PADA ANAK
Ralph Lukas, Adlin Adnan
PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran adalah kelainan perkembangan saat lahir yang paling
umum. Identifikasi gangguan pendengaran dari usia 6 bulan dan kombinasi kualitas
layanan intervensi dini dikaitkan dengan perkembangan bahasa pada atau dekat tingkat
pembangunan tipikal. Perkembangan bahasa dan literasi sesuai usia membutuhkan
perhatian awal dan berkelanjutan untuk pengembangan keterampilan, dan untuk
mencegah efek gangguan pendengaran pada pengembangan keterampilan dan sosialisasi
harus diutamakan untuk mengidentifikasi anak dengan gangguan pendengaran
(Anderson, 2011).
Menurut WHO, saat ini diperkirakan ada 360 juta orang (5.3%) di dunia
mengalami gangguan pendengaran, 328 juta (91%) diantaranya adalah orang dewasa
(183 juta laki-laki, 145 juta perempuan) dan 32 juta (9%) adalah anak-anak. Prevalensi
gangguan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi gangguan
pendengaran pada orang di atas usia 65 tahun bervariasi antara 18 - 50% di seluruh
dunia. Serta diperkirakan 20% orang dengan gangguan pendengaran membutuhkan alat
bantu dengar. Namun produksi alat bantu pendengaran saat ini hanya memenuhi 10%
dari kebutuhan global dan hanya memenuhi 3% dari kebutuhan di negara berkembang.
Dari hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4 negara di
Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi, yaitu sebesar (4,6%)
(Kemenkes, 2013).
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran pada anak diperlukan
pemeriksaan fungsi pendengaran yang lebih sulit dibandingkan orang dewasa.
(Hendarmin, 2007) Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan adalah:
b
.
Gambar 4. Contoh tes distraksi yang dilakukan pada anak (Ferdiansyah, 2014)
Respons terhadap stimulus bunyi andalan menggerakan bola mata atau menoleh
ke arah sumber bunyi. Bila tidak ada respons terhadap stimuli bunyi, pemeriksaan
diulang sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan ketiga dilakukan lagi 1
minggu kemudian. Seandainya tetap tidak ada respons harus dilakukan pemeriksaan
audiologik lanjutan yang lebih lengkap (Chi, 2003)
4. Timpanometri
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran
timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif di telinga tengah)
merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga
berdasarkan energy suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang
telinga. Pada orang dewasa atau bayi berusia di atas 7 bulan digunakan probe tone
frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone
226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan
probe tone frekuensi tinggi (668678 atau 1000 Hz) (Gambar 8) (Suwento, 2007).
b
a
Pertama, probe yang diletakkan di liang telinga. Probe tersebut terdiri dari
loudspeaker sebagai penghasil rangsangan dan mikrofon untuk menangkap
gelombang OAE di dalam kanalis akustikus eksternus. Untuk mendapatkan hasil
yang dapat dipercaya, diperlukan pemasangan probe yang baik. Penutupan liang
telinga dengan probe secara ketat akan meningkatkan tekanan suara akibat getaran
yang ditimbulkan membrane timpani sehingga mempengaruhi hasil pengukuran.
Selain itu probe juga berfungsi mencegah masuknya suara dari luar telinga yang
tidak diinginkan. Kedua, kanalis akustikus eksternus dan telinga tengah. Telinga
tengah harus bekerja baik agar dapat menghantarkan rangsangan vibrasi gelombang
suara yang masuk ke dalam koklea dan dipantulkan kembali menuju membrane
timpani. Ketiga, partisi koklea sebagai proses makromekanik transduksi harus
berfungsi baik. Keempat, fungsi sel rambut luar termasuk sistem mikromekanik-
transduksi harus dapat bekerja dengan baik. Bila sel rambut luar rusak misalnya oleh
karena trauma akustik, penggunaan obat ototoksik dan proses degenerative seperti
DM, maka gelombang OAE akan berkurang atau bahkan menghilang. Apabila ada
gelombang OAE, kemungkinan besar fungsi koklea dan tellinga tengah normal, atau
paling tidak pendengaran di sekitar stimulus frekuensi yang memberikan respon
dalam batas normal. Keberadaan OAE menunjukkan fungsi sel rambut luar koklea
dalam kondisi sehat, koklea yang sehat, dapat menghasilkan vibrasi internal secara
spontan baik dengan atau tanpa pemberian rangsang akustik (Paludetti, 2012).
