Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PEDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Mendengar merupakan salah satu kemampuan penting bagi bayi dan anak
dalam tahap tumbuh kembang mereka. Proses mendengar melibatkan banyak
faktor yang bervariasi dan melalui banyak tahapan kompleks dan
berkesinambungan. Beberapa aspek yang turut berperan dalam perkembangan
kemampuan mendengar seorang anak antara lain perkembangan embriologi,
struktur anatomi, fungsi fisiologis, fungsi neurologis, dan fungsi audiologis dari
organ-organ terkait.1,2
Gangguan pendengaran (hearing loss) dan ketulian (deafness) dapat terjadi
pada semua usia sejak lahir sampai usia lanjut, namun terkadang tidak disadari,
apalagi jika terjadi pada bayi. Dampak gangguan pendengaran dan ketulian tidak
hanya berakibat pada terganggunya perkembangan wicara dan bahasa, namun
pada tahap selanjutnya akan menyebabkan hambatan perkembangan akademik,
ketidakmampuan bersosialisasi, perilaku emosional dan berkurangnya kesempatan
memperoleh pekerjaan. Diagnosis dini sangat besar pengaruhnya dalam hal
mengurangi dampak kecacatan yang lebih besar di kemudian hari, terutama pada
bayi, karena erat kaitannya dengan perkembangan bicara dan bahasa.3,4,5
Menurut WHO, saat ini diperkirakan ada 360 juta (5.3%) orang di dunia
yang mengalami gangguan pendengaran, 328 juta (91%) diantaranya adalah
orang dewasa (183 juta laki-laki, 145 juta perempuan) dan 32 juta (9%) lainnya
adalah anak-anak. Pada bayi baru lahir, prevalensi gangguan pendengaran bilateral
mencapai 1–3 per 1000 kelahiran. Jika anak dengan gangguan pendengaran
unilateral juga dimasukkan, maka prevalensi ini meningkat menjadi 35–48%.6,7,8
Di Indonesia, berdasarkan survei kesehatan indra pendengaran di tujuh
provinsi pada tahun 1994–1996, sebesar 0,1% penduduk menderita tuli
kongenital. Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi gangguan
pendengaran pada anak kelompok usia 0–4 tahun, 5–6 tahun dan 7–18 tahun
berturut-turut sebesar 8,3%, 9,5% dan 10,4%. 9

1
Sebelumnya, para ahli beranggapan bahwa tes pendengaran tidak dapat
dilakukan pada bayi, harus menunggu hingga anak dapat berbicara (usia 5-6 tahun). Namun
saat ini, tes pendengaran bahkan dapat dilakukan beberapa jam setelah anak lahir. Telah
banyak pedoman pemeriksaan pendengaran pada anak yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi penderita gangguan pendengaran. American Speech
Language Hearing Association (ASHA) merekomendasikan pemeriksaan
pendengaran anak secara komprehensif yang mencakup penilaian tingkah laku
(behavioral), elektrofisiologis, serta perkembangan motorik, wicara dan bahasa.10
Pemeriksaan elektrofisiologis berperan dalam memberikan data objektif
mengenai ambang dengar pada anak atau pasien yang sulit diperiksa (difficult-to-
test) dengan audiometri konvensional. Beberapa pemeriksaan pendengaran yang
dapat dilakukan antara lain 1,11 :
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
2. Otoacoustic Emission (OAE)
3. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
4. Timpanometri
5. Auditory Steady-State Response (ASSR)
6. Pure Tone Audiometri (PTA)
Dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang sebuah teknik
pemeriksaan pendengaran objektif yang dapat menentukan ambang dengar pada
frekuensi tertentu secara spesifik, yaitu auditory steady-state response (ASSR).
Pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan elektrofisiologis terhadap respons
sistem pendengaran berupa gelombang di otak yang dibangkitkan oleh stimulasi
suara. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan ambang dengar dengan teknik
ASSR ini lebih cepat karena dapat secara simultan memeriksa empat frekuensi
masing-masing pada kedua telinga. ASSR dapat memberikan informasi frekuensi
yang spesifik. Dengan pemeriksaan ASSR intensitas dapat diberikan sampai 127,8
dB, sehingga dapat mengidentifikasi ambang dengar pada subjek dengan
gangguan pendengaran sangat berat, atau dengan kata lain dapat menentukan
kemampuan pendengaran yang masih tersisa.12,13,14

2
Perkembangan bahasa dan literasi yang sesuai dengan usia anak,
membutuhkan perhatian khusus dan berkelanjutan baik dari orang tua maupun
lingkungan disekitar anak. Hal ini dapat membantu mendeteksi adanya gangguan
pendengaran sedini mungkin dan mencegah efek gangguan pendengaran tersebut
terhadap pengembangan keterampilan dan sosialisasi anak. Persepsi dalam
berbicara menjadi lebih maksimal dan pencapaian yang dihasilkan dari
keterampilan basis berbahasa akan jauh lebih baik.1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI ORGAN PENDENGARAN

Untuk memahami gangguan pendengaran dan cara memeriksa


pendengaran lebih lanjut, perlu diketahui anatomi telinga dan fisiologi
pendengaran terlebih dahulu. Anatomi telinga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :
telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.15

Gambar 1. Anatomi telinga 15

II.1.1 Telinga Luar


Telinga luar berfungsi menangkap rangsangan getaran bunyi. Telinga luar
terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus acusticus eksterna)
sampai membran timpani bagian lateral. Daun telinga terdiri dari tulang rawan
elastin dan kulit yang berfungsi mengumpulkan gelombang suara, sedangkan liang
telinga menghantarkan suara menuju membrana timpani. Liang telinga berbentuk
huruf S dengan panjang 2,5-3 cm. Sepertiga bagian luar terdiri dari tulang rawan
yang banyak mengandung kelenjar serumen dan rambut, sedangkan dua pertiga
bagian dalam terdiri dari tulang sejati dengan sedikit serumen.15,16

4
Gambar 2. Telinga Luar 16

II.1.2 Telinga Tengah


Telinga tengah atau cavum tympani. berfungsi menghantarkan bunyi dari
telinga luar ke telinga dalam. Dengan bentuk seperti kubus, bagian depan ruang
telinga dibatasi oleh membran timpani, sedangkan bagian dalam dibatasi oleh
foramen ovale dan foramen rotundum. Pada ruang tengah telinga terdapat bagian-
bagian sebagai berikut15 :
 Membran timpani
Membran timpani berfungsi sebagai penerima gelombang bunyi. Setiap
gelombang bunyi yang memasuki lorong telinga akan mengenai membran
timpani. Selanjutnya membran timpani akan menggelembung ke arah dalam
menuju ke telinga tengah dan akan menyentuh tulang-tulang pendengaran, yaitu
maleus, inkus dan stapes. Tulang-tulang pendengaran akan meneruskan
gelombang bunyi tersebut ke telinga bagian dalam.15,16
Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida (membran Shrapnell),
terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit liang
telinga dan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia. Bagian bawah membran
timpani disebut pars tensa (membran propria), memiliki satu lapisan di tengah
yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radial di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. 15,16,17

