Anda di halaman 1dari 14

PEMERIKSAAN PENDENGARAN DENGAN GARPU TALA

Gilang Kristiawan Suharyono

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok


Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran masih merupakan salah satu masalah kesehatan
pada abad ke-21 ini. Gangguan pendengaran diperkirakan diderita oleh 5% dari
penduduk dunia atau sekitar 466 juta orang. Jumlah tersebut termasuk penderita
gangguan pendengaran anak - anak yaitu sebanyak 34 juta orang. WHO
memprediksi bahwa pada tahun 2050 sebanyak 900 juta orang akan menderita
gangguan pendengaran.1
Upaya dalam skrining gangguan pendengaran penting dilakukan untuk
mengurangi dampak sosial ekonomi pada masyarakat. WHO memperkirakan
gangguan pendengaran yang tidak diketahui memberikan kerugian global sebesar
750 juta dollar per tahun.1 Kerugian ini meliputi sektor kesehatan, biaya
pendidikan, dan kurangnya produktivitas sumber daya manusia. Dampak negatif
dari gangguan pendengaran dapat diminimalkan dengan adanya program skrining
gangguan pendengaran yang baik. Skrining awal gangguan pendengaran dapat
dilakukan menggunakan pemeriksaan garpu tala. Pemeriksaan garpu tala dapat
digunakan untuk menentukan apakah seorang penderita gangguan pendengaran
memerlukan pemeriksaan lanjutan menggunakan audiometer nada murni atau
rujukan ke fasilitas kesehatan tersier.2
Garpu tala diciptakan pertama kali pada abad ke-16 sebagai penala bagi
berbagai alat musik.3 Garpu tala mulai digunakan dalam dunia kedokteran sebagai
alat diagnostik gangguan pendengaran pada abad ke-19 oleh dua orang dokter
berkebangsaan Jerman yaitu E. Schmalz dan A. Rinne.4 American Otological

1
2

Society telah merekomendasikan penggunaan garpu tala sebagai pemeriksaan


pendengaran sejak tahun 1887.3
Garpu tala masih menjadi alat pemeriksaan pendengaran yang digunakan di
negara berkembang, terutama pada fasilitas kesehatan primer.2,5 Pemeriksaan
garpu tala memiliki kelebihan yaitu relatif murah dan mudah didapatkan,
penggunaannya tidak memerlukan keahlian khusus, dan pemeriksaan garpu tala
mudah dan cepat sehingga dapat digunakan sebagai skrining massal untuk
gangguan pendengaran.4 Pemeriksaan garpu tala tidak invasif dan jarang
menimbulkan komplikasi.6
Garpu tala memiliki kelemahan dalam memeriksa gangguan pendengaran
yaitu teknik pemeriksaan yang bervariasi antar pemeriksa sehingga
mempengaruhi hasil pemeriksaan.6 Perbedaan frekuensi garpu tala pada satu jenis
pemeriksaan yang sama dapat memberikan spesifisitas dan sensitifitas yang
berbeda.7 Garpu tala tidak bisa digunakan untuk mengetahui derajat gangguan
pendengaran penderita.4
Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk membahas mengenai
penggunaan garpu tala dalam pemeriksaan pendengaran.

1. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran


Telinga adalah organ pendengaran pada manusia yang terbagi secara
anatomis dan fungsional menjadi tiga bagian, yaitu telinga luar, tengah, dan
dalam.9 Masing – masing bagian telinga ini memiliki peran yang berbeda dalam
proses mendengar.

1.1 Telinga luar


Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis akustikus eksternus (KAE). 10
Aurikula terdiri dari jaringan kartilago yang ditutupi oleh lapisan kulit. Lapisan
kulit ini melekat erat pada sisi lateral aurikula dan melekat longgar pada sisi
medial.9 KAE merupakan bagian telinga luar berbentuk lorong. Bentuknya tidak
lurus namun memiliki kelokan dengan panjang sekitar 24 mm. Bagian lateral
KAE mengarah ke superoposterior dan bagian medialnya mengarah ke
anteroinferior. KAE terbagi menjadi pars kartilago pada sepertiga lateralnya dan
3

pars oseus pada dua pertiga medialnya dengan penyempitan pada persambungan
kedua pars yang disebut ismus.9
Batas antara telinga luar dan telinga tengah adalah membran timpani. Secara
histologis membran timpani terdiri dari tiga lapisan penyusun yaitu lapisan luar
berupa lapisan epitel skuamosa, lapisan tengah berupa lapisan fibrosa, dan lapisan
dalam berupa epitel mukosa.9 Membran timpani dibagi menjadi pars tensa dan
pars flaccida. Pada pars flaccida tidak terdapat lapisan fibrosa.