Konsep dasar timbulnya OAE dapat diketahui secara sederhana, yaitu
membandingkan koklea dengan suatu ruangan dari logam yang menyerupai akustik
telinga (inanimate cavity). Rangsangan gelombang suara yang diberikan pada koklea
menghasilkan bentukan gelombang dan dikenal sebagai cochlear echo atau Kemp
echo. Sedangkan pemberian rangsangan gelombang suara pada inanimate cavity,
tidak menghasilkan gelombang suara yang dapat ditangkap oleh probe di liang
telinga luar.
Gelombang OAE yang timbul pada koklea sering disebut preneural event
oleh karena gelombang suara yang dihasilkan belum disalurkan ke saraf auditoris.
Akan tetapi untuk mengetahui apakah ada masalah fungsi neural di sepanjang jalan
pendengaran masih harus diperiksan dengan tes audiologi yang lain.
Peran OAE dalam memberikan informasi tentang pendengaran perifer
berbeda dengan BERA atau tes elektrofisiologi yang lain. OAE tidak menggunakan
elektroda, pengukuran berdasarkan akustik dan bukan listrik. Kondisi pendengaran
perifer dinilai secara langsung atau dengan menggunakan rangsangan. Sehingga ada
dua jenis OAE yang dikenal yaitu spontaneous otoacoustic emissions (SOAE) dan
evoked OAE. SOAE merupakan OAE yang muncul secara spontan tanpa pemberian
rangsangan. Sedangkan evoked OAE yaitu OAE baru timbul setelah diberikan
rangsangan dari luar. Ada tiga jenis evoked OAE yang transient yaitu Transient
Evoked Otoacoustic Emission (TEOAE) dan Distortion Product Otoacoustic
Emissions (DPOAE), dan Sustained-Frequency Otoacoustic Emissions (SFOAE)
(Suwento, 2007).
A. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAE)
SOAE adalah gelombang suara berasal dari koklea dan terjadi secara spontan
tanpa diberikan suatu rangsangan. SOAE terjadi oleh karena adanya pantulan energi
traveling wave pada koklea yang mengalami perubahan impedans. SOAE diperoleh
dengan mencatat gelombang suara yang timbul di liang telinga menggunakan probe
yang dipasang di liang telinga. Spektrum gelombang yang ditangkap dianalisa
dengan suatu sistem analisa OAE. Gelombang SOAE yang timbul biasanya pada
frekuensi antara 1000 Hz-3000Hz dan jarang timbul pada frekuensi dibawah 500 Hz.
Intensitas gelombang SOAE yang timbul sangat lemah dan besarnya berkisar antara
10 sampa 20 dB sehingga untuk mengukur SOAE diperlukan rata-rata beberapa
spectrum gelombang sehingga dihasilkan SOAE diatas latar belakang suara yang
terekam di liang telinga.
Prevalensi SOAE relative lebih rendah daripada TEOAE atau DPOAE,
tetapi prevalensi yang rendah tersebut bukan merupakan karakteristik dari populasi
secara keseluruhan. Oleh karena prevalensi yang rendah tersebut maka secara klinis,
penggunaan SOAE agak terbatas. SOAE juga memiliki keterbatasan lain yaitu hanya
sedikit SOAE yang dapat direkam atau bahkan hanya pada satu hari sisi telinga.
SOAE dapat timbul pada frekuensi yang berbeda di bagia telinga yang berbeda pula.
SOAE dijumpai pada frekuensi yang terbatas dan memiliki amplitudo yang
bervariasi. Insidens tertinggi dari SOAE yaitu sekitar 84% dapat dijumpai pada
populasi neonates preterm dan fullterm. Wanita lebih banyak daripada laki-laki (Chi,
2006).).
Gambar 12. Berbagai gelombang BERA sesuai dengan lokasi respon (neural
generator) (Suwento, 2007)
Respons terhadap stimulus auditorik berupa evoked potential yang sinkron, direkam
melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kulit kepala
(dahi dan prosesus mastoid), kemudian diproses melalui program komputer dan
ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I sampai V) yang terjadi
sekitar 2 – 12 ms setelah stimulus diberikan. Analisis gelombang BERA berdasarkan (1)
marfologi gelombang, (2) masa laten dan (3) amplitudo gelombang (Gambar 12).
Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah menentukan
masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus diberikan sampai
terjadi EP untuk masing – masing gelombang (gel I sampai V). Dikenal 3 jenis masa
laten: (1) masa laten absolut dan (2) masa laten antar gelombang (interwave latency
attau interpeak latency) dan (3) masa laten antar telinga (interaural latency). Masa laten
absolut gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus sampai
timbultnya gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus
sampai timbulnya gelombang I. Masa laten antar gelombang adalah selisih waktu antar
gelombang, misalnya masa laten antar gelombang I – III, III – V, I – V (Gambar 13).
Masa laten antar telinga yaitu membandingkan masa laten absolut gelombang yang
sama pada kedua telinga. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemanjangan masa
laten fisiologik yang terjadi billa intensitas stimulus diperkecil. Terdapatkan
pemanjanan masa laten pada beberpa frekuensi menunjukkan adanya suatu gangguan
konduksi (Paludetti, 2012).
Gambar 13. Gelombang BERA dan masa laten absolut dan antar gelombang
(Suwento, 2007)
Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan anak
yang usianya kurang dari 12 – 18 bulan, karena terdapat perbedaan masa laten,
amplitudo dan morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar
maupun orang dewasa (Gambar 14).
Gambar 14. Perbandingan BERA bayi dengan BERA dewasa (Suwento, 2007)
7. Auditory Steady-State Response (ASSR)
ASSR merupakan tes yang bersifat objektif untuk mengukur kemampuan
mendengar anak yang masih belum mampu menjalani prosedur tes subjektif
seperti play audiometri atau audiometri nada murni (Gambar 15). ASSR juga
merupakan tes obyektif yang digunakan untuk evaluasi kemampuan mendengar pada
anak-anak untuk pengujian audiometri tradisional.
a b
Seperti pada BERA, ASSR juga dapat digunakan untuk memperkirakan ambang
batas pendengaran bagi mereka yang tidak dapat berpartisipasi dalam langkah-langkah
yang tradisional. Oleh karena itu, manfaat utama untuk ASSR termasuk: pada bayi
untuk tindak lanjut diagnostik penilaian, bayi dalam neonatal unit perawatan intensif
(NICU), pasien tidak responsif dan/atau koma, dan lain-lain (Gambar 15b). Cara kerja
ASSR diperoleh dengan mengukur aktivitas otak saat orang mendengarkan nada
frekuensi yang berbeda-beda (pitch) dan intensitas (kenyaringan) (Chi, 2006).).
Aktivitas otak dicatat menggunakan elektroda ditempelkan pada dahi dan di
belakang telinga masing-masing.Penggunaan elektroda menghilangkan kebutuhan untuk
partisipasi aktif dari pasien (misalnya, menekan tombol respon setiap kali nada
diaktifkan).Hasil terdeteksi obyektif menggunakan formula statistik yang menentukan
ada atau tidak adanya respon yang benar.Mirip dengan pengujian audiometri tradisional,
ambang batas ditentukan sebagai tingkat terendah pada setiap frekuensi di mana respon
hadir. ASSR memberikan akurat frekuensi-spesifik perkiraan audiogram murni-nada
perilaku (Chi, 2006).
Pada dasarnya, cara pemeriksaan pada tes ASSR ini sama dengan pemeriksaan
pada BERA. Yang membedakan adalah frekuensi yang diperiksa serta gambaran hasil
tes.Hasil tes BERA gambarannya berupa gelombang-gelombang sedangkan hasil tes
ASSR berupa audiogram.
Ada dua teknik stimulasi utama yang digunakan untuk merekam ASSR, teknik
stimulasi frekuensi tunggal dan teknik stimulasi multi-frekuensi. Teknik stimulasi
frekuensi tunggal mepresentasikan satu carrier nada frekuensi untuk satu telinga
menggunakan satu Modulasi frekuensi. Misalnya, 2000 Hz CF nada disajikan pada
Modulasi Frekuensi dari 95 Hz dikirim ke telinga kanan klien.
Sebaliknya, teknik multi- frekuensi stimulasi unik dalam kemampuannya untuk
menguji banyak nada frekuensi carrier dipresentasikan secara bersamaan dalam satu
atau kedua telinga. Frekuensi carrier yang biasa digunakan di teknik multi-frekuency
adalah 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Dalam teknik stimulasi multifrequency , software
ASSR memberikan sebuah MF unik antara 75 dan 110 Hz untuk masing-masing nada
frekuensi carrier. Gambar 16 menampilkan contoh dari teknik stimulasi multifrequency
monoaural (Chi, 2006).