5
 Tulang pendengaran
Tulang pendengaran terdiri dari maleus (tulang martil), incus (tulang
landasan) dan stapes (tulang sanggurdi). Ketiga tulang tersebut membentuk
rangkaian tulang yang melintang dari luar ke dalam pada telinga tengah dan
menyatu dengan membran timpani. Prosesus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes.
Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea.17

Gambar 3. Susunan tulang-tulang pendengaran

 Tuba auditiva eustachius


Tuba auditiva eustachius atau saluran eustachius adalah saluran penghubung
antara ruang telinga tengah dengan rongga faring. Adanya saluran eustachius,
memungkinkan keseimbangan tekanan udara rongga telinga telinga tengah dengan
udara luar.15,17

Gambar 4. Telinga Tengah 15

6
Selain tiga diatas, terdapat pula Prosessus mastoideus. Prosessus
mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang terletak di belakang telinga.
Ruang udara yang berada pada bagian atasnya disebut antrum mastoideus yang
berhubungan dengan rongga telinga tengah. Infeksi dapat menjalar dari rongga
telinga tengah sampai ke antrum mastoideus yang dapat menyebabkan
mastoiditis.15

II.1.3 Telinga Dalam


Telinga dalam berfungsi menerima getaran bunyi yang dihantarkan oleh
telinga tengah. Telinga dalam atau labirin terdiri atas dua bagian yaitu labirin
tulang dan labirin selaput / membranosa. Labirin membranosa terdiri dari
utrikulus, sakulus, duktus koklearis, dan duktus semisirkularis. Sedangkan labirin
tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea. Di dalam koklea
inilah terdapat organ Corti yang berfungsi untuk mengubah getaran mekanik
gelombang bunyi menjadi impuls listrik yang akan dihantarkan ke pusat
pendengaran. Rongga labirin tulang dilapisi oleh lapisan tipis periosteum internal
atau endosteum, dan sebagian besar diisi oleh trabekula (susunannya menyerupai
spons).16,17
Pada telinga dalam, terdapat koklea yang berbentuk dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Kanalis
semisirklularis saling berhubungan dan membentuk suatu lingkaran yang tidak
lengkap. Koklea sendiri merupakan saluran spiral berbentuk dua setengah
lingkaran yang menyerupai rumah siput. Ujung atau puncak koklea disebut
helikotrema, menghubungkan skala vestibuli (bagian dorsal) dengan skala timpani
(bagian ventral). Diantara skala vestibuli dan skala timpani terdapat skala media
(duktus koklearis). Antara skala satu dengan skala lainnya dipisahkan oleh suatu
membran. Terdapat dua buah membran yang menjadi pemisah antara skala, yaitu
membran vestibularis (Reissner’s Membrane) dan membran basilaris.16
Pada membran basilaris, terletak organ corti yang mengandung organel-
organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri
dari satu baris sel rambut dalam yang berisi 3000 sel dan tiga baris sel rambut luar

7
yang berisi 12000 sel. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah
sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada
suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, dikenal sebagai membran
tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang
terletak di medial disebut sebagai limbus.18
Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirinti cabang A. Cerebelaris
anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk
ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A.
Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A.
Vestibulokohlearis. A. Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis,
urtikulus dan sebagian duktus semisirkularis. A.Vestibulokohlearis sampai di
mediolus daerah putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal
vestibularis dan cabang kohlea. Cabang vestibular memperdarahi sakulus,
sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea. Cabang kohlea
memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen
spiralis. A. Kohlearis berjalan mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus
internus dan di dalam kohlea mengitari modiolus. Vena dialirkan ke V.Labirinti
yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil
melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan
inferior.18
Secara spesifik, telinga dalam dipersarafi oleh Nervus Vestibulokokhlearis.
Nervus ini terdiri dari dua bagian, yaitu: nervus vestibular (keseimbangan) dan
nervus kokhlear (pendengaran). Serabut-serabut saraf vestibular bergerak menuju
nukleus vestibularis yang berada pada titik pertemuan antara pons dan medula
oblongata, kemudian menuju cerebelum. Sedangkan, serabut saraf nervus
kokhlear mula-mula dipancarkan ke sebuah nukleus khusus yang berada tepat
dibelakang thalamus, kemudian dipancarkan lagi menuju pusat penerima akhir
dalam korteks otak yang terletak pada bagian bawah lobus temporalis.18

8
Gambar 5.Struktur Koklea 18 Gambar 6. Potongan Melintang Koklea 18

II.2 FISIOLOGI PENDENGARAN

Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah


membran tektoria, sterosilia, dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur
penting tersebut sangat berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal
selrambut sangat kaku dan terdapat penahan yang kuat antara satu bundel dengan
bundel lainnya, sehingga bila mendapat stimulus akustik akan terjadi gerakan
yang kaku bersamaan. Pada bagian puncak stereosillia terdapat rantai pengikat
yang menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan stereosilia yang lebih rendah,
sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan mendorong
gabungan-gabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada rantai
yang menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan
terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi. Gerakan
yang berlawanan arah akan mengakibatkan regangan pada rantai tersebut
berkurang dan kanal ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra
sel, perilimfa dan endolimfa yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial
listrik koklea disebut koklea mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik
endolimfa yang berfungsi sebagai pembangkit pembesaran gelombang energi
akustik dan sepenuhnya diproduksi oleh sel rambut luar.16,17
Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan
dengan amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi
stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh

9
bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada
bagian basal koklea, sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz)
mempunyai pergeseran maksimum lebih ke arah apeks. Gelombang yang timbul
oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian apeks,
sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun
bagian apeks membran basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau
mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan gerakan
membran basilaris pada frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai cochlear
amplifier.17
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dihantarkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani dan diteruskan ke
telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan memperkuat
getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan foramen ovale. Luas permukaan membran timpani 22 kali
lebih besar dari luas foramen ovale, sehingga menyebabkan penguatan tekanan
gelombang suara 15-22 kali pada foramen ovale. Selain itu, efek dari pengungkit
tulang-tulang pendengaran juga turut berkontribusi dalam peningkatan tekanan
gelombang suara. Energi getar yang teiah diperkuat ini akan diteruskan ke stapes
yang menggerakkan foramen ovale sehingga cairan perilimfe pada skala vestibuli
bergerak.17,19
Getaran akibat gerakan perilimfe diteruskan melalui membran Reissner
yang akan mendorong endolimfe, sehingga akan terjadi gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan
ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis.18