1.2 Telinga tengah


Telinga tengah adalah sebuah rongga yang berbentuk menyerupai persegi
pada telinga. Batas lateral telinga tengah adalah membran timpani, batas medial
adalah labirin, batas superior adalah tegmen timpani, batas inferior adalah tulang
tipis yang memisahkan telinga tengah dengan bulbus jugularis, batas posterior
adalah aditus ad antrum dan mastoid air cell, dan batas anterior adalah tulang tipis
yang memisahkan telinga tengah dengan arteri karotis interna. 9 Tulang - tulang
pendengaran yang terdiri dari malleus, incus, dan stapes terletak di dalam rongga
telinga tengah. Tulang pendengaran penting dalam proses konduksi suara dari
telinga luar menuju ke telinga dalam. Telinga tengah dilapisi oleh epitel mukosa
yang merupakan kelanjutan dari epitel mukosa nasofaring.9

1.3 Telinga dalam


Telinga dalam terdiri dari koklea dan kanalis semisirkularis. Telinga dalam
disebut juga sebagai labirin.9 Koklea berfungsi pada sistem pendengaran,
sedangkan kanalis semisirkularis berfungsi pada sistem keseimbangan manusia.
Koklea berbentuk tabung yang melingkar menyerupai rumah siput.10 Tinggi
koklea sekitar 5 mm sedangkan panjang koklea bila direntangkan mencapai 35
mm.10 Koklea terbagi menjadi skala vestibuli, media, dan timpani. Skala vestibuli
berkomunikasi dengan skala timpani pada puncak koklea yang dinamakan
helicotrema.12
Organ Corti terletak pada membran basalis di dalam skala media. 10 Organ
Corti terdiri dari beberapa komponen. Sel rambut adalah sel sensoris pada organ
Corti. Sel rambut terbagi menjadi sel rambut dalam dan sel rambut luar. Sel
4

rambut memiliki stereosilia yang tersusun membentuk huruf U pada sel rambut
dalam dan huruf V atau W pada sel rambut luar.12 Stereosilia pada sel rambut
terletak berdekatan dengan membran tektoria.

1.4 Fisiologi pendengaran


Proses mendengar diawali saat gelombang suara yang dihasilkan oleh
getaran sumber suara ditangkap oleh aurikula. Aurikula berbentuk seperti corong
yang berfungsi mengarahkan gelombang suara menuju KAE. Gelombang suara
yang menjalar melalui KAE akan ditangkap oleh membran timpani dan
menyebabkan membran timpani ikut bergetar. KAE juga memiliki fungsi
resonansi pada frekuensi 2000 – 5500 Hz. 13 Getaran membran timpani diteruskan
oleh tulang - tulang pendengaran yang terdiri dari malleus, incus, dan stapes.9
Stapes memiliki bagian yang dinamakan sebagai stapes footplate. Bagian ini
berhubungan dengan tingkap lonjong. Getaran tulang – tulang pendengaran akan
sampai ke telinga dalam melalui tingkap lonjong.
Getaran pada tingkap lonjong akan diteruskan oleh cairan perilimfe di
dalam skala timpani. Getaran ini diteruskan oleh membran Reissner’s dan
menggetarkan cairan endolimfe di dalam skala media. Hal ini akan menyebabkan
pergerakan relatif antara membran basalis dan membran tektoria sehingga terjadi
defleksi stereosilia pada sel rambut dalam. Defleksi ini menimbulkan depolarisasi
sel rambut sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinaps yang akan
menimbulkan potensial aksi pada nervus auditorius. Sinyal saraf ini akan
diteruskan ke korteks auditorius melalui nervus koklearis. Sinyal akan naik
melalui kompleks olivarius superior, lemniskus lateralis, kolikulus inferior,
medial geniculatum body, dan akhirnya ke korteks auditorius yang terletak di area
Brodmann 41. 9,14
Gelombang suara dapat sampai ke telinga dalam melalui hantaran tulang.
Individu normal mendengar lebih baik pada hantaran udara dibandingkan hantaran
tulang karena densitas udara yang lebih rendah dibandingkan tulang sehingga
suara lebih mudah dirambatkan melalui hantaran udara. Rute yang dilalui oleh
gelombang suara pada hantaran tulang lebih kompleks dibandingkan pada
hantaran udara.15 Telinga luar hanya sedikit berperan pada hantaran tulang.
5