Energi hadir di MF dapat dilihat dalam hasil FFT. Dalam contoh ini, empat nada
CF (500, 1000, 2000, dan 4000 Hz) dikirim secara bersamaan ke salah satu telinga
subjek. Stimulus senyawa yang disampaikan ke telinga mengandung energi pada
masing-masing frekuensi carrier ini (Seperti yang ditunjukkan di sebelah kiri bawah
angka ini). Frekuensi modulasi yang sesuai ditugaskan untuk nada CF ini adalah 76Hz
(500), 82Hz (1000), 95Hz (2000), dan 101 Hz (4000). Frekuensi modulasi yang unik
ini diperlukan untuk pengolahan rangsangan untuk tetap independen melalui sistem
pendengaran sampai ke otak. Empat nada CF berurutan mengaktifkan empat daerah dari
membran basilar yang terbaik disesuaikan ke frekuensi yang spesifik, seperti yang
ditunjukkan di sisi kanan angka ini. Respon otak terhadap empat unik MFs ini terlihat
dalam hasil FFT .
Dengan teknik stimulasi multifrequency, itu bisa memungkinkan untuk
merekam ASSR binaurally. Dalam binauralmode ini, delapan nada CF dipresentasikan
secara bersamaan (empat per telinga). Setiap nada CF diberi MF unik, yang dapat
berkisar dari sekitar 75-110 Hz. Keuntungan menggunakan stimulasi binaural dengan
teknik multifrequency adalah sensitivitas pendengaran yang dapat dinilai pada 500-4000
Hz di kedua telinga dengan sekitar jumlah waktu yang sama dari yang dibutuhkan untuk
menguji frekuensi satu stimulus di satu telinga menggunakan teknik stimulasi frekuensi
tunggal.
Suatu hal yang penting yang perlu dipertimbangkan ketika menggunakan teknik
stimulasi multifrequency, baik pendengaran normal atau dengan gangguan pendengaran
adalah potensi interaksi yang terjadi di koklea dan/ atau otak di kalangan rangsangan
tersebut pada setiap frekuensi carrier. Ketika rangsangan tonal terjadi bersama-sama,
beberapa jenis interaksi dapat terjadi termasuk masking efek, penindasan, dan / atau
fasilitasi.
Aktivitas gelombang otak yang tercatat dari permukaan elektroda pada kulit
kepala berisi amplitudo periodik atau variasi frekuensi yang mengikutimodulasi yang
lambat dalam gelombang stimulus. Rekaman dianalisis dalam frekuensi daripada waktu
domain. Perangkat lunak statistik berbasis telah dikembangkan memungkinkan ada
tidaknya respon yang ditentukan secara otomatis (Chi, 2006).
PENATALAKSANAAN
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan teknologi edukasi
gangguan pendengaran yang cepat. lntervensi dini sekarang dapat dilakukan dengan
adanya alat diagnostik yang secara objektif dan akurat menskrining dan memastikan
adanya gangguan pendengaran bahkan pada neonatus. Tidak ada bayi yang terlalu muda
untuk diuji. Penggunaan teknologi pendengaran moderen seperli alat bantu dengar
digital dan implan koklea telah membuat anak-anak dengan gangguan pendengaran
dapat memperoleh keuntungan akustik neurologi yang maksimal. Sebagai hasilnya,
anak-anak dengan gangguan pendengaran memiliki kesempatan untuk mengembangkan
bahasa bicara melalui pendengaran. Dengan deteksi dan amplifikasi dini serta terapi
bicara dengan partisipasi orang tua yang efektif, diatas 80% anak-anak yang dilahirkan
tuli memiliki potensial untuk berhasil dalam edukasi dan sosial. Sebuah konsep penting
dalam memperoleh bahasa bicara dan kemampuan membaca adalah umur dari
pendengar (Paludetti, 2012).