10
Bunyi yang didengar oleh setiap orang muda berkisar antara 20 hingga
20.000 siklus per detik. Akan tetapi, batasan bunyi sangat tergantung pada
intensitas. Bila intesitas kekerasan mencapai 60 desibel di bawah 1 dyne/cm2
tingkat tekanan bunyi, rentang bunyi yang didengar dapat berkisar 500 sampai
5000 siklus per detik. Seiring pertambahan usia, rentang frekuensi yang dapat
didengar akan berangsur-angsur menurun. Pada orang yang lebih tua, penurunan
rentang frekuensi akan mencapai 50 sampai 8000 siklus perdetik atau kurang.19
Kekerasan bunyi ditentukan oleh sistem pendengaran melalui tiga cara.
Cara pertama yaitu ketika bunyi menjadi keras, amplitudo getaran membran
basiler dan sel-sel rambut akan meningkat, sehingga memicu eksitasi ujung saraf
yang lebih cepat. Kedua, ketika amplitudo getaran meningkat maka sel-sel rambut
yang terletak di pinggir bagian membran basilar yang beresonansi menjadi
terangsang, sehingga terjadi penjumlahan spasial implus menjadi transmisi yang
melalui banyak serabut saraf. Ketiga, sel-sel rambut luar tidak akan terangsang
secara bermakna jika getaran membran basiler tidak berada pada intensitas yang
tinggi. Dengan begitu, ketika terdapat rangsangan terhadap sel-sel ini, maka akan
memunculkan gambaran yang jelas pada sistem saraf sebagai suara yang keras.19
Jaras persarafan pendengaran utama menunjukan bahwa serabut saraf dari
ganglion spiralis Corti memasuki nukleus koklearis dorsalis dan ventralis yang
terletak pada bagian atas medulla. Serabut sinaps akan berjalan ke nukleus
olivarius superior kemudian akan berjalan ke atas melalui lemnikus lateralis. Dari
lemnikus lateralis ada beberapa serabut yang berakhir di lemnikus lateralis dan
sebagian besar lagi berjalan ke kolikus inferior di mana tempat semua atau hampir
semua serabut pendengaran bersinaps. Jaras berjalan dari kolikus inferior ke
nukleus genikulum medial, kemudian jaras berlanjut melalui radiasio auditorius ke
korteks auditorik yang terutama terletak pada girus superior lobus temporalis.19

11
Gambar 7. Jaras saraf pendengaran

Pada batang otak terjadi persilangan antara kedua jaras di dalam korpus
trapezoid dalam komisura di antara dua inti lemniskus lateralis dan dalam
komisura yang menghubungkan dua kolikulus inferior. Adanya serabut kolateral
dari traktus auditorius berjalan langsung ke dalam sistem aktivasi retikuler di
batang otak. Pada sistem ini akan mengaktivasi seluruh sistem saraf untuk
memberikan respon terhadap bunyi yang keras. Kolateral lain yang menuju ke
vermis serebelum juga akan di aktivasikan seketika jika ada bunyi keras yang
timbul mendadak. Orientasi spasial dengan derajat tinggi akan dipertahankan oleh
traktus serabut yang berasal dari koklea sampai ke korteks.19,20
Nada berkaitan dengan frekuensi (jumlah gelombang persatuan waktu).
Semakin besar amplitudo, semakin keras suara; dan semakin tinggi frekuensi,
semakin tinggi nada. Namun selain frekuensi, nada juga ditentukan oleh faktor-
faktor lain yang belum sepenuhnya di pahami. Frekuensi mempengaruhi
kekerasan, karena ambang pendengaran lebih rendah pada frekuensi tertentu
dibandingkan dengan frekuensi lain. 18,19

12
Gelombang suara yang memiliki pola berulang, walaupun masing-masing
gelombang bersifat kompleks, akan terdengar sebagai suara music. Sedangkan
getaran periodik yang tidak berulang akan menimbulkan sensasi bising.19

Gambar 8. Mekanisme Pendengaran18

II.3 PERKEMBANGAN AUDITORIK DAN WICARA

Perkembangan auditorik dimulai sejak masa gestasional dengan


perkembangan embriologi dari struktur anatomis, kemudian dilanjutkan hingga
masa remaja sesuai dengan maturasi dari susunan saraf pusat auditorik.
Berdasarkan suatu persepsi sensorik, bayi dipersiapkan untuk memberikan respon
terhadap suara bahkan sejak lahir. Terdapat suatu mekanisme kompleks yang telah
terlihat sejak permulaan bayi, termasuk mengenali suara ibunya dan membedakan
suara dua orang yang berbeda. Setelah 12 bulan pertama kehidupannya, tingkat
bunyi yang dibutuhkan untuk membangkitkan respon pada bayi akan berkurang
sesuai dengan respon dalam pola perkembangan normal.20
Respon inisial bayi terhadap bunyi merupakan suatu refleks. Seiring
dengan tingkat kematangan kognitif dan pencapaian kontrol motorik, bayi mulai
melokalisasi bunyi dalam bidang horizontal, kemudian bidang vertikal. Bayi lalu
menunjukkan peningkatan ketertarikan dan respon interaktif terhadap perintah
yang diucapkan. Stimulus yang kompleks dan luas akan lebih efektif
dibandingkan nada murni atau isyarat lainnya dalam merangsang respon bayi
terhadap bunyi. Dengan bantuan teknik tes yang tepat, stimulus yang kompleks
mampu merangsang tingkat ambang batas relatif normal. Sebaliknya, respon
terhadap stimulus nada murni awalnya nampak tinggi dan mencapai tingkat