Komponen konduksi pada telinga luar diperankan oleh dinding KAE pars
kartilago dan pars oseus. Getaran juga dapat dihantarkan melalui mandibula.
Getaran ini menjalar ke telinga tengah dan menggetarkan tulang tulang
pendengaran. Tulang – tulang pendengaran akan meneruskan getaran ini ke
koklea melalui tingkap lonjong. Getaran suara juga dapat sampai langsung ke
koklea melalui tulang tengkorak, jaringan otak, dan cairan serebospinal.15

Gambar 1. Skema hantaran udara dan hantaran tulang pada telinga kanan. Hantaran udara
dilambangkan dengan garis panah tipis. Hantaran tulang dilambangkan dengan garis
panah tebal.15

2. Garpu tala
Garpu tala adalah alat yang terbuat dari metal, berbentuk seperti garpu yang
dirancang untuk dapat mengeluarkan bunyi dengan frekuensi tertentu bila
dipetik.14 Bagian garpu tala terdiri dari kaki, tangkai, basis dan ujung garpu tala. 16
Garpu tala dibunyikan dengan cara memegang tangkai dan mengetuk atau
memetik ujungnya secara lunak. Garpu tala sebaiknya tidak diketuk terlalu keras
agar tidak timbul nada tambahan yang mengganggu (overtones). Getaran garpu
tala menghasilkan suara yang dapat didengar melalui hantaran udara dan hantaran
tulang. Frekuensi garpu tala berkisar antara 64 Hz sampai dengan 4096 Hz. 16
Garpu tala dengan frekuensi rendah lebih dirasakan sebagai getaran oleh orang
yang diperiksa. Garpu tala dengan frekuensi tinggi memiliki decay time yang
pendek sehingga jarang digunakan dalam pemeriksaan klinis. 9 Garpu tala dengan
frekuensi 256 dan 512 Hz paling sering digunakan dalam pemeriksaan gangguan
pendengaran.14 Pemeriksaan pendengaran menggunakan garpu tala yang
dilakukan pada praktik klinis adalah tes batas atas batas bawah, tes Weber, tes
6

Rinne, tes Schwabach, dan tes Bing. Tes Stenger dikerjakan apabila ada
kecurigaan pasien berpura – pura mengalami gangguan pendengaran.
Pemeriksaan pendengaran menggunakan garpu tala adalah pemeriksaan
yang tidak invasif dan jarang menimbulkan komplikasi. Suatu laporan kasus
menyebutkan timbulnya komplikasi berupa dermatitis kontak atopik pada
pemeriksaan garpu tala.8 Garpu tala terbuat dari campuran metal (alloy) dan
mungkin memiliki pelapis logam nikel atau krom. Nikel dan krom diketahui dapat
menimbulkan reaksi alergi pada beberapa individu.

