Anda di halaman 1dari 32

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN GANGGUAN PENDENGARAN

PADA ANAK
Ralph Lukas, Adlin Adnan

PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran adalah kelainan perkembangan saat lahir yang paling
umum. Identifikasi gangguan pendengaran dari usia 6 bulan dan kombinasi kualitas
layanan intervensi dini dikaitkan dengan perkembangan bahasa pada atau dekat tingkat
pembangunan tipikal. Perkembangan bahasa dan literasi sesuai usia membutuhkan
perhatian awal dan berkelanjutan untuk pengembangan keterampilan, dan untuk
mencegah efek gangguan pendengaran pada pengembangan keterampilan dan sosialisasi
harus diutamakan untuk mengidentifikasi anak dengan gangguan pendengaran
(Anderson, 2011).
Menurut WHO, saat ini diperkirakan ada 360 juta orang (5.3%) di dunia
mengalami gangguan pendengaran, 328 juta (91%) diantaranya adalah orang dewasa
(183 juta laki-laki, 145 juta perempuan) dan 32 juta (9%) adalah anak-anak. Prevalensi
gangguan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi gangguan
pendengaran pada orang di atas usia 65 tahun bervariasi antara 18 - 50% di seluruh
dunia. Serta diperkirakan 20% orang dengan gangguan pendengaran membutuhkan alat
bantu dengar. Namun produksi alat bantu pendengaran saat ini hanya memenuhi 10%
dari kebutuhan global dan hanya memenuhi 3% dari kebutuhan di negara berkembang.
Dari hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4 negara di
Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi, yaitu sebesar (4,6%)
(Kemenkes, 2013).
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran pada anak diperlukan
pemeriksaan fungsi pendengaran yang lebih sulit dibandingkan orang dewasa.
(Hendarmin, 2007) Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan adalah:

Behavioral Observation Audiometry (BOA), Otoacoustic Emission (OAE), Brainstem

Evoked Response Audiometry (BERA), timpanometri, Auditory Steady-State Response

(ASSR), dan Pure Tone Audiometri (PTA) (Paludeti, 2012).


ANATOMI TELINGA
Organ pendengaran dibagi mnejadi organ pendengaran perifer dan sentral. Organ
pendengaran perifer secara anatomi terdiri dari telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam sampai ke batang otak. Sedangkan organ pendengaran sentral dimulai dari batang
otak sampai korteks serebri (Suwento, 2007).
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga luar sampai membrane
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk
huruf S. Sepertiga bagian luar kerangkanya dibentuk oleh tulang rawan. Dua pertiga
sisanya dibentuk oleh tulang. Telinga tengah adalah ruang kecil antara membran
timpani dan telinga dalam. Tulang-tulang pendengaran seperti malleus, inkus, dan
stapes terletak di telinga tengah. Telinga dalam disebut juga organ labirin. Labirin
memiliki bagian vestibuler dan koklear (Dhingra, 2006).
Koklea merupakan organ yang memiliki hubungan dnegan fungsi pendengaran.
Koklea berbentuk melingkar seperti rumah siput dengan 2 ¾ lingkaran sepanjang
3.5cm. Aksis dibentuk oleh dinding dalam sel koklea menyerupai spiral disebut sebagai
modiolus. Sepanjang modiolus terdapat kanalis longitudinalis modioli berisi serabut
saraf dari nervus koklearis. Rongga koklea dibagi menjadi 3 bagian yaitu duktus
koklearis atau skala media yang berisi endolim di bagian tengah, bagian atas adalah
skala vestibule berisi perilim dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh selaput halus
terdiri 2 lapis sel disebut membrane Reissner. Bagian bawah yaitu skala timpani juga
mengandung perilim, dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan
membrane basilaris. Perilim pada kedua skala berhubungan di apeks koklea melalui
suatu celah disebut helikopterma (Chi, 2003).
Penampang aksial duktus koklearis berbentuk segitiga dengan dasarnya dibentuk
oleh membrane basilaris yang terbentang dari tepi bebas lamina spiralis koklea ke
ligamentum spirale. Ligamentum spirale berhubungan dengan stria vaskularis yang
berisi banyak pembuluh darah kapiler dan mengandung sel-sel granuler tipe sekresi,
serta membentuk dinding luar skala media. Membrana basilaris sempit dan kaku pada
bagian basis, melebar dan lebih lembut di bagian apeks. Pada membrane spiralis
tersebut terletak organon spirale atau organon Corti yang mengandung organel penting
sebagai reseptor pendengaran. Organon Corti memiliki tiga bangunan penting yaitu sel
rambut (hair cell), sel penyokong dan membran tektoria. Sel-sel rambut terdiri atas satu
baris sel rambut dalam (inner hair cell) sebanyak kurang lebih 12000 sel (Gambar 1)
(Dhingra, 2006).
Serabut saraf VIII cabang auditorius di daam modiolus naik ke atas hingga ujungnya
mencapai sel rambut melalui saluran kecil di dalam lamina spiral osea, yaitu suatu
penonjolan keluar dari modiolus yang terletak pada duktus koklea di bagian sentral.
Badan sel neuron ini berkelompok sepanjang modiolus pada basis lamina spiral
membentuk ganglion spirale. Kedua susunan sel rambut dalam dan luar dipisahkan oleh
tonofibril sel pilar luar dan dalam yang berbentuk huruf V terbalik sehingga struktru
penyokong bagian tengah cukup kuat. Ruang diantara pilar tersebut adalah terowongan
Corti (Corti tunnel) yang berisi suatu cairan yang berbeda dengan endolim yaitu
kortilim yang mempunyai komposisi cairan sama dengan cairan serebrospinal (Dhingra,
2006).

b
.

Gambar 1. a. Struktur Koklea b. Potongan melintang koklea (Dhingra, 2006)


FISIOLOGI PENDENGARAN
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea (Gambar
2). Getaran tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan
tingkap lonjong. Oleh karena luas permukaan membran timpani 22 kali lebih besar dari
luas tingkap oval, maka terjadi penguatan tekanan gelombang suara 15-22 kali pada
tingkap oval. Selain karena luas permukaan membran timpani yang jauh lebih besar,
efek dari pengungkit tulang-tulang pendengaran juga turut berkontribusi dalam
peningkatan tekanan gelombang suara (Dhingra, 2006).
Energi getar yang telah diamplifikasikan ini akan diteruskan ke stapesyang
menggerakkan tingkap lonjong. Sehingga cairan perilimfa pada skala vestibuli bergerak.
Getaran ini diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basalis dan membran tektoria. Proses
ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia
sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik
dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran
(area 39-40) di lobus temporalis (Hendarmin, 2007)).
Hantaran tulang disebabkan telinga bagian dalam, koklea, tertanam dalam rongga
tulang di tulang temporal, yang disebut tulang yang labirin, getaran dari seluruh
tengkorak dapat menyebabkan getaran cairan di koklea sendiri.Oleh itu, pada
kondisiyang sesuai, garpu tala atau vibrator elektronik ditempatkan pada setiap tonjolan
tulang tengkorak, tapi terutama pada proses mastoid dekat telinga, menyebabkan orang
untuk mendengar suara. Namun, energy tersedia bahkan dalam suara keras di udara
tidak cukupmenyebabkan mendengar melaluikonduksi tulang kecuali khusus
elektromekanis perangkat suara-memperkuat diterapkan ke tulang (Chi, 2003).
Secara umum, kekerasan suara berkaitan tiga cara. Pertama, seiring suara menjadi
lebih keras, amplitudo getaran membran sel dan rambut basilar juga meningkat,
sehingga sel-sel rambut merangsang ujung saraf pada tingkat yang lebih cepat. Kedua,
semakin amplitudo getaran meningkat, itu menyebabkan semakin banyak sel-sel rambut
di pinggiran dari bagian beresonansi dari membran basilar untuk menjadi terangsang,
sehingga menyebabkan penjumlahan spasial impuls-yaitu, transmisi melalui banyak
saraf serat daripada melalui hanya beberapa. Ketiga, sel-sel rambut luar tidak menjadi
dirangsang secara signifikan hingga getaran membran basilar mencapai intensitas tinggi,
dan stimulasi sel-sel ini mungkin memaklumkan sistem saraf bahwa terdapat suara
keras (Sopeardi, 2008).
Nada berkaitan dengan frekuensi (jumlah gelombang persatuan waktu). Semakin
besar amplitudo, semakin keras suara; dan semakin tinggi frekuensi, semakin tinggi
nada. Namun, nada juga ditentukan oleh faktor-faktor lain yang belum sepenuhnya di
pahami selain frekuensi, dan frekuensi mempengaruhi kekerasan, karena ambang
pendengaran lebih rendah pada frekuensi tertentu dibandingkan dengan frekuensi lain.
Gelombang suara yang memiliki pola berulang, walaupun masing-masing gelombang
bersifat kompleks, didengar sebagai suara musik; getaran periodik yang tidak berulang
menyebabkan sensasi bising (Dhingra, 2006).

