Anda di halaman 1dari 20

TES GARPU TALA

PENDAHULUAN
Pendengaran merupakan salah satu panca indera khusus manusia. Gangguan
pendengaran bagi seseorang dapat sangat merugikan karena menghambat komunikasi
individu dengan sekitarnya.
Audiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk fungsi
pendengaran yang erat hubungannya dengan habilitasi dan rehabilitasinya. Audioogi
medis dibagi atas audiologi dasar dan audiologi khusus, di mana audiologi dasar
adalah pengetahuan mengenai nada murni, bising, gangguan pendengaran serta cara
pemeriksaannya. Peranan tes pendengaran saat ini makin penting, terutama dalam
seleksi penerimaan pegawai/murid, dalam program kesehatan industri, serta untuk
membantu penegakan diagnosis penyakit pada telinga.1
Secara garis besar ketulian dibagi menjadi dua. Ketulian konduksi atau
disebut tuli konduksi dimana kelainan terletak antara meatus akustikus eksterna
sampai dengan tulang pendengaran stapes. Tuli konduksi ini biasanya mendapatkan
pengobatan yang hasilnya memuaskan, baik dengan medikamentosa atau dengan
suatu tindakan misalnya pembedahan. Tuli yang lain yaitu tuli persepsi (sensori
neural hearingloss) dimana letak kelainan mulai dari organ korti di koklea sampai
dengan pusat pendengaran di otak. Tuli persepsi ini biasanya sulit dalam
pengobatannya. Apabila tuli konduksi dan tuli persepsi timbul bersamaan, disebut tuli
campuran.2
Untuk mengetahui jenis ketulian diperlukan pemeriksaan pendengaran. Dapat
dari cara yang paling sederhana sampai dengan memakai alat elektro-akustik yang
disebut audiometer. Dengan menggunakan audiometer ini jenis ketulian dengan
mudah dapat ditentukan.2

Tes pendengaran digunakan untuk mengetahui ketajaman pendengaran


seseorang. Sebelum diperkenalkannya pemeriksaan audiometri nada murni pada
tahun 1940, uji-uji klinis adalah satu-satunya cara untuk mengevaluasi pendengaran.
Kebanyakan tes menggunakan suara manusia ataupun garpu tala. Saat ini
pendengaran lebih sering dievaluasi menggunakan audiometri. Namun metode ini
tidak selalu tersedia.2
Dengan semakin sering atau menjadi rutinnya pemeriksaan pendengaran
dilakukan di ruang praktek, maka semakin besar keahlian yang dapat dikembangkan
pemeriksa dalam aplikasi praktis dan penggunaannya. Ada beberapa macam tes
pendengaran yaitu tes pendengaran dengan suara (tes bisik), tes garpu tala, tes
pendengaran dengan alat-alat lain (alat Barany, seruling Galton, detik jam, dll.), serta
dengan menggunakan audiometri.3,4
Referat ini akan membahas Tes Garpu Tala, yaitu suatu pemeriksaan untuk
mengevaluasi fungsi pendengaran individu secara kualitatif dan menilai hantaran
suara melalui udara dan melalui tulang, dengan memakai suatu alat khusus berupa
seperangkat garpu tala berfrekuensi rendah sampai tinggi (128 Hz 2048 Hz).
Sebelumnya juga akan dibahas sekilas mengenai anatomi dan fisiologi sistem
pendengaran untuk lebih memudahkan dalam memahami prinsip tes garpu tala.
ANATOMI SISTEM PENDENGARAN
Secara anatomi, telinga terdiri dari 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah, dan
telinga dalam.
a.

Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula) dan liang telinga (meatus
akustikus eksternus), sampai dengan membran timpani. Daun telinga terdiri dari
tulang rawan elastis dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka
tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam

rangkanya terdiri dari tulang. Pada orang dewasa panjangnya kira-kira 1 inci
(2,5cm).1,5
Pada sepertiga bagian luar meatus adalah kartilago elastis, dan dua pertiga
bagian dalam adalah tulang. Sepertiga luar kulit liang telinga terdapat banyak
kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan rambut.
Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga
bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.1,5

Gambar 1.Penampang umum telinga (Dikutip dari kepustakaan no.6)


b.

Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas-batas sebagai berikut:

Batas lateral : membran timpani


Batas anterior : tuba eustachius
Batas inferior : vena jugularis (bulbus jugularis)
Batas posterior: additus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis
Batas superior : tegmen timpani
Batas medial : kanalis semisirkularis horizontal, kanalis facialis, oval
window, round window dan promontorium1

Membran timpani adalah membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu


mutiara, serta berbentuk bundar (diameter lebih-kurang 1 cm) dan cekung bila
dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga.
Bagian atas disebut pars flaksida (membrane Shrapnell), sedangkan bagian
bawah pars tensa (membrane propria). Pada pars flaksida terdapat daerah yang
disebut atic. Di tempat ini terdapat additus ad antrum, yaitu lubang yang
menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.1,5
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada memban timpani
disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke
arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membrana timpani kiri dan pukul 5 untuk
membran timpani kanan. Refleks cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan
oleh membran timpani.1
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan processus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di
umbo, sehingga didapatkan bagian superior anterior, superior posterior, inferior
anterior, dan inferior posterior, untuk menyatakan letak perforasi membran
timpani.1
Di dalam telinga tengah juga terdapat tulang pendengaran yang saling
berhubungan. Processus longus maleus melakat pada membrane timpani, maleus
melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap
lonjong yang berhubungan dengan koklea di telinga dalam. Hubungan antar
tulang tulang pendengaran berupa persendian.1
Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah, yang menghubungkan
telinga tengah dengan daerah nasofaring. Sepertiga bagian lateral adalah tulang
dan dua pertiga bagian medial adalah kartilago.5
c.

Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibulum yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung puncak dari
4

koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilemfe skala timpani dengan


skala vestibuli.1

Gambar 2. (Dikutip dari kepustakaan no.6)


Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule sebelah atas, skala
timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) di antaranya. Skala
vestibuli dan skalai timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa.
Dasar skala vesstibuli disebut sebagai membrane vestibule sedangkan dasar skala
media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organo corti.1
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung macula yang diliputi oleh sel-sel
rambut yang ditutupi oleh lapisan gelatinosan yang ditembus oleh silia, dan pada
lapisan ini terdapat pula otolit yang berperan dalam proses keseimbangan.1
FISIOLOGI SISTEM PENDENGARAN
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membrantimpani, diteruskan ke telinga tegah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan

tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes
yang menggerakkan tingkap lonjong, sehingga perilimfe pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe,
sehingga akan menimbulkan

gerak relatif antara membran basais dan membran

tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya


defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditoris, lalu dilanjutkan ke nukleus
auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.1,7
Suara yang datang ke koklea dapat melalui tiga jalan: melalui sistem osikuler,
melalui udara, atau melalui tulang-tulang tengkorak. Tanpa adanya sistem osikuler
dan membran timpani, gelombang suara dapat langsung melalui telinga bagian
tengah ke foramen ovale dan koklea, akan tetapi kepekaan pendengaran menjadi 30
dB lebih rendah dari penghantaran osikuler.7
DESKRIPSI GARPU TALA
Garpu tala pertama kali ditemukan pada tahun 1711 oleh John Shore, seorang
musisi Inggris. Garpu tala merupakan sebuah alat resonator akustik yang berbentuk
garpu dengan dua tanduk yang membentuk huruf U, dan terbuat dari logam. Alat ini
akan beresonansi menghasilkan nada spesifik yang konstan, bila digetarkan dengan
cara memukulkannya pada suatu permukaan atau benda.8
Terdapat berbagai jenis perangkat garpu tala yang menghasilan nada-nada
yang berbeda (C,A,F, dan lain-lain) dengan tingkat frekuensi yang berbeda pula (128
Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, dan sebagainya). Tinggi rendah nada yang dihasilkan
tergantung pada ukuran panjang dari kedua tanduk garpu tala.