Gambar 2. Bagian – bagian dari garpu tala.16

2.1 Tes Batas Atas Batas Bawah


Tes batas atas dan batas bawah dikerjakan untuk menentukan frekuensi
garpu tala yang dapat didengar penderita melalui hantaran udara bila dibunyikan
pada intensitas ambang normal. Garpu tala yang digunakan adalah frekuensi 64,
128, 256, 512, 1024, 2048, dan 4096 Hz.(18) Garpu tala 64 Hz dibunyikan secara
lunak kemudian didengarkan dulu oleh pemeriksa sampai bunyi hampir hilang
untuk mencapai intensitas bunyi terendah bagi orang normal, kemudian
diperdengarkan pada penderita dengan meletakkan garpu tala di dekat KAE pada
jarak 1-2 cm dalam posisi tegak dan dua kaki pada garis yang menghubungkan
KAE kanan dan kiri. Semua garpu tala dibunyikan dari frekuensi rendah sampai
tinggi dan dicatat pada frekuensi mana garpu tala dapat didengar. Interpretasi dari
tes ini adalah bila pada frekuensi rendah pasien tidak dapat mendengar, maka
dikatakan batas bawah naik. Kelainan ini ditemukan pada gangguan dengar tipe
7

konduksi. Bila pada pemeriksaan pasien tidak dapat mendengar garpu tala
frekuensi tinggi maka dikatakan batas atas turun. Kelainan ini didapatkan pada
gangguan dengar tipe sensorineural. Pasien dengan pendengaran normal akan
mendengar pada semua frekuensi.16

2.2 Tes Weber


Tes Weber dilakukan dengan cara memegang garpu tala pada tangkainya
lalu dibunyikan secara lunak pada kedua ujungnya dengan cara dipetik
menggunakan ujung jari atau kuku. Tangkai garpu tala ditempelkan tegak lurus
pada garis median kepala (dahi, vertex, dagu, atau pada gigi insisivus) dengan
kedua kaki pada garis horisontal.16 Suara akan terdengar sama keras pada kedua
telinga bila kedua telinga normal atau bila kedua telinga mengalami gangguan
dengar yang simetris.17 Penderita diminta menunjukkan telinga mana yang
mendengar lebih keras. Sisi telinga yang mendengar lebih keras dicatat dan
disebutkan tes Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Lateralisasi yang ditemukan
pada tes Weber menunjukkan adanya gangguan pendengaran pada pasien.
Tujuan dilakukan tes Weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang
antara kedua telinga penderita.16 Orang normal yang dilakukan tes Weber akan
mendengar hantaran tulang sama keras pada kedua telinga. Telinga yang
mengalami gangguan dengar tipe konduksi akan mendengar lebih keras pada tes
Weber ini. Penjelasan dari fenomena ini adalah fakta bahwa telinga luar dan
telinga tengah memiliki peran sebagai penguat getaran suara yang diterima
telinga. Rusaknya telinga luar atau telinga tengah menyebabkan penguatan ini
tidak terjadi sehingga penderita gangguan dengar tipe konduksi akan
mempersepsikan suara hantaran tulang lebih keras dibandingkan dengan hantaran
udara.15 Penjelasan lain dari fenomena tersebut adalah adanya efek oklusi pada
telinga penderita gangguan dengar tipe konduksi. Efek oklusi adalah fenomena
meningkatnya stimulasi suara frekuensi rendah pada koklea. Sebagian besar
frekuensi suara yang dihantarkan melalui hantaran tulang diterima oleh koklea
pada kondisi telinga normal. Beberapa frekuensi rendah secara normal tidak
dihantarkan ke koklea, melainkan dihantarkan keluar ke arah kanal. Suara
frekuensi rendah ini pada telinga yang mengalami gangguan dengar tipe konduksi
8