13
ambang batas dewasa pada usia enam bulan. Perkembangan respon-respon ini
dapat memperbaiki ambang batas nada murni sebesar 30 dB untuk nada tinggi dan
15 dB untuk nada rendah.20,21
Setelah lahir, perubahan anatomis pendengaran terus berlanjut.
Perkembangan telinga luar terus berlanjut sepanjang masa anak-anak. Bagian
tulang dari kanal auditori eksternal mengubah bentuk hingga usia tujuh tahun, dan
pinna berkembang hingga usia sembilan tahun. Perubahan setelah kelahiran yang
utama adalah pada telinga tengah, yaitu perubahan posisi dari membran timpani.
Telinga dalam (koklea) mencapai ukuran dewasa dengan kelahiran dan dapat
memberikan respon terhadap bunyi dalam 25 minggu masa gestasi.20
Susunan saraf pusat auditorik terus berkembang dengan baik hingga usia
remaja. Mielinisasi batang otak tercapai dalam usia satu tahun, sedangkan
mielinisasi struktur serebral tercapai pada usia 10 tahun. Maturasi yang berlanjut
berkaitan dengan perkembangan anatomik dari cabang dendrit dan susunan dari
letak sinaps saraf. Perubahan fisiologis ini meningkatkan efisiensi dari susunan
saraf pusat auditorik dalam menerima informasi auditorik. Begitupun juga,
kehilangan kemampuan sensorik akan menyebabkan kematian sel atau perubahan
fungsional yang dapat menurunkan efisiensi dari susunan saraf pusat auditorik.21
Perkembangan wicara berlangsung bersamaan dengan perkembangan
auditorik, karena proses berbicara erat hubungannya dengan input sensorik
(auditorik) dan motorik yang baik. Input auditorik digunakan untuk merangsang
proses wicara pada bayi. Oleh karena keterkaitan perkembangan wicara dan
perkembangan mendengar, maka dapat pula diperkirakan adanya gangguan
pendengaran pada anak yang memiliki gangguan wicara.20,21

Embriologi Organ Auditorik


Perkembangan berbagai struktur dari kepala dan leher secara mendasar
berhubungan dengan arkus brakial dan atau kantong faring. Keduanya merupakan
struktur embrionik yang bersifat sementara yang akan mengalami perubahan
substansial sehingga bentuk embrionik tidak dapat dikenali lagi seiring dengan
kelahiran. Meski demikian, bentuk turunan dari struktur ini sangat penting ketika

14
dewasa. Jika terjadi kelainan perkembangan dari arkus brakial, maka akan
mengakibatkan malformasi yang signifikan. 18,22

Gambar 9. Arkus brakial dan kantong faring embrio 22

Pada usia kehamilan lima minggu, daerah kepala dan leher embrio terdiri
dari lima hingga enam bagian jaringan yang menyerupai jari, disebut sebagai
arkus brakial. Bagian ini berbaris melintang pada bidang datar dari leher dan
dipisahkan oleh celah yang disebut sebagai celah brakial. Permukaan dari arkus
dan celah brakial ini dilapisi oleh lapisan ektoderm, yang berasal dari lapisan
mesoderm. Bagian yang mendasari daerah celah brakial merupakan suatu lapisan
tipis. Hal ini dikarenakan terjadinya pendekatan dari kantong luar dari daerah
foregut yang kemudian dinamakan kantong faring. Bentuk turunan dari arkus
brakial dan kantong faring berbeda, karena sumber dari lapisan embrionik
termasuk dalam arkus brakial adalah lapisan mesoderm, sedangkan kantong faring
berasal dari lapisan endoderm. Karena perbedaan sumber lapisan embrionik, dapat
disimpulkan bahwa pada orang dewasa bentuk turunan arkus brakial memiliki
struktur yang terdiri dari otot, tulang, ataupun turunan mesodermal lainnya yang
bentuknya mirip, seperti otot wajah dan leher. Bentuk turunan dari kantong faring
yang berasal dari lapisan endoderm akan tergambar seperti glandular.22
Pada orang dewasa, telinga merupakan kesatuan anatomis yang memiliki
peran sebagai organ pendengaran dan keseimbangan. Sedangkan pada embrio,
telinga berkembang dari bagian yang berbeda, yaitu: telinga luar sebagai
pengumpul suara, telinga tengah sebagai penghantar suara, dan telinga dalam yang
mengubah gelombang suara menjadi impuls saraf dan menunjukkan perubahan
keseimbangan.22

15
Gambar 9. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio 22 hari

Perkembangan telinga dapat ditemukan sejak embrio berusia kira-kira 22


hari, yang nampak sebagai penebalan ektoderm pada permukaan kedua sisi
rombensefalon. Penebalan ini dinamakan plakoda otika atau plakoda telinga yang
akan melakukan invaginasi cepat dan membentuk gelembung telinga atau
gelembung pendengaran (otokista).18,22

Gambar 10. Potongan melintang daerah rombensefalon pada embrio: pembentukan gelembung
telinga a) 24 hari, b) 27 hari, dan c) 4,5 minggu.

Pada perkembangan selanjutnya, gelembung tersebut terbagi menjadi


unsur ventral yang membentuk sacculus dan duktus koklearis, unsur dorsal yang
membentuk utrikulus, kanalis semisirkularis, dan duktus endolimfatikus.
Kemudian terbentuk suatu struktur epitel yang dikenal sebagai labirin
membranosa. Kecuali duktus koklearis yang akan membentuk organ korti, semua
struktur yang berasal dari labirin membranosa akan berperan sebagai organ
keseimbangan.18

16
Gambar 11. Perkembangan otokista menjadi sacculus dan duktus koklearis22

Telinga tengah yang terdiri atas kavum timpani dan tuba eustasius, dilapisi
epitel yang berasal dari endoderm kantong faring pertama. Di dalamnya terdapat
rongga berisi udara yang meluas ke dalam resesus tubotimpanikus, yang
selanjutnya meluas ke sekitar tulang-tulang dan saraf telinga tengah menuju ke
daerah mastoid. Tuba eustasius menghubungkan kavum timpani dan nasofaring.
Tulang-tulang pendengaran yang menghantarkan getaran suara dari membran
timpani ke fenestra ovalis berasal dari kantong faring pertama (kartilago Meckel),
yaitu tulang maleus dan tulang inkus; dan kantong faring kedua (kartilago
Reichert), yaitu tulang stapes.22
Liang telinga luar atau meatus austikus eksterna berkembang dari kantong
faring pertama dan dipisahkan dari kavum timpani oleh membran timpani.
Gendang telinga terdiri atas lapisan epitel ektoderm di dasar meatus akustikus,
lapisan tengah berupa jaringan ikat (mesenkim) yang membentuk stratum
fibrosum, dan lapisan epitel endoderm kavum timpani yang berasal dari kantong
faring pertama. 22
Daun telinga atau aurikula berkembang dari enam buah tonjolan mesenkim
yang terletak sepanjang kantong faring pertama dan kedua. Tonjolan-tonjolan
daun telinga ini masing-masing sebanyak tiga buah pada setiap sisi liang telinga
luar akan menyatu dan membentuk daun telinga yang tetap. Pada mulanya, telinga
luar terletak di daerah leher bawah, tetapi dengan berkembangnya mandibula,
tonjolan-tonjolan tersebut bergerak naik ke samping kepala setinggi mata.22