Gambar 2. Mekanisme Pendengaran (Dhingra, 2006)

JENIS GANGGUAN PENDENGARAN


Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran
yaitu tuli konduktif, tuli saraf (sensorineural deafness) serta tuli campuran (mixed
deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh
kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli saraf (perseptif,
sensorineural) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat
pendengaran, sedangkan tuli campuran, disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan
tuli saraf. Tuli campur dapat merupakan satu penyakit, misalnya radang telinga tengah
dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan,
misalnya tumor nervus VIII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli konduktif).
Jadi jenis ketulian sesuai dengan letak kelainan (Dhingra,2006).
Tabel 1. Klasifikasi dari faktor kongenital dan didapat dari tuli konduktif dan
sensorineural (Paludetti, 2012)

PENYEBAB GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK


Faktor penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak sebagai berikut (Tabel 1):
1. Penyebab prenatal
Ketulian masa prenatal dapat terkait dengan faktor genetik atau non genetik
a. Faktor genetik
Ketulian yang terjadi disebabkan karena organ telinga tidak berkembang normal,
mislanya koklea tidak berkembang normal. Kelainan ini bersifat autosomal
resesif. Beberapa kasus diantaranya disertai dengan kelainan kongenital lain
misalnya albinisme, hiperpigmentasi, atau penyakit Usher yang ditandai dengan
tuli sensorineural, retinitis pigmentosa yang progresif, rabun senja, katarak,
gangguan psikis, retardasi mental, afasia, dan gangguan keseimbangan. Lokalisasi
lesi penyakit ini di koklea dan saraf sentral (Suwanto, 2007).
b. Faktor non genetik
Trimester pertama kehamilan merupakan saat yang paling penting dan perlu
diperhatikan. Setiap gangguan atau kelainan yang terjadi disaat tersebut dpat
menyebabkan ketulian pada anak. Infeksi bakteri atau virus yang sering
menimbulkan kelainan pada bayi adalah toksoplasma, rubella, sitomegalovirus,
herpes dan sifilis (TORCHS). Selain itu parotitis dapat menyebabkan tuli
sensorineural. Kebanyakan infeksi tersebut menyebabkan kelainan di koklea, retro
koklea atau susunan saraf pusat dari janin (Paludetti, 2012).
2. Penyebab ketulian masa perinatal
Pada saat persalinan, bayi dapat mengalami risiko menderita gangguan pendengaran
atau ketulian. Berbagai penyebab ketulian perinatal misalnya lahir prematur, berat
badan lahir rendah (<1500 gr), tindakan sasat proses kelahiran sepeerti ekstraksi
dengan vakum atau forsep, hiperbilirubinemi (bilirubin >20 mg/100ml), dan asfiksi
dengan Apgar Score < 5 pada 5 menit pertama (Dhingra, 2006).
3. Penyebab ketulian masa postnatal
Setelah bayi lahir dan selama masa pertumbuhannya dapat terkena berbagai macam
penyakit atau trauma yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran seperti akibat
infeksi bakteri (sepsis) yang sering disebabkan oleh Betahaemolytic streotococcus,
Escherischia coli, Listeria monocytogenesis dan Hemophilus influenza. Umumnya
infeksi tersebut menyebabkan ketulian jenis sensorineural. Sedangkan infeksi telinga
tengah atau trauma kepala dapat menyebabkan tuli konduksi dan atau tuli
sensorineural. Selain ketulian dapat disertai gangguan keseimbangan. Joint
Committee on Infant Hearing menetapkan pedoman risiko tinggi neonatus (0-28
hari) terkena gangguan pendengaran bila ditemukan kondisi sebagai berikut
(Paludetti, 2012):
a. Riwayat keluarga dengan ketulian sejak lahir
b. Riwayat infeksi prenatal (TORCHS)
c. Anomali kraniofasial
d. Sindroma yang berhubungan dengan ketulian
e. Berat badan lahir rendah
f. Perawatan di NICU > 48 jam
g. Respiratory distress syndrome
h. Bronchio-pulmonari dysplasia
i. Ventilasi mekanik >36 hari
GEJALA GANGGUAN PENDENGARAN PADA ANAK
Informasi dari orang tua melalui anamnesa yang cermat mengenai respons anak
terhadap rangsang suara dilingkungan sehari-hari dirumah dan kemampuan vokalisasi
dan cara pengucapan kata-kata anak sangat membantu menilai masalah gangguan
pendengaran dan perkembangan bicara-bahasa pada anak (Paludetti, 2012).
1. Usia 0-4 bulan. Apakah bayi kaget kalau mendengar suara yang sangat keras?
Apakah bayi yang sedang tidur terbangun kalau mendengar suara keras?
2. Usia 4-7 bulan. usia 4 bulan apakah anak mulai mampu menoleh kearah datangnya
suara diluar lapangan pandang mata? Apakah anak mulai mengoceh di usia 5-7
bulan, sebelum usia 7 bulan apakah anak mampu menoleh langsung ke arah sumber
suara diluar lapangan pandang mata?
3. Usia 7-9 bulan. Apakah anak mampu mengeluarkan suara dengan nada yang naik –
turun atau monoton saja?
4. Usia 9-13 bulan. Apakah anak menoleh bila ada suara dibelakangnya? Apakah anak
mampu menirukan beberapa jenis suara? Apakah anak sudah mampu mengucapkan
suara konsonan seperti ‘beh’, ‘geh’ , ‘deh’, ‘ma’
5. Usia 13-24 bulan. Apakah dia mendengar bila namanya dipanggil dari ruangan lain?
Apakah anak memberikan respons dengan bervokalisasi atau bahkan datang kepada
anda? Kata-kata apa saja yang mampu diucapkan? Apakah kualitas suara dan cara
pengucapannya normal?
Beberapa gejala pada anak dengan kemungkinan mengalami gangguan pendengaran
yang bisa diamati sehari-hari oleh orang tua (Paludetti, 2012):
1. Kurang responsif terhadap suara-suara yang ada disekitarnya : vacuum cleaner,
klakson mobil, petir
2. Anak kelihatannya kurang perhatian terhadap apa yang terjadi disekitarnya, kecuali
yang bisa dinikmati dengan melihat. Anak tidak mudah tertarik dengan
pembicaraan atau suara-suara yang ada disekelilingnya
3. Cenderung berusaha melihat muka lawan bicara dengan tujuan mencari petunjuk
dari gerak bibir dan ekspresi muka guna mendapat informasi tambahan apa yang
diucapkan. Anak kurang responsif apabila diajak bicara tanpa diberi kesempatan
melihat muka lawan bicara
4. Sering minta kata-kata diulang lagi
5. Jawaban yang salah dengan pertanyaan atau perintah sederhana
6. Kesulitan menangkap huruf mati/ konsonan
7. Anak hanya memberikan respons terhadap suara tertentu atau dengan kekerasan
tertentu
8. Kesulitan menangkap pembicaraan didalam ruangan yang ramai. Anak dengan
gangguan pendengaran ringan atau sedang masih mampu menangkap pembicaraan
dilingkungan yang ribut seperti di kelas atau dirumah dengan suara-suara TV yang
cukup mengganggu. Anak dengan pendengaran yang normal mempunyai
kemampuan mengatasi kesulitan di lingkungan mendengar yang sulit.
9. Ucapan anak yang sulit dimengerti merupakan salah satu kemungkinan anak
mengalami gangguan pendengaran. Hal ini disebabkan anak tidak mampu
menangkap semua elemen pembicaraan dengan jelas sehingga anak akan
mengalami kesulitan meniru ucapan dengan betul dan baik. Anak juga akan
mengalami gangguan pola berbicara yang sering rancu dengan masalah
intelegensinya

PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA ANAK


Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat
ketulian yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan
selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Untuk
menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada
anak. Di negara maju upaya untuk menemukan kasus ketulian pada bayi telah dimulai
sejak bayi baru lahir melalui program khusus yang dikenal sebagai Universal Newborn
Hearing Screening (UNHS) yang ditujukan terhadap semua bayi baru lahir dengan atau
tanpa faktor risiko terhadap ketulian (Paludetti, 2012).
Pemeriksaan pendengaran secara umum dibagi menjadi pemeriksaan pendengaran
subyektif dan obyektif. Pemeriksaan pendengaran subyektif yaitu Behavioral
Observation Audiometry (BOA), Play Audiometry, Visual Reinforcement Audiometry
(VRA), Audiometri Nada Murni (Pure Tone Audiometry), dan audiometri tutur (Speech
Audiometry) sedangkan pemeriksaan pendengaran obyektif berupa timpanometri,
Otoacoustic Emission (OAE), Auditory Brainstem Response / Brainstem Evoked
Response Audiometry, dan Auditory Steady State Response (ASSR) (Suwento, 2007).
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan
respons yang disadari (voluntary response) (Gambar 3). Metoda ini dapat mengetahui
seluruh sistim auditorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi. Behavioral
audiometry penting untuk mengetahui respons subyektif sistim auditorik pada bayi dan
anak dan juga bermanfaat untuk penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada pengukuran
alat bantu dengar (hearing dan fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap
tahap usia perkembangan bayi, namun pilihan jenis tes harus disesuaikan dengan usia
bayi (Paludetti, 2012).

Gambar 3. Contoh pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry (BOA)


(Ferdiansyah, 2014)

Pemeriksaan dilakukan pada runangan yang cukup tenang (bising lingkungan


tidak lebih dari 60dB), idelaknya pada ruang kedap suara (sound proof room). Sebagai
sumber bunyi sederhana dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi
pasir, remasa kertas minyak, bel, terompat karet, mainan yang mempunyai bunyi
frekuensi tinggi (squaker toy) dll. Sumber bunyi tersebut harus dikalibrasi frekuensi dan
intensitasnya. Bila tersedia bisa dipakai alat buatan pabrik seperti baby reactometer,
Neometer, Viena tone (frekuensi 3000 Hz dengan pilihan intensitas 70, 80 , 90, dan 100
dB) (Chi, 2006).
Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respons terhadap sumber bunyi
tersebut. Pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry dibedakan menjadi (1)
Behavioral Reflex Audiometry dan (2) Behavioral Response Audiometry.

A. Behavioral Reflex Audiometry


Dilakukan pengamatan respons behavioral yang bersifat refleks sebagai reaksi
terhadap stimulus bunyi.
Respons behavioral yang dapat diamati antara lain: mengejapkan mata
(auropalpebral reflex), melebarkan mata (eye widening), mengerutkan wajah
(grimacing), berhenti menyusu (cessation reflex), denyut jantung meningkat refleks
Moro (paling konsisten). Refleks auropalpebral dan Moro rentan terhadap efek
habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan berulang-ulang bayi menjadi bosan
sehingga tidak memberi respon walaupun dapat mendengar. Stimulus dengan intensitas
sekitar 65-80 dBHL diberikan melalui loudspeaker, jadi merupakan metode sound field
atau dikenal juga sebagai Free field test. Stimulus juga dapat diberikan melalui
noisemaker yang dapat dipilih intensitasnya. Pemeriksaan ini tidk dapat menentukan
ambang dengar. Bila kita mengharapkan terjadinya refleks Moro dengan stimulus bunyi
dan keras sebaiknya dilakukan pada akhir prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan
menangis, sehingga menyulitkan observasi selanjutnya. (Martin, 2003).

B. Behavioral Response Audiometry


Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan menghasilkan
pola respons khas berupa menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di
luar lapangan pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horisontal, dan
dengan bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah bawah.
Selanjutnya bayi mampu mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal
kemampuan melokalisir sumber bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13-16
bulan (Dhingra, 2006).
Teknik Behavioral Response Audiometry yang seringkali digunakan adalah (1)
Tes Distraksi dan (2) Visual Reinforcement Audiometry (VRA).
 Tes Distraksi
Tes ini dilakukan pada ruang kedap suara, menggunakan stimulus nada murni.
Bayi dipangku oleh ibu atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa, pemeriksa
pertama bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi, misalnya dengan meperlihatkan
mainan yang tidak terlalu menarik perhatian; selain memperhatikan respons bayi
(Gambar 4). Pemeriksa kedua berperan memberikan stimulus bunyi, misalnya dengan
audiometer yang terhubung dengan pengeras suara.

Gambar 4. Contoh tes distraksi yang dilakukan pada anak (Ferdiansyah, 2014)

Respons terhadap stimulus bunyi andalan menggerakan bola mata atau menoleh
ke arah sumber bunyi. Bila tidak ada respons terhadap stimuli bunyi, pemeriksaan
diulang sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan ketiga dilakukan lagi 1
minggu kemudian. Seandainya tetap tidak ada respons harus dilakukan pemeriksaan
audiologik lanjutan yang lebih lengkap (Chi, 2003)

 Visual Reinforcement Audiometry (VRA)


Mulai dapat dilakukan pada bayi 4-7 bulan dimana control neuromotor berupa
bulan dimana control neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah
berkembang. Pada masa ini respons unconditioned beralih menjadi respons conditioned.
Pemeriksaan pendengaran berdasarkan respons conditioned yang diperkuat dengan
stimulus visual dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan
stimulus visual, bayi akan member respons orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara
menoleh ke arah sumber bunyi. Dengan intensitas yang sama diberikan stimulus bunyi
saja (tanpa stimulus visual), bila bayi member respons diberi hadiah berupa stimulus
visual. Pada tes VRA juga diperlukan 2 orang pemeriksa (Gambar 5 dan 6).
Pemeriksaan VRA dapat dipergunakan menentukan ambang pendengaran, namun
karena stimulus diberikan melalui pengeras suara maka respon yang terjadi merupakan
tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik (Paludetti, 2012).