tidak dihantarkan keluar telinga karena adanya gangguan konduksi, sehingga


terjadi peningkatan stimulasi suara pada koklea. Efek oklusi ini menyebabkan
suara pada hantaran tulang terdengar lebih keras pada telinga yang mengalami
gangguan dengar tipe konduksi.17
Tes Weber dapat memberikan petunjuk akan adanya gangguan dengar
terutama pada kurang dengar asimetris, yaitu saat derajat gangguan pendengaran
satu telinga lebih buruk dari telinga lainnya. Tes Weber lebih berperan bila satu
telinga memiliki ambang dengar yang berbeda.
Interpretasi pada tes Weber dapat beragam. Tes Weber akan lateralisasi ke
arah telinga yang sakit pada gangguan dengar tipe konduksi, dan ke arah telinga
yang sehat pada gangguan dengar tipe sensorineural. Penderita yang mengalami
gangguan dengar tipe konduksi bilateral namun dengan derajat yang berbeda akan
menyebabkan lateralisasi ke arah telinga dengan derajat lebih berat. Penderita
yang mengalami gangguan dengar tipe sensorineural bilateral namun dengan
derajat yang berbeda akan menyebabkan lateralisasi ke arah telinga dengan derajat
lebih ringan. Lateralisasi ke arah telinga yang mengalami gangguan dengar tipe
konduksi juga bisa didapatkan pada keadaan gangguan dengar tipe konduksi pada
satu telinga dan gangguan dengar tipe sensorineural pada telinga
kontralateralnya.17

Gambar 3. Tes Weber. Garpu tala diletakkan pada garis median kepala 9

2.3 Tes Rinne


Tes Rinne dilakukan untuk membandingkan hantaran udara dan hantaran
tulang pada telinga penderita.13 Getaran suara dihantarkan lebih cepat melalui
tulang daripada melalui udara sehingga durasi suara terdengar lebih pendek
9

melalui tulang daripada melalui udara. Garpu tala dengan frekuensi 256 dan 512
Hz terdengar selama 140 detik bila dihantarkan melalui hantaran udara sedangkan
melalui hantaran tulang suaranya terdengar selama 70 detik.16
Tes Rinne dikerjakan menggunakan garpu tala frekuensi 512 Hz. Prosedur
tes Rinne adalah garpu tala dibunyikan secara lunak pada kedua ujungnya
kemudian kakinya ditempelkan tegak lurus pada planum mastoid telinga yang
diperiksa. Orang yang diperiksa diminta untuk memberi tahu saat suara dari garpu
tala hilang kemudian garpu tala dipindahkan 1 cm di depan KAE. 16 Tes Rinne
dikatakan positif apabila setelah dipindahkan ke depan KAE orang yang diperiksa
masih mendengar bunyi garpu tala. Rinne positif menandakan bahwa konduksi
udara lebih baik dibandingkan dengan konduksi tulang. Tes Rinne dikatakan
negatif bila orang yang diperiksa tidak mendengar bunyi garpu tala setelah garpu
tala dipindah ke depan KAE. Rinne negatif menandakan konduksi udara lebih
buruk dibandingkan dengan konduksi tulang.9
Tes Rinne dapat juga dilakukan dengan membunyikan garpu tala dan
menempelkan kakinya pada planum mastoid, lalu segera garpu tala dipindah ke
depan KAE. Orang yang diperiksa kemudian diminta membandingkan keras suara
antara saat garpu tala ditempelkan pada planum mastoid dengan saat garpu tala di
depan KAE. Tes Rinne dikatakan positif bila orang yang diperiksa mendengar
lebih keras saat garpu tala di depan KAE. Tes Rinne dikatakan negatif bila orang
yang diperiksa mendengar lebih keras saat garpu tala ditempel di planum
mastoid.13
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menimbulkan tes Rinne false
negative. Keadaan ini didapati pada gangguan dengar tipe sensorineural berat
unilateral. Pasien mendengar saat diperiksa konduksi tulang pada telinga yang
mengalami gangguan dengar tipe sensorineural berat sedangkan konduksi udara
tidak sehingga dapat disangka sebagai Rinne negatif. Penyebab dari keadaan ini
adalah telinga kontralateral yang masih sehat mendengar konduksi tulang karena
getaran merambat melintasi tengkorak. Kesalahan ini dapat dihindari dengan
pengaplikasian masking pada telinga yang masih sehat.9
10