17
Tulang temporal yang membungkus telinga berasal dari empat bagian
terpisah, yaitu pars petrosa, sutura petroskuamosa, prosesus stiloidesus, dan cincin
timpani. Prosesus mastoideus belum terbentuk pada saat lahir, sehingga letak saraf
fasialis bayi sangat superfisial. Turunan resesus tubotimpanikus yang terisi udara
meluas dari telinga tengah melalui tuba eustasius (audita) sampai di antrum, yaitu
daerah yang terisi udara dalam tulang mastoid.18,22

II.4 PEMERIKSAAN PENDENGARAN

Terdapat tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali melalui uji
pendengaran, yaitu tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafness), dan
tuli campuran (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran
suara yang disebabkan oleh adanya kelainan pada telinga luar atau telinga tengah.
Pada tuli sensorineural kelainan terjadi pada telinga dalam, dapat mengenai
koklea, nervus VIII, ataupun langsung di pusat pendengaran. Sedangkan tuli
campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli saraf. Tuli campuran
dapat berupa komplikasi dari suatu penyakit, misalnya radang telinga tengah yang
meluas sampai ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan,
misalnya tumor nervus VIII (menyebabkan tuli sensorineural) disertai radang
telinga tengah (menyebabkan tuli konduktif). 18
Suara yang dapat didengar sehari-hari dibagi menjadi tiga jenis, yaitu
bunyi, nada murni, dan bising. Bunyi (frekuensi 20Hz-18.000Hz) merupakan
frekuensi nada murni yang dapat didengar oleh telinga normal. Nada murni (pure
tone) merupakan suara yang hanya terdiri dari satu frekuensi saja, misalnya garpu
tala. Nada murni biasanya digunakan untuk pengukuran akustik. Bising (noise)
dibedakan menjadi NB (narrow band) dan WN (white noise). NB (narrow band)
terdiri atas beberapa frekuensi dan spektrumnya terbatas, sedangkan WN (white
noise) terdiri dari banyak frekuensi.6,8
Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu
secara kualitatif menggunakan garpu tala dan secara kuantitatif menggunakan
audiometer melalui pemeriksaan audiometri. Dari audiogram, dapat dilihat apakah

18
pendengaran termasuk normal atau tuli, setelah itu dapat ditentukan jenis dan
derajat ketuliannya. Derajat ketulian dihitung berdasarkan index flechter, yaitu
rata-rata ambang pendengaran pada frekuensi 500, 1.000, 2.000, 4.000 Hz.13
Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan
pemeriksaan audiologi khusus yang terdiri dari audiometri khusus (tes Tune
decay, tes short Increment, Sensitivity Index (SISI), tes Alternate Binaural
Loudness Balance (ABLB), audiometri tutur, audiometric Bekessy), audiometri
objektif (audiometri impedans, elektrokokleograf, brain evoked response
audiometry/BERA), pemeriksaan tuli organik, dan pemeriksaan audiometri anak.1

II.5 GEJALA GANGGUAN PENDENGARAN PADA ANAK

Beberapa gejala pada anak dengan kemungkinan mengalami


gangguan pendengaran yang bisa diamati sehari-hari oleh orang tua untuk anak usia prasekolah
atau usia lebih besar dari 24 bulan1 :

1. Kurang responsif terhadap suara-suara yang ada di sekitarnya: vacuum cleaner , klakson
mobil, petir.
2. Anak terlihat kurang perhatian terhadap hal yang terjadi disekitarnya, kecuali bila
hal tersebut dapat dinikmati dengan cara dilihat. Anak tidak mudah tertarik dengan
pembicaraan atau suara-suara yang ada di sekelilingnya.
3. Cenderung melihat dan memperhatikan wajah lawan bicaranya dengan tujuan mencari
petunjuk dari gerak bibir dan ekspresi wajah guna memperoleh informasi mengenai apa
yang diucapkan lawan bicara anak.
4. Anak kurang responsif bila diajak bicara tanpa diberi kesempatan melihat
wajah lawan bicara.
5. Sering kali meminta lawan bicaranya mengulang kata-kata yang diucapkan.
6. Jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan atau perintah sederhana.
7. Kesulitan menangkap huruf mati atau konsonan.
8. Anak hanya memberikan respons terhadap suara tertentu atau dengan
kekerasan tertentu.

19
9. Anak memberikan respons yang tidak konsisten pada waktu yang berbeda, kemungkinan
mengalami gangguan pendengaran yang hilang timbul sebagai akibat dari otitis media
serosa. Orang tua sering menganggap hal tersebut teradi karena anak cuek atau bandel,
hanya memberikan respons kalau anak sedang mau saja.
10. Kesulitan menangkap pembicaraan di dalam ruangan yang ramai.
Anak dengan gangguan pendengaran ringan atau sedang masih mampu menangkap
pembicaraan di lingkungan yang ribut seperti di kelas atau di rumah dengan
suara-suara TV yang cukup mengganggu. Anak dengan pendengaran yang normal
mempunyai kemampuan mengatasi kesulitan di lingkungan mendengar yang sulit.
11. Ucapan anak yang sulit dimengerti merupakan salah satu indikasi anak mengalami
gangguan pendengaran. Hal ini disebabkan anak tidak mampu menangkap semua elemen
pembicaraan dengan jelas sehingga mengalami kesulitan meniru ucapan dengan baik dan
benar. Anak juga akan mengalami gangguan pola berbicara yang sering rancu dengan
masalah intelegensinya.
12. Volume suara anak terlalu lemah atau bahkan terlalu keras. Hal ini menunjukkan bahwa
anak tidak mendengar suaranya sendiri. Anak yang bicaranya terlalu pelan kemungkinan
mengalami tuli konduktif karena anak dapat menangkap suaranya sendiri melalui jalur
hantaran tulang, sekalipun hantaran udaranya mengalami gangguan. Anak dengan
tuli sensorineural akan berbicara lebih keras agar dapat menangkap suaranya sendiri.
13. Kemampuan berbicara dan pemahaman kata-kata terbatas. Anak dengan
gangguan pendengaran akan mengalami penurunan kemampuan mendengar dan
memahami arti kata-kata sehingga menghambat proses perkembangan bicara.
14. Nilai di sekolah menurun atau di bawah rata-rata kelas.
15. Bermasalah dalam hal tingkah laku, baik di sekolah maupun di rumah.