Gambar 5. Bagan ruang pemeriksaan VRA (Suwento, 2007)

Gambar 6. Contoh pemeriksaan VRA (Ferdiansyah, 2014)

C. Play audiometry (usia 2-5 tahun)


Pemeriksaan play audiometry (Conditioned play audiometry) meliputi teknik
melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai pengamatan respons motorik
spesifik dalam suatu aktivitas permainan. Misalnya sebelum pemeriksaan anak dilatih
(conditioned) untuk memasukkan bedan tersebut ke dalam kotak segera setelah
mendengar bunyi. Diperlukan 2 orang pemeriksa, yang pertama bertugas memberikan
stimulus melalui audiometer sedangkan pemeriksa kedua melatih anak dan mengamati
respons. Stimulus biasanya diberikan melalui headphone (Gambar 7). Dengan mengatur
frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil yang dapat menimbulan
respons dapat ditentukan ambang pendengaran pada frekuensi tertentu (spesifik) (Chi,
2003).

Gambar 7. Contoh pemeriksaan play audiometry (Ferdiansyah, 2014)

2. Audiometri Nada Murni


Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer, dan hasil
pencatatannya disebut sebagai audiogram. Dapat dilakukan pada anak berusia lebih
dari 4 tahun yang koperatif. Sebagai sumber suara digunakan nada murni (pure tone)
yaitu bunyi yang hanya terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang
kedap suara, dengan menilai hantaran suara melalui udara (air conduction) melalui
headphone pada frekuensi 125, 250, 5000, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz. Hantaran
suara melalui tulang (bone conduction) diperiksa dengan memasang bone vibrator
pada prosesus mastoid yang dilakukan pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz.
Intensitas yang biasa digunakan antara 10 – 100 dB (masing – masing dengan
kelipatan 10), secara bergantian pada kedua telinga. Suara dengan intensitas terendah
yang dapat didengar dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang
jenis dan derajat ketulian (Martin, 2003).

3. Audiometri Tutur (Speech Audiometry)


Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus (sukukata) yaitu
monosilabus (satu suku kata) dan Bisilabus (dua suku kata). Kata-kata ini disusun
dalam daftar yang disebut Phonetically Balance Word LBT (PB, LIST). Pasien
diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape recorder. Pada
tuli perseptif koklea, pasien sulit untuk membedakan bunyi S, R, N, C, H, CH
sedangkan pada pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi. Misalnya pada tuli perseptif
koklea, kata “kadar” didengarnya “kasar”, sedangkan kata “pasar” didengarnya
“kadar”. Speech discrimination score yaitu 90 – 100% (pendengaran normal), 75 –
90% (tuli ringan), 60 – 75% (tuli sedang), 50 – 60 % (sukar mengikuti pembicaraan
sehari-hari), dan < 50% (tuli berat) (Dhingra, 2006).

4. Timpanometri
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran
timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif di telinga tengah)
merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga
berdasarkan energy suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang
telinga. Pada orang dewasa atau bayi berusia di atas 7 bulan digunakan probe tone
frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone
226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan
probe tone frekuensi tinggi (668678 atau 1000 Hz) (Gambar 8) (Suwento, 2007).

b
a

Gambar 8. a. Timpanometri b. Timpanogram (Suwento, 2007)


Terdapat 4 jenis timpanogram yaitu: tipe A (normal), tipe Ad (diskontinuitas
tulang tulang pendengaran), tipe As (kekakuan rangkaian tulang pendengaran), tipe B
(cairan di dalam telinga tengah), dan tipe C (Gangguan fungsi tuba Eustachius).
5. Oto Acoustic Emission (OAE)
OAE merupakan gelombang suara yang dihasilkan sebagai respon vibrasi
dari dalam koklea baik secara spontan atau dengan rangsangan. Gelombang ini dapat
dideteksi dan direkam oleh alat yang diletakkan di kanalis akustikus eksternus.
Untuk dapat menangkap dan membangkitkan gelombang OAE dibutuhkan 4
komponen penting (Gambar 9).

Gambar 9. Mekanisme respon OAE (Suwento, 2007)

Pertama, probe yang diletakkan di liang telinga. Probe tersebut terdiri dari
loudspeaker sebagai penghasil rangsangan dan mikrofon untuk menangkap
gelombang OAE di dalam kanalis akustikus eksternus. Untuk mendapatkan hasil
yang dapat dipercaya, diperlukan pemasangan probe yang baik. Penutupan liang
telinga dengan probe secara ketat akan meningkatkan tekanan suara akibat getaran
yang ditimbulkan membrane timpani sehingga mempengaruhi hasil pengukuran.
Selain itu probe juga berfungsi mencegah masuknya suara dari luar telinga yang
tidak diinginkan. Kedua, kanalis akustikus eksternus dan telinga tengah. Telinga
tengah harus bekerja baik agar dapat menghantarkan rangsangan vibrasi gelombang
suara yang masuk ke dalam koklea dan dipantulkan kembali menuju membrane
timpani. Ketiga, partisi koklea sebagai proses makromekanik transduksi harus
berfungsi baik. Keempat, fungsi sel rambut luar termasuk sistem mikromekanik-
transduksi harus dapat bekerja dengan baik. Bila sel rambut luar rusak misalnya oleh
karena trauma akustik, penggunaan obat ototoksik dan proses degenerative seperti
DM, maka gelombang OAE akan berkurang atau bahkan menghilang. Apabila ada
gelombang OAE, kemungkinan besar fungsi koklea dan tellinga tengah normal, atau
paling tidak pendengaran di sekitar stimulus frekuensi yang memberikan respon
dalam batas normal. Keberadaan OAE menunjukkan fungsi sel rambut luar koklea
dalam kondisi sehat, koklea yang sehat, dapat menghasilkan vibrasi internal secara
spontan baik dengan atau tanpa pemberian rangsang akustik (Paludetti, 2012).
Konsep dasar timbulnya OAE dapat diketahui secara sederhana, yaitu
membandingkan koklea dengan suatu ruangan dari logam yang menyerupai akustik
telinga (inanimate cavity). Rangsangan gelombang suara yang diberikan pada koklea
menghasilkan bentukan gelombang dan dikenal sebagai cochlear echo atau Kemp
echo. Sedangkan pemberian rangsangan gelombang suara pada inanimate cavity,
tidak menghasilkan gelombang suara yang dapat ditangkap oleh probe di liang
telinga luar.
Gelombang OAE yang timbul pada koklea sering disebut preneural event
oleh karena gelombang suara yang dihasilkan belum disalurkan ke saraf auditoris.
Akan tetapi untuk mengetahui apakah ada masalah fungsi neural di sepanjang jalan
pendengaran masih harus diperiksan dengan tes audiologi yang lain.
Peran OAE dalam memberikan informasi tentang pendengaran perifer
berbeda dengan BERA atau tes elektrofisiologi yang lain. OAE tidak menggunakan
elektroda, pengukuran berdasarkan akustik dan bukan listrik. Kondisi pendengaran
perifer dinilai secara langsung atau dengan menggunakan rangsangan. Sehingga ada
dua jenis OAE yang dikenal yaitu spontaneous otoacoustic emissions (SOAE) dan
evoked OAE. SOAE merupakan OAE yang muncul secara spontan tanpa pemberian
rangsangan. Sedangkan evoked OAE yaitu OAE baru timbul setelah diberikan
rangsangan dari luar. Ada tiga jenis evoked OAE yang transient yaitu Transient
Evoked Otoacoustic Emission (TEOAE) dan Distortion Product Otoacoustic
Emissions (DPOAE), dan Sustained-Frequency Otoacoustic Emissions (SFOAE)
(Suwento, 2007).
A. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAE)
SOAE adalah gelombang suara berasal dari koklea dan terjadi secara spontan
tanpa diberikan suatu rangsangan. SOAE terjadi oleh karena adanya pantulan energi
traveling wave pada koklea yang mengalami perubahan impedans. SOAE diperoleh
dengan mencatat gelombang suara yang timbul di liang telinga menggunakan probe
yang dipasang di liang telinga. Spektrum gelombang yang ditangkap dianalisa
dengan suatu sistem analisa OAE. Gelombang SOAE yang timbul biasanya pada
frekuensi antara 1000 Hz-3000Hz dan jarang timbul pada frekuensi dibawah 500 Hz.
Intensitas gelombang SOAE yang timbul sangat lemah dan besarnya berkisar antara
10 sampa 20 dB sehingga untuk mengukur SOAE diperlukan rata-rata beberapa
spectrum gelombang sehingga dihasilkan SOAE diatas latar belakang suara yang
terekam di liang telinga.
Prevalensi SOAE relative lebih rendah daripada TEOAE atau DPOAE,
tetapi prevalensi yang rendah tersebut bukan merupakan karakteristik dari populasi
secara keseluruhan. Oleh karena prevalensi yang rendah tersebut maka secara klinis,
penggunaan SOAE agak terbatas. SOAE juga memiliki keterbatasan lain yaitu hanya
sedikit SOAE yang dapat direkam atau bahkan hanya pada satu hari sisi telinga.
SOAE dapat timbul pada frekuensi yang berbeda di bagia telinga yang berbeda pula.
SOAE dijumpai pada frekuensi yang terbatas dan memiliki amplitudo yang
bervariasi. Insidens tertinggi dari SOAE yaitu sekitar 84% dapat dijumpai pada
populasi neonates preterm dan fullterm. Wanita lebih banyak daripada laki-laki (Chi,
2006).).