A B

Gambar 4. Tes Rinne. A. Hantaran tulang. B. Hantaran udara. 19

2.4 Tes Schwabach


Tes Schwabach membandingkan hantaran tulang pasien dengan hantaran
tulang pemeriksa.9 Garpu tala digetarkan dan kakinya ditempelkan pada prosesus
mastoid pasien. Pasien diminta memberi tanda ketika dirinya tidak lagi
mendengar suara garpu tala, kemudian garpu tala dipindahkan ke mastoid
pemeriksa. Pemeriksa mendengarkan apakah benar suara garpu tala telah hilang.
Tes ini kemudian diulangi dengan menggetarkan garpu tala lalu menempelkannya
pada mastoid pemeriksa. Setelah pemeriksa tidak lagi mendengar bunyi garpu
tala, garpu tala dipindah ke mastoid penderita dan penderita ditanya apakah masih
mendengar bunyi garpu tala atau tidak.13
Pasien dengan fungsi pendengaran yang normal akan mendengar garpu tala
dengan durasi sama dengan pemeriksa. Pasien dengan gangguan pendengaran
sensorineural akan berhenti mendengar bunyi garpu tala sebelum pemeriksa
(Schwabach memendek). Pasien dengan gangguan dengar konduktif akan
mendengar suara garpu tala dengan durasi lebih panjang daripada pemeriksa
(Schwabach memanjang).13

2.5 Tes Bing


Tes Bing dikerjakan untuk menilai efek oklusi pada hantaran tulang.9 Garpu
tala digetarkan lalu kakinya ditempelkan pada pertengahan kepala seperti pada tes
Weber kemudian tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai menutup liang
telinga sehingga terdapat kurang pendengaran konduktif kira – kira 30 dB. 19
Pasien dengan pendengaran yang normal atau gangguan dengar sensorineural
ringan akan mendengar suara garpu tala lebih keras saat KAE ditutup dan
11

mendengar suara lebih lemah saat KAE dibuka. Pasien dengan gangguan dengar
konduksi tidak akan mendengarkan perbedaan kekerasan suara saat KAE dibuka
atau ditutup.13

2.6 Tes Stenger


Tes ini digunakan pada pemeriksaan kurang pendengaran anorganik. Pasien
yang berpura – pura mengalami gangguan pendengaran dapat diperiksa
kebenarannya menggunakan tes ini. Prinsip dari pemeriksaan ini adalah adanya
efek masking. Seorang pasien yang berpura – pura kurang pendengaran pada satu
sisi telinga, misalnya pada sisi kiri, jika diberikan diperdengarkan garpu tala pada
telinga kanan kemudian secara tidak terlihat oleh pasien digetarkan sebuah garpu
tala yang identik pada telinga kiri, maka karena adanya efek masking suara garpu
tala di telinga kanan akan menghilang. Ini menunjukkan adanya fungsi
pendengaran pada telinga kiri yang dikatakan mengalami gangguan pendengaran
oleh pasien. Bila pada kenyataannya pasien benar – benar mengalami gangguan
pendengaran pada telinga kiri maka suara garpu tala di telinga kanan akan tetap
didengar.19
12

RINGKASAN
Garpu tala adalah alat yang terbuat dari metal, berbentuk seperti garpu
dengan dua ujung yang dirancang untuk dapat mengeluarkan bunyi dengan
frekuensi tertentu bila dipetik dan satu ujung lain sebagai kaki. Garpu tala telah
dipergunakan sebagai alat pemeriksa pendengaran sejak abad ke-19. Berbagai tes
pendengaran menggunakan garpu tala telah dikembangkan.
Pemeriksaan gangguan pendengaran yang lazim dikerjakan dalam praktek
klinis adalah tes batas atas batas bawah, tes Weber, tes Rinne, tes Schwabach, dan
tes Bing. Tes Stenger dikerjakan apabila ada kecurigaan pasien berpura – pura
mengalami kurang dengar. Tes garpu tala berguna untuk memperkirakan adanya
gangguan dalam konduksi suara dalam sistem pendengaran manusia. Tes garpu
tala mampu memberikan perkiraan dan membedakan adanya gangguan dengar
tipe konduksi atau tipe sensorineural. Kelemahan pemeriksaan garpu tala antara
lain interpretasi hasil dari pemeriksaan garpu tala bersifat subjektif dan teknik
pemeriksaan yang bervariasi antar pemeriksa sehingga mempengaruhi hasil
pemeriksaan dan tidak bisa digunakan untuk mengetahui derajat gangguan
pendengaran penderita.
13