II.6 PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA ANAK


Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun
derajat ketulian yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam
perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan

20
berbahasa. Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan
skrining pendengaran pada anak.3,4
Tujuan dari evaluasi pediatrik adalah (1) mengidentifikasi keberadaan
gangguan pendengaran, (2) mengidentifikasi sifat gangguan pendengaran, dan (3)
mengidentifikasi sifat dan luasnya gangguan pendengaran yang disebabkan oleh
gangguan tersebut. 1
Perubahan perilaku anak terhadap stimulus suara bergantung pada beberapa
faktor, antara lain faktor usia, status mental yang mencakup kondisi mental anak, kemauan
melakukan tes, rasa takut, status neurologik yang berhubungan dengan perkembangan motorik
dan persepsi.1 Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan adalah1 :
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
2. Otoacoustic Emission (OAE)
3. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
4. Timpanometri
5. Auditory Steady-State Response (ASSR)
6. Pure Tone Audiometri (PTA)

21
Gambar 12. Alur pemeriksaan audiologi pada bayi baru lahir

II.7 AUDITORY STEADY-STATE RESPONSE (ASSR)

II.7.1 Sejarah ASSR

ASSR (Auditory Steady-State Response) pertama kali diperkenalkan pada


pertengahan tahun 1980-an. ASSR merupakan suatu rekaman aktvitas
electroencephalography yang diambil menggunakan bangkitan stimulasi
sinusoidal secara terus-menerus, baik amplitudo maupun frekuensi yang
dimodulasi. Pada tahun 1981, Galambos dan rekannya melaporkan bahwa pada
potensi pendengaran 40 Hz yang kemudian dilanjutkan hingga 400 Hz secara
sinosoidal, aplitudo dimodulasi pada 40 Hz dan pada 70 dB SPL. Hal ini
menghasilkan respon frekuensi yang sangat spesifik tetapi respon yang dihasilkan
sangat rentan terhadap getaran yang telah ditetapkan. Pada tahun 1991, Cohen dan
rekannya mengatakan bahwa pada tingkat yang lebih tinggi dari stimulasi 40 Hz
(>70 Hz), respon tersebut lebih kecil tetapi tidak terpengaruh oleh tidur.
Sedangkan pada tahun 1994, Rickarts dan rekannya menunjukan bahwa hal
tersbut sangat mungkin untuk mendapatkan respon pada bayi yang baru lahir.
Pada tahun 1995, Lins dan Picton menemukan bahwa stimulasi yang simultan
pada kisaran 80-100 Hz bisa mendapatkan ambang batas pendengaran.11,12

22
II.7.2 Definisi

ASSR merupakan tes yang bersifat objektif yang digunakan untuk


mengukur kemampuan mendengar anak yang masih belum mampu menjalani
prosedur tes subjektif seperti play audiometri atau audiometri nada murni. ASSR
juga merupakan tes objektif yang digunakan untuk evaluasi kemampuan
mendengar pada anak-anak untuk pengujian audiometri konvensional.11

Gambar 13. ASSR (Auditory Steady-State Response)

Gambar 14. Pemeriksaan ASSR

II.7.3 Indikasi
ASSR umumnya digunakan untuk memperkirakan ambang batas
pendengaran pada anak-anak yang tidak dapat mengikuti uji pendengaran dengan
metode konvensional. Oleh karena itu, manfaat utama dilakukannya ASSR
berupa: (1) sebagai tindak lanjut diagnostik penilaian pada bayi yang dicurigai
mengalami gangguan pendengaran, (2) bayi yang sedang mendapat perawatan
intensif di Neonatal Intensive Care Unit (NICU), (3) pasien yang tidak responsif
dan/atau sedang koma. Namun perlu diingat, pemeriksaan ASSR ini tidak dapat
digunakan untuk menentukan lokasi lesi penyebab gangguan pendengaran. 12

23
II.7.4 Alat-Bahan dan Cara Kerja
Saat ini, tidak ada standar khusus mengenai instrumen yang dibutuhkan
dalam pemeriksaan ASSR. Stimulus, parameter rekaman, dan metode
pemeriksaan dirancang oleh masing-masing produsen.13
Cara kerja ASSR diperoleh dengan mengukur aktivitas otak ketika anak
mendengarkan nada dengan frekuensi dan intensitas yang berbeda-beda.17
Aktivitas otak direkam dan dicatat melalui elektroda yang ditempelkan pada dahi
dan daerah di belakang telinga kiri dan kanan. Penggunaan elektroda
memungkinkan anak agar tidak perlu berpartisipasi aktif selama pemeriksaan.
Hasil yang didapatkan bersifat objektif, menggunakan formula statistik yang
kemudian membantu menentukan ada atau tidaknya respon yang benar. Mirip
dengan pemeriksaan audiometri konvensional, ambang batas ditentukan
berdasarkan tingkat terendah pada setiap frekuensi di mana terdapat respon. ASSR
memberikan perkiraan frekuensi yang spesifik dan akurat yang tergambar dalam
audiogram.13
Pada dasarnya, prosedur pemeriksaan ASSR mirip dengan pemeriksaan
BERA. Yang membedakan adalah frekuensi yang digunakan dalam pemeriksaan
serta gambaran hasil tes. Hasil tes BERA akan tergambar dalam bentuk
gelombang-gelombang sedangkan hasil tes ASSR tergambar dalam
audiogram.13,14

II.7.5 Teknik Stimulasi ASSR


Ada dua teknik stimulasi utama yang dapat digunakan pada pemeriksaan
ASSR, yaitu teknik stimulasi frekuensi tunggal dan teknik stimulasi multi
frekuensi. Pada teknik stimulasi frekuensi tunggal, satu nada carrier frequency
(CF) dipresentasikan pada salah satu telinga menggunakan satu frequency
modulation (FM). Misalnya, 2000 Hz nada carrier frequency disajikan pada
frequency modulation 95 Hz ke telinga kanan pasien. Sebaliknya, pada teknik
multi-frekuensi, stimulasi diberikan dalam bentuk nada carrier frequency yang
beragam dan dapat dipresentasikan pada satu telinga atau kedua telinga secara

24
bersamaan. Nada carrier frequency yang biasa digunakan pada teknik multi-
frekuensi adalah 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, dan 4000 Hz.14
Pada teknik stimulasi multi-frekuensi, software ASSR memberikan sebuah
frequency modulation unik antara frekuensi 75 Hz dan 110 Hz untuk masing-
masing nada carrier frequency. Gambar 15 menampilkan contoh penggunaan
teknik stimulasi multi-frekuensi monoaural.14

Gambar 15. Contoh teknik stimulasi multip-frekuensi monoaural.14


Menampilkan bagaimana empat nada carrier dipresentasikan secara bersamaan sehingga
merangsang daerah frekuensi membran basilar yang disesuaikan ke frekuensi ini.