Perkembangan mendengar bicara anak dimulai ketika teknologi amplifikasi
pertama digunakan. Jika seorang anak berusia 2 tahun ketika gangguan pendengarannya
diidentifikasi, anak tersebut adalah berusia 1 hari terhadap pembelajaran pendengaran
dan berbahasa ketika alat bantu dengarnya dipasangkan atau implan kokleanya
diaktifkan pertama kali. Ketika anak tersebut mencapa kronologis 3 tahun maka dia
berusia 1 tahun terhadap pengalami mendengarnya sehingga secara linguisiik anak
iersebut terdengar lebih sepe anak berusia 1 tahun daripada 3 tahun. Jarak antara usia
kronologis di pendengaran seorang anak berkurang seiring berkembangnya waktu
terutan bila anak tersebut menggunakan teknologi amplifikasi yang sesuai selan waktu
bangun dan intervensi auditori dari pihak keluarga yang aktif. Semua anak-anak dengan
gangguan pendengaran permanen dr keterlambatan bicara sebaiknya ditangani oleh tim
multidisiplin yang mencakup audiologis, ahli THT, ahli bicara, genetis dan pendidikan.
Sebagai tambaha anak-anak ini sebaiknya dirujuk ke dokter mata, karena mereka sangr
tergantung pada penglihatan untuk komunikasi dan belajar (Paludetti, 2012).
Langkah awal dalam penatalaksanaan gangguan pendengaran setelah
mengetahui penyebabnya adalah amplifikasi pendengaran. Tahap awal dalam
keberhasilan amplifikasi pendengaran adalah meyakinkan orang tua, anak da anggota
keluarga lainnya bahwa anak tersebut memiliki gangguan pendengaran dan akan
bermanfaat bila diberikan alat bantu dengar. Pendapat kedua kadang diperlukan bagi
orang tua untuk meyakini hal ini. Orang tua harus mengetahui bahwa alat bantu dengar
tidak harus mengembalikan pendengaran kembali ke normal, tetapi peningkatan
pendengaran yang diharapkan. Rehabilitasi sebelum usia 6 bulan meningkatkan
kemampuan berbahasa pada akhirnya (Paludetti, 2012).
Beberapa pasien yang tidak dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar
konduksi udara standard dapat memperoleh keuntungan dari alat yang mentransmisikan
suara langsung ke tulang tengkorak. Alat bantu dengar konduksi tulang dapat
ditempatkan pada tulang tengkorak dengan bantuan headband akan tetapi ini tidak
nyaman, tidak praktis dan tidak dapat diperoleh kualitas pendengaran yang baik. Alat
bantu dengar hantaran tulang digunakan untuk anak-anak atresia liang telinga atau
otorea kronik.
2. Implan Koklea
lmplan koklea merupakan perangkat yang ditanam secara pembedahan yang
dapat menstimulasi saraf koklea sehingga dapat membantu pendengaran. Alat ini terdiri
dari sebuah prosesor eksternal bertenaga baterai, sebuah receiver yang ditanam dibawah
kulit kepala dan sebuah elektroda yang dimasukan secara langsung ke dalam koklea
melalui pembedahan. lmplan koklea disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) Amerika Serikat untuk pemakaian pada anak-anak paling muda 12 bulan.
lndikasi pemasangan implan koklea termasuk ketulian sensorineural bilateral sangat
berat dan sedikit atau tidak adanya manfaat pemasangan alat bantu dengar setelah enam
bulan (Chi, 2006).
Prinsip kerja dari implant koklea yaitu gelombang suara masuk pada mikrofon yang
ditempatkan pada headpiece kemudian suara dikirim ke speech processor melalui
sebuah kabel tipis yang menghubungkan headpiece ke speech processor. Selanjutnya
speech processor mengubah suara tersebut menjadi sinyal khusus yang dapat ditafsirkan
oleh otak. Perubahan ini diselesaikan dengan suatu program yang disebut speech
processing strategies. Sinyal khusus tersebut dikirim kembali melalui kabel yang sama
ke headpiece dan dikirim melewati kulit melalui gelombang radio ke alat yang ditanam
tersebut kemudian sinyal tersebut berjalan melalui barisan elektroda di dalam pusat
telinga dan merangsang saraf pendengaran. Saraf pendengaran kemudian mengirim
sinyal-sinyal listrik ke otak dimana siyal tersebut ditafsirkan sebagai suara (Chi, 2006).
Gambar 21. Skema dari ABI. CN: saraf koklea, Co: koklea, CoN: nukleus koklearis,
MP: mikrofon, R: receiver, SP: Prosesor bunyi. (Nakatomi, 2016)
DAFTAR PUSTAKA