B. Transient Evoked Otoacoustic Emission (TEOAE)


TEOAE adalah gelombang OAE yang dihasilkan oleh koklea setelah
mendapat rangsangan. Rangsangan itu dapat berupa click atau tone burst. TEOAE
sering pula disebut click-evoked OAE, kemp echo atau cochlear echo. Peralatan
yang dipergunakan untuk mencatat TEOAE terdiri dari probe yang berisi
loudspeaker dan mikrofon, amplifier, filter serta sistem analisa signal (Gambar 10
dan 11).
Gambar 10. Transient Evoked OAE (TEOAE) (Suwento, 2007)

Gambar 11. Transient Evoked OAE (TEOAE) (Suwento, 2007)

Untuk mendapatkan TEOAE dipergunakan rangsangan click. Rangsangan


tersebut akan mengenai seluruh bagian koklea sehingga menghasilkan respons yang
melibatkan beberapa frekuensi. Respon tersebut disebut frekuensi spesifik multipel.
Besarnya rangsangan yang diberikan 60-80- dB SPL. Gelombang suara TEOAE
memiliki amplitude yang sangat kecil. Untuk membedakan dengan background
noise, diperlukan sejumlah besar rangsan click. Rangsangan tersebut dimonitor
selama perode waktu yang pendek yaitu sekitar 20 mili detik. Gambaran gelombang
yang muncul setelah organ Corti mendapat rangsangan mnejadi kurang jelas oleh
karena rangsangan menjadi kurang jelas oleh karengan rangsangan di beberapa area
organ Corti memberikan respons karakteristik frekuensi masing-masing. Oleh karena
itu, respon yang timbul dianalisa dengan menggunakan analisa spectrum (signal
processing) agar dapat memisahkan tiap-tiap respon (Suwento, 2007).
TEOAE dijumpai pada hamper semua individu yang memiliki pendengaran
normal termasuk bayi baru lahir. Hasil dari berbagai penelitian pada orang dewasa
menunjukkan TEOAE sebesar 99%, bila hearing level pada frekuensi 0.25-8 KHz
lebih baik dari 20 dB. Hilangnya TEOAE dapat terjadi pada keadaan yang
menimbulkan gangguan pada koklea seperti obat-obat otottoksik, hipoksia, paparan
suara yang tinggi, proses degenerative seperti DM. TEOAE menghilang pada
penderita gangguan pendengaran jenis sensorineural antara 30-50 dB dan penderita
dengan gangguan pendengaran jenis konduksi. Hal tersebut terjadi oleh karena
adanya hambatan transmisi gelombang TEOAE kembali ke probe di liang telinga.
Hal terpenting untuk menilai gambaran TEOAE adalah distribusi spectrum dan
bentuk gelombang. Terdapat beberapa parameter yang dipergunakan untuk menilai
hasil pemeriksaan TEOAE (Gambar 10 dan 11). Diantaranya yaitu: A. Korelasi
keseluruhan antara dua gelombang yang dihasilkan dari proses averaging computer
(wave reproducibility). B Overall Amplitude re; Noise C. Amplitude and
Reproducibility in Frequency Bands D. Threshold dan, E. Waveform Analysis. Hasil
tersebut diperoleh teknik processing komputer.
Kriteria normal yang dipakai bervariasi. Menurut Kemp, hasil TEOAE
dianggap positif bila didapatkan wave reproducibility sebesar 50%. Sedangkan
Prieve et al berpendapat hasil TEOAE dianggap positif bila didapatkan wave
reproducibility sebesar 60% dengan minimum amplitude secara keseluruhan
dibandingkan dengan bising tempat pengukuran (signal and noise ratio) ≥ 3dB diatas
noise floor yang diukur pada masing-masing frekuensi. Gorga dkk pada
penelitiannya menyebutkan kriteria hasil TEOAE dianggap positif (normal) bila
didapatkan wave reproducibility sebesar 55-70%. Hasil TEOAE postif menunjukkan
fungsi sel rambut luar kokluea masih berfungsi baik. Bila hasil TEOAE negatif,
menunjukkan fungsi sel rambut luar koklea yang menurun (Suwento, 2007).
Penggunaan TEOAE sebagai skrining bayi baru lahir bersama dengan alat
yang lain yaitu BERA dan timpanometer. Beberapa peneliti menyebutkan sensitivitas
dan spesifisitas TEOAE sebagai alat skrining bayi baru lahir. Biasanya sensitivitas
diperkirakan 85-95% dan spesifisitas 90% atau lebih besar.

C. Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAE)


DPOAE merupakan gelombang suara yang timbul bila koklea dirangsang
secara simultan dengan dua nada suara yang mempunyai frekuensi yang berbeda.
Dua nada suara tersebut kemudian disepakati sebagai f 1 untuk nada yang mempunyai
frekuensi rendah dan f2 untuk nada dnegan frekuensi lebih tinggi. Sebagai respon
dari rangsangan kedua nada tersebut maka koklea akan menghasilkan nada suara lain
pada frekuensi yang berbeda. Nada suara yang timbul tersebut kemudian dikenal
sebagai distortion product dari koklea, yang muncul kemudian dipantulkan kembali
menuju meatus akustikus eksternus sebagai OAE.
Peralatan untuk mencatat DPOAE yaitu suatu probe di dalam liang telinga.
Probe tersebut berisi dua loudspeaker dan satu mikrofon. Loudspeaker menghasilkan
stimulus nada dnegan frekuensi yang berbeda sedangkan mikrofon menangkap
DPOAE yang dihasilkan oleh koklea. DPOAE yang diterima kemudian dianalisis
oleh system analisa spectrum dan dimunculkan dalam bentuk diagram. DPOAE
dapat timbul pada semua telinga yang normal akan menghilang bila terdapat
gangguan pendengaran sensorineural sebear 50-60 dB (Suwento, 2007).

D. Sustained-Frequency Otoacoustic Emissions (SFOAE)


SFOAE merupakan respon yang merekam gelombang kontinyu karena
gelombang stimulus dan emisi terekam oleh mirkofon. Saat ini SFOAE tidak
digunakan secara klinis (Suwento, 2007).

6. Brainstem Evoked Response Audiometri (BERA)


Istilah lain: Auditory Brainstem Response (ABR). BERA merupakan
pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistim auditorik, bersifat
obyektif, tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma.
BERA merupakan cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang
dihasilkan n.VIII, pusat – pusat neutral dan traktus di dalam batang otak) sebagai
respons terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan berupa bunyi
click atau toneburst yang diberikan melalui headphone, insert probe, bone vibrator.
Untuk memperoleh stimulus yang paling efisien sebaliknya digunakan insert probe.
Stimulus click merupakan impuls listrik dangan onset cepat dan durasi yang sangat
singkat (0,1 ms), menghasilkan respons pada average frequency antara 2000 – 4000
Hz. Tone burst juga merupakan stimulus dengan durasi singkat namun memiliki
frekuensi yang spesifik (Paludetti, 2012).

Gambar 12. Berbagai gelombang BERA sesuai dengan lokasi respon (neural
generator) (Suwento, 2007)

Respons terhadap stimulus auditorik berupa evoked potential yang sinkron, direkam
melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kulit kepala
(dahi dan prosesus mastoid), kemudian diproses melalui program komputer dan
ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I sampai V) yang terjadi
sekitar 2 – 12 ms setelah stimulus diberikan. Analisis gelombang BERA berdasarkan (1)
marfologi gelombang, (2) masa laten dan (3) amplitudo gelombang (Gambar 12).
Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah menentukan
masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus diberikan sampai
terjadi EP untuk masing – masing gelombang (gel I sampai V). Dikenal 3 jenis masa
laten: (1) masa laten absolut dan (2) masa laten antar gelombang (interwave latency
attau interpeak latency) dan (3) masa laten antar telinga (interaural latency). Masa laten
absolut gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus sampai
timbultnya gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus
sampai timbulnya gelombang I. Masa laten antar gelombang adalah selisih waktu antar
gelombang, misalnya masa laten antar gelombang I – III, III – V, I – V (Gambar 13).
Masa laten antar telinga yaitu membandingkan masa laten absolut gelombang yang
sama pada kedua telinga. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemanjangan masa
laten fisiologik yang terjadi billa intensitas stimulus diperkecil. Terdapatkan
pemanjanan masa laten pada beberpa frekuensi menunjukkan adanya suatu gangguan
konduksi (Paludetti, 2012).

Gambar 13. Gelombang BERA dan masa laten absolut dan antar gelombang
(Suwento, 2007)

Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan anak
yang usianya kurang dari 12 – 18 bulan, karena terdapat perbedaan masa laten,
amplitudo dan morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar
maupun orang dewasa (Gambar 14).

Gambar 14. Perbandingan BERA bayi dengan BERA dewasa (Suwento, 2007)
7. Auditory Steady-State Response (ASSR)
ASSR merupakan tes yang bersifat objektif untuk mengukur kemampuan
mendengar anak yang masih belum mampu menjalani prosedur tes subjektif
seperti play audiometri atau audiometri nada murni (Gambar 15). ASSR juga
merupakan tes obyektif yang digunakan untuk evaluasi kemampuan mendengar pada
anak-anak untuk pengujian audiometri tradisional.

a b

Gambar 15. a.ASSR b. Pemeriksaan ASS (Ferdiansyah, 2014)

Seperti pada BERA, ASSR juga dapat digunakan untuk memperkirakan ambang
batas pendengaran bagi mereka yang tidak dapat berpartisipasi dalam langkah-langkah
yang tradisional. Oleh karena itu, manfaat utama untuk ASSR termasuk: pada bayi
untuk tindak lanjut diagnostik penilaian, bayi dalam neonatal unit perawatan intensif
(NICU), pasien tidak responsif dan/atau koma, dan lain-lain (Gambar 15b). Cara kerja
ASSR diperoleh dengan mengukur aktivitas otak saat orang mendengarkan nada
frekuensi yang berbeda-beda (pitch) dan intensitas (kenyaringan) (Chi, 2006).).
Aktivitas otak dicatat menggunakan elektroda ditempelkan pada dahi dan di
belakang telinga masing-masing.Penggunaan elektroda menghilangkan kebutuhan untuk
partisipasi aktif dari pasien (misalnya, menekan tombol respon setiap kali nada
diaktifkan).Hasil terdeteksi obyektif menggunakan formula statistik yang menentukan
ada atau tidak adanya respon yang benar.Mirip dengan pengujian audiometri tradisional,
ambang batas ditentukan sebagai tingkat terendah pada setiap frekuensi di mana respon
hadir. ASSR memberikan akurat frekuensi-spesifik perkiraan audiogram murni-nada
perilaku (Chi, 2006).
Pada dasarnya, cara pemeriksaan pada tes ASSR ini sama dengan pemeriksaan
pada BERA. Yang membedakan adalah frekuensi yang diperiksa serta gambaran hasil
tes.Hasil tes BERA gambarannya berupa gelombang-gelombang sedangkan hasil tes
ASSR berupa audiogram.
Ada dua teknik stimulasi utama yang digunakan untuk merekam ASSR, teknik
stimulasi frekuensi tunggal dan teknik stimulasi multi-frekuensi. Teknik stimulasi
frekuensi tunggal mepresentasikan satu carrier nada frekuensi untuk satu telinga
menggunakan satu Modulasi frekuensi. Misalnya, 2000 Hz CF nada disajikan pada
Modulasi Frekuensi dari 95 Hz dikirim ke telinga kanan klien.
Sebaliknya, teknik multi- frekuensi stimulasi unik dalam kemampuannya untuk
menguji banyak nada frekuensi carrier dipresentasikan secara bersamaan dalam satu
atau kedua telinga. Frekuensi carrier yang biasa digunakan di teknik multi-frekuency
adalah 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Dalam teknik stimulasi multifrequency , software
ASSR memberikan sebuah MF unik antara 75 dan 110 Hz untuk masing-masing nada
frekuensi carrier. Gambar 16 menampilkan contoh dari teknik stimulasi multifrequency
monoaural (Chi, 2006).
Energi hadir di MF dapat dilihat dalam hasil FFT. Dalam contoh ini, empat nada
CF (500, 1000, 2000, dan 4000 Hz) dikirim secara bersamaan ke salah satu telinga
subjek. Stimulus senyawa yang disampaikan ke telinga mengandung energi pada
masing-masing frekuensi carrier ini (Seperti yang ditunjukkan di sebelah kiri bawah
angka ini). Frekuensi modulasi yang sesuai ditugaskan untuk nada CF ini adalah 76Hz
(500), 82Hz (1000), 95Hz (2000), dan 101 Hz (4000). Frekuensi modulasi yang unik
ini diperlukan untuk pengolahan rangsangan untuk tetap independen melalui sistem
pendengaran sampai ke otak. Empat nada CF berurutan mengaktifkan empat daerah dari
membran basilar yang terbaik disesuaikan ke frekuensi yang spesifik, seperti yang
ditunjukkan di sisi kanan angka ini. Respon otak terhadap empat unik MFs ini terlihat
dalam hasil FFT .
Dengan teknik stimulasi multifrequency, itu bisa memungkinkan untuk
merekam ASSR binaurally. Dalam binauralmode ini, delapan nada CF dipresentasikan
secara bersamaan (empat per telinga). Setiap nada CF diberi MF unik, yang dapat
berkisar dari sekitar 75-110 Hz. Keuntungan menggunakan stimulasi binaural dengan
teknik multifrequency adalah sensitivitas pendengaran yang dapat dinilai pada 500-4000
Hz di kedua telinga dengan sekitar jumlah waktu yang sama dari yang dibutuhkan untuk
menguji frekuensi satu stimulus di satu telinga menggunakan teknik stimulasi frekuensi
tunggal.
Suatu hal yang penting yang perlu dipertimbangkan ketika menggunakan teknik
stimulasi multifrequency, baik pendengaran normal atau dengan gangguan pendengaran
adalah potensi interaksi yang terjadi di koklea dan/ atau otak di kalangan rangsangan
tersebut pada setiap frekuensi carrier. Ketika rangsangan tonal terjadi bersama-sama,
beberapa jenis interaksi dapat terjadi termasuk masking efek, penindasan, dan / atau
fasilitasi.
Aktivitas gelombang otak yang tercatat dari permukaan elektroda pada kulit
kepala berisi amplitudo periodik atau variasi frekuensi yang mengikutimodulasi yang
lambat dalam gelombang stimulus. Rekaman dianalisis dalam frekuensi daripada waktu
domain. Perangkat lunak statistik berbasis telah dikembangkan memungkinkan ada
tidaknya respon yang ditentukan secara otomatis (Chi, 2006).