Energi yang terdapat di frequency modulation, dapat pula terlihat pada


hasil Fast Fourier Transform (FFT). Sebagai contoh, empat nada carrier
frequency (500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, dan 4000 Hz) dikirim secara bersamaan ke
salah satu telinga subjek. Stimulus senyawa yang disampaikan ke telinga
mengandung energi pada masing-masing nada carrier frequency. Frequency
modulation yang sesuai untuk nada carrier frequency ini adalah 76Hz (500), 82Hz
(1000), 95Hz (2000), dan 101 Hz (4000). Frequency modulation yang unik ini
diperlukan untuk pengolahan rangsangan agar tetap independen melalui sistem
pendengaran sampai ke otak. Empat nada carrier frequency berurutan
mengaktifkan empat daerah membran basilar yang terbaik disesuaikan ke

25
frekuensi yang spesifik. Respon otak terhadap empat frequency modulation ini
akan terlihat dalam hasil Fast Fourier Transform. 14
Pemeriksaan ASSR dengan teknik stimulasi multi-frekuensi juga
memungkinkan untuk dilakukan secara binaural, yaitu delapan nada carrier
frequency (500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, dan 4000 Hz) dipresentasikan secara
bersamaan langsung ke kedua telinga pada masing-masing frequency modulation.
Dengan teknik stimulasi multi-frekuensi yang dilakukan secara binaural, maka
waktu pemeriksaan akan lebih cepat dan efisien dibanding menggunakan teknik
stimulasi frekuensi tunggal. 14
Satu hal penting yang perlu dipertimbangkan ketika menggunakan teknik
stimulasi multi-frekuensi, baik pada pendengaran normal maupun pendengaran
terganggu, yaitu potensi terciptanya interaksi di koklea dan otak ketika pemberian
rangsangan pada setiap nada carrier frequency. Ketika rangsangan tonal terjadi
bersama-sama, beberapa jenis interaksi dapat terjadi termasuk masking efek,
penindasan, dan / atau fasilitasi. 14

II.7.6 Interpretasi ASSR


Aktivitas gelombang otak yang ditangkap dan ditransmisikan oleh
permukaan elektroda yang menempel pada kulit, berisi amplitudo periodik atau
variasi frekuensi yang mengikuti modulasi lambat terhadap gelombang stimulus.
Perangkat lunak berbasis statistik akan menganalisis respon terhadap stimulus
secara otomatis, sehingga ada tidaknya respon yang muncul akan tergambar dalam
hasil pemeriksaan.22

II.7.7 Perbandingan ASSR dan BERA


ASSR dan BERA cenderung menggunakan peralatan dasar dan protokol
yang hampir sama. Walaupun begitu, tetap ada perbedaan diantara kedua
pemeriksaan tersebut. 22
a. Persamaan yang terdapat pada ASSR dan BERA
1. Keduanya memberikan gambaran tentang stimulus pendengaran.
2. Keduanya menstimulasi sistem pendengaran.

26
3. Keduanya merekam aktivitas bioelektrik dari sistem pendengaran.
4. Prosedur kedua pemeriksaan ini tidak menuntut pasien untuk
memberikan respon aktif.

Gambar 16. Bentuk Gelombang BERA yang Normal 22

b. Perbedaan yang terdapat pada ASSR dan BERA22 :


1. ABR merupakan stimulus yang biasanya tersaji pada tingkat yang lebih
lambat, sedangkan ASSR menggunakan amplitudo atau suara frekuensi
yang dimodulasi sehingga memungkinkan untuk disajikan ke sistem
pendengaran secara cepat, serta memberikan stimulus berupa empat
frekuensi nada di ke kedua telinga secara bersamaan.
2. ABR sangat bergantung pada analisis yang bersifat relatif dan subjektif,
sedangkan ASSR bergantung pada analisis statistik yang cukup objektif,
sehingga mencapai tingkat keyakinan sampai 95%.
3. Respon ABR diukur dalam sepersejuta volt (mikrovolts), sedangkan
ASSR diukur dalam satuan billionths volt (nanovolts).18

Jika dalam pemeriksaan BERA tidak ditemukan adanya gelombang V


pada intensitas suara 80 dB, maka pasien disarankan untuk mengikuti tes ASSR
agar derajat gangguan pendengaran dapat diketahui.14

27
Gambar 17.Audiogram ASSR 22

28
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan pendengaran pada bayi dan anak perlu dideteksi sedini


mungkin, mengingat pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses
perkembangan bicara. Identifikasi gangguan pendengaran pada anak sejak awal
dengan cara mengamati reaksi anak terhadap suara disekitarnya. Tes fungsi
pendengaran menggunakan metode dan peralatan sederhana sangat penting
dipahami oleh semua profesi yang berkecimpung di bidang kesehatan, terutama
yang sering menghadapi bayi dan anak. Penilaian fungsi pendengaran pada anak-
anak memerlukan pemahaman, latihan dan pengalaman klinis yang cukup luas.
Hasil pemeriksaan berdasarkan pengamatan tingkah laku anak terhadap stimulus
suara sangat dipengaruhi oleh keterbatasan perkembangan dan kematangan bayi
dan anak.
Saat ini, sudah banyak metode yang tersedia untuk menilai fungsi
pendengaran anak, baik secara subjektif maupun objektif. Tes fungsi pendengaran
yang bersifat objektif dapat dilakukan menggunakan peralatan elektrofisiologik,
salah satunya adalah ASSR (Auditory Steady State Response). ASSR merupakan
suatu metode pemeriksaan yang bertujuan untuk mengukur kemampuan
mendengar anak yang masih belum mampu menjalani prosedur tes subjektif
seperti play audiometri atau audiometri nada murni. Pada dasarnya, prosedur
pemeriksaan ASSR sama dengan pemeriksaan BERA. Yang membedakan
hanyalah frekuensi yang digunakan dalam pemeriksaan, serta gambaran hasil tes.
Hasil tes BERA tergambar dalam bentuk gelombang-gelombang, sedangkan hasil
tes ASSR berupa audiogram.Sampai saat ini penelitian mengenai ASSR masih
banyak dilakukan di sentra-sentra pendengaran terkemuka, namun belum ada data
pasti mengenai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini.
Yang perlu diingat bahwa penilaian fungsi pendengaran pada bayi dan
anak merupakan proses yang berkesinambungan dan harus dipandang sebagai
suatu bagian yang integral terkait upaya menangani gangguan pendengaran pada
bayi dan anak.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson, Karen. Childhood hearing screening guidelines : American


