Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

SPEECH DELAY

I. Konsep Penyakit
I.1 Definisi
Keterlambatan (speech delay) bicara dan berbahasa pada anak, menggambarkan
kemampuan (skill) anak yang berkembang, tetapi pada tingkat yang lebih
lambat dari anak-anak sebayanya sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak.
Masalah keterlambatan bicara dan berbahasa ini, bisa ringan, sedang, atau berat.

I.2 Etiologi
I.2.1 Faktor genetik
Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang
normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Seperti
sindrom Down, sindrom Turner yang disebabkan oleh kelainan
kromosom.
I.2.2 Faktor lingkungan
I.2.2.1 Sosial ekonomi kurang
Anak dengan keluarga sosial ekonomi kurang akan mengalami
keterlambatan dalam berbahasa karena fasilitas berbahasa dan
pendidikan yang rendah pulan dari orang tua.
I.2.2.2 Faktor psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar,
hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta
dan kasih sayang, kualitas interaksi anak-orang tua.
I.2.2.3 Faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain: pekerjaan/
pendapatan keluarga, pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara,
jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah tangga,
kepribadian ayah/ibu, adat-istiadat, norma-norma, agama,
urbanisasi, kehidupan politik dalam masyarakat yang
mempengaruhi prioritas kepentingan anak, angaran, dan lain-
lain (Soetjiningsih, 1998).

I.3 Tanda Dan Gejala


I.3.1 Tanda dan gejala Speech Delay anak usia 1 tahun (12 bulan)
I.3.1.1 Menggunakan bahasa tubuh seperti melambaikan tangan
good-bye atau menunjuk objek tertentu
I.3.1.2 Berlatih menggunakan beberapa konsonan yang berbeda
I.3.1.3 Vokalisasi atau melakukan komunikasi
I.3.2 Tanda dan gejala Speech Delay anak usia 1-2 tahun
I.3.2.1 Tidak memanggil mama dan dada
I.3.2.2 Tidak menjawab bila dikatakan tidak, halo dan bye
I.3.2.3 Tidak memiliki satu atau 3 kata pada usia 12 bulan dan 15 kata
pada usia 18 bulan
I.3.2.4 Tidak mampu mengidentifikasi bagian tubuh
I.3.2.5 Kesulitan mengulang suara dan gerakan
I.3.2.6 Lebih memilih menunjukkan gerakan daripada berbicara verbal
I.3.3 Tanda dan gejala Speech Delay anak usia 2-5 tahun
I.3.3.1 Tak mampu menyampaikan kata-kata atau frase secara spontan
I.3.3.2 Tak mampu mengikuti petunjuk dan perintah sederhana
I.3.3.3 Kurang bunyi konsonan di awal atau akhir kata, seperti aya
(ayah), uka (buka)
I.3.3.4 Tidak dipahami bicaranya oleh keluarga terdekat
I.3.3.5 Tak mampu untuk membentuk 2 atau 3 kalimat sederhana

I.4 Patofisiologi
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan
yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus
arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan
tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-
otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini merupakan proses aktif
pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses enkode dimulai dengan enkode
semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada enkode
fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat pembicara.

Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu


pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini
terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode
diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses perkembangan
bahasa, kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus
berkembang dengan baik.

I.5 Komplikasi
I.5.1 Gangguan bahasa ekspresif
I.5.2 Gangguan bahasa reseptif ekspresif
I.5.3 Gangguan phonological
I.5.4 Gagap

I.6 Pemeriksaan Penunjang


I.6.1 TES BERA (Brainstem Evoked Response Auditory) atau ABR (Auditory
Brainstem Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga (telinga
luar) sampai ke otak. Cara kerjanya dengan memberikan bunyik klik
pada frekuensi yang berbedabeda pada tingkat kekerasan yang
berbedabeda pula responnya ditangkap langsung oleh sensor di otak.
Tesnya tidak menyakitkan (un-invasive), tidak perlu respon aktif dari
pasien dan hasilnya menyeluruh. Tes ini adalah tes paling umum dalam
mendeteksi gangguan pendengaran.
I.6.2 TES OAE (Oto Acoustic Emission)
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah siput
tetapi terutama rumah siput. Cara kerjanya dengan memberikan nada
murni ke telinga dan menangkap responnya melalui perubahan tekanan
di saluran telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan dan tidak memerlukan
respon aktif dari pasien serta obyektif. Biasanya digunakan untuk
mendeteksi gangguan pendengaran khususnya akibat gangguan di
telinga tengah karena OME, OMA atau sensorinerual hearing loss
(SNHL) yaitu kerusakan sel saraf di rumah siput.
I.6.3 Tes Tympanometri
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga tengah
(tulang sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi responnya dari
defleksi (perubahan gerak) gendang telinga. Tesnya juga tidak
menyakitkan, obyektif dan tidak perlu respon aktif dari pasien. Biasanya
digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan gangguan telinga tengah
jika hasil OAE menunjukkan respon negatif.
I.6.4 Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang kedap suara,
dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang adalah :