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Deafness and hearing loss. 2020. Available


from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/deafness-and-
hearing-loss Accessed July 19, 2020.
2. Ahmed AO, Tsiga-Ahmed FI, Hasheem MG, Ajiya A. Hearing screening
techniques for referral purposes: our experience from a rural setting. Ann
Trop Med Public Heal 2013;6(2):173–8.
3. Fitzgerald MB, Jackler RK. Assessment of hearing during the early years
of the american otological society. Otol Neurotol 2018;39(5):30–42.
4. Dickens O. Tuning fork tests : a basic primary hearing assessment approach
to improving clinical efficiency. Community Ear Hear Heal 2011;8(11):6–
8.
5. Bayoumy AB, De Ru JA. Sudden deafness and tuning fork tests: towards
optimal utilisation. Pract Neurol 2020;20(1):66–8.
6. Singh R, Singh H, Hashim HZ, Mohamad I. A rare complication of tuning
fork test. Indian J Otol 2017;23(4):264–6.
7. Butskiy O, Desmond A N. Diagnostic accuracy of parallel vs perpendicular
orientation of the tuning fork in the identification of conductive hearing
loss. JAMA Otolaryngol Neck Surg 2018;144(3):275–6.
8. Phonpornpaiboon P, Suvarnsit K, Prakairungthong S. Re - evaluation of
rinne test with aluminum alloy tuning fork 256 hz and 512 hz. Siriraj Med J
2019;71(2):127–30.
9. Dhingra P, Shruti D, Deeksha D. Anatomy of ear. In: Dhingra P, Shruti D ,
eds. Diseases of ear, nose and throat & head and Neck Surgery. 6th ed.
New Delhi: Elsevier; 2014. p. 2–12.
10. Khariwala S, Weber PC. Anatomy and physiology of hearing. In: Johnson
JT, Rosen CA, eds. Bailey’s head and neck surgery otolaryngology. 5th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 2253–72.
11. Martin BLL, Martin GK, Luebke AE. Physiology of the auditory and
vestibular system. In: Ballenger JJ, Snow JB, eds. Ballenger`s
otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed. Ontario: BC Decker
Inc; 2003. p. 68–96.
12. Moller AR. Sound conduction to the cochlea. In: Moller AR, ed. Hearing :
anatomy, physiology, and disorders of the auditory system. 2nd ed.
California: Elsevier; 2006. p. 19–32.
13. Campbell K, Peck J. Audiology. In: Chan Y, Goddard JC, eds. Kj lee`s
essential otolaryngology head & neck surgery. 11th ed. New York:
McGraw Hill; 2016. p. 241–81.
14. Stach BA. The nature of hearing. In: Stach BA, ed. Clinical audiology: an
introduction. 2nd ed. New York: Delmar; 2010. p. 41–99.
15. Steiger JR. Bone conduction evaluation. In: Katz J, Chasin M, English K,
Hood LJ, Tillery KL, eds. Handbook of clinical audiology. Philadelphia:
Wolters Kluwer; 2015. p. 49–58.
16. British Society of Audiology. Recommended procedure Rinne and Weber
14

tuning fork tests. Br J Audiol 2016;21(May):1–10.


17. Soedjak S, Rukmini S, Herawati S, Sukesi S. Pemeriksaan telinga. Dalam :
Rukmini S, Herawati S, ed. Teknik pemeriksaan telinga, hidung &
tenggorok. 1st ed. Jakarta: EGC; 2000. hal. 1–23.
18. Wiyadi MS. Pemeriksaan fungsi pendengaran. Dalam: Yusuf M, Wiyadi
MS, Kentjono WA, Herawati S, Pawarti DR, ed. Pedoman praktek klinis
telinga hidung tenggorok bedah kepala dan leher. Surabaya: DEPT-SMF
Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Soetomo FK Universitas Airlangga;
2016. hal. 33–6.
19. Wahid NWB, Hogan CJ, Attia M. Weber Test - Stat Pearls. 2020.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526135/
Accessed July 17, 2020.
20. Wiyadi MS, Hernomo SS, Iskandar A. Test garpu tala. Media Perhati
2000;6:5–8.

Anda mungkin juga menyukai