academy of audiology. Minneapolis. 2011.
2. Suwento R. Skrining pendengaran bayi baru lahir. Buletin IDAI 2004;
35:35-7.
3. Bilgen H, Akman I, Ozek E, Kulekci S, Ors R, Carman KB, et al. Auditory
brainstem response screening for hearing loss in high risk neonates. Turk J
Med Sci 2000; 30:479-82.
4. Diefendorf AO. Detection and assessment of hearing loss in infants and
children. In: Katz J, Burkard RF, Medwetsky L, editors. Handbook of
clinical audiology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2002. p. 469-79.
5. Hendarmin H, Hendarto SK. Brainstem evoked response audiometry-
BERA pada anak dengan gangguan perkembangan bicara dan bahasa.
ORLI 1990; 21(1):15-27.
6. Kezirian EJ, White KR, Yueh B, Sullivan SD. Cost and cost-effectiveness
of universal screening for hearing loss in newborns. Otolaryngol Head
Neck Surg 2001; 124:359-67.
7. Utah Collaborative Medical Home Project. Diagnoses and conditions:
hearing impairment module, description/prevalence/authors. 2006.
8. Brookhouser PE, Worthington DW, Kelly WJ. Unilateral hearing loss in
children. Laryngoscope 1991; 101:1264-72.
9. Sirlan F, Suwento R. Hasil survei kesehatan indera penglihatan dan
pendengaran 1993-1996. DEPKES RI, 1998.
10. Sabo, L. Diane. Assesment of the Young Pediatric Patient. In : Guidelines
for the audiologic assessment of children from birth to 5 years of age.
American Speech-Language Hearing Association. 2005.
11. John MS, Brown DK, Muir PJ, Picton TW. Recording auditory steady-
state responses in young infants. Ear Hearing 2004; 25:539-53.

30
12. Roberson JB, O’Rourke C, Stidham KR. Auditory steady-state response
testing in children: evaluation of a new technology. Otolaryngol Head
Neck Surg 2003; 129(1):107-13.
13. Herdman AT, Picton TW, Stapells DR. Place specificity of multiple
auditory steady-state responses. J Acoust Soc Am 2002; 112(4):1569-82.
14. Soepardi, Efiaty Arsyad et al. Gangguan Pendengaran dan Kelainan
Telinga. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala Leher. Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 2008; 10-22.
15. Moller, Aage R. Hearing : Anatomy, Physiology, and Disorders of The
Auditory System. 2nd ed. United States of America: Elsevier. 2006.
16. Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta: EGC. 74,76, 80-81, 244, 248, 606,636,1070,1340.
17. Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia dari sel ke sel. Edisi 2.
EGC: Virginia; 2001. Hal.176-189.
18. Mansjoer, Arif, Kuspuji T, Rakhmi S, Wahyu I, Wiwiek. Kapita Selekta.
Edisi III Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius 3. 2001. Hal. 85-87.
19. Lassman AS, Grimes CT. Audiologi.Dalam: BOIES. Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997. Hal. 46-73.
20. Dhingra PL. Assesment of Hearing. In: Disease of Ear, Nose and Throat.4th
Edition. New Delhi: Elsevier; 2007. Page 22-29.
21. Peck JE. Development of Hearing Part II Embryology. Journal of the
American Academy of Audiology. Mississippi;1994.Page.359-365.
22. Beck DL, Speidel DP, Petrak M. Innovations In Technology: Auditory
Steady –State Response: A Beginner’s Guide. Available from
Interacoustic.

31
Di masa depan, penderita gangguan pendengaran akan cenderung meningkat,
mengingat makin tingginya angka harapan hidup sehingga penduduk usia lanjut
akan semakin banyak dan membawa konsekuensi terhadap peningkatan prevalensi
penyakit degenerasi sehubungan dengan usia. Faktor pendukung lainnya yaitu
gaya hidup masyarakat yang kurang menguntungkan, seperti kebiasaan
mendengarkan musik dengan suara keras dan lingkungan tempat kerja dengan
tingkat kebisingan yang tinggi. Walaupun demikian, 50% gangguan pendengaran
dan ketulian ini dapat dicegah melalui upaya-upaya promosi, mengontrol faktor
penyebab, deteksi dini penyakit dan penatalaksanaan yang sesuai standar.3
Pemeriksaan ASSR tidak dipengaruhi oleh soundfield speaker atau hearing aid
amplifier karena respons pada ASSR sifatnya steady-state dan stimulusnya
simultan, sehingga ASSR dapat digunakan untuk memperkirakan ambang dengar
pada pasien implan koklea atau untuk kepentingan pemasangan alat bantu
dengar.21
Kelemahan pemeriksaan ASSR ini adalah tidak dapat menentukan lokasi lesi dan
belum banyak data yang dipublikasikan mengenai pemeriksaan hantaran tulang.
Sampai saat ini penelitian mengenai ASSR masih banyak dilakukan di sentra-
sentra pendengaran terkemuka, namun belum ada data pasti mengenai sensitivitas
dan spesifisitas pemeriksaan ini.

Untuk tujuan tes pendengaran dan habilitasi, perlu diingat bahwa


perubahan anatomis berlanjut setelah lahir. Sebagai contoh, perkembangan telinga
luar terus berlanjut sepanjang masa anak-anak. Bagian tulang dari kanal auditori
eksternal mengubah bentuk hingga usia tujuh tahun, dan pinna berkembang
hingga usia sembilan tahun. Perubahan setelah kelahiran yang utama adalah pada
telinga tengah, yaitu perubahan posisi dari membran timpani. Telinga dalam
(koklea) mencapai ukuran dewasa dengan kelahiran dan dapat memberikan respon
terhadap bunyi dalam 25 minggu masa gestasi.
Susunan saraf pusat auditorik terus berkembang dengan baik hingga usia
remaja. Mielinisasi batang otak tercapai dalam usia satu tahun, sedangkan

32
mielinisasi struktur serebral tercapai pada usia 10 tahun. Maturasi yang berlanjut
berkaitan dengan perkembangan anatomik dari cabang dendrit dan susunan dari
letak sinaps saraf. Perubahan fisiologis ini meningkatkan efisiensi dari susunan
saraf pusat auditorik dalam menerima informasi auditorik. Begitupun juga,
kehilangan sensorik menyebabkan kematian sel atau perubahan fungsional yang
dapat menurunkan efisiensi dari susunan saraf pusat auditorik. Adapun efek dari
perubahan anatomik dan perkembangan setelah kelahiran harus dipertimbangkan
dalam seleksi dan interpretasi dari teknik tes fungsi pendengaran sesuai dengan
strategi habilitasi yang akan dilakukan.

33
34

Anda mungkin juga menyukai