I.6.4.1 Audiometri nada murni


I.6.4.2 Audiometri tutur
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada
tidaknya gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang dites
akan mendengar nada murni yang diberikan pada frekwensi
yang berbeda melalui sebuah headphone atau ear phone.
Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi sampai ambang
dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar akan
diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan
dimasukkan ke bentuk audiogram.

Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui


earphone (direct to ear) ataupun speaker (free field test) dan
meminta respon balik dari pasien apakah bunyi terdengar atau
tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun agak subyektif dan
memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit dilakukan
khususnya untuk anak-anak.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang
pendengaran pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang
diukur dengan frekwensi yang berbeda-beda. Secara kasar
bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas.
Grafiknya terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan
dengan earphone (air conduction) dan skull vibrator (bone
conduction).

Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL.


Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone conduction
menggambarkan SNHL.

Untuk anakanak biasanya dilakukan Play Audiometri yaitu


uji pendengaran dengan bermain dan diperlukan audiologist
yang berpengalaman untuk mendapatkan hasil yang baik.
Biasanya untuk menguji kemajuan/kemunduran fungsi
pendengaran terutama pada pasien gangguan pendengaran.
Sedangkan pada audiometric tutur dites seberapa banyak
kemampuan mengerti percakapan pada intensitas yang
berbeda. Tes terdiri dari sejumlah kata-kata tertentu yang
diberikan melalui headphone atau pengeras suara free field.
Kata-kata tersebut harus diulangi oleh orang yang dites.
Setelah selesai, persentase berapa kata yang dapat diulang
dengan benar dapat diketahui.
I.6.5 TES ASSR (Auditory Steady State Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga sampai
ke otak. Cara kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan adalah nada
murni seperti layaknya tes audiometri. Namun tidak diperlukan
partisipasi aktif dari pasien karena respon langsung dicatat oleh sensor
yang menangkap aktifitas otak. Tes ini tidak menyakitkan dan tidak
memerlukan respon aktif namun pasien harus diam dan tenang dalam
waktu yang cukup lama, kurang lebih 1 jam.

Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat tidur jika
memang sulit, diminta untuk tetap tenang dan diam. Digunakan untuk
mendeteksi gangguan pendengaran pada bayi dan anak - anak yang
masih kecil.

I.7 Penatalaksanaan
I.7.1 Terapi :
Terapi wicara
Terapi okupasi
I.7.2 Edukasi
I.7.2.1 Motivasi keluarga untuk menstimulasi bahasa, bicara secara
intensif
I.7.2.2 Secara teratur membawa anak untuk mengikuti terapi
I.7.2.3 Konseling

I.8 Pathway

Lingkungan Kerusakan otak Emosi


1. Sosial ekonomi 1. Kerusakan 1. Ibu tertekan
rendah neuromuskuler 2. Gangguan serius
2. Tekanan keluarga 2. Sensori motorik pada orangtua/anak
3. Keluarga bisu 3. Serebral palsi
4. bahasa 4. Masalah persepsi