PENATALAKSANAAN
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan teknologi edukasi
gangguan pendengaran yang cepat. lntervensi dini sekarang dapat dilakukan dengan
adanya alat diagnostik yang secara objektif dan akurat menskrining dan memastikan
adanya gangguan pendengaran bahkan pada neonatus. Tidak ada bayi yang terlalu muda
untuk diuji. Penggunaan teknologi pendengaran moderen seperli alat bantu dengar
digital dan implan koklea telah membuat anak-anak dengan gangguan pendengaran
dapat memperoleh keuntungan akustik neurologi yang maksimal. Sebagai hasilnya,
anak-anak dengan gangguan pendengaran memiliki kesempatan untuk mengembangkan
bahasa bicara melalui pendengaran. Dengan deteksi dan amplifikasi dini serta terapi
bicara dengan partisipasi orang tua yang efektif, diatas 80% anak-anak yang dilahirkan
tuli memiliki potensial untuk berhasil dalam edukasi dan sosial. Sebuah konsep penting
dalam memperoleh bahasa bicara dan kemampuan membaca adalah umur dari
pendengar (Paludetti, 2012).
Perkembangan mendengar bicara anak dimulai ketika teknologi amplifikasi
pertama digunakan. Jika seorang anak berusia 2 tahun ketika gangguan pendengarannya
diidentifikasi, anak tersebut adalah berusia 1 hari terhadap pembelajaran pendengaran
dan berbahasa ketika alat bantu dengarnya dipasangkan atau implan kokleanya
diaktifkan pertama kali. Ketika anak tersebut mencapa kronologis 3 tahun maka dia
berusia 1 tahun terhadap pengalami mendengarnya sehingga secara linguisiik anak
iersebut terdengar lebih sepe anak berusia 1 tahun daripada 3 tahun. Jarak antara usia
kronologis di pendengaran seorang anak berkurang seiring berkembangnya waktu
terutan bila anak tersebut menggunakan teknologi amplifikasi yang sesuai selan waktu
bangun dan intervensi auditori dari pihak keluarga yang aktif. Semua anak-anak dengan
gangguan pendengaran permanen dr keterlambatan bicara sebaiknya ditangani oleh tim
multidisiplin yang mencakup audiologis, ahli THT, ahli bicara, genetis dan pendidikan.
Sebagai tambaha anak-anak ini sebaiknya dirujuk ke dokter mata, karena mereka sangr
tergantung pada penglihatan untuk komunikasi dan belajar (Paludetti, 2012).
Langkah awal dalam penatalaksanaan gangguan pendengaran setelah
mengetahui penyebabnya adalah amplifikasi pendengaran. Tahap awal dalam
keberhasilan amplifikasi pendengaran adalah meyakinkan orang tua, anak da anggota
keluarga lainnya bahwa anak tersebut memiliki gangguan pendengaran dan akan
bermanfaat bila diberikan alat bantu dengar. Pendapat kedua kadang diperlukan bagi
orang tua untuk meyakini hal ini. Orang tua harus mengetahui bahwa alat bantu dengar
tidak harus mengembalikan pendengaran kembali ke normal, tetapi peningkatan
pendengaran yang diharapkan. Rehabilitasi sebelum usia 6 bulan meningkatkan
kemampuan berbahasa pada akhirnya (Paludetti, 2012).

1. Alat Bantu Dengar (Hearing Aid)


Alat bantu dengar meningkatkan level suara pada frekuensi suara yang berbeda.
Untuk gangguan pendengaran ringan, dibutuhkan jumlah penguatan yang kecil
sedangkan gangguan pendengaran yang berat memerlukan penguatan yang besar.
Saat ini, teknologi pembuatan alat bantu dengar semakin rumit dan canggih
dimana banyak alat bantu dengar memiliki mikrofon khusus dan amplifier hingga
komputer kecil didalamnya. Kemajuan ini mempengaruhi bagaimana cara alat bantu
dengar memproses atau mengubah suara. Banyak pilihan yang tersedia dan mungkin
termasuk satu atau lebih dari pilihan berikut ini:
Berbagai variasi model, tipe dan harga alat bantu dengar tersedia. Pemilih alat
bantu dengar untuk anak-anak tergantung individu. Alat bantu dengar yang terbaik
untuk anak-anak ditentukan berdasarkan hasil evaluasi audiologi, us anak-anak, derajat
dan tipe gangguan pendengaran, dan keinginan pasien / keluarga.
Berikut ada empat jenis alat bantu pendengaran (Chi, 2006):

A. Behind the Ear (BTE)


Jenis alat bantu pendengaran ini diletakkan di belakang telinga dan dikaitkan di
bagian atas daun telinga (Gambar 17). Alat ini ditahan oleh bentuk telinga sesuai
dengan kanal telinga sehingga suara dari alat bantu pendengaran ini diteruskan ke
gendang telinga. Jenis ini mudah untuk dimanipulasi dan segala tipe rangkaian dapat
sesuai dengan model ini.