Gambar 3. Jenis garpu tala berdasar frekuensi. Dari kiri ke kanan: 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz,
1024 Hz, 2048 Hz, and 4096 Hz.

(Dikutip dari kepustakaan no.8)


Perangkat garpu tala ini awalnya digunakan sebagai patokan untuk menyetel
nada dari instrumen-instrumen musik, dikarenakan garpu tala menghasilkan nada
yang sangat murni. Alasan lainnya adalah karena saat garpu tala digetarkan, gerakan
dari tangkai garpu amatlah kecil, sehingga garpu dapat dipegang tanpa mengganggu
getaran dari kedua ujungnya. Ini disebabkan karena adanya node (titik di mana tidak
terjadi getaran) pada pangkal dari masing-masing tanduk garpu tala.8
Penggunaan garpu tala di bidang medis sudah diterapkan sejak abad ke-19.
Salah satu penggunaan garpu tala dalam pemeriksaan pendengaran yang tercatat
dalam sejarah dilakukan oleh Ng dan Jackler pada tahun 1993. Sebelum itu, Sheehy,
Gardner, dan Hambley (1971) mendiskripsikan beberapa tes lain yang jarang
digunakan. Hinch-cliffe (1987) memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai
tes garpu tala.2
PRINSIP TES GARPU TALA

Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran suara


melalui udara dan melalui tulang. Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli
konduktif, berarti ada kelainan pada telinga luar atau telinga tengah. Kelainan pada
telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural.1
Hantaran udara menggunakan telinga luar dan tengah untuk menghantarkan
bunyi ke koklea dan seterusnya. Hantaran ini dianggap jalan yang lazim untuk
transmisi bunyi. Pada hantaran tulang , tulang tengkorak dibuat bergetar dengan jalan
menempelkan benda yang bergetar secara periodik, dalam hal ini garpu tala.
Rangsang yang dihantarkan tulang diduga menggetarkan cairan koklearis tanpa
melewati telinga luar dan tengah. Bekesy (1932) memperlihatkan bahwa pola getaran
koklearis adalah sama tanpa memandang apakah bunyi dihantarkan melalui tulang
ataupun udara.4
Jika komponen sensorineural normal, sedangkan seluruh sistem hantaran
udara terganggu (hantaran tulang > hantaran udara), maka gangguan diduga
merupakan akibat kerusakan bagian sistem lainnya, yaitu telinga tengah dan/atau
telinga luar yang tidak terukur dengan temuan hantaran tulang yang normal.
Sebaliknya bila hantaran tulang tidak lebih peka dari hataran udara (hantaran tulang <
hantaran udara), maka gangguan total diduga sebagai akibat kerusakan atau
perubahan pada mekanisme koklearis atau retrokoklearis.4
Secara fisiologik telinga dapat mendengar nada antara 20 hingga 18000 Hz.
Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif adalah antara 500 2000 Hz. Oleh
karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala dalam rentang frekuensi
normal tersebut.1
Tes garpu tala dilakukan untuk mengevaluasi sensitivitas pendengaran
seseorang terhadap berbagai frekuensi suara. Tes ini juga dapat menentukan jenis
ketulian yang diderita oleh pasien. Tes ini menggunakan seperangkat garpu tala yang
menghasilkan nada C dari skala musik, dengan frekuensi berbeda-beda (128 Hz, 256
Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz, 4096 Hz, dan 8192 Hz). Hz adalah singkatan dari
hertz yang merupakan istilah kontemporer dari siklus per detik. Pada umumnya
8