Masalah pendengaran Gangguan bahasa Perkembangan


1. Kongenital 1. Ekspresif terlambat
2. Didapat 2. Reseptik

Gangguan bicara

Keluarga Hubungan sosial Perkembangan


1. Cemas 1. Gangguan
2. Pengetahuan komunikasi verbal Intelegensia
3. Koping keluarga 2. Gangguan bermain
tidak efektif 3. Isolasi social
Produktifitas
4. Interaksi sosial
Resiko ketergantungan
II. Rencana Asuhan Keperawatan Dengan Speech Delay
II.1 Pengkajian
II.1.1 Identitas pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
II.1.2 Riwayat penyakit
II.1.2.1 Keluhan utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong
pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan
berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik
akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir
terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non
produktif.
II.1.2.2 Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan
adanya tandatanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik,
rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya.
II.1.2.3 Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit
seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan
sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan
adanya faktor predisposisi.
II.1.2.4 Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakitpenyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi
pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya .
II.1.2.5 Riwayat psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana
cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap
tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
II.1.3 Pengkajian pola fungsi
Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat. Adanya tindakan medis
danperawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang
kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap
pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan
merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obatan bias menjadi
faktor predisposisi timbulnya penyakit.
II.1.4 Pola nutrisi dan metabolisme
II.1.4.1 Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk
mengetahui status nutrisi pasien.
II.1.4.2 Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan
selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami
penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan
pada struktur abdomen.
II.1.4.3 Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit.
pasien dengan effusi pleura keadaan umumnyalemah.
II.1.5 Pola eliminasi
II.1.5.1 Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai
kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS.
II.1.5.2 Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih
banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain
akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
II.1.6 Pola aktivitas dan latihan
II.1.6.1 Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang
terpenuhi
II.1.6.2 Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas
minimal.
II.1.6.3 Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat
adanya nyeri dada.
II.1.6.4 Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan
pasien dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
II.1.7 Pola tidur dan istirahat
II.1.7.1 Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh
akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan
istitahat
II.1.7.2 Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan
rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak
orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
II.1.8 Pemeriksaan fisik
Status kesehatan umum tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana
penampilan pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama
dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas,
bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan
ketegangan pasien.
II.1.8.1 Sistem respirasi
Inspeksi Pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang
sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar,
pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke
arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi
trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan pasien
biasanya dyspneu.

Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang


jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga
ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada
yang sakit.

Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya.


Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan
terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung
lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini
disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di
bagian depan dada, kurang jelas di punggung.

Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada


posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya
ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja
akan ditemukan tanda tanda auskultasi dari atelektasis
kompresi di sekitar batas atas cairan.

II.1.8.2 Sistem kardiovaskuler


Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal
berada pada ICS 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1
cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
pembesaran jantung.

Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan


harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut
jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran
ictuscordis.

Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah


jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan
adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal
atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan
gejala payah jantung serta adakah murmur yang menunjukkan
adanya peningkatan arus turbulensi darah.
II.1.8.3 Sistem pencernaan
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit
atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol
atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya
benjolan-benjolan atau massa.

Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana


nilai normalnya 5-35kali per menit.

Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan


abdomen adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk
mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba.

Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau


cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites,
vesikaurinarta, tumor).

II.1.8.4 Sistem neurologis


Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji disamping juga
diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau
somnolen atau koma. Pemeriksaan refleks patologis dan refleks
fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji
seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan
pengecapan.
II.1.8.5 Sistem mskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial .
Palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat
perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refiltime..
Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan
otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
II.1.8.6 Sistem integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada
tidaknya lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya
akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport
O2. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit
(dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-
kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi
seseorang.

II.2 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


II.2.1 Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kurangnya stimulasi
bahasa
II.2.2 Gangguan komunikasi berhubungan dengan kerusakan fungsi alat-alat
artikulasi.
II.2.3 Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan
pendengaran.
II.2.4 Gangguan komunikasi berhubungan dengan hambatan bahasa.
II.2.5 Kecemasan orang tua berhubungan dengan ketidakmampuan anak
berkomunikasi.
II.2.6 Gangguan komunikasi berhubungan dengan kecemasan.
II.2.7 Gangguan komunikasi berhubungan dengan kurangnya kemampuan
memori dan kerusakan sistem saraf pusat.

II.3 Perencanaan

Diagnosa
No. Intervensi Rasional
keperawatan
1. Gangguan 1. Lakukan latihan komunikasi 1. Latihan bicara yang sesuai dengan
komunikasi verbal dengan memperhatikan perkembangan anak akan
Sehubungan perkembangan mental anak menghindari ekploatasi yang
dengan kurangnya 2. Lakukan komunikasi secara berakibat penekanan fungsi
stimulasi bahasa komprehensif baik verbal mental anak.
maupun non verbal. 2. Komunikasi yang komprehensif
akan memperbanyak jumlah
stimulasi yang diterima anak
sehingga akan memperkuat
memori anak terhadap suatu
kata.
3. Berbicara sambil bermain 3. Bermain akan menigkatkan daya
dengan alat untuk tarik anak sehingga frekwensi
mempercepat persepsi anak dan durasi latihan bisa lebih
tentang suatu hal. lama
4. Berikan lebih banyak kata 4. Anak lebih suka mendengarkan
meskipun anak belum mampu kata-akat dari pada
mengucapkan dengan benar. mengucapkan karena biasanya
kesulitan dalam mengucapkan.
5. Lakukan sekrening lanjutan 5. Untuk mengetahui jenis dan
dengan mengggunakan Denver beratnya gangguan serta
Speech Test. keterlambatan dalam berbicara
pada anak.
2. Gangguan 1. Lakukan latihan komunikasi, 1. Agar stimulasi tetap diterima anak
komunikasi verbal dan stimulasi dini dengan sesuai dengan perlembangan
Sehubungan benda-benda atau dengan mental anak yang didasarkan atas
dengan gangguan menggunakan bahasa isyarat kemampuan penerimaan anak
pendengaran serta biasakan anak melihat terhadap informasi yang diberikan
artikulasi orang tua dalam
berbicara. 2. Ganguan pendengaran sering
2. Perhatikan kebersihan telinga disebabkan oleh adanya hambatan
anak pendengaran akibat adanya
kotoran ditelinga.
3. Alat bantu dengar diharapkan
3. Kolaborasi dengan rehabilitasi mampu mengatasi hambatan
untuk penggunaan alat bantu pendengaran pada telinga anak.
dengar

