Anak Tanpa Imunisasi DPT Lengkap.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia, 44
(7)
6. Putri R.S. 2020. Pencegahan Tetanus. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Jurnal
Penelitian Perawat Professional, 2(4)
7. Rampengan H.N dkk. 2012. Profil kasus tetanus anak di RS Prof.Dr.R.D Kandou
Manado. Fakultas kedokteran universitas sam ratulangi/RSU Prof.Dr.R.D Kandou,
Manado, 14(3).
8. Simanjuntak P. 2013. Penatalaksanaan Tetanus Pada Pasien Anak. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung, 1(4).
9. Subagiartha M.I. 2018. Laporan Kasus Tatalaksana Tetanus Generalisata Ec Vulnus
Ichtum Region Manus Dextra Digiti V. Program Studi Anesthesiology Dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah Denpasar
10. Syamson M.M. 2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Imunisasi Tetanus
Toxoid (TT) Pada Ibu Hamil Diwilayah Kerja Puskesmas Rappang Kabupaten Sidrap.
Jurnal ilmiah kesehatan Diagnosis, 12(2)

Anda mungkin juga menyukai