dipakai garpu tala frekuensi 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz. Jika hanya memakai satu
garpu tala, maka digunakan frekuensi 512 Hz karena penggunaan garpu tala ini tidak
terlalu dipengaruhi suara bising di sekitarnya. Garpu tala dengan frekuensi yang
terlalu tinggi akan berhenti bergetar terlalu cepat.1,4
Cara Membunyikan Garpu Tala
Garpu tala dipegang dipegang pada tangkainya, kemudian salah satu dari
tanduk garpu tala dipukulkan pada permukaan yang berpegas, seperti punggung
tangan atau siku. Garpu tala sebaiknya tidak dipukulkan pada ujung meja atau benda
keras lainnya karena akan menghasilkan nada yang berlebihan, yang ada kalanya
dapat terdengar dari jarak yang cukup jauh dari garpu tala, atau bahkan dapat
menyebabkan kerusakan dan perubahan yang menetap pada pola getar garpu tala.2,4
JENIS-JENIS TES GARPU TALA
Pemeriksaan garpu tala merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai jenis tes
garpu tala, dan dalam referat kali ini akan membahas enam jenis di antaranya, yakni
Tes batas atas dan batas bawah, Tes Rinne, Tes Weber, Tes Schwabach, Tes Bing, dan
Tes Stenger. Tes-tes tersebut memiliki tujuan khusus yang berbeda satu sama lain, dan
hasilnya akan saling melengkapi untuk menentukan diagnosis.1
1. Tes Batas Atas dan Batas Bawah
Tujuan

Menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar penderita melalui hantaran
udara bila dibunyikan pada intensitas ambang normal.
Cara pemeriksaan :
Semua garpu tala (dapat dimulai dari frekuensi terendah berurutan hingga
frekuensi tertinggi, atau sebaliknya) dibunyikan satu per satu. Bunyi didengarkan
terlebih dahulu oleh pemeriksa sampai bunyi hampir hilang (untuk mencapai
intensitas bunyi yang terendah bagi orang normal/ nilai ambang normal), kemudia
9

diperdengarkan pada penderita dengan meletakkan ujung garpu tala pada jarak 1-2
cm dari Meatus Akustikus Eksternus (MAE) telinga yang in gin diperiksa, dalam
posisi tegak dan kedua kaki garpu tala pada garis yang menghubungkan MAE
kanan dan kiri. Penderita diminta mengangkat tangan jika mendengar bunyi dari
garpu tala.
Interpretasi

Normal

: mendengar garpu tala pada semua frekuensi

Tuli konduktif

: batas bawah naik (penderita tidak dapat mendengar bunyi

dengan frekuensi rendah)


Tuli sensori neural : batas atas turun (penderita tidak dapat mendegar bunyi
dengan frekuensi tinggi).2,4
2. Tes Rinne
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran udara dengan hantaran tulang
pada telinga yang diperiksa. Dalam keadaan normal, hantaran suara melalui udara
lebih baik daripada hantaran suara melalui tulang. Juga pada tuli sensorineural
hantaran udara lebih panjang daripada hantaran tulang. Di lain pihak pada tuli
konduktif hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara. Jika penyakit
menghalangi hantaran gelombang suara yang normal, maka hantaran melalui
tulang akan mengatasi kesulitan ini.1,9
a. Cara pemeriksaan.: Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara lunak pada
tangan dan pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum dari telinga yang
akan diperiksa. Kepada penderita ditanyakan apakah mendengar dan sekaligus
di instruksikan agar mengangkat tangan bila sudah tidak mendengar. Bila
penderita mengangkat tangan garpu tala dipindahkan hingga ujung bergetar
berada kira-kira 3 cm di depan meatus akustikus eksternus dari telinga yang
diperiksa. Bila penderita masih mendengar dikatakan Rinne (+). Bila tidak
mendengar dikatakan Rinne (-)

10

Gambar 4. Mekanisme Tes Rinne.