3. Gangguan 1. Gunakan bahasa yang 1. Untuk memudahkan pema-haman


komunikasi sederhana dan umum menghindari stress dan
Sehubungan digunakan dalam komunikasi kebingungan anak yang akibat
dengan hambatan sehar-hari. bahasa yang berubah-ubah.
bahasa 2. Difersifikasi bahasa dapat
2. Gunakan verifikasi bahasa diberikan jika kemampuan mental
sesuai dengan tingkat anak sudah matang seperti setelah
kematangan dan pengetahuan umur 9 tahun, karena
anak. perkembangan selsel otak anak
sudah mulai maksimal.
4. Gangguan 1. Stimulasi bahasa dan latihn bicara Untuk mengindari keter-lambatan
komunikasi tetap dilakukan sesuai dengan perkembangan mental, bahasa
Sehubungan perkembangan mentak anak. maupun bicara ketika alat
dengan kerusakan artikulasi sudah bisa diperbaiki.
fungsi alat-alat 2. Kolaborasi: dengan ahli bedah Perbaikan alat-alat artikulasi hanya
tikulasi untuk perbaikan alat-alat bisa dilakukan secara optimal
artikulasi. dengan pembedahan.

5. Kecemasan orang 1. Gali kebiasaan komunikasi dan 1. Untuk dapat menggali


tua Sehubungan stimulasi orang tua terhadap efektivitas dan kemampuan
dengan anak. serta usaha yang telah
ketidakmampuan dilakukan oleh orang tua,
anak berbicara untuk mengindari overlaping
tindakan yang berakibat orang
tua menjadi bosan.
2. Pengikutsertaan keluarga
2. Berikan penjelasan tentang terhadap perawatan anak
kondisi anaknya secara jelas, secara langsung akan mampu
serta kemungkinan penanganan mengurangi tingat kecemasan
lanjutan, prognose serta orang tua terhadap keadaan
lamanya tindakan atau anaknya.
pengobatan.

6. Gangguan 1. Hindari bicara pada saat kondisi 1. Komunikasi tidak efektif sehingga
komunikasi bising anak menjadi irritable
Sehubungan 2. Untuk meningkatkan pandangan
dengan 2. Lakukan komunikasi dengan mata dan efektivitas komunikasi
kecemasan posisi lawan bicara setinggi sehingga anak merasa lebih
badan anak. nyaman
3. Agar anak lebih tertarik dan tidak
lekas bosan.
3. Lakukan latihan bicara sambil
bermain dengan mainan
kesukaan anak.

7. Gangguan 1. Lakukan observasi dan 1. Untuk mengetahui kemungkinan


komunikasi pemeriksaan fisik neurologi posisi kelainan dalam otak.
Sehubungan secara mendetail 2. Untuk mengetahui kemungkinan
dengan kurangnya 2. Kolaborasi pemeriksaan EEG kelainan pada SSP anak.
kemampuan
memori dan
kerusakan sistem
saraf pusat.

III. Daftar Pustaka


Carpenito, L.D (2009), Nursing Diagnois; Application to Clinical Practice, 7th.
Edition, Lippincott, Philadelpia, New York.

Kozier Barbara et.al (2012), Fundamental Of Nursing ; Concept, Process and


Practice , 5 th Edition, Addison Wesley Nursing, Cuming Publishing, New York

Whaley and Wong (1996), Nursing Care of Infants and Children, 5 th Edition, Mosby
Year Book, Philadelpia.

Whaley and Wong (1997), Pediatric Nursing; Clinical Manual, Mosby Year Book,
Philadelpia.

Anda mungkin juga menyukai