Gambar 16. Alat bantu dengar tipe BTE (Ferdiansyah, 2014)

B. In The Ear (ITE)


Jenis ini diletakkan di dalam daun telinga (Gambar 18). Alat ini akan menutup
saluran telinga sepenuhnya. Seperti halnya BTE, jenis tipe ini mudah dioperasikan dapat
sesuai dengan kebanyakan rangkaian yang dikembangkan.

Gambar 17. Alat bantu dengar tipe ITE (Ferdiansyah, 2014)

C. In The Canal (ITC)


Jenis ini diletakkan di dalam saluran kanal telinga dan tidak terlalu tampak
dibandingkan dengan jenis BTE ataupun ITE (Gambar 19). Karena bentuknya yang
lebih kecil sehingga jenis ini pasti lebih sukar untuk dimodifikasi dan tidak semua tipe
rangkaian dapat cocok untuk model ini.

Gambar 18. Alat bantu dengar tipe ITC (Ferdiansyah, 2014)

D. Completely in the Canal (CIC)


Jenis alat bantu dengar yang satu ini dipasang jauh di dalam saluran kanal
telinga dan umumnya tidak dapat dilihat (Gambar 20). Karena bentuknya yang begitu
kecil sehingga tidak semua tipe rangkaian dapat sesuai dengan model ini. Jenis ini
sangat sesuai untuk penderita yang amat parah.

Gambar 19. Alat bantu dengar tipe CIC (Ferdiansyah, 2014)

Beberapa pasien yang tidak dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar
konduksi udara standard dapat memperoleh keuntungan dari alat yang mentransmisikan
suara langsung ke tulang tengkorak. Alat bantu dengar konduksi tulang dapat
ditempatkan pada tulang tengkorak dengan bantuan headband akan tetapi ini tidak
nyaman, tidak praktis dan tidak dapat diperoleh kualitas pendengaran yang baik. Alat
bantu dengar hantaran tulang digunakan untuk anak-anak atresia liang telinga atau
otorea kronik.
2. Implan Koklea
lmplan koklea merupakan perangkat yang ditanam secara pembedahan yang
dapat menstimulasi saraf koklea sehingga dapat membantu pendengaran. Alat ini terdiri
dari sebuah prosesor eksternal bertenaga baterai, sebuah receiver yang ditanam dibawah
kulit kepala dan sebuah elektroda yang dimasukan secara langsung ke dalam koklea
melalui pembedahan. lmplan koklea disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) Amerika Serikat untuk pemakaian pada anak-anak paling muda 12 bulan.
lndikasi pemasangan implan koklea termasuk ketulian sensorineural bilateral sangat
berat dan sedikit atau tidak adanya manfaat pemasangan alat bantu dengar setelah enam
bulan (Chi, 2006).
Prinsip kerja dari implant koklea yaitu gelombang suara masuk pada mikrofon yang
ditempatkan pada headpiece kemudian suara dikirim ke speech processor melalui
sebuah kabel tipis yang menghubungkan headpiece ke speech processor. Selanjutnya
speech processor mengubah suara tersebut menjadi sinyal khusus yang dapat ditafsirkan
oleh otak. Perubahan ini diselesaikan dengan suatu program yang disebut speech
processing strategies. Sinyal khusus tersebut dikirim kembali melalui kabel yang sama
ke headpiece dan dikirim melewati kulit melalui gelombang radio ke alat yang ditanam
tersebut kemudian sinyal tersebut berjalan melalui barisan elektroda di dalam pusat
telinga dan merangsang saraf pendengaran. Saraf pendengaran kemudian mengirim
sinyal-sinyal listrik ke otak dimana siyal tersebut ditafsirkan sebagai suara (Chi, 2006).

Gambar 20. Implan Koklea (Chi, 2006)


3. Implan Batang Otak Auditori (ABI)
ABI memiliki struktur dasar yang sama dengan implan koklea kecuali pada
elektroda (Gambar 22). Bunyi sampai ke telinga dibawa oleh mikrofon yang
ditempelkan di telinga dan impuls listrik diteruskan ke prosesor suara, kemudian
frekuensi dari sinyal bunyi dianalisis dan dikonversi menjadi sinyal listrik lalu
dihantarkan ke koil konduktif. Sinyal listrik yang juga meliputi informasi data seperti
stimulasi pembagian elektroda dan stimulasi intensitas masing-masing elektroda, yang
diprogram terlebih dahulu untuk masing-masing individu. Koil konduktif
menghantarkan sinyal-sinyal listrik tersebut melalui kulit dengan induksi
elektromagnetik terhadap receiver-stimulator yang terpasang pada tengkorak. Stimulasi
tersebut kemudian diaplikasikan pada masing-masing elektroda sesuai dengan informasi
yang disampaikan kepada receiver. ABI menggunakan plat elektroda (8-21 elektroda),
disusun di atas plat silikon berukuran 3-5 mm yang dipasang di nukleus koklearis pada
batang otak. Mikrofon prosesor bunyi dan receiver memiliki keunggulan pada
penatalaksanaan paska operasi jangka panjang yaitu bagian internal yang tidak
membutuhkan penggantian. Prosesor suara memerlukan baterai, tetapi perangkat
internal beroperasi dengan induksi elektromagnetik. (Nakatomi, 2016)

Gambar 21. Skema dari ABI. CN: saraf koklea, Co: koklea, CoN: nukleus koklearis,
MP: mikrofon, R: receiver, SP: Prosesor bunyi. (Nakatomi, 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, K. 2011. Childhood hearing screening guidelines. American academy of


audiology.http://www.cdc.gov/ncbddd/hearingloss/documents/aaa_childhood
hearing-guidelines_2011.pdf [diakses 10 Juli 2019]
Chi, D., Sabo, D., 2006. Pediatric Audiology and Implantable Hearing Device. In B.J
Bailey, J.T. Johnson, S.D. Newland, Head & Neck Surgery-Otolaryngology,
4th Edition (pp. 1883-1903). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Dhingra, P.L, 2006. Assesment of Hearing. In: Disease of Ear, Nose and Throat.4th
Edition. New Delhi: Elsevier; Page 22-29.
Ferdiansyah, R., Damayanti H., Rosalina D., 2014. Pengembangan Sentra Diagnostik
dan Gangguan Pendengaran dan Komunikasi di RSUP Fatmawati Jakarta.
Fatmawati Hospital Journal. Jakarta.
Martin, B., Martin, K., Luebke., A. 2003. Physiology of the Auditory and Vestibular
Systems. James B. Snow, Jhon Ballenger. Newland, Othorhinolaryngology
Head and Neck Surgery, 6th Edition (pp. 84-94). Spain: BC Decker
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan
Gangguan Pendengaran dan Ketulian untuk Mencapai Sound Hearing 2030.
Nakatomi, H., Miyawaki, S., Kin, T., Saito, N., 2016. Hearing rstroration with auditory
Brainstem Implant. Neurol Med Chir. Tokyo: 56; 597-604
Paludetti, G., Conti, G., Nardo, D., Corso, D. 2012. Infant hearing loss: from diagnosis
to therapy. Acta otorhnolaryngologica italica; 32: 347-70
Suwanto, R., Zizlavsky, S., Hendarmin H., 2007. Gangguan pendengaran pada bayi
dan anak. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher, edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 32-36.
Soepardi, Efiaty, Arsyad., 2008. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala
Leher. Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 10-22.

Anda mungkin juga menyukai