(Dikutip dari kepustakaan no.10)
b. Evaluasi test rinne. Rinne positif berarti normal atau tuli sensorineural. Rinne
negatif berarti tuli konduktif.
c. Rinne Negatif Palsu. Dalam melakukan test rinne harus selalu hati-hati
dengan apa yang dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi pada tuli
sensorineural yang unilateral dan berat. Pada waktu meletakkan garpu tala di
Planum mastoideum getarannya ditangkap oleh telinga yang baik dan tidak di
test (cross hearing). Kemudian setelah garpu tala diletakkan di depan meatus
acusticus externus getaran tidak terdengar lagi sehingga dikatakan Rinne
negatif.4

3. Tes Schwabach
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita dengan
hantaran tulang pemeriksa dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus normal.
Dasar: Gelombanggelombang dalam endolymph dapat ditimbulkan oleh getaran

11

yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui tengkorak khususnya
os.temporale.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh secara
lunak diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum penderita. Kemudian
kepada penderita ditanyakan apakah mendengar, sesudah itu sekaligus
diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila sudah tidak mendengar
dengungan. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala segera dipindahkan
ke planum mastoideum pemeriksa. Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih
mendengar dikatakan schwabach memendek atau pemeriksa sudah tidak
mendengar lagi. Bila pemeriksa tidak mendengar harus dilakukan cross yaitu
garpu tala mula-mula diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa
kemudian bila sudah tidak mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan ke
planum mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita mendengar
dengungan. Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach normal
dan bila masih mendengar dikatakan schwabach memanjang.
b. Evaluasi test schwabach
1. Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungan
dan keadaan ini ditemukan pada tuli sensorineural
2. Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar dengungan dan
keadaan ini ditemukan pada tuli konduktif
3. Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak
mendengar dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti telinga
penderita normal juga.4
4. Tes Weber
Tujuan
:
Membandingkan hantaran tulang pada kedua telinga penderita
Cara pemeriksaan :
Tes ini menggunakan garpu tala frekuensi 512 Hz. Garpu tala tersebut dibunyikan,
kemudian tangkainya diletakkan tegak lurus di garis median tubuh, biasanya di
dahi (dapat pula di vertex, dagu, atau pada gigi insisivus) dengan kedua kaki pada
12

garis horizontal. Penderita diminta untuk menunjukkan telinga mana yang


mendengar lebih keras. Mendengar bunyi, atau merasakan getarannya pada bagian
tengah adalah respon normal. Jika bunyi tersebut tidak terdengar di bagian tengah,
bunyi tersebut dikatakan mengalami lateralisasi. Bila penderita mendengar lebih
baik pada salah satu telinga, maka dikatakan Tes Weber lateralisasi ke sisi telinga
tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih
keras, disebut Tes Weber tidak ada lateralisasi.1,9

Gambar 5. Tes Weber (Dikutip dari kepustakaan no.10)


Interpretasi
:
Jika nada terdengar pada telinga yang dilaporkan lebih buruk, maka tuli konduktif
perlu dicurigai pada telinga tersebut. Jika terdengar pada telinga yang lebih baik,
maka dicurigai tuli sensorineural pada telinga yang terganggu.4
Karena tes Weber menilai kedua telinga sekaligus, maka kemungkinan hasil
interpretasi dapat lebih dari satu. Contoh: bila ditemukan hasil tes Weber adalah
lateralisasi ke kanan, maka dapat diinterpretasikan:
1. Telinga kanan tuli konduktif dan telinga kiri normal, atau
2. Telinga kanan tuli konduktif dan telinga kiri tuli sensorineural, atau
3. Telinga kanan normal dan telinga kiri tuli sensorineural, atau
4. Kedua telinga tuli konduktif, di mana telinga kanan lebih berat, atau
5. Kedua telinga tuli sensori neural, di mana telinga kiri lebih berat.9

13

Tes Weber sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan unilateral, namun


dapat meragukan bila terdapat gangguan konduktif maupun sensorineural
(campuran), atau bila hanya menggunakan penala frekuensi tunggal. Klinisi harus
melakukan Tes Weber bersama tes lainnya dan tidak boleh diinterpretasi secara
tersendiri.4
5. Tes Bing
Tes Bing adalah aplikasi dari apa yang disebut sebagai efek oklusi, dimana garpu
tala terdengar lebih keras bila telinga normal ditutup. Bila liang telinga ditutup dan
dibuka bergantian saat garpu tala bergetar ding mengtempelkan pada mastoid,
maka telinga normal akan menangkap bunyi mengeras dan melemah (Bing
positif). Hasil serupa akan didapat pada gangguan pendengaran sensorineural,
namun pada pasien dengan perubahan mekanisme konduktif seperti penderita
otitis media atau otosklerosis, tidak menyadari adanya perubahan kekerasan bunyi
tersebut (Bing negatif). 4
6. Tes Stenger
Tes ini digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau pada pasien
yang pura-pura tuli).
Cara pemeriksaan:
Misalkan pada seseorang yang berpura-pura tuli pada telinga kiri. Dua buah garpu
tala yang idengtik digetarkan dan masing-masing diletakkan di depan telinga kiri
dan kanan, dengan cara tidak kelihatan oleh pasien. Garpu tala pertama digetarkan
dan diletakkan di depan telinga kanan (yang normal) sehingga jelas terdengar.
Kemudian garpu tala yang kedua digetarkan lebih keras dan diletakkan di depan
telinga kiri (yang pura-pura tuli).
Interpretasi:
Apabila kedua telinga normal karena adanya efek masking, hanya telinga kiri yang
mendengar bunyi (karena garpu tala pada telinga kiri digetarkan lebih keras).

14

Telinga kanan tidak akan mendengar bunyi. Tetapi bila telinga kiri tuli, telinga
kanan akan tetap mendengar bunyi.1
REALIBILITAS DAN VALIDITAS
Dengan berulang-ulang melakukan uji penala secara cermat, pemeriksa dapat
menjadi ahli dalam pemakaiannya. Masalah realibilitas (atau dapat diulang) timbul
dari penilaian yang salah baik oleh pasien maupun pemeriksa mengenai saat tidak
lagi terdengar di mana bunyi perlahan-lahan menghilang. Uji-uji ini makin sulit
dilaksanakan pada anak dan pasien dengan perhatian yang terbatas.4
Klinisi harus menghindari penggunaan garpu tala frekuensi rendah (128 dan
256 Hz) karena memerlukan pengendalian kebisingan lingkungan, misalnya dalam
ruangan kedap suara. Untuk alasan fisik, hasil Tes Bing yang bermanfaat biasanya
akan lebih baik bila menggunakan garpu tala 512 Hz dan bukannya 1000 atau 2000
Hz.4
Kesalahan yang lazim terjadi pada tes Rinne dan Schwabach disebabkan oleh
sifat-sifat hantaran tulang. Getaran garpu tala yang ditempelkan pada mastoid kanan
tidak hanya menggetarkan tulang temporal kanan, tapi juga seluruh kepala; dengan
demikian telinga kiri juga terangsang pada saat yang sama. Peredaman melintasi
kepala adalah minimal. Pada tes Rinne, jawaban terhadap stimulus hantaran tulang
akan merefleksikan telinga dengan hantaran tulang yang lebih baik, tanpa
memperhatikan telinga mana yang

mungkin. Karena itu dimungkinkan untuk

memperoleh respon hantaran tulang dari telinga kiri saat menguji telinga kanan. Dan
bila hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara, maka hasilnya adalah Rinne
negatif palsu.4
Denga mekanisme serupa, suatu tes Schwabach yang meningkat atau
memanjang untuk telinga kanan sebenarnya dapat saja merupakan respon telinga kiri
dengan hantaran tuang lebih baik dari telinga kanan. Insidens Rinne negatif palsu dan
Schwabach memanjang pasu dapat dikurangi dengan meminta pasien memberitahu
letak gangguan pendengarannya. Juga dapat dikendalikan dengan memasang bising

15

penyamar (masking noise) pada telinga yang tidak diperiksa, misalnya dengan alat
penyamar seperti Barany buzzer. Hal ini peru dilakukan dengan hati-hati karena
bising penyamar yang berintensitas tinggi tersebut dapat saja dilateralisasi melintasi
tulang tengkorak dan sampai ke telinga yang diuji.4
Karena masalah-masalah validitas dan reliabilitas ini, maka sebaiknya
digunakan

serangkaian

tes

garpu

tala

yang

memberi

kesempatan

untuk

membandingkan indikasi pengujian, daripada hanya bergantung pada satu tes saja.4
KESIMPULAN
Tes garpu tala merupakan salah satu metode pemeriksaan fungsi pendengaran
secara kualitatif dengan menggunakan seperangkat alat garpu tala dengan berbagai
frekuensi. Terdapat beberapa jenis tes garpu tala yang memiliki prinsip berbeda
dengan tujuan khusus masing-masing, antara lain Tes Batas Atas dan Batas Bawah,
tes Rinne, Tes Schwabach, Tes Weber, tes Bing, dan Tes Stenger. Tes-tes tersebut
memiliki tujuan khusus yang berbeda satu sama lain, dan hasilnya akan saling
melengkapi untuk menentukan diagnosis.
Garpu tala yang digunakan untuk Tes Batas Atas dan Bawah adalah garpu tala
dengan frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz. Sementara Tes
Rinne, tes Schwabach, dan tes Weber memakai garpu tala dengan frekuensi 512 Hz,
karena mewakili frekuensi percakapan normal.
Melalui pemeriksaan garpu tala, dapat dievaluasi sensitivitas pendengaran
seseorang terhadap berbagai frekuensi suara. Selain itu tes garpu tala juga
membandingkan hantaran udara dan tulang, sehingga dapat menentukan jenis
ketulian yang dialami penderita, apakah tuli konduktif atau tuli sensorineural.
Tes-tes garpu tala memiliki beberapa masalah dalam validitas dan reliabilitas,
maka sebaiknya digunakan serangkaian tes garpu tala yang memberi kesempatan
untuk membandingkan indikasi pengujian, daripada hanya bergantung pada satu tes
saja.

16

Ringkasan Interpretasi Beberapa Tes Garpu Tala


Tuli Konduktif
Normal
Naik
Negatif

Tes
Batas Atas
Batas Bawah
Rinne

Tuli Sensorineural
Menurun
Normal
Positif

Memanjang
Lateralisasi ke telinga yang

Schwabach
Weber

False positive/negative
Memendek
Lateralisasi ke telinga yang

sakit

sehat

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran dan kelainan


telinga. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,eds. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga-hidung-tenggorok kepala leher. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2001. h.9-21.
2. Wilyadi, MS. Ketulan: Pemeriksaan dan Penyebabnya. Bagian Ilmu Penyakit
Telinga, Hidung, dan Tenggorok. Surabaya: FK UNAIR; 2009. Hal. 47-49
3. Henny, K. Tes Pendengaran. [online]. [cited 2011Dec 29]. Available from URL:
http://www.news-medical.net/health/Balance-Disorder-Diagnosis .aspx

4. Lassman FM, Levine SC, Greenfield DG. Audiologi. Dalam: Adams GL,
Boies LR, Higler PA,eds :6. Boies buku ajar penyakit tht. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 1997. h.46-50

17

5. Menner, Albert. Useful Anatomy and Funtion. In: A Pocket Guide to The ear.
USA: Thime New York; 2003. P.13-21
6. Moller,A.R. Hearing. Second edition. Anatomy, Physiology and Disorders of
the Audiotory System. USA : Elsevier. 2006. P : 18-25.
7. Pasha,R, L.Burgio. Denis. Bujrab. Otology and Neurotology. In: Pasha R.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. USA: Clinical Reference Guide.
2003. P. 293-298
8. Anonim. Tuning fork. [online]. 2002. [cited 2010 july 25]. Available from
URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Tuning_fork
9. Anonim. Telinga. Dalam: Glynn Mc-Burnside,eds 17. Diagnostik fisik.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 1995. h.137-39.
10. Davidson,dr. Head and Neck History and Physical Examination. Available
from URL : http://drdavidson.ucsd.edu/portals/0/cmo/CMO_01.htm

18

LAMPIRAN
REFERENS

19

20

Anda mungkin juga menyukai